Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 08
PADA waktu
itu berita mengenai peristiwa yang mengerikan itu sudah tersiar luas dan para
penghuni dusun yang tak seberapa banyak jumlahnya, hanya sekitar lima puluh
keluarga itu, bersama kepala dusunnya telah berkumpul dan nonton dari jarak
jauh. Hanya laki-laki dewasa saja yang berani nonton, anak-anak dan para wanita
tak ada yang berani keluar!
Biar pun
mereka berjumlah banyak dan marah bukan kepalang melihat betapa dua orang kakek
itu membunuh dua ekor anjing dan kini minum darah anjing dan makan dagingnya
mentah-mentah, Kepala Dusun dan para anak buahnya tidak berani turun tangan.
Mereka melihat sendiri betapa dengan sekali bergerak saja kakek tinggi besar
itu telah membunuh dua ekor anjing, bahkan merobek tubuh anjing gemuk itu hanya
dengan sepasang tangan saja seolah-olah hal itu merupakan pekerjaan yang sangat
ringan. Ini sudah membuktikan bahwa kakek tinggi besar itu kuat sekali sehingga
mereka merasa jeri.
"Bagaimana
hasilnya, Pak-kwi-ong?" akhirnya Tung-hek-kwi bertanya.
"Engkau
dulu bagaimana?" Pak-kwi-ong berbalik bertanya.
"Anak
itu ikut dengan See-thian Lama ke Himalaya, dan agaknya memang dia tidak akan
diserahkan kepada Dalai Lama. Sudah jelas bukan Sin-tong," jawab Tung-hek-kwi
singkat mengenai tugasnya menyelidik anak yang disangka Sin-tong dan dirampas
oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai dari tangan mereka itu. "Dan
bagaimana dengan engkau?"
"Aku
sudah bertemu dengan keluarga Pek. Mereka berterus terang bahwa anak mereka
memang diculik oleh Lam-hai Siang-mo yang kemudian meninggalkan bayi mati
sebagai penggantinya. Jadi anak itu memang anak keluarga Pek," jawab
Pak-kwi-ong.
"Hemm,
anak keluarga Pek akan tetapi bukan Sin-tong...," kata Tung-hek-kwi.
"Berita
tentang Sin-tong itu yang bohong, atau memang kita sudah dipermainkan
orang," kata Pak-kwi-ong.
Tiba-tiba
dia bangkit, juga Tung-hek-kwi ikut bangkit, ada pun potongan anjing itu masih
digerogoti. Ternyata pendengaran mereka tajam bukan main walau pun usia mereka
telah mendekati delapan puluh tahun. Ternyata mereka bangkit karena mendengar
suara kaki orang.
Dan kini,
dalam keremangan senja muncullah sedikitnya dua puluh orang yang rata-rata
tampak gagah perkasa, semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami
isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng
dan Ma Kim Li, serta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong
dan Tong Ci Ki.
Seperti yang
sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di
kalangan dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay,
akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat
Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka lalu membagi tugas.
Yang dua
orang pergi ke Tibet, melapor kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah
dirampas oleh empat orang tokoh besar itu dan akibatnya, para pendeta Lama
mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang
lainnya melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan
sikap dingin saja, bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan
mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu akibat dibunuh orang jahat!
Bagaimana
pun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama
sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk
sesat yang mereka anggap sudah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak
yang mereka yakin adalah Sin-tong itu.
Mereka juga
tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thian Lama, mengira bahwa
kedua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka,
ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan
teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata
hendak mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.
Melihat
betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri ini
segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari
dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi
teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu.
Dapat
dibayangkan betapa kuatnya kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja
sudah merupakan datuk-datuk sesat yang sangat lihai, apa lagi ditambah dua
puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak
garang dan kejam.
Akan tetapi
dua pasang suami isteri itu juga sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan
Tung-hek-kwi, maka mereka pun tak mau bertindak secara sembrono dan setelah
mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara
lantang.
"Ji-wi
Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi
kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"
Tentu saja
kedua orang kakek itu mendongkol bukan kepalang mendengar tuntutan ini. Mereka
berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara
Delapan Dewa dan sekarang tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari
tangan mereka.
Akan tetapi
mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk
mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Kini mereka
bahkan duduk lagi lantas melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah
tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan
senjata-senjata di tangan.
"Wahh,
Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor
anjing dan lihat akibatnya! Sekarang ada dua puluh empat ekor anjing yang
lainnya datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!"
Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging
yang masih menempel di tulang paha anjing itu.
"Apa
kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!" teriak Tung-hek-kwi.
"Ha-ha-ha,
engkau benar. Biar pun sudah agak tua tentu dua ekor anjing betina itu lebih
lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!" kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba
saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua
potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang
pemimpin gerombolan itu.
Bukan main
kuatnya lemparan ini. Dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat segera
menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Apa bila
mengenai sasaran, biar pun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan
menderita cidera.
Akan tetapi,
dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar
menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu
akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang
rata-rata juga lihai itu tidak cepat mengelak pula.
Sebagai dua
orang wanita iblis yang mahir menggunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali
Tong Ci Ki yang memang berjuluk Si Jarum Sakti, dua orang itu lalu melemparkan
jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.
"Sing-sing-singgg...!"
Dua sinar
kecil menyambar ke arah dua orang kakek itu, mengeluarkan suara berdesing
nyaring, terutama sekali jarum-jarum yang dilepas oleh Tong Ci Ki ke arah
Tung-hek-kwi, yang lebih kuat dari pada jarum-jarum Ma Kim Li yang menyambar ke
arah Pak-kwi-ong.
Akan tetapi
dua orang kakek itu sama sekali tak mengelak atau menangkis. Jarum-jarum yang
mengenai kulit tubuh mereka rontok semua, kemudian sambil tersenyum mengejek
mereka menyapu rontok jarum-jarum yang menancap di pakaian mereka.
Tentu saja
dua orang wanita itu terkejut bukan kepalang. Melihat ini, Siangkoan Leng dan
Kwee Siong sudah memberi aba-aba dan dua puluh orang pembantu mereka itu
langsung menerjang maju, menggerakkan senjata mereka mengeroyok dua orang kakek
tua renta itu.
Terdengar
Pak-kwi-ong tertawa-tawa lantas kedua orang kakek itu pun bangkit berdiri dan
menyambut pengeroyokan itu. Sepak terjang dua orang kakek itu hebat bukan
kepalang. Mereka tidak memegang senjata, hanya menggunakan kedua lengan mereka
dan kedua kaki mereka, menghadapi keroyokan orang-orang yang bersenjata tajam.
Namun,
karena kedua lengan dan kaki mereka itu kebal dan sanggup menangkis
senjata-senjata lawan, bahkan bila mana tubuh mereka terkena tusukan maka
senjata tajam yang datang bagaikan hujan senjata itu segera mental bahkan ada
yang patah, maka terjadilah kepanikan di antara para pengeroyok.
Dua orang
kakek itu hanya mengelak kalau dua pasang suami isteri itu yang menyerang, baik
dengan senjata mau pun dengan tangan mereka karena dua pasang suami isteri ini
merupakan orang-orang yang serangannya amat berbahaya.
Para
penduduk dusun yang tidak tahu apa-apa, sekarang ada pula yang ikut mengeroyok.
Mereka tidak mengenal orang-orang yang berkelahi, akan tetapi melihat betapa
dua orang kakek tua itu tadi selain membunuh dua ekor anjing mereka, juga minum
darah anjing dan makan dagingnya secara mentah-mentah, tentu saja mereka lalu
condong untuk berpihak kepada dua puluh empat orang yang mengeroyok dua orang
kakek itu.
Mereka
menganggap bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan iblis-iblis jahat, ada pun
dua puluh empat orang itu adalah orang-orang gagah yang menentang kejahatan.
Maka, tanpa diminta, ada beberapa orang penduduk yang merasa kuat cepat
mengambil senjata dan ikut pula mengeroyok!
Melihat
betapa semua pengeroyoknya berkelahi secara mati-matian, mengeroyok mereka
bagaikan segerombolan anjing-anjing serigala kelaparan, dua orang datuk kaum
sesat itu menjadi marah sekali.
Pak-kwi-ong
mengeluarkan suara tawa bergelak dan tahu-tahu dia sudah menangkap dua orang
pengeroyok dan membanting mereka. Terdengar bunyi keras dan kepala dua orang
itu pecah berantakan, darah berhamburan bersama otak mereka.
Juga
Tung-hek-kwi mengeluarkan suara menggereng laksana seekor binatang buas dan
seperti yang dilakukan Pak-kwi-ong, dia pun berhasil menangkap dua orang
pengeroyok dan membanting mereka sehingga tubuh mereka remuk!
Melihat ini,
dua pasangan suami isteri itu menjadi marah sekali. Dengan aba-aba mereka
memberi semangat, bahkan mereka mempergunakan pedang untuk melakukan serangan
dengan gencar, dibantu oleh para teman mereka.
Tetapi dua
orang kakek itu memang memiliki kesaktian yang jauh melampaui kepandaian
mereka. Mereka berdua mengamuk dan dalam waktu singkat saja, masing-masing
sudah menewaskan dua orang anak buah gerombolan dan dua orang penduduk yang
ikut-ikutan mengeroyok.
Melihat ini,
kembali dua pasangan suami isteri itu mengeluarkan aba-aba untuk memberi
semangat. Akan tetapi sia-sia saja, sekarang teman-teman mereka sudah menjadi
gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu. Apa lagi sesudah Siangkoan Leng
terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, ada pun tulang lengan kiri Tong Ci Ki
patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik
dan akhirnya, sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi!
Mereka
meninggalkan paling sedikit mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut
pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan
diri apa bila mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat
itu!
Pak-kwi-ong
dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri beserta
teman-teman mereka telah melarikan diri ke dalam gelap, dua orang kakek itu
mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh
mereka! Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri. Mereka
diseret keluar lantas dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau
kanak-kanak.
Juga dua
orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Dengan sebuah
tendangan mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong
memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka telah
penuh berlepotan darah!
Ketika itu
Cu Pak Sun dan isterinya sedang memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih
sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara
perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi
korban.
Akan tetapi
Bi Lian tidak terlihat takut, bahkan merasa penasaran sekali. Tadi dia hendak
menonton keluar, akan tetapi segera dipeluk dengan erat oleh ayah dan ibunya
yang tidak memperkenankan dia keluar. Kini mereka sudah bersembunyi di dalam
kamar dan malah dia dipeluk oleh dua orang, dipegangi agar jangan keluar.
"Aku
harus melihat keluar...!" kata Bi Lian berkali-kali.
"Jangan...
jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis sedang mengamuk di luar, mereka
membunuhi orang-orang dusun!" Cu Pak Sun berkata dengan suara gemetar dan
isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.
"Kalau
begitu aku justru harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan
penjahat-penjahat itu!"
Memang Bi
Lian memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan
subo-nya. Malam itu kebetulan suhu dan subo-nya tidak datang karena baru
kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.
"Jangan,
engkau akan celaka...!" kata Cu Pak Sun.
"Jangan,
Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku...,"
Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis.
Ketika dua
orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja Cu Pak Sun dan isterinya yang
bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apa lagi ketika dua orang
kakek itu laksana iblis sendiri muncul di ambang pintu kamar, seketika isteri
Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dan
minta-minta ampun dengan suara gemetar.
Melihat ini,
Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat
berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti
sepasang mata seekor anak harimau.
"Kalian
sungguh kakek-kakek yang jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah
kalian dari sini!" Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing
saja, sedikit pun tak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu
terbelalak penuh kemarahan.
Dua orang
datuk sesat itu amat terkejut dan terheran sampai bengong sejenak, kemudian
saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan
heran sekali melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh
tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan
melihat mereka!
"Ha-ha-ha,
Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang
ketakutan, ha-ha-ha-ha!"
"Huh,
anak setan!" Tung-hek-kwi menggereng lantas lengan tangannya yang panjang
itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti
cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelinci kecil. "Dagingnya tentu
lunak!"
"Wuuuttt...!"
"Ahhhh...?!"
Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput!
Dengan
gerakan lincah dan langkah kaki yang amat aneh, Bi Lian mampu menghindarkan
diri dari cengkeraman itu dengan cara menyelinap bahkan mendekati Tung-hek-kwi
yang menyerangnya, dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke
arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!
"Bukkk!"
Lambung
Tung-hek-kwi kena terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang.
Akan tetapi anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah
sekali!
"Ha-ha-ha,
yang kau sangka kelinci berdaging lunak itu ternyata anak naga!" Pak-kwi-ong
berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam.
Kembali Bi
Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena
seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga
luput!
"Ehhh...!"
Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga
sinkang-nya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tak kuat bertahan sehingga
anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua
kakinya lantas mengangkat tubuh itu ke atas!
Dengan kedua
kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan dia
mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus
menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki.
"Kakek
setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus
kalau kau memang gagah!"
Melihat
sikap anak perempuan itu, juga mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan
Tung-hek-kwi melongo.
"Ha-ha-ha!
Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Agaknya dia memiliki bakat yang
lebih baik dari pada Sin-tong agaknya!"
"Serahkan
kepadaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidik anak ini!" kata Tung-hek-kwi
yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat
sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan
cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan seluruh keadaannya
menunjukkan bakat yang luar biasa.
"Ha-ha-ha,
enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!" berkata Pak-kwi-ong lantas
kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya
yang digantung dengan kepala di bawah itu.
"Desss...!"
Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.
"Ouhhh...!"
melihat suaminya ditendang, nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan baru siuman
bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu pula, Tung-hek-kwi yang merasa marah
kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, segera menggerakkan
kakinya ke arah wanita itu.
"Dessss...!"
Sekarang giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar lalu
terbanting menindih mayat suaminya.
"Kalian
pembunuh-pembunuh jahat!" berkali-kali Bi Lian berteriak dan
meronta-ronta.
Akan tetapi
Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah
itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua
kaki anak itu dengan tangan kirinya seperti orang membawa seekor ayam saja.
Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada waktu
itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya.
Begitu tiba
di luar dusun, Pak-kwi-ong langsung melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh
Tung-hek-kwi! Kejar-kejaran itu terus berlangsung selama semalam suntuk bahkan
hingga keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh
Tung-hek-kwi.
Kini mereka
telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka
menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam
keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, akan tetapi, bukan
main rasa kagum di dalam hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kali pun tidak
pernah terdengar berteriak ketakutan atau pun menangis! Benar-benar seorang anak
perempuan dengan hati keras melebihi besi!
Pak-kwi-ong
terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian dirinya
sangat berimbang dengan Tung-hek-kwi. Apa bila dia harus melawan rekannya itu
sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi dia pun
tidak rela untuk menyerahkannya.
Akhirnya dia
memperoleh akal maka dia pun berhenti. Keringat sudah membasahi seluruh
tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biar pun dia seorang yang sakti, dia
harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua telah membuat kekuatannya tak
sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek
raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.
"Setan
Hitam, engkau nekat mengejarku?" tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh
Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik.
Kini anak
itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau
ketiak penuh keringat yang berada di dekat hidungnya itu saja membuat dia ingin
muntah. Akan tetapi untuk muntah pun dia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya
lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan
tergantung jungkir balik.
"Lari
ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus menjadi muridku," jawab
Tung-hek-kwi, makin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak
menangis atau kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah
dia melihat anak seperti ini, apa lagi anak perempuan.
"Aku
pun ingin menjadi gurunya," kata Pak-kwi-ong.
"Aku
tetap akan merampasnya dari tanganmu," Tung-hek-kwi menjawab kukuh.
"Kalau aku
melawan sambil membawa anak ini, tentu aku kalah. Akan tetapi jika anak ini
berhasil kau rampas lantas aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah.
Perkelahian antara kita untuk memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan
tewasnya anak ini akibat terkena pukulan kita, Setan Hitam!"
"Tidak
peduli, dia harus menjadi muridku atau mati!" kata Tung-hek-kwi.
"Aihh,
kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan
dia, siapa di antara kita yang dia pilih sebagai guru!" kata Pak-kwi-ong
dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya.
Anak itu
berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh dia
cepat mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak
memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada
dua orang kakek itu penuh kemarahan.
"Anak
baik, kami berdua sama-sama ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba
kau pilih, siapa di antara kami yang kau kehendaki untuk menjadi gurumu?"
Pak-kwi-ong berkata dengan suara ramah dan muka penuh senyum.
Akan tetapi
dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, lalu dengan penuh
kebencian dia pun menjawab, suaranya amat ketus. "Memilih kalian untuk
menjadi guru? Hemm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang
kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku dan
orang-orang dusun kami!" Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan
bersungguh-sungguh.
"Wah,
anak ini sangat berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!" Tung-hek-kwi berseru
sambil mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya malah dia pun
mengedipkan mata kepadanya.
"Bunuhlah!
Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!" Anak itu tetap membentak
sambil matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu,
sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati
Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.
"Anak
baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh ayah ibumu. Bukan kami yang
membunuh mereka..."
"Bohong!
Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh ayahku, kakek gendut
dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!" Bi Lian menudingkan
telunjuknya bergantian kepada mereka. "Kelak aku akan menuntut
balas!"
"Ah-ah,
engkau tidak mengerti. Memang tangan kami... "
Kaki kalian yang membunuh mereka!" teriak Bi Lian, teringat betapa
dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.
"Betul,
memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya
saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan ayah ibumu, bahkan mengenal
mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian, ada pun yang menjadi
biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya
membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian ayah ibumu!"
"Benar,
Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!" kata pula
Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk.
Bi Lian
menjadi bingung dan mengerutkan sepasang alisnya. "Apa maksudmu? Jangan
memutar-balik, kalian menendang mati ayah ibuku, bagaimana menyalahkan orang
lain?"
"Tahu
akibat juga harus tahu sebabnya!" kata pula Pak-kwi-ong. "Aku dan
Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, kemudian datang dua pasang suami
isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) bersama suami isteri Goa
Iblis Pantai Selatan. Mereka itu membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan
penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga
banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya ayah dan ibumu yang menjadi korban
karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi
kami. Kami sama sekali tak mengenal ayah ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang
bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andai kata mereka tidak mengajak
orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuhi orang-orang dusun
termasuk ayah dan ibumu?"
Bi Lian
adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi dia sudah maklum bahwa
dua orang kakek ini mempunyai kesaktian yang amat hebat, mungkin tak kalah oleh
suhu dan subo-nya. Ketika mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, dia pun
dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah dan ibunya
adalah dua pasang suami isteri itu!
"Jadi,
kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri
itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di
antara kami," kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap.
Hati Bi Lian
menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih
lihai dan tiba-tiba dia mendapatkan akal yang amat baik. "Aku hanya mau
menjadi murid kalian berdua, bukan salah seorang di antara kalian. Jika kalian
berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua
pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian," katanya.
Dua orang
kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan
syarat itu pun dapat mereka terima.
"Kita
kerja sama...? Ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.
"Kita
sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk
anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?" kata Tung-hek-kwi.
Demikianlah,
mulai saat itu Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang
dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan
watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan
main.
Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk
sesat yang namanya tak kalah besar dari pada mereka sendiri, yaitu cucu dari
mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis
yang dahulu pernah mengguncangkan seluruh dunia kang-ouw!
Agaknya Bi
Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga dia menjadi seorang
gadis yang cantik jelita dan manis, tapi juga ganas keras dan penuh keberanian.
Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun
tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian
yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid
mereka itu, walau pun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau
setidaknya akan dapat mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.
Demikianlah
riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena dia di luar
tahunya adalah anak kandung suhu dan subo-nya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun dia digembleng oleh
kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu
kepandaian luar biasa.
Tentu saja
watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu sedikit banyak berpengaruh
dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika dia meninggalkan kedua orang
gurunya yang kini sudah amat tua itu, dia telah menjadi seorang gadis yang
selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan
kadang-kadang ganas sekali.
Pertemuan
tanpa sengaja antara dia dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Pada mulanya
dia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang. Akan
tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang
melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, dia pun tak peduli
lagi. Juga karena pemuda itu tidak melawannya ketika dia usir dari dalam
ruangan kuil tua.
Dia pun lalu
mencoba untuk melupakan pemuda tampan yang suka bergurau dan pandai merayu itu.
Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan
melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini dia harus
beristirahat dengan enak dan tidak terganggu supaya besok seluruh tenaganya
pulih kembali karena dia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yakni
mencari musuh-musuh besarnya. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang
namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri
dari Goa Iblis Pantai Selatan.
***************
Sementara
itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang
cantik jelita dan agaknya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, namun wataknya
begitu galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun
memilih tempat di dekat sungai kecil yang airnya jernih dan mengalir di luar
dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia
bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi.
Pada waktu
dia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba
saja dia mendengar suara tawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang
datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya
indah.
"Aihhh...,
kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona
manis?" tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan
tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau
ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.
"Ssstttt...!"
kata gadis bertahi lalat sambil menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama
temannya dia menghampiri Hay Hay. "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras,
takut ada yang mendengar. Engkau tadi... tidak apa-apakah?"
Hay Hay
tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tadi
kami merasa khawatir sekali, Hay-ko," kata gadis manis bermata indah.
"Kemudian kami mendengar bahwa sore ini engkau kembali lagi ke sini,
agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."
Hay Hay
menggerakkan pundaknya. "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua
penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"
"Kami
mendengarnya dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kau
pakailah supaya malam ini engkau tak kedinginan dan tidak diganggu
nyamuk," kata gadis bertahi lalat sambil mengeluarkan sehelai selimut
tebal yang dilipat rapi dan tadinya disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.
"Dan
ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Ini untuk sekedar penambah
makan malammu, Hay-ko," kata gadis hitam manis.
Hay Hay yang
tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan.
Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk menyatakan rasa
syukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja pemuda ini tidak berani
melakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka
berdua.
"Ahh,
kalian sungguh baik sekali!" serunya terharu. "Kenapa kalian harus
bersusah payah untukku? Kalian tahu, jika sampai terlihat oleh kepala dusun
atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."
"Biar
saja mereka marah!" Gadis bertahi lalat berkata penasaran. "Si
A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"
Hay Hay
tersenyum. "A-liong siapakah yang kau maksudkan? Pemuda tinggi besar yang
hendak menghajarku itu?"
Gadis hitam
manis mengangguk. "Benar, dia mencinta Siauw Lan..."
"Akan
tetapi aku tidak sudi padanya!" Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya
itu cepat memotong. "Lagi pula, apa salahnya kalau kami berkenalan
denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak
seperti mereka. Aku... kami... suka padamu..."
Hay Hay
semakin terharu, lantas dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua
tangannya. Tangan-tangan hangat yang halus lembut. "Kalian memang
adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih kepadamu.
Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan
melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang
sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak
bagi kalian apa bila sampai kelihatan orang lain bahwa kalian datang
menjengukku, apa lagi membawakan selimut dan makanan."
Dua orang
gadis itu pun merasa terharu sungguh pun mereka girang sekali dapat saling
berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu. "Hay-ko, engkau
tentu akan lama tinggal di sini, bukan?" tanya Si Gadis Bertahi Lalat.
"Betul,
jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok
pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman lainnya. Setiap
pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat
menjengukmu...," kata gadis kedua.
Hay Hay
menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia
membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan kembali
tangan mereka. "Besok pagi sekali aku harus melanjutkan perjalanan. Nah,
pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."
Dua orang
gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka
tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biar pun mereka merasa ogah dan
tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka
lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah.
Mereka
merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tak akan berada
lagi di tempat itu. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati
mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.
"Selamat
tinggal, Hay-ko."
"Semoga
kita bertemu kembali kelak, suatu waktu...!"
Hay Hay
tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun
agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang
gadis itu pergi, Hay Hay lantas mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu
besar itu. Hay Hay menyalakan api unggun dan sesudah hari menjadi gelap, dia
pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis
bertahi lalat pada dagunya. Selimut yang tebal dan hangat.
Akan tetapi
Hay Hay sudah cepat melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak
pemuda ini, tak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, bahkan dengan
kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di
hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira.
Dan kini dia
pun sudah duduk bersila dengan wajah tenang gembira, sedikit pun tidak ada
bekas-bekas kejadian masa lampau yang mengganggu hatinya, baik yang
menyenangkan sehingga menimbulkan keinginan untuk mengulanginya mau pun yang
tak menyenangkan sehingga menimbulkan kegelisahan atau duka.
***************
Malam itu
bulan bersinar dengan terang. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan
suasana yang sangat indah pada malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram
penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu.
Ketika itu
semua penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka
nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang pada malam itu! Orang tuanya
bingung mencari sebab mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu dan gadis
hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.
"Mereka
berdua tentu pergi mengunjungi pemuda itu!" tiba-tiba terdengar seorang
laki-laki berkata. "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat
sungai!"
"Hemmm,
orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?" kata kepala dusun
sambil mengerutkan alisnya.
"Mari
kita cari dua gadis itu ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang
akan menghajarnya!" kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati
kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat.
Kepala dusun
menyetujui, kemudian berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil
membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi
dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan. Berbondong-bondong mereka
pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun.
Akan tetapi,
ketika rombongan itu tiba di sebuah lapangan rumput di luar dusun, ada yang
berteriak dan semua orang langsung menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis
yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan
telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu.
Yang sangat
mengerikan, ternyata gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka
menganga lebar hingga hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat pada dagunya
masih hidup, akan tetapi merintih-rintih bagaikan orang yang menderita
ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis
bertahi lalat itu merangkak menjauh, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay
Hay.
"Hay-ko...
tolong... tolonglah aku...!"
Mudah saja
bagi orang-orang ini untuk menduga apa yang sudah terjadi. Dua orang gadis ini
telah diperkosa orang! Bahkan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak
jelas betapa mereka bertelanjang bulat.
Kepala dusun
cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, segera menyelimutinya dengan
mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi karena agaknya
telah sadar.
"Keparat!
Semua ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!" teriak kepala
dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat.
Hanya pemuda
tinggi besar itu yang tinggal di sana, merangkul gadis bertahi lalat sambil
menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu, sekarang sudah mulai sadar dan
dia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Dia meronta-ronta minta
supaya dilepaskan sambil menangis tersedu-sedu.
"Lepaskan
aku...! Ahh, lepaskan aku, biarkan aku mati saja...!"
Akan tetapi
A-Liong, demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, malah merangkul
semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar mengenai gadis
yang bunuh diri karena aib, dan gadis yang dicintanya ini bukan tidak mungkin
akan bunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat
menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.
"Siauw
Lan, kau pakailah dulu pakaianmu... jangan berduka, ada aku di sini. Dan maukah
engkau bercerita apa yang telah terjadi?"
Gadis itu
sadar bahwa dia masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel
milik pamannya, kepala daerah itu. Dia melirik ke kanan dan melihat tubuh
telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah, maka dia pun
menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.
"Apakah
yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?"
Siauw Lan
mengangguk-angguk, masih terisak. "Kami berjalan berdua... dan tiba-tiba
saja orang itu menyergap. Aku merasa pundakku dipukul lalu aku pun tidak mampu
bergerak lagi. Dari jalan itu dia menyeret kami ke sini dan melemparku ke atas
rumput. Aku tidak dapat menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat
betapa dia... dia kemudian menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka lalu bergumul.
A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh
hu-hu-hu-huuuh...!"
Kembali
A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya, "Tenanglah, semua sudah
berlalu. Kini ada aku di sini menjaga dan melindungimu." Gadis itu merasa
aman dalam rangkulan A-liong, dan dia menangis di pundak pemuda itu. Sesudah
tangisnya mereda, barulah dia melanjutkan.
"Tiba-tiba
orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu... lalu pedangnya berkelebat dan...
ahh, mengerikan...!" Dia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis
lagi.
"Keparat
itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"
Siauw Lan
mengangguk. "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan
pundakku ditepuknya sehingga mendadak aku dapat bergerak lagi. Dia lalu
menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur
keluar, dan berkata bahwa kalau aku melawan maka aku pun akan disembelih...
hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku,
memperkosaku...u-hu-hu-huuuhhh...!"
A-liong
mendekap mukanya di dada. "Tenanglah, engkau tidak bersalah ..."
"Aku
mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan
akan terhina selamanya?" Gadis itu meronta-ronta dan menangis.
"Tenanglah,
Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... aku cinta padamu, dan akulah yang akan
menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu..."
Gadis itu
mengangkat muka, dan melalui air matanya dia memandang wajah pemuda itu,
matanya terbelalak. "Kau...? Mau mengawini aku yang telah
ternoda...?"
A-liong
mengangguk penuh kepastian. "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku
tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini.
Mengenai perkosaan itu, hal itu bukanlah salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda
bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus!
Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang
akan menghajarnya..."
Tiba-tiba
Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong. "A-liong, siapa yang kau maksudkan?
Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang kau maksudkan perayu bermanis mulut itu
tadi?"
A-liong
memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut. "Siapa lagi kalau bukan
pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada
di batu besar dekat sungai itu?"
"Hay-ko...?
Ahh...tidak, tidaaaakkk...!" teriaknya sambil meronta dan pemuda itu
menjadi kaget.
"Siauw
Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan... memperkosamu?"
"Tidak!
Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta kepadaku, lepaskan aku, aku
harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak
berdosa!"
"Bukan
dia...?" pemuda itu terkejut dan merasa heran.
"Bukan!
Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini... ini..." Siauw Lan
meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput hingga akhirnya menemukan apa yang
dicarinya, sebuah benda kecil yang berkilauan. "Ini... dia meninggalkan
ini untukku... katanya, jika kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya..."
A-liong mengambil
benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah cahaya bulan.
Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah yang terbuat dari emas dan batu
merah.
"A-liong,
kita harus cepat ke sana untuk mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak
bersalah!"
A-liong
adalah seorang pemuda petani yang kasar tetapi jujur. Mendengar pengakuan ini,
dia pun segera menggandeng tangan Siauw Lan lantas diajaknya melakukan
pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri sehingga
sukar baginya untuk jalan cepat.
"Biarlah
engkau kupondong agar cepat!" kata A-Iiong.
Gadis itu
tidak menolak, karena dia ingin agar mereka dapat cepat sampai di tempat itu,
untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tak berdosa
itu.
***************
Kembali kita
menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur pada saat orang-orang dusun datang
berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia sedang duduk bersila di atas
tanah yang telah dia beri alas daun-daun kering, berkalung selimut pemberian
Siauw Lan sampai ke lehernya untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk
yang masih banyak berdatangan walau pun dia telah membuat api unggun.
Ketika dia
mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang
saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang.
Ketenangan
terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Rasa
khawatir timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan,
hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa
dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum
atau tidak ada.
Bukan
berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi
lengah dan acuh. Sama sekali bukan. Kewaspadaan akan saat ini membuat orang
selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir.
Demikian
pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa
obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak maka dia
pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka.
Kewaspadaannya
membuat dia maklum bahwa mereka yang sekarang berdiri membentuk setengah
lingkaran di depannya itu memiliki niat buruk. Kemarahan dan kebencian jelas
terbayang dalam pandangan mata mereka.
Hay Hay
merasa heran dan bersiap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan
orang dusun itu dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah
datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan
kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera
menghajarnya.
"Selamat
malam, Chung-cu," kata Hay Hay. "Ada urusan apakah maka di
malam-malam begini cuwi beramai-ramai datang ke sini?"
Orang-orang
itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata
penuh kemarahan, kebencian dan selidik.
"Lihat,
itu selimut Siauw Lan!" seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, tiba-tiba saja
berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay
itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka semakin memuncak.
Hay Hay
meraba selimut itu. "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama
seorang temannya, memberi selimut serta makanan kepadaku. Mereka adalah dua
orang nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada
mereka..."
"Berterima
kasih dengan memperkosa dan membunuh!" bentak kakak Siauw Lan dan dia
sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay.
Pada saat
itu pula, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada
pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang
gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok!
Dalam
keadaan seperti itu Hay Hay tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia
harus melindungi dirinya, akan tetapi dia pun maklum bahwa sekelompok orang
dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan mempunyai
tenaga biasa saja. Mereka bukanlah lawannya dan dia tak ingin melukai
orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah
paham terhadap dirinya.
Maka dia pun
cepat-cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal,
menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala
dan mukanya.
"Bak-bik-buk!"
terdengar suara ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh
Hay Hay.
Hampir
berbareng dengan suara itu, terdengar pula teriakan-teriakan kaget dan beberapa
orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda
yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, ada pun bekas serangan itu hanya
nampak pada selimut dan baju yang robek-robek, namun kulit tubuh itu sedikit
pun tidak lecet, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik
sehingga telapak tangan mereka terasa nyeri.
"Dia
lihai...!"
"Dia
kebal...!"
"Punya
ilmu setan...!"
"Saudara-saudara
sekalian, apakah yang sudah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi
aku berada di sini. Siauw Lan bersama temannya hanya berkunjung sebentar dan
tidak terjadi apa-apa yang tak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi
(anda sekalian) marah-marah kepadaku?"
"Bohong!
Dia memang lelaki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang
pantas dihajar!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu.
Semua orang
menengok, juga Hay Hay, dan dia terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita
yang sore tadi telah dijumpainya di kuil. Gadis itu memang Bi Lian.
Dari kuil di
mana dia beristirahat, malam itu dia mendengar suara berisik. Dia lalu keluar
dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, dia dapat melihat banyak orang
berlarian sambil membawa obor. Tentu saja dia tertarik sekali karena
orang-orang itu keluar dari dusun di bawah itu.
Tentu telah
terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian
lalu menggunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang dia menuruni bukit
menuju padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak mereka sedang
melihat sesuatu.
Karena
menuruni bukit itu bagaikan terbang cepatnya, dia tiba di padang rumput itu
pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk
menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay. Sebagai orang yang berpengalaman,
sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan juga
melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian
tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu sudah menjadi korban seorang jai-hwa-cat,
penjahat pemetik bunga atau seorang tukang memperkosa wanita!
Kemarahannya
timbul dan dia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu
wanita yang mata keranjang itu! Cepat dia pun lari dari situ tanpa diketahui
Siauw Lan atau pun A-liong, dan ketika semua penduduk sedang terkejut melihat
betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki
Hay Hay.
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul lantas memakinya sebagai
seorang penjahat pemetik bunga. Sungguh keterlaluan!
"Nanti
dulu!" dia membantah. "Aku tak pernah melakukan perbuatan terkutuk
seperti yang kalian tuduhkan itu!"
"Jangan
percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar
aku yang akan menghajar dan sekalian menangkapnya untuk kalian!" berkata
demikian, Bi Lian sudah menerjang maju.
Gadis ini
tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi dia terkejut
bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah.
Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura
tolol di kuil itu hanya main-main saja dan dia merasa dipermainkan.
Maka, begitu
menerjang dia sudah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay
Hay, sebuah serangan pancingan saja karena tangan kanannya dengan cepat sekali
mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk
merobohkannya!
Melihat
datangnya serangan gadis itu, walau pun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay
terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, juga mengenal tangan ampuh
yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan pukulan-pukulan itu sendiri
sangat ganas.
Tamparan ke
arah kepalanya itu mengandung hawa pukulan yang panas sehingga kalau mengenai
sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan
tangan kiri, sukar diduga hendak menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu
bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan yang berbahaya
karena merupakan pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan
kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.
"Plakkk!"
Hay Hay
mengangkat tangan kanan, menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang
pula, sedangkan matanya dengan waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian.
Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya untuk merobohkannya, dia pun cepat
meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.
"Dukkkk!"
Dua kali
kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan
kekuatan masing-masing. Karena serangannya berhasil dihindarkan lawan, Bi Lian
pun menjadi semakin penasaran.
"Jai-hwa-cat
memiliki juga sedikit kepandaian!" katanya penuh ejekan.
Dan kini dia
menyerang lagi, akan tetapi sekali ini dia tidak main-main maka serangannya
begitu kuat dan cepatnya, bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas bukan
main sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika
serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian
menjadi semakin sengit.
Dia maklum
bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi dia
hanya ingin menangkapnya untuk kemudian diserahkan kepada para penduduk yang
akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, dia bermaksud untuk
merobohkannya, hidup atau mati!
Perubahan
ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat hingga setiap
pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya,
saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak
tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.
"Ehhh...!"
Hay Hay berkali-kali berseru kaget.
Selain
mengelak kini ia pun terpaksa melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan
tenaga sinkang-nya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia
merasa betapa kulit lengan itu sangat kuat dan mengandung hawa panas! Kalau
saja sinkang-nya tidak cukup kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit
tangannya akan terluka hangus saat bersentuhan dengan lengan gadis itu.
Melihat
seorang gadis gagah perkasa muncul lantas menyerang pemuda mata keranjang itu
secara kalang-kabut, para penduduk tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati
melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan mampu mengjmbangi
kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini segera bergerak mengurung dan
setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang.
Hay Hay
menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya dari
pada Si Gadis lihai! Soalnya, kalau gadis itu dapat dia hadapi dengan sinkang
dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali bila menangkis
serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlampau
kuat menggunakan sinkang, maka ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi
pembunuh!
Terpaksa Hay
Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw
Poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat
menghindarkan semua serangan, termasuk pula pukulan-pukulan yang dilancarkan
oleh gadis itu. Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian
Lama.
Diam-diam Bi
Lian kagum bukan main. Semenjak meninggalkan perguruan baru sekali ini dia
bertemu dengan lawan yang bisa menghindarkan semua serangannya, padahal sudah
lebih dari dua puluh jurus dia menyerang tanpa pemuda itu membalas sekali pun,
bahkan di sampingnya masih ada orang-orang dusun yang turut mengeroyok, walau
pun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu
gerakannya saja.
Tiba-tiba
saja terdengar jeritan wanita. "Berhenti...! Ahhhh, jangan keroyok dia!
Dia tidak bersalah... jangan keroyok dia...!"
Semua orang
terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke
belakang lantas memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan
yang digandeng oleh A-liong.
"Apa
maksudmu, Siauw Lan?" bentak kepala dusun kepada keponakannya.
"Paman,
bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah..."
Hay Hay
membelalakkan mata memandang kepada Siauw Lan. "Nona, engkau diperkosa dan
temanmu itu dibunuh orang...?"
Siauw Lan
menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Hay-ko...
ahh... Hay-ko...!"
A-liong
mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata lantang,
"Kawan-kawan, kita memang sudah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang
yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"
Tiba-tiba
saja Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh
A-liong itu sudah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian
mengamati benda itu dan mengangguk-angguk.
"Hemmm...
Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)...! Aku pernah mendengar namanya. Seorang
jai-hwa-cat yang keji!"
Dia
mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay.
Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Dia memutar
tubuh menghadapi kepala dusun lalu berkata,
"Kita
sudah salah sangka. Kini aku akan mencari penjahat itu!" Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat gadis itu sudah lenyap dari situ, membuat
orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat
menghilang seperti itu, pikir mereka.
"Bagaimana
sekarang? Apakah cuwi masih juga menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk
itu?" Hay Hay bertanya sambil tersenyum.
Dia tidak
marah terhadap orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis
bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya.
Si Kepala
Dusun menjura ke arah Hay Hay. "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap
Kongcu."
"Sudahlah,
kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan
mencari si keparat itu." Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan
berkata, "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa
itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau
melindungimu. Jika aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan
kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."
Siauw Lan
masih menangis, hanya mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan. "Terima
kasih, Hay-ko..."
Hay Hay
mengambil buntalan pakaiannya, membuang selimut serta bajunya yang sudah
robek-robek, kemudian dia pun tak lagi menyembunyikan kepandaiannya sehingga
sekali berkelebat, seperti yang dilakukan Bi Lian tadi, dia sudah lenyap pula
dari situ.
Untuk kedua
kalinya para penduduk dusun itu melongo dan menggeleng-geleng kepala, merasa
malu akan kebodohan mereka sendiri. Mereka telah menuduh yang bukan-bukan
terhadap pemuda itu, padahal pemuda itu demikian lihainya sehingga kalau
dikehendaki, tentu pemuda itu berbalik akan mampu merobohkan mereka semua satu
demi satu!
Mereka
kemudian kembali ke dusun, mengambil dan mengurus jenazah A-kiu, sedangkan
Siauw Lan terus diantar dan dihibur oleh A-liong sehingga dia pun merasa
terhibur dan tidak lagi mempunyai niat untuk membunuh diri mencuci aib.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment