Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 12
Hay Hay
tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduga hal ini.
Sambil tersenyum dia lalu berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan
menuduhku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa
oleh ketiga orang Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay segera
menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang.
Nampak
dadanya yang bidang dan tubuh bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang
menonjol kuat serta kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang
mekar dan kokoh kuat. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya
terlihat oleh mereka.
Keluarga Pek
dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung Hay Hay dan dengan
mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar di punggung itu!
"Anakku...!"
terlak Souw Bwee.
"Koko...!"
Pek Eng juga berseru.
Akan tetapi
saat mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga
itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan
terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, pikir mereka dengan jantung
berdebar.
Tentu saja
dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda
merah pada punggungnya itu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi
turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya
tanda dari Sin-tong yang semenjak bayi tidak pernah muncul, hanyalah tahi lalat
tanda merah di punggungnya, maka tadi sebelum turun gelanggang secara diam-diam
dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah.
Dengan
kecerdikannya, mempergunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga
orang pendeta Lama, Hay Hay cepat menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil
mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Karena itu, ketika dia terjun ke dalam
lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, sudah terdapat tanda
merah yang sengaja dibuatnya itu!
"Sin-tong...!"
Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh. Mereka bertiga cepat merangkapkan kedua
tangan di depan dada dan memberi hormat kepada ‘Anak Ajaib’ itu!
"Pinceng
bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringi Paduka menuju
ke istana Paduka di Tibet," pendeta Lama bermuka bopeng berkata dengan
sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.
Hampir saja
Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap ketiga pendeta Lama itu menggelitik
hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang bermain sandiwara di atas
panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya.
Bagaimana pun juga, dia sudah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta
Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu sekarang yang
terpenting bagi mereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima
sebagai Sin-tong!
"Hemm,
begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian
siapa yang sudah menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan
sikap agung berwibawa.
"Pinceng
tahu. Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha,
omitohud...!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.
"Nah,
kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama
tingkat rendahan saja?"
"Kami
bertiga yang rendah adalah anggota pimpinan tingkat tiga...," kata pendeta
Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung
tinggi.
"Hemm,
seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang memiliki ilmu
tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga telah sampai di sini, baiklah. Aku
akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian cukup tinggi
sehingga aku pun merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Hendak kulihat
sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang
ditugaskan menjemput diriku."
Tiga orang
pendeta Lama itu saling pandang dan mereka nampak terkejut sekaligus juga terheran-heran,
lantas menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali
inilah ada Sin-tong yang pada saat dijemput hendak menguji dulu kepandaian para
penjemputnya!
Biasanya,
yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafalkan isi kitab-kitab
suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tak
pernah menggunakan kekerasan. Akan tetapi Sin-tong yang ini bahkan menantang
mereka untuk menguji kepandaian silat! Padahal tingkat mereka dalam hal ilmu
silat sudah tinggi sekali. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah
terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apa lagi pemuda ini
yang kelihatan begitu lemah!
"Hayo
mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak.
Keluarga Pek
dan juga para anggota Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung
berdebar. Alangkah beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang
demikian lihainya sehingga ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan
mereka!
"Kami...
mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng menjawab mewakili dua
orang temannya.
Hay Hay
mengerutkan sepasang alisnya, pura-pura marah. "Kalau kalian tidak
memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku
tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama
bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"
Terkejutlah
tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan
mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Dan
akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju lantas menjura dengan
hormat kepada Hay Hay.
"Biarlah
pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk
diuji kepandaian pinceng," katanya dengan sikap hormat.
Melihat ini,
diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata amat
memandang rendah padanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika dalam
beberapa gebrakan berkelahi melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia sudah dapat
menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah
ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.
"Baik,
majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua orang yang lainnya harus kuuji
pula kepandaiannya. Bila mana aku tidak sanggup mengalahkanmu, berarti tingkat
kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi," kata Hay Hay dan dengan
sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.
Melihat
betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya
bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga
menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya
melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga
tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan!
Bukan sikap atau kuda-kuda dari seorang ahli silat yang tangguh.
Diam-diam
keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu
bersama kawan-kawannya merasa amat geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat
akan tetapi ingin menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda
itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan.
Juga Si
Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apa lagi sampai
membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya
merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong kini telah menjadi
seorang pemuda dewasa yang mempunyai ilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap
tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan
pemuda ini.
Dia hanya
akan mengelak dan menangkis saja, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas
agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan juga tanpa memukul
atau menendang!
"Hayo
seranglah!" kata Hay Hay.
"Pinceng
tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang," jawab kakek pendeta
kurus pucat itu.
"Rewel
benar kau! Kalau engkau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana
kelihaianmu?"
Pek Eng
memandang dengan alis berkerut. Betulkah pemuda tolol ini kakak kandungnya?
Mengapa begitu bodoh? Apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai
bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya amat
kecewa, dia tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan
brengsek!
"Baiklah,
pinceng akan menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat lantas
dia pun menyerang.
Akan tetapi
gerakan itu sama sekali tidak bisa dinamakan serangan, sebab tangan kirinya
bergerak perlahan, seakan hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya
juga lambat dan tidak mengandung tenaga.
Dengan
gerakan kaku Hay Hay melangkah mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang
pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun
tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"
Pendeta Lama
itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara
bahwa dia mengalah, dia kembali maju dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat
dan lebih kuat, maksudnya pun hanya hendak mengelus ke arah pundak kiri pemuda
itu sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.
Akan tetapi
kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan
masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat
apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.
Muka yang
pucat itu kini berubah agak kemerahan, apa lagi ketika pendeta itu mendengar
suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggota Pek-sim-pang yang merasa
betapa lucunya pertunjukan itu.
"Pinceng
akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak kemudian
menubruk, kali ini dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap
dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung
membawanya lari ke Tibet.
"Wuuuttt...!
Brukkk...!"
Hampir saja
pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanyalah angin belaka!
Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Tadi dia mempergunakan kecepatan dan
tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu
tubrukannya ini hanya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke
mana.
"Heii,
muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, tadi aku minta
engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti
orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging
kodok?"
Kini lebih
banyak lagi terdengar suara ketawa, bahkan keluarga Pek memandang dengan
terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap
ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa
pendeta kurus pucat itu mengalah dan tak berani menggunakan kekerasan. Pemuda
itulah yang mereka anggap tidak tahu diri.
Tetapi
tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar
kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan sehingga
tubrukan itu pun hanya mengenai tempat kosong saja, ada pun pemuda itu dengan
terhuyung-huyung tahu-tahu telah berada di belakang Si Pendeta, kemudian
menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu,
para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri
dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.
"Hayo
pukullah aku, seranglah dan jangan main-main. Apakah engkau ingin aku menjadi
marah kemudian memukulimu sampai babak belur?” Ucapan keras pemuda ini kembali
memancing suara tawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak
pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai
hingga babak belur!
"Baik,
dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat.
Sekarang dia
harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali
pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua
orang sangat terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut
pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan seluruh isi
perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas!
Wajah Pek
Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat bukan main, bahkan
Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan
semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak
tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan sama sekali
tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!
Pendeta
kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tak akan mampu mengelak,
tapi dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah bisa menguasai gerakannya
sepenuhnya. Sebab itu, begitu kepalan tangannya telah mendekati perut lawan,
dia cepat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit
perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.
"Plekk…!"
kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri
sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.
"Ha-ha,
begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak dari pada tahu! Mana bisa dibilang
lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"
"Sin-tong,
pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tentu tidak akan kuat
menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol
juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay
Hay tadi.
Mereka
semuanya tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi
mengungsi, apa lagi kini ada tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera
ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu
dipermainkan, mereka merasa gembira juga.
"Apa...?
Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tak
akan menghancurkan sepotong tahu, apa lagi perutku!" Hay Hay tidak
menyombong. Tadi pun dia sudah melindungi perutnya dengan sinkang yang terkuat
untuk menjaga diri. Andai kata tadi Si Pendeta Lama memukulnya dengan
sungguh-sungguh, tetap saja dia tidak akan terluka!
"Sebaiknya
kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng yang akan menjaga diri.
Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng
mengaku kalah," kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah.
Diam-diam
dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat
dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja
dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan
ejekan dan tertawaan.
"Benarkah?
Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa jika aku mampu memukul dia roboh
satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi
saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Kini para
anggota Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.
"Kami
menjadi saksi!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Nah,
puluhan orang menjadi saksi supaya engkau nanti tidak melanggar janjimu
sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay.
Kini pendeta
itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga
Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Sekarang mereka ingin
melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena semenjak tadi pemuda
itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Kini, karena
dia hendak menyerang, tentu dia akan mempergunakan jurus-jurus silat dan mereka
ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.
"Pinceng
sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.
"Awas,
aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua
orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua
kecewa.
Pemuda itu
menyerang dengan gerakan liar dan sembarangan saja, bukan seperti orang
bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di pinggir jalan, asal memukul
saja tanpa memilih sasaran. Kepalan sepasang tangannya diayun dan dipukulkan
bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang amat
lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan
mudahnya mengelak ke belakang.
"Mau
lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya mirip seperti orang yang
mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan
ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan sudah dielakkan oleh pendeta lama
itu, maka tubuh pemuda itu langsung terhuyung, bahkan hampir saja jatuh
tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.
"Si
Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya
kecewa, bahkan marah bukan main melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong
ini. Sungguh memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu,
pikirnya gemas.
Hay Hay
dapat mendengar celaan ini. Tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh
pada Pek Eng sambil menyeringai. "Adik yang manis, memang dia ini tolol
sekali, bukan? Engkau benar sekali, dia memang seorang pendeta Lama yang sangat
tolol, dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"
Jika saja
tidak teringat bahwa kemungkinan besar pemuda itu adalah kakak kandungnya, dan
karena di sana terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan terang-terangan memaki
dan mencela pemuda itu. Dia mendongkol bukan kepalang, dan terpaksa menelan
semua kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik kembali dan menghadapi
pendeta Lama yang kurus itu.
"Nah,
sekarang robohlah kau!" Hay Hay membentak.
Bentakannya
yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay
yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu nampak demikian tolol. Jelas
bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat satu jurus pun tidak becus, akan
tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu
roboh!
Diiringi
suara tawa riuh rendah, sekarang Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan
silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan
kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang
anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan
dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan
suara ketawa makin riuh.
Tiba-tiba
saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut!
Seperti seekor jangkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti
dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan
apa yang disaksikannya.
Lebih
terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika
pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang
rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua
matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk
menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat
sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama
ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu.
Tiba-tiba
saja kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang
tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta
itu tidak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan
lumpuh, lalu dia pun jatuh berlutut!
"Nah,
engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" kata Hay Hay sambil
tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru.
Sekarang
barulah suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira
melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu sudah berhasil mengalahkan
seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Biar pun mereka sendiri
tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walau pun sebagian
besar di antara mereka, juga termasuk keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian
itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara
para Lama itu telah roboh dan kalah!
Kalau saja
yang sedang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan
mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong,
dan kalau diingat, peristiwa tadi membuat bulu tengkuknya meremang.
Tentu para
dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin dia
sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara
kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Agaknya para dewa yang
sudah menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu. Kalau menghadapi kekuasaan
para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua
tangan di depan dada dan berkata dengan suara merendah,
"Pinceng
mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."
"Ha-ha,
bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu
silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia
mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya.
Kemenangannya
tadi agaknya membuat gadis itu tak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan
di hati Hay Hay. Memang dia hendak mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini,
juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat
menarik hatinya itu.
Dua orang
pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan secara diam-diam menyesal atas
kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman
mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak
pandai ilmu silat. Meski pun tendangan yang mengenai kedua lutut itu luar biasa
dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya
karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang
melangkah maju lantas menjura kepada Hay Hay.
"Biarlah
pinceng yang kini mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua
kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka
seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."
Secara diam-diam
Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini terlihat
cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi,
melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi.
Pendeta ini
tentu akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka
berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian
tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.
"Ha-ha,
bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal
merobohkan aku, kebodohanmu itu tidak akan bertambah. Biar pun sampai seratus
jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."
Pek Eng dan
ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa
beraninya. Menentang serta mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu
saja sudah sangat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih
demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus
jurus!
Hal ini pun
terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemmm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh
jurus saja tentu engkau akan roboh. Apa lagi kalau dia menghadapi pemuda ini
sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin dalam satu jurus saja dia akan
mampu merobohkan dan membunuhnya!
"Mungkin
saja Paduka jauh lebih pandai dari pada pinceng. Nah, harap Paduka bersiap.
Pinceng mulai menyerang!" Setelah berkata demikian, pendeta bermuka buruk
itu segera mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya
menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri
susul menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara
bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah
tubuhnya!
Hay Hay
kaget sekali. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang
sungguh-sungguh dengan mengerahkan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta
itu, hendak merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin atau hawa pukulan
saja, mengandalkan sinkang-nya!
"Siuuuttt...!
Siuuutttt...!" Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri,
atas bawah.
"Haiiittt...!
Ouuuttt... lupuutttt...!" Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya
kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran!
Biar pun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah
tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup
angin pukulan!
Akan tetapi
kakek pendeta itu terus menerus mendesak dengan tamparan-tamparan yang lebih
cepat, lebih kuat dan mengandung hawa yang lebih panas lagi. Menghadapi desakan
ini, tiba-tiba saja Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke
sana-sini, dan mulutnya nyerocos,
"Hooshhhh...
heshhhh... luput lagi...!"
Dan memang benar,
pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di
kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak
mampu memukul sasaran sehingga pukulannya selalu menyeleweng ke samping!
Namun kakek
pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta
totokan, bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu
silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking
cepatnya dia bergerak.
Mula-mula
masih terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay
Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang kala
hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan
tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan
pemuda itu namun kenyataannya semua serangan pendeta itu luput!
"Dasar
manusia tolol...!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya
dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.
"Anak
bodoh, lihatlah baik-baik...!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini,
seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata
penuh kagum.
Pemandangan
di situ memang sungguh aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel
lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya
dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan
amat dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak
dengan gerakan yang aneh bukan main.
Namun,
karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main
lagi. Biar pun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan
konyol, tetapi kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang
dipelajarinya dari See-thian Lama yang dulu berjuluk Go-bi San-jin, salah
seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu
langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini mampu
menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya.
Gerakan
tubuhnya juga mulai sukar diikuti saking cepatnya, dan mulailah para penonton
memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan
saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama kemudian merobohkannya, namun
karena pemuda itu memang lihai sekali!
Pendeta Lama
bermuka bopeng juga amat terkejut saat melihat gerakan langkah-langkah ajaib
itu. Biar pun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia pernah
mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang berdasarkan pada garis-garis
pat-kwa yang amat luar biasa.
Akan tetapi
hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai tingkat tinggi saja yang kabarnya dapat
menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti
ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong,
bukan pemuda sembarangan. Bagi Sin-tong tentu mungkin saja untuk menguasai ilmu
apa pun!
"Hesshhh...
hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahh,
panasnya... gerah sekali, dan keringatmu mengeluarkan bau yang amat busuk! Tak
tahan aku...!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh.
Karena
semenjak tadi dia mainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan
lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak
tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.
Mendadak
terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang
terlihai di antara tiga pendeta itu, "Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda
merah itu luntur oleh keringatnya!"
Semua orang
kini dapat melihat dengan jelas, ‘tahi lalat’ merah yang berada di punggung Hay
Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta
merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu
bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama
Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.
"Manusia
jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat.
Pendeta Lama
ini agaknya sudah marah bukan main sehingga serangannya merupakan serangan
maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan
sepasang senjata yang ampuh, melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di
bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh
titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apa bila tepat mengenai sasaran!
"Celaka...!"
Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama
yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia segera
mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.
Akan tetapi
dengan gerakan yang lincah sekali Hay Hay telah mengelak ke sana-sini dan masih
mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi,
menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun segera mengeluarkan
segenap kepandaiannya. Dengan satu jurus pilihan dari ilmu Silat Ciu-sian
Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia cepat membalas, tangan kanan
mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya
memapaki dengan tamparan.
"Plakkk...!"
Tubuh
pendeta Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak
mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga tulangnya tidak sampai patah-patah
ketika pundaknya kena ditampar, hanya tubuhnya saja yang terpelanting dan
terbanting ke atas tanah!
Semua orang
terkejut, bahkan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak serta mulut
ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak lagi
ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu
merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya!
Hati Pek Eng
menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah saat dia teringat betapa tadi dia
memandang rendah pada pemuda itu. Akan tetapi kembali dia merasa menyesal
karena pemuda itu bukan kakak kandungnya.
Kalau saja
pemuda itu kakak kandungnya, tentu dia sudah bersorak karena senang dan
bangganya mempunyai seorang kakak yang begitu lihainya. Akan tetapi pemuda itu
jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu
belaka?
Sementara
itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main, sebab itu mereka
bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu sudah
ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi amat terkejut, akan
tetapi juga marah melihat temannya roboh. Maka dia pun mengeluarkan suara
menggereng dahsyat lantas tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat dan kedua
tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut
yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.
Hay Hay
kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah serta lincah,
tubuhnya mengelak sambil tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah
lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.
"Dukkk!"
Akibatnya,
tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri
tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat
bukan kepalang!
"Orang
muda, siapakah engkau sebenarnya? Mengapa engkau mencampuri urusan kami dengan
Pek-sim-pang?" dia bertanya sebab hatinya menjadi ragu memperoleh kenyataan
bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan sungguh tidak baik untuk
menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang
tangguh ini agar urusan menjadi jelas.
Hay Hay
tersenyum lalu dengan amat tenang dia kini mengenakan kembali bajunya yang tadi
dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman dari tiga orang
pendeta Lama yang lihai.
"Sam-wi
Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, namun ingin mengenal namaku? Aku
bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja apa bila kulihat ada
orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini. Keluarga
Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur telah mengatakan bahwa mereka tak tahu
tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan
mempergunakan kepandaian untuk menekan? Tentu saja aku tidak dapat tinggal diam
saja.”
"Bocah
sombong, engkau sengaja hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak
pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan
sepasang alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.
"Locianpwe,
aku tidak perlu membawa nama suhu-suhu-ku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah
saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan
perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."
"Keparat
sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah
menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar
terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan
bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan
dan tendangan ke arah Hay Hay.
Kembali
semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong
yang memiliki ilmu silat lebih tinggi dari pada orang-orang Pek-sim-pang
sehingga mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi.
Mereka maklum alangkah lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka
mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.
Akan tetapi
sekali ini Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa meski pun
ilmu silatnya masih lebih tinggi dari pada mereka bertiga, tetapi dia kalah
pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak
boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke
sana-sini dengan cepat bukan main.
Dia masih
tetap mempergunakan Jiauw-pouw Poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat
dari pendeta Lama tinggi besar itu. Dengan amat lincah tubuhnya berloncatan ke
sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara
aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh
Hay Hay selalu dapat mengelak dengan gerakan indah dan tepat sekali.
Melihat
betapa semua serangan dari pendeta tinggi besar itu tak mampu mengenai tubuh
lawan, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju sehingga kini Hay Hay
dikeroyok oleh mereka bertiga!
Tentu saja
Hay Hay menjadi repot bukan main! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh
tingkat tiga dari Tibet, sekarang maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga
itu amat kuatnya. Akan tetapi Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan
ada kalanya membalas dengan serangan-serangan yang membuat tubuh tiga orang
lawannya kadang kala harus terhuyung ke belakang.
Tepuk sorak
makin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang
pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biar pun mereka telah tahu bahwa pemuda
yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun mereka tidak pernah dapat
membayangkan bahwa pemuda itu ternyata sanggup menghadapi pengeroyokan tiga
orang pendeta Lama yang demikian lihainya.
"Anak
itu luar biasa sekali...!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya.
Pek Eng
memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai
dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan dia tadi sudah menantang pemuda
itu! Jika pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja tentu dia akan
roboh!
Perkelahian
itu berlangsung dengan sangat cepat. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh
sekali, apa lagi mereka sekarang maju bertiga. Bahkan kini pendeta kurus pucat
menggunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah
kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai
tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata.
Hay Hay yang
mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun
mempergunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia bisa mengerahkan ginkang (ilmu
meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya
dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang terus
menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan
mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.
Hay Hay
tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apa lagi membunuh mereka. Hal
inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya
dengan sungguh-sungguh, dengan serangan-serangan maut, ada pun dia hanya
mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk
merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja
keadaan seperti itu benar-benar tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak
dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.
Maklum bahwa
kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu terpaksa
melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu
mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini
dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama satu tahun. Diam-diam dia mengerahkan
tenaga batinnya lantas mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian dia
melompat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang
lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran
yang amat kuat.
"Heii,
tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa
aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet menghadap
Dalai Lama!"
Semua orang
terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda
itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee telah berseru dengan hati terharu.
"Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh
Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu.
Bagaimana
pun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena
ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama itulah yang
langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay.
Mendadak
mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lantas
mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang
agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali,
"Marilah,
Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput kemudian mengantar Paduka ke
Lasha di Tibet."
Hay Hay
masih memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, "Aku
lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."
"Pinceng
selalu siap menggendong Paduka!" berkata pendeta Lama yang tubuhnya tinggi
besar, siap untuk menggendong Hay Hay.
Hay Hay lalu
mengambil sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari situ kemudian
meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat
sekali saat dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke
Tibet!"
Suara itu
mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kakek pendeta Lama yang tinggi besar
itu kini menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang
oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan
berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih
memondong batu besar tadi.
Tentu saja
peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang
menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak.
Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar bagaikan
menggendong tubuh Sin-tong seperti yang tadi diucapkan oleh pemuda itu,
beberapa orang tidak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa
heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian
meledaklah suara ketawa.
Suara ketawa
ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang
pendeta itu. Tiba-tiba saja Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan
memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.
"Omitohud...
Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian
dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga
yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru
meriam yang sangat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay.
Pemuda ini
terkejut. Jika dia mengelak, maka batu itu tentu akan menyerang murid-murid
Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir
tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah
menyambut batu itu dengan pukulan.
Hay Hay
segera mengerahkan tenaga sinkang-nya dan begitu batu menyambar sampai di
depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan
kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.
"Darrrrr...!"
Batu besar
itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan
tetapi tidak berbahaya lagi andai kata mengenai orang-orang yang berada di
sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!
Kini tiga
orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata
penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay
Hay segera membentak,
"Kalian
bertiga mau apa?! Lihat baik-baik, aku adalah Dalai Lama!"
Dan ketiga
orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di hadapan Hay Hay
sambil memberi hormat. Tentu saja para murid Pek-sim-pang terkejut dan
terheran-heran semua, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang
luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir!
Karena
mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu
berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli sehingga kembali
mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara
orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu
segera sadar.
Pendeta
kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay
yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan
disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar
menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay
yang menyambutnya.
Tiga orang
pendeta itu tak terluka dan mereka telah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok.
Sementara itu, para murid Pek-sim-pang memandang kagum melihat betapa pemuda
itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.
"Hemm,
kalian ini tiga orang pendeta Lama sungguh tak tahu malu, berdiri di sini
dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"
Para murid Pek-sim-pang
mulai mengerti bahwa suara tawa mereka dapat membuyarkan kekuatan sihir pemuda
itu. Kini mereka tidak mau tertawa lagi, bahkan dengan suara bulat mereka pun
mengejek. "Tak tahu malu!"
Tiga orang
pendeta Lama itu memandang kepada tubuh masing-masing, kemudian saling pandang
dengan dua mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir
yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga melihat betapa mereka
benar-benar sedang telanjang bulat. Dengan perasaan malu bukan main, ketiganya
lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi bagian tubuh di bawah
pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari
meninggalkan tempat itu.
Pemandangan
yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tanpa dapat ditahan
lagi mereka tertawa. Namun sekali ini, walau pun suara ketawa itu membuyarkan
pengaruh sihir sehingga tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sebenarnya
mereka tidak telanjang, akan tetapi mereka maklum bahwa mereka tak akan menang
menghadapi pemuda luar biasa itu. Kini mereka pun sudah agak jauh, maka dari
pada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lantas melarikan diri tanpa
menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.
Kini Pek Ki
Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian kemudian bertanya,
suaranya sungguh-sungguh,
"Orang
muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?"
Hay Hay
cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga
ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang
sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk
dan menjawab,
"Benar,
Locianpwe. Saya adalah Sin-tong..."
Semua orang
yang tadi melihat tanda merah pada punggung itu luntur, kemudian melihat betapa
pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya
karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda
ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa
dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.
"Koko...!
Ahh, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko...!" Dan saking girang dan
bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium
pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan
girang sekali Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek
Eng!
"Anakku...!"
Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu.
Hay Hay
hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang
merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan
akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia
Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak.
Tidak baik
mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka
dengan halus dia pun melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan
rangkulan Pek Eng di pundaknya serta rangkulan lengannya sendiri pada pinggang
yang ramping itu, kemudian dia berkata halus,
"Maaf,
sungguh menyesal sekali saya harus mengecewakan cuwi (Anda Sekalian) sebab sesungguhnyalah
saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay."
"Aihhh...!"
Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat
melepaskan rangkulannya lantas melangkah mundur dengan muka berubah merah
sekali.
"Tapi
kau... kau...!" teriaknya
"Ya,
aku kenapakah, adik yang baik?"
"Kalau
engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han
Siong, lalu kenapa kau... kau... kau... tadi menciumku..."
Hay Hay
memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan
mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, walau pun kulitnya agak gelap
seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya
dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi
merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya.
Sepasang
mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan
kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam
panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang,
membuat wajah itu tampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah
basah itu terlihat segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi
oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan
manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.
"Heeiii!
Lakas jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!"
Pek Eng memaki karena dia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan
pemuda itu di depan orang banyak lagi!
"Nona,
aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu. Sejak semula aku memperkenalkan
namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... ehhh,
siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"
Wajah itu
menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa dialah yang
tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah
kakak kandungnya.
"Kau...
kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang...!" Dia
memaki dan kedua tangannya telah dikepal karena saking malu dan marahnya dia
hendak menyerang pemuda itu.
"Eng-ji,
jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"
Biar pun
hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu
melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan
penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan
puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah
Sin-tong?"
Jantung Hay
Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu.
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah
tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia
tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin,
dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia
memberi hormat.
"Apakah
saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.
"Benar,
aku adalah ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."
"Ahhh,
Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke
sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."
"Maksudmu?"
tanya Pek Kong terbelalak.
Pek Ki Bu
yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka sehingga
terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, segera melangkah maju dan berkata.
"Lebih baik kita bicara saja di dalam. Bagaimana pun juga, orang muda ini
telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah,
orang muda, mari kita masuk untuk berbicara di dalam."
Hay Hay
mengangguk, tapi kakinya ragu-ragu melangkah karena pada saat dia menoleh
kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah
gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu
seperti ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap
puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.
"Eng-ji,
mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!"
Pek Eng
tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar
senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi
semakin lebar.
Sekarang
mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruang belakang.
Setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, nyonya Souw Bwee ikut
pula duduk karena dia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Pek Eng juga
ikut duduk, akan tetapi dia duduk agak di belakang, tidak mau berdekatan dengan
pemuda itu.
"Nah,
sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai
Sin-tong tadi, orang muda," kata Pek Kong.
Sejenak Hay
Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya
wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah kakek Pek Ki Bu, dan dia
melirik kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya. Setelah itu dia pun
berkata,
"Saya
sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay
dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa
jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya
dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik
orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan..."
"Ahhhh...!"
Pek Kong dan isterinya berteriak kaget sehingga Hay Hay lalu menghentikan
ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata
penuh harap dan permohonan.
"Karena
itu, Pangcu, saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang
rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah saya ini sesungguhnya, dan
mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?"
"Ah,
kiranya engkau anak yang malang itu...!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru
kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul
dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya.
"Baiklah,
kami akan ceritakan semuanya kepadamu. Memang telah menjadi hakmu untuk
mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang," kata Pek Kong.
Dengan
jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan
selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu,
siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong.
Pek Kong
lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang
lalu ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang
masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan
masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah
Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan
dididik, karena sesudah dewasa Sin-tong akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan
isterinya kemudian melarikan diri mengungsi ke timur.
"Pada
saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul," Pek Kong melanjutkan
ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hay Hay. "Pada
waktu itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di
laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki
itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia sesudah meninggalkan sedikit
pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu..."
“Sayalah
bayi itu!" kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.
"Betul
sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami sedang terancam dan
dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh
Kakek Pek Khun, sedangkan engkau lalu kami pelihara sebagai gantinya. Akan
tetapi, tidak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di
tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang
penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."
"Hemmm,
Lam-hai Siang-mo...!" kata Hay Hay.
"Apa
maksudmu?" tanya Pek Kong.
"Yang
menculik saya pada waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."
"Ahh,
kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju.
"Jika aku tahu tentu ketika itu kucari mereka. Mereka begitu kejam,
membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang
penjaga."
"Mereka
memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya sehingga sejak
kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi pada
waktu saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Goa Iblis Pantai
Selatan..."
"Kwee
Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?" tanya Kakek Pek Ki Bu
yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.
"Benar,"
kata Hay Hay. "Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan.
Ketika itu baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai
Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian
orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti
bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia
mengenai diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Karena itu, saya
mohon kepada Cu-wi agar suka membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu
saya yang dahulu membunuh diri di lautan itu dan siapa pula ayah saya?"
Pek Ki Bu
saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia
berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam
kamar." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.
"Ketahuilah,
orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat
meninggalkan pesan kepada kakek Pek Khun. Dia sempat bercerita pada saat
terakhir itu bahwa dia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari
aib."
"Ahhh...”
Hay Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh
rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita itu, ikut
mendengarkan dengan hati tertarik.
"Menurut
pengakuannya, ibu muda itu adalah seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh
seorang laki-laki..." Pek Kong tidak tega untuk mengatakan bahwa pemerkosa
itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "Dan ketika wanita
itu mengandung lalu melahirkan anak karena hubungan itu, dia tidak kuat
menghadapi aib itu lantas mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Lelaki
yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah seorang yang memiliki she (bernama
keturunan) Tang..."
"Hemm,
jadi saya she Tang? Tang Hay...?" kata Hay Hay seperti kepada dirinya
sendiri dengan hati sangat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai
mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari
perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!
"Dan di
manakah adanya ayah saya yang she Tang itu?"
Pek Kong
menggelengkan kepala sambil merogoh saku jubahnya. "Kami juga tidak tahu,
hanya ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek
Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu, dan ibumu
berpesan supaya engkau mencarinya..." Pek Kong menyerahkan benda itu
kepada Hay Hay.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment