Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 07
DAHULU nama
Pat-sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat
sebagai nama dari delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan.
Memang nama mereka tidak pernah muncul di dalam kisah Asmara Berdarah, karena
pada saat itu mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah
berkecimpung di dunia persilatan lagi sehingga ketika di dunia persilatan
muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak
mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat-sian tidak berada di
sebelah bawah tingkat Raja Iblis.
Kini,
setelah usia mereka tua, yang muncul di dunia hanya Ciu-sian Sin-kai dan
See-thian Lama. keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka
karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh
para pendeta Lama.
Di antara
delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, agaknya hanya dua orang
kakek ini yang agaknya masih hidup. Dua yang lainnya adalah In Liong Ni-nio dan
Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui telah mati dan kerangka mereka,
bersama ilmu-ilmu mereka, secara kebetulan ditemukan oleh Su Kiat dan Hui Lian
di dalam goa yang amat sulit untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya
tidak diketahui ke mana perginya, tidak ada pula yang tahu apakah mereka itu
masih hidup ataukah sudah mati.
Berbeda
dengan See-thian Lama yang tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet dan
malah hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya, Ciu-sian Sin-kai
yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali
bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri.
Ciu-sian
Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang
berada di lautan Po-hai, tidak kelihatan dari pantai karena pulau itu kecil
saja, akan tetapi orang akan merasa kagum setelah berada di pulau itu karena
pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memiliki tanah
yang amat subur.
Pulau itu
dikelilingi oleh batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan
daerah yang amat berbahaya untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada
batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya
batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu,
melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas yang berkeliaran di sekeliling pulau
itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan
para penghuninya karena tak pernah mengalami gangguan dari luar.
Ciu-sian
Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tak sengaja. Di dalam petualangannya,
dia mendengar tentang banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang
dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah
perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu
bajak.
Dengan
kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan
banyak perahu bajak laut serta menewaskan banyak pula kepala bajak laut,
menangkapi anak buahnya lantas menyeret mereka ke darat untuk diadili.
Ketika pada
suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu
tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari
terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau
terpencil. Dengan nekat dia pun memasuki daerah berbahaya itu lalu berhasil
mendarat dengan selamat dan kiranya pulau yang kemudian dinamakan Pulau Hiu itu
merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan.
Dia menyerbu
kemudian membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih hingga
akhirnya sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah
bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Namun
sebelumnya dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan
untuk bertobat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih
mereka yang masih muda-muda.
Sisa harta
simpanan para bajak masih sangat banyak dan Ciu-sian Sin-kai mulai menjadi
majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya,
dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini
menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil di pulau Hiu.
Benar saja,
para bekas bajak itu dapat merubah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang
taat dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka kemudian
berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan
orang itu.
Anak buah
Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang
digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau
itu menjadi makin angker dan disegani para nelayan, bahkan kini jarang ada
bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih
membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi
pada bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di
sekitar Pulau Hiu.
Kini
anak-anak dari para bekas bajak sudah berumur belasan tahun dan mereka semua
menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat serta penuh disiplin, menganggap
kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati
sepenuhnya. Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis
itu pergi sampai lama sekali pun, dalam salah satu di antara perantauannya,
mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di
pulau.
Segala
keperluan hidup para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam
sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan bila membutuhkan ikan, mereka hanya
tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, ada pun
keperluan-keperluan lain dapat mereka peroleh dengan membeli ke daratan.
Akan tetapi
kepergian Ciu-sian Sin-kai sekali ini agak terlampau lama. Hampir satu tahun
kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu
tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini
selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu juga diketahui oleh pihak lain
yang hendak mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari
keuntungan.
Pada suatu
hari, masih pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang
memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang
didayung oleh seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh
pendek dan perutnya gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan,
membelok ke kanan kiri, lantas menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya
membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat.
Dari lima
buah perahu besar itu, dengan amat sigapnya berloncatan turun masing-masing
sepuluh orang sehingga jumlah mereka semua menjadi lima puluh orang. Ada pun
orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu sudah menyelinap pergi
di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Sambil menghunus
senjata tajam, dengan dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, lima
puluh orang itu segera menyerbu ke tengah pulau.
Tentu saja
gerakan lima puluh orang ini langsung diketahui oleh penghuni pulau sehingga
terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan segera para penghuni terlihat
berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul, dan jumlah mereka
yang dulunya hanya belasan orang itu kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah
mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Mereka lalu berlari keluar
menyambut kedatangan musuh.
Tidak perlu
lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut yang
sengaja datang untuk membalas dendam kepada Ciu-sian Sin-kai sambil merampok
harta karun yang banyak terdapat di situ pada saat kakek yang ditakuti itu
tidak berada di pulau, di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam sudah
menyerbu dan menyerang para penghuni pulau.
Maka
terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan
wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan
dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan
mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh.
Akan tetapi
kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di
tangannya sulit dilawan sehingga banyak yang telah roboh olehnya. Di samping
itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian
merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang
nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka
menjadi terdesak.
Agaknya para
penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak
muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay!
Mereka baru saja sampai dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah
perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung
perahu secepatnya.
Perahunya
lantas meluncur seperti terbang saja, apa lagi di situ ada Hay Hay yang juga
membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat
betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang
dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.
Melihat
betapa anak buahnya banyak yang telah roboh terluka dan betapa para bajak laut
itu mengamuk dengan kejam, terlebih lagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian
Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu
namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang
menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas
dendam dan merampok.
"Bajak-bajak
tidak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu
ke dalam arena pertempuran.
Melihat
munculnya Ciu-sian Sin-kai, para penghuni pulau bersorak gembira dan semangat
mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya telah mulai meredup, kini disiram
minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.
Hay Hay juga
tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana
pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena
tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu
Kepala bajak
yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu amat terkejut. Maklum siapa yang
muncul, dia pun cepat memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang
berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sebuah sambaran pada muka kakek
bertubuh kurus itu.
Akan tetapi
kakek itu tidak mengelak, namun menyambut dengan tangannya dan berhasil
menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, langsung mengerahkan
tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Akan
tetapi rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai!
Walau pun
kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam
memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tak dapat
terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.
"Hemm,
siapakah kau yang berani membawa anak buah lalu mengacau ke sini?"
Ciu-sian Sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa
muka hitam itu.
Tadinya
raksasa muka hitam itu amat terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa
bahwa dia tidak akan menang, maka dia pun menjadi nekat. "Aku Hek-bin
Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan
rekanku!"
Ciu-sian
sin-kai tertawa mengejek, lalu tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak)
yang selalu tergantung pada pinggangnya dan minum arak dengan tangan kirinya,
langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan
tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat.
Akan tetapi,
tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut.
Orangyang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya
itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, meski pun sedang minum, kakek
jembel itu tetap saja amat kuat.
"Menjemukan
kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya.
Arak
memercik ke muka yang hitam itu dan biar pun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan
mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tak urung dia menjerit,
kemudian melepaskan rantai dan mempergunakan kedua tangan untuk mendekap
mukanya sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus
yang menusuki mukanya.
Ciu-sian
Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar
itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi
panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun mereka telah dikepung oleh
para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk bagai seekor
harimau kecil yang galak.
Ciu-sian
Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat
dirobohkan dan tidak ada yang melawan lagi! Di antara mereka yang tewas, ada
banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di
atas tanah, tidak berani berkutik, malah ada pula yang berpura-pura mati!
Dengan
pandangan matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh
orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah
sekali.
"Kumpulkan
mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya.
Dengan
senang hati para penghuni pulau itu melaksanakan perintah ini. Biar pun ada
tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun
mereka boleh mengucap syukur bahwa guru atau majikan mereka sudah pulang tepat
pada waktunya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis!
Dengan
perasaan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang telah tak bernyawa,
yang luka berat mau pun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan
mereka yang mengaduh-aduh karena pada waktu diseret, tentu saja luka-luka
mereka menjadi semakin parah.
Pada saat
itu nampak dua orang anak buah pulau datang sambil menyeret seorang yang
bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah salah
seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.
"Apa
artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret
Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.
"Tocu,
dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima
perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."
Mendengar
laporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut.
Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah orang yang pernah melakukan
pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di
pulau. Saat itu dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang
mabok keras.
Akan tetapi
Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan
ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang
gadis puteri temannya sendiri yang kemudian ditolak sehingga menimbulkan
pertengkaran.
Tahulah dia
kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan
mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu
akan diusir dari pulau.
"Kai
Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"
"Ti...
tidak..., Tocu...," kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.
"Tadi
pagi, ketika semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, saya tidak melihat
dia. Tentu saja saya menaruh curiga dan ketika saya mencarinya, dia sedang
berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua
orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai,
kami lalu mencarinya dan menyeretnya ke sini, Tocu."
"Kai
Ti, engkau tahu bahwa aku bisa saja menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku.
Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu lebih dahulu?" Ciu-sian Sin-kai
berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya
senyum-senyum ramah.
Tiba-tiba
Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk laksana
ayam sedang mematuk padi. "Ampunkan saya, Tocu... saya... saya dipaksa oleh
Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan
dibunuh..."
Ciu-sian
Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya sebagai mencari alasan saja untuk
membersihkan diri. "Baiklah, karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau
harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu."
"Ampunnn...
jangan...! Saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya.
Akan tetapi,
karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan memang para penghuni pulau
tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret
seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu.
Perahu-perahu itu kemudian didorong ke tengah dan layar-layar dikembangkan.
Tentu saja
para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa
kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan
perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang.
Bersama
seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak dan
menghindar dari batu-batu karang. Dia juga melihat betapa kepala bajak yang
berjuluk Hek-bin Hai-liong itu sekarang telah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti
yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan
yang tidak benar.
Kalau benar
Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tak akan berani membawa
teman-temannya menyerbu. Tetapi menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak
akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi.
"Kai
Ti, anjing keparat! Engkau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak
bermuka hitam itu.
"Tidak...
tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang...," Kai Ti
berkata dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.
"Keparat,
engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"
"Tidak,
jangan!" Kai Ti menjadi semakin ketakutan.
Kemudian,
melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan
menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tidak jauh dari
situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.
"Kubunuh
siapa yang hendak menjamahku!"
Akan tetapi
tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah sekali kepadanya. Apa lagi
mereka juga memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus
dan mengepungnya.
Orang yang
ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula
dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai
ilmu silat dan ketika melihat betapa para anak buah bajak itu tetap
mengancamnya, dia segera mengeluarkan teriakan panjang lantas tubuhnya menubruk
ke depan, tombaknya cepat digerakkan.
"Crappp...!"
Tombak itu
menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke
punggungnya. Namun sayang baginya! Saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau
kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya
kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya.
Dia berusaha
lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sulit dicabut dan pada
saat itu pula, enam orang anak buah bajak sudah menyerangnya dan membuatnya
tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan
keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya.
Hay Hay
melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi
ikan-ikan hiu yang langsung mengejarnya. Akan tetapi dari depan, kanan dan kiri
muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang berukuran besar. Kemudian terdengar Kai
Ti menjerit-jerit bagai babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu
memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika
tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.
"Lemparkan
semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.
Anak buahnya
yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera
dilemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu,
badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah
keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan
air.
Agaknya ikan-ikan
hiu itu masih merasa kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman
mereka karena tempat itu kini menjadi penuh dengan ikan hiu besar-besar yang
ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat
itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang
lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.
"Krakkkk...!"
terdengar suara keras seperti ledakan.
Tiba-tiba
saja perahu pertama yang paling besar tergetar keras, kemudian perahu itu pun
roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air
masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam!
Anak buah
bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri
karena berebutan untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada
di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara
mereka yang roboh di dalam perkelahian ini dan akhirnya perahu kecil itu
terlepas lalu jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang.
Akhirnya
perahu besar itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil
berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan
ikan-ikan hiu. Akan tetapi apa artinya kemampuan renang seorang manusia
dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Dalam sekejap saja, di bawah
pekik-pekik mengerikan, ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi
merah, lebih merah dari pada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.
Kembali
terdengar suara keras dan kini perahu ke dua yang terguling, disusul perahu ke
tiga, kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi
sekarang dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan, maka Hek-bin Hai-liong
cepat berteriak.
"Mana
penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu
kita!"
Dalam
kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa tadi dia sendiri yang menyuruh
penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Sesudah Kai Ti tidak
ada lagi, siapakah yang akan mampu menunjukkan jalan aman?
Berturut-turut
dua perahu lainnya juga melanggar karang. Maka terjadilah peristiwa yang sangat
mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang harus menutup kedua
matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu
menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu.
Teriakan
paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa harus meloncat ke
air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak
tentu saja dia pandai berenang, lantas dengan tenaganya yang kuat dia berhasil
memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan
sesudah sebelah kakinya kena disambar ikan lantas tubuhnya diseret ke bawah,
perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang
memperebutkannya
Penglihatan
yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah
sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati mau pun yang tadi terluka. Lima puluh
orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih terlihat berenang
hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tak ada sepotong pun daging
yang tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan
sepatu mereka!
Hay Hay
terpaksa berlari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia
muntah-muntah. Bukan hanya dia seorang, akan tetapi banyak pula di antara anak
buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan
tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.
Tujuh orang
anak buah Pulau Hiu yang tewas dalam penyerbuan itu lantas diperabukan,
Ciu-sian Sin-kai melarang mereka dikubur. "Pulau kita begini kecil, jika
kita membiasakan diri mengubur orang-orang kita yang mati, sebentar saja pulau
ini akan menjadi kuburan dan tidak ada sisanya lagi untuk kita yang masih
hidup." Demikian katanya dan memang ucapan ini mengandung kebenaran, maka
mayat-mayat itu pun dibakar dengan upacara sederhana.
"Suhu,
kenapa Suhu demikian kejam terhadap para bajak itu?" Hay Hay yang sudah
biasa bersikap terbuka kepada Ciu-sian Sin-kai, bertanya dengan nada suara
mencela.
Kakek itu
tertawa. "Heh-heh-heh, kejam? Hay Hay, apakah engkau dapat membayangkan
bagaimana andai kata kita datang terlambat beberapa jam saja? Seluruh anak
buahku ini akan habis dibantai, dan yang perempuan akan mereka larikan dan
dipermainkan, seluruh kekayaan yang berada di sini akan habis mereka bawa, dan
segala yang terdapat di pulau ini, yang tidak dapat mereka bawa, pasti akan
mereka bakar! Mereka itu jahat dan ganas melebihi binatang buas."
"Akan
tetapi, haruskah mereka itu dihukum secara demikian kejam, Suhu?" kembali
Hay Hay membantah. Dia masih bergidik membayangkan betapa orang-orang itu
dipermainkan ikan-ikan hiu.
Kembali
kakek itu tersenyum. "Menghadapi orang-orang jahat memang ada kalanya
tidak boleh mengenal belas kasihan. Engkau belum tahu mengenai kekejaman.
Pendekar yang paling kejam terhadap orang-orang jahat, yang tak mengenal ampun
dan bertangan baja menghukum dan membasmi orang-orang jahat, dijuluki orang
Pendekar Sadis."
"Pendekar
Sadis?"
"Ya,
dan engkau akan bergidik jika melihat betapa dia menyiksa orang-orang jahat.
Akan tetapi ia adalah seorang pendekar budiman dan berkepandaian tinggi sekali.
Memang aku tidak pernah bertemu dengan dia, karena sudah lama sekali aku tidak
pernah mencampuri urusan dunia dan dulu pun aku bergerak di sekitar pantai
saja. Hanya pada waktu terjadi gelombang pemberontakan di daerah selatan, aku
dengan rekan-rekan lainnya, termasuk See-thian Lama, turut mencampuri kemudian
nama kami dikenal orang sebagai Pat-sian. Menurut kabar, isteri dari Pendekar
Sadis juga pernah menjadi datuk selatan yang sangat terkenal. Kelak, apa bila
engkau sudah memiliki ilmu yang cukup, engkau boleh merantau dan berkenalan
dengan para pendekar, termasuk Pendekar Sadis."
Ketika Hay
Hay diajak masuk ke dalam gedung yang dibangun oleh kakek itu di tengah pulau,
anak ini terbelalak kagum. Gedung itu seperti istana saja! Ternyata gurunya
yang baru ini adalah seorang yang kaya-raya dan hidup sebagai seorang raja saja
di pulau ini. Pantaslah kalau gerombolan bajak laut itu berusaha untuk merampok
tempat ini.
Mulai hari
itu juga Hay Hay menjadi salah seorang di antara para penghuni Pulau Hiu. Dia
mempelajari rahasia jalan masuk menuju pulau itu, dan selain mempelajari
ilmu-ilmu silat tinggi dari Ciu-sian Sin-kai, juga mematangkan ilmu-ilmu
pukulan yang diperoleh dengan jalan 'mengadu' Ciu-sian Sin-kai dengan See-thian
Lama secara tidak langsung. Dia pun mempelajari ilmu-ilmu dalam air dari para
penghuni Pulau Hiu yang rata-rata mempunyai kepandaian bermain di air itu.
Sebentar
saja Hay Hay menjadi pemuda yang paling terkenal di pulau itu. Bukan hanya
karena dia dianggap murid terkasih dari Tocu, akan tetapi karena memang dia
cerdas dan lihai bukan main. Di antara para gadis-gadis kelahiran pulau itu,
yang sebaya dengan Hay Hay, bahkan yang lebih tua sekali pun, dia sangat
terkenal karena dia berwajah tampan, bertubuh tegap, juga lincah jenaka dan
ramah, serta pandai merayu dan menyenangkan hati para gadis.
Tiga tahun
kemudian, setelah Hay Hay berusia lima belas tahun, dia pun menjadi rebutan di
antara para gadis dan wanita di pulau itu. Setiap orang gadis jatuh cinta
kepadanya dan ingin menjadi kawan dekatnya.
Dan Hay Hay
ternyata memiliki bakat untuk menyenangkan hati para gadis itu. Dia selalu
bersikap manis dan ramah pada setiap orang gadis sehingga mulailah dia dikenal
sebagai seorang pemuda perayu wanita. Para pemuda lain yang merasa iri
kepadanya, menyebut dia pemuda mata keranjang yang seolah-olah hendak
menggandeng semua wanita yang berada di situ. Tentu saja sebutan mata keranjang
ini mereka lontarkan di belakang Hay Hay karena kalau berhadapan, mereka tidak
berani terhadap murid Tocu yang paling lihai ini.
Tentu saja
perkembangan ini tidak terlepas dari pengamatan Ciu-sian Sin-kai. Ketika Hay
Hay berusia lima belas tahun dan melihat pemuda ini senang sekali bergaul
secara akrab dengan para gadis di pulau itu hingga menimbulkan iri hati para
pemuda lain, pada suatu malam kakek itu memanggilnya dan mengajaknya bicara di
dalam kamar.
"Hay
Hay, berapakah usiamu sekarang?"
"Seingat
teecu, ketika teecu mengikuti Suhu, menurut keterangan Suhu See-thian Lama
teecu sudah berusia dua belas tahun. Sampai sekarang, teecu sudah tiga tahun
ikut Suhu sehingga kalau tidak salah, usia teecu kini sudah lima belas
tahun."
"Lima
belas tahun, ya?" kakek itu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang
tajam, mengamati muridnya itu.
Memang Hay
Hay berwajah tampan. Sepasang matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya
membayangkan kegagahan akan tetapi juga manis, sikapnya periang dan lincah
sekali, wajahnya cerah dan pertumbuhan badannya sangat baik sehingga dalam usia
lima belas tahun dia sudah nampak dewasa.
"Engkau
sudah hampir dewasa, muridku dan melihat ketekunanmu berlatih, aku tak perlu
merasa heran kalau engkau memperoleh kemajuan begini pesat dalam ilmu silatmu."
"Berkat
bimbingan Suhu yang bijaksana, mudah-mudahan teecu akan selalu dapat belajar
dengan tekun."
Selain
tampan dan ramah, anak ini pun amat pandai membawa diri, pandai mengeluarkan
kata-kata yang menyenangkan hati orang, pikir Ciu-sian Sin-kai. Tidak
mengherankan jika para gadis suka padanya. Wanita memang paling suka kepada
pria yang pandai merayu dan bersikap manis, apa lagi kalau rayuan serta sikap
manis itu bukan palsu, melainkan keluar dari watak yang ramah seperti Hay Hay
ini.
"Hay
Hay, engkau tahu bahwa seorang gagah akan selalu berterus terang dan tidak
perlu menyembunyikan segala hal seperti seorang pengecut."
"Teecu
mengerti, Suhu," kata Hay Hay, tetapi hatinya merasa agak tidak enak
karena dia dapat menduga bahwa tentu suhu-nya akan membicarakan sesuatu
mengenai dirinya dan dia diharapkan untuk bicara terus terang.
"Hay
Hay, aku mendengar dan melihat sendiri betapa engkau bergaul akrab sekali
dengan semua gadis yang berada di pulau ini. Sampai sejauh manakah pergaulanmu
itu?"
Hay Hay
tersenyum, agak malu-malu akan tetapi hatinya lega karena kiranya hal itu yang
ditanyakan gurunya. "Salahkah itu, suhu? Teecu bergaul dengan mereka
karena bukankah mereka itu masih terhitung satu keluarga di pulau ini?
Pergaulan teecu hanya akrab saja, bermain-main dengan mereka di pinggir pantai,
menggoda ikan-ikan hiu, memancing ikan, bekerja di ladang dan kadang-kadang
pada saat bulan purnama, teecu membantu mereka berlatih silat di pantai
berpasir sambil main-main."
Ciu-sian
Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Hal seperti itu adalah kesenangan
sehat. "Apakah hanya seperti itu saja? Apakah tidak pernah engkau
melakukan hubungan yang lebih mesra lagi? Merangkul dan mencium seorang gadis
misalnya?"
Kembali Hay
Hay tersenyum malu-malu, bahkan kini kulit mukanya berubah menjadi agak
kemerahan.
"Aihhh,
Suhu, apakah hal itu juga salah? Kalau sedang main-main, kadang-kadang kami
saling rangkul dan..., eh, ada kalanya... eh, kami saling cium karena dorongan
rasa suka, apakah itu... maksud teecu, melanggar kesusilaan seperti yang pernah
teecu pelajari dari kitab-kitab yang diberikan oleh Suhu See-thian Lama?"
Ciu-sian
Sin-kai tertawa. "Ha-ha-ha, pelanggaran susila bukan ditentukan oleh
pandangan umum terhadap suatu perbuatan. Jadi, kau pernah saling rangkul dan
saling cium dengan seorang gadis? Apakah ada gadis tertentu di sini yang
melakukan hal itu denganmu?"
Hay Hay menggelengkan
kepala dengan sungguh-sungguh. "Tak hanya seorang tertentu, Suhu, akan
tetapi... sebagian besar dari mereka. Hampir semua!"
"Dan
kau layani mereka semua itu?" suhu-nya bertanya, kini memandang dengan
mata terbelalak walau pun mulutnya mengulum senyum geli.
Hay Hay
mengangguk. "Kami melakukannya karena merasa gembira dan senang, Suhu.
Apakah hal itu salah dan dilarang? Kalau Suhu melarangnya, tentu teecu tidak
berani lagi melakukannya."
"Tidak,
muridku, aku tidak melarangnya. Akan tetapi, kenapa kemesraan itu kau lakukan
dengan semua wanita yang berada di sini?"
"Tidak
semua, Suhu," kata Hay Hay sejujurnya, "hanya... mereka yang suka
saja dan juga mereka yang teecu sukai..."
"Kau
maksudkan, mereka yang suka padamu dan mereka yang kau sukai karena mereka itu
cantik? Jadi mereka yang cantik-cantik saja?"
Hay Hay
mengangguk dan meledaklah suara ketawa Ciu-sian Sin-kai. "Ha-ha-ha, kau
ini kecil-kecil sudah mata keranjang!"
"Apakah
hal itu tidak baik dan tidak boleh, Suhu?"
Dengan
senyum lebar kakek itu berkata. "Semua laki-laki adalah mata keranjang!
Tidak ada seorang pun pria di dunia ini yang tidak suka melihat wanita cantik,
kecuali kalau dia sakit dan ada kelainan. Apabila kebanyakan pria hanya
menyembunyikan rasa sukanya, maka engkau menunjukkannya dengan terus terang.
Engkau jujur, akan tetapi sifat mata keranjang ini juga ada bahayanya bagimu
sendiri, muridku."
"Bagaimana
bahayanya, Suhu?"
"Engkau
belum cukup dewasa untuk mengetahuinya dan kelak engkau akan tahu sendiri. Jika
engkau tidak hati-hati, engkau akan menjadi hamba nafsumu sendiri, dan yang
jelas, engkau akan mendatangkan rasa iri di dalam hati banyak pria. Sekarang
pun di pulau ini para pemuda sudah merasa iri hati padamu karena engkau paling
disuka oleh para gadis di sini. Para pemuda lainnya merasa tersisihkan!"
"Akan
tetapi teecu tidak pernah merebut gadis orang, Suhu. Para gadis itu sendiri
juga suka bermain-main dengan teecu. Kenapa mereka tak mau seperti teecu,
menyenangkan hati para gadis itu?"
"Ha-ha-ha,
sudah kukatakan tadi, kebanyakan kaum pria merahasiakan rasa suka mereka
terhadap gadis-gadis cantik. Ada yang demi harga diri, ada yang karena malu,
atau demi kesopanan dan sebagainya. Sekarang dengarkan baik-baik, Hay Hay.
Engkau boleh saja bergaul dengan mereka, akan tetapi... ehh, urusan peluk cium
itu sedapat mungkin harus kau jauhi, atau setidaknya harus kau kurangi."
"Kenapa,
Suhu? Jahatkah itu, salahkah dan kalau salah, kenapa? Kami sama-sama suka
melakukannya dan tidak ada yang memaksa, tidak ada yang merugikan orang
lain..."
"Husshh,
kau belum mengerti. Permainan seperti itu berbahaya sekali. Wanita dan pria
ibarat api dengan minyak, kalau terlalu berdekatan dapat saja terbakar
habis-habisan."
"Teecu
tidak mengerti, Suhu."
"Sudahlah,
kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Asal engkau selalu ingat saja semua
percakapan kita ini, juga ingatlah selalu bahwa bermain-main yang terlalu akrab
itu dapat mengobarkan api yang membakar, dapat menimbulkan nafsu dan amat
membahayakan. Hanya lelaki dan perempuan yang sudah menjadi suami isteri saja
yang patut melakukan kemesraan itu karena di antara mereka tak ada batas-batas
susila dan larangan-larangan, juga tidak terdapat bahaya, misalnya jika si
wanita menjadi hamil akibat hubungan dengan pria yang menjadi suaminya."
Hati Hay Hay
tertarik sekali. Belum pernah dia mendengar pelajaran tentang itu, dan yang
diketahuinya secara sedikit-sedikit hanya kalau dia bercakap-cakap dengan para
pemuda di pulau itu. Dia hanya tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis bila
mana sudah menikah akan mempunyai anak.
Biar pun
dengan malu-malu, para pemuda pernah pula menyentuh urusan hubungan sex di
dalam percakapan mereka, akan tetapi percakapan itu sifatnya hanya kelakar saja
dan dilakukan dengan malu-malu sehingga hanya berupa pengertian samar-samar
saja. Dan harus diakui bahwa kalau ada seorang gadis manja yang suka
bersentuhan dengannya, bahkan dia dan gadis itu saling rangkul leher atau
pinggang, dan saling mencium dengan hidung menyentuh pipi, dagu atau leher,
timbul gairah yang membuat dia kadang-kadang tergetar hebat.
Akan tetapi
dia tidak berani melakukan yang lebih dari itu, karena ada pengertian bahwa
satu hal itu sama sekali merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar, karena
dapat menyeret mereka ke dalam bahaya, yaitu kehamilan gadis itu!
"Suhu,
teecu ingin sekali mengetahui dengan jelas akan hubungan antara pria dan
wanita, mohon petunjuk Suhu agar teecu tahu apa yang boleh dan tidak boleh
teecu lakukan, di mana letak bahaya-bahayanya."
Kakek itu
tersenyum dan mengangguk-angguk. Memang sudah tiba saatnya muridnya itu tahu
akan segala urusan itu. Bagaimana pun juga, seorang manusia, tak peduli dia itu
pria ataukah wanita, apa bila sudah tiba waktunya tentu akan memasuki masa akil
balik, usia dewasa di mana tubuh mereka menuntut kebutuhan sex.
Kalau
seseorang memasuki masa itu dengan mata terbuka, mengerti akan keadaan masa
itu, maka dia tidak akan sesat jalan. Sebaliknya, kalau dibiarkan mendapatkan
pengertian tentang hal itu secara liar di luaran, salah-salah bisa saja
mendapat pengertian yang tidak sebagaimana mestinya.
"Hay
Hay, coba kau pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) kemudian bawalah ke
sini gambar tubuh manusia laki-laki dan perempuan yang menggambarkan
jalan-jalan darah untuk latihan tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah)
itu."
Hay Hay
segera pergi lantas kembali ke kamar suhu-nya sambil membawa dua gulungan
gambar yang melukiskan tubuh seorang pria dan seorang wanita dengan garis-garis
jalan darah masing-masing yang memiliki sedikit perbedaan. Dia sudah hapal akan
jalan-jalan darah pria dan wanita itu, akan tetapi kini perasaannya membisikkan
bahwa yang hendak diajarkan suhu-nya sama sekali bukan mengenai jalan darah!
Ciu-sian
Sin-kai menggantungkan dua gambar itu berdampingan pada dinding, kemudian
mulailah dia menjelaskan tentang keadaan tubuh pria dan wanita dalam kaitannya
dengan sex. Dengan jelas, tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu dia menceritakan
semua, mulai dari hubungan kelamin, sampai terjadinya benih yang tumbuh menjadi
seorang anak di dalam rahim si wanita. Dengan perlahan-lahan dia memberi
penjelasan sehingga Hay Hay dapat memperoleh gambaran yang amat jelas tanpa
menjadi terangsang.
"Nah,
sekarang engkau tentu sudah mengerti betul. Adalah suatu hal yang wajar apa
bila pria tertarik kepada wanita cantik dan sebaliknya, muridku. Daya tarik
dari masing-masing pihak itulah yang merupakan syarat utama sehingga pria dan
wanita saling mendekati dan melakukan hubungan badan sehingga terlahirlah
manusia-manusia baru, seperti juga yang terjadi pada semua binatang dan semua
tumbuh-tumbuhan. Yang berbeda hanyalah cara melakukan hubungan itu saja. Tanpa
pertemuannya dua zat Im dan Yang, takkan terjadi pertumbuhan kehidupan
baru."
Hay Hay
mengangguk-angguk tanpa menjawab, hanya sepasang matanya kadang-kadang
memandang wajah suhu-nya, kadang-kadang memandang kedua gambar tubuh manusia di
dinding itu.
"Karena
itu berhati-hatilah mengendalikan rasa sukamu terhadap wanita. Pergaulan akrab
boleh saja, kenapa tidak? Hanya saja, engkau harus berhati-hati. Hubungan
kelamin yang dapat membuahkan manusia baru, hanya tepat dilakukan oleh dua
orang pria dan wanita yang saling mencinta, yang sadar bahwa hubungan mereka
bisa menghasilkan anak, dan keduanya sudah siap untuk menerima kehadiran anak
itu untuk dibesarkan serta dididik. Hubungan yang berdasarkan nafsu dan iseng
belaka, kalau sampai membuahkan anak, tentu akan mereka terima sebagai suatu
malapetaka dan hal ini tentu saja sangat tidak baik."
"Terima
kasih atas segala petunjuk Suhu yang amat berharga," kata Hay Hay dengan
hati lega.
Sebegitu
jauh, belum pernah dia melakukan pelanggaran dan memang dia merasa sangat ngeri
kalau membayangkan bahwa dia akan lupa diri bersama seorang gadis, melakukan
hubungan, kemudian mendapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung dan melahirkan
seorang anak! Tidak, dia belum siap untuk menjadi ayah! Belum siap untuk
menikah. Dia akan selalu ingat akan bahaya ini.
"Nah,
sekarang engkau sudah tahu. Orang-orang muda di pulau ini mempunyai ayah dan
bunda, tentu mereka akan mengetahui hal itu dari orang tua mereka. Engkau boleh
saja mengajak mereka bicara tentang ini, juga boleh engkau memberi tahu kepada
para gadis itu supaya mereka berhati-hati. Wanitalah yang menanggung akibat
jauh lebih hebat dari pada pria dalam hubungan di luar nikah ini, karena
wanitalah yang akan mengandung dan melahirkan anak! Jadi wanita yang terutama
sekali harus mengekang diri dan berhati-hati. Masih bagus kalau si pria
bertanggung jawab dan mencintanya dengan sungguh-sungguh sehingga bersedia
menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya. Tapi bagaimana kalau mendapatkan
pria yang hanya main-main karena terdorong napsu belaka, setelah wanita itu
mengandung lalu meninggalkannya begitu saja?"
Sejak
menerima petunjuk dan nasehat gurunya, Hay Hay bersikap lebih hati-hati. Bukan
berarti dia menjauhi wanita, sama sekali tidak. Dia memang suka sekali bergaul
dengan gadis-gadis, apa lagi gadis yang cantik manis dan manja. Dia senang
mengamati wajah mereka yang manis, rambut mereka yang halus dan kulit tubuh
mereka yang putih mulus. Dia suka mencium bau sedap tubuh mereka, suka
mendengar suara mereka yang halus merdu dan manja, menyentuh kulit yang hangat
dan halus. Betapa pun juga, dia kini lebih berhati-hati!
Masalah sex
dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, sejak
dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan yang tak kunjung
habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama yang mempunyai anak
gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan besi berupa
pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan sebagainya untuk
mengekang anak-anak mereka supaya jangan sampai tergelincir oleh godaan nafsu
dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit sejak tubuh mereka menjadi dewasa.
Ada pula yang acuh saja, bahkan kurang perhatian dan bersikap masa bodoh. Akan
tetapi kedua-duanya, jika sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum
menikah, menjadi kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi
karena dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.
Kini bukan
jamannya lagi untuk mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang
gadis dalam kamarnya atau dalam rumah saja. Akan tetapi bukan suatu sikap yang
baik dari orang tua jika membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan
dalam keadaan yang kurang kuat sehingga dia mudah tergoda dan tergelincir. Lalu
apa yang harus dilakukan orang tua menghadapi pergaulan yang makin modern dan
bebas dari anak-anaknya?
Orang tua
yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka menghamili
seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis itu sebagai mantu,
cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah ataukah belum.
Sebaliknya,
orang tua yang mempunyai anak gadis selalu khawatir kalau-kalau anaknya itu
tergoda lantas tergelincir menjadi hamil. Seribu satu usaha dilakukan
orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara yang tidak terpuji,
yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!
Setiap anak
mempunyai dunianya masing-masing, kehidupannya sendiri, selera dan jalan
pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Tapi semua ini tidak terpisah sama
sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan keluarganya. Sudah
sepatutnya jika anak yang lahir di dunia karena ulah ayah bundanya, memperoleh
cinta kasih yang murni dari ayah bundanya, karena hanya kasih sayang inilah
merupakan pendidikan yang paling benar.
Dengan
adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua menjadi akrab, dan keakraban
ini yang membuat si anak menjadikan orang tuanya sebagai sumber segala
pertanyaan, sumber segala perlindungan. Dengan dasar cinta kasih, anak akan
menerima keterangan-keterangan mengenai kehidupan dari orang tuanya sehingga
sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat, tidak pernah merasa terkekang dan
merasa bebas, dan selalu bertanggung jawab akan segala perbuatan yang
dilakukannya sendiri.
Rasa
tanggung jawab ini akan meniadakan penyesalan atas segala suatu perbuatan yang
dilakukannya. Apa lagi kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa
dirugikan, merasa dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan
dan kemarahan-kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya
bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan dirugikan!
Namun kasih
sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Kalau sejak kecil seorang anak
mendapat cinta kasih, maka anak akan memasuki kehidupan dalam masa apa pun juga
dengan mata terbuka dan jiwa bebas. Jiwanya tidak terkekang, tidak tertekan,
terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang membuatnya menjadi
pengecut dan tidak berani mempertanggung jawabkan segala akibat dari pada
perbuatannya sendiri.
Orang tua
yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya, tidak pernah merasa khawatir
anaknya akan melakukan hal-hal yang dianggapnya tidak patut tentu saja dasarnya
takut kalau si anak mencemarkan nama dan kehormatan orang tua. Dengan dasar
cinta kasih murni, maka tiada persoalan yang tak dapat diatasi atau dipecahkan,
tak ada persoalan yang menimbulkan amarah, duka atau pun penyesalan. Cinta
kasih bersinar terang dan cahayanya mengusir segala kegelapan pikiran, mencuci
segala yang tadinya dianggap kotor.
Sejak
memperoleh keterangan suhu-nya, Hay Hay menjadi lebih dewasa dalam sikapnya,
biar pun kesukaannya terhadap gadis-gadis cantik tak pernah berkurang, bahkan
semakin hebat, seperti juga kesukaannya terhadap bunga-bunga, terhadap segala
sesuatu yang indah, makin meningkat.
Anak ini
memang berjiwa romantis, karena itu tidaklah aneh kalau pemuda di Pulau Hiu
menjulukinya Pendekar Mata Keranjang! Julukan pendekar karena memang ilmu
silatnya makin meningkat dan semakin hebat, dan mata keranjang karena setiap
kali dia bertemu dengan seorang wanita cantik maka sepasang matanya selalu
bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum-senyum, wajahnya menjadi semakin cerah.
Ciu-sian
Sin-kai yang hanya memiliki waktu lima tahun, sengaja mengajarkan semua ilmu
simpanan yang paling tinggi sehingga walau pun pemuda itu hanya belajar selama lima
tahun lamanya, boleh dibilang sudah mewarisi seluruh ilmunya, karena telah
menyelami dasar-dasar dan melatih ilmu-ilmu yang paling tinggi dan pilihan.
Bahkan Hay Hay belajar pula meniup suling dengan pengerahan khikang untuk
menyerang lawan, di samping juga memainkan suling itu sebagai sebatang pedang.
Memang waktu
memiliki kekuasaan secara mutlak atas diri kita manusia. Hampir seluruh hidup
ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan waktu, atau yang
dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu
mendatang, dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka timbul segala macam
persoalan di dalam kehidupan kita.
Hampir
seluruh perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi, lahir dari waktu
yang mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu, karena
pikiran kita mengingat-ingat hal yang telah lalu, kemudian membandingkannya
dengan waktu kini dan membayangkan keadaan waktu mendatang.
Karena
pikiran mengunyah-ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali,
timbullah duka. Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di
masa depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan
kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak.
Karena
pikiran membayangkan hal-hal yang menimpa diri sendiri, yang merasa dirugikan
lahir atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian.
Batin kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang,
setiap saat dicengkeram oleh waktu!
Melihat
kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri betapa hal ini merupakan
suatu kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita masing-masing,
timbullah satu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas dari
cengkeraman waktu?
Tentu saja
yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan batiniah. Kehidupan lahiriah tentu
saja tak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan
umum, dan sebagainya memang harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah
batin bebas dari cengkeraman waktu, bebas dari pengenangan kembali hal-hal yang
lalu, bebas dari harapan-harapan di masa mendatang, dan hidup saat demi saat,
detik demi detik, hidup SEKARANG ini? Apabila dapat, jelas bahwa kita akan
bebas pula dari duka, kebencian, ketakutan.
Mungkinkah
bagi kita untuk dapat memutuskan ikatan dengan masa lalu? Menghabiskan sampai
di sini saja segala urusan yang telah lampau? Dan tidak membayang-bayangkan,
tidak mengharapkan, hal-hal yang belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat
demi saat, menghadapi dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang
terjadi saat demi saat, seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang
amat tinggi dan indah.
Mari kita
coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan bahwa hal itu amat sukar,
tak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang kemudian kita lihat
bagaimana perkembangannya!
Kalau kita
tidak memperhatikannya, maka waktu melesat melebihi anak panah cepatnya dan
sebaliknya seakan merayap seperti keong kalau kita perhatikan. Tanpa disadari,
telah delapan tahun lamanya semenjak Hay Hay berpisah dari See-thian Lama!
Delapan tahun hanya merupakan waktu sekilat kalau tidak kita perhatikan
lewatnya.
PADA suatu
pagi yang cerah, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan keluar dari sebuah
hutan, menuju ke sebuah dusun yang genteng-genteng rumahnya telah nampak dari
atas lereng dari mana dia tadi turun di waktu pagi sekali. Dari atas lereng
gunung yang penuh hutan lebat itu, pagi-pagi buta tadi dia melihat sebuah
perkampungan di kaki gunung yang di pagi hari itu lampu-lampunya masih belum
dipadamkan semua. Kini, setelah melewati hutan terakhir, ketika matahari pagi telah
bersinar cerah, dari jauh dia sudah bisa melihat genteng-genteng rumah yang
kemerahan.
Pemuda itu
berwajah ganteng. Matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, bibirnya selalu
tersenyum atau mengulum senyum, hidungnya mancung serta dagunya membayangkan kegagahan
seorang jantan.
Pakaiannya
terbuat dari kain sederhana saja, akan tetapi potongannya rapi dan nampak
bersih terawat baik. Pakaian itu berwarna biru muda dengan garis-garis kuning
di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terikat di punggungnya.
Tubuhnya
sedang, akan tetapi tegap. Dadanya bidang dan membusung, membayangkan kekuatan
yang tersembunyi. Usia pemuda ini sekitar dua puluh tahun. Walau pun masih
muda, namun di dalam sinar matanya yang berkilat dan berseri itu, di dalam
senyumnya yang seolah-olah penuh pengertian, pemuda ini nampak jauh lebih
dewasa dari pada usia yang sebenarnya.
Dari caranya
berpakaian, dia seperti seorang pelajar dari dusun yang menempuh ujian di kota
dan kini sedang dalam perjalanan pulang ke dusun, seorang pemuda pelajar yang
pandai, halus dan sopan, akan tetapi lemah lembut. Akan tetapi kalau melihat
tubuhnya yang tegap dan dadanya yang lebar, dia lebih mirip seorang yang suka
akan olah raga, atau setidaknya seorang pemuda yang telah biasa bekerja kasar
di ladang di bawah sinar matahari yang sehat.
Pemuda itu
bukan lain adalah Hay Hay! Kini dia tidak mau lagi menggunakan she (nama
keturunan) Siangkoan karena nama keturunan itu adalah milik Lam-hai Siang-mo,
suami isteri iblis yang sudah menculiknya dari tangan keluarga Pek itu. Dan dia
pun tidak berani memakai nama keturunan keluarga Pek, karena menurut kedua
orang gurunya, sangat diragukan bahwa dia adalah benar-benar putera keluarga
Pek.
Bukankah
putera keluarga Pek itu adalah Sin-tong seperti yang dahulu pernah diramalkan
oleh para Lama dan bahwa Sin-tong memiliki ciri khas pada punggungnya, yaitu
dengan tanda kulit punggung merah? Tidak, dari pada menggunakan nama keturunan
yang salah, lebih baik dia tidak memakai nama keturunan apa pun dan tetap
memakai nama kecilnya saja, yaitu Hay Hay!
Kurang lebih
tiga tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia meninggalkan
Pulau Hiu karena waktu lima tahun telah lewat, yaitu waktu yang ditentukan
baginya untuk berguru kepada Ciu-sian Sin-kai. Sesudah memperoleh bekal
ilmu-ilmu yang tinggi, juga nasehat-nasehat serta sekantung uang emas dari
gurunya yang mencintanya, Hay Hay mendayung sebuah perahu kecil keluar dari
perairan Pulau Hiu yang berbahaya.
Dia masih
bergidik ngeri kalau teringat kembali akan peristiwa penyerbuan pulau itu oleh
kaum bajak laut pada waktu untuk pertama kali dia datang bersama gurunya ke
pulau itu, membayangkan puluhan orang disergap ikan-ikan hiu lalu dijadikan
mangsa. Maka, ketika dia mendayung perahu di antara batu-batu karang dan melihat
sirip ikan-ikan hiu yang meluncur ke sana-sini, dia pun merasa ngeri juga.
Betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya, sekali dia terjatuh ke dalam perairan
itu, tak mungkin dia dapat menyelamatkan diri lagi.
Akan tetapi
berkat pengetahuannya akan rahasia dan lika-liku batu-batu karang di perairan
itu, dia dapat keluar dengan selamat dan tidak lama kemudian mendarat di pantai
lautan Po-hai. Selama tiga tahun Hay Hay merantau dan sudah banyak dia
mengalami hal-hal yang memperdalam pengertiannya akan kehidupan ini dan membuat
dia lebih mengenal watak manusia dan sedikit banyak tahu akan keadaan dunia
kang-ouw.
Namun dia
selalu mentaati pesan kedua orang gurunya, yaitu dia tidak mau menonjolkan diri
dan kepandaiannya, dia tak mau membuat nama besar karena menurut pesan kedua
orang gurunya, nama besar itu merupakan ikatan yang amat kuat membelenggu diri
dan setiap ikatan akan selalu mendatangkan kerepotan.
Memiliki
sesuatu merupakan sebuah bentuk ikatan yang amat kuat, demikian antara lain
See-thian Lama pernah menasehatinya. Biasanya, kita ingin memiliki sesuatu yang
dapat menimbulkan kesenangan tapi siapa yang memiliki sesuatu, dia pasti akan
terancam oleh kehilangan. Ancaman inilah yang menimbulkan kekerasan di dalam
batin untuk menjaga dan mempertahankan apa yang dimilikinya itu, karena kalau
kehilangan, berarti dia akan kehilangan kesenangan-kesenangan yang didatangkan
oleh yang dimilikinya itu. Di dalam mempertahankan inilah terjadi kekerasan,
permusuhan, kebencian dan selanjutnya.
Dahulu,
ketika masih berusia dua belas tahun, Hay Hay belum mengerti benar apa yang
dimaksudkan oleh gurunya itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan melihat
kenyataan serta kebenaran dalam ucapan pendeta Lama itu. Siapa yang memiliki
dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang memiliki sajalah yang
akan kehilangan, sedangkan yang tidak memiliki apa-apa takkan kehilangan
apa-apa pula.
Dia pun
melihat kenyataan bahwa hanya orang yang tak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya
tak terikat oleh apa pun, maka hanya dia itulah yang sebenarnya penuh dengan
segala sesuatu! Sedangkan orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong,
memang haus untuk memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, sebab itu dia
membutuhkan sesuatu yang disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya
Memang di
dunia ini banyak kenyataan yang sangat aneh. Mengapa orang ingin memiliki
benda-benda yang bisa dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau pun
penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan harum itu?
Padahal, tanpa kita miliki sekali pun, dapat saja kita menikmati keindahan dan
keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang nyanyiannya demikian
merdu? Bukankah tanpa memiliki sekali pun, kita sudah dapat menikmati kemerduan
suara burung itu?
Kita ingin
memiliki segala-galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki
manusia lain. Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang
kita kuasai, milik yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita.
Bahkan kita ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan.
Si Aku tak
pernah puas, terus membesar dan berkembang. Tubuhku, namaku, hartaku,
kedudukanku, keluargaku, kemudian terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku
dan selanjutnya. Karena melihat betapa si aku ini sesungguhnya bukan apa-apa,
hanya seonggok daging hidup yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah
mati lalu segala miliknya itu terpisah dari 'Aku', maka si aku haus untuk
mengikatkan diri dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan serta kekecilannya,
atau untuk tempat bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar 'hidup'
terus!
Kini Hay Hay
telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berwatak gembira, jenaka,
memandang kehidupan dengan sepasang mata bersinar-sinar, wajah yang cerah penuh
gairah hidup. Baginya hidup selalu tampak indah dan segala hal bisa
dinikmatinya sepenuhnya.
Udara yang
jernih sejuk dan nyaman, air, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayur,
bunga-bunga dan segala yang nampak di permukaan bumi ini sesungguhnya amat
indah dan segalanya itu dapat kita nikmati sepenuhnya. Dia memang suka akan
keindahan dan agaknya karena inilah maka dia peka sekali terhadap kecantikan
wanita!
Ketika Hay
Hay berjalan seorang diri menuju ke dusun itu, tiba-tiba pendengarannya yang
tajam menangkap suara ketawa merdu sekelompok wanita. Dia tersenyum gembira.
Bagi Hay Hay, suara dan ketawa wanita memasuki telinganya seperti bunyi musik
yang merdu dan selalu menimbulkan perasaan yang tenang, damai dan menyenangkan
sekali. Dia lalu membelok ke kiri, ke arah datangnya suara itu.
Kiranya ada
tujuh orang wanita muda usia, antara lima belas sampai dua puluh tahun, sedang
mencuci pakaian dan mandi di sebuah sungai kecil yang mengalir di luar dusun
itu. Air sungai itu cukup jernih karena mengalir dari pegunungan yang
ditinggalkannya tadi pagi.
Karena mandi
di tempat umum sambil mencuci pakaian, gadis-gadis itu tidak telanjang sama
sekali, akan tetapi mengenakan pakaian dalam yang tipis. Air yang membasahi
tubuh dan pakaian itu membuat pakaian melekat sehingga dari tempat dia berdiri
tampak tubuh-tubuh yang padat itu seperti tidak berpakaian saja. Pemandangan
yang indah!
Hay Hay
tersenyum dan memilih tempat duduk di bawah pohon, di atas batu besar dari mana
dia dapat nonton dengan enaknya, lalu menurunkan buntalan bekalnya dan mulai
makan sepotong roti kering karena sejak pagi tadi dia belum sarapan. Seguci
kecil arak yang tidak keras menemani roti kering itu, juga sepotong daging
kering manis.
Makin lezat
rasa roti dan daging kering sederhana itu karena pemandangan yang amat menarik
hatinya. Alangkah lembut dan padatnya tubuh gadis-gadis itu, dengan kulit yang
berkilau mulus tertimpa matahari pagi. Dan wajah-wajah itu demikian manis. Dan
suara senda gurau itu demikian riang gembira, merdu laksana tiupan suling.
Dengan gigi putih kadang-kadang berkilau ketika gadis-gadis itu tersenyum
gembira.
Selama tiga
tahun merantau ini, dan dirinya menjadi semakin dewasa, sudah banyak Hay Hay
bertemu dan bergaul dengan wanita. Akan tetapi pergaulannya itu selalu
dibatasinya. Dia tidak pernah melupakan kuliah yang pernah diterimanya dari
Ciu-sian Sin-kai.
Tidak, dia
belum siap untuk menjadi suami dan ayah. Dia belum siap untuk menikah. Dan dia
pun tak mau menjadi seorang lelaki pengecut yang tidak bertanggung jawab,
setelah menghamili seorang gadis lalu meninggalkannya begitu saja.
Karena itu
dia selalu berhati-hati, tidak membiarkan dirinya terseret terlalu jauh dan
selalu dia menyingkir dan menjauhkan diri apa bila pergaulannya dengan seorang
wanita sudah menjadi terlampau erat dan nampak bayangan bahaya terseret ke
dalam pelaksanaan hal yang dipantangnya. Dan sejauh ini, dia berhasil!
Keadaan Hay
Hay memang berbeda dengan keadaan pemuda pada umumnya, atau para pria apa bila
melihat wanita-wanita cantik. Hay Hay secara langsung menikmati keindahan
bentuk tubuh wanita-wanita itu, menikmati kecantikan wajah mereka, kelembutan
mereka, keluwesan gerakan tubuh mereka, dan kemerduan suara mereka. Dia
menikmati semua itu, pada saat itu juga, tanpa membiarkan pikirannya terbawa
hanyut ke dalam permainan waktu.
Pada umumnya
pria alim akan hanyut ke dalam alam khayal, mengenangkan kembali segala
pengalaman dengan wanita-wanita cantik, lalu mengkhayal bahwa wanita-wanita
itu, atau salah seorang di antaranya menjadi miliknya, menjadi kekasihnya,
dicumbunya sehingga dengan demikian timbullah dan bangkitlah nafsu.
Hay Hay
tidak mengkhayalkan apa-apa. Dia melihat semua keindahan itu tanpa keinginan
memiliki, seperti orang menikmati keindahan bulan purnama, keindahan tamasya
alam di pegunungan, keindahan gelombang air di samudra. Sedikit pun tidak
timbul khayal pikiran untuk mengikatkan diri dengan yang dikaguminya, atau
untuk mendapatkan kesenangan darinya. Dia menikmati semua itu secara langsung,
dan akan habis di saat itu pula, tidak menjadi kenangan.
Akan tetapi
karena Hay Hay enak-enak saja duduk di tempat itu tanpa menyembunyikan diri, makan
roti dan daging kering sambil menikmati tontonan di bawah sana, tentu saja
akhirnya salah seorang di antara gadis-gadis itu melihatnya.
"Aihhhh...!"
Gadis itu menjerit lantas mendekam di dalam air sambil menggunakan kedua tangan
menutupi dada yang tercetak melekat pada kain basah.
Teman-temannya
terkejut kemudian bertanya, dan gadis itu cepat menunjuk ke arah Hay Hay. Semua
gadis segera menoleh dan terdengarlah jerit-jerit manja ketika gadis-gadis itu
melihat ada seorang pemuda tampan sedang enak-enak duduk nongkrong di atas
sebuah batu besar sambil makan dan nonton mereka. Mereka semua berjongkok di
dalam air dan menutupi dada dengan kedua tangan.
Hay Hay
tersenyum lebar. Sikap para gadis yang malu-malu itu sungguh merupakan sikap
kewanitaan yang amat lucu dan menarik. Seratus prosen wanita! Mereka mencoba
untuk bersembunyi di dalam air, mencoba untuk menyembunyikan tonjolan payudara
dengan kedua tangan akan tetapi kadang-kadang melirik untuk melihat apakah
sikap mereka itu cukup manis dan menarik! Namanya juga perempuan!
Naluri
kewanitaan selalu mendorong wanita untuk menarik perhatian orang lain, terutama
sekali kalau orang lain itu pria, dan lebih-lebih lagi kalau pria muda yang
tampan. Haus akan perhatian pria, haus akan kekaguman yang terbayang dalam
pandangan mata pria, haus akan pujian yang keluar dari mulut pria. Itulah
wanita! Asli!
Seorang di
antara para gadis itu, yang paling tua, usianya kurang lebih sembilan belas
tahun, agaknya yang paling tabah di antara mereka. Melihat betapa pemuda tampan
yang nongkrong itu masih enak-enak makan sambil terus memandangi mereka, dan
ternyata pemuda itu adalah seorang asing, bukan pemuda dari dusun mereka, dia
lantas berkata dengan nada suara marah.
"Kau...
kau pemuda kurang ajar! Tidak sopan!"
Hay Hay
membelalakkan matanya. Sebelum menjawab dia mendorong makanan di dalam mulutnya
dengan seteguk arak anggur. Kemudian dia membersihkan kedua tangannya dan
sambil memandang ke arah tujuh orang gadis yang berjongkok di dalam air itu,
dia berkata, suaranya lantang dan tidak dibuat-buat.
"Sungguh
aneh. Mengapa kalian harus marah-marah? Bukankah sudah wajar kalau yang
indah-indah itu ditonton dan dikagumi? Aku melihat dan mengagumi bunga indah,
burung-burung yang bersuara merdu dan manja, aku nonton mereka sepuasku, dan
mereka tidak menjadi marah! Semua yang indah-indah memang baru nampak indah
kalau ditonton dan dikagumi, bukan?"
"Apa
yang indah?" tanya gadis itu.
"Apa
yang indah?" Hay Hay bangkit berdiri di atas batu besar itu dan
mengembangkan sepasang lengannya. "Kalian masih bertanya lagi? Kalian
inilah yang indah! Wajah kalian begitu manis dan cerah, sinar mata begitu indah
berseri-seri, senyum kalian di bibir yang segar itu, kedua pipi yang kemerahan,
bentuk tubuh yang demikian sempurna. Aihhhh..., suara kalian yang demikian
merdu. Demikian banyak keindahan pada diri kalian namun kalian masih bertanya
apanya yang indah? Ambooiii...! Kalian adalah gadis-gadis dusun yang
benar-benar polos, wajar dan tidak berpura-pura. Semakin mengagumkan, seperti
sekumpulan bunga mawar hutan yang liar akan tetapi makin cerah warnanya dan
makin semerbak harumnya. Wahai nona-nona cantik jelita, tadi aku terpesona dan
hampir saja menyangka bahwa kalian adalah sekumpulan bidadari dari kahyangan
yang turun mandi di sungai ini."
Tujuh orang
gadis itu adalah gadis-gadis dusun sederhana. Melihat pemuda yang tampan itu
berdiri di atas batu dan mengucapkan kata-kata yang amat indah bagi mereka itu,
yang penuh dengan pujian-pujian, dengan lagak bagai seorang pemain panggung
yang pandai, langsung menjadi melongo semua.
Tidak ada
wanita yang perasaannya tidak menjadi nyaman mendengar orang memujinya cantik,
terlebih lagi pujian seperti itu, demikian muluk dan indah kata-katanya,
dikeluarkan oleh mulut seorang pemuda yang demikian tampan. Hati siapa takkan
menjadi gembira? Tujuh orang gadis itu merasa girang sekali, biar pun masih
mereka sembunyikan di balik senyum-senyum yang mulai timbul, bahkan terdengar
suara ketawa kecil tertahan.
"Ihhh,
jangan-jangan itu hanya rayuan gombal!" terdengar seorang di antara para
gadis itu berkata lirih, akan tetapi telah cukup bagi pendengaran Hay Hay yang
tajam terlatih untuk menangkapnya.
"Astaga,
Nona manis, aku mohon janganlah engkau demikian kejam hingga menuduh aku
mengeluarkan rayuan gombal. Rayuan gombal adalah rayuan yang mengandung pamrih
untuk bermuka-muka dan menjilat-jilat, sedangkan aku tidak mempunyai pamrih
apa-apa terhadap kalian, kecuali memang aku merasa terpesona dan kagum akan
keadaan kalian yang bagaikan bunga-bunga yang bermandikan embun di waktu pagi,
demikian segar dan cerah, demikian cantik dan harum!"
Tentu saja
para gadis itu semakin tertarik dan gadis tertua tadi lalu bertanya.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau berada di sini sambil mengintai kami
yang sedang mandi dan mencuci pakaian?"
Hay Hay
tersenyum. Selama perantauannya yang tiga tahun ini, dia telah banyak bergaul
dengan gadis-gadis cantik, maka dia pun tahu bahwa apa bila seorang gadis sudah
mau melayani bicara, itu tanda Si Gadis tertarik dan dapat diajak berkenalan!
"Namaku
Hay Hay." Dia menjura dengan sikap hormat. "Dan aku kebetulan lewat
di sini. Perutku lapar dan aku lalu beristirahat di sini sambil sarapan dan
mengagumi kalian."
"Apakah...
apakah engkau tidak akan berbuat kurang senonoh dan kurang ajar terhadap
kami?"
Hay Hay
mengerutkan alisnya lantas menunjuk ke atas dan ke bawah. "Langit dan Bumi
menjadi saksi dan akan menghukum aku jika aku mempunyai niat buruk dan kurang
ajar terhadap kalian, Nona-nona manis. Sebagai bukti bahwa aku tidak berniat
kurang ajar tapi hanya ingin sekedar berkenalan dan bersahabat, marilah kalian
kuundang untuk sarapan pagi, aku masih membawa cukup banyak roti dan daging
kering."
Dia
mengeluarkan sebungkus roti dan sebungkus daging, lalu dibukanya dan dipamerkan
kepada gadis-gadis itu. "Roti ini bukan roti biasa melainkan roti istimewa
yang dicampuri kenari, dan daging ini pun lezat bukan main karena ini adalah
daging dendeng manis dari daerah Kwei-lin, sedap dan gurih! Dan aku pun masih
mempunyai seguci anggur yang tidak keras, wangi dan manis. Silakan,
Nona-nona."
Kembali
gadis-gadis itu tertawa kecil cekikikan, agak ditahan. Mereka saling berbisik
dan nampak seperti kelompok yang lucu. Lalu yang tertua berkata, "Kami mau
naik akan tetapi engkau berbaliklah agar kami dapat mengenakan pakaian kering
yang patut."
Hay Hay
maklum akan batas godaannya. Kalau terlalu didesak sehingga merasa sangat malu,
gadis-gadis ini dapat mundur teratur. Dia tersenyum ramah. "Baiklah,
Nona-nona, aku tak akan melihat kalian berganti pakaian!" Dan dia pun
membalikkan tubuhnya, duduk di atas batu itu membelakangi sungai.
Gadis-gadis
itu lalu bergegas berganti pakaian di balik batu-batu sambil kadang-kadang
mengerling ke arah Hay Hay. Kalau Hay Hay menengok dan memandang, tentu mereka
akan marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Akan tetapi pemuda itu sama sekali
tidak pernah menengok.
Memang Hay
Hay tidak mempunyai keinginan untuk mencuri pandang. Dia suka bergaul dengan
gadis-gadis manis yang lincah itu, dan dia tidak menyembunyikan maksud untuk
mencuri sesuatu, melainkan rasa suka yang wajar.
Karena
melihat bahwa pemuda itu benar-benar tak pernah menengok, maka tujuh orang
gadis itu menjadi percaya dan setelah berganti pakaian kering dan mengumpulkan
cucian, sambil tertawa-tawa kecil mereka lantas membawa keranjang pakaian
keluar dari sungai, mendaki tebing sungai dan menghampiri batu besar di mana
Hay Hay duduk.
"Apakah
aku sudah boleh memandang?" Hay Hay bertanya walau pun telinganya sudah
mendengar akan gerakan mereka yang mendaki tebing.
"Boleh,
kami telah berganti pakaian," kata seorang di antara mereka dan kini
mereka telah tiba di dekat batu besar.
Hay Hay
membalikkan tubuhnya dan dia segera terbelalak memandangi mereka dengan sinar
mata penuh kagum yang tidak dibuat-buat dan tidak disembunyikan. Kemudian dia
meloncat turun di depan gadis-gadis itu dan mengembangkan kedua lengannya.
"Amboiii...!
Setelah kalian berpakaian dan kulihat dari dekat, kalian betul-betul merupakan
sekelompok bunga yang indah dan harum semerbak! Lihat, sinar matahari pagi
menjadi semakin cerah dengan adanya kalian di sini!"
Wajah tujuh
orang gadis itu menjadi kemerahan biar pun jantung mereka berdebar penuh dengan
rasa bangga dan gembira. Mereka pun kini memandang kagum karena pemuda yang
amat menyenangkan hati mereka karena kata-kata dan sikapnya itu ternyata adalah
seorang yang berwajah tampan, bertubuh tegap dan berpakaian pantas. Bukan
seorang pemuda dusun, pikir mereka.
"Apakah...
apakah engkau seorang kongcu dari kota?" yang tertua bertanya.
Hay Hay
tersenyum lebar, nampak deretan giginya yang sehat dan putih terpelihara rapi.
Dia menggelengkan kepala. "Nona, apakah bedanya antara orang kota dan
orang dusun? Menurut penglihatanku, bedanya hanya bahwa kalau orang kota banyak
yang sombong dan licik, maka sebaliknya orang dusun rendah hati, ramah dan
jujur. Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku, bagiku
dusun dan kota sama saja."
"Akan
tetapi engkau tentu bukan pemuda dusun dan engkau tentu pandai baca
tulis," kata gadis lain yang ada tahi lalatnya di dagu.
"Aih, Nona,
tahi lalat di dagumu itu benar-benar membuat engkau nampak manis sekali!"
Hay Hay memuji sehingga dara yang usianya sekitar enam belas tahun tersipu.
"Memang aku bisa baca tulis. Ahhh, aku sampai lupa. Silakan mencoba roti
dan daging dendengku, Nona-nona, mari, jangan kalian malu-malu. Bukankah kita
sudah berkenalan dan menjadi sahabat?" Hay Hay menawarkan sambil membuka
bungkusan roti dan daging itu di atas batu.
Para gadis
itu kelihatan ragu-ragu. Namun seorang gadis yang rambutnya terurai panjang sampai
ke pinggul berkata, "Dia sudah menawarkan, tidak baik kalau kita menolak.
Mari kita cicipi." Dan ia pun memelopori teman-temannya mengambil sepotong
roti dan daging.
Setelah
gadis berambut panjang itu mengambil sepotong roti dan dendeng, yang lain pun
sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa kecil lalu mengulur lengan-lengan yang
kecil mungil dan mulus untuk mengambil roti dan daging, masing-masing sepotong.
Mereka mulai
makan, menggigit sedikit-sedikit akan tetapi begitu mereka merasakan roti dan
dendeng yang memang enak, gigitan mereka menjadi semakin besar karena mereka
tidak pernah berpura-pura dan bersopan-sopan seperti gadis-gadis kota. Melihat
ini Hay Hay menjadi semakin gembira. Dengan sinar mata berseri dia memandangi
gadis-gadis itu penuh kagum.
"Aduh,
indahnya rambutmu, Nona, begitu panjang, hitam dan gemuk. Bukan main!"
kata Hay Hay memuji Si Gadis berambut panjang. "Cantik sekali...!"
Para gadis
itu tertawa lantas gadis tertua menuding ke arah gadis bertahi lalat dan gadis
berambut panjang. "Hi-hik, dia memuji-muji Siauw Lan dan Siauw
Cin..." dan semua gadis mentertawakan dua orang gadis itu yang tersipu
malu.
Melihat ini,
Hay Hay cepat-cepat berkata. "Bukan hanya mereka berdua, akan tetapi aku
mengagumi kalian semua karena kalian semua masing-masing memiliki keindahan
yang khas. Aku dapat memuji kalian semua, bukan rayuan gombal, tapi pujian yang
setulusnya atas dasar kenyataan."
"Aihh...,
tidak mungkin engkau memuji kami semua!" kata gadis tertua, menyembunyikan
keinginan hatinya untuk mendengar pujian apa yang akan diberikan pemuda luar
biasa itu untuknya.
Hay Hay
memandang kepada lima orang gadis yang belum dipujinya itu dengan senyum manis.
Dia memang suka sekali pada wanita, dan belum pernah dia melihat wanita yang
tidak memiliki sesuatu yang menonjol pada dirinya, sesuatu yang menarik dan
istimewa.
"Engkau
sendiri, Nona, engkau memiliki kulit yang demikian putih dan mulus, bersih dan
lembut tanpa cacat! Kulitmu nampak putih kemerahan, seperti sutera halus,
nampak amat cemerlang setelah mandi dan basah tertimpa sinar matahari pagi.
Alangkah indahnya dan aku yakin, semua pria tentu akan terpesona melihatnya.
Hanya pria yang kedua matanya buta sajalah yang tidak akan dapat melihat
keindahan kulitmu."
Bukan main
girang rasa hati gadis itu. Memang dia memiliki kulit yang paling putih bersih
dibanding teman-temannya, akan tetapi selama hidupnya, baru satu kali inilah
ada orang yang memuji-muji kebersihan kulitnya seperti itu! Jantungnya
berdebar-debar dan dia pun cepat menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Aihhh,
bisa saja engkau memuji, Kongcu...!" katanya sambil tersenyum malu-malu.
"Kalau
aku yang hitam seperti arang ini, apanya yang pantas dipuji?" tiba-tiba
saja gadis berusia tujuh belas tahun yang memang berkulit agak kehitaman
berkata, menantang dan teman-temannya memperhatikan pemuda itu. A-kiu ini
memang dianggap paling buruk di antara mereka karena kulitnya memang lebih hitam
dari pada yang lain.
Hay Hay
memandang gadis itu, sinar matanya mencari-cari dan akhirnya dia berseru,
"Ah, siapa bilang engkau buruk, Nona? Memang kulitmu agak hitam, akan
tetapi hitam manis itu namanya! Dan lihat matamu! Duhai, siapa yang takkan
terpesona melihat mata seperti matamu itu? Demikian jeli, demikian jernih,
demikian indah bentuknya. Sepasang matamu itu saja sudah cukup untuk
menundukkan hati setiap pria, Nona!" Dan kini kawan-kawan nona berkulit
kehitaman itu baru melihat bahwa Si A-kiu memang mempunyai mata yang sangat
indah!
"Dan
engkau, Nona, keistimewaan yang ada padamu adalah bentuk wajahmu. Inilah yang
dinamakan bentuk wajah bulat telur. Manis bukan kepalang, dengan dagu meruncing
dan tulang pipi sedikit menonjol. Bentuk wajah seperti yang kau miliki itu
membuat semua bagian mukamu menjadi nampak manis sekali!" kata Hay Hay
memuji gadis berikutnya yang tersipu-sipu malu-malu senang.
"Dan
jarang ada gadis yang memiliki hidung serta mulut sepertimu, Nona,"
katanya lagi memandang gadis berbaju hijau, gadis ke enam. "Hidungmu kecil
mancung, cocok sekali dengan mulutmu yang kecil dengan bibir yang penuh dan
merah membasah. Amboiiiii...! Mata pria tak akan mau berkedip memandangi
mulutmu itu. Engkau seorang gadis yang hebat!" Dan tentu saja gadis itu
hanya dapat mengeluarkan suara "aahhh..." yang manja dan tersipu-sipu
seperti yang lain.
"Dan
engkau?" Hay Hay memandang kepada gadis ke tujuh atau yang terakhir.
"Bentuk tubuhmu, Nona! Sungguh laksana setangkai bunga sedang mekar!
Pinggangmu ramping, tubuhmu... sungguh menggairahkan setiap orang pria yang
memandangnya. Semua pria dapat tergila-gila memandang bentuk tubuh seorang
wanita seperti bentuk tubuhmu ini!"
Tujuh orang
gadis itu semua telah mendapat giliran dipuji-puji oleh Hay Hay dan mereka yang
menerima pujian menjadi girang bukan main, akan tetapi setiap kali Hay Hay
memuji seorang gadis, yang lain merasa tak senang dan iri!
"Hemm,
Kongcu...," kata gadis tertua yang kulitnya putih.
"Aihh,
jangan menyebut Kongcu (Tuan Muda), membikin aku malu saja. Namaku Hay Hay dan
kalian boleh saja menyebut aku Kakak Hay."
"Kakak
Hay Hay yang baik," kata gadis tertua. "Engkau memuji kami semua,
katakanlah siapa di antara kami yang kau anggap paling menarik?"
Gadis-gadis
yang lain tersenyum dan tertawa, ikut pula mendesak dan suasana menjadi gembira
sekali. Mereka tertawa-tawa, merubung Hay Hay yang menjadi girang sekali.
Dirubung
tujuh orang gadis cantik dan segar itu, Hay Hay merasa seperti berada di taman
kahyangan dikelilingi tujuh orang bidadari jelita! Dia pun tertawa-tawa
gembira. Alangkah bahagianya hidup ini! Pada setiap keadaan terdapat hal-hal
yang dapat dinikmati, yang mendatangkan rasa gembira di hati.
"Aku
menjadi bingung kalau disuruh mengatakan siapa yang paling menarik. Habis semua
menarik sih!" jawabnya sambil tertawa-tawa dan tujuh orang gadis itu pun
tertawa semua. Senang rasa hati mereka karena selama hidup belum pernah mereka
berjumpa dengan seorang pemuda yang begini menyenangkan hati.
"Andai
kata engkau disuruh memilih salah seorang di antara kami untuk
menjadi...," gadis berambut panjang itu berhenti, mukanya merah sekali dan
dia tidak berani melanjutkan karena malu.
"Menjadi
apa?" Hay Hay pura-pura tidak mengerti.
"Jadi
itu tuuhh...!" sambung gadis bertahi lalat.
"Jadi
pacarmu...!" akhirnya gadis tertua memberanikan diri berkata. "Engkau
akan memilih yang mana, Hay-ko?"
Hay Hay
tertawa bergelak di tengah-tengah ketujuh gadis itu. "Wah repotnya! Pilih
yang mana, ya?" Dia memandang kepada mereka satu demi satu untuk
menimbulkan suasana penuh harapan yang amat menegangkan hati mereka, kemudian
menyambung, "aku pilih semuanya! Ha-ha-ha!"
Gadis-gadis
itu menjerit kecil lantas tertawa-tawa dengan sikap manja dan genit. Mereka pun
menikmati keadaan yang luar biasa, menggembirakan dan sekaligus membangkitkan
gairah hidup dan semangat muda mereka. Mereka merasa demikian bebas dekat
pemuda ini, bebas akan tetapi tidak merasa terancam. Pemuda ini sama sekali
tidak kurang ajar, pandang matanya demikian jenaka tetapi lembut, tanpa
kandungan pandang mata penuh nafsu yang kurang sopan.
Biasanya
mereka merasa betapa pandang mata pria pada saat ditujukan kepada mereka
seolah-olah ingin meraba-raba tubuh mereka, bahkan seolah-olah sinar mata pria
hendak menelanjangi mereka. Pemuda ini berbeda. Ucapan-ucapannya yang
mengandung pujian bukan rayuan belaka, melainkan pujian yang wajar dan setengah
kelakar.
Baik Hay Hay
mau pun ketujuh gadis itu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di belakang
semak-semak belukar, sejak tadi ada sepasang mata jeli yang mengintai dan
mengikuti setiap gerakan mau pun kata-kata mereka. Sepasang mata yang sungguh
tajam, yang kadang-kadang memancarkan kemarahan, tapi kadang-kadang juga
kegembiraan. Pemilik sepasang mata ini adalah seorang dara yang berusia kurang
lebih delapan belas tahun.
Terjadi hal
lucu pada gadis pengintai ini ketika Hay Hay tadi memuji para gadis itu satu per
satu. Kalau Hay Hay memuji rambut seorang di antara mereka, tak terasa lagi dia
pun meraba rambutnya. Jika Hay Hay memuji hidung seorang gadis, dia pun
otomatis meraba hidungnya sendiri dan seterusnya. Pada waktu Hay Hay dirubung
oleh para gadis itu dan mereka semua tertawa-tawa dengan girang, gadis
pengintai itu mengerutkan alisnya dan mengamati mereka dengan pandang mata
tajam.
"Hemmm,
Si Mata Keranjang!" berkali-kali mulutnya mengeluarkan bisikan mendesis
dan pandang matanya terhadap Hay Hay menjadi keras dan semakin tajam.
Para gadis
itu sampai lupa waktu ketika mereka bersenda gurau dengan Hay Hay. Semua bekal
roti dan dendeng pemuda itu sudah habis mereka makan, dan sekarang Hay Hay
menanyakan nama mereka. Seperti sekelompok burung, dengan suara merdu dan gaya
masing-masing, mereka lalu memperkenalkan nama mereka.
Pada saat
itu pula datanglah belasan orang laki-laki tua muda. Mereka datang dari dusun
karena mereka adalah penghuni dusun itu, ada yang menjadi ayah atau kakak dari
para gadis yang sedang bersenda gurau dengan Hay Hay. Tadi ada seorang anak
kecil melihat betapa gadis-gadis itu merubung seorang pemuda asing dan
tertawa-tawa, maka dia pun segera berlari ke dusun dan melaporkan kepada para
penduduk. Berkumpullah belasan orang dan mereka kini menuju ke tepi sungai
kecil.
"Apa
yang kalian lakukan?!" bentak seorang kakek kepada mereka.
Pada waktu
itu Hay Hay dan ketujuh orang gadis itu sedang bercakap-cakap dan mereka
tertawa-tawa mendengarkan sebuah dongeng yang diceritakan Hay Hay kepada
mereka, sebuah dongeng lucu.
Mendengar
bentakan itu, terkejutlah tujuh orang gadis itu lantas mereka semua menoleh.
Kiranya kepala dusun sendiri yang menegur mereka dan tentu saja mereka menjadi
amat ketakutan, cepat mengumpulkan cucian mereka dan mundur menjauhi Hay Hay.
"Tidak-apa-apa,
kami hanya bercakap-cakap...," gadis tertua mewakili kawan-kawannya
menjawab, memandang dengan lugu karena memang tidak merasa bersalah, akan
tetapi takut karena sikap kepala dusun itu seperti orang marah.
"Siapa
dia?" Kepala dusun itu menuding ke arah Hay Hay yang telah turun dari batu
besar yang didudukinya tadi.
"Dia...
Hay-ko dan baru saja kami berkenalan dan..."
"Tidak
pantas anak perawan bercengkerama dengan pria yang asing, bersenda gurau tak
mengenal sopan santun. Hayo lekas kalian pulang sana!" bentak Kepala Dusun
dengan nada marah.
Tujuh orang
gadis itu semakin ketakutan. Merekar melempar pandang ke arah Hay Hay dengan
tatapan khawatir sekali, takut kalau-kalau pemuda yang menyenangkan itu akan
dipukuli orang-orang dusun yang kelihatannya amat marah itu.
"Dia
tidak melakukan apa pun yang tidak pantas! Dia tidak bersalah apa-apa...!"
teriak gadis bertahi lalat yang masih terhitung keponakan dari kepala dusun.
"Diam
kau! Cepat pulanglah kalian, anak-anak tidak tahu malu!" bentak Kepala
Dusun dan sekarang tujuh orang gadis itu tak berani membantah lagi, segera
berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, akan tetapi mereka menengok
dan menengok lagi.
Sementara
itu, kini Kepala Dusun bersama belasan orang penduduk dusun menghampiri Hay Hay
yang sudah turun dan pemuda itu tersenyum, bahkan lalu menjura dengan sikap
hormat.
"Lopek
yang baik, harap jangan memarahi adik-adik itu. Mereka tidak melakukan sesuatu yang
salah. Kami hanya bercakap-cakap saja sesudah saling berkenalan. Saya bernama
Hay Hay dan kebetulan lewat di sini. Melihat mereka selesai mencuci pakaian,
saya lalu menawarkan roti dan daging kering. Kami pun makan bersama,
bercakap-cakap dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, Lopek. Kalau memang
hal itu dianggap salah, biarlah saya yang bersalah, akan tetapi adik-adik yang
baik itu sama sekali tidak bersalah."
Kepala dusun
itu bersama yang lain-lain, tertegun melihat sikap pemuda yang hormat dan
kata-kata yang halus itu. Mereka saling pandang dan tahulah mereka kini bahwa
mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang selain tampan dan
berpakaian seperti seorang pelajar yang beruang, juga kata-katanya halus dan
sopan seperti juga sikapnya. Kepala dusun itu merasa tidak enak kalau harus
memperlihatkan sikap keras. Siapa tahu pemuda ini masih berdarah bangsawan atau
setidaknya putera seorang berpangkat tinggi di kota!
"Kami
tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa tidak pantas sekali jika gadis-gadis
bercengkerama dengan seorang laki-laki asing di tempat sunyi begini,"
katanya. "Kongcu siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apakah
mengunjungi dusun kami ini? Aku adalah kepala dusun di sini, maka berhak untuk
mengenal setiap orang tamu asing yang berada di wilayah kami."
Hay Hay
tersenyum dan menjura lagi, kini kepada kakek itu. "Ahh, ternyata saya
sedang berhadapan dengan Chung-cu (Kepala Kampung). Maafkan jika saya
mengganggu, akan tetapi sesungguhnya seperti yang saya katakan tadi, saya hanya
kebetulan saja lewat di sini dan saat melihat keindahan pemandangan sekitar
tempat ini, saya bermaksud untuk bermalam di dusun. Kebetulan saya berjumpa dan
berkenalan dengan gadis-gadis tadi, harap Chung-cu tidak menyangka yang tidak
baik. Nama saya Hay Hay dan saya seorang perantau yang tidak mempunyai tempat
tinggal tetap."
Berubah lagi
pandangan mereka sesudah mendengar bahwa pemuda itu seorang yang tidak memiliki
tempat tinggal tetap. Seorang pemuda dusun itu yang bertubuh tinggi besar dan
berwajah galak segera melangkah maju lantas menudingkan telunjuknya.
"Tentu saja kami menyangka buruk melihat betapa engkau berani merayu
gadis-gadis kami. Sungguh kurang sopan bagi seorang laki-laki yang baru saja
datang untuk bersenda gurau dengan gadis-gadis kami!"
Pemuda ini
menaruh hati terhadap gadis yang bertahi lalat di dagunya dan sejak tadi dia
sudah merasa cemburu dan iri hati sekali terhadap pemuda tampan ini, apa lagi
melihat betapa gadis yang dicintanya itu nampak membela Si Pemuda Asing.
Kembali Hay
Hay hanya tersenyum menghadapi hardikan ini. "Maaf, sungguh aku tidak
mengerti mengapa hanya berbicara dan bersenda gurau secara baik-baik saja
dianggap tidak sopan? Kalau aku berbuat tidak sopan, tentu gadis-gadis itu
sudah menjadi marah atau melarikan diri. Sebaliknya, mereka suka bersahabat dan
makan bersama-sama aku di sini!"
"Karena
engkau adalah orang kota yang pandai merayu! Tentu engkau hendak memikat
gadis-gadis dusun dengan rayuanmu itu, ya? Lebih baik engkau segera minggat
dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan menghajarmu sampai babak
belur!" pemuda itu mengancam dengan hati panas dan dengan kedua tangan
terkepal.
Hay Hay
tidak menjadi marah. Ia malah tersenyum lebar sambil memandang pemuda itu.
"Engkau sungguh mengagumkan, sobat. Karena cintamu kepada salah seorang di
antara adik-adik itu, maka engkau menjadi panas hati dan hendak
menghajarku."
Pemuda itu
terbelalak, mukanya menjadi merah, sementara itu beberapa orang temannya
tertawa mendengar ini karena mereka memang sudah tahu bahwa temannya ini jatuh
hati kepada gadis bertahi lalat yang nama panggilannya Siauw Lan itu.
"Sudah,
tak perlu banyak cakap lagi. Pergilah sekarang juga!" pemuda itu
menghardik dan maju semakin dekat, siap untuk memukul.
Hay Hay
tetap tenang dan kini dia memandang kepada kepala dusun yang semenjak tadi
hanya diam saja menjadi penonton. "Lo-chung-cu, sudah benarkah saya diusir
dari dusun ini tanpa dosa? Bagaimana kalau saya pergi kemudian aku mengabarkan
perlakuan dan sikap kalian terhadap para tamu yang datang ke dusun ini?"
Kepala Dusun
menjadi bimbang. Siapa tahu pemuda tampan itu benar-benar putera atau
setidaknya sahabat dari pejabat-pejabat tinggi di kota! Dia pun menengahi
lantas menarik lengan pemuda itu agar mundur.
"Sudahlah,
selama tidak ada keluhan dan laporan dari anak-anak gadis kami, maka kami
habiskan saja perkara ini. Akan tetapi, untuk menjaga supaya tidak terjadi
keributan, kami harap agar Kongcu suka pergi dari sini."
"Saya
bukan tuan muda, dan harap jangan sebut saya dengan kongcu. Dan saya sudah
memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Apakah seorang yang melakukan
perjalanan dilarang untuk berhenti di sini barang satu dua malam?"
Kepala dusun
itu menarik napas panjang. Pemuda ini terlalu tenang dan sikapnya amat ramah
dan baik, tak pernah memperlihatkan sikap sombong atau marah. Tidak baik kalau
terus bersikap kaku.
"Terserah
kepadamu, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dusun kami tidak ada
penginapan dan para penduduk tentu tak akan ada yang suka menerima engkau
sebagai tamu. Jika engkau suka bermalam di tempat terbuka seperti di sini,
terserah kepadamu."
Sesudah
berkata demikian, kepala dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pulang ke
dusun sebab mereka harus melakukan pekerjaan masing-masing. Pemuda tinggi besar
itu masih memandang dengan mata tajam kepada Hay Hay, kemudian, sebelum dia
pergi bersama yang lain, dia masih sempat dia mengancam.
"Awas,
kalau kau berani mendekati gadis-gadis kami lagi, aku benar-benar akan mencari
dan menghajarmu!"
Hay Hay
hanya tersenyum dan menggerakkan pundaknya sambil menduga-duga, gadis yang mana
dari ketujuh gadis tadi yang dicinta pemuda ini. Kasihan gadis itu, tentu kelak
akan menjadi bulan-bulan kemarahan pemuda ini kalau sudah menjadi suaminya
karena pemuda ini pencemburu benar.
Karena tidak
diperbolehkan bermalam di dalam rumah penduduk di dalam dusun itu, Hay Hay lalu
mulai mencari tempat untuk melewatkan malam. Memang daerah sekitar dusun itu
indah sekali, tanahnya subur dan dusun itu dikelilingi bukit-bukit yang penuh
dengan hutan-hutan yang lebat.
Akhirnya dia
menemukan sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi, yang
letaknya di tepi hutan pada sebuah lereng bukit, hanya beberapa li jauhnya dari
dusun itu. Ketika dia berdiri di depan kuil tua itu, nampaklah dusun itu,
kelihatan genteng-genteng rumahnya dan teringatlah dia akan ketujuh orang gadis
manis tadi dan dia pun tersenyum gembira.
Sebuah dusun
yang subur dengan pemandangannya yang indah, dengan gadis-gadisnya yang segar
dan manis. Sayang para penghuninya salah paham dan mengira dia hendak berbuat
kurang ajar. Kurang ajarkah dia? Tidak sopankah dia? Dia tak mampu menjawab,
hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya kemudian dia pun mencari tempat yang
baik untuk melewatkan malam di dalam kuil itu.
Dia
menemukan ruangan dalam yang sangat bersih. Untung, pikirnya, agaknya baru saja
ada pelancong yang juga kebetulan lewat dan bermalam di situ, karena ruangan
itu bersih dan kelihatan bekas-bekas bahwa ada orang yang membersihkannya,
bahkan membuat api unggun di situ. Dengan perasaan lega dia melepaskan buntalan
yang dipanggulnya di punggungnya, lalu duduk bersila melepaskan lelah di lantai
yang sudah dibersihkan orang lain untuknya itu.
Dia tidak
tahu bahwa orang lain yang membersihkan lantai itu untuknya, sekarang sedang
mengintai dari jauh sambil mengomel panjang pendek. "Sial dangkalan!
Susah-susah aku membersihkan ruangan itu, yang memakai orang lain dan pemuda
yang mata keranjang itu lagi!"
Ternyata
yang mengomel panjang pendek ini adalah seorang gadis bermata tajam, bukan lain
adalah gadis yang tadi melakukan pengintaian pada waktu Hay Hay bersenda gurau
dengan tujuh orang gadis dusun.
Dengan
perasaan gemas gadis itu lantas berloncatan. Gerakannya demikian ringan dan
cepatnya sehingga kalau ada orang yang melihatnya tentu akan tercengang
keheranan. Dengan muka merah saking marahnya, gadis itu telah memasuki kuil
tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu dia sudah berada di dalam ruangan di
mana Hay Hay masih duduk bersila. Senja telah datang, namun matahari belum
kehilangan semua sinarnya sehingga di dalam ruangan kuil rusak itu masih cukup
terang.
"Heiii...!"
Gadis itu menghardik dengan suara nyaring.
Hay Hay
terkejut sekali, membuka kedua matanya dan begitu dia melihat wajah gadis itu,
dia pun meloncat bangun dan dengan mata terbelalak dia pun berseru.
"Heiii...!"
seruan yang mengejutkan hati gadis itu pula.
"Ada
apa kau berteriak seperti orang gila?!" bentaknya.
"Waaah,
itu... wajahmu itu..." Gadis itu otomatis membawa kedua tangan ke
wajahnya. Apakah pipinya coreng-moreng?
"Rambutmu
itu...!" Hay Hay melanjutkan dan kembali Si Gadis meraba kepalanya, takut
kalau-kalau rabutnya awut-awutan.
"Matamu...!
Hidungmu...! Mulutmu...! Tahi lalat di dagumu! Kulitmu dan bentuk
tubuhmu!"
"Heiii!
Apakah engkau sudah gila?" teriak gadis itu, merasa dipermainkan.
"Tidak,
tidak, siapa yang mempermainkan? Tetapi, engkau tentu bidadari dari kahyangan!
Atau siluman! Mengapa begitu cepat engkau mengambil alih setiap keindahan dari
tujuh orang gadis dusun tadi? Lihat, wajahmu berbentuk bulat telur, sepasang
matamu seperti mata bintang, hidungmu mancung, mulut kecil merah membasah,
rambutmu hitam gemuk panjang, kulitmu putih halus, bentuk tubuhmu ramping dan
indah. Masih ditambah pula dengan tahi lalat di dagumu! Lengkaplah sudah!"
Bukan main
marahnya gadis itu. Dia memang merasa jantungnya berdebar girang akibat
pujian-pujian itu, akan tetapi dia dimaki siluman!
"Engkau
bilang aku siluman? Engkaukah yang monyet, munyuk, cacing, kecoa, anjing, babi
dan tikus!"
Mendengar
makian-makian itu nyerocos keluar dari mulut yang manis itu, mata Hay Hay
terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Ampun ya para dewi!
Kenapa engkau marah-marah dan memaki-maki aku seperti itu?"
"Huh,
apakah kau kira aku akan bersikap seperti perawan-perawan dusun yang menjadi
lemah dan takluk menghadapi semua rayuan gombalmu itu? Jangan harap, ya!"
Gadis itu mengeluarkan suara dari hidung dengan sikap mengejek dan memandang
rendah, tangan kirinya dikibaskan seperti orang mengusir lalat.
Hay Hay
terpesona. Selama perjalanannya, sesudah dia menjadi dewasa dan berkenalan
dengan banyak wanita, rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis
yang demikian hebat dan kuat daya tariknya! Dan dia tadi tidak sekedar memuji
atau merayu.
Gadis itu
bertubuh ramping, kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya hitam panjang dikuncir
dan digelung, dihias dengan perhiasan rambut yang indah. Mukanya bulat telur,
hidungnya kecil mancung, matanya tajam seperti bintang, mulutnya kecil berbibir
merah membasah, dan di dagunya ada setitik tahi lalat hitam. Semua keistimewaan
tujuh orang gadis dusun itu ditemui dalam diri gadis ini!
Dan semua
kehebatan ini dimiliki seorang gadis yang luar biasa galaknya! Galak laksana
setan, datang-datang memaki-maki dirinya dan dalam pandang mata yang bersinar
tajam itu nampak jelas keganasan serta kekerasan hatinya. Melihat pakaiannya
yang indah dan caranya bicara, dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan seorang
gadis dusun.
"Ya
ampun...! Apakah kesalahan hamba terhadap paduka maka paduka puteri yang agung
menjatuhkan kemarahan yang demikian besarnya terhadap diri hamba?" Hay Hay
masih berusaha untuk meredakan kemarahan gadis itu dengan sikapnya yang
terlampau hormat dan lucu.
Akan tetapi
gadis itu agaknya sama sekali tidak tertarik dengan sikap Hay Hay dan tidak mau
melayani kelakarnya. "Laki-Iaki mata keranjang! Akulah yang membersihkan
ruangan ini, dan engkau yang baru datang mau enak-enak saja memakainya? Hayo
segera pergi tinggalkan tempat istirahatku ini!"
"Ampun,
Dewi...! Kiranya begitu?" Hay Hay benar-benar tertegun mendengar ini,
bukan hanya karena dia telah memakai tempat yang telah lebih dulu ditemukan dan
dibersihkan orang lain, juga amat terheran-heran mendengar bahwa gadis secantik
itu memilih tempat ini untuk istirahat.
Kalau bukan
orang yang tabah sekali tentu akan merasa ngeri bermalam di tempat yang
menyeramkan ini. Biasanya kuil-kuil tua seperti ini, apa lagi di pinggir hutan
yang sunyi, akan dikabarkan sebagai tempat yang dihuni oleh setan-setan dan
iblis-iblis, atau paling tidak oleh makhluk halus dan siluman.
Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh itu berkelebat dan tahu-tahu jari
tangan yang mungil itu sudah menyentuh jalan darah di ubun-ubun kepalanya.
Diam-diam dia kaget bukan main. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dia
maklum bahwa sekali saja wanita itu menggerakkan jari tangannya menyerang, maka
dia akan tewas!
"Engkau
mengenalku?"
Hay Hay
terbelalak dan menggelengkan kepala. "Tidak... tidak... Dewi..."
"Kalau
begitu, siapa yang memberi tahu bahwa aku berjuluk Sian-li (Dewi)?" Jari
tangan itu masih juga belum meninggalkan ubun-ubun kepalanya.
"Maaf,
tak ada orang yang memberi tahu, dan juga aku tidak tahu bahwa engkau berjuluk
Sian-li. Aku menyebut Dewi karena engkau demikian cantik dan agung bagaikan
seorang dewi... maafkan aku..." Hay Hay merasa tegang bukan main karena
nyawanya berada di ujung jari wanita itu, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.
Agaknya hal
inilah yang menyelamatkannya. Dara itu melangkah mundur dan mengomel,
"Perayu...!"
Diam-diam
Hay Hay bernapas lega. Baru saja dia lolos dari maut yang amat mengerikan dan
kini tahulah dia bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi, sebab kalau tidak tentu tak akan mampu
mengancam ubun-ubun seperti itu. Sekali ini dia harus bersikap waspada.
"Maafkan
aku, Nona. Sesungguhnya bukan maksudku untuk merayu apa lagi kurang ajar
terhadapmu. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ruangan dalam
kuil ini sudah ada yang menempatinya lebih dahulu. Kalau begitu, maafkan, aku
akan pindah saja ke ruangan lain, di belakang atau di depan." Berkata
demikian Hay Hay mengambil buntalan pakaian dan bekalnya, lalu menggendongnya.
Sejenak
gadis itu memandangnya penuh perhatian, lalu berkata, suaranya ketus.
"Engkau harus meninggalkan kuil ini, tak boleh tinggal di belakang atau di
depan, bahkan di pekarangan pun tidak boleh. Engkau harus pergi meninggalkan
tempat ini sampai tidak nampak dari sini, dan jangan mencoba-coba untuk
mengganggu aku!"
Aduh
galaknya, pikir Hay Hay. Sayang gadis secantik jelita seperti ini memiliki
watak yang demikian galak. "Tapi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan
kiranya engkau pun hanya orang lewat saja yang kemalaman dan singgah di kuil
ini. Kuil tua ini tidak ada yang punya, bukan? Siapa saja boleh beristirahat di
sini..."
"Cukup!
Tahukah engkau bahwa baru saja nyawamu tadi nyaris melayang? Aku tak biasa
mengampuni orang untuk kedua kalinya, maka pergilah dan jangan banyak membantah
lagi! Thiat-sim Sian-li hanya berbicara satu kali, tidak akan dua kali! Yang
kedua kalinya, tanganku yang bicara dan nyawamu pasti melayang! Pergi!"
Hay Hay
mengerutkan kedua alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali. Gadis ini demikian
cantik jelita dan manis, namun juga demikian galak, ganas dan keras! Ingin dia
mencoba kepandaian gadis ini, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan
hal itu, tentu akan menimbulkan kemarahan dan kebencian di hati gadis yang
ganas ini.
Apa bila dia
menang, tentu gadis ini akan membencinya, dan kalau sebaliknya dia kalah, besar
kemungkinan dia akan mati terbunuh. Dia tidak mau mati, juga tidak ingin
dibenci seorang gadis yang secantik ini, tanpa sebab penting. Hanya
memperebutkan tempat di kuil kuno dan kotor ini, tidak cukup berharga untuk
dijadikan bahan pertentangan. Dia pun tersenyum dan menjura.
"Baiklah,
Nona, aku pergi dan mudah-mudahan malam ini Nona akan dapat tidur nyenyak di
tempat yang seram dan banyak setannya ini. Selamat tinggal." Dan dia pun
melangkah pergi, diikuti pandang mata gadis itu yang mengerutkan alisnya.
Tak sedap
rasa hatinya mendengar ucapan Hay Hay itu. Tentu saja dia tidak takut setan,
akan tetapi bayangan-bayangan yang menyeramkan bisa saja mengganggu tidurnya
nanti malam.
"Sialan,"
gerutunya, "bertemu dengan pemuda berandalan mata keranjang!"
Siapakah
gadis berjuluk Thiat-sim sian-li (Dewi Berhati Besi) yang galak dan ganas itu?
Ia adalah puteri tunggal Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang sekarang masih
menjadi orang hukuman di kuil Siauw-lim-si di pinggir sungai Cin-sha itu!
Namanya adalah Bi Lian, Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi dia sendiri mengenal
dirinya sebagai Cu Bi Lian, puteri Cu Pak Sun petani di dusun tidak jauh dari
kuil itu.
Hal ini
disengaja oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka menghendaki agar untuk
sementara puteri mereka itu tidak tahu bahwa orang-orang yang dipanggil suhu
dan subo sebenarnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga agar keadaan puteri mereka tetap rahasia dan tersembunyi
tidak diketahui oleh para hwesio, dan ke dua, agar puterinya itu tidak menjadi
prihatin jika mendengar bahwa ayah ibu kandungnya menjadi orang-orang hukuman
di kuil Siauw-lim-si.
Sebab itu
semenjak kecil Bi Lian menganggap dirinya adalah puteri keluarga Cu sehingga
dia pun memakai nama Cu Bi Lian. Sering kali di waktu malam suhu dan subo-nya
datang berkunjung, dan memang sejak kecil dia dilatih dan digembleng oleh
mereka.
Akan tetapi
pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia kurang lebih sepuluh tahun, terjadilah peristiwa
yang amat hebat di dusunnya yang kecil itu. Kejadian yang tak pernah diimpikan
oleh para penduduk dusun, mala petaka hebat yang menimpa dusun itu sehingga
hampir menghancurkan dan membinasakan semua penduduknya.
Memang
penduduk dusun itu sedang mengalami nasib sial karena pada suatu malam,
muncullah dua orang manusia iblis di dusun itu. Mereka ini bukan lain adalah
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang terkenal
jahat dan kejam, juga mempunyai kesaktian yang luar biasa itu. Dua orang ini
memang sudah berjanji hendak saling bertemu di Pegunungan Heng-tuan-san di tepi
Sungai Cin-sha dan kebetulan sekali mereka saling bertemu di dusun itu!
Mula-mula,
pada sore hari itu, seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa,
mukanya brewok, kulitnya hitam, matanya lebar dan sikapnya menakutkan sekali,
dengan sikap acuh memasuki dusun. Karena kakek ini merupakan orang asing, dan
pakaiannya penuh debu, sepatunya compang-camping, para penduduk menyangka bahwa
dia adalah seorang dusun yang biasanya bersikap polos dan ramah.
Mereka
mencoba untuk menyapanya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menjawab,
malah menengok pun tidak, hanya berjalan saja dengan kepala tunduk, mulutnya
kemak-kemik. Kakek ini kemudian berkeliaran di dalam dusun itu tanpa tujuan,
sedikit pun tidak pernah tersenyum, nampak galak dan kedua mata yang lebar itu
mencorong menakutkan.
Para
penduduk dusun menjadi ketakutan dan menyangka dia seorang yang terlantar dan
gila. Mereka tidak tahu bahwa kakek raksasa yang mereka sangka gila ini adalah
seorang manusia iblis yang amat lihai dan berjuluk Tung-hek-kwi, seorang di
antara Empat Setan yang membuat semua tokoh kang-ouw gemetar kalau melihatnya!
Akhirnya
kakek itu duduk di tepi jalan, di bawah sebatang pohon besar. Agaknya bukan
hanya para penduduk dusun itu saja yang menaruh curiga terhadap kakek ini, juga
dua ekor anjing dusun datang menyerbu, menggonggong dan menyalak di sekeliling
kakek itu, nampak marah akan tetapi juga takut-takut. Beberapa orang penduduk
hanya menonton saja dari jauh, tidak mencoba untuk memanggil anjing-anjing itu
karena mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek raksasa yang mereka
sangka gila itu.
Pada mulanya
Tung-hek-kwi yang merasa terganggu oleh sikap dua ekor anjing itu hanya
mendengus untuk mengusir mereka. Akan tetapi, setelah melihat bahwa seekor di
antara kedua anjing itu berbulu hitam mulus dan gemuk sekali, matanya lalu
terbelalak. Tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu dua ekor
anjing itu sudah ditangkap pada lehernya! Dua ekor anjing itu menguik-nguik dan
Tung-hek-kwi membanting anjing belang yang ditangkap dengan tangan kirinya.
"Ngekkk...!"
Pecah kepala anjing itu dan tak mampu bergerak lagi.
Kemudian,
anjing hitam gemuk yang masih dicengkeram tangan kanannya dengan jari-jari
panjang besar, yang masih menguik-nguik dan meronta-ronta ketakutan itu,
dipegangnya dengan kedua tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan itu
menarik, terdengarlah suara robek dan pekik maut anjing itu yang tubuhnya telah
terobek menjadi dua potong!
Darah
muncrat dan seperti orang kehausan, kakek itu cepat menjilat dan mencucup darah
anjing hitam yang terus bercucuran itu! Melihat ini, semua orang yang menonton
dari jauh segera terbelalak penuh kengerian, dan anak-anak sudah berlari-larian
menyembunyikan diri dengan muka pucat.
"Wah,
kau lahap dan rakus, Tung-hek-kwi!" Tiba-tiba saja muncul seorang kakek
gendut yang bukan lain adalah Pak-kwi-ong. Dia menghampiri rekannya yang masih
menikmati darah anjing hitam itu. "Uwahhh...! Anjing hitam! Hebat, obat
kuat, jangan dihabiskan, aku pun perlu darahnya!"
"Huh,
siapa yang rakus?" bentak Tung-hek-kwi kemudian dia pun melemparkan
potongan anjing hitam di tangan kanannya.
Pak-kwi-ong
cepat menerimanya dan terus menjilat dan menghisap darah anjing itu pula.
Sungguh mengerikan melihat dua orang kakek tua renta ini duduk di bawah pohon
sambil menjilati darah anjing hitam, kemudian mereka mulai mengganyang daging
anjing dengan menggerogotinya begitu saja!
"Ha-ha-ha-ha,
engkau memang sahabat yang baik, Setan Hitam. Menyambut aku dengan suguhan yang
segar dan menyehatkan!" kata Pak-kwi-ong sambil tertawa-tawa, ada pun
Tung-hek-kwi tetap makan tanpa senyum, hanya kedua matanya yang lebar itu
jelalatan ke sana-sini....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment