Tuesday, September 25, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 07



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 07


DAHULU nama Pat-sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama dari delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang nama mereka tidak pernah muncul di dalam kisah Asmara Berdarah, karena pada saat itu mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah berkecimpung di dunia persilatan lagi sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat-sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.

Kini, setelah usia mereka tua, yang muncul di dunia hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para pendeta Lama.

Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, agaknya hanya dua orang kakek ini yang agaknya masih hidup. Dua yang lainnya adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, secara kebetulan ditemukan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam goa yang amat sulit untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak ada pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.

Berbeda dengan See-thian Lama yang tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet dan malah hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri.

Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak kelihatan dari pantai karena pulau itu kecil saja, akan tetapi orang akan merasa kagum setelah berada di pulau itu karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memiliki tanah yang amat subur.

Pulau itu dikelilingi oleh batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah yang amat berbahaya untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas yang berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya karena tak pernah mengalami gangguan dari luar.

Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar tentang banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak.

Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut serta menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya lantas menyeret mereka ke darat untuk diadili.

Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dengan nekat dia pun memasuki daerah berbahaya itu lalu berhasil mendarat dengan selamat dan kiranya pulau yang kemudian dinamakan Pulau Hiu itu merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan.

Dia menyerbu kemudian membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih hingga akhirnya sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Namun sebelumnya dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertobat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda.

Sisa harta simpanan para bajak masih sangat banyak dan Ciu-sian Sin-kai mulai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil di pulau Hiu.

Benar saja, para bekas bajak itu dapat merubah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka kemudian berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu.

Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi makin angker dan disegani para nelayan, bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi pada bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.

Kini anak-anak dari para bekas bajak sudah berumur belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat serta penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya. Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekali pun, dalam salah satu di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau.

Segala keperluan hidup para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan bila membutuhkan ikan, mereka hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, ada pun keperluan-keperluan lain dapat mereka peroleh dengan membeli ke daratan.

Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-kai sekali ini agak terlampau lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu juga diketahui oleh pihak lain yang hendak mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek dan perutnya gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, lantas menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat.

Dari lima buah perahu besar itu, dengan amat sigapnya berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka semua menjadi lima puluh orang. Ada pun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Sambil menghunus senjata tajam, dengan dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, lima puluh orang itu segera menyerbu ke tengah pulau.

Tentu saja gerakan lima puluh orang ini langsung diketahui oleh penghuni pulau sehingga terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan segera para penghuni terlihat berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul, dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh.

Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut yang sengaja datang untuk membalas dendam kepada Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ pada saat kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau.

Maka terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh.

Akan tetapi kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sulit dilawan sehingga banyak yang telah roboh olehnya. Di samping itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka menjadi terdesak.

Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja sampai dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya.

Perahunya lantas meluncur seperti terbang saja, apa lagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.

Melihat betapa anak buahnya banyak yang telah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, terlebih lagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.

"Bajak-bajak tidak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran.

Melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, para penghuni pulau bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya telah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.

Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu

Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu amat terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun cepat memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sebuah sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu.

Akan tetapi kakek itu tidak mengelak, namun menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, langsung mengerahkan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Akan tetapi rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai!

Walau pun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.

"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah lalu mengacau ke sini?" Ciu-sian Sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.

Tadinya raksasa muka hitam itu amat terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia pun menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan rekanku!"

Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, lalu tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung pada pinggangnya dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat.

Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orangyang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, meski pun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.

"Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya.

Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biar pun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tak urung dia menjerit, kemudian melepaskan rantai dan mempergunakan kedua tangan untuk mendekap mukanya sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.

Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk bagai seekor harimau kecil yang galak.

Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tidak ada yang melawan lagi! Di antara mereka yang tewas, ada banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak berani berkutik, malah ada pula yang berpura-pura mati!

Dengan pandangan matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah sekali.

"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya.

Dengan senang hati para penghuni pulau itu melaksanakan perintah ini. Biar pun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap syukur bahwa guru atau majikan mereka sudah pulang tepat pada waktunya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis!

Dengan perasaan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang telah tak bernyawa, yang luka berat mau pun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena pada waktu diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.

Pada saat itu nampak dua orang anak buah pulau datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah salah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.

"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.

"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."

Mendengar laporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah orang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Saat itu dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras.

Akan tetapi Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang kemudian ditolak sehingga menimbulkan pertengkaran.

Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau.

"Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?"

"Ti... tidak..., Tocu...," kata Kai Ti dengan tubuh gemetar.

"Tadi pagi, ketika semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, saya tidak melihat dia. Tentu saja saya menaruh curiga dan ketika saya mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dan menyeretnya ke sini, Tocu."

"Kai Ti, engkau tahu bahwa aku bisa saja menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu lebih dahulu?" Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah.

Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk laksana ayam sedang mematuk padi. "Ampunkan saya, Tocu... saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh..."

Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya sebagai mencari alasan saja untuk membersihkan diri. "Baiklah, karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu."

"Ampunnn... jangan...! Saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya.

Akan tetapi, karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan memang para penghuni pulau tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu. Perahu-perahu itu kemudian didorong ke tengah dan layar-layar dikembangkan.

Tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang.

Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak dan menghindar dari batu-batu karang. Dia juga melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu sekarang telah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar.

Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Tetapi menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi.

"Kai Ti, anjing keparat! Engkau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu.

"Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang...," Kai Ti berkata dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras.

"Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!"

"Tidak, jangan!" Kai Ti menjadi semakin ketakutan.

Kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tidak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam.

"Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!"

Akan tetapi tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah sekali kepadanya. Apa lagi mereka juga memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya.

Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan ketika melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia segera mengeluarkan teriakan panjang lantas tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya cepat digerakkan.

"Crappp...!"

Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. Namun sayang baginya! Saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya.

Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sulit dicabut dan pada saat itu pula, enam orang anak buah bajak sudah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya.

Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang langsung mengejarnya. Akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang berukuran besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit bagai babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air.

"Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah.

Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera dilemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air.

Agaknya ikan-ikan hiu itu masih merasa kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini menjadi penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu.

"Krakkkk...!" terdengar suara keras seperti ledakan.

Tiba-tiba saja perahu pertama yang paling besar tergetar keras, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam!

Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka yang roboh di dalam perkelahian ini dan akhirnya perahu kecil itu terlepas lalu jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang.

Akhirnya perahu besar itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi apa artinya kemampuan renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Dalam sekejap saja, di bawah pekik-pekik mengerikan, ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah dari pada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi.

Kembali terdengar suara keras dan kini perahu ke dua yang terguling, disusul perahu ke tiga, kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi sekarang dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan, maka Hek-bin Hai-liong cepat berteriak.

"Mana penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!"

Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa tadi dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Sesudah Kai Ti tidak ada lagi, siapakah yang akan mampu menunjukkan jalan aman?

Berturut-turut dua perahu lainnya juga melanggar karang. Maka terjadilah peristiwa yang sangat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang harus menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu.

Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa harus meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, lantas dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan sesudah sebelah kakinya kena disambar ikan lantas tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya

Penglihatan yang mengerikan ini terjadi dengan cepat, tidak sampai dua jam dan habislah sudah seluruh bajak, baik yang sudah mati mau pun yang tadi terluka. Lima puluh orang lebih habis dilumat oleh ikan-ikan hiu yang masih terlihat berenang hilir-mudik seolah-olah mengharapkan tambahan. Dan tak ada sepotong pun daging yang tersisa dari lima puluh lebih orang-orang tadi. Habis berikut pakaian dan sepatu mereka!

Hay Hay terpaksa berlari ke balik semak-semak dan membiarkan isi perutnya keluar. Dia muntah-muntah. Bukan hanya dia seorang, akan tetapi banyak pula di antara anak buah Pulau Hiu, terutama anak-anak perempuannya, muntah-muntah saking ngeri dan tegang, juga jijik menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan itu.

Tujuh orang anak buah Pulau Hiu yang tewas dalam penyerbuan itu lantas diperabukan, Ciu-sian Sin-kai melarang mereka dikubur. "Pulau kita begini kecil, jika kita membiasakan diri mengubur orang-orang kita yang mati, sebentar saja pulau ini akan menjadi kuburan dan tidak ada sisanya lagi untuk kita yang masih hidup." Demikian katanya dan memang ucapan ini mengandung kebenaran, maka mayat-mayat itu pun dibakar dengan upacara sederhana.

"Suhu, kenapa Suhu demikian kejam terhadap para bajak itu?" Hay Hay yang sudah biasa bersikap terbuka kepada Ciu-sian Sin-kai, bertanya dengan nada suara mencela.

Kakek itu tertawa. "Heh-heh-heh, kejam? Hay Hay, apakah engkau dapat membayangkan bagaimana andai kata kita datang terlambat beberapa jam saja? Seluruh anak buahku ini akan habis dibantai, dan yang perempuan akan mereka larikan dan dipermainkan, seluruh kekayaan yang berada di sini akan habis mereka bawa, dan segala yang terdapat di pulau ini, yang tidak dapat mereka bawa, pasti akan mereka bakar! Mereka itu jahat dan ganas melebihi binatang buas."

"Akan tetapi, haruskah mereka itu dihukum secara demikian kejam, Suhu?" kembali Hay Hay membantah. Dia masih bergidik membayangkan betapa orang-orang itu dipermainkan ikan-ikan hiu.

Kembali kakek itu tersenyum. "Menghadapi orang-orang jahat memang ada kalanya tidak boleh mengenal belas kasihan. Engkau belum tahu mengenai kekejaman. Pendekar yang paling kejam terhadap orang-orang jahat, yang tak mengenal ampun dan bertangan baja menghukum dan membasmi orang-orang jahat, dijuluki orang Pendekar Sadis."

"Pendekar Sadis?"

"Ya, dan engkau akan bergidik jika melihat betapa dia menyiksa orang-orang jahat. Akan tetapi ia adalah seorang pendekar budiman dan berkepandaian tinggi sekali. Memang aku tidak pernah bertemu dengan dia, karena sudah lama sekali aku tidak pernah mencampuri urusan dunia dan dulu pun aku bergerak di sekitar pantai saja. Hanya pada waktu terjadi gelombang pemberontakan di daerah selatan, aku dengan rekan-rekan lainnya, termasuk See-thian Lama, turut mencampuri kemudian nama kami dikenal orang sebagai Pat-sian. Menurut kabar, isteri dari Pendekar Sadis juga pernah menjadi datuk selatan yang sangat terkenal. Kelak, apa bila engkau sudah memiliki ilmu yang cukup, engkau boleh merantau dan berkenalan dengan para pendekar, termasuk Pendekar Sadis."

Ketika Hay Hay diajak masuk ke dalam gedung yang dibangun oleh kakek itu di tengah pulau, anak ini terbelalak kagum. Gedung itu seperti istana saja! Ternyata gurunya yang baru ini adalah seorang yang kaya-raya dan hidup sebagai seorang raja saja di pulau ini. Pantaslah kalau gerombolan bajak laut itu berusaha untuk merampok tempat ini.


Mulai hari itu juga Hay Hay menjadi salah seorang di antara para penghuni Pulau Hiu. Dia mempelajari rahasia jalan masuk menuju pulau itu, dan selain mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Ciu-sian Sin-kai, juga mematangkan ilmu-ilmu pukulan yang diperoleh dengan jalan 'mengadu' Ciu-sian Sin-kai dengan See-thian Lama secara tidak langsung. Dia pun mempelajari ilmu-ilmu dalam air dari para penghuni Pulau Hiu yang rata-rata mempunyai kepandaian bermain di air itu.

Sebentar saja Hay Hay menjadi pemuda yang paling terkenal di pulau itu. Bukan hanya karena dia dianggap murid terkasih dari Tocu, akan tetapi karena memang dia cerdas dan lihai bukan main. Di antara para gadis-gadis kelahiran pulau itu, yang sebaya dengan Hay Hay, bahkan yang lebih tua sekali pun, dia sangat terkenal karena dia berwajah tampan, bertubuh tegap, juga lincah jenaka dan ramah, serta pandai merayu dan menyenangkan hati para gadis.

Tiga tahun kemudian, setelah Hay Hay berusia lima belas tahun, dia pun menjadi rebutan di antara para gadis dan wanita di pulau itu. Setiap orang gadis jatuh cinta kepadanya dan ingin menjadi kawan dekatnya.

Dan Hay Hay ternyata memiliki bakat untuk menyenangkan hati para gadis itu. Dia selalu bersikap manis dan ramah pada setiap orang gadis sehingga mulailah dia dikenal sebagai seorang pemuda perayu wanita. Para pemuda lain yang merasa iri kepadanya, menyebut dia pemuda mata keranjang yang seolah-olah hendak menggandeng semua wanita yang berada di situ. Tentu saja sebutan mata keranjang ini mereka lontarkan di belakang Hay Hay karena kalau berhadapan, mereka tidak berani terhadap murid Tocu yang paling lihai ini.

Tentu saja perkembangan ini tidak terlepas dari pengamatan Ciu-sian Sin-kai. Ketika Hay Hay berusia lima belas tahun dan melihat pemuda ini senang sekali bergaul secara akrab dengan para gadis di pulau itu hingga menimbulkan iri hati para pemuda lain, pada suatu malam kakek itu memanggilnya dan mengajaknya bicara di dalam kamar.

"Hay Hay, berapakah usiamu sekarang?"

"Seingat teecu, ketika teecu mengikuti Suhu, menurut keterangan Suhu See-thian Lama teecu sudah berusia dua belas tahun. Sampai sekarang, teecu sudah tiga tahun ikut Suhu sehingga kalau tidak salah, usia teecu kini sudah lima belas tahun."

"Lima belas tahun, ya?" kakek itu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang tajam, mengamati muridnya itu.

Memang Hay Hay berwajah tampan. Sepasang matanya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan kegagahan akan tetapi juga manis, sikapnya periang dan lincah sekali, wajahnya cerah dan pertumbuhan badannya sangat baik sehingga dalam usia lima belas tahun dia sudah nampak dewasa.

"Engkau sudah hampir dewasa, muridku dan melihat ketekunanmu berlatih, aku tak perlu merasa heran kalau engkau memperoleh kemajuan begini pesat dalam ilmu silatmu."

"Berkat bimbingan Suhu yang bijaksana, mudah-mudahan teecu akan selalu dapat belajar dengan tekun."

Selain tampan dan ramah, anak ini pun amat pandai membawa diri, pandai mengeluarkan kata-kata yang menyenangkan hati orang, pikir Ciu-sian Sin-kai. Tidak mengherankan jika para gadis suka padanya. Wanita memang paling suka kepada pria yang pandai merayu dan bersikap manis, apa lagi kalau rayuan serta sikap manis itu bukan palsu, melainkan keluar dari watak yang ramah seperti Hay Hay ini.

"Hay Hay, engkau tahu bahwa seorang gagah akan selalu berterus terang dan tidak perlu menyembunyikan segala hal seperti seorang pengecut."

"Teecu mengerti, Suhu," kata Hay Hay, tetapi hatinya merasa agak tidak enak karena dia dapat menduga bahwa tentu suhu-nya akan membicarakan sesuatu mengenai dirinya dan dia diharapkan untuk bicara terus terang.

"Hay Hay, aku mendengar dan melihat sendiri betapa engkau bergaul akrab sekali dengan semua gadis yang berada di pulau ini. Sampai sejauh manakah pergaulanmu itu?"

Hay Hay tersenyum, agak malu-malu akan tetapi hatinya lega karena kiranya hal itu yang ditanyakan gurunya. "Salahkah itu, suhu? Teecu bergaul dengan mereka karena bukankah mereka itu masih terhitung satu keluarga di pulau ini? Pergaulan teecu hanya akrab saja, bermain-main dengan mereka di pinggir pantai, menggoda ikan-ikan hiu, memancing ikan, bekerja di ladang dan kadang-kadang pada saat bulan purnama, teecu membantu mereka berlatih silat di pantai berpasir sambil main-main."

Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum. Hal seperti itu adalah kesenangan sehat. "Apakah hanya seperti itu saja? Apakah tidak pernah engkau melakukan hubungan yang lebih mesra lagi? Merangkul dan mencium seorang gadis misalnya?"

Kembali Hay Hay tersenyum malu-malu, bahkan kini kulit mukanya berubah menjadi agak kemerahan.

"Aihhh, Suhu, apakah hal itu juga salah? Kalau sedang main-main, kadang-kadang kami saling rangkul dan..., eh, ada kalanya... eh, kami saling cium karena dorongan rasa suka, apakah itu... maksud teecu, melanggar kesusilaan seperti yang pernah teecu pelajari dari kitab-kitab yang diberikan oleh Suhu See-thian Lama?"

Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha-ha, pelanggaran susila bukan ditentukan oleh pandangan umum terhadap suatu perbuatan. Jadi, kau pernah saling rangkul dan saling cium dengan seorang gadis? Apakah ada gadis tertentu di sini yang melakukan hal itu denganmu?"

Hay Hay menggelengkan kepala dengan sungguh-sungguh. "Tak hanya seorang tertentu, Suhu, akan tetapi... sebagian besar dari mereka. Hampir semua!"

"Dan kau layani mereka semua itu?" suhu-nya bertanya, kini memandang dengan mata terbelalak walau pun mulutnya mengulum senyum geli.

Hay Hay mengangguk. "Kami melakukannya karena merasa gembira dan senang, Suhu. Apakah hal itu salah dan dilarang? Kalau Suhu melarangnya, tentu teecu tidak berani lagi melakukannya."

"Tidak, muridku, aku tidak melarangnya. Akan tetapi, kenapa kemesraan itu kau lakukan dengan semua wanita yang berada di sini?"

"Tidak semua, Suhu," kata Hay Hay sejujurnya, "hanya... mereka yang suka saja dan juga mereka yang teecu sukai..."

"Kau maksudkan, mereka yang suka padamu dan mereka yang kau sukai karena mereka itu cantik? Jadi mereka yang cantik-cantik saja?"

Hay Hay mengangguk dan meledaklah suara ketawa Ciu-sian Sin-kai. "Ha-ha-ha, kau ini kecil-kecil sudah mata keranjang!"

"Apakah hal itu tidak baik dan tidak boleh, Suhu?"

Dengan senyum lebar kakek itu berkata. "Semua laki-laki adalah mata keranjang! Tidak ada seorang pun pria di dunia ini yang tidak suka melihat wanita cantik, kecuali kalau dia sakit dan ada kelainan. Apabila kebanyakan pria hanya menyembunyikan rasa sukanya, maka engkau menunjukkannya dengan terus terang. Engkau jujur, akan tetapi sifat mata keranjang ini juga ada bahayanya bagimu sendiri, muridku."

"Bagaimana bahayanya, Suhu?"

"Engkau belum cukup dewasa untuk mengetahuinya dan kelak engkau akan tahu sendiri. Jika engkau tidak hati-hati, engkau akan menjadi hamba nafsumu sendiri, dan yang jelas, engkau akan mendatangkan rasa iri di dalam hati banyak pria. Sekarang pun di pulau ini para pemuda sudah merasa iri hati padamu karena engkau paling disuka oleh para gadis di sini. Para pemuda lainnya merasa tersisihkan!"

"Akan tetapi teecu tidak pernah merebut gadis orang, Suhu. Para gadis itu sendiri juga suka bermain-main dengan teecu. Kenapa mereka tak mau seperti teecu, menyenangkan hati para gadis itu?"

"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, kebanyakan kaum pria merahasiakan rasa suka mereka terhadap gadis-gadis cantik. Ada yang demi harga diri, ada yang karena malu, atau demi kesopanan dan sebagainya. Sekarang dengarkan baik-baik, Hay Hay. Engkau boleh saja bergaul dengan mereka, akan tetapi... ehh, urusan peluk cium itu sedapat mungkin harus kau jauhi, atau setidaknya harus kau kurangi."

"Kenapa, Suhu? Jahatkah itu, salahkah dan kalau salah, kenapa? Kami sama-sama suka melakukannya dan tidak ada yang memaksa, tidak ada yang merugikan orang lain..."

"Husshh, kau belum mengerti. Permainan seperti itu berbahaya sekali. Wanita dan pria ibarat api dengan minyak, kalau terlalu berdekatan dapat saja terbakar habis-habisan."

"Teecu tidak mengerti, Suhu."

"Sudahlah, kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Asal engkau selalu ingat saja semua percakapan kita ini, juga ingatlah selalu bahwa bermain-main yang terlalu akrab itu dapat mengobarkan api yang membakar, dapat menimbulkan nafsu dan amat membahayakan. Hanya lelaki dan perempuan yang sudah menjadi suami isteri saja yang patut melakukan kemesraan itu karena di antara mereka tak ada batas-batas susila dan larangan-larangan, juga tidak terdapat bahaya, misalnya jika si wanita menjadi hamil akibat hubungan dengan pria yang menjadi suaminya."

Hati Hay Hay tertarik sekali. Belum pernah dia mendengar pelajaran tentang itu, dan yang diketahuinya secara sedikit-sedikit hanya kalau dia bercakap-cakap dengan para pemuda di pulau itu. Dia hanya tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis bila mana sudah menikah akan mempunyai anak.

Biar pun dengan malu-malu, para pemuda pernah pula menyentuh urusan hubungan sex di dalam percakapan mereka, akan tetapi percakapan itu sifatnya hanya kelakar saja dan dilakukan dengan malu-malu sehingga hanya berupa pengertian samar-samar saja. Dan harus diakui bahwa kalau ada seorang gadis manja yang suka bersentuhan dengannya, bahkan dia dan gadis itu saling rangkul leher atau pinggang, dan saling mencium dengan hidung menyentuh pipi, dagu atau leher, timbul gairah yang membuat dia kadang-kadang tergetar hebat.

Akan tetapi dia tidak berani melakukan yang lebih dari itu, karena ada pengertian bahwa satu hal itu sama sekali merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar, karena dapat menyeret mereka ke dalam bahaya, yaitu kehamilan gadis itu!

"Suhu, teecu ingin sekali mengetahui dengan jelas akan hubungan antara pria dan wanita, mohon petunjuk Suhu agar teecu tahu apa yang boleh dan tidak boleh teecu lakukan, di mana letak bahaya-bahayanya."

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Memang sudah tiba saatnya muridnya itu tahu akan segala urusan itu. Bagaimana pun juga, seorang manusia, tak peduli dia itu pria ataukah wanita, apa bila sudah tiba waktunya tentu akan memasuki masa akil balik, usia dewasa di mana tubuh mereka menuntut kebutuhan sex.

Kalau seseorang memasuki masa itu dengan mata terbuka, mengerti akan keadaan masa itu, maka dia tidak akan sesat jalan. Sebaliknya, kalau dibiarkan mendapatkan pengertian tentang hal itu secara liar di luaran, salah-salah bisa saja mendapat pengertian yang tidak sebagaimana mestinya.

"Hay Hay, coba kau pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) kemudian bawalah ke sini gambar tubuh manusia laki-laki dan perempuan yang menggambarkan jalan-jalan darah untuk latihan tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) itu."

Hay Hay segera pergi lantas kembali ke kamar suhu-nya sambil membawa dua gulungan gambar yang melukiskan tubuh seorang pria dan seorang wanita dengan garis-garis jalan darah masing-masing yang memiliki sedikit perbedaan. Dia sudah hapal akan jalan-jalan darah pria dan wanita itu, akan tetapi kini perasaannya membisikkan bahwa yang hendak diajarkan suhu-nya sama sekali bukan mengenai jalan darah!

Ciu-sian Sin-kai menggantungkan dua gambar itu berdampingan pada dinding, kemudian mulailah dia menjelaskan tentang keadaan tubuh pria dan wanita dalam kaitannya dengan sex. Dengan jelas, tanpa malu-malu, tanpa ragu-ragu dia menceritakan semua, mulai dari hubungan kelamin, sampai terjadinya benih yang tumbuh menjadi seorang anak di dalam rahim si wanita. Dengan perlahan-lahan dia memberi penjelasan sehingga Hay Hay dapat memperoleh gambaran yang amat jelas tanpa menjadi terangsang.

"Nah, sekarang engkau tentu sudah mengerti betul. Adalah suatu hal yang wajar apa bila pria tertarik kepada wanita cantik dan sebaliknya, muridku. Daya tarik dari masing-masing pihak itulah yang merupakan syarat utama sehingga pria dan wanita saling mendekati dan melakukan hubungan badan sehingga terlahirlah manusia-manusia baru, seperti juga yang terjadi pada semua binatang dan semua tumbuh-tumbuhan. Yang berbeda hanyalah cara melakukan hubungan itu saja. Tanpa pertemuannya dua zat Im dan Yang, takkan terjadi pertumbuhan kehidupan baru."

Hay Hay mengangguk-angguk tanpa menjawab, hanya sepasang matanya kadang-kadang memandang wajah suhu-nya, kadang-kadang memandang kedua gambar tubuh manusia di dinding itu.

"Karena itu berhati-hatilah mengendalikan rasa sukamu terhadap wanita. Pergaulan akrab boleh saja, kenapa tidak? Hanya saja, engkau harus berhati-hati. Hubungan kelamin yang dapat membuahkan manusia baru, hanya tepat dilakukan oleh dua orang pria dan wanita yang saling mencinta, yang sadar bahwa hubungan mereka bisa menghasilkan anak, dan keduanya sudah siap untuk menerima kehadiran anak itu untuk dibesarkan serta dididik. Hubungan yang berdasarkan nafsu dan iseng belaka, kalau sampai membuahkan anak, tentu akan mereka terima sebagai suatu malapetaka dan hal ini tentu saja sangat tidak baik."

"Terima kasih atas segala petunjuk Suhu yang amat berharga," kata Hay Hay dengan hati lega.

Sebegitu jauh, belum pernah dia melakukan pelanggaran dan memang dia merasa sangat ngeri kalau membayangkan bahwa dia akan lupa diri bersama seorang gadis, melakukan hubungan, kemudian mendapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung dan melahirkan seorang anak! Tidak, dia belum siap untuk menjadi ayah! Belum siap untuk menikah. Dia akan selalu ingat akan bahaya ini.

"Nah, sekarang engkau sudah tahu. Orang-orang muda di pulau ini mempunyai ayah dan bunda, tentu mereka akan mengetahui hal itu dari orang tua mereka. Engkau boleh saja mengajak mereka bicara tentang ini, juga boleh engkau memberi tahu kepada para gadis itu supaya mereka berhati-hati. Wanitalah yang menanggung akibat jauh lebih hebat dari pada pria dalam hubungan di luar nikah ini, karena wanitalah yang akan mengandung dan melahirkan anak! Jadi wanita yang terutama sekali harus mengekang diri dan berhati-hati. Masih bagus kalau si pria bertanggung jawab dan mencintanya dengan sungguh-sungguh sehingga bersedia menjadi suaminya, menjadi ayah dari anaknya. Tapi bagaimana kalau mendapatkan pria yang hanya main-main karena terdorong napsu belaka, setelah wanita itu mengandung lalu meninggalkannya begitu saja?"

Sejak menerima petunjuk dan nasehat gurunya, Hay Hay bersikap lebih hati-hati. Bukan berarti dia menjauhi wanita, sama sekali tidak. Dia memang suka sekali bergaul dengan gadis-gadis, apa lagi gadis yang cantik manis dan manja. Dia senang mengamati wajah mereka yang manis, rambut mereka yang halus dan kulit tubuh mereka yang putih mulus. Dia suka mencium bau sedap tubuh mereka, suka mendengar suara mereka yang halus merdu dan manja, menyentuh kulit yang hangat dan halus. Betapa pun juga, dia kini lebih berhati-hati!

Masalah sex dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, sejak dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan yang tak kunjung habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan besi berupa pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan sebagainya untuk mengekang anak-anak mereka supaya jangan sampai tergelincir oleh godaan nafsu dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit sejak tubuh mereka menjadi dewasa. Ada pula yang acuh saja, bahkan kurang perhatian dan bersikap masa bodoh. Akan tetapi kedua-duanya, jika sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum menikah, menjadi kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi karena dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.

Kini bukan jamannya lagi untuk mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang gadis dalam kamarnya atau dalam rumah saja. Akan tetapi bukan suatu sikap yang baik dari orang tua jika membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan dalam keadaan yang kurang kuat sehingga dia mudah tergoda dan tergelincir. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua menghadapi pergaulan yang makin modern dan bebas dari anak-anaknya?

Orang tua yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka menghamili seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis itu sebagai mantu, cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah ataukah belum.

Sebaliknya, orang tua yang mempunyai anak gadis selalu khawatir kalau-kalau anaknya itu tergoda lantas tergelincir menjadi hamil. Seribu satu usaha dilakukan orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara yang tidak terpuji, yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!

Setiap anak mempunyai dunianya masing-masing, kehidupannya sendiri, selera dan jalan pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Tapi semua ini tidak terpisah sama sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan keluarganya. Sudah sepatutnya jika anak yang lahir di dunia karena ulah ayah bundanya, memperoleh cinta kasih yang murni dari ayah bundanya, karena hanya kasih sayang inilah merupakan pendidikan yang paling benar.

Dengan adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua menjadi akrab, dan keakraban ini yang membuat si anak menjadikan orang tuanya sebagai sumber segala pertanyaan, sumber segala perlindungan. Dengan dasar cinta kasih, anak akan menerima keterangan-keterangan mengenai kehidupan dari orang tuanya sehingga sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat, tidak pernah merasa terkekang dan merasa bebas, dan selalu bertanggung jawab akan segala perbuatan yang dilakukannya sendiri.

Rasa tanggung jawab ini akan meniadakan penyesalan atas segala suatu perbuatan yang dilakukannya. Apa lagi kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa dirugikan, merasa dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan dan kemarahan-kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan dirugikan!

Namun kasih sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Kalau sejak kecil seorang anak mendapat cinta kasih, maka anak akan memasuki kehidupan dalam masa apa pun juga dengan mata terbuka dan jiwa bebas. Jiwanya tidak terkekang, tidak tertekan, terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang membuatnya menjadi pengecut dan tidak berani mempertanggung jawabkan segala akibat dari pada perbuatannya sendiri.

Orang tua yang sungguh-sungguh mencintai anak-anaknya, tidak pernah merasa khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang dianggapnya tidak patut tentu saja dasarnya takut kalau si anak mencemarkan nama dan kehormatan orang tua. Dengan dasar cinta kasih murni, maka tiada persoalan yang tak dapat diatasi atau dipecahkan, tak ada persoalan yang menimbulkan amarah, duka atau pun penyesalan. Cinta kasih bersinar terang dan cahayanya mengusir segala kegelapan pikiran, mencuci segala yang tadinya dianggap kotor.

Sejak memperoleh keterangan suhu-nya, Hay Hay menjadi lebih dewasa dalam sikapnya, biar pun kesukaannya terhadap gadis-gadis cantik tak pernah berkurang, bahkan semakin hebat, seperti juga kesukaannya terhadap bunga-bunga, terhadap segala sesuatu yang indah, makin meningkat.

Anak ini memang berjiwa romantis, karena itu tidaklah aneh kalau pemuda di Pulau Hiu menjulukinya Pendekar Mata Keranjang! Julukan pendekar karena memang ilmu silatnya makin meningkat dan semakin hebat, dan mata keranjang karena setiap kali dia bertemu dengan seorang wanita cantik maka sepasang matanya selalu bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum-senyum, wajahnya menjadi semakin cerah.

Ciu-sian Sin-kai yang hanya memiliki waktu lima tahun, sengaja mengajarkan semua ilmu simpanan yang paling tinggi sehingga walau pun pemuda itu hanya belajar selama lima tahun lamanya, boleh dibilang sudah mewarisi seluruh ilmunya, karena telah menyelami dasar-dasar dan melatih ilmu-ilmu yang paling tinggi dan pilihan. Bahkan Hay Hay belajar pula meniup suling dengan pengerahan khikang untuk menyerang lawan, di samping juga memainkan suling itu sebagai sebatang pedang.

Memang waktu memiliki kekuasaan secara mutlak atas diri kita manusia. Hampir seluruh hidup ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan waktu, atau yang dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu mendatang, dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka timbul segala macam persoalan di dalam kehidupan kita.

Hampir seluruh perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi, lahir dari waktu yang mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu, karena pikiran kita mengingat-ingat hal yang telah lalu, kemudian membandingkannya dengan waktu kini dan membayangkan keadaan waktu mendatang.

Karena pikiran mengunyah-ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka. Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak.

Karena pikiran membayangkan hal-hal yang menimpa diri sendiri, yang merasa dirugikan lahir atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang, setiap saat dicengkeram oleh waktu!

Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri betapa hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita masing-masing, timbullah satu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas dari cengkeraman waktu?

Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan batiniah. Kehidupan lahiriah tentu saja tak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari cengkeraman waktu, bebas dari pengenangan kembali hal-hal yang lalu, bebas dari harapan-harapan di masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik, hidup SEKARANG ini? Apabila dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari duka, kebencian, ketakutan.

Mungkinkah bagi kita untuk dapat memutuskan ikatan dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah lampau? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat, seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan indah.

Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan bahwa hal itu amat sukar, tak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya!

Kalau kita tidak memperhatikannya, maka waktu melesat melebihi anak panah cepatnya dan sebaliknya seakan merayap seperti keong kalau kita perhatikan. Tanpa disadari, telah delapan tahun lamanya semenjak Hay Hay berpisah dari See-thian Lama! Delapan tahun hanya merupakan waktu sekilat kalau tidak kita perhatikan lewatnya.

PADA suatu pagi yang cerah, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan keluar dari sebuah hutan, menuju ke sebuah dusun yang genteng-genteng rumahnya telah nampak dari atas lereng dari mana dia tadi turun di waktu pagi sekali. Dari atas lereng gunung yang penuh hutan lebat itu, pagi-pagi buta tadi dia melihat sebuah perkampungan di kaki gunung yang di pagi hari itu lampu-lampunya masih belum dipadamkan semua. Kini, setelah melewati hutan terakhir, ketika matahari pagi telah bersinar cerah, dari jauh dia sudah bisa melihat genteng-genteng rumah yang kemerahan.

Pemuda itu berwajah ganteng. Matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, bibirnya selalu tersenyum atau mengulum senyum, hidungnya mancung serta dagunya membayangkan kegagahan seorang jantan.

Pakaiannya terbuat dari kain sederhana saja, akan tetapi potongannya rapi dan nampak bersih terawat baik. Pakaian itu berwarna biru muda dengan garis-garis kuning di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terikat di punggungnya.

Tubuhnya sedang, akan tetapi tegap. Dadanya bidang dan membusung, membayangkan kekuatan yang tersembunyi. Usia pemuda ini sekitar dua puluh tahun. Walau pun masih muda, namun di dalam sinar matanya yang berkilat dan berseri itu, di dalam senyumnya yang seolah-olah penuh pengertian, pemuda ini nampak jauh lebih dewasa dari pada usia yang sebenarnya.

Dari caranya berpakaian, dia seperti seorang pelajar dari dusun yang menempuh ujian di kota dan kini sedang dalam perjalanan pulang ke dusun, seorang pemuda pelajar yang pandai, halus dan sopan, akan tetapi lemah lembut. Akan tetapi kalau melihat tubuhnya yang tegap dan dadanya yang lebar, dia lebih mirip seorang yang suka akan olah raga, atau setidaknya seorang pemuda yang telah biasa bekerja kasar di ladang di bawah sinar matahari yang sehat.

Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Kini dia tidak mau lagi menggunakan she (nama keturunan) Siangkoan karena nama keturunan itu adalah milik Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis yang sudah menculiknya dari tangan keluarga Pek itu. Dan dia pun tidak berani memakai nama keturunan keluarga Pek, karena menurut kedua orang gurunya, sangat diragukan bahwa dia adalah benar-benar putera keluarga Pek.

Bukankah putera keluarga Pek itu adalah Sin-tong seperti yang dahulu pernah diramalkan oleh para Lama dan bahwa Sin-tong memiliki ciri khas pada punggungnya, yaitu dengan tanda kulit punggung merah? Tidak, dari pada menggunakan nama keturunan yang salah, lebih baik dia tidak memakai nama keturunan apa pun dan tetap memakai nama kecilnya saja, yaitu Hay Hay!

Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia meninggalkan Pulau Hiu karena waktu lima tahun telah lewat, yaitu waktu yang ditentukan baginya untuk berguru kepada Ciu-sian Sin-kai. Sesudah memperoleh bekal ilmu-ilmu yang tinggi, juga nasehat-nasehat serta sekantung uang emas dari gurunya yang mencintanya, Hay Hay mendayung sebuah perahu kecil keluar dari perairan Pulau Hiu yang berbahaya.

Dia masih bergidik ngeri kalau teringat kembali akan peristiwa penyerbuan pulau itu oleh kaum bajak laut pada waktu untuk pertama kali dia datang bersama gurunya ke pulau itu, membayangkan puluhan orang disergap ikan-ikan hiu lalu dijadikan mangsa. Maka, ketika dia mendayung perahu di antara batu-batu karang dan melihat sirip ikan-ikan hiu yang meluncur ke sana-sini, dia pun merasa ngeri juga. Betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya, sekali dia terjatuh ke dalam perairan itu, tak mungkin dia dapat menyelamatkan diri lagi.

Akan tetapi berkat pengetahuannya akan rahasia dan lika-liku batu-batu karang di perairan itu, dia dapat keluar dengan selamat dan tidak lama kemudian mendarat di pantai lautan Po-hai. Selama tiga tahun Hay Hay merantau dan sudah banyak dia mengalami hal-hal yang memperdalam pengertiannya akan kehidupan ini dan membuat dia lebih mengenal watak manusia dan sedikit banyak tahu akan keadaan dunia kang-ouw.

Namun dia selalu mentaati pesan kedua orang gurunya, yaitu dia tidak mau menonjolkan diri dan kepandaiannya, dia tak mau membuat nama besar karena menurut pesan kedua orang gurunya, nama besar itu merupakan ikatan yang amat kuat membelenggu diri dan setiap ikatan akan selalu mendatangkan kerepotan.

Memiliki sesuatu merupakan sebuah bentuk ikatan yang amat kuat, demikian antara lain See-thian Lama pernah menasehatinya. Biasanya, kita ingin memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan kesenangan tapi siapa yang memiliki sesuatu, dia pasti akan terancam oleh kehilangan. Ancaman inilah yang menimbulkan kekerasan di dalam batin untuk menjaga dan mempertahankan apa yang dimilikinya itu, karena kalau kehilangan, berarti dia akan kehilangan kesenangan-kesenangan yang didatangkan oleh yang dimilikinya itu. Di dalam mempertahankan inilah terjadi kekerasan, permusuhan, kebencian dan selanjutnya.

Dahulu, ketika masih berusia dua belas tahun, Hay Hay belum mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan melihat kenyataan serta kebenaran dalam ucapan pendeta Lama itu. Siapa yang memiliki dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang memiliki sajalah yang akan kehilangan, sedangkan yang tidak memiliki apa-apa takkan kehilangan apa-apa pula.

Dia pun melihat kenyataan bahwa hanya orang yang tak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya tak terikat oleh apa pun, maka hanya dia itulah yang sebenarnya penuh dengan segala sesuatu! Sedangkan orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong, memang haus untuk memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, sebab itu dia membutuhkan sesuatu yang disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya


cerita silat online karya kho ping hoo


Memang di dunia ini banyak kenyataan yang sangat aneh. Mengapa orang ingin memiliki benda-benda yang bisa dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau pun penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan harum itu? Padahal, tanpa kita miliki sekali pun, dapat saja kita menikmati keindahan dan keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang nyanyiannya demikian merdu? Bukankah tanpa memiliki sekali pun, kita sudah dapat menikmati kemerduan suara burung itu?


Kita ingin memiliki segala-galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain. Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan.

Si Aku tak pernah puas, terus membesar dan berkembang. Tubuhku, namaku, hartaku, kedudukanku, keluargaku, kemudian terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya. Karena melihat betapa si aku ini sesungguhnya bukan apa-apa, hanya seonggok daging hidup yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati lalu segala miliknya itu terpisah dari 'Aku', maka si aku haus untuk mengikatkan diri dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan serta kekecilannya, atau untuk tempat bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar 'hidup' terus!


Kini Hay Hay telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berwatak gembira, jenaka, memandang kehidupan dengan sepasang mata bersinar-sinar, wajah yang cerah penuh gairah hidup. Baginya hidup selalu tampak indah dan segala hal bisa dinikmatinya sepenuhnya.

Udara yang jernih sejuk dan nyaman, air, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayur, bunga-bunga dan segala yang nampak di permukaan bumi ini sesungguhnya amat indah dan segalanya itu dapat kita nikmati sepenuhnya. Dia memang suka akan keindahan dan agaknya karena inilah maka dia peka sekali terhadap kecantikan wanita!

Ketika Hay Hay berjalan seorang diri menuju ke dusun itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara ketawa merdu sekelompok wanita. Dia tersenyum gembira. Bagi Hay Hay, suara dan ketawa wanita memasuki telinganya seperti bunyi musik yang merdu dan selalu menimbulkan perasaan yang tenang, damai dan menyenangkan sekali. Dia lalu membelok ke kiri, ke arah datangnya suara itu.

Kiranya ada tujuh orang wanita muda usia, antara lima belas sampai dua puluh tahun, sedang mencuci pakaian dan mandi di sebuah sungai kecil yang mengalir di luar dusun itu. Air sungai itu cukup jernih karena mengalir dari pegunungan yang ditinggalkannya tadi pagi.

Karena mandi di tempat umum sambil mencuci pakaian, gadis-gadis itu tidak telanjang sama sekali, akan tetapi mengenakan pakaian dalam yang tipis. Air yang membasahi tubuh dan pakaian itu membuat pakaian melekat sehingga dari tempat dia berdiri tampak tubuh-tubuh yang padat itu seperti tidak berpakaian saja. Pemandangan yang indah!

Hay Hay tersenyum dan memilih tempat duduk di bawah pohon, di atas batu besar dari mana dia dapat nonton dengan enaknya, lalu menurunkan buntalan bekalnya dan mulai makan sepotong roti kering karena sejak pagi tadi dia belum sarapan. Seguci kecil arak yang tidak keras menemani roti kering itu, juga sepotong daging kering manis.

Makin lezat rasa roti dan daging kering sederhana itu karena pemandangan yang amat menarik hatinya. Alangkah lembut dan padatnya tubuh gadis-gadis itu, dengan kulit yang berkilau mulus tertimpa matahari pagi. Dan wajah-wajah itu demikian manis. Dan suara senda gurau itu demikian riang gembira, merdu laksana tiupan suling. Dengan gigi putih kadang-kadang berkilau ketika gadis-gadis itu tersenyum gembira.

Selama tiga tahun merantau ini, dan dirinya menjadi semakin dewasa, sudah banyak Hay Hay bertemu dan bergaul dengan wanita. Akan tetapi pergaulannya itu selalu dibatasinya. Dia tidak pernah melupakan kuliah yang pernah diterimanya dari Ciu-sian Sin-kai.

Tidak, dia belum siap untuk menjadi suami dan ayah. Dia belum siap untuk menikah. Dan dia pun tak mau menjadi seorang lelaki pengecut yang tidak bertanggung jawab, setelah menghamili seorang gadis lalu meninggalkannya begitu saja.

Karena itu dia selalu berhati-hati, tidak membiarkan dirinya terseret terlalu jauh dan selalu dia menyingkir dan menjauhkan diri apa bila pergaulannya dengan seorang wanita sudah menjadi terlampau erat dan nampak bayangan bahaya terseret ke dalam pelaksanaan hal yang dipantangnya. Dan sejauh ini, dia berhasil!

Keadaan Hay Hay memang berbeda dengan keadaan pemuda pada umumnya, atau para pria apa bila melihat wanita-wanita cantik. Hay Hay secara langsung menikmati keindahan bentuk tubuh wanita-wanita itu, menikmati kecantikan wajah mereka, kelembutan mereka, keluwesan gerakan tubuh mereka, dan kemerduan suara mereka. Dia menikmati semua itu, pada saat itu juga, tanpa membiarkan pikirannya terbawa hanyut ke dalam permainan waktu.

Pada umumnya pria alim akan hanyut ke dalam alam khayal, mengenangkan kembali segala pengalaman dengan wanita-wanita cantik, lalu mengkhayal bahwa wanita-wanita itu, atau salah seorang di antaranya menjadi miliknya, menjadi kekasihnya, dicumbunya sehingga dengan demikian timbullah dan bangkitlah nafsu.

Hay Hay tidak mengkhayalkan apa-apa. Dia melihat semua keindahan itu tanpa keinginan memiliki, seperti orang menikmati keindahan bulan purnama, keindahan tamasya alam di pegunungan, keindahan gelombang air di samudra. Sedikit pun tidak timbul khayal pikiran untuk mengikatkan diri dengan yang dikaguminya, atau untuk mendapatkan kesenangan darinya. Dia menikmati semua itu secara langsung, dan akan habis di saat itu pula, tidak menjadi kenangan.

Akan tetapi karena Hay Hay enak-enak saja duduk di tempat itu tanpa menyembunyikan diri, makan roti dan daging kering sambil menikmati tontonan di bawah sana, tentu saja akhirnya salah seorang di antara gadis-gadis itu melihatnya.

"Aihhhh...!" Gadis itu menjerit lantas mendekam di dalam air sambil menggunakan kedua tangan menutupi dada yang tercetak melekat pada kain basah.

Teman-temannya terkejut kemudian bertanya, dan gadis itu cepat menunjuk ke arah Hay Hay. Semua gadis segera menoleh dan terdengarlah jerit-jerit manja ketika gadis-gadis itu melihat ada seorang pemuda tampan sedang enak-enak duduk nongkrong di atas sebuah batu besar sambil makan dan nonton mereka. Mereka semua berjongkok di dalam air dan menutupi dada dengan kedua tangan.

Hay Hay tersenyum lebar. Sikap para gadis yang malu-malu itu sungguh merupakan sikap kewanitaan yang amat lucu dan menarik. Seratus prosen wanita! Mereka mencoba untuk bersembunyi di dalam air, mencoba untuk menyembunyikan tonjolan payudara dengan kedua tangan akan tetapi kadang-kadang melirik untuk melihat apakah sikap mereka itu cukup manis dan menarik! Namanya juga perempuan!

Naluri kewanitaan selalu mendorong wanita untuk menarik perhatian orang lain, terutama sekali kalau orang lain itu pria, dan lebih-lebih lagi kalau pria muda yang tampan. Haus akan perhatian pria, haus akan kekaguman yang terbayang dalam pandangan mata pria, haus akan pujian yang keluar dari mulut pria. Itulah wanita! Asli!

Seorang di antara para gadis itu, yang paling tua, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, agaknya yang paling tabah di antara mereka. Melihat betapa pemuda tampan yang nongkrong itu masih enak-enak makan sambil terus memandangi mereka, dan ternyata pemuda itu adalah seorang asing, bukan pemuda dari dusun mereka, dia lantas berkata dengan nada suara marah.

"Kau... kau pemuda kurang ajar! Tidak sopan!"

Hay Hay membelalakkan matanya. Sebelum menjawab dia mendorong makanan di dalam mulutnya dengan seteguk arak anggur. Kemudian dia membersihkan kedua tangannya dan sambil memandang ke arah tujuh orang gadis yang berjongkok di dalam air itu, dia berkata, suaranya lantang dan tidak dibuat-buat.

"Sungguh aneh. Mengapa kalian harus marah-marah? Bukankah sudah wajar kalau yang indah-indah itu ditonton dan dikagumi? Aku melihat dan mengagumi bunga indah, burung-burung yang bersuara merdu dan manja, aku nonton mereka sepuasku, dan mereka tidak menjadi marah! Semua yang indah-indah memang baru nampak indah kalau ditonton dan dikagumi, bukan?"

"Apa yang indah?" tanya gadis itu.

"Apa yang indah?" Hay Hay bangkit berdiri di atas batu besar itu dan mengembangkan sepasang lengannya. "Kalian masih bertanya lagi? Kalian inilah yang indah! Wajah kalian begitu manis dan cerah, sinar mata begitu indah berseri-seri, senyum kalian di bibir yang segar itu, kedua pipi yang kemerahan, bentuk tubuh yang demikian sempurna. Aihhhh..., suara kalian yang demikian merdu. Demikian banyak keindahan pada diri kalian namun kalian masih bertanya apanya yang indah? Ambooiii...! Kalian adalah gadis-gadis dusun yang benar-benar polos, wajar dan tidak berpura-pura. Semakin mengagumkan, seperti sekumpulan bunga mawar hutan yang liar akan tetapi makin cerah warnanya dan makin semerbak harumnya. Wahai nona-nona cantik jelita, tadi aku terpesona dan hampir saja menyangka bahwa kalian adalah sekumpulan bidadari dari kahyangan yang turun mandi di sungai ini."

Tujuh orang gadis itu adalah gadis-gadis dusun sederhana. Melihat pemuda yang tampan itu berdiri di atas batu dan mengucapkan kata-kata yang amat indah bagi mereka itu, yang penuh dengan pujian-pujian, dengan lagak bagai seorang pemain panggung yang pandai, langsung menjadi melongo semua.

Tidak ada wanita yang perasaannya tidak menjadi nyaman mendengar orang memujinya cantik, terlebih lagi pujian seperti itu, demikian muluk dan indah kata-katanya, dikeluarkan oleh mulut seorang pemuda yang demikian tampan. Hati siapa takkan menjadi gembira? Tujuh orang gadis itu merasa girang sekali, biar pun masih mereka sembunyikan di balik senyum-senyum yang mulai timbul, bahkan terdengar suara ketawa kecil tertahan.

"Ihhh, jangan-jangan itu hanya rayuan gombal!" terdengar seorang di antara para gadis itu berkata lirih, akan tetapi telah cukup bagi pendengaran Hay Hay yang tajam terlatih untuk menangkapnya.

"Astaga, Nona manis, aku mohon janganlah engkau demikian kejam hingga menuduh aku mengeluarkan rayuan gombal. Rayuan gombal adalah rayuan yang mengandung pamrih untuk bermuka-muka dan menjilat-jilat, sedangkan aku tidak mempunyai pamrih apa-apa terhadap kalian, kecuali memang aku merasa terpesona dan kagum akan keadaan kalian yang bagaikan bunga-bunga yang bermandikan embun di waktu pagi, demikian segar dan cerah, demikian cantik dan harum!"

Tentu saja para gadis itu semakin tertarik dan gadis tertua tadi lalu bertanya. "Siapakah engkau dan mau apa engkau berada di sini sambil mengintai kami yang sedang mandi dan mencuci pakaian?"

Hay Hay tersenyum. Selama perantauannya yang tiga tahun ini, dia telah banyak bergaul dengan gadis-gadis cantik, maka dia pun tahu bahwa apa bila seorang gadis sudah mau melayani bicara, itu tanda Si Gadis tertarik dan dapat diajak berkenalan!

"Namaku Hay Hay." Dia menjura dengan sikap hormat. "Dan aku kebetulan lewat di sini. Perutku lapar dan aku lalu beristirahat di sini sambil sarapan dan mengagumi kalian."

"Apakah... apakah engkau tidak akan berbuat kurang senonoh dan kurang ajar terhadap kami?"

Hay Hay mengerutkan alisnya lantas menunjuk ke atas dan ke bawah. "Langit dan Bumi menjadi saksi dan akan menghukum aku jika aku mempunyai niat buruk dan kurang ajar terhadap kalian, Nona-nona manis. Sebagai bukti bahwa aku tidak berniat kurang ajar tapi hanya ingin sekedar berkenalan dan bersahabat, marilah kalian kuundang untuk sarapan pagi, aku masih membawa cukup banyak roti dan daging kering."

Dia mengeluarkan sebungkus roti dan sebungkus daging, lalu dibukanya dan dipamerkan kepada gadis-gadis itu. "Roti ini bukan roti biasa melainkan roti istimewa yang dicampuri kenari, dan daging ini pun lezat bukan main karena ini adalah daging dendeng manis dari daerah Kwei-lin, sedap dan gurih! Dan aku pun masih mempunyai seguci anggur yang tidak keras, wangi dan manis. Silakan, Nona-nona."

Kembali gadis-gadis itu tertawa kecil cekikikan, agak ditahan. Mereka saling berbisik dan nampak seperti kelompok yang lucu. Lalu yang tertua berkata, "Kami mau naik akan tetapi engkau berbaliklah agar kami dapat mengenakan pakaian kering yang patut."

Hay Hay maklum akan batas godaannya. Kalau terlalu didesak sehingga merasa sangat malu, gadis-gadis ini dapat mundur teratur. Dia tersenyum ramah. "Baiklah, Nona-nona, aku tak akan melihat kalian berganti pakaian!" Dan dia pun membalikkan tubuhnya, duduk di atas batu itu membelakangi sungai.

Gadis-gadis itu lalu bergegas berganti pakaian di balik batu-batu sambil kadang-kadang mengerling ke arah Hay Hay. Kalau Hay Hay menengok dan memandang, tentu mereka akan marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok.

Memang Hay Hay tidak mempunyai keinginan untuk mencuri pandang. Dia suka bergaul dengan gadis-gadis manis yang lincah itu, dan dia tidak menyembunyikan maksud untuk mencuri sesuatu, melainkan rasa suka yang wajar.

Karena melihat bahwa pemuda itu benar-benar tak pernah menengok, maka tujuh orang gadis itu menjadi percaya dan setelah berganti pakaian kering dan mengumpulkan cucian, sambil tertawa-tawa kecil mereka lantas membawa keranjang pakaian keluar dari sungai, mendaki tebing sungai dan menghampiri batu besar di mana Hay Hay duduk.

"Apakah aku sudah boleh memandang?" Hay Hay bertanya walau pun telinganya sudah mendengar akan gerakan mereka yang mendaki tebing.

"Boleh, kami telah berganti pakaian," kata seorang di antara mereka dan kini mereka telah tiba di dekat batu besar.

Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia segera terbelalak memandangi mereka dengan sinar mata penuh kagum yang tidak dibuat-buat dan tidak disembunyikan. Kemudian dia meloncat turun di depan gadis-gadis itu dan mengembangkan kedua lengannya.

"Amboiii...! Setelah kalian berpakaian dan kulihat dari dekat, kalian betul-betul merupakan sekelompok bunga yang indah dan harum semerbak! Lihat, sinar matahari pagi menjadi semakin cerah dengan adanya kalian di sini!"

Wajah tujuh orang gadis itu menjadi kemerahan biar pun jantung mereka berdebar penuh dengan rasa bangga dan gembira. Mereka pun kini memandang kagum karena pemuda yang amat menyenangkan hati mereka karena kata-kata dan sikapnya itu ternyata adalah seorang yang berwajah tampan, bertubuh tegap dan berpakaian pantas. Bukan seorang pemuda dusun, pikir mereka.

"Apakah... apakah engkau seorang kongcu dari kota?" yang tertua bertanya.

Hay Hay tersenyum lebar, nampak deretan giginya yang sehat dan putih terpelihara rapi. Dia menggelengkan kepala. "Nona, apakah bedanya antara orang kota dan orang dusun? Menurut penglihatanku, bedanya hanya bahwa kalau orang kota banyak yang sombong dan licik, maka sebaliknya orang dusun rendah hati, ramah dan jujur. Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku, bagiku dusun dan kota sama saja."

"Akan tetapi engkau tentu bukan pemuda dusun dan engkau tentu pandai baca tulis," kata gadis lain yang ada tahi lalatnya di dagu.

"Aih, Nona, tahi lalat di dagumu itu benar-benar membuat engkau nampak manis sekali!" Hay Hay memuji sehingga dara yang usianya sekitar enam belas tahun tersipu. "Memang aku bisa baca tulis. Ahhh, aku sampai lupa. Silakan mencoba roti dan daging dendengku, Nona-nona, mari, jangan kalian malu-malu. Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat?" Hay Hay menawarkan sambil membuka bungkusan roti dan daging itu di atas batu.

Para gadis itu kelihatan ragu-ragu. Namun seorang gadis yang rambutnya terurai panjang sampai ke pinggul berkata, "Dia sudah menawarkan, tidak baik kalau kita menolak. Mari kita cicipi." Dan ia pun memelopori teman-temannya mengambil sepotong roti dan daging.

Setelah gadis berambut panjang itu mengambil sepotong roti dan dendeng, yang lain pun sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa kecil lalu mengulur lengan-lengan yang kecil mungil dan mulus untuk mengambil roti dan daging, masing-masing sepotong.

Mereka mulai makan, menggigit sedikit-sedikit akan tetapi begitu mereka merasakan roti dan dendeng yang memang enak, gigitan mereka menjadi semakin besar karena mereka tidak pernah berpura-pura dan bersopan-sopan seperti gadis-gadis kota. Melihat ini Hay Hay menjadi semakin gembira. Dengan sinar mata berseri dia memandangi gadis-gadis itu penuh kagum.

"Aduh, indahnya rambutmu, Nona, begitu panjang, hitam dan gemuk. Bukan main!" kata Hay Hay memuji Si Gadis berambut panjang. "Cantik sekali...!"

Para gadis itu tertawa lantas gadis tertua menuding ke arah gadis bertahi lalat dan gadis berambut panjang. "Hi-hik, dia memuji-muji Siauw Lan dan Siauw Cin..." dan semua gadis mentertawakan dua orang gadis itu yang tersipu malu.

Melihat ini, Hay Hay cepat-cepat berkata. "Bukan hanya mereka berdua, akan tetapi aku mengagumi kalian semua karena kalian semua masing-masing memiliki keindahan yang khas. Aku dapat memuji kalian semua, bukan rayuan gombal, tapi pujian yang setulusnya atas dasar kenyataan."

"Aihh..., tidak mungkin engkau memuji kami semua!" kata gadis tertua, menyembunyikan keinginan hatinya untuk mendengar pujian apa yang akan diberikan pemuda luar biasa itu untuknya.

Hay Hay memandang kepada lima orang gadis yang belum dipujinya itu dengan senyum manis. Dia memang suka sekali pada wanita, dan belum pernah dia melihat wanita yang tidak memiliki sesuatu yang menonjol pada dirinya, sesuatu yang menarik dan istimewa.

"Engkau sendiri, Nona, engkau memiliki kulit yang demikian putih dan mulus, bersih dan lembut tanpa cacat! Kulitmu nampak putih kemerahan, seperti sutera halus, nampak amat cemerlang setelah mandi dan basah tertimpa sinar matahari pagi. Alangkah indahnya dan aku yakin, semua pria tentu akan terpesona melihatnya. Hanya pria yang kedua matanya buta sajalah yang tidak akan dapat melihat keindahan kulitmu."

Bukan main girang rasa hati gadis itu. Memang dia memiliki kulit yang paling putih bersih dibanding teman-temannya, akan tetapi selama hidupnya, baru satu kali inilah ada orang yang memuji-muji kebersihan kulitnya seperti itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia pun cepat menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Aihhh, bisa saja engkau memuji, Kongcu...!" katanya sambil tersenyum malu-malu.

"Kalau aku yang hitam seperti arang ini, apanya yang pantas dipuji?" tiba-tiba saja gadis berusia tujuh belas tahun yang memang berkulit agak kehitaman berkata, menantang dan teman-temannya memperhatikan pemuda itu. A-kiu ini memang dianggap paling buruk di antara mereka karena kulitnya memang lebih hitam dari pada yang lain.

Hay Hay memandang gadis itu, sinar matanya mencari-cari dan akhirnya dia berseru, "Ah, siapa bilang engkau buruk, Nona? Memang kulitmu agak hitam, akan tetapi hitam manis itu namanya! Dan lihat matamu! Duhai, siapa yang takkan terpesona melihat mata seperti matamu itu? Demikian jeli, demikian jernih, demikian indah bentuknya. Sepasang matamu itu saja sudah cukup untuk menundukkan hati setiap pria, Nona!" Dan kini kawan-kawan nona berkulit kehitaman itu baru melihat bahwa Si A-kiu memang mempunyai mata yang sangat indah!

"Dan engkau, Nona, keistimewaan yang ada padamu adalah bentuk wajahmu. Inilah yang dinamakan bentuk wajah bulat telur. Manis bukan kepalang, dengan dagu meruncing dan tulang pipi sedikit menonjol. Bentuk wajah seperti yang kau miliki itu membuat semua bagian mukamu menjadi nampak manis sekali!" kata Hay Hay memuji gadis berikutnya yang tersipu-sipu malu-malu senang.

"Dan jarang ada gadis yang memiliki hidung serta mulut sepertimu, Nona," katanya lagi memandang gadis berbaju hijau, gadis ke enam. "Hidungmu kecil mancung, cocok sekali dengan mulutmu yang kecil dengan bibir yang penuh dan merah membasah. Amboiiiii...! Mata pria tak akan mau berkedip memandangi mulutmu itu. Engkau seorang gadis yang hebat!" Dan tentu saja gadis itu hanya dapat mengeluarkan suara "aahhh..." yang manja dan tersipu-sipu seperti yang lain.

"Dan engkau?" Hay Hay memandang kepada gadis ke tujuh atau yang terakhir. "Bentuk tubuhmu, Nona! Sungguh laksana setangkai bunga sedang mekar! Pinggangmu ramping, tubuhmu... sungguh menggairahkan setiap orang pria yang memandangnya. Semua pria dapat tergila-gila memandang bentuk tubuh seorang wanita seperti bentuk tubuhmu ini!"

Tujuh orang gadis itu semua telah mendapat giliran dipuji-puji oleh Hay Hay dan mereka yang menerima pujian menjadi girang bukan main, akan tetapi setiap kali Hay Hay memuji seorang gadis, yang lain merasa tak senang dan iri!

"Hemm, Kongcu...," kata gadis tertua yang kulitnya putih.

"Aihh, jangan menyebut Kongcu (Tuan Muda), membikin aku malu saja. Namaku Hay Hay dan kalian boleh saja menyebut aku Kakak Hay."

"Kakak Hay Hay yang baik," kata gadis tertua. "Engkau memuji kami semua, katakanlah siapa di antara kami yang kau anggap paling menarik?"

Gadis-gadis yang lain tersenyum dan tertawa, ikut pula mendesak dan suasana menjadi gembira sekali. Mereka tertawa-tawa, merubung Hay Hay yang menjadi girang sekali.

Dirubung tujuh orang gadis cantik dan segar itu, Hay Hay merasa seperti berada di taman kahyangan dikelilingi tujuh orang bidadari jelita! Dia pun tertawa-tawa gembira. Alangkah bahagianya hidup ini! Pada setiap keadaan terdapat hal-hal yang dapat dinikmati, yang mendatangkan rasa gembira di hati.

"Aku menjadi bingung kalau disuruh mengatakan siapa yang paling menarik. Habis semua menarik sih!" jawabnya sambil tertawa-tawa dan tujuh orang gadis itu pun tertawa semua. Senang rasa hati mereka karena selama hidup belum pernah mereka berjumpa dengan seorang pemuda yang begini menyenangkan hati.

"Andai kata engkau disuruh memilih salah seorang di antara kami untuk menjadi...," gadis berambut panjang itu berhenti, mukanya merah sekali dan dia tidak berani melanjutkan karena malu.

"Menjadi apa?" Hay Hay pura-pura tidak mengerti.

"Jadi itu tuuhh...!" sambung gadis bertahi lalat.

"Jadi pacarmu...!" akhirnya gadis tertua memberanikan diri berkata. "Engkau akan memilih yang mana, Hay-ko?"

Hay Hay tertawa bergelak di tengah-tengah ketujuh gadis itu. "Wah repotnya! Pilih yang mana, ya?" Dia memandang kepada mereka satu demi satu untuk menimbulkan suasana penuh harapan yang amat menegangkan hati mereka, kemudian menyambung, "aku pilih semuanya! Ha-ha-ha!"

Gadis-gadis itu menjerit kecil lantas tertawa-tawa dengan sikap manja dan genit. Mereka pun menikmati keadaan yang luar biasa, menggembirakan dan sekaligus membangkitkan gairah hidup dan semangat muda mereka. Mereka merasa demikian bebas dekat pemuda ini, bebas akan tetapi tidak merasa terancam. Pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar, pandang matanya demikian jenaka tetapi lembut, tanpa kandungan pandang mata penuh nafsu yang kurang sopan.

Biasanya mereka merasa betapa pandang mata pria pada saat ditujukan kepada mereka seolah-olah ingin meraba-raba tubuh mereka, bahkan seolah-olah sinar mata pria hendak menelanjangi mereka. Pemuda ini berbeda. Ucapan-ucapannya yang mengandung pujian bukan rayuan belaka, melainkan pujian yang wajar dan setengah kelakar.

Baik Hay Hay mau pun ketujuh gadis itu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di belakang semak-semak belukar, sejak tadi ada sepasang mata jeli yang mengintai dan mengikuti setiap gerakan mau pun kata-kata mereka. Sepasang mata yang sungguh tajam, yang kadang-kadang memancarkan kemarahan, tapi kadang-kadang juga kegembiraan. Pemilik sepasang mata ini adalah seorang dara yang berusia kurang lebih delapan belas tahun.

Terjadi hal lucu pada gadis pengintai ini ketika Hay Hay tadi memuji para gadis itu satu per satu. Kalau Hay Hay memuji rambut seorang di antara mereka, tak terasa lagi dia pun meraba rambutnya. Jika Hay Hay memuji hidung seorang gadis, dia pun otomatis meraba hidungnya sendiri dan seterusnya. Pada waktu Hay Hay dirubung oleh para gadis itu dan mereka semua tertawa-tawa dengan girang, gadis pengintai itu mengerutkan alisnya dan mengamati mereka dengan pandang mata tajam.

"Hemmm, Si Mata Keranjang!" berkali-kali mulutnya mengeluarkan bisikan mendesis dan pandang matanya terhadap Hay Hay menjadi keras dan semakin tajam.

Para gadis itu sampai lupa waktu ketika mereka bersenda gurau dengan Hay Hay. Semua bekal roti dan dendeng pemuda itu sudah habis mereka makan, dan sekarang Hay Hay menanyakan nama mereka. Seperti sekelompok burung, dengan suara merdu dan gaya masing-masing, mereka lalu memperkenalkan nama mereka.

Pada saat itu pula datanglah belasan orang laki-laki tua muda. Mereka datang dari dusun karena mereka adalah penghuni dusun itu, ada yang menjadi ayah atau kakak dari para gadis yang sedang bersenda gurau dengan Hay Hay. Tadi ada seorang anak kecil melihat betapa gadis-gadis itu merubung seorang pemuda asing dan tertawa-tawa, maka dia pun segera berlari ke dusun dan melaporkan kepada para penduduk. Berkumpullah belasan orang dan mereka kini menuju ke tepi sungai kecil.

"Apa yang kalian lakukan?!" bentak seorang kakek kepada mereka.

Pada waktu itu Hay Hay dan ketujuh orang gadis itu sedang bercakap-cakap dan mereka tertawa-tawa mendengarkan sebuah dongeng yang diceritakan Hay Hay kepada mereka, sebuah dongeng lucu.

Mendengar bentakan itu, terkejutlah tujuh orang gadis itu lantas mereka semua menoleh. Kiranya kepala dusun sendiri yang menegur mereka dan tentu saja mereka menjadi amat ketakutan, cepat mengumpulkan cucian mereka dan mundur menjauhi Hay Hay.

"Tidak-apa-apa, kami hanya bercakap-cakap...," gadis tertua mewakili kawan-kawannya menjawab, memandang dengan lugu karena memang tidak merasa bersalah, akan tetapi takut karena sikap kepala dusun itu seperti orang marah.

"Siapa dia?" Kepala dusun itu menuding ke arah Hay Hay yang telah turun dari batu besar yang didudukinya tadi.

"Dia... Hay-ko dan baru saja kami berkenalan dan..."

"Tidak pantas anak perawan bercengkerama dengan pria yang asing, bersenda gurau tak mengenal sopan santun. Hayo lekas kalian pulang sana!" bentak Kepala Dusun dengan nada marah.

Tujuh orang gadis itu semakin ketakutan. Merekar melempar pandang ke arah Hay Hay dengan tatapan khawatir sekali, takut kalau-kalau pemuda yang menyenangkan itu akan dipukuli orang-orang dusun yang kelihatannya amat marah itu.

"Dia tidak melakukan apa pun yang tidak pantas! Dia tidak bersalah apa-apa...!" teriak gadis bertahi lalat yang masih terhitung keponakan dari kepala dusun.

"Diam kau! Cepat pulanglah kalian, anak-anak tidak tahu malu!" bentak Kepala Dusun dan sekarang tujuh orang gadis itu tak berani membantah lagi, segera berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, akan tetapi mereka menengok dan menengok lagi.

Sementara itu, kini Kepala Dusun bersama belasan orang penduduk dusun menghampiri Hay Hay yang sudah turun dan pemuda itu tersenyum, bahkan lalu menjura dengan sikap hormat.

"Lopek yang baik, harap jangan memarahi adik-adik itu. Mereka tidak melakukan sesuatu yang salah. Kami hanya bercakap-cakap saja sesudah saling berkenalan. Saya bernama Hay Hay dan kebetulan lewat di sini. Melihat mereka selesai mencuci pakaian, saya lalu menawarkan roti dan daging kering. Kami pun makan bersama, bercakap-cakap dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, Lopek. Kalau memang hal itu dianggap salah, biarlah saya yang bersalah, akan tetapi adik-adik yang baik itu sama sekali tidak bersalah."

Kepala dusun itu bersama yang lain-lain, tertegun melihat sikap pemuda yang hormat dan kata-kata yang halus itu. Mereka saling pandang dan tahulah mereka kini bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang selain tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar yang beruang, juga kata-katanya halus dan sopan seperti juga sikapnya. Kepala dusun itu merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap keras. Siapa tahu pemuda ini masih berdarah bangsawan atau setidaknya putera seorang berpangkat tinggi di kota!

"Kami tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa tidak pantas sekali jika gadis-gadis bercengkerama dengan seorang laki-laki asing di tempat sunyi begini," katanya. "Kongcu siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apakah mengunjungi dusun kami ini? Aku adalah kepala dusun di sini, maka berhak untuk mengenal setiap orang tamu asing yang berada di wilayah kami."

Hay Hay tersenyum dan menjura lagi, kini kepada kakek itu. "Ahh, ternyata saya sedang berhadapan dengan Chung-cu (Kepala Kampung). Maafkan jika saya mengganggu, akan tetapi sesungguhnya seperti yang saya katakan tadi, saya hanya kebetulan saja lewat di sini dan saat melihat keindahan pemandangan sekitar tempat ini, saya bermaksud untuk bermalam di dusun. Kebetulan saya berjumpa dan berkenalan dengan gadis-gadis tadi, harap Chung-cu tidak menyangka yang tidak baik. Nama saya Hay Hay dan saya seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap."

Berubah lagi pandangan mereka sesudah mendengar bahwa pemuda itu seorang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Seorang pemuda dusun itu yang bertubuh tinggi besar dan berwajah galak segera melangkah maju lantas menudingkan telunjuknya. "Tentu saja kami menyangka buruk melihat betapa engkau berani merayu gadis-gadis kami. Sungguh kurang sopan bagi seorang laki-laki yang baru saja datang untuk bersenda gurau dengan gadis-gadis kami!"

Pemuda ini menaruh hati terhadap gadis yang bertahi lalat di dagunya dan sejak tadi dia sudah merasa cemburu dan iri hati sekali terhadap pemuda tampan ini, apa lagi melihat betapa gadis yang dicintanya itu nampak membela Si Pemuda Asing.

Kembali Hay Hay hanya tersenyum menghadapi hardikan ini. "Maaf, sungguh aku tidak mengerti mengapa hanya berbicara dan bersenda gurau secara baik-baik saja dianggap tidak sopan? Kalau aku berbuat tidak sopan, tentu gadis-gadis itu sudah menjadi marah atau melarikan diri. Sebaliknya, mereka suka bersahabat dan makan bersama-sama aku di sini!"

"Karena engkau adalah orang kota yang pandai merayu! Tentu engkau hendak memikat gadis-gadis dusun dengan rayuanmu itu, ya? Lebih baik engkau segera minggat dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan menghajarmu sampai babak belur!" pemuda itu mengancam dengan hati panas dan dengan kedua tangan terkepal.

Hay Hay tidak menjadi marah. Ia malah tersenyum lebar sambil memandang pemuda itu. "Engkau sungguh mengagumkan, sobat. Karena cintamu kepada salah seorang di antara adik-adik itu, maka engkau menjadi panas hati dan hendak menghajarku."

Pemuda itu terbelalak, mukanya menjadi merah, sementara itu beberapa orang temannya tertawa mendengar ini karena mereka memang sudah tahu bahwa temannya ini jatuh hati kepada gadis bertahi lalat yang nama panggilannya Siauw Lan itu.

"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Pergilah sekarang juga!" pemuda itu menghardik dan maju semakin dekat, siap untuk memukul.

Hay Hay tetap tenang dan kini dia memandang kepada kepala dusun yang semenjak tadi hanya diam saja menjadi penonton. "Lo-chung-cu, sudah benarkah saya diusir dari dusun ini tanpa dosa? Bagaimana kalau saya pergi kemudian aku mengabarkan perlakuan dan sikap kalian terhadap para tamu yang datang ke dusun ini?"

Kepala Dusun menjadi bimbang. Siapa tahu pemuda tampan itu benar-benar putera atau setidaknya sahabat dari pejabat-pejabat tinggi di kota! Dia pun menengahi lantas menarik lengan pemuda itu agar mundur.

"Sudahlah, selama tidak ada keluhan dan laporan dari anak-anak gadis kami, maka kami habiskan saja perkara ini. Akan tetapi, untuk menjaga supaya tidak terjadi keributan, kami harap agar Kongcu suka pergi dari sini."

"Saya bukan tuan muda, dan harap jangan sebut saya dengan kongcu. Dan saya sudah memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Apakah seorang yang melakukan perjalanan dilarang untuk berhenti di sini barang satu dua malam?"

Kepala dusun itu menarik napas panjang. Pemuda ini terlalu tenang dan sikapnya amat ramah dan baik, tak pernah memperlihatkan sikap sombong atau marah. Tidak baik kalau terus bersikap kaku.

"Terserah kepadamu, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dusun kami tidak ada penginapan dan para penduduk tentu tak akan ada yang suka menerima engkau sebagai tamu. Jika engkau suka bermalam di tempat terbuka seperti di sini, terserah kepadamu."

Sesudah berkata demikian, kepala dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pulang ke dusun sebab mereka harus melakukan pekerjaan masing-masing. Pemuda tinggi besar itu masih memandang dengan mata tajam kepada Hay Hay, kemudian, sebelum dia pergi bersama yang lain, dia masih sempat dia mengancam.

"Awas, kalau kau berani mendekati gadis-gadis kami lagi, aku benar-benar akan mencari dan menghajarmu!"

Hay Hay hanya tersenyum dan menggerakkan pundaknya sambil menduga-duga, gadis yang mana dari ketujuh gadis tadi yang dicinta pemuda ini. Kasihan gadis itu, tentu kelak akan menjadi bulan-bulan kemarahan pemuda ini kalau sudah menjadi suaminya karena pemuda ini pencemburu benar.

Karena tidak diperbolehkan bermalam di dalam rumah penduduk di dalam dusun itu, Hay Hay lalu mulai mencari tempat untuk melewatkan malam. Memang daerah sekitar dusun itu indah sekali, tanahnya subur dan dusun itu dikelilingi bukit-bukit yang penuh dengan hutan-hutan yang lebat.

Akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi, yang letaknya di tepi hutan pada sebuah lereng bukit, hanya beberapa li jauhnya dari dusun itu. Ketika dia berdiri di depan kuil tua itu, nampaklah dusun itu, kelihatan genteng-genteng rumahnya dan teringatlah dia akan ketujuh orang gadis manis tadi dan dia pun tersenyum gembira.

Sebuah dusun yang subur dengan pemandangannya yang indah, dengan gadis-gadisnya yang segar dan manis. Sayang para penghuninya salah paham dan mengira dia hendak berbuat kurang ajar. Kurang ajarkah dia? Tidak sopankah dia? Dia tak mampu menjawab, hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya kemudian dia pun mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam di dalam kuil itu.

Dia menemukan ruangan dalam yang sangat bersih. Untung, pikirnya, agaknya baru saja ada pelancong yang juga kebetulan lewat dan bermalam di situ, karena ruangan itu bersih dan kelihatan bekas-bekas bahwa ada orang yang membersihkannya, bahkan membuat api unggun di situ. Dengan perasaan lega dia melepaskan buntalan yang dipanggulnya di punggungnya, lalu duduk bersila melepaskan lelah di lantai yang sudah dibersihkan orang lain untuknya itu.

Dia tidak tahu bahwa orang lain yang membersihkan lantai itu untuknya, sekarang sedang mengintai dari jauh sambil mengomel panjang pendek. "Sial dangkalan! Susah-susah aku membersihkan ruangan itu, yang memakai orang lain dan pemuda yang mata keranjang itu lagi!"

Ternyata yang mengomel panjang pendek ini adalah seorang gadis bermata tajam, bukan lain adalah gadis yang tadi melakukan pengintaian pada waktu Hay Hay bersenda gurau dengan tujuh orang gadis dusun.

Dengan perasaan gemas gadis itu lantas berloncatan. Gerakannya demikian ringan dan cepatnya sehingga kalau ada orang yang melihatnya tentu akan tercengang keheranan. Dengan muka merah saking marahnya, gadis itu telah memasuki kuil tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu dia sudah berada di dalam ruangan di mana Hay Hay masih duduk bersila. Senja telah datang, namun matahari belum kehilangan semua sinarnya sehingga di dalam ruangan kuil rusak itu masih cukup terang.

"Heiii...!" Gadis itu menghardik dengan suara nyaring.

Hay Hay terkejut sekali, membuka kedua matanya dan begitu dia melihat wajah gadis itu, dia pun meloncat bangun dan dengan mata terbelalak dia pun berseru.

"Heiii...!" seruan yang mengejutkan hati gadis itu pula.

"Ada apa kau berteriak seperti orang gila?!" bentaknya.

"Waaah, itu... wajahmu itu..." Gadis itu otomatis membawa kedua tangan ke wajahnya. Apakah pipinya coreng-moreng?

"Rambutmu itu...!" Hay Hay melanjutkan dan kembali Si Gadis meraba kepalanya, takut kalau-kalau rabutnya awut-awutan.

"Matamu...! Hidungmu...! Mulutmu...! Tahi lalat di dagumu! Kulitmu dan bentuk tubuhmu!"

"Heiii! Apakah engkau sudah gila?" teriak gadis itu, merasa dipermainkan.

"Tidak, tidak, siapa yang mempermainkan? Tetapi, engkau tentu bidadari dari kahyangan! Atau siluman! Mengapa begitu cepat engkau mengambil alih setiap keindahan dari tujuh orang gadis dusun tadi? Lihat, wajahmu berbentuk bulat telur, sepasang matamu seperti mata bintang, hidungmu mancung, mulut kecil merah membasah, rambutmu hitam gemuk panjang, kulitmu putih halus, bentuk tubuhmu ramping dan indah. Masih ditambah pula dengan tahi lalat di dagumu! Lengkaplah sudah!"

Bukan main marahnya gadis itu. Dia memang merasa jantungnya berdebar girang akibat pujian-pujian itu, akan tetapi dia dimaki siluman!

"Engkau bilang aku siluman? Engkaukah yang monyet, munyuk, cacing, kecoa, anjing, babi dan tikus!"

Mendengar makian-makian itu nyerocos keluar dari mulut yang manis itu, mata Hay Hay terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Ampun ya para dewi! Kenapa engkau marah-marah dan memaki-maki aku seperti itu?"

"Huh, apakah kau kira aku akan bersikap seperti perawan-perawan dusun yang menjadi lemah dan takluk menghadapi semua rayuan gombalmu itu? Jangan harap, ya!" Gadis itu mengeluarkan suara dari hidung dengan sikap mengejek dan memandang rendah, tangan kirinya dikibaskan seperti orang mengusir lalat.

Hay Hay terpesona. Selama perjalanannya, sesudah dia menjadi dewasa dan berkenalan dengan banyak wanita, rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis yang demikian hebat dan kuat daya tariknya! Dan dia tadi tidak sekedar memuji atau merayu.

Gadis itu bertubuh ramping, kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya hitam panjang dikuncir dan digelung, dihias dengan perhiasan rambut yang indah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, matanya tajam seperti bintang, mulutnya kecil berbibir merah membasah, dan di dagunya ada setitik tahi lalat hitam. Semua keistimewaan tujuh orang gadis dusun itu ditemui dalam diri gadis ini!

Dan semua kehebatan ini dimiliki seorang gadis yang luar biasa galaknya! Galak laksana setan, datang-datang memaki-maki dirinya dan dalam pandang mata yang bersinar tajam itu nampak jelas keganasan serta kekerasan hatinya. Melihat pakaiannya yang indah dan caranya bicara, dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan seorang gadis dusun.

"Ya ampun...! Apakah kesalahan hamba terhadap paduka maka paduka puteri yang agung menjatuhkan kemarahan yang demikian besarnya terhadap diri hamba?" Hay Hay masih berusaha untuk meredakan kemarahan gadis itu dengan sikapnya yang terlampau hormat dan lucu.

Akan tetapi gadis itu agaknya sama sekali tidak tertarik dengan sikap Hay Hay dan tidak mau melayani kelakarnya. "Laki-Iaki mata keranjang! Akulah yang membersihkan ruangan ini, dan engkau yang baru datang mau enak-enak saja memakainya? Hayo segera pergi tinggalkan tempat istirahatku ini!"

"Ampun, Dewi...! Kiranya begitu?" Hay Hay benar-benar tertegun mendengar ini, bukan hanya karena dia telah memakai tempat yang telah lebih dulu ditemukan dan dibersihkan orang lain, juga amat terheran-heran mendengar bahwa gadis secantik itu memilih tempat ini untuk istirahat.

Kalau bukan orang yang tabah sekali tentu akan merasa ngeri bermalam di tempat yang menyeramkan ini. Biasanya kuil-kuil tua seperti ini, apa lagi di pinggir hutan yang sunyi, akan dikabarkan sebagai tempat yang dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, atau paling tidak oleh makhluk halus dan siluman.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh itu berkelebat dan tahu-tahu jari tangan yang mungil itu sudah menyentuh jalan darah di ubun-ubun kepalanya. Diam-diam dia kaget bukan main. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dia maklum bahwa sekali saja wanita itu menggerakkan jari tangannya menyerang, maka dia akan tewas!

"Engkau mengenalku?"

Hay Hay terbelalak dan menggelengkan kepala. "Tidak... tidak... Dewi..."

"Kalau begitu, siapa yang memberi tahu bahwa aku berjuluk Sian-li (Dewi)?" Jari tangan itu masih juga belum meninggalkan ubun-ubun kepalanya.

"Maaf, tak ada orang yang memberi tahu, dan juga aku tidak tahu bahwa engkau berjuluk Sian-li. Aku menyebut Dewi karena engkau demikian cantik dan agung bagaikan seorang dewi... maafkan aku..." Hay Hay merasa tegang bukan main karena nyawanya berada di ujung jari wanita itu, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.

Agaknya hal inilah yang menyelamatkannya. Dara itu melangkah mundur dan mengomel, "Perayu...!"

Diam-diam Hay Hay bernapas lega. Baru saja dia lolos dari maut yang amat mengerikan dan kini tahulah dia bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, sebab kalau tidak tentu tak akan mampu mengancam ubun-ubun seperti itu. Sekali ini dia harus bersikap waspada.

"Maafkan aku, Nona. Sesungguhnya bukan maksudku untuk merayu apa lagi kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ruangan dalam kuil ini sudah ada yang menempatinya lebih dahulu. Kalau begitu, maafkan, aku akan pindah saja ke ruangan lain, di belakang atau di depan." Berkata demikian Hay Hay mengambil buntalan pakaian dan bekalnya, lalu menggendongnya.

Sejenak gadis itu memandangnya penuh perhatian, lalu berkata, suaranya ketus. "Engkau harus meninggalkan kuil ini, tak boleh tinggal di belakang atau di depan, bahkan di pekarangan pun tidak boleh. Engkau harus pergi meninggalkan tempat ini sampai tidak nampak dari sini, dan jangan mencoba-coba untuk mengganggu aku!"

Aduh galaknya, pikir Hay Hay. Sayang gadis secantik jelita seperti ini memiliki watak yang demikian galak. "Tapi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan kiranya engkau pun hanya orang lewat saja yang kemalaman dan singgah di kuil ini. Kuil tua ini tidak ada yang punya, bukan? Siapa saja boleh beristirahat di sini..."

"Cukup! Tahukah engkau bahwa baru saja nyawamu tadi nyaris melayang? Aku tak biasa mengampuni orang untuk kedua kalinya, maka pergilah dan jangan banyak membantah lagi! Thiat-sim Sian-li hanya berbicara satu kali, tidak akan dua kali! Yang kedua kalinya, tanganku yang bicara dan nyawamu pasti melayang! Pergi!"

Hay Hay mengerutkan kedua alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali. Gadis ini demikian cantik jelita dan manis, namun juga demikian galak, ganas dan keras! Ingin dia mencoba kepandaian gadis ini, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu akan menimbulkan kemarahan dan kebencian di hati gadis yang ganas ini.

Apa bila dia menang, tentu gadis ini akan membencinya, dan kalau sebaliknya dia kalah, besar kemungkinan dia akan mati terbunuh. Dia tidak mau mati, juga tidak ingin dibenci seorang gadis yang secantik ini, tanpa sebab penting. Hanya memperebutkan tempat di kuil kuno dan kotor ini, tidak cukup berharga untuk dijadikan bahan pertentangan. Dia pun tersenyum dan menjura.

"Baiklah, Nona, aku pergi dan mudah-mudahan malam ini Nona akan dapat tidur nyenyak di tempat yang seram dan banyak setannya ini. Selamat tinggal." Dan dia pun melangkah pergi, diikuti pandang mata gadis itu yang mengerutkan alisnya.

Tak sedap rasa hatinya mendengar ucapan Hay Hay itu. Tentu saja dia tidak takut setan, akan tetapi bayangan-bayangan yang menyeramkan bisa saja mengganggu tidurnya nanti malam.

"Sialan," gerutunya, "bertemu dengan pemuda berandalan mata keranjang!"

Siapakah gadis berjuluk Thiat-sim sian-li (Dewi Berhati Besi) yang galak dan ganas itu? Ia adalah puteri tunggal Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang sekarang masih menjadi orang hukuman di kuil Siauw-lim-si di pinggir sungai Cin-sha itu! Namanya adalah Bi Lian, Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi dia sendiri mengenal dirinya sebagai Cu Bi Lian, puteri Cu Pak Sun petani di dusun tidak jauh dari kuil itu.

Hal ini disengaja oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka menghendaki agar untuk sementara puteri mereka itu tidak tahu bahwa orang-orang yang dipanggil suhu dan subo sebenarnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga agar keadaan puteri mereka tetap rahasia dan tersembunyi tidak diketahui oleh para hwesio, dan ke dua, agar puterinya itu tidak menjadi prihatin jika mendengar bahwa ayah ibu kandungnya menjadi orang-orang hukuman di kuil Siauw-lim-si.

Sebab itu semenjak kecil Bi Lian menganggap dirinya adalah puteri keluarga Cu sehingga dia pun memakai nama Cu Bi Lian. Sering kali di waktu malam suhu dan subo-nya datang berkunjung, dan memang sejak kecil dia dilatih dan digembleng oleh mereka.

Akan tetapi pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia kurang lebih sepuluh tahun, terjadilah peristiwa yang amat hebat di dusunnya yang kecil itu. Kejadian yang tak pernah diimpikan oleh para penduduk dusun, mala petaka hebat yang menimpa dusun itu sehingga hampir menghancurkan dan membinasakan semua penduduknya.

Memang penduduk dusun itu sedang mengalami nasib sial karena pada suatu malam, muncullah dua orang manusia iblis di dusun itu. Mereka ini bukan lain adalah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat dan kejam, juga mempunyai kesaktian yang luar biasa itu. Dua orang ini memang sudah berjanji hendak saling bertemu di Pegunungan Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sha dan kebetulan sekali mereka saling bertemu di dusun itu!

Mula-mula, pada sore hari itu, seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya brewok, kulitnya hitam, matanya lebar dan sikapnya menakutkan sekali, dengan sikap acuh memasuki dusun. Karena kakek ini merupakan orang asing, dan pakaiannya penuh debu, sepatunya compang-camping, para penduduk menyangka bahwa dia adalah seorang dusun yang biasanya bersikap polos dan ramah.

Mereka mencoba untuk menyapanya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menjawab, malah menengok pun tidak, hanya berjalan saja dengan kepala tunduk, mulutnya kemak-kemik. Kakek ini kemudian berkeliaran di dalam dusun itu tanpa tujuan, sedikit pun tidak pernah tersenyum, nampak galak dan kedua mata yang lebar itu mencorong menakutkan.

Para penduduk dusun menjadi ketakutan dan menyangka dia seorang yang terlantar dan gila. Mereka tidak tahu bahwa kakek raksasa yang mereka sangka gila ini adalah seorang manusia iblis yang amat lihai dan berjuluk Tung-hek-kwi, seorang di antara Empat Setan yang membuat semua tokoh kang-ouw gemetar kalau melihatnya!

Akhirnya kakek itu duduk di tepi jalan, di bawah sebatang pohon besar. Agaknya bukan hanya para penduduk dusun itu saja yang menaruh curiga terhadap kakek ini, juga dua ekor anjing dusun datang menyerbu, menggonggong dan menyalak di sekeliling kakek itu, nampak marah akan tetapi juga takut-takut. Beberapa orang penduduk hanya menonton saja dari jauh, tidak mencoba untuk memanggil anjing-anjing itu karena mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek raksasa yang mereka sangka gila itu.

Pada mulanya Tung-hek-kwi yang merasa terganggu oleh sikap dua ekor anjing itu hanya mendengus untuk mengusir mereka. Akan tetapi, setelah melihat bahwa seekor di antara kedua anjing itu berbulu hitam mulus dan gemuk sekali, matanya lalu terbelalak. Tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu dua ekor anjing itu sudah ditangkap pada lehernya! Dua ekor anjing itu menguik-nguik dan Tung-hek-kwi membanting anjing belang yang ditangkap dengan tangan kirinya.

"Ngekkk...!" Pecah kepala anjing itu dan tak mampu bergerak lagi.

Kemudian, anjing hitam gemuk yang masih dicengkeram tangan kanannya dengan jari-jari panjang besar, yang masih menguik-nguik dan meronta-ronta ketakutan itu, dipegangnya dengan kedua tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan itu menarik, terdengarlah suara robek dan pekik maut anjing itu yang tubuhnya telah terobek menjadi dua potong!

Darah muncrat dan seperti orang kehausan, kakek itu cepat menjilat dan mencucup darah anjing hitam yang terus bercucuran itu! Melihat ini, semua orang yang menonton dari jauh segera terbelalak penuh kengerian, dan anak-anak sudah berlari-larian menyembunyikan diri dengan muka pucat.

"Wah, kau lahap dan rakus, Tung-hek-kwi!" Tiba-tiba saja muncul seorang kakek gendut yang bukan lain adalah Pak-kwi-ong. Dia menghampiri rekannya yang masih menikmati darah anjing hitam itu. "Uwahhh...! Anjing hitam! Hebat, obat kuat, jangan dihabiskan, aku pun perlu darahnya!"

"Huh, siapa yang rakus?" bentak Tung-hek-kwi kemudian dia pun melemparkan potongan anjing hitam di tangan kanannya.

Pak-kwi-ong cepat menerimanya dan terus menjilat dan menghisap darah anjing itu pula. Sungguh mengerikan melihat dua orang kakek tua renta ini duduk di bawah pohon sambil menjilati darah anjing hitam, kemudian mereka mulai mengganyang daging anjing dengan menggerogotinya begitu saja!

"Ha-ha-ha-ha, engkau memang sahabat yang baik, Setan Hitam. Menyambut aku dengan suguhan yang segar dan menyehatkan!" kata Pak-kwi-ong sambil tertawa-tawa, ada pun Tung-hek-kwi tetap makan tanpa senyum, hanya kedua matanya yang lebar itu jelalatan ke sana-sini....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12