Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 23
PADA pagi
hari itu Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid
datang menghadap dan memberi tahukan bahwa di luar pintu gerbang yang
mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai telah datang seorang wanita yang
menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.
Untuk
beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang
wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui
Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang
datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang
tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu.
"Siapa
namanya dan ada keperluan apakah dia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.
"Dia
tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, tetapi berkeras mengatakan
bahwa dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.
Cia Hui Song
mengerutkan kedua alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia pun
merasakan sesuatu yang tak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi
antara wanita itu dengan dirinya, namun sukarlah menduga siapa orangnya karena
banyak sekali pengalaman yang sudah dilalui dalam hidupnya.
Sebagai
seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak
sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh
karena itu dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Tapi
pengunjungnya ini adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia
harus menyambut tamu itu dengan hormat.
"Baiklah,
persilakan dia masuk dan menanti di ruang tamu."
"Aku
sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari luar beranda.
Hui Song
terkejut sekali saat mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah
berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke
pekarangan itu.
"Heiii!
Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.
Cia Hui Song
memberi tanda kepada isterinya supaya masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang
menjadi isterinya itu cepat berjalan masuk sambil menggendong anaknya. Hui Song
lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.
"Apa
yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang langsung bersikap
hormat ketika melihat ketua mereka.
"Pangcu,
wanita ini kami suruh menunggu sebab belum ada keputusan dari Pangcu, akan
tetapi tiba-tiba dia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami
mengejarnya dan..."
"Sudahlah,
kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik," kata Hui Song
kepada para muridnya.
Ketika
mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati dengan penuh
perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya
cantik dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah, namun pada saat itu
membayangkan kemarahan, sepasang matanya yang berkilat sedang mengamatinya
pula.
"Aku
ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya
tegas dan galak.
Hui Song
tersenyum sabar dan menjura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan
kita bicara di dalam."
Wanita itu
terbelalak. Dia adalah Kok Hui Lian dan sekarang dia pun teringat. Seperti
kilat menyambar, pada ingatannya terbayang kembali peristiwa yang terjadi
kurang lebih dua puluh tahun yang silam.
Dia baru
berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang waktu itu
menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu oleh pemberontak. Orang tuanya
terbunuh, gedungnya dibakar dan dia sendiri tentu sudah tewas apa bila tidak
ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Oleh penolongnya dia
digendong keluar dari keributan itu, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh
hingga terpaksa dia dilepaskan.
Dia kemudian
ditangkap penjahat dan pada saat itulah muncul suheng-nya, Ciang Su Kiat yang
kemudian menjadi gurunya, juga suheng-nya sekaligus pengganti orang tuanya. Dan
pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di
depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!
"Tidak,
bukan engkau... aku hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang
bernama Cia Kong Liang."
"Ahh,
kiranya engkau ingin bertemu dengan ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih
ayahku tidak lagi mencampuri urusan dunia dan selalu bertapa. Kalau ada urusan,
harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk
menanganinya."
"Tidak,
aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia
Kong Liang!"
Hui Song
menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walau pun sinar matanya berkilat.
"Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa
pun. Kalau Nyonya mempunyai urusan dengan ayahku, biarlah aku yang akan
membereskan semua perhitungan. Silakan."
"Tidak...
tidak...!" tentu saja Hui Lian tidak mau berurusan dengan orang yang dulu
pernah menyelamatkannya ini. Dia pun membalikkan tubuh, kemudian dengan
beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap.
Diam-diam
Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah
bahwa wanita muda itu mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama
memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan
tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa sedikit khawatir, maka
memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.
Sementara
itu Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Dia
harus menemui Cia Kong Liang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau
mungkin membalaskan penderitaan suheng-nya yang dahulu lengannya sudah
dibuntungi oleh ketua yang kejam itu!
Akan tetapi
Kok Hui Lian sama sekali tak pernah menyangka bahwa pendekar yang dulu sudah
menyelamatkannya dari maut itu ternyata adalah putera ketua itu, bahkan kini
telah menggantikan ayahnya menjadi ketua Cin-ling-pai. Suheng-nya, Ciang Su
Kiat, tak pernah menceritakan tentang putera ketua itu.
Melihat
kenyataan bahwa pendekar penolongnya berada di situ sebagai putera musuhnya,
sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan di dalam
hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa memusuhi pendekar itu? Dia sudah berhutang
budi, bahkan berhutang nyawa!
Akan tetapi
penderitaan suheng-nya juga harus dibalas, walau pun hanya berupa teguran keras
terhadap ayah pendekar itu yang sudah bertindak kejam, karena membuat lengan
suheng-nya buntung sebagai hukuman. Malam nanti dia akan berusaha menyelundup
dan mencari tempat kakek itu bersemedhi, hendak ditemuinya lalu akan
ditegurnya. Sesudah menegur keras tanpa menimbulkan bentrokan dengan pendekar
penolongnya itu, barulah hatinya akan puas.
Baru
beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para
murid yang berjaga di pintu gerbang menyambut datangnya seorang wanita lain
dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita
cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan sesudah wanita itu
pergi lagi, ketua mereka berpesan supaya mereka berjaga lebih ketat dari
biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain.
Wanita ini
jauh lebih muda jika dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia
kurang lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya
yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan
mengandung daya tarik yang amat kuat.
Yang paling
menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran
dan ketenangan yang jarang terdapat dalam diri seorang gadis yang demikian
muda. Walau pun dia tidak buruk rupa, dia tidak dapat dinamakan gadis yang
cantik pula melainkan manis, terutama sekali karena kelembutannya.
Biar pun
demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan
harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang
di depan pintu gerbang dengan sikap galak.
"Berhenti!
Siapakah engkau, Nona? Ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya
seorang di antara para murid itu dengan suara galak.
Akan tetapi
gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang meski pun dia
dibentak orang. Dia lalu memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang
berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah,
benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai
ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua
Cin-ling-pai."
Meski pun
cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan
tetapi begitu mendengar dia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid
itu lalu saling pandang dengan penuh arti. Keinginan gadis ini sama persis
dengan wanita pagi tadi!
"Hemm,
siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang ingin kau temui itu?" tanya lagi
seorang murid, dia hendak memancing.
"Namanya...
Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling-pai?"
Kembali para
murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama persis dengan wanita pagi tadi!
Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis
ini untuk mengacau ke dalam. Tak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan
mengusir, seperti wanita pagi tadi.
"Hemmm,
engkau ini masih kanak-kanak tapi sudah berani hendak membikin ribut di sini.
Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal,
bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu segera pergi tanpa banyak ribut
lagi.
Gadis yang
mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya. "Aihh, kenapa? Harap
kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali,
melakukan perjalanan sampai berbulan-bulan, kini sesudah sampai di tempat yang
kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja? Aku hanya ingin menghadap
Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."
"Sudahlah,
tak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga
lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari
dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang.
Cin-ling-pai
terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja memiliki
peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa
ijin. Sebab itu di sana memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan
selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi ucapan
mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja.
Kalau pagi
tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu
akan menggunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok
begitu saja! Kalau mereka mengetahui terlebih dahulu, tentu mereka akan
menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, sesudah
mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat
Wajah yang
lembut itu masih tersenyum, tetapi sepasang matanya mengeluarkan cahaya
berkilau penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini justru
merasa gembira untuk mencobanya! Dia bukan seorang gadis sembarangan walau pun
usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari
pendekar Cia Sun yang amat lihai, dan Cia Sun adalah putera dari Pendekar
Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua
perkumpulan Pek-liong-pang.
Murid-murid Pek-liong-pang
kini banyak yang menjadi pendekar-pendekar dan tersebar di mana-mana, dan nama
Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima
ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi
Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Ada
pun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi dan
pada waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut
Nyawa)!
Sebagai
puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, tentu saja gadis yang mengaku
bernama Ling Ling itu sejak kecil telah digembleng dan kini telah mewarisi
ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang baru
berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, dia merasa sangat gembira ketika
menghadapi tantangan seperti sekarang. Ia ingin sekali mencoba sampai di mana
kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan dia pun ingin menguji
kemampuan diri sendiri.
"Boleh
kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya girang,
sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya tidak
terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji
kepandaian.
Ayahnya
sendiri mempunyai hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana
mungkin dia akan memusuhinya? Menurut cerita ayahnya, Cin-ling-pai masih
merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan
pada saat ayah dan ibunya menikah, acara pernikahan itu dilakukan di
Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua
Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum
pernah dijumpainya.
Mendengar
ucapan itu dan melihat pula sikap Ling Ling yang seperti mentertawakan dan
memandang rendah, para murid Cin-ling-pai langsung menjadi penasaran. Seorang
murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun
disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka segera membentuk
barisan untuk menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.
Ling Ling
memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia
antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya,
membentuk setengah lingkaran sehingga dia menghadapi lawan dari depan dan kanan
kiri. Akan tetapi, walau pun lima orang itu membawa pedang di punggung
masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapi
dirinya dengan tangan kosong.
Mereka
bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun
di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti
yang sering kali dilihatnya terbayang pada mata lelaki yang dijumpainya dalam
perjalanannya. Semenjak dia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun
Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah sering
kali dia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali dia harus turun
tangan menghajar mereka.
Lima orang
itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat,
dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua
lengan bersilang di depan dada.
"Aku
akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan dia pun melangkah
maju, seolah-olah tak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di
depannya. Dia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang
atau menghalanginya.
Akan tetapi
belum juga dia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari arah kiri
datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah
mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan
Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia
mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke
dua dan ke tiga di sebelah depan arah kanannya.
Akan tetapi
dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan dia
pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan
Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun
dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya,
maka sekali ini dia tidak mengelak namun membiarkan kepalan lawan menyambar ke
arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali lengan kanannya
bergerak ke bawah untuk menangkis.
"Dukkk!"
Tangkisan
itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkang-nya hingga
lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini
segera dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Sekarang lima
orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka.
Tiba-tiba
Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan menangkis dan terus menerobos.
Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka lantas
menubruk dari kanan kiri, tetapi tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan
halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun
terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak
mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!
Akan tetapi
sekarang dia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di
belakang pintu gerbang! Tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat
lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing pada jarak dua meter
darinya. Seperti juga barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang pula di punggung,
akan tetapi mereka tidak mencabut pedang, hanya bergerak membuat
langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan.
Ling Ling
dapat menduga bahwa tentu para anggota barisan ke dua ini mempunyai tingkat
yang lebih tinggi dari pada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih
banyak. Dia seorang gadis yang cerdik dan biar pun dia tidak bergerak, matanya
melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun tujuh orang itu membuat
langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga
dan saling melindungi.
Setelah
membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu
gerbang dan dia pun mengeluarkan suara bentakan, lantas menyerang dua orang
yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain
di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah
memperhitungkan ini dan dengan tiba-tiba sekali dia membalik lagi dan kini
menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.
"Biarkan
aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan.
Dua orang
itu terkejut sekali, tidak mengira bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim
serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, gerakan kedua
tangan gadis itu berubah, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang
kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring.
Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu
dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar
lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi.
Kesempatan
ini memang sudah diperhitungkan Ling Ling dan dia pun cepat menerobos di antara
dua orang yang melangkah mundur itu. Kini dia pun telah berada di luar
lingkaran!
Akan tetapi
betapa herannya ketika dia memandang, ternyata dia telah dikepung pula dan
lingkaran tujuh orang itu kembali sudah mengelilinginya lagi. Ternyata
lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu dia
menerobos keluar, lingkaran itu sudah bergerak cepat membuat lingkaran lain
sehingga dia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang.
Kini tujuh
orang itu melakukan serangan lagi dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak
menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau balau melainkan dengan teratur
sekali. Serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan
orang pertama!
Orang
pertama menghantam dari atas, lantas turun ke arah kepalanya. Ketika Ling Ling
menangkis dari samping, orang ke dua sudah menyerang ke lambung, ke bawah
lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat dia mengelak,
orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu dia meloncat ke atas
menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah
jalan darah di punggung!
Serangan itu
datang susul-menyusul dan bertubi-tubi. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh
dengan mengandalkan kelincahannya, menangkis ke kanan kiri sambil berlompatan
menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan ketujuh orang
lawannya. Namun setiap kali dia menerobos keluar, dia hanya memasuki lingkaran
lain yang dibuat mereka secara otomatis.
Ling Ling
terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau dia memang
menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan dan merobohkan
mereka. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu karena dia tidak ingin
melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan
Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudara seperguruannya
pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa dia dan
mereka satu aliran, memiliki dasar gerakan yang sama.
Jika tadi ia
membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, dia pun tidak melukai
mereka tetapi hanya menggunakan angin pukulannya saja membuat mereka
terpelanting. Tetapi dia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan
cara seperti tadi karena mereka ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari
pasukan pertama.
Setelah
mendapat akal, tiba-tiba Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi
di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, dia lantas
membuat gerakan ke bawah dan menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang!
Tentu saja semua lawan menjadi amat terkejut dan untuk menyelamatkan kaki,
mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar lingkaran.
Akan tetapi
sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini ketujuh orang itu pun sudah mencabut
pedang masing-masing dan kini mereka menyerang kembali seperti tadi, biar pun
dalam lingkaran yang lebih lebar, mempergunakan pedang masing-masing menyerang
gadis itu secara susul-menyusul.
Inilah
peraturan dari pasukan Cin-ling-pai yang gagah. Mereka akan mengepung seorang
dengan tangan kosong dan kalau orang itu mempergunakan senjata, baru mereka
akan mencabut senjata mereka pula.
Tentu saja
Ling Ling menjadi semakin kerepotan! Tadinya, dia ingin para pengepungnya itu
melonggarkan kepungan agar dia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung
lagi. Siapa sangka penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka
mempergunakan pedang pula, dan kini dia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang
yang tentu saja lebih berbahaya dari pada serangan kaki tangan mereka tadi.
Akan tetapi
kegembiraannya langsung timbul karena kini dia dapat menguji dirinya dalam
menghadapi pengeroyokan bersenjata. Dia lalu memutar pedangnya dan nampaklah
sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga
semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya.
Akan tetapi,
dengan sendirinya dia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apa lagi
karena dia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya. Berbeda dengan tujuh
orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh sehingga apa bila gadis itu
tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.
Tiba-tiba
saja Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung
tujuh orang pengeroyoknya, dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu
terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu,
tubuh gadis ini sudah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh
orang itu pada waktu dia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah
induk perkampungan.
Akan tetapi,
begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu dia sudah dikepung oleh
sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang namun berwibawa dan mereka sudah
membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di hadapannya berdiri berjajar
empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu
orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi.
Teringat
akan pengeroyokan dengan pedang, segera dia menyimpan kembali pedangnya sebab
menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah
pasukan ke tiga, pikirnya. Dia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja
mudah diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan
sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga
puluh tahun.
Maka Ling
Ling menjura dengan sikap hormat. "Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik
hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."
"Nona,
engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melewati dua pasukan. Untuk dapat
menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus berhasil lolos dari kepungan kami,"
kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang
sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling
walau pun dia hanya seorang gadis remaja.
Ling Ling
menghela napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang
ajar. Bukan aku merasa takut, melainkan aku tak ingin membikin ribut, akan
tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"
Sesudah
berkata demikian, dia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya
untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi dua orang itu menyambutnya
dengan tangkisan dan cengkeraman.
"Dukkk!
Dukkk!"
Sepasang
lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan dia merasa
betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga, dan gerakan mereka dengan
kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat dia
mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.
"Thian-te
Sin-ciang...!" katanya.
Dia pun
menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena
gadis ini memang memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka
terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Namun segera
kawan-kawannya telah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa
menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini sembilan orang itu
menyerangnya bergantian dan biar pun gerakan mereka nampak lambat, namun
mengandung kekuatan dahsyat.
"Thai-kek
Sin-kun...!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.
Pada saat
itu pula dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik
mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apa lagi
ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian
lihai.
"Tahan...!"
serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat
berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.
Ling Ling
mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di hadapannya itu berusia
empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan kedua
matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan
hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan
tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu
demikian taat. Dua pun cepat menjura dan berkata dengan suara sopan.
"Maafkan
saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya
mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."
Cia Hui Song
tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."
Gadis itu
memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Akan tetapi Ayah... Ayah
bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ahh, kalau begitu, apakah Ketua
Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"
Hui Song
semakin tertarik. "Cia Kong Liang adalah ayahku yang telah mengundurkan
diri dan aku sebagai penggantinya..."
"Kalau
begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.
"Dan
engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... ehh, siapa aku lupa
lagi..."
"Cia
Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"
"Benar,
engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aihh...,
engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di
dalam," ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum,
mengangguk sambil melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi
horrnat.
"Kuharap
kalian suka memaafkan aku!"
Para murid
itu pun tersenyum sambil membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda
tapi sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.
Ling Ling
lantas mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk saling
berhadapan dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam
segera menyuguhkan air teh.
"Paman
Cia Hui Song, di mana adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga
Paman?"
"Semenjak
mengundurkan diri, ayahku lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Ada pun
keluargaku... ahh, nanti dulu, Ling Ling, engkau tidak boleh menyebutku paman.
Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu
masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek
kepadaku."
Ling Ling
mengangguk. "Ayah pernah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia
paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."
Cia Hui Song
adalah seorang yang sikap dan wataknya berbeda sekali jika dibandingkan dengan
ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu berpegang teguh pada peraturan dan tradisi
kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.
"Baik-baik
saja kalau engkau ingin menyebut Paman, namun ketahuilah bahwa ayahmu itu masih
terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun
Houw, pada masa mudanya sudah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia
Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Sesudah umurnya agak
tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, ayahku. Uwa
Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya
tiga tahun lebih muda dari ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia
Han Tiong, yaitu kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, ayahmu, Cia
Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"
Ling Ling
mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... ehhh, Cek-kong (Kakek
Paman)..."
Melihat
kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa
pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."
"Akan
janggal rasanya apa bila saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh
menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi? Bukankah bibi bernama Ceng Sui Cin
dan mempunyai ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita ayah, bibi adalah
puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman juga memiliki seorang puteri
yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"
Di dalam
hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan di wajahnya.
"Kini mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah
mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah bibi mudamu dan anak kami.
Tunggulah, kupanggilkan mereka."
Hui Song
keluar sebentar dari kamar itu dan tidak lama kemudian dia pun sudah kembali
bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang
menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun.
Diam-diam
Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan
santun, dia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat saat diperkenalkan
kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi
Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan
mempersilakannya duduk lagi. Mereka kemudian bercakap-cakap, di mana Ling Ling
menuturkan bahwa dia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yang menyuruh
puterinya supaya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung
ke Cin-ling -pai.
"Saya
mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui
Song dan Bibi," katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat
sopan santun gadis ini.
"Ahh,
tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu,
tanda bahwa ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama
yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang
peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang
agaknya memiliki niat yang kurang baik, sebab itu penjagaan lantas diperketat
dan engkau dicurigai. Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat,
dengan mudah engkau mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Kiranya ayahmu
tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik
sekali."
"Ah,
Paman terlalu memuji," kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya
masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada
di sini."
Kembali
secara diam-diam Hui Song memuji di dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh
seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan telah
matang dan berpemandangan luas walau pun usianya masih demikian muda.
Hui Song
lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan
ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan berladang.
Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak
tenaga petani, juga ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke
kota." Antara lain Ling Ling bercerita.
Memang
selama ini keluarga ayahnya hidup di dusun Ciang-si-bun dalam suasana aman dan
tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan dan pakaian, bahkan
keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan
membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, pada
waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlalu
berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua
tumpukan dan cadangan beras dan gandum di gudang mereka untuk membantu penduduk
agar tidak sampai kelaparan.
Karena itu,
nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan
sampai jauh ke luar daerah itu. Apa lagi semua orang tahu belaka bahwa keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan
pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada
penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.
Sesudah
menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lantas berkata, "Paman Cia
Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan
bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"
Cia Kong
Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru)
karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan
Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri,
pikirnya.
"Kakekmu
itu kini lebih suka berdiam di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersemedhi
saja, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Akan tetapi dia tentu akan senang
sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa
yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."
Kamar di
mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktu untuk semedhi itu
cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya
segar dan cukup menerima cahaya matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ,
kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak
kecil penuh dengan kitab-kitab kuno.
Pada waktu
Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi
menghadapi sebuah kitab yang terbuka di atas meja dan tengah dibacanya. Dia
menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat
seorang gadis. Tadinya dengan penuh harap dia menyangka bahwa gadis itu adalah
Kui Hong, cucunya yang sangat disayangnya dan sudah lama dirindukannya. Akan
tetapi sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang
dengan penuh heran kenapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki
kamarnya.
Akan tetapi
Ling Ling langsung menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil
berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."
Mendengar
gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula,
kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis
itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lantas bertanya,
"Hui Song, siapakah gadis ini?"
"Ayah,
dia bernama Cia Ling dan biasa dipanggil Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan
Sumoi Tan Siang Wi."
Wajah kakek
yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup akan tetapi juga dibayangi
ketenangan mendalam itu, sekarang tiba-tiba saja mengeluarkan sinar berseri,
sepasang matanya bersinar-sinar dan pada bibirnya membayang senyum gembira. Dia
memandang kepada gadis itu.
"Aha,
kiranya engkau adalah puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi
ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling
Ling."
Gadis itu
pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap
sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama
Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.
Dengan suara
halus tapi jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang lagi
semua yang telah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu
mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk pada saat
mendengar kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para
penduduk dusun.
Dia mengenal
benar watak Cia Sun yang sangat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang
disayangnya, Tan Siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat
merubah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu
berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan
seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya.
Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya.
"Tentu
engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari ayah bundamu, bukan? Jika belum
cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis
yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."
"Sukong,
teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman
Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."
"Ayah,
Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga dia
mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnya. Hanya dalam waktu
sebentar saja dia berhasil lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa
melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat
dilewatinya dengan baik. Dia hebat, Ayah dan sungguh tak mengecewakan menjadi
puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.
Kakek itu
mengangguk-angguk, akan tetapi kembali kedua alisnya berkerut. "Hui Song,
bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"
Hui Song
tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di
sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama sekali tidak mengenalnya.
Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum
mengenalnya, terpaksa saya menolaknya. Kemudian, tanpa memperkenalkan diri atau
memberi tahukan kepentingannya, dia pergi begitu saja. Ketika masuk dia pun
meloncati para penjaga yang menghadangnya dan sikapnya amat mencurigakan. Oleh
karena itu penjagaan diperketat sehingga ketika Ling Ling muncul, tentu saja
dia dicurigai dan dihalangi. Untung saya tadi keluar dan mengenal
gerakan-gerakannya."
"Bagus sekali,
aku turut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita
muda yang mencariku itu?"
"Entahlah,
saya belum pernah melihatnya namun sikapnya sungguh mencurigakan. Kalau melihat
gerakannya, agaknya dia mempunyai ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah.
Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin dia mempunyai niat yang buruk
terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan
dengan ketat."
"Hemm,
sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan
niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dulu. Kalau dia
datang lagi, biarlah kau beri tahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek
itu setelah menghela napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.
Malam itu
Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun
dan meski pun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan
Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu beserta anak itu sedang pergi
berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu,
tetapi dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam
keluarga pamannya ini.
Setiap kali
dia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, pamannya selalu memberi
jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan sama sekali tak menjawab ketika dia
bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu kelihatan
gelisah dan tidak enak kalau mendengar dia bertanya tentang mereka. Apakah yang
sudah terjadi dalam keluarga pamannya?
Selagi dia
termenung di dalam kamarnya, mendadak dia mendengar suara wanita berkata keras
di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk
oleh keluarga itu. Dia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, dia
pun keluar dari dalam kamarnya menuju ruangan itu. Di situ dia melihat dan
mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Dia berhenti di balik
pintu dan memandang ke dalam.
Nampak Cia
Hui Song sedang berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang.
Pamannya itu berdiri sambil menundukkan muka, sementara kakek Cia Kong Liang
duduk dengan tubuh lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas
panjang. Dan di hadapan mereka berdiri tegak seorang gadis yang berwajah manis
dan cantik, dengan sepasang mata mencorong sedang marah-marah dan menegur dua
orang ayah dan anak itu dengan suara lantang!
"Ayah
mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apakah kesalahan ibu sehingga Ayah
menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga ibu terpaksa meninggalkan tempat
ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin
karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati ibu dan
menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan
kebahagiaanku sendiri! Kini aku minta pertanggungan jawab dari Ayah!"
Wajah Cia
Hui Song sebentar merah dan sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka
memandang gadis itu, tetapi segera menunduk kembali dan agaknya sukar baginya
untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya
itu.
Kakek Cia
Kong Liang yang sejak tadi juga tampak sedih sekali mencoba untuk membela
puteranya. "Kui Hong, cucuku yang baik, janganlah engkau bersikap seperti
itu terhadap ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah..."
"Aku
tahu, jika Ayah tidak bersalah, ini berarti Kongkong-lah yang bersalah! Ya, aku
tahu bahwa Ayah telah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kongkong! Kongkong
hanya mau menang sendiri saja, berdalih ingin cucu laki-laki! Apakah cucu
perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kongkong dan Ayah hanya ingin
senang sendiri, di atas penderitaan ibuku! Dan juga di atas penderitaan
batinku! Kongkong dan Ayah sungguh berdosa besar, sudah melakukan kejahatan
terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang bukan untuk membela diri
sendiri, melainkan membela Ibuku! Dia sudah menjadi sengsara, menderita akibat
perbuatan kalian! Karena itu aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab dari
Kongkong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar,
seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah kalau melakukan perbuatan seperti itu,
menyakiti hati ibuku, isterinya sendiri?"
Mendengar
semua ini dan melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling
Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu.
Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi dengan ibunya
berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu.
Kiranya
mereka bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui
Hong karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau
begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak
itu telah pergi dari Cin-ling-san sedikitnya selama tiga tahun!
Sekarang
gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan
kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui
batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah
sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.
"Maaf,
engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut.
Mendengar
ini, gadis itu yang ternyata memang Cia Kui Hong lalu membalikkan tubuhnya
menghadapi Ling Ling. Sebelum dia sempat membuka mulut, Ling Ling sudah
mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan
sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.
"Enci
Cia Kui Hong, aku mohon kepadamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa
yang kau cela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka adalah ayah kandungmu
sendiri dan kakekmu sendiri. Kelak engkau akan merasa menyesal sendiri, Enci.
Ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap ayah sendiri
dan kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala
dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai..."
Sejak tadi
alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap
dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan
ayah dan kakeknya, sekaligus menyalahkan dirinya! Tentu saja hal ini membuat
hatinya menjadi makin panas. Bagaimana pun juga dia masih belum berani untuk
menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Namun gadis ini
tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini
ditumpahkan kepada gadis itu.
"Berani
engkau mencampuri urusan antara aku dengan ayahku sendiri? Siapakah engkau
begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling
bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.
"Enci,
aku adalah Cia Ling, ayahku adalah Cia Sun dan ibuku Tan Siang Wi. Baru siang
tadi aku datang dari tempat tinggal kami di dusun Ciang-si-bun, untuk
berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan..."
"Cukup!
Kau sangka karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang
patut dihajar!" bentak Kui Hong.
Semua rasa
penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat dia ingin sekali
menyerang orang akan tetapi ditahan-tahannya karena dia tadi berhadapan dengan
ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan dia pun menerjang
maju menyerang gadis itu!
Tentu saja
Ling Ling langsung mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong
menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam
saja dan menyerahkan urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga
tidak segera melerai.
Pendekar ini
adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biar pun hatinya seperti
ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimana pun juga dia merasa gembira
melihat munculnya Kui Hong dan kini dia hendak melihat sampai di mana pula
kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walau pun dengan
penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga
supaya jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah.
Mula-mula
Ling Ling yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara
mereka hanya membela diri saja dengan elakan serta tangkisan. Akan tetapi dia
terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat
dan berbahaya. Apa lagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran
bukan kepalang sesudah beberapa kali serangannya berhasil dihindarkan lawan
dengan gesitnya. Rasa penasaran mendatangkan kemarahan, dan Kui Hong
memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan.
Harus
diketahui bahwa selama beberapa tahun ini Kui Hong telah digembleng oleh kakek
dan neneknya di Pulau Teratai Merah sehingga gadis ini menjadi lihai bukan
main. Kalau dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, dia jauh lebih lihai, bahkan
kini dia tak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, setelah dia
mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot sehingga selain
mengelak gadis ini pun terpaksa juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari
desakan.
Terjadilah
perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang
dengan hebat di ruangan yang luas itu, hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia
Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. Semenjak
tadi mereka tak berani mendekat.
Pada saat
Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang
bukan main. Mereka cepat menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberi
tahukan ke dalam bahwa 'Nona Kui Hong' telah pulang.
Mendengar
ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka
sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak
ada seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apa lagi mendengar
teriakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka tak akan muncul tanpa
dipanggil.
Akhirnya
Ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. Setelah dua puluh lima jurus dia
mulai terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang digunakan Kui Hong dalam
serangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah.
Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu
dilanjutkan.
Melihat ini,
diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun
dapat menduga bahwa tentu puterinya itu sudah menerima gemblengan dari kakek
dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan
menengahi perkelahian itu.
"Sudah
cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"
Melihat
pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong
menjadi semakin penasaran. Dia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata
mencorong.
"Hemm,
agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"
Cia Hui Song
menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali melihat sikap puterinya ini,
puteri yang amat dicintanya dan dia bisa mengerti akan sakit hati yang diderita
dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali
nasib sendiri.
Sejenak dia
memandang wajah puterinya, lantas terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan
bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia
membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia
melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan sangat sayang kepada
ayahnya pula. Namun sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan,
dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa
lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.
"Kui
Hong, engkau tentu sudah tahu kenapa ibumu pergi meninggalkan aku. Karena aku
menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah lagi. Karena
kakekmu menghendaki aku memiliki keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong,
dalam kehidupan ini ada satu kewajiban yang sangat penting dan harus
dilaksanakan oleh seorang laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah.
Ayahku menghendaki supaya aku memiliki keturunan laki-laki untuk penyambung
nama keturunan, itu adalah hal yang wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit,
tetapi seorang gagah harus berani mengorbankan dirinya sendiri demi
kebaktiannya kepada orang tua. Kini aku sudah memenuhi kewajibanku, aku sudah
memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan ayahku. Kewajibanku
terhadap ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena
bosan kepada ibumu. Ahh, aku mencinta ibumu, Kui Hong, juga mencintamu. Engkau
dan ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Apa bila engkau masih merasa penasaran,
biarlah kutebus dengan nyawaku supaya kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku
kalau engkau anggap ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia
ini!"
Hebat bukan
main kata-kata yang keluar dari mulut Cia Hui Song ini! Seorang pendekar besar
dan juga seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan
betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai
menangis mendengar ucapan itu, dan wajah Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat
sekali, diam-diam menyesal mengapa permintaannya untuk memperoleh penyambung
nama keluarga, yang sudah sepatutnya itu, ternyata mendatangkan akibat yang
demikian pahit.
Kui Hong
berdiri terbelalak. Wajahnya yang tadinya merah itu berubah pucat, jantungnya
bagai ditusuk-tusuk saat mendengar ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti
meremas batinnya. Apa lagi melihat Ling Ling menangis, tanpa dapat ditahannya
lagi dia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit.
"Ayaaaahhh...!"
Dan
menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan mencurahkan seluruh
rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan
air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ini dia menangis demikian
sedihnya.
Cia Kong
Liang merasa terharu, akan tetapi juga gembira melihat betapa kekerasan hati
cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan
sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata,
"Ayahmu
benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati ayahnya. Akulah yang
bersalah kalau keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung
nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan
kekerasan hatinya, kalau saja dia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu dia
tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan di dalam keluarga kita. Ahh,
betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab dari pada
perbuatan-perbuatanku sendiri."
Kui Hong
melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu dia pun menjatuhkan diri berlutut di
hadapan kaki kakeknya. Dia teringat betapa sejak dia masih kecil orang tua ini
sangat menyayangnya dan sesudah kini dia sadar tentang segala hal yang terjadi,
dia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Dkia pun merasa
menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.
"Kongkong,
maafkan aku, Kongkong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kongkong."
"Sudahlah,
Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan kakekmu ini yang
bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."
Pada waktu
itu terdengar suara halus, "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong
Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak
orang!"
Semua orang
terkejut lantas memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu.
Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu
dengan ayahnya!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment