Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 22
DENGAN
sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay lalu memandang seluruh bagian
tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu
dan berkata ragu, "Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan
marah lagi, Enci Lian?"
Gadis itu
menggelengkan kepala tanpa menjawab.
"Baiklah,
aku akan bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang telah
matang, beberapa tahun lebih tua dariku, watakmu sederhana dan engkau suka
dengan kebersihan. Wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu
yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang
menggairahkan, dengan bibir merah basah dan barisan gigi putih rapi, dagu
meruncing manis, rambut yang hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih
mulus dan panjang. Tubuhmu padat dan mempunyai lekuk lengkung yang sempurna
dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh. Sepasang lenganmu
bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil
dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, dan jiwamu gagah perkasa
biar pun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerakan
bibirmu. Dan yang sangat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum,
engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum..."
"Sudah...
sudah cukup...! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kau
teruskan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku
akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!" Hui Lian
berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa.
Baru sekarang gadis itu dapat tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati
mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya.
"Aku
bicara sejujurnya, Enci..."
"Tidak,
engkau mata keranjang. Seorang lelaki mata keranjang selalu memandang wanita
dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak
secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang amat berbahaya karena para
wanita mudah runtuh pertahanan dirinya bila menghadapi rayuan laki-laki.
Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!"
"Tidak,
Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan..."
"Cukup,
Hay-te, jangan memuji lagi."
"Dan
aku heran sekali, justru karena engkau demikian cantik, kenapa engkau
berkeliaran sendiri saja di dunia kang-ouw? Padahal seorang wanita secantik
engkau ini sepatutnya tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin
seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan,
dalam sebuah rumah tangga yang tenteram dan berbahagia..."
"Hay-te...
jangan teruskan...," Hui Lian yang duduk bersandar dinding goa menutupi
muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang
keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walau
pun dia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun dia sesenggukan
dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya
Hay Hay
terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu
bisa juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah
mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semenjak kegagalan pernikahannya
yang sudah dua kali itu, selama ini semua kedukaan selalu ditahan-tahan oleh
Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu seakan menjadi pembuka bendungan sehingga
sekarang tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui
tangis.
Melihat
gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga
bahwa tentu masa lalu gadis ini sangat suram dan menyedihkan, maka dia pun
mendekat dan menyentuh pundak gadis itu.
"Enci
Lian, kau maafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan
tetapi kalau kata-kataku tadi ternyata menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau
boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi engkau jangan menangis, hatiku terasa
pilu dan turut sakit melihat engkau menangis begini sedih..."
Merasakan
sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan
itu, hati Hui Lian bukannya terhibur, bahkan dia lalu menangis semakin sedih.
Dia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib amat
buruk, hatinya disakiti dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa
hidupnya terasa kosong dan kesepian.
"Adik
Hay... uuhuuhuu... Adik Hay...!" Dia mengguguk kemudian merangkul pemuda
itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya,
mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya.
"Tenanglah,
Enci Lian, kuatkan hatimu. Di dunia ini tidak ada masalah yang tidak dapat
diatasi," kata Hay Hay dengan suara sungguh-sungguh dan nadanya menghibur.
Hay Hay
merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya.
Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar akibat terkena pula
siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu begini lunak dan lembut, dan
keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian amat memabokkan dan
menggairahkan.
"Aih,
Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di
dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun..."
Hay Hay
mempererat pelukannya dengan sikap menghibur. "Enci Lian, mengapa engkau
berkata demikian? Ada aku di sini, bukan? Engkau memiliki aku, sebab itu jangan
merasa kesepian, Enci..."
Ucapan Hay
Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali
tak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam
hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium
mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih.
Perbuatan
Hui Lian ini sesungguhnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi
begitu dia mencium Hay Hay, gairahnya lalu berkobar tanpa dapat ditahannya
lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian terus menciumi Hay Hay,
mencurahkan seluruh kerinduan di dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan
seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay
jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian!
Hay Hay
adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang
mulai dewasa, bertubuh sehat, juga memiliki watak romantis sekali, suka akan
keindahan bahkan pemuja keindahan. Karena itu, setelah kini dia digeluti oleh
seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang birahi, yang haus akan kasih
sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita
yang bagaimana pun juga sudah berpengalaman karena telah dua kali menjanda,
maka tidak mengherankan jika Hay Hay juga menjadi kebakaran oleh nafsu
birahinya sendiri.
Bau keringat
dari tubuh Hui Lian yang sedap harum seperti bunga menambah rangsangan sehingga
dia pun lalu balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian
menjadi terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Belaian dan
ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu birahi masing-masing sehingga mereka
lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya
lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani
yang memabokkan.
Akan tetapi,
pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai
puncak dari pemuasan gairah mereka, pada saat Hui Lian yang memejamkan mata
mulai terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, pada saat Hay Hay membalikkan
tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan
melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya
yang ditarik hingga nampak seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat,
tiba-tiba saja Hay Hay sadar!
"Aihhhh...!"
Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskan kedua lengan Hui Lian
yang merangkul lehernya, dan dia pun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian
yang kini juga membuka matanya yang sayu.
Hui Lian
mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kembali.
"Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..."
"Tidak,
Enci Lian!" Tiba-tiba saja Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam
seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua
kekuasaan sihir dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian
yang sedang mabok oleh gairah nafsu birahi itu. Gadis itu bangkit duduk,
matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay.
Hay Hay
merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya,
"Bodoh kau... dia begitu cantik manis, tubuhnya begitu hangat, dan dia
begitu menantang, begitu mesra dan ciumannya penuh api nafsu. Dia ingin
cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium dia, tidak ada orang melihatnya di sini...
lekas, tolol...! Hajar !"
Sejak tadi
bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seakan-akan berada
di belakangnya.
"Keparat!"
Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya.
"Prakkk...!"
Sebuah batu menonjol di dinding goa itu remuk oleh tamparannya.
"Hay-te...
engkau... engkau kenapa...?" Hui Lian bertanya, wajahnya masih merah
sekali, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali laksana
mata orang yang sedang mengantuk.
Tiba-tiba
Hay Hay berlutut di depan Hui Lian, "Enci Lian, ampunkan aku, Enci...!
Ahh, aku layak dipukul mampus, tadi aku benar-benar telah menjadi hamba iblis.
Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tak boleh dilanjutkan. Enci
Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar." Dia sendiri lalu
mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas
semua.
Kini
sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan dia pun baru sekarang melihat keadaan
mereka. Sesudah dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, dia melihat betapa
dia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil dia segera
bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar pada waktu membereskan
pakaiannya, kemudian tiba-tiba dia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya.
"Plakkk!"
Ujung bibir
sebelah kiri pecah dan berdarah ketika tertampar, dan dia pun menggerakkan
tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan. Namun dengan cepat
Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh
haru ketika dia berkata,
"Enci
Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku,
Enci...!"
Hui Lian
merenggut lepas tangannya dan kini dia pun meloncat berdiri, mukanya masih
merah sekali, akan tetapi kali ini bukan merah oleh gairah nafsu birahi,
melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata
yang mengantuk lagi, namun terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat.
Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah menyambar pedangnya yang berada di
atas buntalan pakaian lantas dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam
mengeluarkan sinar berkilat ketika tertimpa cahaya api unggun.
"Bangkitlah...!"
katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawanlah aku.
Salah seorang di antara kita harus mati di sini!"
"Enci
Lian...!" Hay Hay berseru, terkejut sekali.
"Hal
yang memalukan telah terjadi, satu di antara kita harus mencucinya, satu di
antara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian.
"Tidak,
Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, dan aku pun tak
bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis..."
"Kalau
begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya.
Hay Hay
terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan
melihat ini, Hay Hay cepat menggunakan ilmunya Jiau-poa Poan-soan, yaitu
langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan
diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam.
Akan tetapi,
betapa pun hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah
serangan dari Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat
hebat, maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan
diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun segera mengeluarkan sulingnya dan kini
mempergunakan benda itu untuk kadang kala menangkis, dan terpaksa juga membalas
dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Lian.
Terjadilah
perkelahian yang sangat seru dan hebat di dalam goa itu! Hui Lian yang sudah
dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, kali ini menyerang dengan
sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong
Kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang
di antara Delapan Dewa. Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah
menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan ini mencuat
sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh
Hay Hay!
Menghadapi
ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main.
Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian
mengeluarkan kemampuannya yang amat dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang
sambil memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai,
dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian
Lama, Hay Hay baru mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian.
Di samping
kekagumannya, Hay Hay juga merasa amat berduka. Sungguh menyedihkan sebab baru
saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, malah hampir saja
terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, tetapi kini mereka telah
saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh!
"Enci
Lian, engkau tidak adil, hentikanlah seranganmu...!" berkali-kali Hay Hay
memohon. Akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan justru
memperhebat serangannya.
"Cappp...!"
Ujung pedang
Kok-hwa-kiam berhasil melukai pangkal lengan kiri Hay Hay. Robeklah baju di
bagian itu dan segera nampak darah membasahi kain yang terobek. Hay Hay
terhuyung dan jatuh terduduk, bersandar dinding goa. Dia lalu menancapkan
suling di atas lantai.
"Enci
Lian, kalau engkau memang menghendaki nyawaku. Bunuhlah aku! Aku tidak akan
melawanmu lagi." Dia pun bersedakap dan pasrah.
Hui Lian
menahan pedangnya, berdiri dan menodongkan pedangnya, napasnya terengah,
matanya berkilat memandang pemuda itu. "Hay Hay, bangkitlah! Demi Tuhan,
kubunuh engkau kalau tidak bangkit melawan!"
"Hemm,
mengapa kita harus saling membunuh?"
"Keparat!
Engkau... engkau telah menghinaku, telah menolakku, sesudah menggodaku...
engkau... sungguh memandang rendah padaku!"
Hay Hay
menarik napas panjang. "Enci Lian, aku kagum padamu, aku juga... amat suka
padamu, bagaimana mungkin aku berani menghinamu? Enci Lian, bukankah kita
berdua sudah membuktikan bahwa kita saling suka? Kalau bicara tentang
kesalahan, maka kita berdualah yang bersalah, kita berdua yang lemah. Bahkan
menurut aku, kita berdua tidak bersalah, yang bersalah adalah iblis dalam goa
ini yang telah membuat kita lupa diri. Enci Lian, aku tak pernah menghinamu,
melainkan memperingatkanmu bahwa kita telah salah tindak, kita hanya menuruti
nafsu birahi belaka... kalau hal itu kau anggap bersalah, nah, kau bunuhlah
aku...!"
Kemarahan
yang menyelubungi batin Hui Lian sudah menipis dan kini dia pun mulai dapat
menembus seluruh selubung amarah itu dan melihat keadaan yang sebenarnya.
Pemuda ini bukan mempermainkannya, bahkan mengingatkan! Hay Hay tidak
menghinanya, sama sekali tidak. Lemaslah seluruh tubuhnya.
"Tranggg...!"
Pedang
Kiok-hwa-kiam terlepas dari tangannya lantas jatuh ke atas lantai batu.
Tubuhnya terhuyung ke depan dan dia pun sudah menubruk Hay Hay, merangkul
lantas menangis terisak-isak!
Legalah rasa
hati Hay Hay. Dia pun balas merangkul, membelai rambutnya dan dengan rasa
sayang dia mencium dahi yang halus itu. Kembali dia dibikin kagum oleh
keharuman ketika hidungnya menjadi agak basah oleh keringat di dahi itu. Luar
biasa, pikirnya. Gadis ini benar-benar memiliki keringat yang harum!
"Enci
Lian, tenangkan hatimu!" Hay Hay menghibur dengan ramah sekali.
"Engkau tentu dapat merasakan betapa aku sayang kepadamu, aku suka kepadamu
dan engkau adalah seorang wanita yang amat hebat, yang paling hebat di antara
semua wanita yang pernah kujumpai. Akan tetapi kita berdua harus waspada, Enci.
Sebagai orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kegagahan kita harus kuat
menahan dorongan gairah serta nafsu yang dapat menyeret kita ke dalam perbuatan
sesat yang akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan belaka."
Kagum bukan
main hati Hui Lian mendengar ucapan pemuda ini. Seorang pemuda yang masih
begini muda, namun memiliki pandangan yang demikian luasnya.
"Hubungan
badan hanya patut dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, Enci yang
baik, dan hanya baik dilakukan oleh sepasang suami isteri. Kita bukan suami
isteri, dan biar pun ada rasa suka dan kagum, harus diakui bahwa tidak ada
perasaan cinta seperti itu dalam hatiku. Aku hanya mau melakukan hal itu dengan
seorang wanita yang kucinta, sebagai isteriku. Nah, kini engkau tahu bahwa aku
sama sekali tidak menghinamu, malah menghormati dan menghargai dirimu, Enci,
agar kita tidak sampai mabok dan tenggelam ke dalam jurang kehinaan dengan
melakukan perbuatan aib."
Hui Lian
menghentikan tangisnya. Dengan pengerahan sinkang-nya dia tadi telah berhasil
mengusir pula gairah nafsu yang menguasai batinnya. Kini dia dapat melihat
dengan jelas betapa mulia hati pemuda ini yang tak ingin menyeretnya ke dalam
perbuatan tercela. Dia pun tahu bahwa dia tak mencintai pemuda ini, melainkan
tadi hanya terdorong oleh nafsu birahi belaka.
"Terima
kasih, Hay-te... terima kasih, dan kau maafkan aku..."
"Aihh,
akulah yang harus minta maaf, Enci. Atau kita berdua tadi telah menjadi lemah
dan kita berdua yang bersalah. Sudahlah, Enci, kita tetap menjadi sahabat baik
dan selama hidup aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang luar biasa,
cantik menarik dan gagah perkasa, juga berhati mulia..."
"Jangan
terlampau memuji, Hay-te, aku hanya seorang perempuan yang bernasib malang.
Engkau tidak tahu bahwa semuda ini aku telah menjanda sampai dua kali..."
"Ahh...!
Aku tidak percaya, Enci!" Hay Hay benar-benar terkejut dan heran, tidak
percaya. Bagaimana mungkin seorang wanita sehebat ini sampai menjanda dua kali?
Laki-laki tolol barang kali yang menjadi suami-suaminya itu.
Hui Lian
tersenyum, senyum pahit akan tetapi senyum itu menunjukkan bahwa keadaan
batinnya telah normal kembali, semua sisa-sisa penyesalan karena peristiwa tadi
agaknya sudah berhasil dilenyapkan.
"Tidak
percaya namun kenyataannya memang demikian, Hay-te."
Hui Lian
lalu menceritakan tentang perkawinannya dengan Tee Sun, putera kepala daerah
dusun Hek-bun yang amat pencemburu itu. Betapa pernikahan pertama ini, yang
hanya dia lakukan untuk menyenangkan hati suheng-nya yang menjadi pengganti
orang tuanya, telah gagal dan berakhir dengan perceraian karena suami pertama
itu terlalu pencemburu sehingga hal itu menyiksa batinnya.
Kemudian dia
jatuh oleh rayuan seorang laki-laki lainnya, yaitu Su Ta Touw yang menjadi
suaminya ke dua. Betapa kemudian ternyata bahwa suaminya itu seorang laki-laki
mata keranjang, perayu dan perusak wanita, termasuk wanita isteri orang
sehingga kembali dia terpaksa bercerai dari suaminya yang ke dua itu.
"Sejak
itu aku tidak ingin menikah lagi, Hay-te, bahkan aku mulai menaruh rasa tidak
suka terhadap kaum pria yang kuanggap palsu dan perayu belaka. Akan tetapi
ketika bertemu denganmu, aku... aku telah lupa diri..."
Hay Hay
tersenyum. "Laki-laki mana pun tentu akan terpesona oleh kecantikanmu,
Enci Lian. Engkau cantik jelita dan yang istimewa padamu adalah bau harum
keringatmu. Aku sendiri pun terpesona dan tergila-gila."
"Ihhh,
engkau mencoba untuk merayu lagi? Dasar engkau tukang merayu!" kata Hui
Lian, akan tetapi sekali ini sambil tersenyum.
"Bukan
merayu, Enci. Terus terang saja, aku sangat suka dengan keindahan, dan wajah
seorang wanita, juga bentuk tubuhnya merupakan suatu keindahan yang amat luar
biasa bagiku. Kalau aku memujimu, itu bukan merayu, melainkan bicara dengan
sejujurnya!"
Hui Lian
bangkit berdiri. "Sudah, Hay-te, kalau engkau memuji terus, aku akan
keluar dari goa ini dan pergi sekarang juga. Pujian-pujianmu ini merupakan
godaan yang akan dapat membuat aku mabok lagi."
Hay Hay
cepat berdiri dan memberi hormat. "Maafkan, maafkan aku, Enci Lian.
Baiklah, aku berjanji, aku bersumpah, tidak akan memujimu lagi dengan mulut,
melainkan di dalam hati saja."
Hui Lian
tersenyum lagi. "Tidak perlu engkau bersumpah, anak nakal! Cukup berjanji
saja, dan mulai saat ini aku menganggap engkau sebagai adikku sendiri!"
"Terima
kasih, Enci-ku yang baik. Nah, engkau tidurlah. Luka-luka itu baru saja sembuh,
engkau perlu beristirahat."
"Engkau
juga baru saja sembuh dari lukamu. Biarlah engkau yang tidur dulu dan aku yang
berjaga, nanti bergantian."
"Engkau
dulu, Enci."
"Tidak!
Engkau adikku bukan? Nah, seorang Enci harus mengalah, maka biarlah Si Adik
tidur dulu dan Si Enci menjaganya."
"Tapi
aku bukan adik yang masih kecil. Dan meski pun engkau lebih tua, namun engkau
adalah wanita. Tidurlah, Enci dan jangan sungkan. Nanti boleh kita berganti
tugas."
Akhirnya Hui
Lian yang memang merasa lelah sekali itu mau mengalah, dan dia pun tidur di
dekat api unggun, sedangkan Hay Hay duduk bersila sambil berjaga.
Sebentar
kemudian Hui Lian telah tidur pulas. Napasnya halus dan panjang tanda bahwa
tidurnya amat nyenyak. Hay Hay mengambil sehelai selimut dari buntalan
pakaiannya dan menyelimuti tubuh wanita itu, kemudian dia duduk termenung
sambil memandang wajah yang manis itu.
Dia menarik
napas panjang. Sudah dua kali dia mengalami hal yang sama. Pertama kali dengan
Ji Sun Bi. Akan tetapi ketika dia bermesraan dengan Ji Sun Bi, dia tergoda oleh
rayuan wanita iblis itu dan mudah dia menyingkir ketika Ji Sun Bi
memperlihatkan sikap hendak bertindak lebih dari pada sekedar cumbuan belaka.
Namun ketika
tadi dia bercumbuan dengan Hui Lian, keadaan mereka berdua sama saja, sama-sama
tenggelam dan terseret oleh gairah nafsu birahi mereka. Sungguh berbahaya,
pikirnya, membayangkan betapa mereka tadi sudah berada di tepi jurang dan
keduanya nyaris terjerumus ke dalam jurang.
Bagaimana
seandainya tadi terjadi? Dia tentu harus menjadi suami Hui Lian! Kalau tidak,
mereka berdua tentu akan selalu dibayangi perasaan kotor dan hina! Celaka kalau
sudah begitu, pikirnya bergidik.
Sudah
menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dengan wanita harus dibuktikan
dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini? Memang harus diakui bahwa
hubungan sex harus didasari cinta kasih, sebab kalau tidak demikian, maka hubungan
sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan saja, menjadi pemuasan dan pemanjaan
nafsu birahi belaka.
Hubungan sex
tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan
jelaslah bahwa hubungan seperti itu hanya akan menimbulkan duka sebagai imbalan
dari pada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa cinta kasih
menjadi suatu hubungan yang kotor.
Sebaliknya,
hubungan sex yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan
bersih, merupakan pencurahan kasih sayang antara dua manusia yang saling
mencinta, dan hubungan semacam ini menjadi sarana penciptaan manusla baru yang
sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama sekali
tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara, antara anak
dengan orang tua, antara sahabat.
Lewat tengah
malam Hui Lian terbangun dari tidurnya dan ia berganti jaga, menyuruh Hay Hay
beristirahat. Karena dia pun merasa amat lelah, sebentar saja Hay Hay tertidur
pulas dan kini giliran Hui Lian duduk termenung dekat api unggun sambil
mengamati wajah Hay Hay.
Saat
teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, wajah Hui Lian menjadi merah
dengan sendirinya. Dia memang haus akan belaian seorang pria, rindu kepada
seorang pria yang mencintanya. Biar pun Hay Hay seorang pemuda yang tampan
gagah dan menarik hati, tetapi kini dia merasa yakin bahwa bukan Hay Hay orang
yang dirindukannya itu! Pemuda ini jauh lebih muda darinya, dan dia tidak bisa
membayangkan kebahagiaan hidup dengan seorang suami yang masih demikian muda,
sepuluh tahun lebih muda darinya!
Tak bisa
disangkal bahwa dia suka kepada Hay Hay, karena dia tampan, gagah dan lucu,
suka mempunyai Hay Hay sebagai sahabat, sebagai adik, namun bukan sebagai
suami! Diam-diam dia bersyukur bahwa Hay Hay yang tadi juga telah terseret arus
memabokkan dapat sadar dan mencegah terjadinya hubungan badan yang akibatnya
tentu hanya akan membuat mereka berdua merasa malu dan menyesal.
Dia lalu
mengenang kembali pernikahannya dengan dua orang pria itu. Pernikahan yang
pertama terjadi karena dia ingin berbakti kepada suheng-nya. Dan pernikahan
tanpa cinta itu gagal. Kemudian muncullah Su Ta Touw, dan dia pun jatuh oleh
rayuan pemburu yang tinggi kurus dan pincang itu.
Su Ta Touw
tidak tampan, namun pandai merayu dan dia pun jatuh dan menjadi isterinya.
Tanpa cinta pula, hanya sekedar nafsu yang dibangkitkan oleh rayuan pria itu.
Gagal lagi! Ahhh, betapa dia merindukan seorang lelaki yang sungguh-sungguh
dicintanya! Dan yang sungguh-sungguh mencintanya!
Akhirnya
perasaan kesepian dan duka membawa Hui Lian tidur pulas dan dalam tidurnya
beberapa kali dia mengerang serta mengeluh sehingga Hay Hay terbangun dari
tidurnya dan cepat menghampiri. Hay Hay memandang dengan perasaan iba.
Dia kagum
sekali kepada wanita ini, dan alangkah mudahnya jatuh cinta kepada seorang
wanita seperti Hui Lian. Heran sekali dia memikirkan bagaimana seorang wanita
seperti Hui Lian sampai dua kali gagal dalam membina rumah tangga. Tentu dua
orang laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu merupakan orang-orang yang
tidak benar dan agaknya memang tidak secara murni mencinta wanita ini.
Betapa pun
cantiknya seorang wanita, kalau tanpa ada cinta di dalam hati, maka setelah
menjadi milik seorang pria, lambat laun wanita itu akan kehilangan daya tarik
kecantikan yang dimilikinya. Nafsu mendatangkan kebosanan, dan nafsu selalu
haus akan sesuatu yang baru.
"Kasihan
engkau, Enci Lian. Semoga engkau akan segera bertemu dengan seorang pria yang
benar-benar mencintamu dan dapat hidup berbahagia bersamanya." Diam-diam
dia mengeluh dan berdoa.
Hari telah
terang ketika Hui Lian terbangun. Kini tubuh mereka sudah segar kembali. Dia
menggeliat dan membuka mata, melihat Hay Hay masih duduk di dalam goa, akan
tetapi api unggun sudah padam dan pemuda itu duduk di mulut goa, menghadap
keluar. Ketika dia bergerak, agaknya Hay Hay mendengar lantas menengok. Kiranya
pemuda itu sudah nampak segar dengan rambut masih basah.
"Wah,
engkau sudah mandi rupanya! Di mana ada air di tempat ini, Hay-te?"
"Di
luar goa, tidak jauh dari sini, di sebelah kiri goa."
"Aku
hendak mandi!" kata Hui Lian sambil melompat bangun dan keluar dari dalam
goa. Hay Hay menunjukkan sumber air itu, kemudian dia pun kembali ke goa,
menanti Hui Lian yang membersihkan badan dengan air sumber yang dingin sejuk
itu
Mendengar
suara air ketika wanita itu mandi, tidak jauh dari situ, hanya terhalang dengan
batu-batu besar, berdebar rasa jantung Hay Hay. Dia membayangkan wanita yang
cantik dan keringatnya harum itu mandi bertelanjang bulat di bawah air jernih
yang menyiram seluruh tubuhnya yang indah! Gairahnya langsung timbul dan hanya
dengan pengerahan tenaga batinnya saja dia dapat menahan diri untuk tidak
mendekat dan mengintai!
Nafsu
birahi, seperti juga segala nafsu yang silih berganti menguasai diri manusia
seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat,
membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain,
segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Dan ingatan tentang bayangan-bayangan
yang diciptakan oleh pikiran inilah yang sesungguhnya menimbulkan gairah nafsu!
Untuk
membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita lalu diajarkan untuk mengekang dan
mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan
itu pun pikiran kita sendiri?
Nafsu
merupakan hasil pemikiran, sedangkan keinginan mengendalikan juga timbul dari
pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya,
pengendalian itu didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari
nafsu. Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul
dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada
habisnya sampai kita mati!
Setelah kita
tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan
sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting
bagi hidup, melainkan menggunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan
membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan
menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri hati, dan sebagainya.
Bukan timbul dari keinginan untuk membersihkan pikiran, melainkan membiarkan
pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran
sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran. Pengamatan saja tanpa usaha
pengekangan, tanpa usaha merubah, tanpa menilai.
Pengamatan
ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran sehingga akan mendatangkan perubahan.
Pengamatan secara waspada akan membebaskan pikiran kita dari perbuatan yang
menyeleweng. Perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan
luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.
Hui Lian
muncul dari balik batu-batu besar. Segar, bersih, rambutnya yang terurai lepas
masih basah. Sinar matahari pagi menimpanya, menerangi wajahnya, dan Hay Hay
pun terpesona.
Wanita itu
demikian cantik, kedua pipinya yang agaknya tadi digosok keras ketika mandi,
pada tonjolan pipi di bawah mata, menjadi kemerahan laksana diberi pemerah
kulit saja, namun segar tidak seperti kalau dirias. Bibirnya segar merah
membasah, dan kulit muka dan lehernya demikian putih bersih. Rambutnya demikian
hitam dan seolah-olah ada sinar cerah mengelilingi seluruh kepada wanita itu.
"Haiii...
engkau kenapa, Hay-te? Kenapa engkau memandangku seperti itu? Dengan mata
terbelalak dan mulut celangap, melongo seperti orang keheranan. Ada apa
sih?"
Hay Hay
menarik napas panjang. "Aduhhh, Enci Lian. Jika aku belum mengenalmu,
tentu engkau kukira Dewi Pagi sendiri yang baru turun dari langit!"
"Ehh?
Apa maksudmu? Aneh-aneh saja engkau ini!"
"Engkau
demikian cantik, demikian anggun, demikian agung! Wahai... sungguh mati, Enci
Lian, engkau wanita paling cantik yang pernah kulihat di dunia ini...!"
Sepasang
mata itu terbelalak, kedua pipinya menjadi makin merah, akan tetapi Hui Lian
tidak marah, bahkan tertawa terkekeh geli sampai dia menutupi mulut dengan
tangannya.
"Hayaaaa,
wanita yang menjadi isterimu tidak perlu kau beri makan lagi, Hay-te."
"Ehh,
kenapa begitu?"
"Cukup
dengan pujian dan sanjunganmu saja. Pagi sarapan pujian, siang makan rayuan,
malam makan sanjungan, maka kenyanglah dia! Engkau sungguh seorang laki-laki
mata keranjang dan perayu wanita nomor satu di dunia ini!"
Hay Hay
tersenyum. "Enci, apakah salah kalau aku memuji sesuatu yang memang amat
indah? Aku suka dengan keindahan dan aku melihat keindahan di mana-mana,
terutama sekali pada diri dan wajah seorang wanita. Demikian sempurna,
lekuk-lengkungnya, garis-garisnya, demikian... ahh, sukar aku menceritakan
dengan kata-kata..."
Sejenak Hui
Lian menatap wajah pemuda itu, sambil melangkah dekat, kemudian dia pun duduk
di hadapan Hay Hay, di atas batu di luar goa dan sikapnya menjadi serius.
"Hay-te, kalau boleh aku menasehatimu, sebaiknya kalau engkau lekas
mencari jodoh dan kawin saja."
Hay Hay yang
melihat sikap serius juga mendengarkan dengan serius, dan dia terkejut,
memandang dengan heran. "Mengapa begitu, Enci Lian?"
"Karena
kalau tidak, akan berbahaya jadinya."
"Ehh?
Kenapa?"
"Engkau
seorang pemuda yang berwajah tampan, ganteng, tetapi yang paling berbahaya
adalah watakmu yang demikian pandai merayu wanita. Setiap wanita pasti akan
jatuh hati jika bertemu dan berkenalan denganmu, dan hal ini amat tidak baik
karena akhirnya akan timbul kesalah pahaman dan engkau disangka orang penggoda
wanita. Apa bila engkau sudah kawin, berarti akan ada seorang wanita di sisimu,
dan mungkin hal itu akan dapat mengobatimu dari penyakitmu itu."
"Penyakit?
Aku tidak sakit!"
"Maksudku,
penyakit mata keranjang itulah."
Hay Hay yang
tadinya memandang serius dan agak khawatir, sekarang tertawa geli dan gembira.
"Ha-ha-ha-ha, engkau aneh benar, Enci Lian. Bagaimana bisa orang
didorong-dorong kawin? Kawin haruslah berdasarkan cinta, dan sampai saat ini
belum ada wanita yang kucinta. Mengenai penyakit itu, ahh..., aku tidak
menganggapnya sebagai penyakit. Salahkah jika aku suka kepada wanita, kagum
dengan tulus hati, bukan karena pengaruh nafsu? Siapa dapat menyalahkan orang
yang suka dengan kembang yang indah? Bagiku, wanita bagaikan bunga. Seperti
engkau ini, Enci. Engkau seperti setangkai bunga teratai yang amat indah.
Lihatlah sepasang matamu, demikian jernih dan jeli seperti mata seekor burung
merpati. Wajahmu berbentuk demikian manis, memiliki daya tarik yang amat kuat,
terutama sekali bibirmu yang segar merah membasah, kedua pipimu kemerahan
laksana kelopak teratai bermandi embun, rambutmu..."
"Stop!
Stop!" Hui Lian berseru sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua
tangan, akan tetapi sambil tertawa. "Lihat itu! Setiap kali membuka mulut,
terus saja memuji-muji! Engkau benar-benar pria mata keranjang nomor satu di
dunia, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki seperti engkau, Hay-te. Kalau
seseorang memuji wanita, maka biasanya tentu ada udang di balik batu, ada
maunya. Pria merayu untuk menjatuhkan hati wanita, namun engkau tidak demikian.
Engkau memuji-muji karena memang engkau mengagumi wanita, akan tetapi pujianmu
mengalahkan segala perayu-perayu wanita yang berpamrih menjatuhkan dan menguasai."
"Kenapa
engkau menutupi telingamu tadi, Enci Lian? Apakah... apakah kata-kataku tidak
menyenangkan? Apakah engkau tidak senang kalau kecantikanmu kugambarkan dengan
sejujurnya?"
Kembali Hui
Lian tertawa. "Tidak senang? Hi-hi-hik, hati wanita manakah di dunia ini
yang tidak senang mendengar pujian, apa lagi kalau pujian itu diucapkan
sedemikian indahnya oleh seorang pemuda yang seganteng engkau? Aku hanya takut
kalau-kalau akan jatuh pingsan dan menjadi lemas karena pujianmu yang melangit
itu. Sudahlah, Hay-te, kini tiba saatnya kita berpisah."
"Berpisah?
Mengapa, Enci?" Hay Hay terbelalak memandang seperti orang yang sangat
terkejut. Demikian menyenangkan keadaan wanita itu sehingga ketika mendengar
bahwa mereka harus saling berpisah, dia terkejut sekali.
Melihat
keadaan pemuda itu, Hui Lian pun tersenyum. "Anak bodoh, kita bukan
apa-apa, hanya kebetulan bertemu di jalan dan menjadi sahabat. Apa kau sangka
kita harus terus begini dan tidak pernah saling berpisah? Kita masing-masjng
mempunyai urusan sendiri dan aku harus melanjutkan perjalananku. Sudah terlalu
lama perjalananku tertunda oleh ulah gerombolan penjahat itu."
"Akan
tetapi, Enci Lian." Hay Hay yang masih ingin terus bersama wanita itu
membantah, "urusan kita dengan gerombolan itu belum selesai! Kita telah
mereka lukai dan mereka itu jahat sekali. Apakah engkau tak ingin menyerbu lagi
ke sana dan membasmi orang-orang jahat itu? Kalau mereka itu dibiarkan
merajalela, tentu mereka hanya akan mendatangkan kekacauan dan mengganggu
rakyat yang tidak berdosa."
"Engkau
benar, Hay-te, dan memang sudah sepatutnya kalau kita membasmi gerombolan itu.
Akan tetapi ketahuilah bahwa pada saat ini aku mempunyai urusan pribadi yang
amat penting yang harus kuselesaikan lebih dahulu. Oleh karena itu, selamat
berpisah, Hay-te, dan terima kasih atas segalanya. Mudah-mudahan kelak kita
akan dapat saling bertemu pula." Setelah berkata demikian, Hui Lian
melompat ke dalam goa, mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya di
punggung, kemudian dia pun keluar kembali dan setelah memandang sejenak kepada
Hay Hay yang sudah bangkit berdiri, dia pun meloncat pergi.
"Enci
Lian...!" Hay Hay memanggil sambil mengejar. Hui Lian berhenti dan
membalikkan tubuh. Mereka berdiri saling pandang dan Hay Hay melangkah
menghampiri.
"Ada
apa, Hay-te?" Hui Lian bertanya manis, diam-diam dia pun merasa kecewa
bahwa dia harus berpisah dari pemuda yang amat menyenangkan hatinya ini.
"Enci,
sesudah apa yang kita alami bersama, walau pun dalam waktu singkat, sejak dari
sayembara suku bangsa Miao itu hingga kita dikeroyok oleh gerombolan penjahat
dan kita hampir tewas, setelah semua itu, apakah kini kita harus saling
berpisah secara demikian mendadak? Enci, hatiku terasa sangat sedih dan seperti
terbetot ketika engkau tadi pergi meninggalkan aku."
"Hay-te,
ada pertemuan tentu ada perpisahan, hal seperti itu sudah lumrah bukan? Kita
dapat bersyukur bahwa kita berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik dan aku
yakin bahwa kelak kita pasti akan dapat saling berjumpa pula." Wanita itu
lantas menarik napas panjang sambil menyentuh lengan Hay Hay. "Nah,
selamat tinggal Hay-te, jangan murung seperti anak kecil. Ingat bahwa engkau
sudah dewasa dan engkau pemuda ganteng mata keranjang perayu wanita nomor satu
di dunia!" Hui Lian berkelakar untuk membuat hati sahabat barunya itu
gembira, sambil membalik lagi untuk pergi.
Hay Hay
memegang tangannya sehingga wanita itu kembali membalik dan memandang bingung.
"Enci, sebelum kita berpisah, sebelum engkau meninggalkan aku, aku...
ingin... aku ingin minta sesuatu darimu, bolehkah?"
Hui Lian
memandang sambil tersenyum manis, deretan giginya mengintai dari balik bibir
yang merah. "Minta apakah, adikku yang baik?"
"Aku...
aku ingin menciummu untuk kujadikan kenangan tentang dirimu, Enci. Bolehkah?
Jangan... jangan marah lagi..." Hay Hay kelihatan khawatir kalau-kalau
wanita itu menjadi marah.
Akan tetapi
Hui Lian tidak marah. Dia sudah mulai mengenal watak pemuda ugal-ugalan ini.
Seorang pemuda yang romantis sekali, namun berhati baja dan kuat mempertahankan
kebenaran, tidak mudah tersesat. Dia tersenyum lantas mengajukan pipinya.
"Tentu saja boleh. Nah, ciumlah!" katanya.
Melihat
wanita itu menyerahkan atau menyodorkan pipinya yang kemerahan itu, Hay Hay
girang sekali. Ia maju merangkul dan mencium pipi yang hangat itu. Diciumnya
kedua pipi Hui Lian, kemudian bibirnya dan terdengar Hui Lian merintih kemudian
wanita ini balas merangkul dan mencium Hay Hay penuh nafsu bernyala.
Mula-mula
tadi dia seperti berkelakar menyodorkan pipinya, namun ciuman-ciuman Hay Hay
itu ternyata secara wajar membangkitkan gairahnya dan kini dialah yang
menyerang. Hay Hay mencium leher Hui Lian dan menghisap keharuman keringat di
leher itu.
Sudah... cukup... cukup!" Hui
Lian terengah-engah, kedua matanya terpejam dan walau pun dia membisikkan
kata-kata itu, tetapi kedua lengannya tetap saja merangkul. Dengan lembut Hay
Hay melepaskan pelukannya dan melepaskan lingkaran dua lengan Hui Lian yang
bagaikan dua ekor ular membelit lehernya.
"Terima
kasih, Enci Hui Lian. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan engkau, Enci.
Engkau sahabatku yang paling baik dan semoga Thian memberkahimu, semoga engkau
akan mendapat seorang jodoh yang benar-benar mencintamu dan semoga engkau hidup
berbahagia."
Sampai
beberapa saat lamanya Hui Lian masih memejamkan mata dan terengah-engah,
kemudian dia dapat menguasai dirinya dan membuka mata, memandang wajah Hay Hay.
"Aihhh, Hay-te, engkau sungguh seorang laki-laki yang berbahaya sekali.
Selamat tinggal, Hay-te, aku pun selamanya tidak akan pernah melupakanmu.
Selamat tinggal!" Wanita itu meloncat lantas berkelebat lenyap, diikuti
pandang mata Hay Hay yang tiba-tiba menjadi agak basah.
Entah
mengapa, dia merasa kasihan sekali kepada wanita itu, dan harus diakuinya bahwa
berdekatan dengan wanita itu pun merupakan ancaman bahaya yang amat besar
baginya. Setiap kali menyentuh Hui Lian, dia langsung diserang oleh gairah yang
sangat kuat, dan hanya setelah mengerahkan seluruh tenaganya saja dia baru
dapat mempertahankan diri.
Malam tadi
dia nyaris tergelincir, bahkan saat mereka berciuman tadi, nyaris dia tak kuat
bertahan! Memang sebaiknya kalau mereka saling berpisah! Dia pun mengambil
buntalan pakaiannya dan meninggalkan goa itu.
***************
Di puncak
sebuah di antara bukit-bukit Pegunungan Cin-ling-pai berdiri megah
bangunan-bangunan yang dikenal sebagai pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Seperti
telah kita ketahui, sudah terjadi perubahan besar dalam keluarga Cia, yaitu
keluarga yang menjadi pimpinan perkumpulan Cin-ling-pai.
Di dunia
persilatan, perkumpulan Cin-ling-pai amat terkenal semenjak puluhan tahun yang
lalu, maka tidak aneh kalau perkembangan dan perubahan dalam perkumpulan ini
diikuti orang-orang kang-ouw dan merupakan berita yang menarik bagi mereka.
Meski pun
tidak ada orang yang dapat mengetahui sebabnya, akan tetapi dunia kang-ouw
mendengar bahwa menantu dari Ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar wanita Ceng Sui
Cin puteri dari Pendekar Sadis, telah pergi meninggalkan Cin-ling-pai,
meninggalkan keluarga suaminya dan pergi bersama puterinya, anak tunggalnya,
yaitu Cia Kui Hong.
Semenjak itu
tidak ada lagi yang mendengar berita tentang ibu dan anak ini, akan tetapi
keadaan keluarga Ketua Cin-ling-pai selalu diperhatikan orang. Tahulah dunia
kang-ouw bahwa Cia Hui Song, putera tunggal Ketua Cin-ling-pai, kini menikah
lagi dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Siok Bi Nio,
seorang gadis biasa, dan isteri baru ini setahun kemudian melahirkan seorang
anak laki-laki bernama Cia Kui Bu. Dan sejak isteri barunya melahirkan seorang
putera, Ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang menyerahkan kedudukan
ketua perkumpulan itu kepada puteranya, pendekar Cia Hui Song.
Pendekar Cia
Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika oleh ayahnya dia diserahi tugas
sebagai Ketua Cin-ling-pai. Walau pun di perguruan silat atau perkumpulan silat
itu ada peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari
Cin-ling-pai, akan tetapi ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri dan
mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju
untuk menguji kepandaian Cia Hui Song.
Semua tokoh
dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat,
pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani
mengujinya?
Selain
mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, pendekar ini juga
mewarisi banyak ilmu sakti dari mendiang Siang-kiang Lojin, yakni salah seorang
di antara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa! Maka,
pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para
murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya
yang tinggi itu demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.
Pada saat
Ceng Sui Cin, isterinya yang amat dicintanya, pergi meninggalkan Cin-ling-san
bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan
dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari sebulan
lamanya. Akan tetapi, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati
kehendak ayahnya dan dia pun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi
Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.
Seperti
semua perasaan, duka dan penyesalan tercipta dari pikiran dan apa yang timbul
dari pikiran tidaklah dapat bertahan lama. Sang Waktu akan menenggelamkannya,
akan melahapnya.
Demikian
pula dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi
oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu tampak
melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apa lagi setelah isteri barunya
melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya akibat kepergian
Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mengering dan sembuh. Malah sekarang
hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia
tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak
melamun. Akan tetapi dia lebih sering kelihatan tenang.
Satu-satunya
perubahannya yang diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa
kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan sangat ramah, juga sering
ugal-ugalan. Betapa pun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah
garis-garis di antara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung
bibirnya.
Duka selalu
ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang
dicinta, dengan kedudukan, dengan ketenaran, dengan kepandaian, dengan harta
benda dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan
kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat
batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat,
tidak mungkin bebas sama sekali dari pada segala macam kewajiban dengan
keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat.
Akan tetapi
semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya
lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya memang kita mempunyai keluarga, bekerja
untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya.
Namun sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa
depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut tidak akan memenuhi kebutuhan
keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena
kehilangan.
Hal ini
bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita
punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin!
Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, tetapi batin seharusnya bebas, batin
tidak memiliki apa-apa! Mempunyai tapi tidak memiliki! Lahiriah mempunyai,
batiniah tidak memiliki atau bebas.
Cinta
kasihlah yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan
sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu
itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus
berpisah, sesuatu itu seperti dicabut akarnya dan akan membuat hati berdarah
dan terluka!
Sekali lagi,
bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta bila tidak ada
ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan
ikatan hanyalah si-aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong
kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu hanya akan menambah 'isi' dan
arti dari si-aku, membesarkan si-aku.
Kini Cia Hui
Song, Ketua Cin-ling-pai, hidup bersama isteri barunya dan puteranya yang baru
berusia dua tahun, nampaknya hidup dengan tenteram, ada pun Cin-ling-pai
menjadi semakin maju setelah dia menjadi ketuanya. Ayahnya Cia Kong Liang, yang
usianya telah mendekati tujuh puluh tahun, sekarang tak mau mencampuri urusan
dunia lagi melainkan setiap hari tekun bersemedhi di dalam sebuah kamar yang
sunyi di belakang.
Pada saat
masih dipegang oleh ayahnya, Cin-ling-pai dikenal orang sebagai perkumpulan
yang keras dan tanpa mengenal ampun terhadap kejahatan. Dan para murid
Cin-ling-pai sendiri merasakan kekerasan yang menjadi sikap ketua mereka. Cia
Kong Liang memang terlampau keras hati. Ia selalu memegang teguh peraturan
tanpa mengenal kebijaksanaan dan pertimbangan lagi, juga agak tinggi hati,
terlalu mengangkat tinggi nama sendiri dan nama Cin-ling-pai.
Namun kini,
di bawah pimpinan Cia Hui Song terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.
Cia Hui Song bersikap bijaksana, dapat lembut akan tetapi dapat pula tegas,
mudah memaafkan dan menghargai pendapat orang lain. Dan seperti yang diharapkan
oleh para murid Cin-ling-pai, Hui Song mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang
dianggapnya praktis untuk menambah ketangguhan para murid Cin-ling-pai......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment