Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 34
KINI Hay Hay
terkejut dan dia harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia
hanya main elak dan tangkis saja, maka akhirnya dia akan terancam bahaya besar.
Karena itu, sesudah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus,
barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa dia tidak boleh
main-main dalam menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu, begitu membalas
dia telah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang!
Ilmu ini
adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah sangat hebat walau pun hanya terdiri dari
delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh
setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang,
menjadi hebat bukan main!
Begitu Hay
Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas yang
disertai pengerahan sinkang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis
langsung merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja
tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung
sehingga akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan
sampai terbanting.
Melihat
betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian cepat
meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya.
"Engkau
melukai suamiku...!" bentaknya marah.
Hay Hay
terkejut sekali, akan tetapi dia tak mengelak dan menerima tamparan itu dengan
pundaknya.
"Plakkk!"
Dan tubuh Hay Hay terpelanting!
"Sumoi,
jangan...!" Ciang Su Kiat membentak.
"Aihh,
Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat
suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah.
"Aku
tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?"
"Kukira...
kukira dia telah melukaimu, Suheng...," kata Hui Lian menyesal.
Su Kiat
menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di ujung
bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya.
Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan
sedikit darah.
"Saudara
Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang
matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku..."
Hay Hay
tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang
galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku
bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah
melihat jantannya diganggu!"
"Ah,
Hay Hay, kau maafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan
menyesal dia lalu meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa
pundak yang ditamparnya tadi.
Su Kiat
tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, kemudian dia pun ikut
merangkul Hay Hay. "Engkau seorang pemuda yang betul-betul hebat, Hay Hay!
Engkau memang pantas mendapatkan perhatian serta kasih sayang setiap orang
wanita. Engkau demikian lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan
dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang
mencurigaimu. Maafkan aku."
Hay Hay
tertawa gembira kemudian dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang
sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu
yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami
yang hebat, mempunyai kepandaian tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah
perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang
isteri yang tiada duanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat)
kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada
mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga
gembira sekali.
"Nah,
Hay Hay, sekarang mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi
terganggu," kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga
tersenyum. "Engkau datang dari mana dan hendak ke mana?"
Hay Hay
mengangkat tangan lantas mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang
menegur. "Ihhh, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri.
Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan..."
"Ahh...!
Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?"
Hui Lian memotong.
"Benarkah
engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai
Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya.
Kini Hay Hay
memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami
isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai sekali meramal
dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak
menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin
Lam-hai Giam-lo?"
"Tentu
saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami
sudah mendengar mengenai persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan
dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!"
kata Ciang Su Kiat.
"Musuh
besar kalian?"
"Dialah
yang dulu membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua
terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil
naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir
saja berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu mampu menghindarkan diri
hingga akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana
dia bersembunyi," kata Hui Lian.
"Baru
beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia sekarang memimpin sebuah
persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di
pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya mereka hendak mengadakan
pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu, tetapi yang penting kami harus
mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami
belasan tahun yang lalu," sambung Su Kiat.
"Dan
engkau sendiri, apakah yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang
persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian.
Hay Hay
kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di
rumah Jaksa Kwan. "Enci Hui Lian, engkau tentu masih ingat mengenai
mustika batu kemala milik Jaksa Kwan? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk
mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu
kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua
menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat
yang lihai, dan di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu
tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan Min-san
Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga telah
bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para
pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak
akan dihancurkan oleh pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu
berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga ini, aku lalu berhenti
dengan maksud hendak menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum
melanjutkan perjalanan."
"Hemm,
kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan
persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat.
"Kebetulan
sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Begitu pula dengan kami, Hay Hay. Kami
melihat telaga ini dari atas saat akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga
tertarik lalu singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat
saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran
tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan
itu!" kata Hui Lian gembira.
Akan tetapi
Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum. Dia maklum bahwa biar pun Su Kiat
kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan
kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan
tentu akan timbul kembali cemburunya apa bila dia melakukan perjalanan bersama
mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian.
Tidak, dia takkan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri
yang saling mencinta itu.
"Kurasa
sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih
mudah melakukan penyelidikan bila kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa
di sana dan dapat saling membantu," katanya.
Su Kiat
mengangguk-angguk. "Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai
Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka
keadaan di tempat itu tentu sangat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan
melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak
musuh."
Hui Lian
kelihatan kecewa, akan tetapi dia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya
yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang
cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak
suaminya.
"Sudah
tiga hari ini kami berada di sini, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan.
Kami akan berangkat lebih dahulu," kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit
dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu.
Hay Hay
cepat-cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung
perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan
tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Walau pun dia sudah berhasil mengusir
bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetapi tetap saja
dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah
kesepian.
Akhirnya dia
pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lantas
menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari
telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari
tempat ramai dan berjalan-jalan di bagian tepi telaga yang penuh dengan
pohon-pohon rindang. Di situ amat sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari
yang terik.
Tidak ada
seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, hanya
merupakan perahu-perahu yang terlihat kecil dan memenuhi permukaan telaga di
sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi.
Perahu-perahu
yang tidak mempunyai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai
berkurang. Tentu mereka yang menggunakan perahu-perahu terbuka itu telah
kepanasan sehingga mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada
biliknya saja yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya merasa asyik
sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur.
Hay Hay sama
sekali tidak tahu bahwa semenjak pertemuannya dengan pendeta-pendeta
Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tak pernah melepaskannya dari
pengamatan dan pengintaian. Bahkan banyak mata menonton dari jarak aman ketika
dia bertanding melawan Ciang Su Kiat.
Semakin
teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka
takuti itu masih dapat menang menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian
lihai pun! Sebagian dari mereka telah lama memberi laporan kepada Lam-hai
Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu.
Lam-hai
Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran, lalu dia mengutus dua orang
pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun
Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh
Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu.
"Kalau
benar dia selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah supaya dia
dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita," pesan Lam-hai
Giam-lo kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu
bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Tapi kalau kiranya tidak
mungkin, bunuh saja dia dari pada menjadi ancaman bagi kita."
Dengan penuh
semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta
Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi
melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main.
"Hay
Hay...!" desis Ji Sun Bi dari tempat dia mengintai.
"Pemuda
setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar.
Mereka sudah
pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan
tetapi bahkan mempunyai ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak
berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang
ahli sihir itu tidak mampu menandinginya!
Sekarang
guru dan murid itu sendiri bahkan saling pandang dengan sikap ragu-ragu dan
was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan
lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan Hay Hay.
"Kita
harus minta bala bantuan," kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa
malu-malu lagi.
Ji Sun Bi
mengangguk. "Benar, kurasa hanya ada dua orang saja di dalam perserikatan
kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri,
akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan yang ke dua
adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat
kita."
Min-san
Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang sekarang dikenal sebagai Sim Ki
Liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah
Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tak berapa jauh lagi
dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu
hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Karena Hay
Hay mengambil keputusan hendak tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning sambil
berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi
sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu.
Pada hari
terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat
yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu
dia melihat bahwa di bagian ini justru banyak sekali ikannya. Dia ingin sekali
mengail ikan di situ dan apa bila mendapatkan ikan akan dipanggangnya di situ
pula. Untuk keperluan ini dia telah membawa bumbu dan garam dari rumah
penginapan.
Akan tetapi
sial baginya. Sudah satu jam lebih dia duduk di situ tetapi tak seekor pun ikan
mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlalu pagi
maka agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan.
"Huh,
apakah kalian masih tidur semuanya? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau
pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan
tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan
tidur?
Dan dia
termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu
makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah
asal lapar lalu makan tanpa kenal waktu? Dan pernahkan keluarga ikan itu
bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian
menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena di tempat itu
tidak terdapat orang lain.
"Ha-ha-ha-ha,
engkau pasti sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat
pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi.
Memancing
adalah sebuah pekerjaan yang mengasyikkan. Apa bila dia tidak membiarkan
pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal
mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan jika semua perhatiannya
ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, maka keadaannya hampir
sama dengan kalau dia bersemedhi.
Tenang dan
damai, demikianlah keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak
melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu,
lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah berlalu pula dan kini sinar
matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan
agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia
merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai
ada yang menciumnya!
Tentu saja
seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak
tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis
menuju ke tempat dia mengail. Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai
mencium umpannya itu tiba-tiba saja melepaskan umpan dan permukaan air
berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air.
"Haiii...!"
Hay Hay mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu
bahwa di sini ada orang sedang memancing ikan? Engkau datang mengganggu
sehingga ikan-ikan yang tadi mulai mendekati umpan pancingku sekarang semuanya
lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!"
Perahu itu
sudah datang mendekat dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu kini
bangkit berdiri. Karena muka orang itu tadinya tertutup oleh sebuah caping
lebar yang melindungi muka itu dari panas matahari, maka sesudah orang itu
berdiri dan mendorong capingnya ke belakang, barulah nampak oleh Hay Hay bahwa
penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang
tersenyum manis sekali!
Gadis ini
usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi
tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajahnya yang
sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang sangat kuat, mungkin
karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu.
"Maaf,
aku tidak tahu bahwa aku sudah mengganggumu," kata gadis itu, dan suaranya
juga lunak halus.
"Maaf,
maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau
telah merampas sedikitnya satu ekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku
sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil
pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa
gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus.
Gadis itu
masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan. "Ahh, kalau
begitu aku berhutang satu ekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang
itu!"
Dara itu
masih berdiri di atas perahunya, ada pun dayung itu dipegangnya dengan tangan
kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang kembali
setelah perahunya berhenti meluncur. Tiba-tiba saja dayungnya menyambar ke
bawah, terdengar suara air terpukul, lantas gadis itu berjongkok dan tangan
kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati
terpukul dayungnya.
"Nah,
inilah hutangku kepadamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke
darat, di belakang Hay Hay.
Melihat ini
Hay Hay terbelalak dan dia pun semakin tertarik. Dara remaja yang sikap serta
tutur katanya lembut dan halus itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu
kepandalan hebat sehingga dengan mudahnya mampu menangkap seekor ikan yang
dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena
agaknya gadis itu ingin memamerkan kepandaiannya.
"Hemmm,
aku ingin memancing, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu
seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap
ikan semudah seperti yang kau lakukan itu!"
Hay Hay
bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia
dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan
tangkai pancingnya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam
air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang
menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan
cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang
cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk!
"Ahh,
kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail.
Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi
aku telah mengganggu tanpa sengaja." Gadis itu memberi hormat dari
perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke
tengah.
"Heiiiii,
Nona! Nanti dulu!" Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah kepadaku
dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!"
Gadis itu
menahan perahunya, alisnya berkerut karena dia menyangka bahwa pemuda di pantai
itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut dan penuh
kegembiraan dia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak
kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kau jatuhkan
kepadaku?"
"Lihat!"
Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini
empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau dagingnya tidak dimakan,
itu adalah suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Oleh karena itu aku akan
menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku
sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini pasti
lezat sekali!"
Lenyaplah
kerut-merut pada alis gadis itu dan dia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke
tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum.
"Aku pun lapar sekali!"
Dia meloncat
ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu
menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan
bahwa dia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat.
Mereka kini
berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini
tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, juga
tubuhnya indah sehingga memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui
wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai
bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga
sederhana yang sangat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar hingga
membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya.
Sepasang
matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu
tersenyum ramah. Wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagai
setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sangat sederhana,
namun malah menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar.
Dua
muda-mudi itu sama-sama tersenyum, agaknya masing-masing merasa puas dengan apa
yang mereka pandang dan nilai. Kemudian gadis itu berkata, "Mari kubantu
engkau memanggang ikan."
Keduanya tidak
banyak cakap lagi, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu dan
membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga lalu melumurinya dengan bumbu
yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tidak lama kemudian masing-masing
memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan
terciumlah bau yang sedap.
"Aduh,
alangkah sedapnya...! Kini perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis
itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali.
"Ha-ha-ha-ha,
air liurku tidak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia
tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan
berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira
dan indah. Bukan main!
Tak lama
kemudian keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu yang terasa gurih, manis dan
lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Dia mempunyai watak yang
terbuka dan polos, namun lembut dan tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi
Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak meski pun kadang-kadang sinar matanya
mencorong penuh wibawa. Sebentar saja daging ikan-ikan itu sudah habis, tinggal
kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja.
"Sayang
tidak ada minuman..."
"Jangan
khawatir, Nona, aku membawa sebotol anggur." Hay Hay segera mengeluarkan
botol anggur dari buntalannya.
"Aku
kurang begitu suka minum arak."
"Ini
bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tak akan
memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!"
Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka
tutupnya.
Gadis itu
mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang amat
harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit untuk menghilangkan amis
ikan tadi dari mulut."
"Aku
tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?"
"Ihh,
mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan ikan panggang."
"Apa
salahnya? Mulutku juga," kata Hay Hay.
Gadis itu
tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu dan diterima oleh mulutnya yang
terbuka sehingga dia bisa minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan
bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah
sehat, deretan gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang
basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan
bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justru karena kesederhanaannya!
"Hemm,
engkau terlampau sopan, Nona," katanya setelah gadis itu mengembalikan
botol anggur.
Gadis itu
tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak."
"Ini
untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay setelah mengeluarkan
empat buah pir dan memberikan dua buah kepada gadis itu. Wajah itu nampak
berseri.
"Heiiii!
Engkau seperti tahu saja dengan buah kesukaanku!" teriaknya.
Ia pun
segera makan buah pir yang mengandung banyak air itu, terasa segar dan manis,
dan memang merupakan pencuci mulut yang amat segar untuk menghilangkan bau amis
dari daging ikan tadi.
Mereka kini
makan buah sambil duduk berhadapan di atas rumput. Mendadak Hay Hay tertawa,
"Sungguh lucu sekali!"
"Apanya
yang lucu?" Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan
rambutnya yang agak awut-awutan karena dia mengira dirinya yang nampak lucu.
"Kita
sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah
bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama
bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan
kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kau kira tak sepatutnya bila
kita saling memperkenalkan nama? Namaku adalah Hay Hay."
"Dan
namaku Ling Ling."
"Heii!
Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, sungguh
nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!"
Ling Ling
adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti sudah kita ketahui, Cia
Ling pergi meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah
selatan kota raja untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian gadis ini
meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari
pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya.
Di dalam
perjalanannya inilah dia mendengar tentang persekutuan para tokoh dunia hitam
yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Dia merasa tertarik.
Persekutuan orang jahat ini pasti akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya,
mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih
muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat
di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan,
pikirnya.
Demikianlah,
tanpa ragu lagi gadis gagah perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke
selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik
sekali lalu menyewa sebuah perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak
disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya.
Pada
sepanjang perjalanannya, gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan,
namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, dia mampu mengatasi semua halangan,
bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk
merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis
muda yang cukup menarik dan sedang melakukan perjalanan sendirian saja.
Kini,
mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis
sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam
penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun suaranya masih
terdengar lembut dan sabar ketika dia bertanya.
"Apa
maksudmu?"
Dia mulai
merasa curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang
pernah dijumpainya di dalam perjalanan, yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu
hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya!
Akan tetapi
Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku? Sudah
jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis,
seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis
yang amat menarik, sederhana tapi manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi
sembrani, Adik Ling Ling?"
Kalau
tadinya Ling Ling sudah bersiap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu
andai kata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang
memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan, akan tetapi pandangan matanya dan
suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar
kepadanya.
Mata itu
demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah membicarakan tentang
kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya saja, seperti seorang
memuji keindahan setangkai bunga! Karena itu dia pun tidak dapat marah,
melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik.
"Hemm,
baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay),
coba katakan, apanya sih yang manis menarik?"
Senang hati
Hay Hay disebut Hay-ko sesudah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling),
terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti...
pacar saja!
"Ha-ha-ha,
apamu yang menarik, Ling-moi? Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu
yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum, atau juga hidungmu yang
cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang
awut-awutan itu. Atau semuanya itu ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu dan
pakaianmu yang sederhana tapi justru menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu,
waah, pendeknya engkau manis menarik!"
Sekarang
Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang memiliki niat buruk,
pikirnya. Pemuda ini sama sekali berbeda dari pada para pria lainnya. Pria
lainnya yang dijumpainya selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang
jelas membayangkan kebangkitan nafsu birahi, senyum-senyum buatan untuk
memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan
mulut yang jelas mengandung kekurang ajaran.
Akan tetapi
pemuda ini berbeda sama sekali. Biar pun rayuannya maut, lebih manis dan
menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar
mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan
keinginan untuk memikat, apa lagi kurang ajar. Maka dia pun tertawa.
"Hik-hik,
Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu dapat
membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat dia bertekuk
lutut dan takluk kepadamu! Apakah engkau adalah seorang laki-laki mata keranjang
yang senang merayu wanita?"
Hay Hay
menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan
takdir bahwa selama hidupku aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata
keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu
besar!"
"Tetapi
engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku belum pernah aku dipuji
laki-laki seperti yang kau lakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi
sambil tersenyum.
Kembali Hay
Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah
merayumu, Ling-moi. Aku hanya bicara secara jujur dan terus terang saja,
mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata
bagaimana?"
"Apakah
engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kau jumpai?"
"Iya,
sebagian besar. Karena bagiku, setiap orang wanita itu seperti juga bunga.
Bunga itu bermacam-macam, baik bentuknya mau pun warnanya, akan tetapi adakah
bunga yang buruk? Semua indah dan semua cantik, dalam coraknya sendiri,
memiliki keistimewaan sendiri. Dan aku memandang wanita seperti memandang
bunga, aku selalu kagum akan keindahan seorang wanita seperti kagum kepada
keindahan bunga. Salahkah kalau aku memuji keindahan itu?"
"Memuji
keindahan bunga lalu ingin memetiknya?"
"Ahh,
tidak! Aku bukan perayu, Ling-moi! Aku suka akan keindahan, bagaimana mungkin
aku ingin merusak keindahan itu? Tidak, aku hanya cukup puas dengan
memandangnya, mengamati dan mengagumi kecantikannya."
Ling Ling
memandang kagum. "Engkau seorang laki-laki yang aneh, terlalu jujur dan
tentu telah banyak mengalami hal-hal yang menyusahkan karena kejujuranmu itu,
Hayko."
Tiba-tiba
terdengar suara orang, suara yang parau dan kasar, "Heh-heh, kiranya
engkau sudah berada di sini, Nona manis!"
Hay Hay
masih duduk dan hanya memutar tubuhnya untuk memandang saja, akan tetapi Ling
Ling langsung meloncat dan bangkit berdiri. Hay Hay memperhatikan tiga orang
yang muncul itu.
Mereka itu
adalah tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh dan lima puluh
tahun. Ketiganya mengenakan pakaian serba putih! Yang dua orang bertubuh tinggi
besar dan terlihat kokoh kuat, dengan lengan berotot dan sepasang mata yang
memandang liar. Muka mereka kehitaman, seorang berjenggot panjang dan seorang
lagi tanpa jenggot.
Orang ke
tiga juga berpakaian warna putih seperti dua orang terdahulu, usianya beberapa
tahun lebih tua, akan tetapi orang ke tiga ini bertubuh pendek gendut seperti
bola. Yang membuat Hay Hay merasa terkejut adalah muka orang ini, karena muka
ini agak pucat. Hal ini bukan berarti bahwa orang gendut itu berpenyakitan.
Kepucatan mukanya berbeda dengan pucatnya orang yang tidak sehat. Hanya dengan
melihat mukanya Hay Hay dapat mengenal orang itu sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi.
Dia pernah
mendengar dari para gurunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat ilmu sesat,
di antaranya latihan hawa sakti yang akan membuat wajah orang itu menjadi
pucat, akan tetapi semakin pucat wajahnya, semakin kuat pula sinkang sesat yang
dilatihnya.
Dugaan Hay
Hay ini memang sungguh tepat. Tiga orang itu adalah anggota perkumpulan
Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis), sebuah perkumpulan yang terdapat di
Lembah Iblis yang berada di lereng Gunung Hong-san. Perkumpulan Kui-kok-pang
ini dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kim San, seorang yang berilmu tinggi
dan mukanya amat pucat seperti mayat.
Seperti juga
ketuanya, seluruh anggota Kui-kok-pang mengenakan pakaian serba putih, dan
ketinggian tingkat mereka dapat dilihat dari keadaan muka mereka. Yang iebih
pucat berarti lebih tinggi kedudukannya dan ilmu kepandaiannya. Dua orang
tinggi besar yang mukanya kehitaman, dengan kepucatan yang hampir tidak
terlihat karena kulit muka yang hitam, menunjukkan bahwa mereka berdua hanyalah
anggota-anggota biasa saja yang tingkatnya masih rendah, dan mereka lebih
mengandalkan tenaga otot dari pada tenaga sakti. Akan tetapi muka orang ke tiga
yang bertubuh pendek gendut seperti bola nampak pucat dan ini menunjukkan bahwa
tingkatnya lebih tinggi dari pada kedua orang temannya yang bermuka hitam.
Ketika
mendengar teguran parau dan kasar tadi, Ling Ling cepat-cepat menengok. Begitu
melihat dua orang lelaki tinggi besar yang mukanya kehitaman, seketika wajah
Ling Ling berubah merah dan dia pun meloncat bangun, berdiri sambil bertolak
pinggang, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika memandang kepada
mereka.
"Hemmm,
kiranya kalian anjing-anjing hitam yang kurang ajar ini berani muncul kembali!
Apakah kalian masih belum jera dan minta dihajar lagi?" kata Ling Ling.
Dua orang
laki-laki muka hitam itu saling pandang, kemudian mereka menoleh kepada
laki-laki perut gendut sambil berkata. "Nah, engkau dengar sendiri,
Suheng! Dia memang seorang gadis yang sombong dan memandang rendah kepada
kita!" kata Si Hitam yang berjenggot kambing.
Si Pendek
perut gendut melangkah maju menghadapi Ling Ling. Sejenak dia tidak bicara apa
pun, hanya mengamati wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong, kemudian dia
berkata, suaranya kecil seperti suara tikus terpencet, sehingga terdengar lucu
dan sangat berlawanan dengan tubuhnya yang gendut.
"Nona,
agaknya engkau tidak mengetahui bahwa kami adalah orang-orang Kui-kok-pang!
Mungkin Nona baru saja memasuki dunia kang-ouw, bagaikan burung yang baru
belajar terbang sehingga tidak mengenal kami. Oleh karena itu, kalau Nona mau
bersikap manis dan meminta maaf, maka kami pun akan menyudahi urusan ini dan
menganggap bahwa Nona masih kanak-kanak yang tidak tahu akan kebesaran
Kui-kok-pang."
Mendengar
disebutnya nama Kui-kok-pang, diam-diam Hay Hay terkejut karena dia sudah
mendengar akan nama besar perkumpulan itu. Akan tetapi sebelum berpihak dia
harus tahu lebih dulu tentang duduk perkaranya, maka sebelum Ling Ling yang
bersikap tenang namun marah itu menjawab, dia sudah mendahului.
"Adik
Ling Ling, apakah yang telah terjadi antara engkau dengan dua orang saudara
dari Kui-kok-pang ini?"
Ling Ling
sudah siap menjawab kata-kata Si Gendut pendek itu dengan kata-kata keras.
Namun ketika mendengar pertanyaan Hay Hay, dia lalu menoleh kepada pemuda itu.
"Hay-ko,
aku tidak tahu apakah dua orang jahanam ini merupakan anggota Perkumpulan
Lembah Iblis atau perkumpulan apa, akan tetapi kemarin sore ketika aku memasuki
kota, di tengah perjalanan di luar kota mereka sudah menghadangku dan bersikap
kurang ajar, hendak mengganggu aku. Tentu saja aku menghajar mereka hingga
mereka lari tunggang langgang seperti dua ekor anjing dipukul. Dan sekarang
mereka muncul kembali bersama seekor anjing gemuk lainnya yang agaknya hendak
menggonggong lebih keras dari pada mereka."
Hay Hay
menahan senyum karena geli hatinya. Kini dia tahu bahwa dua orang anggota
Kui-kok-pang yang bertubuh tinggi besar itu, seperti kebanyakan laki-laki yang
kasar dan kurang ajar, kemarin mencoba mengganggu Ling Ling yang dianggapnya
seorang gadis cantik yang lemah. Namun mereka tertumbuk batu karang lantas
dihajar, dan kini mereka datang dengan seorang kawan yang tadi mereka sebut
suheng, tentu hendak membalas dendam kepada gadis itu.
Hay Hay
maklum bahwa jika dibiarkan saja, tentu Ling Ling akan berkelahi melawan tiga
orang Kui-kok-pang itu. Maka dia cepat menghadapi laki-laki pendek gendut,
menjura dan berkata dengan ramah.
"Sobat,
bila adikku ini telah kesalahan tangan terhadap dua orang saudaramu itu,
biarlah aku yang memintakan maaf, harap urusan ini dihabiskan sampai di sini
saja."
Si Pendek
Gendut itu memandang sejenak kepada Hay Hay, lalu dengan alis berkerut dia pun
berkata, nada suaranya penuh ketinggian hati.
"Orang
muda, aku tidak tahu siapa engkau dan kenapa pula engkau mencampuri urusan kami.
Nona ini yang telah menghina orang-orang kami, maka dia sendiri yang harus
minta maaf dan membuktikan penyesalannya dengan menghibur kami selama sehari
semalam, baru kami mau sudah. Kalau tidak begitu, biar ada seribu orang yang
memintakan maaf, kami tidak akan mau menerimanya."
Sikap Si
Pendek Gendut itu demikian sombong sehingga Ling Ling telah menjadi semakin
marah saja. "Hay-ko, engkau jangan mencampuri urusan ini. Biar kuhajar
manusia busuk ini!" bentak Ling Ling dan sekali loncat dia telah berhadapan
dengan Si Pendek Gendut itu. "Hei, babi gendut, jangan engkau membuka
mulut sembarangan saja kalau tidak ingin kuhancurkan mulutmu yang busuk!"
Muka yang
pucat itu mendadak menjadi merah sekali, akan tetapi segera menjadi pucat
kembali, dan sepasang mata yang sipit dari Si Pendek Gendut itu seperti
mengeluarkan sinar berapi. Mendengar makian gadis itu, dia marah sekali.
Tadinya dia
mengira bahwa setelah mendengar nama besar Kui-kok-pang, gadis itu akan menjadi
ketakutan dan menyerah. Tidak tahunya gadis itu malah memakinya babi gendut!
Padahal dia merupakan seorang tokoh Kui-kok-pang tingkat tiga yang amat
ditakuti orang karena ilmu kepandaiannya sudah tinggi.
Di bawah
kedudukan Ketua Kui-kok-pang hanya terdapat tiga orang yang bertingkat dua
sebagai pembantu-pembantu utama ketua, dan hanya ada lima orang, termasuk dia,
yang menduduki tingkat ketiga sebagai orang-orang yang dipercaya ketua dan sering
bertindak sebagai utusan atau wakil ketua. Dan kini, gadis manis ini berani
menghinanya sesudah dia tertarik dan ingin memiliki gadis ini untuk menghibur
hatinya.
"Bocah
sombong, berani engkau menghina tuanmu? Agaknya engkau telah bosan hidup!"
Nafsu birahinya yang tadi timbul setelah dua orang anak buahnya membawanya
menemui gadis yang pernah menghajar mereka itu, kini lenyap sama sekali oleh
penghinaan yang dilontarkan Ling Ling, berubah menjadi kemarahan dan kebencian
yang berbau darah dan maut.
Begitu
kata-katanya berhenti, tubuhnya sudah menerjang dengan dahsyatnya ke depan.
Kedua tangannya membentuk cakar dan menyerang dengan cakaran dan cengkeraman
seperti seekor beruang marah, dari kerongkongannya juga keluar suara seperti
gerengan binatang buas. Kemudian dari kedua tangan yang membentuk cakar itu
menyambar hawa yang amat kuat, didahului uap putih dan bau yang amis seperti
darah!
Terkejutlah
Hay Hay melihat serangan ini, karena dia mengenal serangan ilmu pukulan yang
mengandung racun dan amat jahat, ciri khas pukulan yang biasa dipergunakan para
tokoh golongan hitam. Hampir dia berteriak memperingatkan Ling Ling, malah
semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang karena dia pun siap untuk
melindungi gadis itu dari serangan dahsyat lawannya, jika saja dia tidak
melihat gerakan Ling Ling yang membuat dia terbelalak.
Dengan amat
mudahnya, ringan dan bagaikan bulu tertiup angin, gadis itu menggerakkan
kakinya dan terkaman yang dahsyat itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya!
Yang membuat Hay Hay terbelalak heran bukan karena melihat kelihaian Ling Ling.
Dia sudah banyak bertemu gadis yang berilmu tinggi, maka dia tidak akan heran
melihat munculnya gadis-gadis lihai lainnya lagi. Akan tetapi dia terbelalak
heran karena dia mengenal gerak langkah kaki yang digunakan Ling Ling untuk
menghindarkan diri dari serangan dahsyat Si Pendek Gendut tadi.
Itulah Ilmu
Langkah Ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Tidak mungkin salah lagi, sungguh pun belum
sempurna benar, namun langkah-langkah rahasia itu mudah dikenal! Padahal ilmu
langkah ajaib itu adalah ciptaan gurunya See-thian Lama yang juga disebut Go-bi
San-jin! Bagaimana gadis itu mampu memainkan langkah ajaib itu?
Kini
lenyaplah kekhawatiran dari hati Hay Hay. Bukan saja gadis itu pandai ilmu
Jiauw-pouw-poan-soan yang akan membuat gadis itu pandai menyelamatkan diri dari
serangan yang betapa hebat pun, juga gadis itu memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang demikian hebat.
Dan Hay Hay
menahan seruan kagum ketika gadis itu mulai membalas dengan tamparan-tamparan
dua tangannya yang mengeluarkan angin keras mencicit tanda bahwa telapak tangan
itu mengandung tenaga sakti yang sangat kuat.
Tadi, pada
saat gadis itu menangkap ikan dengan dayungnya, dia sudah menduga bahwa Ling
Ling adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian silat. Akan tetapi
perbuatan menangkap ikan itu mudah saja sehingga dia tidak menyangka bahwa
gadis itu ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan mampu memainkan ilmu
langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Kini dia tidak khawatir lagi, bahkan
mengkhawatirkan nasib Si Pendek Gendut karena dia pun tahu bahwa Ling Ling jauh
lebih lihai dibandingkan lawannya.
Si Pendek
Gendut juga terkejut sekali saat melihat tamparan gadis itu mengandung angin
pukulan bercuitan mengejutkan. Dia mencoba untuk mengelak, bahkan menangkis
untuk kemudian dilanjutkan cengkeraman pada lengan Ling Ling. Akan tetapi,
begitu lengannya tersentuh lengan Ling Ling yang mengandung tenaga Thian-te
Sinkang, tubuh Si Gendut itu terjengkang ke belakang dan di lain saat tubuh itu
telah menggelundung bagai sebuah bola ditendang!
Akan tetapi
dengan muka merah dia cepat meloncat bangun lagi dan dia sudah mencabut
senjatanya, yaitu sebuah pedang pendek yang berwarna hitam, tanda bahwa pedang
itu agaknya sudah sering kali dilumuri racun! Ketika melihat betapa suheng
mereka dalam beberapa jurus saja telah terjengkang, dua orang anggota
Kui-kok-pang yang tinggi besar dan berkulit hitam segera mencabut golok
masing-masing dan mereka pun serentak maju mengepung! Gadis itu dikepung tiga
orang lawan yang kesemuanya bersenjata tajam!
Tetapi Ling
Ling berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan kedua tangannya,
tenang-tenang saja sambil tersenyum, seperti seorang guru melihat tingkah tiga
orang anak kecil yang bandel dan nakal!
Hay Hay juga
memandang dengan tersenyum. Dia masih percaya penuh bahwa gadis itu akan mampu
melindungi dirinya. Dengan Jiauw-pouw-poan-soan saja, dia percaya gadis itu
akan mampu menghindarkan diri dari kepungan tiga batang senjata tajam itu. Apa
lagi agaknya gadis itu masih memiliki lain-lain ilmu yang juga amat hebat.
Dugaan Hay
Hay memang tidak meleset. Tingkat kepandaian Si Pendek Gendut bersama dua orang
pembantunya itu masih berselisih jauh di bawah tingkat Ling Ling yang sejak
kecil menerima gemblengan ayah bundanya.
Ketika Si
Pendek Gendut menyerang dengan pedangnya, juga dua orang pembantunya menerjang
dengan golok mereka, tiba-tiba saja mereka bertiga itu terkejut karena melihat
dara itu menyelinap secepat kilat sehingga hanya nampak bayangan berkelebat
tahu-tahu orangnya sudah lenyap. Ketika Si Gendut membalik, ternyata gadis itu
sudah berada di belakangnya, berdiri dengan santai dan tersenyum manis! Si
Gendut kembali menyerang dengan pedangnya, dibarengi dua temannya yang membacok
dengan golok mereka.
Melihat
pengeroyokan dengan senjata ini, kembali Ling Ling menyelamatkan diri dengan
langkah-langkah anehnya. Tubuhnya bergeser ke kanan kiri, memutar, dan dara itu
sudah keluar dari kepungan tiga senjata tajam. Melihat betapa di antara ketiga
orang lawannya yang paling kuat adalah Si Pendek Gendut, maka dia lalu
menyerang dengan totokan jari telunjuk.
Cepat sekali
jari telunjuknya mencuat dan menotok ke arah pundak Si Gendut Pendek. Totokan
ltu cepat bukan main dan tidak mungkin dapat dihindarkan oleh lawan. Itulah
Ilmu Thiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) yang amat ampuh, yaitu It-sin-ci
(Satu Jari Sakti).
Begitu
pundaknya tersentuh jari telunjuk kiri gadis itu, seketika itu pula Si Pendek
Gendut merasa betapa tubuhnya lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlepas
lantas tubuhnya terkulai jatuh. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah dia
bergulingan dan tak lama kemudian dapat meloncat bangkit kembali sambil
menyambar pedangnya yang tadi terlepas.
Hal ini
mengejutkan hati Ling Ling, juga mengherankan hati Hay Hay. Jelaslah bahwa Si
Pendek Gendut itu tadi terkena totokan yang lihai dan melihat dia terkulai, hal
itu berarti bahwa totokan itu mengenai sasarannya dengan tepat. Akan tetapi
bagaimana mungkin begitu terkulai jatuh, Si Pendek Gendut itu dapat langsung
meloncat bangun kembali setelah bergulingan?
Baik Hay Hay
mau pun Ling Ling belum mengetahui bahwa Kui-kok-pang adalah sebuah perkumpulan
golongan sesat yang dulu pernah dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi.
Beberapa macam ilmu aneh diturunkan oleh para pimpinan itu, dan Si Pendek
Gendut itu ternyata telah pula mewarisi salah satu di antara ilmu-ilmu aneh,
yaitu yang disebut Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi.
Ilmu ini
adalah semacam ilmu kekebalan terhadap totokan lawan. Biar pun tadinya tubuh
telah terpengaruh totokan lihai, asal tubuh itu bisa rebah di atas tanah, maka
akan timbul kekuatan sehigga dia dapat bergulingan dan pengaruh totokan itu pun
akan membuyar dengan sendirinya!
Kui-kok-pang
didirikan oleh sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Si
Suami berjuluk Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, yaitu kakek dan nenek
dari Lembah Kui-kok. Mereka selalu berpakaian putih dan muka kedua orang suami
isteri ini pun putih seperti muka mayat, dengan mata mencorong. Ilmu kepandaian
suami isteri ini hebat bukan main sehingga nama Kui-kok-pang, perkumpulan yang
mereka dirikan, amat terkenal di dunia persilatan.
Akan tetapi,
di dalam kebesarannya suami isteri ini bernasib sial karena bentrok dengan Raja
dan Ratu Iblis, dua orang tokoh yang menjadi datuk terbesar di dunia hitam
sehingga Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo tewas di tangan Ratu Iblis yang sakti.
Kini yang menjadi Ketua Kui-kok-pang adalah Kim San, seorang murid suami isteri
itu yang paling banyak mewarisi ilmu kepandaian mereka. Kui-kok-pang lalu
bangkit kembali dan kini menyusun kekuatan dengan bekerja sama di bawah
pimpinan Lam-hai Giam-lo.
Seperti para
pembantu lain yang bersekutu di dalam gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo,
para tokoh Kui-kok-pang tak ketinggalan ikut bekerja keras untuk menggembleng
anak buah mereka, dan seperti para pembantu lain, juga berkeliaran mencari
teman baru untuk ditarik menjadi anggota kelompok mereka untuk memperkuat
pasukan yang sedang mereka susun.
Si Gendut Pendek
bersama beberapa orang anak buahnya juga sedang bertugas mencari teman. Pada
saat mereka berkeliaran sampai ke daerah Telaga Cao, dua orang di antara
mereka, yang bertubuh tinggi besar, bertemu dengan Ling Ling di tengah jalan
yang sepi.
Melihat ada
seorang dara muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja
membangkitkan nafsu kedua orang anggota Kui-kok-pang yang sudah biasa melakukan
segala jenis kejahatan itu. Mereka bermaksud menggoda, akan tetapi mereka
kecelik dan akibat dari godaan itu, mereka berdua dihajar oleh Ling Ling
sehingga mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan babak-belur.
Mereka
kemudian mengadu kepada pimpinan mereka, yaitu Si Pendek Gendut. Orang ini
adalah seorang laki-laki yang lemah terhadap wanita cantik. Mendengar bahwa dua
orang anak buahnya baru saja dihajar oleh seorang gadis cantik, hatinya merasa
penasaran dan bersama kedua orang anak buahnya itu, dia pun segera mencari
gadis itu dan akhirnya dapat menemukan Ling Ling yang sedang bercengkerama dengan
Hay Hay.
Demikianlah
sedikit mengenai Kui-kok-pang. Tidak mengherankan jika Si Pendek Gendut itu
mampu membebaskan pengaruh totokan It-sin-ci dari Ling Ling karena kebetulan
dia sudah mewarisi satu di antara ilmu-ilmu yang aneh, yang ditinggalkan
Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, yaitu Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi.
Sekarang Si
Gendut sudah meloncat bangun dan menyerang lagi, diikuti oleh dua orang
pembantunya yang menjadi besar hati ketika melihat betapa suheng mereka tadi
biar pun sempat roboh tapi dapat bangkit kembali dengan cepat, dan agaknya hal
ini mengejutkan gadis itu yang memandang dengan mata terbelalak.
Memang
kebangkitan Si Gendut yang tidak tersangka-sangka itu sudah mengejutkan hati
Ling Ling, akan tetapi tidak membuatnya menjadi gugup. Begitu melihat ketiga
orang itu telah maju menerjangnya lagi, dia cepat menyelinap di antara bayangan
tiga buah senjata tajam itu dengan menggunakan langkah-langkah ajaibnya.
Setelah membiarkan tiga orang lawannya menyerang sampai empat lima jurus dan
melihat kesempatan terbuka, tiba-tiba saja sambil membuat gerakan memutar dalam
langkah-langkahnya dia menyerang secara bertubi-tubi ke arah tiga orang lawan
itu dengan jurus-jurus cepat dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan
Gunung), salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang halus dan hebat.
Terdengar
suara teriakan-teriakan ketika tubuh tiga orang itu berturut-turut roboh dan
dua batang golok terlepas dari pegangan pemiliknya. Tubuh Si Pendek Gendut itu
roboh untuk kedua kalinya. Kembali dia mempergunakan ilmunya Trenggiling Besi,
bergulingan lantas melompat bangun.
Akan tetapi
melihat betapa dua orang pembantunya begitu dapat bangun terus melarikan diri
dengan terpincang-pincang, Si Gendut itu pun agaknya sudah kehabisan nyali dan
dia pun tanpa banyak cakap lagi langsung memutar tubuh lantas melarikan diri
menyusul dua orang anak buahnya!
Hay Hay
tertawa sambil bertepuk tangan memuji. Dia merasa kagum sekali, bukan hanya
karena kelihaian Ling Ling, akan tetapi terutama sekali dia merasa gembira dan
kagum karena jelas nampak olehnya betapa di dalam perkelahian tadi Ling Ling
sudah mengalah dan sama sekali tidak pernah menggunakan tangan besi.
Kalau saja
gadis itu menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan mereka bertiga
sehingga tidak dapat bangun kembali, tewas atau setidaknya terluka parah. Akan
tetapi tidak, gadis itu jelas hanya ingin menundukkan mereka tanpa ingin
melukai. Ini saja telah membuktikan bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang
mempunyai watak halus, penyabar dan sama sekali tidak kejam. Berbeda dengan
banyak pendekar wanita yang ringan tangan dan kadang-kadang terlampau ganas
terhadap penjahat. Gadis ini seorang pemaaf besar!
"Hebat
sekali, Ling-moi! Engkau membuat aku kagum!" kata Hay Hay memuji.
Ling Ling
tersenyum. "Apanya sih yang patut dipuji? Meski pun aku belum pernah
melihat kepandaianmu, tetapi aku berani memastikan bahwa engkau jauh lebih
pandai dari pada aku, Hay-ko."
"Hemm,
dari mana engkau dapat memastikan seperti itu, Adikku yang manis?"
"Dari
sikapmu, Hay-ko, juga ketika engkau menangkap ikan dengan alat pancingmu tadi.
Engkau bersikap sederhana hanya untuk menutupi kelihaianmu, Hay-ko."
Hay Hay
memandang kagum. "Ling-moi, engkau memang seorang gadis yang luar biasa
sekali. Aku masih terheran-heran, dari mana engkau mahir memainkan ilmu langkah
ajaib Jiauw-pouw-poan-soan itu...?"
Kini Ling
Ling memandang penuh selidik. "Nah, tak keliru dugaanku. Baru melihat
engkau sudah dapat mengenal gerakanku. Betapa tajamnya pandang matamu, Hay-ko.
Menurut ayahku, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan maka jarang atau
mungkin tidak ada orang yang mengenalnya, namun begitu melihat gerakanku engkau
segera mengenalnya. Aku mempelajarinya dari ayahku, Hay-ko. Dan bagaimana
engkau dapat mengenal ilmu kami itu?"
Akan tetapi
Hay Hay tidak menjawab, melainkan memandang dengan mata terbelalak, lalu
bertanya lagi, "Apakah nama keluargamu Cia?"
Ling Ling
mengangguk dengan rasa heran. Bagaimana pula pemuda ini tahu atau dapat menduga
tentang nama keluarganya?
"Dan
ayahmu bernama Cia Sun?"
Dara itu
bengong, lalu tersenyum. "Wah, ini namanya sudah keterlaluan, Hay-ko.
Engkau membuat aku semakin bingung, heran dan penasaran sekali. Engkau dapat
mengetahui segalanya mengenai diriku. Apakah engkau menguasai ilmu meramal?
Jangan membikin aku bingung keheranan, Hay-ko. Bagaimana engkau dapat menduga
demikian tepat?"
"Karena
ilmu langkah tadilah, Ling-moi. Ketahuilah bahwa ayahmu yang bernama Cia Sun
itu adalah suheng-ku."
"Ahhh...?
Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang sute
seperti engkau!"
"Memang,
dia sendiri pun tidak tahu bahwa aku adalah sute-nya."
"Tapi...
tapi, guru ayahku ada dua. Yang seorang adalah kakekku sendiri..."
"Aku
tahu, tentu kakekmu, pendekar sakti yang tinggal di Lembah Naga itu, bukan?
Akan tetapi yang kumaksudkan tadi adalah gurunya yang berjuluk See-thian Lama
atau Go-bi San-jin..."
"Jadi...,
kalau begitu engkau adalah murid dari Locianpwe itu? Dari Sukong (kakek Guru)
Go-bi San-jin?"
"Benar,
Ling-moi. Karena itu aku segera mengenal ilmu langkahmu tadi. Ayahmu adalah
murid Suhu Go-bi San-jin juga, oleh karena itu dia adalah suheng-ku."
"Dan
engkau adalah paman guruku! Ahh, Susiok (Paman Guru) harap maafkan aku yang
tadi bersikap kurang hormat karena belum mengenal Susiok," kata Ling Ling
sambil cepat menjura dengan hormat kepada pemuda itu.
"Eiiittt,
jangan begitu, Ling-moi!" kata Hay Hay. Hay Hay cepat membalas
penghormatan gadis itu. "Aku lebih senang jika menjadi kakak dan adik
denganmu, seperti sekarang ini. Sebut saja aku Hay-ko seperti tadi,
Ling-moi."
"Aku
tidak berani, Susiok," kata Ling Ling, sikapnya hormat.
"Aihh,
aku mendadak merasa menjadi tua sekali kalau engkau menyebutku paman guru,
Ling-moi. Padahal, usiaku baru dua puluh satu tahun lebih!"
Gadis itu
menatap wajahnya kemudian berkata, sikapnya sungguh-sungguh namun tetap ramah
dan halus. "Susiok, satu di antara pelajaran yang kuterima dari ayahku
adalah agar aku menghormati orang tua, dan agar aku selalu mengingat akan tata
susila dan sopan santun. Biar pun engkau masih muda dan pantas menjadi kakakku,
tetapi kenyataannya engkau adalah adik seperguruan dari ayah. Oleh karena itu
maka sudah semestinya dan sepatutnya kalau aku menyebut Susiok kepadamu. Dan
harap Susiok jangan menyebut adik kepadaku, karena hal itu tentu akan menjadi
bahan tertawaan orang lain."
Hay Hay
mengerutkan alis. "Aihhh, masa bodoh dengan pandangan dan pendapat orang
lain. Ling-moi, engkau terlalu teguh memegang peraturan!"
Gadis itu
tersenyum, sikapnya tenang dan halus, sedangkan pandangan matanya seperti
menggurui. "Susiok, apa akan jadinya dengan manusia kalau tidak memegang
peraturan? Hidup tak mungkin dapat bebas dari peraturan, Susiok. Tanpa
peraturan, kehidupan akan menjadi bebas dan liar, tanpa batas-batas lagi
sehingga tidak akan ada bedanya dengan kehidupan binatang. Maaf, Susiok, sejak
kecil ayah mengajarkan kepadaku agar mentaati peraturan, karena itulah aku
tidak berani melanggar."
Wajah Hay
Hay berubah agak merah dan mendadak dia pun tertawa. "Baiklah, Ling Ling.
Biarlah aku menyebut namamu begitu saja kalau engkau bertekad menyebut aku
Susiok. Memang pendapatmu tadi ada benarnya. Tanpa peraturan maka hidup akan
menjadi liar dan kacau. Akan tetapi hidup pun akan menjadi kaku kalau terlalu
memegang peraturan. Di dalam segala hal memang dibutuhkan kebijaksanaan, karena
hanya kebijaksanaanlah yang akan bisa membuat kita mempertimbangkan mana yang
benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Baiklah keponakanku yang manis,
sekarang ceritakan kepada Paman Gurumu ini, bagaimana engkau, seorang dara
remaja, dapat tiba di tempat ini melakukan perjalanan seorang diri. Dan
ceritakan pula keadaan Suheng Cia Sun sekeluarganya yang belum pernah kutemui
itu."
Dengan
singkat Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, betapa ayah dan ibunya
tinggal di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, hidup sederhana dan
bertani.
"Aku
meninggalkan rumah dengan perkenan ayah dan ibu, Susiok. Aku ingin meluaskan
pengalaman dan juga ingin berkunjung ke Cin-ling-pai, karena ibuku adalah murid
ketua yang lama dari Cin-ling-pai, ada pun ayahku juga masih keluarga dekat
dengan keluarga Cin-ling-pai."
Karena
urusan di Cin-ling-pai merupakan urusan keluarga, maka Ling Ling tidak bercerita
tentang keributan di Cin-ling-pai karena kemunculan Kui Hong, kemudian Hui
Lian. Kalau dia menyebut nama kedua orang gadis ini tentu Hay Hay akan terkejut
dan girang karena dia sudah mengenal baik kedua orang gadis itu.
"Sesudah
bertemu keluarga Cin-ling-pai, aku lalu melanjutkan perjalananku dan di tengah
perjalanan inilah aku mendengar tentang gerakan persekutuan para tokoh kang-ouw
yang dipimpin oleh datuk-datuk sesat dan kabarnya yang telah diangkat menjadi
bengcu adalah seorang datuk sesat berjuluk Lam-hai Giam-lo. Kabarnya,
persekutuan golongan hitam ini bermaksud hendak mengadakan pemberontakan.
Mendengar berita ini, aku merasa yakin bahwa para pendekar tentu akan
menentangnya, Susiok. Karena itulah aku bermaksud hendak melakukan penyelidikan
di sarang mereka, yaitu di Pegunungan Yunan."
Hay Hay
mengangguk-angguk gembira. "Wah, sungguh kebetulan sekali. Aku pun sedang
menuju ke sana, Ling Ling. Aku pun mendengar akan gerakan itu, bahkan aku
mendengar sendiri langsung dari Menteri Yang Ting Hoo."
Gadis itu
terbelalak. "Kau maksudkan Yang Taijin yang terkenal sebagai seorang
menteri yang tiong-sin (setia) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa di
kota raja terdapat dua orang menteri setia yang bijaksana, yaitu Menteri Yang
Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Cing. Jadi Susiok ini... utusan pribadi Menteri
Yang Ting Hoo? Ah, betapa bangga aku mendengarnya!"
Gadis itu
memandang dengan wajah berseri, bangga bahwa utusan pribadi seorang yang
demikian terkenal bijaksana seperti Menteri Yang ternyata adalah susiok-nya
sendiri!
Hay Hay
tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Memang aku telah bertemu dengan
Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, dan beliau menceritakan semuanya tentang
gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu, juga beliau minta bantuanku agar aku
suka melakukan penyelidikan ke Pegunungan Yunan. Akan tetapi hal itu bukan
berarti bahwa aku menjadi utusan pribadi beliau, Ling Ling. Aku bukan seorang
pejabat pemerintah."
"Ah,
Susiok terlalu merendahkan diri. Bagaimana pun juga Susiok pernah bercakap-cakap
dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, bahkan telah dimintai tolong untuk
membantu pemerintah menentang gerakan itu. Hal ini saja sudah luar biasa sekali
sehingga aku ikut merasa gembira. Susiok, kebetulan sekali kita saling berjumpa
di sini dan kita memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu dengan gembira aku
akan membantu penyelidikanmu, Susiok. Tadinya aku memang meragu dan bingung,
apa yang akan kulakukan. Aku belum mengenal tokoh-tokoh pendekar yang mungkin
banyak terdapat di daerah Yunan, dan aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan."
"Bagus,
kita akan bekerja sama, Ling Ling. Kulihat kepandaianmu telah cukup untuk bisa
kau pergunakan membela diri, akan tetapi hendaknya engkau berhati-hati sebab
menurut keterangan yang sudah kuperoleh, persekutuan itu mempunyai banyak
sekali tokoh sesat yang amat lihai sebagai anggota, maka dapat dipastikan bahwa
kita akan bertemu dengan lawan-lawan tangguh."
"Aku
tidak takut, apa lagi ada Susiok di sampingku!" kata gadis itu gembira.
Hay Hay
tersenyum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis yang begitu bertemu telah
merasa yakin dengan kepandaiannya sehingga sukarlah baginya untuk berpura-pura
lagi. Gadis ini memiliki watak yang amat lembut, sabar pemaaf dan sama sekali
tidak tinggi hati.
"Ling
Ling, bagaimana engkau dapat begitu yakin akan kemampuanku?"
"Mudah
saja, Susiok. Dari caramu menangkap ikan, sikapmu yang ramah serta terbuka.
Kemudian, pada saat aku bertanding melawan tiga orang Kui-kok-pang, Susiok diam
saja tidak membantu, berarti Susiok sudah tahu bahwa aku akan keluar sebagai
pemenang. Semua itu masih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Susiok adalah
sute dari ayah. Bagaimana aku tidak akan merasa yakin bahwa Susiok mempunyai
ilmu kepandaian yang tinggi sekali?"
Hay Hay
tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh aku beruntung sekali. Tanpa bermimpi lebih
dulu, tahu-tahu aku menemukan seorang keponakan yang sudah demikian besar,
merupakan seorang gadis yang cantik manis, lembut dan lihai ilmu silatnya, di
samping cerdik bukan main."
"Wah,
Susiok memang amat pandai memuji orang," kata Ling Ling dan mukanya
berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum. Jelas bahwa dia merasa
senang sekali dan tanpa disadarinya, semenjak pertemuan pertama tadi gadis ini
memang telah tertarik dan jatuh.
"Aku
memang suka memuji kepada apa yang memang patut dipuji, Ling Ling. Marlah kita
melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja orang-orang Kui-kok-pang tadi sudah
jera dan tidak akan datang mengganggumu lagi. Sebaiknya kita masuk ke kota
Wei-ning lebih dulu, untuk makan siang dan membeli makanan kering untuk bekal
di perjalanan."
Ling Ling
setuju dan mereka pun meninggalkan tepi telaga itu, memasuki kota Wei-ning.
Sama sekali Hay Hay tidak menyangka bahwa yang mengintai dan mengancam mereka
bukanlah orang-orang Kui-kok-pang saja, namun segerombolan orang yang bahkan
lebih lihai lagi. Mereka adalah para anak buah Lam-hai Giam-lo yang sudah
bergabung dengan orang-orang Kui-kok-pang yang juga merupakan rekan mereka, dan
di antara mereka itu terdapat orang-orang Pek-lian-kauw, juga Min-san Mo-ko, Ji
Sun Bi, dan Sim Ki Liong!
Min-san
Mo-ko dan Ji Sun Bi merasa jeri sesudah mereka melihat bahwa pemuda yang
mengalahkan orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata adalah Hay Hay yang mereka
tahu sangat lihai itu. Maka mereka cepat mengundang Sim Ki Liong untuk membantu
mereka. Dan kini, pemuda murid Pendekar Sadis itu sudah muncul dan bersama
teman-temannya sudah melakukan pengintaian ketika Hay Hay berjalan memasuki
kota Wei-ning bersama seorang gadis yang telah menghajar para anggota
Kui-kok-pang itu.
Sim Ki Liong
adalah seorang pemuda yang cerdik bukan kepalang. Dari hasil penyelidikan
mata-mata yang disebar oleh Lam-hai Giam-lo, dia tahu bahwa kini di daerah
Wei-ning telah banyak berdatangan orang-orang gagah, pendekar-pendekar yang
sikapnya sangat mencurigakan. Dia sudah menduga bahwa tentang kemunculan para
pendekar ini sedikit banyak ada hubungannya dengan gerakan yang dipimpin
Lam-hai Giam-lo, sungguh pun belum ada pendekar yag secara berterang memusuhi
mereka.
Terutama
sekali di kota Wei-ning, dia melihat banyak sekali berkeliaran orang-orang yang
dari sikap serta pakaian mereka yang aneh-aneh mudah diduga bahwa mereka
bukanlah orang-orang sembarangan. Karena itu dia tidak setuju ketika
teman-temannya bermaksud menyerbu pemuda yang oleh Min-san Mo-ko dikatakan
bernama Hay Hay dan kabarnya amat lihai itu. Apa lagi sesudah melihat betapa
pemuda itu kini bergabung dengan gadis yang menurut laporan para anggota
Kui-kok-pang juga amat lihai.
"Kita
tidak boleh turun tangan secara gegabah," katanya kepada Ji Sun Bi dan
Min-san Mo-ko. "Bukan aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan
kita sekarang, kiranya kita akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi harus
diingat bahwa di kota Wei-ning kini terdapat banyak orang aneh yang mungkin
saja tidak akan membiarkan kita bergerak. Jangan sampai kita membangunkan
macan-macan tidur hanya karena urusan kedua bocah itu. Dan bukankah bengcu kita
sudah berpesan bahwa sebaiknya membujuk orang-orang pandai untuk bergabung
lebih dulu sebelum turun tangan?"
"Lalu
apa yang akan kita lakukan sekarang, Sim-kongcu?"
Sim Ki Liong
memang disebut kongcu (tuan muda) atau juga taihiap (pendekar besar) oleh para
pembantu Lam-hai Giam-lo karena pembawaannya yang halus dan berpakaian rapi
laksana seorang pelajar, juga karena semua orang tahu betapa pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
"Harap
kalian bersembunyi saja sambil bersiap menanti tanda dariku. Aku akan mencoba
untuk menghubungi mereka secara baik-baik. Siapa tahu aku akan berhasil
membujuk mereka, atau setidaknya memancing mereka agar keluar kota. Kalau sudah
berada di luar kota, di tempat sepi, barulah kita boleh turun tangan terhadap
mereka, kalau mereka tidak mau kubujuk untuk bekerja sama."
"Akan
tetapi hati-hatilah, Kongcu. Pemuda yang bernama Hay Hay itu memiliki ilmu
silat yang amat lihai," Ji Sun Bi memesan.
"Juga
hati-hati terhadap ilmu sihirnya. Selain ilmu silat yang lihai, juga kekuatan
sihirnya berbahaya sekali," sambung Min-san Mo-ko dan para pendeta
Pek-lian-kauw yang sudah merasakan kekuatan sihir pemuda itu, mengangguk
membenarkan.
"Jangan
khawatir, aku dapat menjaga diri," kata Ki Liong dengan bangga terhadap
dirinya sendiri.
Mereka lalu
berpencar dan Ki Liong memasuki kota Wei-ning seorang diri, dengan gaya seorang
pelajar tinggi yang sedang melancong. Memang, kalau dilihat dari pakaian, wajah
dan sikapnya, maka takkan ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda ini
adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas
menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang
pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya.
Namun di
balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan
kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi
pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu.
Hay Hay dan
Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari
jauh, malah dari jarak yang lebih jauh lagi, lebih banyak lagi orang yang
membayangi mereka dalam keadaan berpencaran, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan
masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di
Pegunungan Yunan itu.
Hay Hay
mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana
dia pernah makan dan masakan di restoran itu sangat lezat. Mereka masuk dan
ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di
sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong
itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan
air teh.
Ki Liong
yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia sudah melihat
bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua
atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walau pun nampaknya tidak, dia
berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong.
Seorang
pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata, "Maaf,
Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan..."
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment