Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 24
GADIS itu
memang Kok Hui Lian! Sudah semenjak tadi dia mengintai ke dalam ruangan itu.
Dengan ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat, gadis ini
berhasil meloncati pagar tembok tanpa diketahui oleh para anak murid
Cin-ling-pai yang berjaga. Para murid itu memang agak lengah akibat kedatangan
Kui Hong yang membuat mereka merasa girang. Mereka lalu beramai-ramai
membicarakan kemunculan Kui Hong yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa
yang cantik jelita.
Setelah
berhasil memasuki gedung itu, Hui Lian menyelinap dan mencari kamar Cia Kong
Liang, akan tetapi dia mendengar ribut-ribut di dalam ruangan itu maka dia pun
mengintai dan melihat segala yang terjadi di sana. Melihat betapa cucu sendiri
mencela ayah dan kakeknya, diam-diam dia merasa gembira dan menonton saja.
Andai kata
tadi Kui Hong kalah oleh Ling Ling, tentu dia akan turun tangan membantu Kui
Hong yang memusuhi ayah dan kakek sendiri. Akan tetapi Kui Hong menang dan dia
pun hanya mengintai saja. Namun tak diduganya bahwa kemudian Kui Hong luluh
oleh sikap ayahnya dan melihat ini, Hui Lian merasa tiba saatnya untuk keluar.
"Nona
datang lagi secara menggelap, apa kehendakmu, Nona?" tanga Cia Hui Song,
siap untuk bertindak.
Hui Lian
tersenyum mengejek kepada Cia Kong Liang, akan tetapi dia menjura kepada Hui
Song sambil berkata, "Harap Cia Pangcu (Ketua Cia) tidak mencampuri
urusanku ini, karena aku hanya berurusan dengan Kakek Cia Kong Liang
seorang."
"Tapi
dia adalah ayahku!" bantah Hui Song.
"Hui
Song, biarkan Nona ini bicara denganku dan jangan mencampuri," kata Cia
Kong Liang dan dia sudah bangkit berdiri lalu melangkah maju menghadapi wanita
muda yang baru datang ini.
Biar pun
usianya sudah enam puluh delapan tahun, namun ketika dia berdiri di depan Hui Lian,
tubuhnya masih tegap dan tegak, nampak gagah berwibawa. Akan tetapi sepasang
matanya tidaklah angkuh dan keras lagi seperti dahulu, kini matanya bersinar
lembut dan mulutnya yang dulu membayangkan kekerasan hatinya, kini membayangkan
kesabaran.
"Nona,
akulah Cia Kong Liang. Siapakah Nona dan urusan apakah hingga Nona berkeras
hendak bertemu denganku?"
Sejenak Hui
Lian mengamati kakek itu. Melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada
bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya amat
lembut dan suaranya halus ramah. Apa lagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah
ayah pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul
keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini adalah orang kejam yang
telah menyebabkan buntungnya lengan kiri suheng-nya, Ciang Su Kiat.
Begitu
teringat akan suheng-nya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran
memenuhi hati Hui Lian. Kini sinar matanya kembali mencorong ketika dia
memandang pada wajah kakek itu.
"Hemm,
kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik
seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat dan aku datang untuk menegur kelakuanmu
yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai
seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Benar-benar sukar
dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan sebesar Cin-ling-pai, yang mengaku
gagah dan pendekar perkasa, sanggup bertindak sekejam itu, tanpa perkemanusiaan
membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur,
akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggungan jawab atas
perbuatan kejam itu!"
Semua orang
terkejut mendengar ini, lantas memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini
tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena dia merasa sedih
diingatkan tentang peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang
silam itu.
Selama ini,
setelah wataknya berubah, dia tidak pernah berhenti menyesali perbuatannya yang
didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah
dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu
itu.
Ciang Su
Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat. Pada suatu hari,
ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual, agar hasilnya bisa
dipakai untuk mengobati isteri serta anak bungsunya yang sedang sakit keras.
Dia kemudian ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga
orang tua itu menemui ajalnya.
Ciang Su
Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi
usahanya tak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi
buronan. Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan
Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su
Kiat.
Ketika itu,
sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap
dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan
kenapa murid itu mengamuk. Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, kemudian di
depan ketua yang juga menjadi gurunya itu, dia membuntungi lengan kirinya
sendiri! Akan tetapi, walau pun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang
hendak menyerahkan murid itu kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su
Kiat membunuh diri.
Akan tetapi
pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song
mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu. Di sana dia meninggalkan buntungan
lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song.
Teringat
akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam hati Kakek Cia Kong Liang.
Setelah menghela napas panjang Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu,
kemudian terdengar dia berkata dengan suara halus.
"Nona,
tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat
sehingga dia membuntungi lengannya sendiri. Namun percayalah bahwa selama ini
aku sudah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi hal itu sudah terjadi
dan disesalkan bagaimana pun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa
penasaran dan datang ke sini untuk memberi hukuman sebagai pembalasan atas
kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!"
"Nanti
dulu!" Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan dia pun
langsung meloncat ke depan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian lantas
dia memandang kepada Hui Lian dengan kedua alis berkerut dan mata berkilat.
"Enak saja datang-datang engkau menjual lagak dan hendak menghina kakekku!
Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela suheng-mu, nah, sekarang
aku juga berada di sini untuk membela kongkong-ku! Engkau yang datang tanpa
diundang, seperti pencuri yang hendak mencari keributan, sambutlah seranganku
ini!" Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan segera menyerang dengan
dahsyatnya!
Hui Lian
terkejut melihat serangan ini dan dia pun cepat melompat ke belakang sambil
mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam
tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu.
Kui Hong
telah menerjang kembali dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan
mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklum akan kelihaian lawan maka
dia pun menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring saat sepasang pedang
bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa
lengan kanannya langsung tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah dia bahwa
lawan ini memang lihai bukan main.
Cia Kong
Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu,
akan tetapi secara diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai di mana
kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka
mendiamkannya saja. Dan mereka pun terkejut.
Terjadilah
perkelahian pedang yang amat hebat dan biar pun kini Kui Hong telah memiliki
tingkat kepandaian yang amat tinggi, namun gadis itu ternyata mempunyai gerakan
yang aneh dan hebat bukan main. Hui Song yang diam-diam memperhatikannya,
merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah
melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh
karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari
In Liong Nio Nio, salah seorang di antara Delapan Dewa!
Yang membuat
Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian.
Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, laksana seekor burung
saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat, padahal dalam hal ilmu meringankan
tubuh ini dia sudah menerima gemblengan dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong!
Tiba-tiba
terdengar seruan keras. "Enci Hong, aku membantumu!" Dan kini Ling
Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran. Dengan pedang di tangan
gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian.
Makin
hebatlah perkelahian itu sehingga diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum
bukan main karena biar pun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak
terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui
Hong.
Kakek Cia
Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebatnya,
tentu seorang di antara mereka akan terluka parah bila dilanjutkan. Kalau
sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal
karena hal itu terjadi gara-gara dia! Membayangkan hal ini Cia Kong Liang
segera meloncat ke depan sambil berseru nyaring.
"Cukup,
hentikan perkelahian ini! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!"
Dua orang
gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang, maka kini Cia Kong Liang sudah
behadapan dengan Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Secara diam-diam gadis
ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu benar-benar lihai dan meski pun dia
mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tak terlalu mudah baginya untuk
menundukkan mereka. Belum lagi kalau pendekar Cia Hui Song ikut maju! Jika
keluarga itu maju, maka dia bisa celaka!
"Nona,"
kata kakek itu kepada Hui Lian. "Urusan antara aku dengan Ciang Su Kiat
yang sekarang kau wakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku
tersangkut. Karena itu, apa bila engkau masih penasaran dan hendak
menyelesaikan perkara ini dengan cara kekerasan maka akulah yang harus kau
serang, bukan cucu-cucuku. Nah, majulah dan lawanlah aku, Nona!"
Nada suara
Cia Kong Liang halus, akan tetapi menantang karena dia memang sengaja menantang
supaya gadis itu menyerang dia saja, walau pun dia maklum bahwa dia tidak akan
menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela
menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang.
Hui Lian
memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suheng-nya amat besar.
Ia ingin melakukan sesuatu untuk suheng-nya itu, maka dia memegang pedangnya
lebih erat lagi.
"Kakek
Cia, keluarkan senjatamu!" bentaknya.
Cia Kong
Liang tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nona, sudah lama aku mencuci
batinku dari kekerasan, oleh karena itu sudah pantang bagiku untuk membiarkan
tangan ini memegang pedang. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan saja
pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Hati yang
tengah dikeruhkan oleh amarah membuat orang tidak waspada sehingga selalu salah
terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan
itu dia menjadi salah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah
padanya sehingga menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi
semakin merah.
"Bagus!
Kakek sombong, jangan kau salahkan pedangku ini!" Dia pun menerjang sambil
menusukkan pedangnya.
Bukan main
kagetnya hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama
sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnya yang meluncur ke arah
dada! Cepat dia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu
telah meluncur terlalu cepat.
Pada saat
itu pula tampak bayangan orang berkelebat cepat sekali, lalu lengan kanan Hui
Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai
sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang kemudian memandang, dia kaget
bukan kepalang melihat suheng-nya, Ciang Su Kiat telah berdiri di situ dan
ternyata suheng-nya yang tadi sudah menangkis dan menggagalkan serangannya.
"Sumoi,
sarungkan kembali pedangmu!" kata Su Kiat dengan halus.
Melihat
sinar mata suheng-nya yang mengandung penyesalan besar, Hui Lian cepat-cepat
menyarungkan pedangnya kembali. Su Kiat kemudian memegang tangan sumoi-nya, dan
ditariknya sumoi-nya itu untuk diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!
"Locianpwe,
sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Bila
Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya..."
Melihat
bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini
sudah berubah sama sekali. Kini sudah berusia lima puluh tahun lebih dan
sikapnya demikian matang, demikian berwibawa tapi suaranya halus dan tenang.
Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata,
"Su
Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, kalian jangan
membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa
menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku di masa lalu. Bahkan tadi aku rela
mati di ujung pedang Sumoi-mu yang lihai ini untuk menebus kesalahanku
itu."
"Locianpwe,
sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang
lampau dan memang dihendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan
hikmat dari peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf.
Kini kami mohon diri. Sumoi, mari kita pergi." Sambil memegang tangan
sumoi-nya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka
berkelebat kemudian lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan
kagum bukan main.
"Bukan
main!" kakek Cia Kong Liang memuji. "Kini Su Kiat sudah menjadi
seorang yang luar biasa lihainya..."
Hui Song
lalu menepuk pahanya sendiri. "Aihh... sekarang aku teringat! Gadis itu
tentulah puteri Kok Taijin!"
Kui Hong
yang juga merasa kagum pada wanita muda yang lihai bukan main itu segera
bertanya. "Ayah, siapakah itu Kok Taijin?"
"Dia
adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang sangat setia kepada
pemerintah dan menjadi korban pemberontakan."
Hui Song
kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika
itu terjadi pemberontakan dari persekutuan datuk-datuk golongan sesat dan
San-hai-koan diserbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat sehingga
anggota keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia
sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song.
Akan tetapi,
ketika dia melarikan anak perempuan itu, di tengah perjalanan dia dihadang oleh
tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, dan karena dikeroyok tiga orang
sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak
perempuan itu terancam bahaya karena ditangkap seorang di antara para datuk
sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak
perempuan puteri Gubernur Kok itu.
"Nah,
demikianlah. Tadi aku merasa seperti pernah mengenal gadis itu, akan tetapi
lupa lagi. Ternyata dia adalah anak perempuan dahulu itu yang sekarang telah
menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, mereka berdua telah
memiliki kepandaian yang amat hebat!"
Kakek Cia Kong
Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersemedhi dengan perasaan prihatin.
Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih
menekan hatinya.
Sementara
itu Hui Song segera mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap,
terutama sekali Kui Hong diminta untuk menuturkan semua pengalamannya dan
keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah. Juga antara Kui Hong dan
Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok.
Dalam
percakapan ini Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat
mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya,
juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun
lebih, kini hati isterinya itu sudah dingin, mau memaafkannya dan mau kembali
ke Cin-ling-san.
***************
Sementara
itu, di malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat
berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak
bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan sesudah tiba di kaki
gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoi-nya memasuki sebuah kuil tua yang sudah
tidak digunakan lagi. Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu.
Mereka
membuat api unggun dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk saling
pandang di bawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang
hingga akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan
terhadap sumoi-nya itu terobati setelah melihat sumoi-nya dalam keadaan sehat
selamat.
"Sumoi,
aku gembira sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat,"
katanya sederhana.
"Suheng,
engkau pun terlihat sehat. Sungguh tak kuduga akan dapat bertemu denganmu di
tempat ini, Suheng."
"Sumoi,
kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai...?"
Wanita itu
menatap wajah suheng-nya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak
nampak kemarahan pada wajah suheng-nya itu.
"Suheng,
harap maafkan aku..."
"Tak
ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali
mengetahui kenapa engkau pergi ke Cin-ling-pai lalu dengan nekat melakukan
penyerangan terhadap bekas Guruku?"
Sejenak
mereka saling tatap di bawah cahaya api unggun, kemudian Hui Lian menunduk.
"Suheng, salahkah aku? Sudah sejak dulu hatiku terasa bagaikan ditusuk
setiap kali aku memandang lengan kirimu, lalu timbul perasaan dendam yang
semakin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu
sejak dahulu aku memang telah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari
ketua Cin-ling-pai kemudian membalaskan dendam atas penderitaanmu."
Su Kiat tersenyum
sabar. "Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati
terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmahnya yang amat besar.
Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku
tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku
tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku
tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi."
"Dan
aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok,"
sambung Hui Lian.
"Nah,
karena itu tidak ada gunanya kita mendendam, apa lagi bekas guruku nampaknya
sudah begitu menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku
penasaran, mengapa engkau... engkau demikian nekat dan bersusah payah menempuh
bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?"
Kembali
mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian
menarik napas panjang. "Karena... aku merasa berhutang budi kepadamu,
Suheng, aku... aku tak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang
besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk."
"Hemm,
aku tidak pernah merasa melepas budi, Sumoi. Tak perlu engkau berbuat seperti
itu, aku... sudah girang sekali melihat engkau selamat, dan aku... aku selalu
ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi."
Mereka
lantas terdiam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu
mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu mereka merasa
canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali
dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari.
Kemudian Hui
Lian melirik dan memperhatikan wajah suheng-nya dari samping. Nampak olehnya
betapa kurusnya wajah itu, penuh dengan garis-garis muka yang membayangkan
penderitaan batin. Dia merasa kasihan sekali.
"Suheng,
engkau... engkau kenapakah?"
Su Kiat
menoleh dan mereka berpandangan. "Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi."
"Tidak
sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?"
"Tidak,
aku tidak sakit dan sehat-sehat saja."
"Akan
tetapi engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru tampak olehku sekarang betapa
kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih."
Su Kiat
memandang wajah sumoi-nya dengan kedua alis berkerut, terjadi perang di dalam
batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan
memberanikan hatinya karena dia tahu bahwa soalnya adalah mengaku sekarang atau
selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!
"Terus
terang saja memang ada kesedihan di dalam hatiku, Sumoi. Aku merasa kesepian
sekali sejak engkau pergi... bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama
kalinya itu. Aku merasa kesepian dan kehilangan, namun semua itu masih dapat
kuhibur dengan membayangkan engkau hidup bahagia bersama suamimu. Akan tetapi
sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Pernikahanmu gagal, engkau hidup
menderita, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat
engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur
hatiku, Sumoi. Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih dari pada
perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku...
aku..."
Sejak tadi
Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air
menetes turun dari matanya namun dibiarkannya saja, wajahnya menjadi pucat.
"Tapi...
tapi mengapa, Suheng...? Mengapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku...?
Mengapa...?" tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak
tertahan.
"Karena...
karena... demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta kepadamu,
Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang..."
"Suheng...!"
Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suheng-nya, lalu menangis mengguguk seperti
anak kecil sambil merangkul kaki suheng-nya.
Su Kiat
terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya agar jangan berlutut merangkul
kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tiada
kata-kata yang keluar karena setiap kali membuka mulut yang keluar hanyalah
panggilan lirih,
"Suheng..."
disertai isak tangis.
"Sumoi...
maafkan aku. Ahh, aku telah lancang mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung
perasaan hatimu, Sumoi..."
"Suheng,
diam...!" Tiba-tiba wanita muda itu membentak hingga mengejutkan
suheng-nya. Hui Lian sudah berhasil menekan perasaannya dan sekarang dia pun
mengangkat muka, memandang kepada suheng-nya dari balik genangan air mata.
"Mengapa Suheng begitu rendah hati? Aihh, Suheng... Suheng... kenapa tidak
dari dulu engkau katakan itu? Sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya
ucapan itu dari mulutmu!"
"Sumoi...?"
Su Kiat berseru, kaget dan heran.
"Suheng,
kaulah satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Engkau menjadi pengganti
orang tuaku, guruku, saudaraku, sahabatku, engkaulah segala-galanya bagiku.
Tentu saja aku tak berani mengharapkan yang lebih dari pada semua budi yang
telah kau limpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba
untuk membantah, akan tetapi engkau mendesakku sehingga aku tidak berani lagi
menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku... ahhh, aku
bodoh... baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada
orang lain yang akan kucinta lebih dari pada perasaan cintaku kepadamu..."
"Sumoi...!"
Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis pada dada suheng-nya.
"Sumoi, mana aku berani? Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang lelaki
yang cacat, lenganku buntung. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang...
setelah engkau menjadi janda dua kali, sesudah aku melihat pembelaanmu di
Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku..."
"Suheng...
ahhh, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku
lagi... tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini..."
"Tidak,
Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau
adalah milikku dan aku pun milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan
taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku..."
"Dan
engkau suamiku... sampai aku mati, Suheng..."
Sungguh
mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling
mencinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa
seakan-akan baru bangkit dari kematian untuk menyongsong cahaya matahari pagi
yang cerah dan penuh kebahagiaan.
Mereka
bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa
depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang
mau menikahkan mereka, lalu mereka akan hidup sebagai suami isteri dengan
lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk
rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu!
Rumah tangga
atau keluarga yang dibentuk oleh seorang pria dan seorang wanita yang menjadi
suami isteri bukanlah hal yang remeh, bahkan sangat rumit. Laki-laki dan wanita
condong untuk saling tertarik atau yang diistilahkan sebagai 'jatuh cinta'
karena tertarik oleh keindahan wajah dan tubuh. Modal wajah tampan dan cantik,
tubuh yang menarik sama sekali tidak dapat menjamin keutuhan dan keakraban
antara suami isteri.
Ketampanan
dan kecantikan hanyalah merupakan warna bagian luar saja, dan akhirnya dapat
membosankan. Sebaliknya, antara seorang wanita dan seorang pria, untuk dapat
hidup bersama selama puluhan tahun, bahkan sampai mati, modal yang utama adalah
kecocokan dan keserasian watak. Dengan kecocokan watak ini maka perasaan yang
dinamakan cinta itu makin terpupuk dan tersiram, tumbuh dengan sehat dan
segarnya. Akan tetapi kalau watak dan selera bertentangan, akan tak tampak lagi
ketampanan dan kecantikan, dan yang nampak hanyalah bagian-bagian yang buruk
saja.
Pernikahan
Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran
Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati
permintaan suheng-nya. Ternyata kemudian terdapat ketidak cocokan antara suami
isteri ini, karena Tee Sun berwatak sangat pencemburu dan memang tidak ada rasa
cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu. Kemudian terjadilah
perceraian.
Dan
pernikahannya yang ke dua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau
oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang ternyata merupakan seorang perayu
dan penakluk wanita. Pernikahan kedua yang hanya terdorong oleh nafsu ini tak
bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan
kembali terjadi perceraian. Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar
olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suheng-nya
sendiri!
Mereka
berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan
berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang amat mengerikan,
memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Karena itu, ketika dua
hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta di antara mereka dan dengan
penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah!
***************
Sudah
terlampau lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap
sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta
Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama!
Seperti kita
ketahui, Pek Han Siong yang telah meninggalkan perguruan berhasil bertemu
dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ia lalu mendengar bahwa adik kandungnya, Pek
Eng, pergi meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai
pernyataan tak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari
Kang-jiu-pang.
Setelah
melakukan penyelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong dapat menemukan
jejak adiknya itu yang menuju ke selatan. Dari keluarganya dia sudah minta
keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dan sudah mempunyai gambaran
bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun,
bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang.
Wajahnya
hitam manis, matanya agak sipit dan ujung hidungnya yang kecil mancung itu agak
berjungkat, bibirnya merah dan ada lesung pipit pada sebelah kiri mulutnya.
Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan senang
mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban
yang dihias bulu burung. Dari ciri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya
yang menuju ke selatan.
Pada suatu
hari sampailah dia di kota Kui-yang di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan
untuk dapat memperoleh berita mengenai adiknya di kota ini. Hari sudah siang
ketika dia memasuki kota itu dan karena semenjak kemarin malam dia belum makan
apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika
kebetulan lewat di depannya.
Tidak ada
pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli dan dia pun masuk
ke sebuah rumah makan yang setengah ruangannya sudah diisi tamu. Tak kurang
dari tiga meja penuh tamu, setiap meja diisi delapan orang dan sikap mereka itu
kasar. Mereka makan minum sambil bercanda, bicara keras dan tertawa bergelak.
Han Siong
memillih meja kosong di sudut dan sesudah duduk, barulah seorang pelayan
menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan
ketakutan. Dengan kain lap pada pundaknya dia terbongkok-bongkok menghampiri
Han Siong dan berkata dengan suara setengah berbisik,
"Kongcu,
rumah makan kami sedang dipakai pesta. Apa bila Kongcu ingin makan, saya
sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini."
Sambil
mengerutkan alisnya Han Siong memandang pelayan itu. Baginya tidak menjadi
persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat
betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke
arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini
tidak berani menerima tamu baru karena takut kepada orang-orang kasar yang
sedang berpesta pora itu.
"Akan
tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak
kehadiranku?"
"Sama
sekali tidak menolak, Kongcu, tapi hanya saran... ahhh, sudahlah, Kongcu hendak
memesan apakah?"
"Nasi,
tiga macam masakan sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit
saja. Aku lebih suka makan sayur dari pada daging. Dan air teh."
"Arak?"
tanya pelayan itu yang memandang heran.
Han Siong
menggelengkan kepala. Dia lama hidup di dalam kuil, oleh karena itu dia tidak
doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu segera meninggalkan
Han Siong sambil menggelengkan kepala dan mengomel perlahan.
Sementara
itu, munculnya Han Siong di situ telah menarik perhatian beberapa orang yang
berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul kota
Kui-yang dan sekitarnya. Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok
yang bertempat tinggal di kota Kui-yang dan amat terkenal sebagai seorang
jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang
ke empat puluh. Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang
teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang
pukul dan jagoan berkumpul di situ dan berpesta pora.
Melihat
mereka, tidak ada seorang pun berani memasuki rumah makan itu. Begitu melihat
mereka, para tamu yang datang segera keluar lagi dan tidak berani makan di
situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan mereka pun menjadi bangga.
Akan tetapi,
kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu
bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke restoran lain
saja. Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu itu merasa tidak senang
dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang mata kepada mereka. Apa lagi
ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa
daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini
tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka.
Di antara
mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang
kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot yang
melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka, dapat diketahui bahwa mereka
adalah orang-orang yang amat kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui,
pembantu-pembantu yang bisa diandalkan dari kepala jagoan Ciok.
Sesudah
kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu berjalan
menghampiri meja Han Siong. Begitu melihat mereka berdua datang mendekat,
pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong
cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat.
Tentu saja
Han Siong tahu akan sikap kedua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan
lagak sombong itu. Dia pun sudah bersiap siaga dan mengerahkan tenaga untuk
membela diri, akan tetapi pada lahirnya dia bersikap biasa saja, bahkan
pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.
Kini kakak
beradik itu sudah sampai di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali
mereka mengangkat kaki kanan lalu meletakkan kaki itu di atas kursi di dekat
meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan sekarang semua tamu yang sedang
berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu
dan menggembirakan.
Bagi
orang-orang macam ini, perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain
merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan
mereka merupakan suatu kegembiraan. Melihat ulah kedua orang pembantunya,
kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah
terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.
"Heii,
lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Hanya sayur-sayuran
melulu!" kata Giam Hok yang hidungnya pesek.
"Ha-ha-ha-ha,
lihat minumnya juga air teh. Ehh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau
disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha-ha!" kata pula Giam Kui
yang pergi ke sudut di mana terdapat seember besar terisi air. Air ini
disediakan di situ untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat
ember itu.
Melihat ulah
adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksud adiknya, sambil tertawa-tawa lalu membantu
adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu. Han Siong masih makan,
akan tetapi sekarang dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang
menggotong ember kayu berisi air itu, sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya
mengeluarkan sinar aneh yang amat berpengaruh dan kuat sekali.
Sambil
tertawa-tawa Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu, melangkah maju
kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua
isinya mengguyur ke meja... kepala jagoan Ciok! Tentu saja semua orang yang
tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan
menyumpah-nyumpah.
Air kotor
dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja
pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka!
Semua orang segera berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu
meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan dia pun memaki.
"Apakah
kalian sudah menjadi gila?" bentak Ciok dengan marah sekali.
Para jagoan
lain menjadi marah pula, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana kedua orang
kakak beradik itu berani melakukan kekurang ajaran seperti itu terhadap mereka.
Dan dua orang itu pun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat
kenyataan yang tidak masuk akal itu.
Ternyata
mereka sudah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi
amat jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang
makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang
kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu
akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!
"Tapi...
tapi... Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!"
Giam Hok berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Han Siong.
Giam Kui
merasa heran sekali dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan
kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat
ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.
"Bocah
dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!"
kata Giam Kui.
"Betul,
dia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi!" kata pula Giam
Hok.
Orang she
Ciok yang tadinya marah-marah kini memandang dengan heran. Dia pun tidak
percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu
telah sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada
teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu.
Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya.
Maka,
seperti yang lain, dia pun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang
menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali.
Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka.
Akan tetapi
pemuda itu agaknya tak peduli, terus melanjutkan makan dan hanya menoleh
sejenak ke arah mereka berdua. Dan terjadilah keanehan ke dua yang oleh para
jagoan itu dianggap tidak masuk akal. Giam Hok dan Giam Kui mulai menerjang dan
memukul, akan tetapi sama sekali bukan kepada pemuda itu, melainkan saling
menyerang sendiri! Kakak beradik itu berkelahi mati-matian, saling gebuk dan
saling tendang.
"Keparat,
kuhancurkan kepalamu!" bentak Giam Hok sambil dia menjotos ke arah kepala
Giam Kui yang cepat mengelak, akan tetapi tetap saja menyerempet pipi kirinya.
Dia pun terpelantinig dan pipinya bengkak sehingga marahlah Giam Kui.
"Jahanam,
kupecahkan dadamu!" Dia pun cepat balas menonjok ke arah dada kakaknya
sendiri.
Giam Hok
menangkis, akan tetapi sebuah tendangan adiknya mengenai perutnya hingga
membuat dia terjungkal kemudian memegangi perut yang mendadak terasa mulas itu.
Dia menjadi marah dan kembali mereka saling serang, saling pukul dan saling
tendang.
Tentu saja
kepala jagoan beserta para tamunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut
melongo. Bagaimana mungkin ini? Pemuda itu masih enak-enak makan dan kakak
beradik itu sudah saling hantam mati-matian.
"Giam
Hok! Giam Kui! Apakah kalian sudah gila? Hentikan perkelahian itu!" bentak
kepala jagoan Ciok sambil loncat mendekat.
Kini kedua
orang kakak beradik itu sedang saling cengkeram dan saling jambak. Tiba-tiba
mereka tersentak sadar dan masing-masing mengeluarkan seruan heran ketika
mendapat kenyataan bahwa mereka telah saling serang!
"Kui-te
(Adik Kui), kenapa engkau menyerang aku?!" bentak Giam Hok.
"Tapi...
tapi... bagaimana ini bisa terjadi? Aku tadi memukuli petani busuk itu!"
"Aku
juga! Apa yang sudah terjadi...?" Keduanya terbelalak dan kini menoleh
kepada Han Siong yang telah menyelesaikan makannya dan kini dengan sikap tenang
sedang bangkit dari duduknya untuk menghadapi mereka.
Kepala
jagoan Ciok adalah orang yang berpengalaman di dunia persilatan. Sekarang dia
mengerti apa yang sudah terjadi. Pemuda yang tidak makan daging itu tentulah
seorang ahli sihir! Seperti orang-orang Pek-lian-kauw!
"Celaka,
kalian telah dipermainkan dengan sihir!" teriaknya.
Dua orang
kakak beradik itu marah sekali. "Bunuh tukang sihir!" bentak mereka
dan dua puluh lebih orang yang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan tukang-tukang
pukul itu kini serentak maju mengepung dan menyerang Han Siong yang berdiri
dengan tenang.
Kembali
terjadi hal yang aneh luar biasa, dan sekali ini para pelayan rumah makan yang
bersembunyi di balik pintu dan tiang menjadi penonton yang merasa terheran-heran
saat melihat betapa para tukang pukul itu kini saling berkelahi dengan
mati-matian! Sedangkan pemuda itu masih tetap berdiri di sudut, sama sekali
tidak diganggu dan nampak tenang-tenang saja.
Bahkan kini
Han Siong menghampiri meja kasir dan melihat semua pelayan bersembunyi, dia
tersenyum. "Mengapa kalian sembunyi? Hayo hitung berapa yang harus
kubayar."
Karena kini
Han Siong tidak lagi memperhatikan kepada para tukang pukul, dan tidak lagi
mengerahkan kekuatan sihirnya, maka kepala jagoan Ciok sadar lebih dulu dan dia
amat terkejut melihat semua tamunya sedang saling hantam.
"Tahan...!
Kita berkelahi antara teman sendiri!" Bentakan ini menyadarkan mereka,
maka semua orang lalu menghentikan perkelahian, mengusap-usap bagian tubuh yang
terpukul di dalam perkelahian kacau-balau tadi dan kini mereka semua memandang
ke arah Han Siong yang sudah membayar harga makanan yang dipesannya tadi.
Han Siong
menghadapi mereka dan melihat sikap Ciok Cun, dia dapat menduga bahwa orang
yang perutnya gendut dan kepalanya botak inilah agaknya yang menjadi pemimpin
gerombolan orang kasar itu. "Sobat, engkau beserta teman-temanmu telah
merusak meja kursi dan mangkok piring, maka sudah sepatutnya kalau kalian
mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan ini."
Ciok Cun,
kepala jagoan itu, yang telah menyadari bahwa pemuda ini yang semenjak tadi
telah mempermainkan mereka semua, kini melangkah maju. Mukanya merah bukan main
karena dia sudah marah sekali.
"Bocah
setan! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan. Engkau telah
mempermainkan kami, akan tetapi aku tidak takut dan aku harus menghajarmu
sendiri!"
Orang
berperut gendut yang kepalanya botak ini segera melangkah maju lalu mengayun
tangannya untuk menampar ke arah wajah Han Siong yang sama sekali tidak
mengelak atau menangkis, melainkan hanya memandang dengan matanya yang
mencorong.
"Plakkk!"
Pipi itu
kena di tampar dan menjadi matang biru. Pipi Ciok Cun! Dia mengaduh-aduh dan
mengusap pipinya yang ditamparnya tadi. Semua orang melihat betapa Ciok Cun
sudah menampar dengan kuatnya, akan tetapi anehnya, yang ditampar bukan muka
pemuda itu, melainkan mukanya sendiri! Agaknya hal ini masih belum membuat
kepala jagoan Ciok menjadi jera, dia menyerang lagi dengan hantaman ke arah
dada lawan.
"Bukkk!"
Ciok Cun
terbatuk-batuk saking kerasnya pukulan tangan kanannya menghantam dada sendiri.
Dia masih nekat, beberapa kali masih menyerang akan tetapi selalu yang dipukul
adalah tubuhnya sendiri dan ketika dia menyerang ke arah kepala lawan, kepalan
kirinya menghantam kepala sendiri sehingga dia pun roboh! Dia mencoba bangun,
menggoyang-goyangkan kepalanya yang menjadi pening dan sepasang matanya menjadi
juling karena segala sesuatu di sekelilingnya nampak berputaran!
Han Siong
masih sabar menghadapi mereka dan kini terdengar dia berkata, "Harap
kalian sadar bahwa kalian sendiri yang mencari penyakit, suka mengganggu orang
lain. Sekali ini aku mengampuni kalian asal saja kalian mau memberi tahukan
kepadaku tentang diri seorang gadis yang mungkin baru-baru ini singgah di kota
ini. Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, hitam manis, tinggi ramping,
ada lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, pakaiannya seperti pakaian wanita
suku bangsa Yi, memakai topi sorban berhiaskan bulu burung, namanya Pek Eng.
Apakah di antara kalian ada yang mengetahuinya?"
Sekarang
Ciok Cun sudah bangkit kembali dan mendengar pertanyaan Han Siong itu, dia
tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, ternyata engkau mencari gadis itu? Bocah
setan, biar aku tahu sekali pun, takkan kuberi tahukan kepadamu! Engkau sudah
menghina kami dengan ilmu iblismu, dan mengapa tak kau pergunakan ilmu iblismu
untuk menemukan gadis itu? Ha-ha-ha!"
Karena tidak
berdaya membalas kepada pemuda yang mempunyai ilmu sihir itu, Ciok Cun lantas
mentertawakannya. Dan teman-temannya yang tadi juga telah kebagian, ada yang
bengkak-bengkak dan ada yang babak belur akibat saling hantam sendiri, kini
membantu kepala jagoan itu mentertawakan Han Siong!
Pemuda sudah
merasa girang sekali mendengar bahwa orang gendut botak di depannya ini tahu
tentang adiknya. Maka dia pun segera mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Baiklah, kalian tertawalah sepuasnya, jika sudah puas dan ingin bercerita
tentang gadis itu, bilang saja padaku. Aku masih sabar menunggu." Dia pun
duduk kembali.
Dan
terjadilah keanehan lagi. Ciok Cun serta teman-temannya masih tertawa-tawa,
akan tetapi kini suara ketawa mereka itu makin menjadi-jadi, bergelak bahkan
berkakakan. Dan walau pun mulut mereka terbuka mengeluarkan suara ketawa, namun
ada sesuatu pada pandang mata mereka. Mata itu terbelalak dan membayangkan rasa
kaget dan ketakutan, namun suara ketawa mereka semakin hebat saja. Kini mereka
bahkan terpingkal-pingkal, memegangi perut mereka dan ada pula yang telah jatuh
bergulingan ke atas lantai sambil masih terus tertawa.
Melihat
keadaan ini, seorang pelayan merasa geli sehingga dia pun tidak dapat menahan
ketawanya. Akan tetapi sekali dia tertawa, dia pun langsung ikut hanyut dan
terus tertawa terpingkal-pingkal pula sampai terguling dari atas bangkunya!
Melihat ini, kawan-kawan mereka terkejut dan mereka tidak berani tertawa.
Agaknya telah terjangkit penyakit aneh di tempat itu, penyakit tertawa!
Ciok Cun
maklum bahwa keadaan ini tidak sewajarnya. Dia berusaha menahan diri, akan
tetapi makin ditahan, semakin kuatlah dorongan untuk tertawa sehingga akhirnya
dia pun terjungkal dan bergulingan. Keringat dingin lantas membasahi seluruh
tubuh dan Ciok Cun merasa betapa napasnya sesak, perutnya sakit dan kepalanya
pening, namun dia terus tertwa.
Barulah dia
ketakutan, apa lagi melihat betapa di antara teman-temannya ada yang sudah
jatuh pingsan! Dia lalu merangkak ke arah Han Siong, sambil bertiarap dan terus
tertawa, lantas dia berkata, "Orang... ha-ha, orang muda... heh-heh-heh...
aku... aku menyerah... ha-ha-ha... aku mau memberi tahu... Hoah-ha-ha...
mengenai gadis itu... ha-ha-ha!"
Han Siong
merasa sudah cukup memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu dan dia
memang membutuhkan keterangan tentang adiknya, maka dia pun cepat menyimpan
kekuatan sihirnya yang menggelitik batin mereka hingga mereka tertawa-tawa
tanpa bisa dihentikan itu. Begitu dia menarik kembali kekuatannya, maka semua
orang yang tadinya tertawa-tawa sampai ada yang bergulingan di lantai dengan
napas hampir putus, tiba-tiba saja berhenti tertawa.
Suasana
menjadi aneh dan sunyi. Sesudah tadi terdengar suara ketawa riuh rendah, kini
mereka hanya saling pandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan napas
terengah-engah, peluh pun bercucuran. Kini Ciok Cun menjadi jeri dan maklumlah
dia dan kawan-kawannya tak akan mampu menandingi pemuda yang luar biasa ini.
Dia pun bangkit dan memberi hormat kepada Han Siong, diturut oleh
kawan-kawannya.
"Harap
Kongcu (Tuan Muda) suka memaafkan kami yang tidak mengenal orang pandai dan
telah berani main-main," katanya.
"Sudahlah,
semua yang terjadi adalah akibat ulah kalian sendiri, mudah-mudahan menjadi
pelajaran supaya lain kali kalian tak bersikap sewenang-wenang mengganggu orang
lain. Nah, yang kuminta sekarang adalah keteranganmu tentang gadis yang
kutanyakan tadi. Betulkah engkau pernah melihatnya dan tahu di mana dia
berada?"
Melihat
sikap Han Siong yang sangat halus biar pun jelas pemuda itu telah mengalahkan
mereka, Ciok Cun menjadi semakin tunduk dan dia tidak lagi berani main-main.
Selain itu, juga dia melihat kesempatan untuk membalas kekalahannya terhadap
pemuda itu melalui orang-orang yang jauh lebih lihai.
"Kami
memang melihat gadis yang Kongcu maksudkan itu. Bukankah dia seorang gadis suku
bangsa Yi, memakai topi sorban berhiaskan bulu burung, berusia kurang lebih
tujuh belas tahun, hitam manis, dengan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya,
jenaka, galak dan berani, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, katanya dari
Pek-sim-pang?"
"Benar
sekali!" kata Han Siong gembira karena jelas bahwa yang dimaksudkan orang
ini tentulah adik kandungnya itu!
"Kurang
lebih dua pekan yang lalu dia berada di kota ini, akan tetapi dia bentrok
dengan orang-orangnya Lam-hai giam-lo lalu dia ditawan dan diajak pergi ke
selatan!"
Tentu saja
berita ini mengejutkan Han Siong. "Lam-hai Giam-lo?" pikirnya dalam
hati dan teringatlah dia akan hwesio tua bermuka kuda yang gagu dan tuli di
kuil Siauw-lim-pai itu!
Penjahat
besar, datuk kaum sesat yang sangat lihai sehingga kalau saja tidak ada kedua
orang gurunya yang menjadi orang-orang hukuman di kuil itu, tentu semua hwesio
di kuil itu akan tewas olehnya! Setelah dikalahkan oleh dua orang gurunya,
Lam-hai Giam-lo lalu melarikan diri dan kini adik kandungnya tertawan dan
dibawa pergi orang-orangnya yang menjadi anak buah Lam-hai Giam-lo. Tentu saja
dia terkejut dan merasa khawatir sekali.
"Ke
mana dia dibawa dan di mana tinggalnya Lam-hai Giam-lo?" tanyanya dengan
suara dan sikap tenang.
Kini Ciok
Cun memandang wajah pemuda itu seperti orang yang keheranan. Pemuda ini memiliki
ilmu tinggi dan aneh, akan tetapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya Lam-hai
Giam-lo! Akan tetapi dia tidak berani mencela atau mentertawakan.
"Lam-hai
Giam-lo berada di daerah pegunungan di Propinsi Yunan, di Lembah Yang-ce-kiang.
Semua orang di daerah itu mengenal namanya dan tahu di mana tokoh itu
tinggal."
Han Siong
mengangguk. "Baiklah, terima kasih atas petunjukmu. Akan tetapi sekali
lagi, kuharap kalian sadar bahwa mengganggu orang lain dengan mengandalkan
kekerasan dan kekuasaan hanya akan mencelakakan diri sendiri. Nah, selamat
tinggal!"
Han Siong
kemudian keluar dari restoran itu, diikuti pandang mata mereka yang tadi telah
merasakan kelihaiannya.
***************
Sekarang
mari kita ikuti perjalanan Pek Eng yang jejaknya sedang dicari oleh Han Siong.
Seperti kita ketahui, gadis ini meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit dan
hanya meninggalkan surat bahwa dia hendak pergi mencari kakak kandungnya, Pek
Han Siong.
Sebetulnya
penyebab utama dari kepergiannya tanpa minta ijin orang tua itu bukan untuk
mencari kakaknya, tapi dia merasa penasaran dan marah karena orang tuanya
menerima pinangan keluarga Song. Dia sama sekali tidak mencinta pemuda she Song
itu meski pun harus diakuinya bahwa Song Bu Hok adalah seorang pemuda yang
gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, putera Ketua
Kang-jiu-pang yang amat terkenal pula.
Pek Eng
tidak menganggap bahwa pilihan orang tuanya itu keliru karena memang sudah sepatutnya
jika dia berjodoh dengan Song Bu Hok. Keduanya putera ketua perkumpulan besar
dan di antara orang tua mereka sudah terdapat pertalian persahabatan yang erat.
Tetapi dia
sama sekali tidak mencinta Song Bu Hok. Hal ini terutama sekali dirasakannya
setelah dia bertemu dengan Hay Hay! Dia sangat tertarik dan jatuh cinta kepada
pemuda yang ugal-ugalan itu, bukan karena dia pernah mencium Hay Hay karena dia
menyangka pemuda itu adalah kakaknya, bukan pula karena tingkat kepandaian
pemuda itu demikian tingginya sehingga dia merasa amat kagum. Atau mungkin juga
ada sebagian dari kedua kenyataan itu yang memperkuat perasaan cintanya. Akan
tetapi yang jelas, dia tak dapat melupakan Ha Hay lagi!
Itulah
sebabnya maka dia lantas berbuat nekat untuk pergi tanpa pamit dan ingin
mencari kakaknya, kepada siapa dia akan membuka semua isi hatinya dan
mengharapkan kakak kandungnya itu akan mau membelanya. Ia membawa bekal uang
secukupnya, beberapa stel pakaian lengkap yang dibuntalnya di dalam sebuah
bungkusan kain tebal, dan tidak lupa membawa sebatang pedang. Dengan pakaian
sebagai seorang gadis suku bangsa Yi, kemudian dia pun melakukan perjalanan
menuju ke selatan.
Tidaklah
aneh jika di sepanjang perjalanannya Pek Eng menjadi perhatian banyak orang,
terutama sekali para pria yang melihatnya melakukan perjalanan seorang diri.
Meski pun kulitnya agak gelap, tetapi dara ini cantik manis, terutama sekali
mata yang agak sipit itu bersinar tajam, dan hidungnya dapat mempesona hati
seorang laki-laki dengan bentuknya yang mungil dan ujungnya agak naik sedikit.
Bibirnya merah basah dan pada pipi kirinya terdapat sebuah lesung pipit yang
nampak jelas kalau tersenyum.
Bentuk
tubuhnya yang tinggi ramping dengan kaki yang panjang juga memiliki daya tarik
tersendiri, dengan lekuk-lengkung tubuh gadis yang mulai dewasa. Dari pandangan
mata dan bibir yang selalu dihias senyum itu dapat diketahui bahwa gadis ini
lincah, jenaka dan gembira, akan tetapi juga memiliki ketabahan besar.
Orang-orang
yang melihat betapa gadis ini membawa pedang di punggungnya, merasa agak segan
untuk mengganggu dan biar pun ada pula pria yang merasa dirinya kuat dan sudah
biasa mengganggu wanita mencoba untuk bersikap kurang ajar, namun Pek Eng dapat
mengatasinya bahkan telah merobohkan beberapa orang pengganggu.
Pada suatu
hari tibalah dia di kota Kui-yang. Seperti yang selalu dilakukan sejak dia
pergi meninggalkan rumah, setiap kali ada kesempatan dia lantas bertanya-tanya
kepada orang tentang dua orang pemuda, yaitu Pek Han Siong dan Hay Hay! Dia
sendiri tidak tahu apa yang akan dia katakan atau dia lakukan apa bila dia
berhasil menemukan Hay Hay. Akan tetapi dia ingin sekali bertemu kembali dengan
pemuda itu.
Di kota
Kui-yang Pek Eng juga bertanya-tanya, ketika dia berjalan-jalan dan melihat-lihat
keadaan kota itu di waktu senja, yaitu sesudah dia mendapatkan sebuah kamar di
rumah penginapan. Dia hanya meninggalkan buntalan pakaiannya saja di kamar,
namun semua uangnya dia bawa, demikian pula pedangnya.
Perhatian
Pek Eng tertarik sekali ketika melihat sebuah rumah besar yang dikelilingi oleh
pagar tembok tebal dan tinggi, dan di depan pintu gerbangnya terdapat papan
nama yang bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi 鈥楬UI HOUW
BU KOAN鈥? (Perguruan Silat Macan Terbang).
Apa lagi ketika dari pintu gerbang yang terbuka itu dia dapat melihat belasan
orang sedang berlatih gerakan silat, dipimpin oleh seorang lelaki tinggi besar.
Seperti juga pelatihnya, belasan orang itu hanya mengenakan celana sampai ke
bawah lutut, ada pun tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan tubuh yang
kokoh kuat penuh otot-otot melingkar-lingkar.
Ahhh,
perguruan silat, pikir Pek Eng. Mungkin di antara mereka itu ada yang mengenal
kakaknya atau Hay Hay. Bukankah kakaknya, seperti yang diharapkan oleh
keluarganya, mempunyai ilmu silat tinggi dan Hay Hay tidak perlu diragukan lagi
adalah seorang yang amat sakti? Memang sudah sepatutnya kalau orang-orang
seperti kakaknya atau Hay Hay dikenal oleh golongan persilatan. Dengan pikiran
ini maka tanpa ragu lagi Pek Eng segera memasuki pintu gerbang yang terbuka itu
lantas dia pun tiba di pelataran depan, di mana belasan orang itu sedang
melatih gerakan pukulan sambil mengeluarkan suara bentakan-bentakan nyaring.
Ketika
belasan orang yang rata-rata masih muda, berusia antara dua puluh sampai tiga
puluh tahun itu melihat betapa tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang manis
dari pintu depan, tentu saja mereka semua memandang dengan kagum dan gerakan
mereka kacau, juga bentakan-bentakan itu tergagap dan tidak nyaring lagi,
bahkan sebagian dari mereka kini menghentikan gerakan silat mereka lantas
berdiri bengong memandang ke arah Pek Eng dengan senyum-senyum ceriwis!
Melihat
keadaan para murid itu, pelatihnya menjadi heran dan dia pun menengok. Pelatih
itu sudah lebih tua, usianya kurang lebih empat puluh tahun dan dia pun merasa
terkejut ketika melihat seorang gadis berdiri di situ, gadis cantik manis yang
tidak dikenalnya.
"Aihh,
pantas kalian menjadi kacau. Kiranya ada seorang bidadari muncul di sini!"
kata Si Pelatih yang ternyata sikapnya lebih ceriwis lagi dari para murid itu.
Bahkan kini dengan langkah lebar dia menghampiri Pek Eng dan berdiri di depan
Pek Eng.
Karena
pelatih itu berdiri terlalu dekat sehingga bau apek dan tidak enak yang keluar
dari tubuh setengah telanjang berkeringat itu menyerang hidung Pek Eng, gadis
ini langsung mundur dua langkah dan hidungnya yang mungil bergerak-gerak lucu.
"Hai,
Nona manis, siapakah engkau dan apa keperluanmu masuk ke tempat latihan kami
ini?" tegur Si Pelatih sambil menyeringai lebar seperti merasa lucu
melihat pedang yang tergantung di punggung gadis pengunjung itu.
"Hati-hati,
Toako. Lihat pedang di punggungnya itu! Jangan-jangan dia seorang pendekar
pedang yang lihai sekali!" terdengar suara salah seorang di antara para
murid, akan tetapi karena nada suaranya jelas mengandung ejekan, semua orang
tertawa dan pelatih yang disebut Toako (kakak) itu pun tertawa bergelak.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment