Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 10
HAY HAY
merasa kasihan, sekaligus penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia
karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"
Mendengar
ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras.
Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati dan
hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya
lagi."
Sentuhan tangan
Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu tiba-tiba menjadi semakin sedih dan
dia pun mendadak mengguguk lantas menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay
Hay.
"Hay
Hay... ah, Hay Hay...!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa
terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut
yang hitam halus dan berbau harum itu.
"Sudahlah,
Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi...," hiburnya.
Sesudah
tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay,
terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauanku, semua
laki-laki selalu menghinaku. Aku dipandang sebagai seorang janda muda yang
boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar, mereka menghina,
akan tetapi engkau... ahhh, Hay Hay, baru sekarang aku berjumpa dengan seorang
laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan terhadap
diriku..."
Hay Hay
tersenyum senang, namun juga merasa terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda
mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan
orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus
rambut itu.
"Karena
engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua pria ingin menggodamu dan memiliki
dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu."
Dengan
lembut Sun Bi mengangkat kepalanya. Sesudah terlepas dari dada Hay Hay dia
memandang. Dua muka itu sangat berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium aroma
bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya napas yang hangat
menyapu leher dan pipinya.
"Dan
engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay
Hay?"
Sejenak
mereka saling berpandangan dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah
berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa
kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia
melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan
berkata lirih.
"Sun
Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala
yang indah. Aku suka kepadamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku akan
kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin
memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang
wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk
apa pun juga merupakan suatu kejahatan."
Sun Bi yang
semenjak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali
menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Dia mengeluh panjang lalu berbisik.
"Ahh, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau amat lembut,
baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"
Hampir saja
Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia terkejut sekali
mendengar pertanyaan itu. Namun dia masih mampu menguasai hatinya dan tersenyum
menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi
cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu,
bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"
"Akan
tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin,
karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan engkau mirip suamiku, bukan
hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhhh... " Dan wanita itu
semakin merapatkan tubuhnya.
Hay Hay
mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya kini mulai berkeringat, bukan
hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar bisa berbicara
dengan baik, agar jantungnya tak berdebar kencang karena kehangatan dan
kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tak
ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan
hiburan ini.
"Hay
Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di
dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan
betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang
Untuk
melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa itu,
lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada
kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan
aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa
keluarga?"
"Janganlah
merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu.
Sementara aku sendiri... ahh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang
telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku,
rindu dengan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay
Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh..."
Suara itu
demikian memelas serta penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa
salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan
memeluk tubuh Sun Bi. Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.
Wanita itu
mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay
Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam di dalam
rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung.
Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu
kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula.
Telinga Sun
Bi menempel pada dada Hay Hay, maka tentu saja wanita itu mendengarnya. Secara
diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu
seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa
kemenangan sudah berada di ambang pintu! Dia harus pandai bersikap untuk
menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan
hasratnya yang timbul.
Bagaimana
lihainya pun, Hay Hay hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal
hubungan dengan wanita, walau pun dia terkenal mata keranjang dan perayu
wanita. Kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia
tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan.
Wanita itu
bukan sembarang orang. Selain cantik manis, dia pun memiliki ilmu silat yang
sangat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam,
terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu birahi yang
berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas.
Entah sudah
berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun
menjadi mayat akibat dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau
berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai dia diberi julukan
Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun).
Namanya
memang Ji Sun Bi dan kini usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya
merawat diri dan bersolek, maka dia selalu nampak jauh lebih muda dari pada
usia yang sebenarnya. Ketika dia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang
ada beberapa hal yang betul. Dia memang seorang janda dan suaminya memang telah
mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya! Juga kedua mertuanya
dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja dia menikah dengan suaminya itu.
Tok-sim
Mo-li Ji Sun Bi adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san)
yang kini usianya sudah enam puluh tahun. Sejak masih kecil Ji Sun Bi yang
telah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko kemudian sesudah menjadi dewasa,
dia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko!
Akan tetapi,
guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi
untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja!
Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka
mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan
orang lain!
Sun Bi tahu
bahwa gurunya mengintai, akan tetapi dia pun malah senang kalau ditonton
gurunya. Sudah demikian bejat akhlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya
tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis
yang sangat ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan
Min-san.
Ketika Sun
Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko sama sekali
tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai wali. Akan tetapi hubungan
di antara mereka masih saja dilanjutkan.
Dan pada
suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan
antara isterinya dengan kakek itu. Suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang
sudah mulai bosan dengan suaminya lantas turun tangan membunuhnya. Ayah beserta
ibu mertuanya juga dibunuhnya, kemudian dia melanjutkan permainan cintanya
dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya
dan kedua mertuanya!
Pada suatu
hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera
dia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang amat
kuat bagi wanita. Maka dia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya
untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga
akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan
tak pernah puas dengan pria itu.
"Betapa
rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang kini telah tiada...,
siang malam aku merindukan pelukannya dan sekarang engkau mau memelukku seperti
yang dilakukan suamiku dahulu... ahh, terima kasih, Hay Hay, terima
kasih..."
Hay Hay
merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia sudah dapat
menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan
dengan wanita, bahkan sudah sering kali dia berdekatan dengan wanita atau
berpacaran, walau pun dia belum pernah melakukan hubungan yang lebih mendalam.
Karena itu, dalam hal merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun
tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya.
Akan tetapi,
seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh
kedua tangan Sun Bi lantas wanita itu mengeluh, "Hay Hay... peluklah aku,
belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku..."
Sun Bi
seperti menuntun Hay Hay yang langsung memenuhi semua permintaannya. Hay Hay
membelai dan menciumnya. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak
canggung menurut ukuran dia yang telah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium
dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap
terlalu berani!
Apa bila
tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu,
akibatnya malah dia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini
dicengkeram birahi sampai ke puncaknya sehingga tubuhnya sudah panas dingin dan
gemetaran ketika dia berbisik,
"Hay
Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita...?"
Menghadapi
permainan asmara yang sangat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapa pun juga
Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita
itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu
terdengar aneh dan menggetar.
Melihat ini,
nafsu birahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda
binal yang lepas kendali, dia menarik tangan Hay Hay supaya rebah di atas
rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan, lantas
bangkit dan melangkah mundur. Dia hanya menggelengkan kepala sambil mengerutkan
alis.
Sun Bi yang
telah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay.
"Hay Hay, mengapa? Marilah... aku... aku cinta kepadamu, Hay Hay, aku membutuhkan
dirimu, aku..."
"Tidak,
Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum
siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya."
"Hay
Hay...!" Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik tangan Hay Hay, akan
tetapi Hay Hay tetap mempertahankan bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas
dari pegangan Sun Bi.
"Hay
Hay, kasihanilah aku... aku kesepian... aku..."
"Tidak,
Sun Bi, engkau sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku
mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau
melakukannya!" katanya tegas.
Dia memang
suka pada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa
bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun dia juga sadar bahwa harus ada
batasnya dan dia tak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan
mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang
wanita, apa lagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya.
Tiba-tiba
saja terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya sedikit pucat
dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya
berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang padanya
dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong sambil melotot. Mulut
yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya,
kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras,
"Hay
Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak mau memenuhi kehendak hatiku, memuaskan
hasrat cintaku?"
Hay Hay
terkejut sekali melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman
membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa
heran, terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita
senekat ini.
"Keparat
jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?" dengan mulutnya yang manis,
hangat dan bergairah, wanita itu kini memaki dengan kata-kata yang penuh
kebencian.
"Sun
Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan? Kita baru saja bertemu, dan kita telah
menjadi teman "
"Cukup!
Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?"
Hay Hay
mengerti apa yang dimaksudkan, karena itu dengan sikap tegas dia menggeleng
kepala.
"Mampuslah!"
Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan pukulan tangan miring ke arah
lehernya. Pukulan maut!
Wanita ini
jelas bermaksud hendak membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan
hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walau pun serangan
itu sendiri tidak mengejutkannya karena sejak tadi dia memang sudah bersikap
waspada. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan pukulan itu lewat
tanpa membalas.
Kini Jin Sun
Bi yang merasa terkejut sendiri. Dia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan
sekali pukulan saja, laki-laki yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh
dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan
kecepatan kilat.
Akan tetapi
siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan
menghindarkan diri dari pukulan pertamanya. Dia masih merasa penasaran dan
mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja.
"Heiiittt...!"
Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini kedua tangannya mencengkeram dari
kanan kiri, disusul tendangan kakinya.
"Wuuuttt...!
Dukkk!"
Tubuh Ji Sun
Bi hampir terpelanting pada waktu tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua
cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu
ternyata tidaklah selemah yang disangkanya.
"Keparat,
ternyata engkau dapat bersilat? Nah, sekarang kau sambutlah ini!" Dan kini
Ji Sun Bi menyerang bagai datangnya gelombang lautan yang ganas sekali,
menghujankan serangan bertubi-tubi secara gencar dan setiap pukulannya
mengandung tenaga sinkang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh!
Hay Hay
maklum bahwa kini dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimana pun juga, wanita
ini ternyata mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada yang
diduganya semula. Hal ini bisa diukurnya dari pertemuan tangan pada saat dia
menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya.
Maka dia pun
tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Jika
hal ini terus dilakukan, maka dia akan terancam bahaya. Apa lagi karena dia
maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang
pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua.
Menurut gurunya, dia harus amat berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik
yang berwatak cabul sebab di samping lihai mereka itu juga licik dan pandai
merayu.
"Hati-hati,"
demikian antara lain gurunya berpesan, "engkau memiliki kelemahan terhadap
kaum wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sulit dielakkan
dari pada serangan yang bagaimana pun dahsyatnya."
Kini baru
dia mengalaminya sendiri. Memang Sun Bi wanita hebat. Tadi hampir saja dia
jatuh. Kepandaian wanita itu bercumbu rayu membuat dia hampir taluk. Untung dia
masih dapat bertahan dan menghindar pada saat terakhir.
Dari
pengalaman yang pertama ini Hay Hay memperoleh pelajaran yang baik sekali,
yaitu bahwa yang berat bukanlah mengelakkan diri dari cumbu rayu wanita cantik,
akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri! Di dalam hal ini dia berhasil, karena
sejak kecil dia sudah digembleng oleh dua orang sakti sehingga dia memiliki
kekuatan batin yang cukup untuk menguasai nafsunya sendiri.
"Ahh,
kiranya engkau seorang wanita yang kejam sekali, Ji Sun Bi!" kata Hay Hay
sambil menangkis sebuah pukulan, lalu membalas dengan tamparan ke arah pundak
wanita itu.
"Aihhhhh..!"
Sun Bi cepat melempar tubuh ke belakang karena pundaknya nyaris terkena
tamparan yang datangnya demikian cepat, tidak terduga, juga kuat bukan main.
Sun Bi
menjadi semakin terkejut dan penasaran. Ternyata pemuda ini bukan hanya dapat
bersilat, bahkan memiliki kepandaian yang sangat tinggi! Gairah cintanya
bangkit kembali, akan tetapi segera hatinya kecewa teringat betapa pemuda yang
tampan, menarik hati ini menolaknya mentah-mentah.
Ahh, betapa
senangnya jika dia dapat memiliki seorang kekasih seperti ini, selain tampan
dan romantis, juga dapat menjadi kawan yang sangat kuat dalam menghadapi musuh.
Dia merasa kecewa sekali dan kekecewaan ini akhirnya menimbulkan kebencian.
"Jahanam
keparat, engkau harus mampus di tanganku!" bentaknya.
Begitu kedua
tangannya bergerak menyambar buntalannya yang panjang, wanita ini telah
mencabut keluar sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kini dia
menerjang dengan sepasang pedangnya, gerakannya begitu cepat dan kuat sehingga
yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang yang mengeluarkan suara
berdesing-desing!
Diam-diam
Hay Hay terkejut dan kagum. Wanita ini benar-benar lihai sekali, sungguh pun
belum tentu selihai Bi Lian, akan tetapi juga amat berbahaya dan sudah mencapai
tingkat yang tinggi. Dia masih bersikap tenang dan menghadapi serangan sepasang
pedang itu dengan tangan kosong saja.
Dengan
Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang dulu dipelajarinya dari
See-thian Lama, tubuhnya dapat berputar-putaran secara tenang dan aneh sekali,
semua sambaran pedang-pedang di kedua tangan lawan itu tak pernah dapat
menyentuhnya. Memang ilmu ini amat hebat, merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu
yang aneh dan tinggi dari See-thian Lama, seorang di antara Delapan Dewa itu.
Dari dalam
lingkaran yang dibentuk oleh gerakan kedua kakinya yang melakukan
langkah-langkah berputaran, dia bahkan bisa membalas dengan serangan-serangan
pembalasan. Setiap kali tangannya mencuat keluar dari lingkaran kemudian
mengirim tamparan, tentu lawannya berteriak kaget dan terpaksa menyelamatkan
diri dengan pelemparan tubuh ke belakang.
Pada saat
itu pula tiba-tiba terdengar bentakan orang, suaranya tinggi kecil melengking,
menyakitkan anak telinga, "Heiii, siapa berani kurang ajar terhadap
muridku?"
Hay Hay
cepat melangkah ke belakang lantas memandang. Kiranya yang muncul adalah
seorang lelaki yang berusia kurang lebih enam puluh tahun. Orang ini bertubuh
kurus dan bermuka pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi pakaiannya
mewah dan pesolek, sedangkan sebatang pedang tergantung pada punggungnya. Kakek
ini demikian pesolek sehingga menggelikan karena dia memakai penghitam alis dan
pemerah bibir!
Sementara
itu, begitu melihat munculnya kakek ini, Ji Sun Bi cepat berkata dengan sikap
dan suara yang manja sekali, "Suhu... ahhh, suhu, bantulah aku menghukum
laki-laki ini. Dia telah berani menolak untuk melayaniku bermain cinta!"
"Apa...?!
Wah, itu penghinaan namanya. Kecuali aku, tidak ada laki-laki di dunia ini yang
cukup berharga untuk bercinta dengan Sun Bi, dan dia berani menolakmu? Wah,
untuk itu dia harus mampus!" Kakek itu segera mencabut pedangnya kemudian
bersama Ji Sun Bi, dia kini menerjang dan mengeroyok Hay Hay.
Pemuda ini
terkejut melihat kehebatan serta kekuatan di dalam serangan kakek itu, maka dia
cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan mereka. Dia merasa tak
perlu lagi bicara dengan kakek itu. Dari percakapan mereka saja dia sudah tahu
bahwa guru dan murid itu adalah manusia-manusia iblis, orang-orang sesat yang
kemungkinan besar merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang tidak dikenalnya.
Percuma saja bicara dengan orang-orang seperti mereka, pikirnya.
Maka sambil
meloncat tadi dia melihat-lihat untuk mencari buntalan pakaiannya. Buntalan itu
masih berada di tempat tadi, di dekat bekas api unggun di tepi sungai. Maka dia
cepat melompat ke sana, lalu menyambar buntalan pakaiannya dan mencabut keluar
sebatang suling terbuat dari kayu hitam.
Suling itu
seperti suling milik Ciu-sian Sin-kai, terbuat dari sejenis kayu pohon yang
hanya tumbuh di Pulau Hiu, kayunya ulet sekali dan suling kayu sepanjang tiga
kaki itu selain dapat ditiup seperti suling biasa, juga merupakan senjata yang
ampuh, senjata khas dari Ciu-sian Sin-kai!
Dengan
suling kayu hitam di tangan dan buntalan diikat di punggung, Hay Hay sekarang
menghadapi dua orang pengeroyoknya. Guru dan murid itu kini mengepung dari
kanan kiri dan begitu kakek itu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan
jantung, dia dan muridnya sudah menerjang dari kanan kiri dengan cepat dan
kuat, dengan serangan maut karena memang mereka menyerang untuk membunuh.
"Cringgg..!
Tranggg...!" Bunga api berpijar di kanan kiri Hay Hay.
Kakek itu
berseru kaget dan pedangnya terpental, ada pun Sun Bi terhuyung-huyung oleh
tangkisan itu. Guru dan murid itu semakin terkejut. Kiranya pemuda itu
benar-benar hebat, pikir mereka dengan penasaran dan kini mereka menyerang
dengan lebih hebat pula.
Akan tetapi
Hay Hay sudah siap siaga. Dengan langkah-langkah Jiauw-pouw Poan-soan yang
dipelajarinya dari See-thian Lama dia bisa menghindarkan diri dari kepungan
lawan, sementara suling hitamnya menciptakan gulungan sinar hitam yang
mengeluarkan bunyi berdengung-dengung, dengan gerakan aneh namun mantap dan
kuat sekali.
Biar pun
guru dan murid itu memiliki ilmu pedang yang ganas, liar dan lihai, akan tetapi
sebagai murid dari dua orang kakek sakti yang merupakan dua orang di antara
Delapan Dewa, tingkat ilmu kepandaian Hay Hay lebih tinggi sehingga sesudah
mereka berkelahi selama lima puluh jurus lebih, guru dan murid itu mulai
mendesak.
"Haiiiittttt...!"
Sun Bi menubruk dengan nekat, menggunakan pedangnya untuk membacok kepala Hay
Hay, ada pun tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, tubuhnya meloncat
seperti seekor harimau menubruk.
Hay Hay
mulai merasa muak dengan kekejaman guru dan murid itu. Dia lalu menangkis
pedang, mengelak dari cengkeraman tangan kiri wanita itu dan kakinya menendang.
"Desss...!"
Tubuh Sun Bi
terlempar sampai tiga meter dan terbanting ke atas tanah. Untung baginya bahwa
Hay Hay tidak berniat membunuhnya sehingga tendangan itu mengandung tenaga yang
terbatas saja.
Melihat
muridnya roboh, kakek itu tidak jadi menyerang Hay Hay melainkan cepat-cepat
menghampiri muridnya yang merintih kesakitan. Dengan sikap sangat menyayang,
kakek itu bertanya. "Di mana yang sakit, Sun Bi? Apanya yang sakit?"
"Aduhh,
Suhu... lengan kiriku... terbanting, nyeri sekali...," kata wanita itu
sambil merintih-rintih.
Kakek itu
cepat mengurut lengan kiri, menyingsingkan lengan bajunya. Setelah mengurut
lengan itu, dia lalu menundukkan mukanya dan menciumi lengan yang nampak
membiru itu. "Sudah, nanti sebentar tentu sembuh."
Hay Hay
berdiri bengong. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia bisa menyerang dan
merobohkan mereka. Akan tetapi dia terlampau heran melihat apa yang terjadi
antara guru dan murid itu. Sudah gilakah kakek itu? Murid itu demikian manja
kekanak-kanakan, dan gurunya juga begitu menyayang, menciumi lengan yang
terbanting, sikapnya seperti seorang yang mencumbu pacarnya saja!
Dia
menggeleng-gelengkan kepala, menyelipkan suling di buntalan pakaiannya,
kemudian menggerakkan kedua pundak dan memutar tubuh untuk meninggalkan guru
dan murid itu. Muak dia melihat tingkah mereka.
"Heiii!
Berhenti dulu kau, keparat!"
Bentakan
dengan suara melengking tinggi ini membuat Hay Hay menahan kakinya, lantas
dengan alis berkerut dan hati marah dia membalikkan tubuh menghadapi kakek yang
tadi membentaknya itu.
Kakek itu
masih berjongkok dekat muridnya, akan tetapi kini sudah menghadapi Hay Hay.
Sepasang matanya mencorong dan kedua tangannya menepuk-nepuk tanah secara aneh
sekali, kemudian kedua tangan itu diangkat dengan telapak tangan menghadap ke
arah Hay Hay dan terdengarlah suara kecil melengking aneh.
"Majulah
engkau ke sini!"
Tentu saja
Hay Hay tidak sudi mentaati perintah itu, akan tetapi tiba-tiba saja sepasang
kakinya sudah melangkah ke depan! Tidak dapat ditahannya lagi, seolah-olah
kedua kaki itu kini sudah bukan miliknya lagi, tidak menurut lagi terhadap
kehendak dan perintahnya. Terkejutlah dia dan maklumlah Hay Hay bahwa ini
tentulah kekuatan sihir yang aneh! Dia mengerahkan kekuatan batinnya dan
tiba-tiba ke dua kakinya berhenti melangkah.
Akan tetapi
kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya secara aneh, sepasang matanya
makin tajam mencorong seperti mata kucing, ada pun suaranya semakin tinggi
melengking, "Berlututlah engkau!"
Kembali Hay
Hay ingin menolak, akan tetapi tiba-tiba kedua kakinya telah bertekuk lutut!
"Jangan
mencoba bergerak, engkau tidak akan mampu bergerak dan tidak akan bergerak
sebelum kuperintahkan!"
Hay Hay
membantah di dalam hatinya, memaksa diri untuk meronta dan bangkit berdiri,
akan tetapi seluruh tubuhnya sudah mogok! Dia tetap dalam keadaan berlutut dan
tidak mampu bergerak laksana sebuah arca dan matanya seperti melekat pada
sepasang mata yang mencorong kehijauan itu!
Melihat ini,
tiba-tiba Sun Bi bangkit berdiri. "Suhu... Suhu... jangan bunuh dia dulu.
Biarlah dia melayani aku dahulu, baru dibunuh. Suhu suruh dia melayani
aku!" Berkata demikian, wanita itu mulai meraba-raba kancing bajunya!
"Heh-heh-heh,
bagus sekali!" Kakek itu tertawa, kemudian terdengar lagi suaranya yang
melengking tinggi penuh wibawa. "Orang muda, engkau harus melayani Ji Sun
Bi. Hayo kau buka bajumu!"
Hay Hay
masih berada dalam keadaan sadar dan dia terbelalak. Mau apa perempuan itu? Mau
memperkosanya di hadapan gurunya sendiri? Gilakah perempuan itu? Gilakah kakek
itu? Ataukah dia yang sudah gila?
Pikirannya
menjadi semakin kacau pada saat dia melihat betapa kedua tangannya sendiri
mulai melepas kancing bajunya, seperti yang dilakukan oleh Sun Bi yang kini
tersenyum-senyum menyeramkan baginya! Dia berusaha melawan, namun semakin
dilawan, kedua tangannya bekerja semakin cepat seperti terdorong oleh tenaga
yang tidak nampak atau seolah-olah kedua tangannya telah menjadi tangan-tangan
orang lain yang membukakan kancing bajunya!
Pada waktu
Hay Hay berperang dengan tenaga aneh yang hendak menelanjanginya itu, tiba-tiba
ada angin lembut bertiup dan terdengarlah suara yang halus lunak dibawa angin
yang bersilir lembut. "Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li, kejahatan tidak
akan membawa kalian ke alam kebahagiaan...!"
Ketika
terdengar suara itu dan merasakan angin semilir meniup mukanya, mendadak Hay
Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut kepada
perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak
dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia pun langsung bergidik.
Baju atasnya
telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya.
Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan
kembali bajunya lantas meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek
berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ.
"Keparat"'
Min-san Mo-ko membentak marah dengan sepasang mata melotot. "Berani kau
mencampuri urusanku? Aku akan membunuhmu!" Berkata demikian, Min-san Mo-ko
lalu mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang
hebat, dan betapa pun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja
seakan-akan tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak mampu mendekati kakek
yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu.
"Setan,
lihat kekuatanku"' Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di
atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik.
Hay Hay
hanya menonton saja karena merasa tidak sanggup menghadapi ilmu-ilmu sihir yang
aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras
sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian
kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru.
Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan
lembut seperti tadi,
"Min-san
Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain."
Sungguh aneh
sekali, angin itu sekarang berputaran di sekeliling kakek berambut putih itu
dan sesudah berputaran beberapa kali, angin itu membalik lalu menerjang Min-san
Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda.
Hay Hay
melihat betapa tubuh Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji
Sun Bi berlindung di balik batu besar dan tengah mengenakan kembali pakaiannya
sebab perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali.
Min-san
Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit
lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak
tangan itu kini mencuat sinar kemerahan, seperti api yang menyambar
perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih.
"Siancai-siancai-siancai...!"
Kakek itu berkata halus.
Dia pun
menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua
telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke
depan, lantas menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san
Mo-ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka lantas bertaut, akan
tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari
Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang.
Akan tetapi
Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat, kemudian dengan
sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih
dari belakang, sudah siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut
putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak.
"Manusia
curang!" Dan kakinya sudah menendang.
"Desss...!"
Tubuh Ji Sun
Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay tetap
membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting dengan keras saja dan
tidak sampai menderita luka parah.
Sementara
itu sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko, sedang sinar
terang pun kembali ke tangan kakek berambut putih.
"Pergilah
kalian!" kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya
melambai seperti menyuruh mereka pergi. Guru bersama muridnya itu seperti
mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan
diri dari tempat itu!
Sesudah
kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu
mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas
rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di
dekat kakek itu.
"Locianpwe
kenapakah ?" tanyanya khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat
sekali.
Kakek itu
membuka matanya, memandang kepada Hay Hay lantas tersenyum, mukanya ramah dan
nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya. "Orang
muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang
pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas
di ujung pedang wanita itu."
"Akan
tetapi... Locianpwe sudah menyelamatkan saya dari... dari..." Tiba-tiba
wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat
memalukan tadi.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Aku tahu, hampir saja engkau mengalami penghinaan,
kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan
mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan
lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Apa
bila mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai
ilmu silat dan... ahhhhhh!" Kakek itu memejamkan kedua matanya sambil
menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat.
"Locianpwe...
apakah Locianpwe terluka...?" Hay Hay bertanya khawatir, sebab dia masih
belum dapat menerima bahwa kakek yang sudah menyelamatkannya ini seorang
pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja.
Kakek itu
mengangguk. "Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena
pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga hingga
membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Ahhh, orang muda, bila tidak
mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku terpaksa
harus meninggalkan dunia yang keruh ini..."
Tentu saja
Hay Hay menjadi prihatin bukan main. Bagaimana pun juga, kakek ini adalah
penolongnya! "Locianpwe, apakah obat itu? Di manakah mencarinya? Biarlah
saya yang akan mencarikan untukmu."
Sepasang
mata yang sayu itu sekarang menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas
nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay.
"Benarkah
engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?"
"Harap
Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apalah artinya saya mempelajari
ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya? Apa lagi
Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan
obat itu dan apakah macamnya obat itu."
"Ahhh,
kalau saja kekuatan sihirku ini dapat menundukkan harimau seperti menundukkan
manusia, tentu sudah lama aku mampu mencari sendiri obat itu. Obat yang akan
dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di hutan yang
kelihatan dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan."
"Otak
seekor harimau hitam? Di hutan itu? Baiklah, harap Locianpwe menunggu sebentar
di sini, saya akan mencarikannya!" Sesudah berkata demikian, Hay Hay
segera meloncat dan berlari cepat.
Kakek itu
tertegun melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap
dari hadapannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan mempunyai ilmu silat
tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga hampir saja
menjadi korban kekuatan sihir Min-san Mo-ko!
Kakek ini
pun mengangguk-angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau
pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit
yang dideritanya selama ini.
***************
Dengan ilmu
berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang
agak gelap karena di situ ditumbuhi pohon-pohon besar sekali yang usianya sudah
ratusan tahun serta amat lebat dan liar. Dia langsung mencari binatang yang
dikehendaki kakek itu hingga akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua
ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar.
Harimau-harimau
itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata
kehijauan yang bersinar-sinar. Selama ini Hay Hay belum pernah berkelahi dengan
harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua
ekor binatang buas itu.
Dua ekor
harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka lalu
bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan
suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak
membuat gerakan menyerang.
Hay Hay
menenangkan hatinya lalu dia pun mendekat, sikapnya amat hati-hati dan penuh
kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan
betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya
berbareng.
Dia belum
tahu sampai di mana kekuatan mau pun kecepatan dua ekor harimau itu, tetapi
maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun selalu waspada dan
sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus bisa membunuh keduanya,
karena tentu saja amat berbahaya jika melarikan diri dari seekor harimau.
Maka dia pun
berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya
mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay
segera mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup
cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur
kekuatannya sambil mencari kesempatan baik.
"Hemmmmm...!"
Hay Hay menggereng dan sekarang dua ekor harimau itu memutar tubuh
menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai untuk
memperlihatkan gigi mereka.
Melihat
betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang
dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka segera
mundur sedangkan kalau dia mundur mereka segera maju, Hay Hay lantas
menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk
mengusik mereka.
Pancingannya
berhasil. Dua ekor harimau itu terlihat marah, lalu merendahkan tubuhnya sambil
mencengkeram tanah dan tiba-tiba saja salah seekor di antara mereka mendahului
penyerangan, menubruk dengan satu loncatan yang amat kuat dan cepat.
Melihat
tubrukan yang begitu kuat dan cepatnya, Hay Hay yang sudah siap siaga segera
menghindarkan diri dengan melompat ke kiri, namun tidak lupa untuk menyambut
dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di
sampingnya.
"Bukkk!"
Tendangan
itu cukup keras hingga membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting.
Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah
menerjang dengan dahsyat, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang
dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki
belakang.
Akan tetapi
Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu
harimau jantan sebagai penyerang pertama sudah melompat dan menubruknya lagi
dari belakang!
Hay Hay
maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari
kaki yang amat kokoh kuat itu tak mungkin dihadapi dengan kekebalan sinkang.
Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih
mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya untuk menangkis.
"Dukkk!"
Kembali
tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat
dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau
itu.
"Desss...!"
Harimau itu
terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau
betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, dia pun segera
menubruk dari samping.
Pada waktu
itu Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang
baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut
tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menyambar dari samping ke arah
leher harimau, lalu disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke
arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.
"Dukkkk...!"
Harimau itu terbanting dan berkelojotan.
Tiba-tiba
saja dua buah cakar harimau sudah menubruk dan mencengkeram pundaknya dari
belakang! Hay Hay terkejut sekali, tidak menyangka bahwa harimau jantan tadi
sudah dapat menyerangnya demikian cepat. Dia merasa kedua pundaknya nyeri, juga
ada bau amis dan apek mendekati tengkuknya. Maklum bahwa kalau harimau itu
sudah menggigit tengkuknya maka dia akan celaka, cepat dia menggerakkan suling
kayu hitamnya ke arah belakang tubuh sambil membalik.
"Capppp...!"
Suling kayu hitam itu menusuk dada harimau dan menembus jantung.
Untung Hay
Hay sudah cepat menggunakan tangan kirinya menyiku ke belakang sebagai susulan
tusukannya sehingga cengkeraman pada pundaknya terlepas. Kalau tidak maka
tubuhnya bisa tercabik-cabik oleh kuku-kuku harimau yang kini berkelojotan
dalam sekarat itu.
Hay Hay
tidak mau membuang waktu lagi. Ditangkapnya ekor harimau jantan yang masih
berkelojotan itu dan diseretnya keluar dari hutan sambil berlari cepat. Setelah
harimau itu tidak bergerak lagi, cepat dipanggulnya tubuh binatang itu lantas
dilarikannya ke tempat di mana kakek tua renta itu menantinya, yaitu di tepi
sungai. Dia tidak peduli betapa bajunya menjadi kotor berlepotan darah dan dia
merasa betapa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu masih hangat.
Hampir kakek
itu tak dapat percaya ketika melihat pemuda perkasa itu dalam waktu yang sangat
singkat sudah datang kembali sambil memanggul bangkai binatang buas itu. Akan
tetapi dia menyambutnya dengan girang bukan main.
"Luar
biasa... sungguh luar biasa...!" Dia memuji kagum. "Orang muda
perkasa, jangan kepalang menolongku. Belahlah kepala harimau itu dengan
hati-hati, keluarkan segumpal otaknya lantas masaklah dengan obat ini, dengan
air tiga mangkok sampai mendidih dan airnya menguap tinggal sedikit."
Kakek itu
mengeluarkan sebuah bungkusan kertas lantas menyerahkan kepada Hay Hay. Hay Hay
menerimanya. Untung bahwa perabot masak yang dibawanya tidak rusak ketika tadi
terjadi perkelahian.
Dengan
sebilah pisau Hay Hay membuka kepala harimau itu, mengeluarkan otaknya yang
masih mengandung darah, memasukkannya ke dalam panci bersama obat yang ternyata
berupa akar-akar dan daun-daun kering itu, mengisi panci dengan air lalu
memasaknya di atas api unggun yang dibuatnya. Kakek itu sendiri masih duduk
bersila dan memejamkan mata, seperti orang bersemedhi.
Sambil
menanti dan menjaga obat yang dimasaknya itu, Hay Hay lalu memotong daging
harimau, memilih bagian yang gemuk, mengumpulkannya, mencuci dan menggaraminya,
memberi bumbu dan menusuk daging-daging itu dengan potongan-potongan bambu,
lalu memanggangnya. Bau sedap membuat kakek itu membuka kedua matanya, menoleh
dan dia tersenyum.
"Daging
harimau hitam itu panas, akan tetapi justru amat baik untuk memulihkan
tenaga."
Tak lama
kemudian obat itu pun masak sudah, airnya tinggal sedikit dan otak harimau itu
tampak merah kecoklatan bercampur dengan sari obat rempah-rempah tadi. Setelah
agak dingin, kakek itu langsung mengganyangnya sampai habis! Dan mukanya nampak
merah, matanya berseri.
"Orang
muda, engkau sudah menolongku. Obat ini melenyapkan penyakitku dan mungkin akan
menambah usiaku beberapa tahun lagi. Aku ingin mengisi sisa hidupku yang tidak
lama ini untuk membalas budimu..."
"Ahh,
Locianpwe, harap jangan bicara tentang budi. Locianpwe tadi menyelamatkan saya
dari ancaman maut yang lebih mengerikan, kalau sekarang saya mencarikan obat
untuk Locianpwe, apalah artinya itu? Harap dianggap saja bahwa kita berdua
sama-sama telah melaksanakan kewajiban sebagai orang-orang yang tahu bahwa
selagi hidup harus saling bantu. Bukankah begitu, Locianpwe?"
Kakek itu
tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Engkau gagah perkasa dan bijaksana,
anak baik. Sebab itu timbul keinginanku untuk mewariskan kepandaianku kepadamu.
Biar pun engkau ahli silat yang pandai, ternyata tadi menghadapi serangan sihir
dari Min-san Mo-ko saja, engkau hampir celaka. Maukah engkau belajar ilmu sihir
dariku?"
Tentu saja
Hay Hay merasa girang bukan main! Memang harus diakuinya bahwa ketika dia
berhadapan dengan Min-san Mo-ko tadi, hampir dia celaka akibat serangan ilmu
hitam dari kakek kurus pucat itu. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek tua renta itu.
"Kalau
Suhu ingin mengajarkan ilmu kepada teecu, tentu saja teecu menerimanya dengan
rasa sukur dan terima kasih."
"Bangkitlah,
anak baik. Lihat, daging yang kau panggang bisa hangus," kata kakek itu.
Hay Hay
bangkit lantas kembali ke api unggun karena dia sedang memanggang daging
harimau tadi. Sesudah daging itu matang, mereka lalu duduk berhadapan di atas
rumput sambil makan daging yang masih panas itu, gurih dan manis rasanya, juga
lunak. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
"Siapakah
namamu?"
"Nama
teecu Hay dan biasa disebut Hay Hay. Teecu tidak tahu siapakah nama keturunan
teecu karena sejak kecil sudah terpisah dari orang tua kandung. Teecu kini
sedang dalam perjalanan mencari tahu mengenai orang tua teecu. Teecu hidup
sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap," Hay Hay
langsung saja memberi keterangan yang sejelasnya sebelum kakek itu bertanya.
Kakek itu
memandang tajam dan mengerutkan alisnya, di dalam hatinya merasa kasihan.
"Dan dari siapakah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi itu sehingga
engkau menjadi seorang pemuda yang amat lihai?"
Kakek yang
duduk di hadapannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, maka Hay Hay tidak
mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik
oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-sian Sin-kai..."
"Ya
Tuhan...!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak
percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian
Sin-kai...? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa...?
Hay Hay
mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih
hidup."
"Hebat...
hebat...! Berbahagialah engkau yang dapat menjadi murid mereka dan aku juga
bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan
Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang..."
"Suhu,
bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"
Kakek itu
lantas menghela napas panjang. "Aku sendiri sudah lupa siapa namaku,
karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia
lain sehingga namaku sudah tidak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi
untukmu, tentu saja aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau
San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"
Hay Hay
tidak mendesak lagi dan mulai hari itu dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi
ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam goa-goa yang paling sunyi untuk belajar
ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan semedhi di tempat yang amat hening.
Dengan tekunnya
kakek itu melatih muridnya, dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai
dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum mulai dengan pelajaran ilmu
sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya.
"Hay
Hay, ingat baik-baik. Biar pun segala macam ilmu kalau dipergunakan secara
sesat akhirnya akan menjadi kutukan bagi diri sendiri, namun ilmu sihir ini
mendatangkan akibat yang langsung. Semenjak ribuan tahun turun-temurun, yang
mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak bisa
terlepas dari pada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi, yaitu ilmu ini
harus dipergunakan untuk kebaikan saja dan dilarang keras untuk digunakan
secara sesat, tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan
orang lain, lahir mau pun batin. Apa bila larangan ini sampai dilanggar, maka
akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan
menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami dan
besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Malah ilmu
itu sendiri akan dapat membunuh jika sampai melakukan kejahatan yang besar.
Karena itu ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini sekali-kali tak boleh
digunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas dari pada hukumannya."
Hay Hay
mengangguk-angguk, sedikit pun dia tidak merasa khawatir. "Akan selalu
teecu ingat, Suhu."
Demikianlah,
mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi dia hanya sempat
belajar selama satu tahun saja dari Pek Mau San-jin, karena setelah kurang
lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal
dunia karena usia tua.
Hay Hay
mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya pada saat
masih hidup, yaitu di bawah sebatang pohon di dekat goa tempat gurunya bertapa,
lantas meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Sesudah melakukan
sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi
meninggalkan tempat itu.
Kini,
dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang sungguh pun belum dipelajari
sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, tapi kiranya cukup untuk
memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.
***************
Sungai
Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh
melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai
Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, lalu masuk ke
Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan
sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, hingga akhirnya
Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha lantas membelok ke timur dan
menjadi Sungai Yang-ce yang sangat terkenal itu. Sungai Yalong mengalir melalui
Pegunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, pada tepi Sungai Yalong,
terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang.
Keluarga Pek
yang belasan tahun yang lampau meninggalkan Tibet akibat dimusuhi para pendeta
Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa para
anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi
Secuan yang merupakan tempat asal keluarga Pek. Dan akhirnya, bersama para
anggota Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, keluarga itu menetap
di tepi Sungai Yalong itu.
Tempat itu
amat indah, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san.
Daerah itu mempunyai tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak
binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar,
keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani,
berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari
dalam hutan mereka bisa mendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah
mereka.
Sekarang
keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempah-rempah, selain
terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang sangat disegani dan
ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu,
daerah itu sampai berpuluh li luasnya menjadi aman sekali. Para penjahat
terpaksa pergi mengungsi, hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar
jangkauan kekuasaan serta pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.
Sesudah
keluarga Pek tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi
semakin terkenal. Anggota atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih
seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah
berkeluarga lalu tinggal dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng
perkumpulan Pek-sim-pang itu. Sekarang perkampungan itu memiliki hampir dua
ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara para murid Pek-sim-pang
bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan atau penjaga-penjaga keamanan dan
sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi
banyak kota besar di Propinsi Secuan.
Perkampungan
itu cukup luas, berada pada lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok
putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan
belakang dibuka lebar-lebar pada waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan
karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang
menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara
bergilir.
Rumah
keluarga Pek terletak di tengah perkampungan, dikelilingi oleh rumah-rumah para
anggota. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu
besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang
rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas. Di sebelah timur rumah terdapat
sebuah taman bunga yang mungil.
Pada waktu itu
yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang sekarang telah berusia
empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang merupakan keturunan
keluarga Pek, turun temurun.
Pek Kong
beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang
wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai.
Meski pun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu
termasuk seorang wanita perkasa.
Ayah dari
Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, seorang bekas ketua Pek-sim-pang pula, telah
mengundurkan diri dan sekarang hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang
menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu
telah menjadi seorang duda karena isterinya sudah meninggal dunia karena
penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu
perempuan yang menjadi penghibur hatinya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment