Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 37
HATI Hay Hay
gelisah bukan kepalang. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh
memperkosa Ling Ling! Tidak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah ketika
sampai di tepi telaga dia sudah melihat sendiri betapa Ling Ling berada dalam
keadaan telanjang bulat dan tertotok?
Tak dapat
disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang lelaki
datang, lalu menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lantas
siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan wajahnya halus seperti dia pula!
Tentu ada seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu.
Can Sun Hok?
Pemuda itu baru saja muncul. Hemmm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan
perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia,
bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis mau pun jenggot. Hanya itu yang
dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tetapi, kalau benar Can Sun Hok,
kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor
ular yang mendatangi penggebuk! Lalu siapa?
Hay Hay
berlari keluar masuk hutan. Pikirannya begitu ruwet sehingga dia yang biasanya
waspada tidak melihat bahwa dari arah depan datang seorang gadis, yang juga
berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.
"Hay-ko...!
Ahh, betapa aku telah mencari-carimu, Hay-ko...!" Dan gadis itu langsung
saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis
itu.
"Eng-moi,
tenanglah, diamlah. Ada apa, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah
karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, pada waktu malam di
dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan
penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok
nafsu birahi.
Pek Eng
menangis dengan hati lega karena dia telah dapat menemukan kekasihnya, dan jika
melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab atas pebuatannya.
Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya
mereda, dia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.
"Hay-ko,
mengapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja sesudah malam
kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun lantas mencarimu, akan
tetapi hanya mendengar bahwa malam itu juga engkau telah pergi tanpa pamit!
Hay-ko, mengapa engkau pergi meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu,
keluar masuk hutan..." Gadis itu lalu menangis lagi.
Hay Hay
menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu
sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, kemudian melangkah mundur
dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.
"Maafkan
aku, Eng-moi. Malam itu... ahh, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam
diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ahh, aku merasa begitu menyesal
sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku,
Eng-moi."
Sungguh
aneh! Gadis itu memandang padanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan
mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih
heran lagi.
"Hay-ko,
tidak ada yang harus dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa
minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki
bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko,
dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi hidupku. Marilah,
Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimana
pun juga dia adalah guruku, lalu kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan
untuk memberi tahu kepada ayah ibuku tentang perjodohan kita."
Hay Hay
terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ?
Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk
mengikat tali perjodohan..., ahhh, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa
malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kau maafkanlah aku,
tapi bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan..."
Hay Hay
menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah
gadis itu menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak dan bibirnya
menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau bagaikan
orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti
orang terserang demam.
"Hay-ko...
apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... sesudah apa yang kau... kita
lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"
"Eng-moi!
Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali. Aku
sudah minta maaf, akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan
dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum
terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan segera melarikan diri
"
"Apa?
Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian
dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti dengan sikapmu ini. Bukankah aku
sudah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan
sebaliknya aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan
engkau tak ingin diresmikan dalam sebuah pernikahan? Aku tak percaya bahwa
engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa sesudah aku menyerahkan
jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku..." Wajah
itu semakin pucat.
Kini wajah
Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu?
Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, lalu masuk
ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ saja, aku lalu sadar dan aku
lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita..."
"Benar
sekali! Tapi tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku
menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu..."
"Tidak!
Aku tidak pernah kembali ke pondok!"
"Hay-ko...!"
Pek Eng menjerit, menutupi mulutnya dengan tangan kanan yang menggigil,
mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tak
mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.
Sementara
itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng,
dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.
"Eng-moi,
katakanlah, siapakah yang memasuki pondok itu? Yang pasti, aku tidak pernah
kembali dan..."
"Orang
itu adalah engkau!" Pek Eng menjerit.
"Apa
engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah
pondok itu amat gelap?"
"Aku
tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"
Mendadak Hay
Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan sanggup
menaklukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong?
Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong
juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang
melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng.
Mungkin
karena pemuda itu memang jahat dan cabul. Atau lebih masuk akal lagi apa bila
perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau
sebagai akal untuk mengikatnya dengan persekutuan itu.
"Ki
Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari
situ.
"Hay-ko...
ouhhhh... Hay-ko...!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan dia pun
terkulai pingsan di tengah hutan itu.
Keraguan
yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau
ternyata bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat
menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya.
Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan
melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu
untuk selamanya, sebagai isterinya.
Nampaknya
menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita
sebagai manusia ini penuh dengan duka! Bila kita susun dalam ingatan dan
melihat kenyataan, hidup ini hanyalah menjadi panggung sandiwara di mana kita
masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadang tertawa dan kadang-kadang
menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis!
Betapa hidup
ini penuh dengan kekecewaan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, konflik-konflik
batin dan konflik lahir, dan hanya diseling dengan sedikit saja kegembiraan
bagai selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari
tanda yang dibawa seorang bayi ketika sedang dilahirkan? Bayi, calon manusia
itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena
dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita!
Dan betapa
tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu
tersenyum di dalam kematiannya, seakan-akan wajah itu membayangkan suatu kelegaan
bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!
Dari manakah
timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, khawatir, sesal,
pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa
semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si AKU yang
bersemayam dalam pikiran, yang memiliki seribu satu macam keinginan untuk
mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.
Apa bila
keinginan itu tidak terpenuhi maka timbullah kecewa. Apa bila kepentingan diri
terancam maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk,
timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu
biasanya kita lari dari derita ini.
Kita ingin
pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, dan
kadang kita lari bersembunyi di balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk
sekedar melupakan kesusahan. Akan tetapi pelarian dari kenyataan ini hanya
membentuk sebuah lingkaran setan.
Sesudah
mendapat hiburan, untuk sejenak kita lupa akan kedukaan itu, namun sesudah
hiburan memudar, maka kedukaan itu pun akan nampak kembali, menghantui
perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri!
Pikiran sendiri!
Yang paling
tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan itu. Mengamati,
mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa
berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu,
bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, akan tetapi
sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran.
Dan landasan
dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan semua
itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang memiliki kuasa untuk
membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Cahaya Illahi yang
juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala
macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang
menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.
***************
Rasanya aneh
sekali melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih
dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil
berlutut. Apa lagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah
perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang mempunyai ilmu kepandaian
tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang
sangat terkenal!
Dia adalah
Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi pada waktu itu dia seperti seorang anak kecil,
menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu.
Manusia
memang lemah, karena itu sikap orang gagah ini sama sekali tidak aneh. Ilmu
kepandaian tinggi tak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan
iba diri yang sangat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran serta
pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan.
Ada orang
yang berusaha menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui
kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi
makanan setiap manusia bila mana dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu
keakuannya.
Kakek dan
nenek itu menghela napas panjang ketika melihat menantu mereka berlutut di
hadapan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan
mendengarkan dengan sikap tenang.
Kakek itu
adalah Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek
yang kini berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan
sikapnya tenang dan matang. Ada pun nenek itu bernama Toan Kim Hong, usianya
sama dengan suaminya, dan dulu ketika masih gadis pernah menjadi seorang datuk
sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak
muda dan jelas masih terlihat bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti
suaminya.
"Harap
Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang sudah berani lancang datang
menghadap. Sebenarnya sudah sangat lama saya menahan hati yang ingin sekali
datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja saya tidak berani datang
karena saya merasa sudah melakukan kesalahan terhadap puteri Ayah dan Ibu. Setelah
anak Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, baru saya memaksakan diri
untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap
isteri saya, Ceng Sui Cin."
Suami isteri
yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan
bertukar pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita
yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya
yang menjadi merah dan ketika dia mengangkat mukanya memandang ke arah suaminya
yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dia diam saja dan masih
nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.
"Hui
Song, kami orang tua tak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguh
pun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang.
Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih.
Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami
sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami
isteri. Sui Cin, ini suamimu telah datang, sudah sepatutnya jika engkau
menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah
suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin
dengan suara halus.
"Ayahmu
benar, Sui Cin," kata nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak
dapat diatasi dengan cara musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding, kemudian atur sebaiknya bagaimana
untuk menyelesaikan urusan di antara kalian itu."
"Ayah
dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh
Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan
hati yang sakit. Kemudian dia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata
tajam penuh selidik dan terdengar dia berkata. "Selama tiga tahun aku
sudah menjauhkan diri, dan sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini
dengan maksud apakah?"
Perih rasa
hati Hui Song melihat dan mendengar sikap serta ucapan isterinya itu. Namun dia
tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah terhadap isterinya yang
dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia sudah berdosa
kepada isterinya, walau pun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa
sekali.
Dan kini,
setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang
mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, sejak kedatangan Kui Hong ke
Cin-ling-pai, ia sengaja datang untuk meminta maaf dan ingin mengajak isterinya
kembali. Akan tetapi sikap isterinya membuat dia merasa gelisah dan ragu.
Jangan-jangan isterinya tak dapat memaafkannya sehingga ajakannya untuk rujuk
kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapa pun juga,
dia harus mencobanya!
Setelah
menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song lalu
berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan Ibu mertua
tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka
selama ini aku tak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita
datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku beserta ayahku, aku memberanikan diri
untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya hendak meminta maaf kepadamu,
dan mohon kepadamu supaya engkau suka kembali ke Cin-ling-san..."
"Dan
hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik
dariku, lantas setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri
barumu itu? Tidak! Tidak sudi aku!"
"Cin-moi,
tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau
aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti
kepada ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki untuk penyambung
keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsuku,
Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini, namun bagaimana pun juga aku telah
merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap
bijaksana dan suka memaafkan aku."
Kerut di
antara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada
suaminya menjadi makin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau hanya mau
enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begini lalu keadaannya menjadi baik
kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"
Hui Song
maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan isterinya.
Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya
merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri
seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan,
merasa diremehkan dan tak dibutuhkan lagi! Dia dapat memaklumi betapa nyerinya
perasaan ini bagi seorang wanita. Oleh karena itu dia pun tidak merasa
tersinggung walau pun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.
"Selanjutnya
terserah padamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah berbuat salah
kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku sudah mengakui kesalahanku, dan aku
siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon supaya engkau suka mengampuniku dan
suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san."
"Aku
tak sudi selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali
hidup di sampingmu, sebagai ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia,
hanya dengan satu syarat!"
"Apakah
syarat itu, Cin-moi?"
"Syaratnya,
wanita itu harus kau bunuh!"
Seketika
wajah Hui Song menjadi pucat dan matanya terbelalak, maka melihat ini hati Sui
Cin menjadi semakin panas. "Huhh! Engkau terlampau cinta kepadanya, tentu
tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu engkau lebih berat
kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya dari pada kepadaku!" Dan kini
sepasang mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah dia menahan
tangisnya.
"Bukan
begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu,
sekarang dan sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh
Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimana pun juga dia adalah Ibu
kandung puteraku, Cia Kui Bu"
"Terserah!
Tinggal kau pilih saja," kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang
ditahan-tahannya, "Dia atau aku! Kalau engkau memilih dia, jangan engkau
harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani
mencariku lagi karena bila hal itu kau lakukan maka aku akan menganggap itu
sebagai penghinaan! Sebaiknya, jika engkau memilih aku, engkau harus
membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"
"Sui
Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba saja Toan Kim
Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Semenjak tadi dia bersama
suaminya hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya
menjadi saksi saja. Akan tetapi dia merasa tidak setuju dan langsung menegur
puterinya setelah mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai
pelacur.
"Tentu
saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut
suamiku adalah pelacur!" Lalu dia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah,
sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"
Secara
diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga ikut menyesalkan sikap puterinya
yang dianggapnya terlampau keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya
memandang kepada Hui Song.
Ketua
Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak diduganya sama sekali bahwa
isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang.
Bagaimana pun juga dia sudah mengenal baik watak isterinya ini.
Memang sikap
Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik
kekerasan itu isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Bila
sekarang terlihat kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan
cemburu dan panas. Dia tak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi
Nio, karena hal ini sungguh berlawanan dengan watak pendekar dari isterinya.
"Cin-moi,
terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Apa bila
engkau yang akan melakukannya, terserah. Namun betapa pun juga aku jelas lebih
berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi
Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana
terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi
Nio."
Pendekar
Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan
dia sendiri pun tak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh
isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.
"Memang
sebaiknya kalau engkau ikut pulang bersama suamimu, Sui Cin, dan urusan itu
dapat kalian selesaikan di Cin-ling-san," katanya.
Isteri
pendekar sakti itu langsung mengangguk, karena dia pun dapat mengerti apa yang
dimaksudkan suaminya. Dia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat
ini hati puterinya sedang terbakar oleh cemburu dan dia merasa yakin bahwa
kalau cemburu itu sudah hilang, maka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.
"Ayahmu
benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san, dan di
sana urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang
bersangkutan."
Tidak dapat
disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya dia amat mencinta
Hui Song. Hampir dia tidak kuat bertahan akibat selama tiga tahun ini harus
berpisah dari orang yang dicintanya. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya
sajalah yang membuat dia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat
sangat.
Namun
kekerasan hatinya juga yang membuat dia enggan mengalah, sehingga bersikap keras
dan menuntut agar suaminya membunuh isteri mudanya yang dianggapnya sebagai
saingannya itu, sebagai orang yang menjadi penyebab kehancuran kebahagiaannya.
Dia tak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya
itulah yang bersalah!
"Baik,"
katanya sesudah mendengar ucapan ayah dan ibunya. "Aku akan ikut bersamamu
ke Cin-ling-pai, akan tetapi jika sampai di sana engkau tidak mau membunuh
perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"
Hui Song
mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."
Ceng Thian
Sin lalu mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata
sepakat. Gembira sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku, dan kami
sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan
keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan kini ajaklah suamimu
untuk makan minum dahulu, Sui Cin "
Hui Song
tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis beserta
isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Walau pun Sui Cin
tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, akan tetapi dia
masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja!
Bahkan
ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di
sepanjang perjalanan mereka harus bermalam di sebuah rumah penginapan, Sui Cin
menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena dia belum mau tinggal
atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat
diselesaikan.
Pada waktu
mereka tiba di Cin-ling-san, para anggota Cin-ling-pai merasa gembira sekali
melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat yang diterima
dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak
untuk masuk terus.
"Biarlah
aku menunggu di sini saja sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri
yang akan membunuhnya. Setelah itu baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."
Hui Song
tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang pada isterinya,
hatinya sedih bukan main. Tak ada anggota Cin-ling-pai yang berani mengganggu
mereka sehingga di beranda rumah itu sunyi sekali.
Ayahnya
tentu sedang bersemedhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi
Nio, bersama puteranya tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang.
Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak
menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.
"Baiklah,
aku akan menemui Bi Nio," katanya lantas dia meninggalkan Sui Cin masuk ke
dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di
ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.
"Ah,
engkau pulang begini tiba-tiba sehingga kami tidak bisa melakukan
penyambutan..." katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya
langsung menghilang ketika dia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan
berkerut penuh kegelisahan.
"Apakah
yang telah terjadi...?" tanya isteri itu khawatir.
Hui Song
belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia
sekitar dua tahun, kemudian memangku serta mencium kepalanya. Anak yang
mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.
"Apakah
yang telah terjadi maka engkau kelihatan begini susah...?" tanyanya lagi
sambil menyentuh lengan suaminya.
Meski pun
wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini
dia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio sudah
jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua
ayahnya.
"Bi
Nio..." Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan.
Walau pun
tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan
atau ancamannya, tetapi setelah berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan
betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio
tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tak bersalah apa-apa. Mana mungkin
dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan
menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!
"Bi
Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku..."
"Ah,
sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut!
Di mana dia...?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira.
Melihat ini,
Hui Song menghela napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justru karena inilah
maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, dia... dia
menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih dia! Dia
tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."
Sepasang
mata itu terbelalak dan wajahnya menjadi sepucat kertas ketika dia menatap muka
suaminya. Beberapa saat lamanya dia bagaikan kehilangan akal saking kagetnya
mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian dengan suara lirih dia bertanya,
"Kalau...
kalau memilih aku...?"
"Kalau
aku memilih engkau maka dia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di
sampingku sebagai isteriku."
"Ahh,
tidak mungkin kau lakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget.
"Tentu
saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa dia adalah isteriku, dan pernah kukatakan
kepadamu bahwa dia adalah isteriku yang kucinta, dan kami sudah mempunyai
seorang anak perempuan yang sangat kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong
ketika dahulu dia datang berkunjung..."
"Seorang
gadis yang amat hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi
Nio mendesak.
Hui Song
hanya menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk
menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki agar dia membunuh Bi Nio! Melihat
keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis,
"Aku
tahu! Akulah yang harus pergi dari sini! Ahh, memang sudah sepatutnya begitu.
Aku hanya isteri ke dua, sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu
pertama. Baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi..."
"Tidak
mungkin!" Mendadak Hui Song berseru keras sehingga mengejutkan Bi Nio yang
selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu belum pernah mendengar suaminya
berkata keras apa lagi membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa
pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan
keluarga Cia. Engkau tak boleh membawanya!"
Sepasang
mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan. Dia mendekap puteranya di
dadanya, dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih
itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.
"Kau...
kau hendak memisahkah aku dari anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia
pergi, aku tidak minta apa-apa darimu dan tidak menuntut apa pun. Aku akan
pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya
di sini ! Ah, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku..." Wanita itu
kemudian menangis sesenggukan sambil mendekap dan menciumi puteranya yang juga
ikut menangis.
Melihat
keadaan ibu dan anak itu, Hui Song cepat berlari keluar. Inilah saatnya yang
tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin
masih duduk di serambi depan.
"Cin-moi,
marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menunggumu di dalam. Mari kita temui
mereka!"
Sui Cin
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menurut dan mengikuti suaminya memasuki
rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat
tinggalnya, di mana selama enam belas tahun dia hidup berbahagia bersama
suaminya.
Mereka
mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruang dalam. Sui
Cin memandang penuh perhatian. Hemmm, seorang perempuan yang masih sangat muda,
paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak
Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang
juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut
alis Sui Cin.
"Cin-moi,
inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberi tahu padanya
akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan dia. Dan telah
kukatakan kepadanya bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang semenjak muda
menjadi isteriku. Sekarang terserah kepadamu, ini dia dan anaknya, boleh kau
putuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa
tegang sekali.
Sementara
itu, pada waktu mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk
menghentikan tangisnya kemudian mengangkat muka memandang kepada wanita cantik
yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak
galak dan membuat dia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.
"Engkau
yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus.
"Benar,
aku bernama Siok Bi Nio," jawab yang ditanya, suaranya lirih dan dia
mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk
membujuknya agar diam.
"Engkau
sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar aku suka kembali dan
tinggal di sini. Aku baru mau kembali dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu.
Dan mengenai anakmu ini, karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan
memeliharanya," sambil berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio
dengan pandangan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu
setelah mendengar ucapannya.
Bi Nio
terbelalak, kembali mendekap anaknya erat-erat, lantas dia memandang suaminya.
"Ahh, jadi begitukah? Suamiku, jika memang kalian berkeras untuk
memisahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kau turun tangan dan bunuh aku.
Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula
anakku ini. Aku hendak membawa dia ke mana saja, hidup atau mati harus bersama
dia! Bunuhlah kami supaya kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata
sambil menangis dan tidak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.
"Cin-moi,
tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tak mungkin aku akan sekejam itu. Bila
engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah padamu. Lakukanlah
jika engkau memang ingin demikian!"
Hui Song
berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu
benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, maka dia tentu akan menentang
dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya
dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap
perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhi Bi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan
kejam sekali.
Hui Song
sama sekali tidak tahu atau menduga bahwa ketika Sui Cin mengatakan bahwa dia
harus membunuh Bi Nio, hal itu hanya merupakan sebuah ujian saja. Sui Cin
hendak melihat apakah suaminya kini telah menjadi sedemikian palsunya, mudah
mengorbankan seorang wanita demi tercapainya keinginannya.
Dahulu
suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan dia pergi bersama Kui Hong karena
suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang karena suaminya menghendaki ia
kembali, dia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau
membunuh wanita itu! Betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya
saat berhadapan dengan madunya, sebagai seorang pendekar tentu saja dia tidak
akan sudi menyerang, melukai apa lagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi
Nio.
"Bi
Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar
engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di
sini dan dia akan kupelihara, juga kami akan memberimu uang secukupnya agar
engkau dapat berdagang, membuka toko atau menikah lagi dengan seorang laki-laki
yang masih muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus
lagi, bahkan agak lembut.
Ucapan Sui
Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali,
tubuhnya menggigil dan dia pun mendekap anaknya, kemudian bangkit berdiri.
"Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tak boleh mengambil anakku! Biarkan aku
pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, dan tidak butuh
suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekali pun. Biarkan
aku pergi...!"
Wanita itu
lalu keluar dengan tubuh terhuyung-huyung, sambil memondong puteranya dan
menangis tersedu-sedu. Namun baru saja dia tiba di pintu, nampak berkelebat
bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya,
menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia
dua tahun itu sudah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan
lengan kanan kakek itu.
"Cia
Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia, maka dia harus berada di
sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua
Cin-ling-pai, tak ada seorang pun yang boleh membawanya pergi dari sini,"
katanya, suaranya kereng sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan
menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.
"Ayaaaahhh...!"
Dia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan.
Kakek itu
adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari semedhinya, dan ketika mendengar
keributan di ruangan belakang dia cepat-cepat menghampiri lalu turun tangan
merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan
cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya
yang pertama, suaranya halus namun tegas.
"Sui
Cin, aku mengerti bahwa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan
hatimu dan kini engkau datang hendak menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap
engkau dapat bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak!
Di dalam hal ini Bi Nio tidak dapat disalahkan, karena dia hanya seorang wanita
yang menurut kemauan orang tuanya yang menyerahkannya kepada kami untuk menjadi
isteri kedua Hui Song. Jadi kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song.
Namun engkau pun tentu sudah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali
bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak
berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan demikian,
kesalahan dari pundaknya kini berada pada pundakku! Nah, akulah yang bersalah,
akulah yang berdosa, karena itu tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang
kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap
menerima hukumannya, Sui Cin. Apa bila engkau merasa sakit hati, nah, balaslah
kepadaku, aku tak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi
jangan ganggu Bi Nio. Dia seorang isteri yang baik, dia sudah memberi seorang
keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan dia juga mencinta
suaminya..."
"Ayah...!"
Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah
tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah
lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci menantu pertama,
melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana
pun juga sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan
ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya
yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tak mau dimadu, dan Ayah tidak
ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada orang lain yang dapat memberi
penerangan di dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus
pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi
kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri..."
Sekarang wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih.
Sejenak tiga
orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan
tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika turun, dia telah menghadang di
depan Bi Nio.
"Tidak...
engkau... tidak boleh pergi..." kata Sui Cin, suaranya terdengar agak
gemetar, "Bi Nio..., apakah kau... kau mencinta Hui Song?"
Bi Nio yang
berdiri agak membungkuk sambil menangis itu, mendadak saja mengeluarkan suara
seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa amat lucu olehnya.
"Aku...?
Mencinta dia...? Aku... aku bersedia mati untuk kebahagiaannya... Mungkin aku
tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara
lain..." Tiba-tiba saja dia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi
baju pada bagian dada wanita itu.
"Bi
Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau
sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi digunakan oleh Bi Nio
untuk menusuk dadanya sendiri!
"Bi
Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat dia telah menubruk Bi Nio
yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya.
"Bi
Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan lompat mendekat, lalu
berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras,
seakan-akan anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu
malapetaka yang menimpa diri ibunya.
"Bi
Nio..., ahh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggelengkan
kepala sesudah keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi
menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung
mengenai jantungnya! Kini Bi Nio membuka matanya dan berbisik-bisik,
"Anakku...,
anakku..., mana..."
Cia Kong
Liang menangkap cucunya, kemudian didekatkan kepada Bi Nio yang langsung
mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar.
"Aku...
aku akan pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui
Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa ini..." Bi Nio melepaskan
anaknya dan terkulai lemas. Dia mati dengan bibir tersenyum seolah-olah dia
telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin
bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik.
"Bi
Nio...! Ahh, Bi Nio, aku sudah membunuhmu...!" Hui Song merintih dan
terisak.
"Aku
sudah membunuhmu, Bi Nio...," kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa
menyesal. Dia memondong Kui Bu, mendekap anak yang wajah dan pakaiannya
berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi
Nio, jangan kau khawatir..."
"Aku
yang telah membunuh Bi Nio...," Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan
wajah sedih.
Hui Song
bangkit berdiri sambil memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah.
"Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tak mampu
membahagiakan isteriku, baik terhadap Sui Cin mau pun bagi Bi Nio. Aku... aku
yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu
dan menemaninya di sana, untuk selamanya..."
Hui Song
lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak
mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu.
Lahir dan
mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita
hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan
sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apa pun juga, kaya atau miskin,
mulia mau pun papa, dari keluarga yang bagaimana pun juga, seorang bayi begitu
terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis!
Tangis
merupakan luapan rasa duka, dalam bahasa dari bangsa mana pun juga. Begitu
memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis,
seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia
telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka!
Dan di dalam
kenyataannya hidup ini memang lebih banyak mengandung duka dari pada suka.
Kemudian, sesudah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa di wajah si mati
terdapat suatu kedamaian, wajah itu membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan
juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas dari
pada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia
menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi
tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam
kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalam penjara menyambut
datangnya seorang narapidana yang baru?
Dan manusia
mengantar kematian seseorang dengan tangisan sedih walau pun wajah si mati
nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda
bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang terbebas sedangkan mereka
sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan
orang di dalam penjara yang melihat ada seorang rekannya dibebaskan sedangkan
mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini
penuh dengan duka yang timbul dari segala perasaan ketakutan, kekerasan, iri
hati, kecewa, dengki, dan iba diri. Kesenangan muncul bagaikan kilat di antara
mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan akan selalu
diikuti oleh sedepa kesusahan.
Akan tetapi,
tanpa ada pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, serta
mengingat-ingat, tanpa ada sang aku yang menilai, membandingkan, merasakan,
apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur atau pingsan, selagi pikiran
tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tak mengenal suka duka! Mimpi
mengandung suka itu ada?
Dalam
keadaaan tidur atau pingsan, pada saat pikiran tak bekerja, kita memasuki suatu
alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya
permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada!
***************
Usia pria
itu sekitar lima puluh tahun, sikapnya halus dan penuh wibawa, dan sepasang
matanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang amat cerdik dan bijaksana.
Walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar sipil, bukan
militer, tetapi dia kelihatan semakin berwibawa ketika duduk di atas kursi di
dalam ruangan yang lebar itu, di mana belasan orang perwira nampak amat
menghormatinya.
Tidak
mengherankan kalau semua perwira demikian menghormatinya karena dia adalah
Menteri Cang Ku Ceng, salah seorang di antara menteri-menteri yang paling setia
kepada kaisar, dan satu di antara para pejabat yang berjasa besar dalam
menegakkan keadilan dalam pemerintahan Beng-tiauw di bawah pimpinan Kaisar Cia
Ceng itu.
Sesungguhnya
dalam pemeritahan itu hanya ada dua orang menteri yang paling terkenal dan
tercatat dalam sejarah sebagai dua orang yang berjasa besar. Mereka adalah
Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng inilah.
Sekarang
Menteri Cang Ku Ceng turun tangan sendiri, langsung terjun ke lapangan untuk
membasmi gerakan pemberontakan di selatan yang menurut para penyelidik dipimpin
oleh datuk sesat yang bersekongkol dengan seorang bangsawan dari Birma! Dan hal
ini amat besar pengaruhnya, terutama sekali dalam menarik perhatian dan bantuan
para pendekar.
Sebagian
besar para pendekar merasa kagum kepada dua menteri itu, maka mendengar bahwa
Menteri Cang sendiri ikut terjun ke lapangan, mereka pun tertarik dan banyak yang
berdatangan ke Yunan untuk membantu gerakan pemerintah membasmi pemberontakan.
Andai kata gerakan pembasmian itu hanya dipimpin oleh para perwira saja,
kiranya para pendekar tidak akan demikian bersemangat membantu.
Kini mereka
sedang mengadakan perundingan di dalam ruangan itu, sebuah ruangan luas di
dalam pondok darurat yang dibuat di lereng gunung yang penuh hutan itu. Para
perwira itu sudah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, akan tetapi pasukan
mereka masih disembunyikan secara berpencar dan belum berkumpul di bukit itu
karena mereka merasa khawatir kalau-kalau para mata-mata pemberontak akan
melihatnya sehingga akan dapat menggagalkan penyergapan mereka.
Ada pun
kehadiran Menteri Cang Ku Ceng bersama para pendekar, juga belasan orang perwira
di sana, tidak akan mudah diketahui orang karena hutan itu sudah dikepung dan
dijaga ketat, baik oleh pasukan pilihan yang mengenakan pakaian preman mau pun
oleh para pendekar dan anak buah mereka. Takkan ada orang asing dapat memasuki
hutan di lereng bukit itu tanpa ijin.
Selain
Menteri Cang Ku Ceng serta belasan orang perwira, di situ sudah berkumpul pula
para pendekar yang siap menyumbangkan tenaga untuk membasmi pemberontakan, dan
pada pagi hari itu mereka diterima menghadap oleh Menteri Cang Ku Ceng. Di
antara para pendekar itu terdapat pula beberapa orang yang terkenal sekali,
bukan hanya tokoh-tokoh dari partai persilatan besar seperti wakil dari
Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai, melainkan nampak
hadir pula tokoh-tokoh persilatan perorangan yang tidak mewakili perguruan atau
perkumpulan silat. Juga nampak Pek Kong, Ketua Pek-sim-pang yang datang bersama
Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang dari Cin-an.
Seperti kita
ketahui, sudah terjadi ikatan perjodohan di antara anak kedua orang tua yang
memang bersahabat karib ini. Puteri Pek Kong, yaitu Pek Eng, sudah dilamar oleh
Ketua Kang-jiu-pang untuk dijodohkan dengan puteranya yang bernama Song Bu Hok.
Pinangan itu diterima dengan senang hati, akan tetapi ternyata ikatan jodoh itu
malah membuat Pek Eng marah dan berduka. Gadis ini lantas minggat dari rumahnya
dengan alasan hendak mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong.
Dan seperti
telah kita ketahui, dalam perantauannya ini Pek Eng tertawan oleh anak buah
Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi, berkat kecerdikannya gadis ini lantas diambil
murid bahkan diangkat sebagai anak oleh bengcu itu. Dengan menggunakan
kesempatan baik ini, Pek Eng berhasil membujuk gurunya itu untuk mengirim orang
dan membatalkan ikatan jodoh antara dia dengan Song Bu Hok!
Lam-hai
Giam-lo memenuhi permintaan Pek Eng dan Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis
itulah yang kemudian diutus ke kota Cin-an dan dengan kekerasan mereka menuntut
agar ikatan jodoh itu dibatalkan. Tentu saja para pimpinan Kang-jiu-pang
membuat perlawanan, namun mereka semua dikalahkan oleh suami isteri itu
sehingga terpaksa mereka berjanji akan membatalkan ikatan jodoh!
Setelah
suami isteri Lam-hai Siang-mo pergi, dengan hati penuh rasa penasaran Song Un
Tek, Ketua Kang-jiu-pang, langsung pergi berkunjung ke Pek-sim-pang dan
mengadukan semua peristiwa ini kepada Pek Kong, ayah Pek Eng Ketua
Pek-sim-pang!
Tentu saja
keluarga Pek amat terkejut saat mendengar tentang peristiwa itu. Lebih kaget
lagi ketika mendengar bahwa Pek Eng memutuskan ikatan jodoh dengan menggunakan
tokoh-tokoh sesat macam Lam-hai Siang-mo! Bagaimana Pek Eng dapat bergaul
dengan orang-orang macam itu? Apa lagi menurut Song Un Tek, sepasang iblis itu
membatalkan ikatan jodoh atas nama Lam-hai Giam-lo!
Mereka
merasa khawatir sekali dan demikianlah, akhirnya Pek Kong beserta Song Un Tek
meninggalkan rumah mereka, pergi berdua ke selatan untuk melakukan penyelidikan
dan mencari Pek Eng.
Ketika tiba
di selatan, mereka baru mendengar akan gerakan pemberontak yang dipimpin oleh
orang-orang sesat, dan pemimpin utamanya adalah Lam-hai Giam-lo! Mereka lantas
pergi ke daerah Yunan untuk menyelidiki, dan di perjalanan mereka bertemu
dengan para pendekar lain yang sudah diundang oleh Menteri Cang Ku Ceng. Maka
mereka pun turut bergabung untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak.
Selain dua
orang ketua ini, di sana juga nampak Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian! Kita sudah
mengetahui bahwa suami isteri ini pun sedang dalam perjalanan mencari musuh
besar mereka, yaitu Lam-hai Giam-lo dan mereka bahkan telah bertemu dengan Hay
Hay di Telaga Cao-hu.
Mereka
kemudian melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo telah
menghimpun banyak sekali datuk sesat yang lihai di samping pasukan yang cukup
besar. Keduanya segera maklum bahwa amatlah sukar, bahkan berbahaya bagi mereka
apa bila mencari Lam-hai Giam-lo di sarangnya.
Mereka tldak
takut menghadapi musuh besar itu, akan tetapi kini Lam-hai Giam-lo bukan
sendirian. Mereka berdua tentu akan mati konyol kalau mereka harus menghadapi
musuh besar itu yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang sangat lihai di
samping anak buah yang berjumlah ratusan orang!
Selagi
mereka berkeliaran di sekitar Yunan, mereka bertemu dengan beberapa pendekar
yang kemudian mengajak mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah siap
dan dipimpin langsung oleh Menteri Cang Ku Ceng. Pasangan suami isteri ini lalu
datang menghadap dan pagi hari itu mereka ikut pula menghadiri rapat.
Masih ada
belasan orang pendekar yang duduk dalam ruangan itu, dan di antara mereka
terdapat pula Cia Kui Hong! Seperti kita ketahui, gadis yang gagah perkasa ini
mengalami guncangan batin yang sangat hebat ketika dia bersama Hay Hay
tenggelam dalam lautan nafsu hingga Hay Hay tersadar dan meninggalkan dirinya.
Hal ini menghancurkan hati Kui Hong. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta
kepada Hay Hay maka dia mandah saja ketika pemuda itu memeluk dan menciumnya,
bahkan dia pun membalas kemesraan itu dengan sepenuh hatinya.
Akan tetapi,
ketika Hay Hay menyatakan bahwa pemuda itu tak mencintanya dan merasa menyesal
akan apa yang sudah terjadi, dia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang
lalu dia lari meninggalkan Hay Hay dengan hati hancur dan mengalami guncangan
hebat. Dia pun lantas melanjutkan perjalanannya seorang diri dengan hati merana
untuk mencari musuh besarnya, yaitu Ki Liong.
Dalam
usahanya mencari Ki Liong inilah dia mendengar bahwa Ki Liong telah bergabung
dengan para pemberontak. Kemudian dia pun bertemu dengan orang-orang
kepercayaan Menteri Cang Ku Ceng sehingga dia turut pula memenuhi undangan
menteri itu dan hari itu dia berada di antara mereka yang sedang mengadakan
perundingan.
"Cu-wi
Enghiong (Para Pendekar Sekalian)...!" terdengar Menteri Cang berkata
dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa, "atas nama pemerintah
kami ucapkan terima kasih, juga kami merasa gembira sekali bahwa Cu-wi (Anda
Sekalian) sudah mau bergabung di sini dan membantu usaha kami dalam membasmi
gerakan pemberontakan. Memang harus diakui bahwa pekerjaan membasmi
pemberontakan sebetulnya merupakan tugas kami. Namun pemberontakan yang timbul
di Yunan ini lain dengan pemberontakan biasa. Kali ini pemberontakan dipimpin
oleh orang-orang dari dunia hitam, golongan sesat yang mempunyai ilmu silat
yang tinggi, bahkan kabarnya orang-orang Pek-lian-kauw turut bergabung dan
mereka terkenal pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Menghadapi orang-orang
seperti ini tentu saja kami tak dapat hanya mengandalkan kekuatan pasukan saja.
Tanpa bantuan dari orang-orang pandai seperti Cu-wi Enghiong, mungkin usaha
pembasmian ini akan mengalami kegagalan, atau setidaknya tentulah akan jatuh
banyak korban di antara pasukan kami. Maka kami bersyukur bukan main bahwa
Cu-wi sudi membantu kami dan mudah-mudahan dalam beberapa hari ini, akan datang
bantuan yang lebih banyak lagi."
Dengan
ramahnya menteri ini kemudian minta kepada para pendekar agar masing-masing
memperkenalkan diri dan kalau datang sebagai wakil, menyebutkan partai atau
perguruan mana yang diwakilinya.
Ketika itu
Kui Hong duduk dekat Hui Lian dan Su Kiat. Semenjak terjadinya peristiwa di
Cin-ling-pai di mana mereka bertemu, bahkan saling serang, kemudian semua
peristiwa itu berakhir damai, Kui Hong menganggap Hui Lian sebagai seorang
wanita yang hebat, memiliki ilmu kepandaian yang melebihi tingkatnya!
Sebaliknya Hui Lian juga memandang Kui Hong sebagai seorang gadis yang gagah
perkasa dan mengagumkan, apa lagi kalau diingat bahwa gadis ini adalah cucu
dari Pendekar Sadis yang terkenal sakti.
Para orang
gagah itu memperkenalkan diri satu demi satu. Ketika tiba giliran Su Kiat dan
Hui Lian, mereka hanya mengaku bahwa mereka memiliki urusan pribadi dengan
Lam-hai Giam-lo, maka sesudah mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo bahkan menjadi
pemimpin gerombolan pemberontak, mereka lalu ingin bergabung dan membantu
pemerintah.
"Kami
berdua tidak mewakili golongan mana pun, karena kami tidak terikat oleh sesuatu
perkumpulan atau perguruan, biar pun kami pernah membuka perguruan silat yang
tidak ada artinya, bukan merupakan perkumpulan melainkan sekedar mencari
nafkah. Namun kami siap membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak
yang dipimpin oleh musuh besar kami, yaitu Lam-hai Giam-lo," kata Su Kiat
penuh semangat.
Ketika tiba
giliran Kui Hong untuk memperkenalkan diri, dia teringat bahwa keluarganya,
baik dari ayahnya mau pun dari ibunya tak ada yang hadir di situ, maka dia
ingin mewakili mereka untuk dapat mengangkat nama keluarganya. Setelah
memperkenalkan namanya, dia melanjutkan. "Saya mewakili Cin-ling-pai
karena ayah saya adalah Ketua Cin-ling-pai, juga saya mewakili Pulau Teratai
Merah karena Pendekar Sadis adalah kakekku."
Mendengar
ini, mereka yang belum tahu tertegun dan memandang kagum, juga Menteri Cang
tersenyum lebar dan wajahnya berseri. "Aihh, sungguh tidak kami sangka
bahwa di sini telah hadir pula wakil dari mereka yang namanya sudah lama kami
dengar. Selamat datang, Nona Cia dan terima kasih. Semakin besarlah hati kami
karena dengan hadirnya seorang wanita perkasa seperti Nona, usaha kami membasmi
gerombolan pemberontak pasti akan berhasil baik."
Mereka lalu
mengadakan perundingan. Menteri Cang menerangkan bahwa menurut hasil
penyelidikan mata-mata yang disebar, belum nampak gerak-gerik dari para
pemberontak, kecuali bahwa para tokoh sesat telah berkumpul di sarang mereka.
"Kami
khawatir kalau mereka menyembunyikan pasukan di suatu tempat. Kalau kita lebih
dahulu bergerak, berarti kedudukan kita akan mereka ketahui, dan sebaliknya
kita belum mengetahui kedudukan mereka. Karena itu sebaiknya kalau kita menanti
sampai mereka mengeluarkan pasukan mereka dan bergerak lebih dulu. Dengan
demikian, selain dapat mengetahui kekuatan pasukan mereka, juga kita dapat
mengatur siasat untuk menyergap mereka."
Selagi
mereka berunding, tiba-tiba ada komandan jaga datang menghadap, melaporkan
bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis minta agar dihadapkan kepada Menteri
Cang Ku Ceng.
"Pemuda
itu adalah Can-taihiap, tapi Nona itu baru datang menghadap Taijin,"
komandan jaga itu menutup laporannya. Mendengar disebutnya nama Can-taihiap,
wajah Cang Ku Ceng menteri yang bijaksana itu tersenyum.
"Ahh,
persilakan mereka masuk!"
Maka
muncullah Can Sun Hok dan Cia Ling. Begitu masuk, Kui Hong yang mengenalnya,
segera berseru girang.
"Ling
Ling...!"
Cia Ling,
gadis yang masih merasakan remuk rendam hatinya karena peristiwa perkosaan yang
menimpa dirinya, terkejut dan mengangkat muka. Ketika dia mengenal Kui Hong,
dia pun berseru. "Bibi Kui Hong...!"
Dan dia pun
lari menghampiri, lalu kedua gadis itu berangkulan. Kui Hong terkejut bukan
main ketika melihat Ling Ling merangkulnya sambil menangis sesenggukan!
"Heiii
Ling Ling, ada apakah? Apakah yang telah terjadi?" tanyanya penuh
keheranan dan kekhawatiran.
Barulah Ling
Ling sadar bahwa dia sudah terseret oleh perasaan dukanya, padahal di situ
terdapat banyak orang asing! Dia segera mengerahkan tenaga batinnya untuk
menekan perasaannya, mengusap air mata dan memandang kepada Kui Hong sambil
tersenyum.
"Maafkan
aku, Bibi Hong, aku... begitu girang bertemu denganmu di sini sehingga lupa
diri terharu dan menangis. Maafkan aku...!"
Walau pun
lain orang di situ tidak merasa curiga akan adegan kecil ini, namun diam-diam
Kui Hong merasa heran. Seperti yang diketahuinya setelah untuk pertama kalinya
mereka bertemu di Cin-ling-pai, keponakannya adalah seorang gadis yang tenang
dan halus, juga amat gagah dan tabah. Mengapa gadis ini tiba-tiba berubah
menjadi seorang gadis yang cengeng dan lemah?
Menteri Cang
segera memperkenalkan pemuda yang baru tiba itu kepada mereka yang hadir. Tentu
saja Kui Hong telah mengenalnya dan pemuda ini pun agak terkejut sehingga
wajahnya agak merah ketika dia mengenal Kui Hong.
Dia lantas
teringat akan pertemuannya dengan Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin yang
kemudian berakhir dengan tewasnya Nenek Wa Wa Lobo, pelayannya yang setia
setelah Wa Wa Lobo tidak berhasil mengalahkan pendekar wanita Ceng Sui Cin
untuk membalas kematian ibu kandungnya, yaitu Gui Siang Hwa.
Pada saat
itu mereka memang berpisah dengan baik-baik, dan dia sudah menyadari akan
kelirunya perbuatan Wa Wa Lobo yang hendak membalas dendam, tapi betapa pun
juga dia merasa kikuk bertemu dengan Kui Hong, hal yang sama sekali tidak
disangkanya.
"Cu-wi
Enghiong, dia ini adalah Can-taihiap, namanya Can Sun Hok. Ketahuilah bahwa dia
masih berdarah bangsawan, putera dari mendiang Pangeran Can Koan Ti. Akan
tetapi kini dia telah menjadi seorang pendekar yang berkepandaian tinggi dan
sekarang datang untuk membantu pemerintah dalam penumpasan terhadap gerombolan
pemberontak. Dan Nona ini, siapakah dia, Can-taihiap?"
Sun Hok
memandang kepada Ling Ling. "Nona itu adalah Nona Cia Ling. Dia membawa
berita yang teramat penting, oleh karena itu, tanpa membuang waktu lagi saya
mengajak dia untuk datang menghadap Taijin."
"Berita
apakah yang teramat penting itu?" tanya Menteri Cang sambil memandang
tajam penuh selidik.
Sun Hok
memandang sekeliling, seolah merasa ragu untuk berbicara karena di situ hadir
demikian banyak orang. Melihat ini, Menteri Cang berkata lagi, "Katakanlah
saja, Taihiap. Yang hadir ini adalah rekan-rekan dan para sahabat
sendiri."
"Taijin,
ketika saya datang melakukan penyelidikan dan mendekati sarang para pimpinan
pemberontak, saya melihat Nona Cia Ling ini sedang berkelahi melawan Saudara
Tang Hay yang dulu pernah kita bicarakan, bahkan Taijin menyatakan bahwa dia
adalah orang kepercayaan Yang-taijin dan Jaksa Kwan. Saya lantas melerai, namun
begitu perkelahian terhenti, Saudara Tang segera melarikan diri. Dan saya
mendengar hal yang sangat luar biasa dari Nona Cia ini, yaitu bahwa Saudara
Tang Hay adalah seorang jai-hwa-cat!"
"Ihhhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut Kui Hong yang merasa terkejut bukan main ketika
mendengar itu. Juga Menteri Cang merasa terkejut dan heran, sementara itu Sun
Hok telah melanjutkan.
"Apa
bila berita ini benar, sungguh berbahaya sekali, Taijin. Kalau benar bahwa
Saudara Tang Hay itu seorang penjahat cabul, berarti dia adalah seorang di
antara tokoh sesat itu dan siapa tahu, dia memang sengaja menyelundup untuk
mengambil hati Yang-taijin dan Jaksa Kwan supaya dipercaya, akan tetapi
sesungguhnya dia adalah mata-mata dari para pemberontak. Itulah sebabnya maka
saya segera mengajak Nona Cia Ling datang ke sini untuk menghadap Paduka."
"Nona
Cia Ling, benarkah apa yang dikatakan oleh Can-taihiap tadi? Harap Nona suka
menceritakan dengan jelas," kata Menteri Cang setelah mempersilakan
keduanya duduk.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment