Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 11
SEPERTI
diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang dianggap sebagai Sin-tong
(Anak Ajaib), calon Dalai Lama, yang kemudian menjadi sebab keributan hingga
keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet. Sejak puteranya dibawa pergi
oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk
diselamatkan serta disembunyikan dari kejaran para pendeta Lama dan para tokoh
sesat dari dunia hitam yang memperebutkan anak itu, maka kehidupan keluarga Pek
menjadi muram dan sunyi.
Akan tetapi
empat tahun kemudian semenjak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee
atau Nyonya Pek Kong kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi
nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu
yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.
Sekarang Pek
Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis
sekali. Dia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak
dan manja sebab semenjak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi
ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena Pek Eng seorang anak
yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, dia telah menjadi
seorang dara yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid
Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.
Pek Eng
seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang
panjang, pinggang yang kecil, namun di dalam usia enam belas tahun bagaikan
setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat
berisi dengan lekuk lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena
dia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang
terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat. Pendeknya dia sudah
biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit.
Karena di
daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi,
maka kehidupan Pek Eng pun sedikit banyak dipengaruhi oleh kebiasaan suku
bangsa Yi. Apa lagi karena kakeknya, sesudah kini mengundurkan diri, tertarik
dengan kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan
kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber
kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu sekarang tekun membaca kitab-kitab
kuno itu dan membiarkan saja cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi.
Pakaian dari
suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang
sejak jaman dahulu terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah perkasa.
Selain terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani, suku bangsa Yi
juga terkenal sebagai orang-orang yang tetap mempertahankan kebudayaan dan
tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan
menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain.
Maka
tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walau pun yang tergolong
kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari
orang-orang yang pernah mereka taklukkan, dari suku-suku lain yang dianggap
lebih rendah martabat dan derajat mereka.
Suku bangsa
Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka
ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias serta menutupi kepala mereka
dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang di bagian ujung
sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.
Pek Eng juga
sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, sungguh pun ada kalanya dia
mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yakni suku
bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng juga pandai
berbahasa Yi. Dia pandai pula menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan
suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang
dari ilmu silat keluarganya.
Keluarga
Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang
keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua
sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai
putera Pek Kong itu, yang memang sejak dahulu dirahasiakan oleh kakek tua itu.
Sebelum
kakek itu wafat, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong,
selalu dijawabnya bahwa anak yang diperebutkan itu berada di dalam tangan yang
dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan
bahwa apa bila anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari
keluarganya di Secuan!
Kini Pek Ki
Bu berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar
dapat bersemedhi dan mempelajari kitab dengan tenteram. Pada suatu sore, ketika
kakek ini datang ke gedung utama menengok keluarga puteranya, Souw Bwee isteri
Pek Kong kembali teringat akan puteranya maka nyonya ini pun menangis dengan sedihnya.
Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.
"Sudahlah,
apa gunanya disusahkan dan ditangisi?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata
untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan
merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi kemudian diatasi dengan usaha
yang didasari akal budi kita, dan tangis tak ada gunanya sama sekali untuk
dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan
menumpulkan akal budi."
Mendengar
ucapan ayah mertuanya itu, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah
tangisnya terhenti dia pun lalu berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan
tetapi saya merasa heran sekali, kenapa mendiang kakek menyembunyikan keadaan
Han Siong dari kita?"
"Tentu
mendiang ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat
bahwa rahasia mengenai keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih
ada banyak ancaman. Lagi pula, bukankah mendiang kakek kalian itu sudah
berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri
keluarganya di sini?"
Pek Kong
mengerutkan alisnya. Dia merasa sangat kasihan kepada isterinya yang sudah
menderita bertahun-tahun, selalu berduka bila mana teringat akan putera mereka.
"Ayah, memang tidak seharusnya kita membenamkan diri di dalam duka dan
tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong telah berusia
lebih dari dua puluh tahun, sudah cukup dewasa. Kenapa dia belum juga pulang?
Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, sebab bagaimana pun juga dia adalah
putera kami satu-satunya, dan dialah satu-satunya penyambung keturunan keluarga
Pek!"
Mendengar
puteranya menyinggung mengenai keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam
dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena
andai kata cucunya itu benar-benar sudah tiada, bukankah hal itu berarti bahwa
keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan
hal yang amat menyedihkan.
Sejak tadi
Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Dia duduk bersimpuh merangkul
ibunyauntuk menghibur saat ibunya menangis, sementara dia mendengarkan
percakapan mereka. Pada saat ayahnya menyinggung tentang keturunan keluarga
Pek, kerut alisnya makin mendalam, sepasang matanya yang agak sipit itu
mengeluarkan sinar penasaran, dan mukanya yang manis itu menjadi merah gelap.
Hatinya tidak pernah dapat menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu
lebih mementingkan anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Keturunan!
Hanya nama keturunan, hanya she. Dia tahu bahwa dia tidak akan melahirkan
keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan
hal ini sangat menyakitkan hatinya! Dia merasa seakan-akan didorong ke samping
sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!
Mendadak dia
melepaskan rangkulan dari pundak ibunya lantas bangkit berdiri. Sikapnya gagah
saat dia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarlah aku berangkat pergi
mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"
Tiga orang
tua itu terkejut, seolah-olah baru teringat akan adanya Pek Eng di sana.
"Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan...!" Seru ibunya.
Seruan
ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora.
"Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tak kalah oleh seorang anak
laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Dari pada
Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"
"Eng-ji,
jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di
mana Han Siong berada, apa lagi engkau. Kemana engkau hendak mencarinya?"
"Ke
mana saja, Ayah. Apa bila Koko memang masih hidup, pasti akan dapat kucari dan
kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa
dan mencari keterangan di sana."
"Jangan,
Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.
"Pek
Eng, apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu kini sedang
berduka akibat memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau
malah hendak pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus
menegur cucunya yang amat disayangnya.
Pek Eng
cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan
setiap kali ditegur, dia merasa kecewa dan marah. "Kongkong, aku hendak
mencari Koko justru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku
ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja.
Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Dengan
uring-uringan Pek Eng lantas keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju
ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan
kesal. Diam-diam dia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang
timbul pada saat itu karena dia merasa iri hati.
Biasanya dia
sendiri merasa sangat rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah
dilihatnya itu. Sudah sering kali ibu dan ayahnya berbicara tentang kakak yang
sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah
kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang dia
sendiri mirip ibunya dan dia merasa bangga karena ibunya amat cantik.
Sesudah tiba
di pintu gerbang, dia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu
gerbang menyapanya. Walau pun sebenarnya seluruh anggota Pek-sim-pang masih
terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid
ayahnya atau kakeknya, tapi mereka menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan
menghormat karena biar pun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri
ketua mereka.
"Pek-siocia,
senja sudah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang
akan ditutup," kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang
gadis itu dengan sinar mata penuh kagum karena siapakah yang tak merasa
tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu?
Biasanya Pek
Eng bersikap manis terhadap semua anggota Pek-sim-pang. Dia memang seorang
gadis yang lincah jenaka dan gembira. Tetapi ketika itu hatinya sedang murung,
maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.
"Aku
mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kau tutup, apa disangka aku tidak dapat
masuk?" Setelah berkata demikian, dia lantas meloncat dan berlari cepat
sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang.
Penjaga-penjaga
itu hanya menggelengkan kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja
mereka akan selalu berjaga di sana, walau pun nanti pintu gerbang telah
ditutup, dan besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang bila mana gadis itu
pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walau pun pintu gerbang ditutup, tanpa
dibuka sekali pun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu
meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.
Dengan hati
masih kesal Pek Eng segera berlari menuju ke kaki bukit di mana dia tahu
merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya.
Dusun suku Yi itu telah nampak dari situ dan dia mempunyai banyak kawan baik di
situ. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi pada waktu
menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan saat terjadi perang,
menceritakan kegagahan nenek moyang mereka.
Akan tetapi,
pada waktu dia sampai di pintu gerbang dusun Yi, dia melihat belasan orang Yi
sedang mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi
tampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, juga terlihat seorang
pemuda Yi yang marah-marah ada pun orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan
memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.
Karena tak
ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang tengah terjadi, Pek Eng lalu
menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga dia memperhatikan pemuda
yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang
kelihatannya marah-marah.
Seorang
pemuda yang bertubuh sedang tetapi tegap, dengan dada bidang. Yang menarik
adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar,
bibirnya tersenyum-senyum, seakan-akan dia sedang menghadapi sekumpulan sahabat
baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya.
Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay!
Seperti yang
kita ketahui, selama satu tahun Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin dan
setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay
Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan.
Sore hari
itu, tibalah dia di sebuah hutan, tidak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari
sudah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh
tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia
mendengar suara wanita menjerit.
Cepat dia
berlari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku
Yi sedang dipegangi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeret
dan menculik gadis itu. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan
memang di dalam perjalanannya dia sudah mendengar bahwa ada permusuhan antara
kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak
menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.
"Lepaskan
gadis itu!" Hay Hay lalu membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat
berbahasa Yi atau pun Miau.
Dua orang
lelaki itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu
adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya lantas menjadi
marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih
memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu.
Si pemegang
parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya,
menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya
memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya
bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun
terpelanting.
Melihat ini,
orang ke dua segera melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Akan tetapi,
dengan kedua kakinya saja, tanpa mempergunakan tangan, Hay Hay menghajar
mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang
meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak. Hay Hay tidak mengejar,
hanya tersenyum kemudian dia menghampiri gadis itu. Maklumlah, mata keranjang
berhidung belang.
Gadis itu
mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis dia menubruk dan merangkul
Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali
karena gadis itu memang amat manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut
itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya
gadis itu berada di dalam pelukannya.
"Nona
manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau
pulang saja," akhirnya Hay Hay berkata sesudah bajunya di bagian dada
menjadi basah oleh air mata gadis Yi itu.
Gadis itu
melepaskan diri lalu bicara dalam bahasa Yi. Akan tetapi karena Hay Hay tidak
mengerti, gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay
mengangguk, kemudian menggandeng tangan dara itu, diajaknya pulang ke dusunnya.
Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biar pun mereka tak dapat saling
bicara, akan tetapi setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay
Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar
dari sinar mata yang bening itu.
Seorang
gadis yang amat manis, pikirnya senang bahwa secara kebetulan dia sudah bisa
menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan
betapa malam ini dirinya akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis
itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia bisa membiarkan tubuhnya
yang terasa penat itu untuk beristirahat!
Karena
berpikir demikian, wajah Hay Hay menjadi cerah, berseri dan mulutnya tersenyum
ketika dia bersama dara itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal
suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang lalu
bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu.
Dara itu
melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, kemudian berlari menghampiri
kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay
Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara
mereka, yaitu seorang pemuda yang bertubuh jangkung, mengeluarkan suara keras
lantas menampar gadis itu.
Gadis itu
menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh sambil menangis. Melihat ini, Hay Hay
terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu
mengurungnya dengan sikap mengancam.
Demikianlah
keadaan di sana ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan
mendengar apa yang sudah terjadi. Dia melihat sikap pemuda Han yang tenang dan
tersenyum-senyum itu. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya
merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, segera
melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.
"Engkau
telah menodai nama baik keluarga Hamani!"
Hay Hay
mengerutkan alisnya. "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemmm, apa
kesalahanku? Dan siapa itu Hamani?"
Tiba-tiba
gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan dia
bicara dalam bahasa Yi sambil menepuk dada sendiri dan berkata,
"Hamani."
Maka
mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu bernama Hamani. Agaknya
dia sedang dimarahi oleh orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya
pula. Maka, dengan sikap melindungi dia merangkul pinggang gadis itu.
"Jangan
takut, Hamani, aku akan melindungimu," bisiknya.
Melihat ini,
orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding. "Orang asing, engkau
telah menggandeng dan merangkul Hamani. Tak seorang pun laki-laki boleh memeluk
seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."
Hay Hay
kaget sekali, maka otomatis rangkulannya pada pinggang ramping itu pun cepat
dilepaskan. "Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman
orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes
keras.
"Apa
lagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh
karena itu engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"
Kalau pada
saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti
ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak lantas dia
mundur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apa-apaan ini? Dia menggelengkan
kepalanya.
"Tidak,
aku tidak mau menikah," katanya.
Pek Eng
mendengarkan semua itu dan hatinya merasa geli. Dia tahu akan peraturan dan
kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apa lagi
dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu saling
mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu tentu akan merasa ternoda dan terhina
kalau si pemuda tidak mau menikah dengan gadis yang sudah 'dinodainya' itu,
dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum.
Mendengar
penolakan Hay Hay, orang itu segera menterjemahkannya ke dalam bahasa Yi
kemudian marahlah orang-orang itu.
"Dia
menghina kita!"
"Dia
hendak mempermainkan gadis kita!"
"Orang
asing ini harus dibunuh sebagai musuh kalau dia tidak mau mengawini
Hamani!" Ucapan yang terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi
menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu.
Mendengar
betapa pemuda yang tadi menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani
sendiri terkejut dan dia pun berlari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Dalam bahasa Yi dia berteriak-teriak. "Engkau telah
menyelamatkan aku, aku pun sudah menyerahkan diri dan engkau menerimaku,
memelukku, menggandengku, memandangdengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum
dan sepakat dalam pandang mata kita, dan sekarang kau... kau menolak untuk
menikah dengan aku? Aihh..., engkau merayuku dan hendak meninggalkanku? Engkau
jahat... jahat sekali...!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya
untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay.
Hay Hay
tidak mengerti tentang semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia
terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang
telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya.
Hay Hay
merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima
penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata
karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti
bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia
pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
"Hajar
dia...!"
Orang-orang
itu segera mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan
yang mulai gelap.
Pek Eng yang
melihat semuanya ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang
perlu dihajar, pikirnya. Tadi pemuda itu tentu telah mempergunakan ketampanan
wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani,
namun dia tak berani bertanggung jawab dan malah menolak ketika disuruh
mengawini gadis itu. Bukan urusannya!
Dia pun
kemudian meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri.
Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Dia merasa
tidak enak sebab pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Jika dia berkunjung,
tentu percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimana pun juga, dia akan
merasa tersinggung.
Hemmm,
pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil
tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah
kembang dusun itu dan dia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.
Betapa pun
juga, sedikit ketegangan karena peristiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak
mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan
begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di sana menunggunya
dan segera membukakan pintu. Hal ini membuat dia semakin tenang dan dia pun
kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur.
***************
Dengan sikap
uring-uringan Hay Hay merebahkan tubuh di antara cabang-cabang pohon yang
tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah
ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman!
Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih dan
di atas tempat tidur beralaskan kasur dan bantal, tetapi ternyata kini dia
rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor
dan basah, dengan perut lapar pula!
Sialan!
Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya
dia memberi air susu dibalas air tuba! Namun gadis itu manis, dan pinggangnya
ramping sekali. Dia lalu membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimana
pun juga dia telah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan
kulitnya, dan berjalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa
yang ingin kawin?
Dengan
keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat juga tidur nyenyak di antara ranting dan
daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama
sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang
tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.
Pada
keesokan harinya Hay Hay baru terbangun setelah mentari menembuskan sinarnya di
antara celah-celah daun dan menimpa mukanya. Sinar keemasan matahari pagi
terlihat indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun.
Hay Hay
bangkit duduk, kemudian berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke
kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di
tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu
yang menarik.
Tak jauh
dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan sehingga jantungnya
berdebartegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan
itu tentu perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan
tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini.
Dia lalu
meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai
bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuju ke
arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tidak
lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan
Pek-sim-pang! Hatinya gembira bukan main ketika dia melihat papan dengan
huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu.
Tidak salah
lagi, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang
merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang bisa menceritakan siapa
dirinya yang sebenarnya dan siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh
ketegangan, juga keharuan.
Pagi itu
suasana di situ masih sunyi. Pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih
nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, tetapi tidak nampak orang
keluar masuk.
Tiba-tiba
saja muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang
gadis yang baru saja berangkat dewasa, berusia antara enam belas atau tujuh
belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah
Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang
itu.
Gadis itu
adalah Pek Eng. Begitu dia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja dia
langsung mengenal pemuda yang tadi malam menjadi orang buruan suku Yi. Kiranya
dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan
wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng
menghardiknya.
"Mau
apa kau cengar-cengir di sini?! Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun
orang-orang Yi agar engkau dihukum!"
Hay Hay
membelalakkan matanya. "Ehhh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling
bertemu? Rasanya belum pernah biar pun aku akan merasa berbahagia sekali jika
dapat bertemu dengan Nona, walau pun hanya dalam mimpi."
Selama
hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang lelaki yang bicara seperti
ini, maka dia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya,
"Kenapa merasa berbahagia kalau bisa bertemu denganku?" Pemuda ini
memang tampan dan mempunyai wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati,
pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.
Kini Hay Hay
juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara,
nampak jelas bahwa gadis ini memang manis bukan main, ketika menggerakkan
mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu
pun begitu penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenakaan.
Seorang dara pilihan di antara seribu!
"Kenapa,
Nona? Siapa yang tidak akan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik
jelita dan manis sepertimu ini?"
Pek Eng
adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi kemarin
sore dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang karena berani
bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu
wanita, dengan kata-kata manis.
"Hemm,
engkau memang seorang mata keranjang dan perayu. Akan tetapi jangan harap
engkau akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi
dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"
Hay Hay
membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. "Hayaaa... agaknya daerah
ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah
menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, jauh-jauh aku datang untuk
bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap
Pek-sim Pangcu (Ketua)."
Pek Eng
mengerutkan alisnya. Orang ini betul-betul tak tahu diri. Mau apa minta bertemu
dengan Ketua Pek-sim-pang? Dia tidak percaya jika ayahnya mengenal seorang
pemuda seperti ini. Tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat lantas dia bertanya
dengan suara agak gemetar.
"Kau...
kau... siapakah namamu...?"
Hay Hay
merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah gadis cantik ini. Kalau tadi
nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa
tidak tega untuk bermain-main lagi, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun
menjawab,
"Namaku
Hay, biasa dipanggil Hay Hay..."
Wajah itu
nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han
Siong...?"
Hay Hay
tersenyum lebar. "Aihh, kalau namaku Han Siong, mengapa aku harus mengaku
Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan
aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang..."
"Apakah
engkau mengenal ayahku?"
Kini Hay Hay
terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"
"Benar,
sekarang jawab, apakah engkau mengenal ayahku?"
Hay Hay
menggelengkan kepala.
"Kalau
begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi yang
datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"
"Tidak,
Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang
teramat penting...," Hay Hay mendesak.
Pada saat
itu tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang sudah keluar
akibat mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda
asing.
"Pek-siocia,
apakah yang terjadi?"
"Siapakah
dia ini?"
Pek Eng
menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin sudah
membuat keributan di perkampungan orang Yi dan sekarang minta bertemu dengan
ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut," kata Pek Eng
dan dia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak
peduli lagi.
"Eh,
sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada
pekerjaan," kata komandan jaga kepada Hay Hay.
"Aku
datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu
dengan Pek-sim Pangcu sebab ada satu hal yang amat penting bagiku untuk
kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu
agar aku dapat diterima menghadap."
Karena tadi
Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggota
Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tak boleh diganggu
dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu
kami," kata komandan jaga.
Hay Hay
mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku
tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti
kepada dirinya sendlri. "Sudah ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan
dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan
tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti
dengan Hek (Hitam) saja!"
"Ee-eeeh-eeehhh!"
Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu.
Bagaikan
seekor burung terbang saja dia melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak
pinggang. Walau pun masih agak sipit, matanya terbelalak mencorong penuh
kemarahan, dan dia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan dua
tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang
bentuknya agak melengkung itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.
"Apa
kamu bilang tadi? Engkau menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa
Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"
Hay Hay juga
sudah marah karena dia tidak dibolehkan menghadap Ketua Pek-sim-pang.
"Sikap kalianlah yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama
perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggotanya juga berhati putih.
Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima
kunjunganku sungguh jauh dari pada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi
anggota Perkumpulan Hati Hitam saja."
"Keparat
bermulut kotor! Kau muncul dan merayu anak gadis orang, kemudian melarikan diri
ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri
jahat, hatimu lebih hitam dari pada arang, masih berani memaki kami?"
"Pukul
saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang sudah marah
sekali karena mendengar perkumpulannya dihina orang.
Para murid
Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini
terdengarlah suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang
sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"
Pek Eng dan
murid-murid Pek-sim-pang terkejut sekali dan cepat menengok. Kiranya di situ
telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai
enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis
merah.
Pek Eng dan
para murid Pek-sim-pang telah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka
yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apa
lagi Pek Eng. Sejak kecil dia mendengar mengenai peristiwa yang menimpa
keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka
namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada
para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika
dia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap
tidak penting.
"Apakah
kalian bertiga adalah pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng
dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat.
Bukan
wataknya demikian. Dia cukup terdidik baik dan biasanya dia bersikap sopan dan
halus terhadap orang-orang tua, apa lagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena
memang dia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini dia
bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta
Lama dari Tibet.
"Omitohud,
tak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami
ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu," kata seorang di
antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.
"Aku
adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan ayahku,
bila mana ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian
datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa
keluarganya bersama para anggota Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena
ulah orang-orang ini.
Tiga orang
pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil
pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Ternyata Nona adalah puteri Pek
Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara
denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang.
Sudah dua puluh tahun kami menunggu dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi
dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"
Hati Pek Eng
yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini tentu saja menjadi
semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju,
membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika dia
membentak,
"Kalian
iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau yang
berkerudung bulu domba! Kalian adalah manusia-manusia terkutuk yang sudah membuat
kakak kandungku sejak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puaskah
kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun sehingga
kini datang lagi. Sungguh manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus
dibasmi!"
Kini sudah ada
dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di sana dan mendengar
kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah
menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.
"Pergilah!"
pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan,
menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering
dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai
bergulingan di atas tanah.
Melihat ini,
delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang
sudah mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng telah mencabut sebatang
pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang
murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut
mengepung.
"Omitohud,
ternyata Pek-sim-pang kini hanyalah menjadi perkumpulan para tukang pukul yang
beraninya hanya main keroyokan saja!" kakek pendeta yang bermuka bopeng
itu kembali berseru mengejek.
Mendengar
ini, Pek Eng lantas membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan
mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!"
Kemarahan Pek Eng telah memuncak sehingga dia tidak ingat akan sopan santun
lagi, kini secara terang-terangan dia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!
Pendeta Lama
termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan
patah-patah dia kemudian berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani
Nona ini, Suheng."
Kiranya
pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus
sekali, bagaikan tulang-tulang dibungkus kulit saja. Wajah pendeta Lama ini
mengerikan sekali, mukanya mirip seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang
cekung itu nampak kehitaman. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya.
Si Muka Bopeng mengangguk lalu mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang
sejak tadi diam saja.
"Huh,
engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak di sini? Lekaslah
menggelinding dari sini!" bentak Pek Eng yang marah.
Gadis ini
sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki
kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah ke pusar lawan, gerakannya
seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek,
yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.
"Hemm,
gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru
perlahan, akan tetapi dengan miringkan tubuhnya dia dapat mengelak dari
sambaran kaki Pek Eng, tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang
itu.
Melihat ini,
Hay Hay mengerutkan alisnya. Biar pun mengenakan pakaian jubah pendeta, akan
tetapi orang ini memiliki hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurang
ajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau
menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!
Akan tetapi
pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang
Pendeta segera menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga
tubuhnya berputar dan sesudah membalik, dia langsung membalas dengan
cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang
amat ganas dan juga berbahaya sekali!
Begitu
melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis
itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk
membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja
dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang memiliki
hubungan dekat sekali dengan dirinya.
Dia masih
ingat betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena
dia disangka Sin-tong. Ternyata sampai sekarang para pendeta Lama di Tibet itu
masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang
menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang sekarang sudah dewasa
itu diserahkan kepada mereka!
Pek Eng
dapat bergerak lincah sekali. Ketika melihat sambaran tangan dengan lengan baju
lebar itu ke arah kepalanya, dia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir
balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang
diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang
meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.
"Trakkk...!"
Pedang pada
tangan Pek Eng terpukul miring sehingga gadis itu harus mempertahankan
pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuatnya
tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk
mencengkeram pundak Pek Eng dari samping.
Tetapi gadis
itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan yang berbahaya itu
dia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan menjauh dan melompat
bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek
Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.
Hay Hay kini
siap siaga. Gadis itu telah nekat dan ini tandanya dia terancam bahaya. Ilmu
silat gadis itu memang cukup baik, apa lagi dia mempunyai ginkang yang lumayan,
yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal
kepandaian silat, jelas dia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering
itu. Apa bila dia tetap nekat menyerang, maka dia dapat celaka.
Terjangan
Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali
dia mengelak dan mengebutkan lengan baju, mencari kesempatan sambil melindungi
diri. Pada saat tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh dara itu
miring, kakinya menendang cepat.
Pek Eng
berusaha menarik kakinya dan cepat miringkan tubuh, tetapi tetap saja pahanya
tersentuh ujung sepatu lawan dan dia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan
menjauhi. Ketika dia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan
kakinya sedikit terpincang. Akan tetapi agaknya dia tidak menjadi kapok bahkan
kini dia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat
lagi. Pada saat itu pula muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.
"Eng-ji,
tahan senjata!" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan
gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking
marah dan penasaran, dia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.
Pek Kong dan
Pek Ki Bu sudah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang
yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi dengan seorang pendeta Lama,
Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu
dengan alis berkerut.
Mereka
berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di
Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek
Eng, walau pun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun
meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.
"Omitohud...
selamat bertemu lagi, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng
sambil menjura kepada Pek Ki Bu yang segera diturut oleh dua orang temannya.
Pek Ki Bu
balas menjura lalu berkata, "Sam-wi keliru, sekarang bukan saya yang
menjadi ketua, melainkan anak saya Pek Kong."
"Aih,
maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan
menjadi Ketua Pek-sim-pang," kata pula pendeta muka bopeng.
Pek Kong
mengerutkan kedua alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu.
"Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlampau muda itu berlancang
tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya
sudah tidak memiliki urusan lagi dengan cu-wi di Tibet, maka, apakah maksud
Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan
merendah, namun mengandung teguran.
Sejak tadi
Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu.
Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.
"Perlukah
Pangcu bertanya lagi? Sudah selama dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini
terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu sudah
menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran agar menjadi
seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."
Pek Kong
mengerutkan alisnya sebab dia mendongkol bukan kepalang. "Pihak para Lama
di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas
menunjukkan kemarahannya. "Semenjak kecil putera kami itu hilang entah ke
mana dan hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan sebagai orang tuanya, kami
merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana.
Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut supaya kami menyerahkan putera
kami itu? Kami sedang berduka, akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan,
sungguh sebuah perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."
"Omitohud,
semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng itu
berseru, lantas dia pun tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja
membohongi orang lain, namun tidak mungkin membohongi Dalai Lama yang arif
bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi. Menurut
ramalan dan penglihatan tajam beliau, sekarang Sin-tong telah menjadi dewasa.
Selama ini anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dia sudah mempelajari
ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau
dia belum pulang ke sini, katakan saja di mana dia dan kami akan segera
menjemputnya, Pangcu."
"Kami tidak
tahu!" Tiba-tiba saja Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara
mengandung isak. "Andai kata kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri
tahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!"
Sakit sekali
rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini. Rasa sakit hati yang selama
ini terus dipendam sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta
Lama itu mendesak.
"Omitohud...,
Toanio, sungguh tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan
akan hidup dalam kesengsaraan...," pendeta muka bopeng menegur.
"Aku
tak peduli!" wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku
sudah hidup sengsara karena dipisahkan dari puteraku oleh kalian
pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku bahkan ingin membunuh kalian!" Berkata
demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya
kaget bukan main, akan tetapi sudah tak keburu mencegah.
"Plakkk!"
Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu
menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.
"Ibuuuu...!"
Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat.
Pipi kanan
ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu
menampar muka dan biar pun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi
wanita itu bengkak dan membiru.
Melihat hal
ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu.
"Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke
depan.
"Tamu-tamu
tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju.
Pek Kong
segera disambut oleh pendeta muka bopeng, ada pun Pek Ki Bu disambut oleh
pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan
terlihai di antara mereka.
Dessss...!" Pukulan tangan Pek Ki
Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, menyebabkan Pek Ki Bu
terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.
"Dukkk!"
Pukulan tangan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini
membuat tubuh Pek Kong terhuyung.
Dalam pertemuan
segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong mau pun Pek Ki Bu
bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi
kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka ada
berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung
dan mengeroyok.
Pada saat
itu pula, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton merasa sudah perlu
untuk turun tangan. Bagaimana pun juga, dirinya terlibat secara langsung di
dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang
pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata,
"Sam-wi
Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, kini
sesudah Sin-tong berada di hadapan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut
dan memberi hormat?" Sambil berkata demikian, dia berdiri tegak dengan
dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.
Semua orang
terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main,
langsung membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda
mata keranjang yang kurang ajar."
Akan tetapi
Pek Kong dan Pek Ki Bu lantas memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong
cepat mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid
Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba
darinya.
Kini semua
orang memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang,
lebih lagi mereka tadi juga mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah
Sin-tong, putera ketua mereka yang kedatangannya selalu ditunggu-tunggu. Juga
ketiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh
perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki.
Sementara
itu, Pek Kong dan isterinya, Souw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay,
mengingat-ingat apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut
tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu
memandang dengan penuh keheranan, sekaligus juga penuh harapan karena dia pun
tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan.
Hanya Pek
Eng yang amat mendongkol. Ingin dara ini memaki pemuda itu karena dialah yang
tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang
pemuda mata keranjang. Tapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak
membantu dan berpihak pada keluarganya, maka dia pun diam saja dan hanya
memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta
Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda
itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tak mau mengaku kepadanya
hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!
Tiga orang
pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang mereka saling pandang dan
di wajah mereka terbayang ketegangan, harapan, akan tetapi juga keraguan.
Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta
Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja?
Mereka
merupakan tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga.
Selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu saja tiga orang Pendeta Lama ini
adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.
"Orang
muda, jangan engkau main-main dengan kami! Jika engkau hendak menipu kami, maka
dosamu sangat besar sehingga kematian pun belum dapat membebaskan engkau dari
pada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.
"Omitohud...!"
Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah suatu
perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya?
Semenjak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah
kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa aku adalah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari
Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu
merupakan dosa yang amat besar pula?"
Ketiga orang
pendeta Lama itu saling pandang dan sekarang sikap mereka menjadi agak berbeda,
pandang mata mereka mulai menghormat biar pun masih terlihat ada keraguan.
Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di hadapan mereka itu mungkin
sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.
"Dia
bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu
saja seruan ini mengejutkan serta mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu.
Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?
"Memang
Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia hanya seorang pemuda mata keranjang
yang tidak tahu malu, berani memalsukan kakakku!" teriak pula Pek Eng yang
mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong.
Padahal
teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena dia tahu bahwa pemuda itu
bukan puteranya. Dia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, sebab
puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau dia tadi
berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya.
Apa bila
benar pemuda ini adalah puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta
Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan dia tidak mau
kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya dia berteriak
menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan
membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, sekarang malah
membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang
dicari-cari.
Pek Kong dan
Pek Ki Bu memandang dengan perasaan bingung, namun begitu bertemu pandang dengan
isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung
kegelisahan dan ketakutan, maka tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi
hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Karena itu dia sendiri
pun merasa bingung dan tidak berkata apa-apa, hanya dapat menunggu untuk
melihat perkembangan selanjutnya.
Sementara
itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak
disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dia berpura-pura menjadi Sin-tong
untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi
mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya!
Apakah
mereka itu tidak tahu bahwa dia memang sengaja hendak membantu mereka? Ataukah
keluarga Pek itu begitu tinggi hati sehingga tidak sudi menerima
pertolongannya, walau pun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya
itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali
kemungkinan untuk menjawab serta mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan
tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia
benar-benar Sin-tong!
"Hemmm,
Sam-wi Losuhu merupakan tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat
dibohongi? Mereka menyangkal diriku, karena tentu saja mereka tidak ingin
melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat
sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan
matanya terbelalak menatap kepada pemuda itu.
Tiga orang
pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu karena mendengar teriakan Nyonya
Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling
pandang dan harapan baru memancar kembali dari wajah mereka ketika mereka
memandang Hay Hay.
Memang tepat
sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu
ibunya bersama adiknya akan berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara
adalah menyangkalnya!
"Omitohud...!"
Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami
bukanlah orang-orang bodoh yang demikian mudah dipermainkan dan ditipu. Orang
muda, kau tanggalkanlah bajumu!"
Keluarga Pek
menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para
pendeta Lama itu memang mempunyai tanda tahi lalat merah di punggungnya
sehingga kalau pemuda ini tidak mempunyai tanda itu, biar mengaku bagaimana pun
juga maka akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini,
juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya
pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment