Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 06
KITA
tinggalkan dulu Hay Hay yang mulai berguru kepada Ciu-sian Sin-kai dan
mengikuti gurunya itu pergi ke Pulau Hiu, dan kini marilah kita mengikuti
keadaan Lam-hai Giam-lo, kakek muka kuda yang penuh rahasia itu.
Mengapa
kakek yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu sampai rela merendahkan diri,
menjadi tukang kebun dan bahkan pura-pura gagu tuli di kuil Siauw-lim-si yang
sunyi itu? Dia menyamar sebagai seorang hwesio tuli gagu, seolah-olah dia ingin
menyembunyikan diri karena ketakutan.
Memang kakek
iblis muka kuda ini tengah dilanda ketakutan! Ada dua orang musuh besar yang
selalu mengejarnya dan walau pun dia amat lihai, akan tetapi dalam beberapa
kali perkelahian melawan mereka, dia selalu kalah dan bahkan nyaris tewas.
Akhirnya,
karena terus dikejar-kejar, dalam keadaan terluka dalam dia melarikan diri dan
menggunduli rambut, menyamar sebagai hwesio dan dengan bermain sandiwara
sebagai seorang hwesio terlantar kelaparan, dia kemudian ditolong oleh para
hwesio kuil itu dan diterima bekerja sebagai tukang sapu.
Siapakah dua
orang yang ditakuti seorang seperti Lam-hai Giam-lo ini dan mengapa dia
bermusuhan dengan mereka? Awal mula permusuhan itu terjadi sepuluh tahun yang
lalu. Ketika itu Lam-hai Giam-lo yang baru saja kehilangan gurunya, yaitu Lam-kwi-ong,
salah seorang di antara Empat Setan Dunia.
Dia
seolah-olah menggantikan kedudukan mendiang gurunya, kemudian dia merajalela di
dunia persilatan, di bagian selatan hingga jauh ke barat. Karena sejak muda dia
memang berkeliaran di pantai selatan sehingga memperoleh julukan Lam-hai
Giam-lo (Raja Akhirat Laut Selatan), maka namanya sangat ditakuti di daerah
selatan. Ketika itu usianya baru sekitar empat puluh tahun.
Salah satu
di antara kejahatan yang biasa dia lakukan adalah menculik dan memperkosa
wanita yang menarik hatinya. Demikianlah, pada suatu hari dia melarikan seorang
gadis cantik dari kota Swat-ouw, yang dilarikannya menuju ke pantai yang amat
curam karena pantai ini merupakan bagian pegunungan tepi laut selatan.
Gadis itu
baru berusia tujuh belas tahun dan dia selalu menangis, meronta dan menolak
untuk melayani orang yang mukanya mengerikan seperti muka kuda itu. Hal ini
membuat Lam-hai Giam-lo marah sekali. Dia ingin gadis ini mau menyerahkan diri
dengan suka rela karena dia tidak merasa puas kalau harus memperkosa dengan
kekerasan.
Di tempat
yang sunyi itu, di tebing jurang yang amat curam itu, dia marah-marah karena
kembali gadis itu menolak, bahkan memaki-maki sambil menangis. Dijambaknya
rambut gadis itu yang panjang dan terurai lepas dari sanggulnya, dan dibawanya
gadis itu ke tepi tebing. Dengan satu tangan, dia menggantung gadis itu pada
rambut yang dijambaknya.
"Nah,
lihatlah ke bawah! Apakah engkau lebih suka kulempar ke bawah sana? Hayo pilih,
engkau memenuhi permintaanku dengan manis atau kulempar ke bawah sana?"
Gadis itu
tergantung di udara. Dengan muka pucat dan mata terbelalak dia memandang ke
bawah. Jauh di sana nampak air laut dan batu-batu besar, amat jauh di bawah.
Air laut yang kalau didekati bergelombang besar namun dari tempat setinggi ini
kelihatan tenang dan indah.
Akan tetapi
sungguh sangat mengerikan membayangkan dirinya dilepas dan meluncur ke bawah.
Batu-batu yang seperti bentuk-bentuk binatang purba itu tentu akan menyambut
tubuhnya menjadi hancur lebur, kemudian ombak-ombak laut akan melenyapkan sisa-sisa
tubuhnya. Tinggi tebing itu tidak kurang dari seribu kaki!
"Tidak...
tidak... lebih baik bunuh saja aku! Lebih baik aku mati dari pada harus
memenuhi permintaanmu yang keji!" Gadis itu sudah nekat dan dia memejamkan
mata, menanti saat dia dilemparkan ke bawah.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya rasa hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat suka kepada
gadis ini, suka dengan kecantikannya, kesegaran tubuhnya, dan keberaniannya.
Dia ingin memiliki gadis ini dengan suka rela, tidak memperkosa seperti yang biasa
dilakukannya terhadap wanita yang tidak mau melayaninya dengan suka rela.
Penolakan yang sangat keras dari gadis itu membuat rasa sukanya lalu berbalik
menjadi rasa benci yang besar.
"Baik,
jika begitu engkau akan kuperkosa sampai puas, baru akan kulemparkan ke bawah
sana!" katanya penuh geram.
Mendengar
ancaman ini, yang baginya terasa lebih mengerikan dari pada maut, gadis itu
menjerit sekuat tenaga, lantas terkulai pingsan! Agaknya jeritan itu menarik
perhatian dua orang yang berada tidak jauh dari tempat itu. Seorang laki-laki
berusia empat puluh tahun lebih bersama seorang gadis kecil berusia dua belas
tahun lalu datang berlari-lari.
Laki-laki
itu buntung lengan kirinya, sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan di wajahnya
terbayang sikap yang gagah perkasa. Ada pun gadis cilik itu cantik mungil,
dengan tubuh yang tangkas terlatih. Ketika laki-laki buntung lengan kirinya itu
sampai di situ dan melihat seorang lelaki bermuka kuda sedang menjambak rambut
seorang gadis yang tergantung di tepi tebing, dia terkejut bukan main kemudian
membentak nyaring.
"Lepaskan
gadis itu!"
Melihat
munculnya seorang laki-laki yang buntung sebelah lengannya, dan seorang gadis
remaja yang cantik manis, Lam-hai Giam-lo menatap tajam ke arah wajah gadis
remaja itu. Kejengkelan hatinya segera memuncak melihat ada orang berani
membentaknya dan mencampuri urusannya, akan tetapi dia pun tertarik melihat
gadis remaja itu.
"Ha-ha-ha!
Baik, akan kulepaskan gadis ini tetapi gadis remaja itu menjadi penggantinya,
ha-ha-ha-ha!" Dan dia benar-benar melepaskan jambakan rambutnya sehingga
tentu saja tubuh gadis yang sudah pingsan itu meluncur ke bawah.
Melihat ini,
gadis remaja itu terbelalak dan berlari ke tepi tebing, kemudian menjenguk ke
bawah. Mukanya berubah pucat sesudah melihat betapa tingginya tebing itu,
sedangkan tubuh yang meluncur ke bawah itu sudah tidak kelihatan lagi. Tentu
sudah hancur lebur terbanting pada batu-batu karang di bawah sana!
Laki-laki
tinggi besar berlengan buntung sebelah itu marah bukan main. "Keparat,
engkau ini iblis jahat, bukan manusia!" Sambil membentak demikian, dia
melangkah maju.
Lam-hai
Giam-lo kembali tertawa. "Tepat, memang aku bukan manusia, melainkan Raja
Akhirat Laut Selatan. Aku tadi memberi korban kepada laut selatan, ha-ha-ha!"
"Lam-hai
Giam-lo...?!" Sekarang mata laki-laki berlengan buntung sebelah itu
terbelalak dan mukanya berubah.
Tentu saja
dia sudah mendengar tentang nama tokoh sesat ini ketika dia mulai memasuki
daerah pantai selatan. Tak disangkanya bahwa dia akan menyaksikan iblis itu
membunuh seorang wanita secara begitu kejam. Biar pun dia sudah mendengar bahwa
iblis itu amat sakti, tetapi melihat kekejamannya dia melupakan hal ini dan
mengambil keputusan untuk menentangnya.
"Ha-ha-ha,
engkau sudah mendengar namaku? Lekas berlutut dan serahkan gadis remaja itu
kepadaku sebagai pengganti korban tadi."
Laki-laki
berlengan buntung itu memandang marah. Mukanya yang gagah dan keras itu berubah
merah dan dia mengepal tangan kanannya.
"Iblis
seperti engkau ini harus dibasmi!" bentaknya dan dia pun langsung
menerjang maju dengan marah, menyerang dengan tangan kanannya, menghantam ke
arah dada Lam-hai Giam-lo.
Melihat
datangnya pukulan yang mengandung angin pukulan keras itu, Lam-hai Giam-lo
hanya tersenyum mengejek. Dia tidak berani menerima pukulan yang cukup ampuh
itu, melainkan mengelak ke samping lantas kakinya mencuat dalam sebuah
tendangan kilat mengarah lambung lawan.
Akan tetapi
lelaki buntung lengan kirinya ini dapat meloncat ke samping, menghindarkan
tendangan dan kembali tangan kanannya menyambar lagi dengan totokan ke arah
lener. Lam-hai Giam-lo menangkis sambil mengerahkan tenaga pada lengan kirinya.
"Dukkk!"
Tangan
laki-laki buntung itu terpental, akan tetapi tidak membuat lengan itu patah,
bahkan kembali tangan kanan lelaki itu menyerang lagi dengan cengkeraman ke
arah ubun-ubun kepala Lam-hai Giam-lo. Iblis ini menyeringai, maklum bahwa
bagaimana pun juga, pria buntung sebelah lengannya ini mempunyai sedikit kepandaian.
Dan melihat gerakan serta geseran kakinya, dia maklum bahwa lawannya memiliki
dasar ilmu silat yang cukup tinggi.
Maka dia pun
mengeluarkan kepandaian simpanannya dan dengan gerakan dahsyat dia menubruk ke
depan, mengembangkan kedua tangannya dan membentak dengan nyaring sekali. Suara
bentakannya melengking dan mengejutkan laki-laki itu yang berusaha untuk
menghindar sambil menggerakkan tangan kanan menangkis.
Akan tetapi
serangan itu terlampau hebat. Angin pukulan yang keras menyambar hingga lelaki
itu terpelanting sampai bergulingan dan sebuah tendangan susulan yang mengenai
pinggulnya membuat tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, ke bawah tebing yang
amat curam tadi!
"Ha-ha-ha-ha,
kau susullah gadis keras kepala tadi. Dan kau, anak manis, ke sinilah, mari
ikut bersamaku untuk bersenang-senang!" Dia melangkah menghampiri gadis
remaja yang masih berada di tepi tebing.
Tadi dara
itu masih merasa ngeri melihat betapa tubuh wanita itu tadi dilempar ke bawah.
Kini, melihat pria buntung lengan kirinya juga terpelanting ke bawah tebing,
dia menahan jeritnya dan memandang dengan mata terbelalak ke bawah tebing. Pada
waktu Lam-hai Giam-lo yang mukanya amat menyeramkan itu menghampirinya, gadis
cilik itu tak dapat menahan rasa ngerinya maka dengan nekat dia pun meloncat ke
bawah tebing menyusul gurunya sambil berteriak memanggil.
"Suhuuuuu...!"
Lam-hai
Giam-lo tertegun. Mukanya berubah merah lantas dia mengepal tinju kanannya,
mengamang-amangkan tinjunya ke bawah tebing.
"Keparat,
kau melahap semuanya!" bentaknya seakan-akan marah terhadap tebing yang
telah menelan dua calon korbannya.
Kini dia
tidak kebagian apa-apa dan kalau saja di sana terdapat orang lain, tentu akan
menjadi korban kemarahannya. Dia menendang sebuah batu besar sehingga batu itu
pun menggelinding ke bawah tebing, lantas mendorong roboh sebatang pohon besar
dengan sepasang tangannya, menendangi batu-batu kecil seperti orang kesurupan
setan. Setelah melampiaskan kemarahannya, Lam-hai Giam-lo lalu berlari dari
tempat itu.
Menurut akal
sehat, sungguh tidak mungkin sekali kalau orang yang terjungkal ke bawah tebing
securam itu, seribu kaki tingginya, akan tetapi selamat. Tubuh tentu akan
hancur lebur apa bila menimpa batu-batu karang, dan akan lebih remuk lagi kalau
ditangkap dan dihempaskan ombak laut yang besar itu kepada batu dan dinding
karang yang runcing, tajam dan keras.
Akan tetapi,
kenyataan kadang-kadang lebih aneh dari pada perhitungan akal. Terdapat
keajaiban di mana-mana yang oleh kita dinamakan kebetulan. Lebih lagi urusan
nyawa, sungguh di luar perhitungan akal dan kita sama sekali tidak dapat
menguasai mati hidup kita sendiri.
Apa bila
memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, walau pun kita
bersembunyi ke dalam lubang semut pun, tetap saja maut akan datang menjemput,
tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun. Sebaliknya, kalau
memang belum saatnya kita mati, meski pun sudah terancam seribu satu bahaya
maut, ada saja seribu satu macam kebetulan yang akan membuat kita terluput dari
pada kematian.
Seorang
prajurit yang sejak mudanya menjadi prajurit, hidup di medan perang dan setiap
saat terancam bahaya maut, bisa keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari
pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena
penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia!
Banyak pula
orang yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga
mati walau pun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta
mati. Namun sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar
dan tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!
Karena itu,
biar pun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat akan hal-hal di
atas, maka tidaklah aneh jika laki-laki buntung lengan kirinya tadi, yang
terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena memang
belum waktunya. Hanya perkataan belum waktunya itulah yang mampu kita keluarkan
karena kita memang tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.
Ketika
meluncur turun, laki-laki gagah ini tidak menjadi pingsan, bahkan tidak
kehilangan ketenangannya. Dia tahu bahwa tubuhnya tentu akan hancur terbanting
pada batu-batu karang bawah sana.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja tubuhnya tertahan lantas dia merasa punggungnya perih dan ketika
dengan cekatan tangan kanannya meraih ke belakang, kiranya secara kebetulan
sekali tubuhnya tertahan oleh sebuah pohon yang secara kebetulan pula tumbuh
miring pada dinding tebing curam itu! Agaknya jubahnya yang berkembang karena
luncuran tadi, tertangkap dan terkait dahan pohon yang kebetulan tidak patah
sehingga tubuhnya bisa tertahan.
Pada saat
itu pula dia mendengar jeritan muridnya. Cepat dia bergantung dengan kedua
kakinya pada dahan pohon yang terbesar, lalu memandang ke atas dan dilihatnya
tubuh kecil muridnya melayang turun!
Laki-laki
itu memang hebat sekali, memiliki kekuatan batin yang luar biasa sehingga dalam
keadaan seperti itu dia masih sadar dan dapat membuat perhitungan dengan tepat.
Ketika tubuh gadis remaja itu sudah meluncur di dekatnya, cepat dia menyambar
dengan tangan kanannya dan berhasil menangkap lengan anak perempuan itu!
Anak
perempuan itu mengaduh. Dia sendiri harus menahan keluhannya karena belakang
lutut kedua kakinya yang bergantung terasa nyeri sekali, juga pangkal lengan
kanannya terbetot keras. Akan tetapi dia dapat bertahan dan dia girang bahwa
anak perempuan itu pun masih dalam keadaan sadar.
"Cepat,
Hui Lian, kau tangkap dahan pohon depanmu itu," katanya sambil menarik
tubuh anak itu ke atas.
Anak yang
bernama Hui Lian itu lalu menangkap dahan pohon, kemudian dia mendekam di situ,
tubuhnya agak gemetar dan dia kembali menutup matanya ketika memandang ke
bawah. Dia merasa ngeri bukan main!
"Tenangkan
hatimu, jangan memandang ke atas atau ke bawah. Bersukurlah bahwa kita masih
dalam keadaan selamat."
"Baik,
Suhu!" Dalam suara anak itu kini sudah terdengar keriangan, tanda bahwa
hatinya sudah tenang dan dia pun berusaha bersikap riang untuk membesarkan hati
gurunya.
Laki-laki
itu lalu memandang ke bawah dan ke atas, mengukur dengan pandang matanya. Kiranya
letak pohon itu berada di tengah-tengah tebing, ke atas masih lima ratus kaki,
ke bawah masih lima ratus kaki! Tidak mungkin mendaki tebing itu karena tegak
lurus serta permukaannya rata dan licin.
Setelah
melihat secara teliti, dia mendapat kenyataan bahwa pohon itu keluar dari
sebuah goa. Burung-burung walet beterbangan keluar masuk goa yang garis
tengahnya tak lebih dari satu meter itu. Hal ini menandakan bahwa walau pun
bagian luarnya hanya bergaris tengah satu meter, akan tetapi goa itu tentu cukup
lebar di sebelah dalamnya. Kalau tidak demikian, burung-burung itu tidak akan
memilih tempat itu sebagai sarang mereka.
"Hui
Lian, engkau berpegang erat-erat pada dahan itu, aku mau menyelidiki keadaan
goa itu."
Dengan hanya
sebelah tangan dan dua kaki, laki-laki itu lalu merayap melalui dahan dan
batang pohon hingga akhirnya berhasil sampai ke mulut goa. Dia menjenguk dan
hampir berteriak kegirangan. Benar seperti yang diduga dan diharapkannya. Goa
itu amat besar di bagian dalamnya dan memperoleh sinar yang cukup dari pintu
yang satu meter garis tengahnya itu.
"Hui
Lian, mari ikuti aku, merayap ke sini. Hati-hati...!" katanya.
Dengan
hati-hati sekali Hui Lian lalu merayap melalui dahan dan batang pohon,
mengikuti gurunya dan masuk ke dalam goa itu melalui batang pohon. Ketika
mereka tiba di dalam goa kemudian turun, berdiri di lantai goa, keduanya girang
bukan main. Barulah laki-laki itu sadar bahwa mereka berdua baru saja lolos
dari lubang maut dan dia pun merangkul muridnya.
"Hui
Lian, kita harus berterima kasih kepada Thian yang telah menyelamatkan kita
secara ajaib!" Dan dia pun mengajak muridnya berlutut untuk menghaturkan
terima kasih kepada Bumi dan Langit.
Setelah
bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan goa itu.
Sebuah goa yang besar dan dalam, dan di sana terdapat terowongan menuju ke
dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang
dan mereka perlu beristirahat.
Laki-laki
itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan goa itu yang merupakan
ruangan yang panjangnya tak kurang dari sepuluh meter dan lebarnya lima meter,
dengan pintu lubang bergaris tengah satu meter tadi. Lantainya rata dan licin,
seperti lantai rumah saja.
"Suhu,
bagaimana kita dapat naik lagi?"
"Hui
Lian, kini belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang bergembiralah karena
kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita
tinggali."
"Tapi...
tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini...?"
Gurunya memegang
kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suaranya amat
halus. "Hui Lian, baru saja kita terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa
kehilangan akal untuk urusan lain? Semua itu nanti dapat kita selidiki
perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita semedhi untuk memulihkan
tenaga dan ketenangan batin. Marilah." Hui Lian mengangguk, tidak
membantah lagi dan tidak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila
dengan tubuh tegak lurus, tenggelam ke dalam semedhi.
Siapakah
guru dan murid ini? Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat
dan muridnya, yaitu gadis cilik itu, bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah
Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat.
Dia adalah
bekas murid Cin-ling-pai yang dulu membuntungi lengan kirinya sendiri karena
dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu
menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu.
Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari
Cin-ling-pai, tidak lagi menjadi anggota Cin-ling-pai dan selanjutnya orang
tidak tahu ke mana dia pergi menyembunyikan dirinya.
Akan tetapi,
dengan hati yang prihatin Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi
nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia lalu menggembleng dirinya dengan
ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga meski pun dia kehilangan lengan
kiri sebatas siku, di lain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu
silat.
Beberapa
tahun kemudian, ketika San-hai-koan dilanda perang, secara tiba-tiba barulah
dia muncul. Dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil
menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin, yaitu gubernur San-hai-koan
yang anggota keluarganya habis terbasmi, lalu membawa puteri yang baru berumur
sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan. Puteri itu bukan lain adalah Kok
Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, sekaligus juga anak angkatnya karena
Hui Lian telah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya.
Sebenarnya,
yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui
Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena ketika itu dia
dikeroyok oleh banyak orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir
saja Hui Lian celaka tertawan musuh bila saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang
kemudian menyelamatkannya dan membawanya lari.
Sampai dua
jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersemedhi di ruangan depan
goa itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin
mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak
muridnya untuk melakukan pemeriksaan ke dalam goa.
Mula-mula
mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak
mungkin mereka keluar dari tempat itu. Tidaklah mungkin untuk merayap turun
atau naik. Jarak naik atau pun turun sejauh lima ratus kaki, sementara dinding
tebing itu amat terjal, tegak lurus dan licin sekali. Bahkan seekor monyet
sekali pun kiranya tak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut di bawah
atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah yang mampu keluar
dari tempat itu.
Setelah
merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di
luar goa, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Goa
itu adalah goa alam, semua lantai dan dindingnya dari batu karang yang amat
kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang
melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah,
Su Kiat berkata girang,
"Ahh,
setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!"
"Di
mana ada air, Suhu?"
"Di
dalam dinding ini. Lihatlah, dinding ini basah dan lembab, dan di sana-sini
nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok,
sebentar saja tentu akan penuh dengan air jernih dan segar!"
Keduanya
lalu menggunakan pecahan-pecahan batu untuk memukuli bagian dinding yang paling
basah dan karena Ciang Su Kiat memiliki tenaga yang besar, tidak lama kemudian
dia berhasil membuat lubang sebesar kepala orang yang mencekung seperti mangkok
di dinding itu. Benar saja, nampak air menetes-netes dan walau pun hanya satu
tetes demi satu tetes, karena deras dan tiada hentinya, tempat itu pun penuh
dengan air jernih yang ketika mereka minum, terasa manis dan segar.
Mereka
memeriksa terus dan mulai memasuki terowongan. Baiknya sinar matahari yang
memasuki tempat itu melalui lubang goa, amat terang sehingga cahayanya sempat
pula masuk ke terowongan. Biar pun keadaannya remang-remang, mereka masih bisa
melihat dengan jelas keadaan terowongan.
Terowongan
itu setinggi manusia. Su Kiat harus agak menunduk dan panjangnya hanya sepuluh
meter. Burung-burung walet menyambar-nyambar dan ternyata burung-burung itu
membuat sarang mereka di atas atap terowongan, juga di bagian belakang
terowongan yang tingginya dua meter setengah. Akan tetapi, yang mengherankan
hati mereka adalah ketika mereka menemukan dua buah ruangan di kanan kiri
terowongan, seperti dua buah kamar saja walau pun tanpa daun pintu.
"Iihhhh...!"
Su Kiat
terkejut sekali dan cepat melompat ke dekat muridnya yang menjerit tadi. Dia
tadi memeriksa kamar di kiri sedangkan muridnya agaknya masuk ke kamar sebelah
kanan. Kini dia pun dapat melihat apa yang menyebabkan muridnya menjerit tadi.
Di dalam kamar
sebelah kanan itu terdapat dua rangka manusia yang masih lengkap dan utuh,
keduanya duduk bersila sambil bersandar pada dinding. Di hadapan dua rangka itu
terdapat dua buah kitab yang masih terbuka! Mereka segera memeriksanya. Agaknya
dua orang yang kini telah menjadi rangka itu, dahulunya mati dalam keadaan
bersila di kamar itu.
Ketika Su
Kiat memeriksa dua buah kitab yang berada di depan rangka, ternyata bahwa dua
kitab itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat, lengkap dengan gambar-gambar
serta huruf-hurufnya. Jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dua buah kitab
itu sama sekali tidak dijamahnya dan setelah memeriksa keadaan kamar itu lebih
teliti, dia lalu mengajak muridnya memeriksa kamar di sebelah kiri.
Di dalam
kamar ini Su Kiat menemukan sebatang pedang pendek dengan sarung pedang
berukirkan kembang seruni. Ketika dia mencabutnya, dia terkejut sekali karena
pedang itu ternyata bukan sebatang pedang biasa, namun sebatang pedang pusaka
yang berkilauan saking tajamnya, dengan sinar putih kebiruan! Dia meletakkan
kembali pedang pusaka itu di tempatnya semula.
Penemuan-penemuan
itu hanya mendatangkan sedikit kegembiraan saja sebab pada saat itu yang
terpenting adalah mempertahankan hidup sambil mencari jalan keluar. Tanpa ada
makanan mereka tak mungkin hidup dari air saja, dan tanpa dapat keluar dari
tempat itu, apa gunanya kitab pelajaran ilmu silat dan pusaka?
Akan tetapi,
setelah tinggal di situ tiga hari lamanya, setelah mereka kehilangan harapan
untuk dapat keluar dari situ, sesudah mereka tidak mengharapkan lagi untuk
dapat keluar, batin mereka bahkan menjadi tenang. Mereka dapat menerima
kenyataan yang ada dan hal ini menenangkan batin, dan kalau batin tenang,
kecerdasan pun timbul.
Mereka mulai
menemukan banyak hal baru. Telur-telur dan sarang burung dapat menjadi makanan
mereka setiap hari, bahkan kalau perlu mereka dapat pula menangkap burung
kecil-kecil itu untuk dijadikan makanan tanpa mengurangi jumlah burung yang
banyaknya ribuan itu. Juga di bagian belakang terowongan mereka menemukan
semacam lumut atau jamur-jamur kecil berwarna putih yang ternyata enak dimakan,
sesudah dimasak rasanya seperti daging ayam saja.
Untuk
membuat api bukan merupakan hal yang sulit karena di tempat itu terdapat banyak
batu-batu keras yang jika digosokkan akan keluar bunga api dan mencari daun
kering dan kayu kering juga banyak terdapat di luar goa. Pohon yang tumbuh di
dalam mulut goa itu mungkin dahulunya merupakan biji yang dibawa burung dan
terjatuh ke mulut goa. Karena di situ lembab banyak air dan mendapat sinar
matahari biji itu lalu tumbuh menjadi pohon besar yang keluar dari dalam
melalui mulut goa.
Hal yang
amat aneh akan tetapi juga menggirangkan hati didapatkan oleh guru dan murid
itu. Sesudah setiap hari makan telur dan sarang burung walet, ditambah jamur
kecil atau lumut itu, mereka merasa betapa tubuh mereka menjadi lebih segar
seperti memperoleh kekuatan baru! Giranglah hati Su Kiat yang dapat menduga
bahwa di dalam makanan itu tentu terkandung gizi yang luar biasa, terkandung
obat yang menguatkan tubuh.
Karena
merasa sehat dan segar, mulailah Su Kiat memperhatikan dua buah kitab itu dan
dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa dua buah kitab itu merupakan
kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di dalam kitab
itu terdapat pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti, pelajaran untuk
memperkuat sinkang mereka.
Tentu saja
mereka berdua semakin bersemangat mempelajari isi kitab itu dan di bawah
bimbingan Su Kiat, mulailah Hui Lian mempelajari serta melatih diri dengan ilmu
silat dari dua buah kitab itu. Kitab yang pertama berisi pelajaran ilmu silat
tangan kosong dan pada kulitnya tertulis nama kitab itu, yaitu Sian-eng Sin-kun
(Silat Sakti Bayangan Dewa), ada pun kitab yang ke dua bernama In-Iiong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan).
Su Kiat sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa dia dan muridnya telah menerima warisan ilmu
yang sangat dahsyat, merupakan ilmu inti dari dua orang tokoh besar, yaitu In
Liong Nio-nio dan Sian-eng-cu The Kok, dua di antara Delapan Dewa! Dua kerangka
manusia itu adalah kerangka dua orang sakti itulah, yang meninggal dunia di
dalam goa itu dengan meninggalkan kitab pelalaran inti ilmu silat mereka.
Sungguh
sukar mencapai tempat itu dan kalau bukan bodoh, sudah pasti tidak akan ada
yang dapat menemukan dua buah kitab itu. Dan kalau dibiarkan terus, tentu dalam
waktu puluhan tahun kitab itu akan hancur dan lenyap pula.
Dua macam
ilmu itu ternyata amat rumit dan sulit sekali dipelajari, bahkan tidak mungkin
dapat dikuasai sebelum orang yang mempelajarinya melatih diri dengan ilmu-ilmu
sinkang yang khas untuk kedua ilmu itu seperti yang dijelaskan pada
lembaran-lembaran pertama. Oleh karena itu Su Kiat memimpin muridnya untuk
lebih dulu mempelajari penghimpunan tenaga sakti menurut petunjuk dua kitab
itu.
Karena pada
saat masuk ke dalam goa itu usia Hui Lian baru dua belas tahun, sedangkan untuk
berlatih menghimpun tenaga sakti itu saja membutuhkan waktu empat tahun, maka
dara ini baru melatih diri dengan ilmu itu bersama-sama gurunya setelah dia
berusia enam belas tahun!
Ada satu hal
yang aneh lagi terjadi pada diri Hui Lian. Setelah dia mulai dewasa dan dari
anak-anak berubah menjadi seorang gadis, bau keringat tubuhnya menjadi harum!
Hal ini tidak terjadi pada diri Su Kiat dan pria gagah itu pun dapat menduga
bahwa keharuman keringat ini tentu timbul karena terjadinya proses di dalam
tubuh muridnya sebagai akibat makanan yang hanya terdiri dari telur burung,
sarang burung, dan jamur-jamur kecil putih itu! Jika dia sendiri tidak
mendapatkan keharuman pada keringatnya, hal itu tentu karena ada perbedaan
antara dia dan muridnya. Dia seorang pria dan muridnya seorang wanita.
Di waktu
malam kadang-kadang Su Kiat bersembahyang dan merasa bersyukur kepada Tuhan
bahwa di dalam hatinya telah tumbuh rasa sayang pada Hui Lian sebagai seorang
ayah terhadap anak kandungnya sendiri! Tanpa rasa sayang seperti ini, dia tahu
amatlah berbahaya bagi dia sebagai seorang pria yang hidup berdua saja dengan
seorang wanita seperti Hui Lian, apa lagi setelah Hui Lian kini bukan kanak-kanak
lagi namun makin lama semakin nampak menjadi seorang gadis yang luar biasa
cantiknya.
Mereka hanya
hidup berdua di tempat terkurung seperti itu, dengan pakaian yang makin lama
semakin tidak lengkap. Mereka sudah berusaha untuk menghemat pakaian, dengan
memotong pakaian mereka agar menjadi beberapa potong baju dan celana pendek.
Akan tetapi tahun demi tahun, pakaian itu semakin tua dan rusak sehingga setiap
hari dia harus melihat muridnya itu hanya mengenakan pakaian sekedar penutup
dada dan bawah pusar saja. Dia sendiri hanya memakai celana pendek tanpa baju!
Untung Hui Lian mendapat akal, menggunakan kulit batang pohon untuk dijadikan
semacam penutup tubuh yang biar pun kasar sekali akan tetapi awet.
Cintanya
terhadap Hui Lian seperti cinta seorang ayah, yang ada hanya rasa sayang dan
iba. Perasaan cinta seperti ini meniadakan nafsu birahi, akan tetapi kalau
malam tiba, dia harus banyak melakukan siu-lian (semedhi) sehingga dapat juga
dia selalu memadamkan api birahi yang kadang-kadang timbul juga sebagai suatu
kewajaran.
Dengan daya
tahan yang luar biasa, kedua orang itu dapat melewati waktu sepuluh tahun!
Sekarang Su Kiat telah menjadi seorang lelaki berusia empat puluh tahun,
sedangkan Hui Lian menjadi seorang gadis yang cantik jelita berusia dua puluh
dua tahun. Dan mereka sudah menamatkan seluruh isi kedua kitab itu.
Pagi itu Hui
Lian keluar dari goa lantas nongkrong di atas dahan pohon. Seekor burung yang
agak besar melayang dan hendak hinggap di pohon itu. Melihat burung yang besar
ini Hui Lian merasa gembira sekali. Ingin dia menangkapnya. Daging burung ini
tentu enak sekali. Tak seperti burung walet yang kecil-kecil dan lebih banyak
tulangnya dan bulunya dari pada dagingnya.
Begitu
burung itu hinggap, cepat Hui Lian menyambar. Kini gadis itu tak boleh
disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Berkat latihan ilmu-ilmu yang luar
biasa itu, dia memiliki kecepatan seperti kilat dan angin. Burung itu hanya
sempat terkejut, akan tetapi tahu-tahu lehernya sudah ditangkap.
Akan tetapi,
karena gembiranya, Hui Lian sampai lupa diri, lupa bahwa dia berada di atas
pohon, bukan di atas tanah. Gerakannya tadi menggunakan tenaga terlalu besar.
"Krekkkk...!"
Dahan itu
patah lantas tubuhnya terjatuh ke bawah! Hui Lian melepaskan burung itu dan
cepat dia menggunakan tenaga dalam pada tubuhnya untuk meraih ke samping. Kedua
tangannya secara otomatis mencengkeram dan mengenai dinding tebing.
"Crepp!"
Jari-jari kedua tangannya menancap pada dinding itu seperti dua cakar harimau
mencengkeram daging kijang saja! Dan tubuhnya terhenti.
"Hui
Lian...!" Gurunya menjenguk dari atas dan guru ini terheran-heran dan
khawatir sekali melihat muridnya bergantung di dinding tebing yang demikian
curamnya.
"Suhu,
kedua tanganku dapat mencengkeram dinding tebing!" teriak Hui Lian dari
bawah, kurang lebih sepuluh meter dari goa. "Teecu akan merayap ke
atas!"
Kini dengan
kedua tangannya, dibantu oleh kakinya yang menekan tebing, kedua tangan itu
bergantian mencengkeram ke atas, Hui Lian perlahan-lahan merayap naik hingga
dia akhirnya dapat mencapai goa dengan selamat. Begitu meloncat ke dalam goa,
Hui Lian langsung merangkul gurunya dan menangis.
"Ehh...!
Anak gila, kenapa kau malah menangis? Engkau sudah selamat, sepatutnya kau
bersyukur..."
"Suhu,
apakah Suhu tidak melihatnya? Aku dapat merayap naik dengan kedua
tanganku!"
Suhu-nya
tersenyum. "Habis mau apa? Apakah aku harus bertepuk tangan memuji? Nah,
aku bertepuk tangan." Dia pun bertepuk tangan seperti orang memuji dan
mengagumi.
"Ihhh...,
Suhu ini bagaimana sih? Makin tua malah semakin bodoh!" Hui Lian mengomel.
Selama
tinggal di dalam goa memang Su Kiat bergaul dengan muridnya seperti dua orang
sahabat saja, tidak pernah menekankan sikap hormat bagi muridnya sehingga
pergaulan mereka akrab dan hanya kalau teringat saja maka Hui Lian lalu
bersikap hormat.
"Wah,
engkau ini murid macam apa? Berani memaki gurunya bodoh!" Su Kiat menegur,
akan tetapi dengan sikap berkelakar.
"Maaf,
Suhu. Saking gembira hatiku maka aku sampai lupa diri. Suhu, kalau aku mampu
merayap dengan kedua tangan, berarti Suhu juga akan mampu melakukannya!"
"Untuk
apa? Jangan-jangan kuku jari-jari tanganku akan copot!"
"Untuk
apa? Bagaimana sih Suhu ini? Tentu saja untuk merayap naik keluar dari neraka
ini!"
Sepasang
mata itu terbelalak. "Keluar dari sini...? Ahh... ahh, mungkinkah
itu...?"
"Suhu,
tentu saja mungkin! Mari kita coba!"
Bagaikan
baru sadar dari mimpi, Su Kiat segera melompat keluar dari dalam mulut goa,
menginjak batang pohon lantas mencoba dengan kedua tangannya untuk mencengkeram
dinding tebing. Ternyata kelima jari tangannya juga dapat menancap dan
mencengkeram batu padas itu dan tanpa banyak kesukaran dia kemudian merayap
naik sampai beberapa meter tingginya.
"Suhu,
tunggu dulu! Kita harus berpamit dan berterima kasih kepada dua orang Locianpwe
di dalam!" kembali Hui Lian memperingatkan gurunya, biar pun dia gembira
bukan main.
Su Kiat
teringat akan hal ini dan dia pun merayap turun lagi, meloncat ke dalam goa dan
merangkul muridnya, seperti yang dilakukan oleh Hui Lian tadi. Gadis itu merasa
terharu melihat betapa kedua mata suhu-nya basah oleh air mata.
Suhu-nya
juga menangis saking haru dan girangnya! Baru dara ini sadar betapa secara
diam-diam suhu-nya, biar pun sama sekali tidak memperlihatkannya tapi ternyata
teramat rindu untuk dapat keluar dari tempat itu. Keduanya lalu masuk ke dalam,
menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kerangka manusia itu.
"Ji-wi
Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua menghaturkan banyak terima kasih
atas warisan ilmu-ilmu dan pedang. Tanpa petunjuk Ji-wi, tidak mungkin kami
akan dapat keluar dari tempat ini."
Mereka
kemudian membawa dua buah kitab yang oleh Su Kiat diikatkan di punggungnya,
dibungkus oleh sisa kain dan diikat dengan tali terbuat dari kulit batang
pohon, sedangkan pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) yang oleh Su Kiat
sudah diberikan kepada muridnya, tergantung pula di punggung Hui Lian.
Keduanya
lalu mulai merayap naik, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, Su Kiat di
sebelah atas dan Hui Lian mengikutinya dari bawah. Dengan tenaga sinkang mereka
yang sudah amat tinggi, jari-jari tangan mereka yang mencengkeram itu menjadi
keras laksana cakar baja dan dengan hati berdebar penuh ketegangan, harapan
disertai kegembiraan, mereka merayap terus pada dinding tebing yang tingginya
tidak kurang dari seratus lima puluh meter itu!
Akhirnya,
sesudah merayap perlahan-lahan selama hampir setengah jam, tibalah mereka di
daratan atas. Saking girangnya, Su Kiat lalu berlutut diikuti oleh Hui Lian
yang berlutut di sebelahnya. Sampai lama sekali kedua orang guru dan murid itu
hanya mendekam di situ, tanpa kata, dengan hati penuh rasa bersyukur dan terima
kasih karena mereka sama sekali tak pernah menyangka bahwa mereka akan dapat
keluar dari tempat kurungan itu! Setelah sepuluh tahun!
Maka
tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap
Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama
sepuluh tahun di tempat terasing itu.
"Suhu,
jika aku tidak bisa membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran.
Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini lantas melemparkannya ke bawah
tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya
merasa bulu tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan
dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku hendak pergi mengunjungi
Cin-ling-pai, aku ingin melihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka
mereka berani menghina Suhu!"
Selama
sepuluh tahun hidup berdua dengan suhu-nya di dalam goa itu, Hui Lian banyak
mendengar tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh
ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia
kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhu-nya. Juga dara ini mendengar tentang
dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Sebab itu, di samping
mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua sangat menderita,
diam-diam dia pun merasa penasaran terhadap ketua Cin-ling-pai.
Ciang Su
Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu.
Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku juga ingin
melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Tetapi
ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan
Lam-hai Giam-lo dulu, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu."
"Apakah
hal yang lebih penting itu, Suhu?"
"Pertama-tama
kita harus mencari pakaian yang pantas untukmu!" Ciang Su Kiat berkata
sambil tersenyum melihat keadaan muridnya.
Kini
muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan
wajah yang sangat cantik manis, tubuh yang padat berisi dan sudah masak
sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di hadapan umum dengan
pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya
menutupi dadanya saja. Mana mungkin mampu menyembunyikan lekuk lengkung
tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang sangat menggairahkan itu!
"Pakaian?"
Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi
kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Dia sudah tidak merasa canggung
sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhu-nya, karena sudah terbiasa,
dan karena memang tak ada tatapan mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu
dari gurunya. "Ahh, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?"
Suhu-nya
bangkit berdiri lantas memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat kemudian
teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja,
terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai.
"Kita
pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu."
"Mencuri...?"
Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak.
Su Kiat
memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata
yang demikian lebar, jeli dan indah.
"Suhu
sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak
baik dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat."
"Memang
benar, muridku. Apa bila kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang
mahal dan indah, apa bila mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apa
lagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan pada yang kita
curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan
kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada
artinya bagi yang kecurian. Apa artinya beberapa potong pakaian bagi keluarga
kaya? Mari kita pergi."
Hui Lian
mengikuti gurunya melangkah pergi, setelah mereka untuk yang terakhir kalinya
menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin
mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk
aku dan untuk Suhu."
Hampir saja
Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang
kemudian minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu? Akan
tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimana pun juga, belum tentu yang
dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman
yang mau menolong. Andai kata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti
yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia
pada umumnya, dari pengalaman langsung.
Dia merasa
kasihan kepada muridnya. Semenjak berusia dua belas tahun sudah terasing, hanya
berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain
sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak
akan bersikap kurang ajar.
Memang Hui
Lian masih merasa dirinya seperti kanak-kanak, tak tahu bahwa dirinya telah
menjadi seorang gadis yang masak, yang mempunyai wajah dan tubuh menggiurkan,
apa lagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu.
"Baiklah,
engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun," katanya.
Pada waktu
mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari sudah menjelang sore dan
matahari mulai condong ke barat, sinarnya mulai redup. Seorang diri Hui Lian
melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang
terbelalak.
Mula-mula
orang mengira bahwa dia adalah seorang perempuan gila. Akan tetapi ketika mata
mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang
cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus
dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan
terheran-heran.
Tanpa
mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang
mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus hingga akhirnya dia berhenti
di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang
kaya, pikirnya.
Pada masa
kecilnya dia sendiri adalah puteri gubernur. Sudah banyak rumah-rumah besar dan
indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu
belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu amat
menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana.
Kebetulan
sekali pada saat itu nampak keluar dari rumah itu seorang laki-laki berusia
tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringi oleh
empat orang pengawalnya. Tentu saja dia bersama empat orang kawannya, yang
rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul,
menjadi tertegun ketika melihat seorang gadis hampir telanjang masuk dari pintu
pekarangan. Gadis yang sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai!
Hui Lian
sudah melangkah mendekat lantas menjura, "Apakah engkau pemilik rumah
ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali.
Pria itu
masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis
seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, sepasang bukit payudaranya kelihatan,
perutnya juga kelihatan, kulitnya begitu putih mulus, akan tetapi gadis itu
sama sekali tak nampak malu-malu atau canggung!
"Benar,
Lui-kongcu ini adalah tuan rumah," salah seorang di antara pengawalnya
yang menjawab sambil menyeringai.
Melihat
pandang mata lima orang laki-laki itu, Hui Lian sudah mengerutkan kedua
alisnya. Pandang mata mereka itu bukan hanya mengandung keheranan, melainkan
mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan
meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya.
"Aku
datang untuk minta pertolongan," katanya pula.
"Ahh,
tentu saja, Nona. Aku akan senang sekali menolong Nona. Silakan masuk,
Nona," laki-laki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap
manis.
Hui Lian
menggelengkan kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu
pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan
membutuhkannya."
Lui-kongcu
tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh
kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku
dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari
masuk dan engkau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian
sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau
butuhkan."
"Berilah
sepasang saja untukku dan sepasang untuk guruku, dan aku akan pergi dengan
berterima kasih."
"Aihhh,
mengapa tergesa-gesa, Nona? Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas
berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi
segalanya asal saja engkau mau..."
"Mau
apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang.
"Heh-heh-heh...!"
Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa.
"Masa
engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau
cantik dan aku suka sekali..."
"Plakkk!"
Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya.
"Aughh...!"
Lui-kongcu langsung terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya
berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia pun mengaduh-aduh
sambil mengusap pipinya yang ditampar tadi.
Melihat ini,
tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali.
Tanpa dikomando lagi mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap
gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu.
Akan tetapi
Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki
tangannya. Empat orang itu tidak tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka,
tetapi tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pening
dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka mulai sadar dan mampu bangkit,
ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ.
Dengan muka
merah Hui Lian menghadap suhu-nya. Dara ini masih marah dan mulutnya cemberut.
Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian
menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa.
"Ha-ha-ha,
sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Tadi memang aku membiarkan engkau
menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah
menyarankan agar kita mencuri saja?"
"Suhu,
apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Dia teringat akan sikap
gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang sikapnya
seperti Suhu?"
"Tentu
saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata
keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur
menganggap kaum perempuan sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang bisa mereka
permainkan, sesuatu untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu,
melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurang ajaran
mereka timbul secara menyolok."
Hui Lian
mengepal tinju. "Hemmm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu,
pasti akan kubunuh dia!"
Su Kiat
mengerutkan alis. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh
orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda
wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan
pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena
dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita
yang dianggapnya buruk dan tak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki lalu
menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya,
maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat
dinamakan jahat, walau pun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah
menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Jika seorang
laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia
itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat sehingga perlu
diberantas."
Pada malam
itu juga dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah
hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika
mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian berikut sepatu yang
lenyap, bahkan juga sejumlah uang.
Biar pun tak
seorang pun yang melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu bisa
menduga bahwa kehilangan barang-barang itu tentu ada hubungannya dengan gadis
manis setengah telanjang yang menghajar dia dan empat orang tukang pukulnya.
Karena itu dia pun tak mau membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai
dan galak itu datang kembali.
***************
Sesudah
memperoleh pakaian yang rapi, maka mulailah Su Kiat dan Hui Lian melakukan
penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang
seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu.
Pada suatu
hari, pada saat Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara
darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur karena semalam bergadang, terdengar
namanya dipanggil orang dari luar. Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan
suara itu.
"Lam-hai
Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!"
Tentu saja
kakek yang kini sudah berusia lima puluh tahun itu menjadi marah mendengar
makian orang, apa lagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di
dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya? Sesudah menggosok kedua
matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya.
Seorang dara
berusia dua puluh tahun lebih, berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan
bertubuh ramping padat, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia
empat puluh tahun lebih. Gadis itu tidak dikenalnya, demikian juga pria tinggi
besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya. Karena itu Lam-hai
Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang
pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu.
Sepuluh
tahun yang silam, Su Kiat adalah lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo,
maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia
benar-benar sudah lupa sama sekali terhadap pria berlengan buntung sebelah itu.
Apa lagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan
belum dewasa.
Sebaliknya
Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini, maka mereka
sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan.
"Lam-hai
Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang
lalu!" kata Ciang Su Kiat.
"Siapakah
kalian?!" Lam-hai Giam-lo membentak marah karena dua orang itu nampaknya
memandang rendah padanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan
dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.
"Lam-hai
Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau
melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian
menendang aku ke bawah tebing pula?" kata Su Kiat sambil menatap tajam.
"Kemudian
aku meloncat ke bawah untuk menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhu-nya
mengingatkan kepada musuh itu.
Kini Lam-hai
Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi
dengan ringkik kuda dari pada suaranya yang sudah parau dan serak itu.
"Hieeeh-heh-heh...!
Jadi kalian adalah mereka itu? Ha-ha-ha!" Tiba-tiba dia menghentikan suara
tawanya lantas memandang dengan mata sipit yang coba untuk dilebarkannya itu.
"Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing...bagaimana sekarang bisa
muncul lagi?"
"Lam-hai
Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, tetapi engkau bukan Giam-lo-ong yang
sesungguhnya sehingga tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang
itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu
yang sudah melampaui takaran itu."
Kembali
kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh-heh-heh, kalau sepuluh tahun
yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu,
lengan buntung. Dan anak perempuan yang dulu itu kini sudah menjadi seorang
gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari
lamanya...!"
"Jahanam
bermulut busuk!" Hui Lian memaki.
Dara ini
telah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya,
lalu menyerang dengan satu tusukan kilat ke arah perut lawan. Melihat sinar
pedang yang meluncur cepat dan sinarnya berkilauan menyambar itu, Lam-hai
Giam-lo sama sekali tak berani memandang rendah, maka dia pun mengelak dengan
melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi pedang yang meluncur
lewat itu ternyata tahu-tahu telah membalik secara aneh dan cepat sekali,
tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!
"Ehhh...!"
Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil
mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.
"Tahan
dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah
kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.
Hui Lian
mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga
Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini
adalah guruku Ciang Su Kiat." Dara itu lalu mengelebatkan pedangnya.
"Lam-hai Giam-lo, kini bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!"
Pedangnya
lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu,
berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su
Kiat juga tidak tinggal diam saja. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan
In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti
Sian-eng Sin-kun.
Melihat
betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulung
tubuhnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan bagaikan
badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi amat terkejut. Tak disangkanya
bahwa dua orang yang telah jatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan
lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini
sudah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat.
Maka dia pun
cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing
seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang
itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia
berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang
memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat
bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.
Lam-hai
Giam-lo nyaris tak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang
tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia sudah mewarisi hampir semua ilmu
kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya tidak
banyak selisihnya dibandingkan dengan mendiang gurunya. Tetapi sekarang,
menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lampau belum
apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan
yang hanya sebelah kanan itu.
Yang amat
berbahaya justru lengan baju kiri yang buntung itu sebab secara tak
disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan
melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang
dimainkan lelaki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan
mengandung tenaga dahsyat.
Akan tetapi,
pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya
merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai
Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia
persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini
tangkas.
Pedang yang
berubah menjadi segulungan sinar putih itu bagai seekor naga yang sedang
mengamuk! Akan tetapi gerakannya juga indah sekali dan nampak begitu lembut,
seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung
ancaman maut pada setiap gerak serangannya!
Su Kiat dan
Hui Lian harus mengakui bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan yang amat
tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimana pun juga, dia
sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian
belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya diperoleh dari
latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang
sungguh-sungguh.
Oleh karena
itu permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus
mengakui bahwa dalam hal memainkan ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri
masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung
sehingga kurang keseimbangan apa bila dia yang memainkan pedang dengan ilmu
itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu
memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat
digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai.
Dia tidak
tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di
antara Delapan Dewa. Karena penciptanya adalah wanita dan untuk dimainkan
sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.
Perkelahian
itu makin seru dan hebat mati-matian. Makin lama Lam-hai Giam-lo menjadi
semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan
juga merasa bahwa dia mempertahankan nama serta kedudukannya. Masih untung
baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia,
Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya
dan seorang gadis muda.
Dia
mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap
saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi
akhirnya pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su
Kiat.
Lam-hai
Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia
terhuyung. Kesempatan yang sekejap saja ini sudah cukup bagi Hui Lian untuk
mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan.
Lam-hai
Giam-lo terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, maka
terpaksa dia harus berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga
sinkang sepenuhnya untuk menangkis.
"Plakkk!"
Pedang itu
berhasil ditangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga
terluka dan berdarah. Pada saat itu pula sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat
tepat mengenai punggungnya.
"Bukkk!"
Lam-hai
Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia
bahwa apa bila dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi
dia lalu meloncat dan melarikan diri.
"Pengecut,
hendak lari ke mana kau?!" Su Kiat membentak dan mengejar.
"Ke
neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam, jangan lari!" Hui Lian juga
berteriak mengejar.
Keringat
dingin membasahi dahi serta leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh,
dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga
sulit baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan
mempergunakan semua ilmu ginkang-nya untuk mempercepat larinya, akan tetapi
bayangan kedua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak
seratus meter lebih!
Dia telah
menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, jika dilanjutkan pengerahan sinkang
seperti ini, maka akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan,
dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.
Dengan napas
terengah-engah akibat harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai
yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir saja bersorak
ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya
dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di
tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara
keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air.
Melihat
buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun
berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata
mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu sudah mendarat di seberang, akan
tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini cepat mencari perahu
terlebih dahulu untuk digunakan menyeberang. Ketika akhirnya mereka dapat
menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa
meninggalkan jejak.
Su Kiat dan
Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan tetap
melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak
Lam-hai Giam-lo sambil bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain
tersohor, juga Lam-hai Giam-lo mempunyai wajah yang amat mengesankan sehingga
semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang
seperti kuda dan suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula.
Mereka bisa
mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya, kurang lebih sebulan kemudian,
mereka berdua berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar
kota Swat-ouw. Su Kiat dan Hui Lian cepat menyerbu rumah di luar kota itu dan
memang benar Lam-hai Giam-lo berada di sana bersama lima orang kawannya yang
juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo
sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang
merupakan penjahat-penjahat besar di Swat-ouw untuk mengeroyok.
Namun Su
Kiat dan Hui Lian mengamuk sehingga membuat lima orang kawan Si Muka Kuda itu
roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi
sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui
Lian mengenai perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat juga kembali
membuatnya muntah darah. Untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan
diri, dan untuk kedua kalinya dua orang musuhnya melakukan pengejaran pula!
Akan tetapi
kali ini Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sekali
sehingga saat dia bersembunyi di luar kota Swat-ouw, dia telah memperhitungkan
bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah memiliki tempat untuk
menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tidak lama kemudian tibalah dia di
tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun
lenyap di bawah permukaan air.
Kembali guru
dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya,
mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan
diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu
dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa
penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia
merasa tidak akan menang.
Kini untuk
kedua kalinya dia terluka, bahkan lebih parah dari pada yang pertama. Untuk
minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau
dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali
tidak terkenal, apa lagi kalau minta bantuan orang lain?
Lima orang
yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka
adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya sehingga bantuan mereka tak
akan ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu.
Demikianlah,
kejar mengejar terjadi hingga akhirnya Lam-hai Giam-lo menggunduli rambut dan
menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian dia menggunakan akal dan berhasil
masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan
tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi.
Tentu saja
Su Kiat dan Hui Lian sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil
Siauw-lim-si. Apa lagi guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang
Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan
seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Dan inilah sebabnya kenapa Lam-hai
Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun.
Akan tetapi
memang dasar seorang jahat. Ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu
mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu maka
dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian ketika dua orang hukuman itu,
yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di dalam
kuil pada waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan,
lantas terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tidak sanggup
melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.
Demikianlah,
Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya. Sekarang dia
tidak berani lagi merajalela di daerah selatan, takut kalau-kalau dua orang
yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak
menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia
masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan
buntung dan seorang gadis cantik.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment