Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 36
MELIHAT
wajah pria setengah tua yang tampan dengan kumis dan jenggot yang teratur rapi
bahkan rompinya terbuat dari sutera halus, Ki Liong dan Hay Hay langsung
terkejut ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah penggembala kambing
suku bangsa Hui yang pernah mengacau perkelahian mereka dengan orang-orang
Bu-tong-pai. Ki Liong segera mendekati Lam-hai Giam-lo dan berbisik kepada
Bengcu ini, menuturkan dengan singkat mengenai pengalamannya dengan orang
setengah tua itu,
"Dia
lihai sekali dan mencurigakan, Bengcu, tetapi akan dapat menjadi seorang
pembantu yang amat baik." Ki Liong mengakhiri bisikannya.
Lam-hai
Giam-lo memang sudah melihat kelihaian orang setengah tua itu. Belasan orang
anak buahnya laksana sekumpulan semut yang mengeroyok seekor jangkerik saja.
Siapa mendekat tentu langsung terpental oleh tamparan atau tendangan orang
setengah tua itu, padahal di antara anak buahnya ada yang mempergunakan senjata
sedangkan orang itu hanya bertangan kosong saja.
"Tahan...!"
teriak Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti bunyi ringkik kuda.
Mendengar
ini, semua anak buah Kui-kok-pang berloncatan ke belakang. Orang setengah tua
itu pun menghentikan gerakannya, lantas sambil tersenyum simpul dia memutar
tubuh menghadapi Lam-hai Giam-lo, dan kedua matanya terbelalak, senyumnya
melebar ketika dia melihat Hay Hay dan Ki Liong.
"Ahhh,
senang sekali dapat bertemu dengan kalian dua orang pemuda yang tampan dan
gagah!" Dan dia lalu memandang kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu
menjura dan berkata. "Jika aku tidak salah duga, agaknya saudara yang
gagah tentulah yang berjuluk Lam-hai Giam-lo, Bengcu dan pemimpin para pejuang.
Dan Nona ini benar-benar gagah perkasa dan cantik jelita!"
Pujiannya
itu tidak mengandung sikap kurang ajar dan melihat betapa Pek Eng tersipu malu,
diam-diam Hay Hay tersenyum dalam hatinya. Pria setengah tua ini agaknya juga
seorang yang pandai mengagumi keindahan dan kecantikan wanita!
Lam-hai
Giam-lo menatap tajam dengan sepasang matanya yang sipit. "Sobat, tak
keliru dugaanmu bahwa kami adalah Bengcu yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Tetapi
siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di tempat kami?"
Laki-laki
setengah tua itu tertawa dan nampak giginya yang masih berderet rapi dan putih,
wajahnya nampak jauh lebih muda ketika dia tertawa. "Bengcu, maafkan kalau
aku sudah membikin ribut. Memang aku sengaja datang ke sini untuk menghadap
Bengcu sebab aku mendengar bahwa Bengcu mengumpulkan orang-orang gagah untuk
diajak bekerja sama. Nah, kalau memang kerja sama itu dapat menguntungkan aku,
tentu saja aku bersedia pula membantu Bengcu."
"Nanti
dulu," kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang tajam penuh selidik. Dia
seorang tokoh sesat yang mengenal banyak orang berilmu tinggi di dunia persilatan,
akan tetapi dia merasa belum pernah bertemu dengan orang ini, tidak tahu siapa
namanya, dan dari golongan mana pula datangnya. "Sebelumnya kami ingin
mengetahui siapa sebenarnya engkau ini, Sobat."
Kembali
lelaki itu tertawa, "Ha-ha-ha, aku sendiri sudah lupa dan tidak ingat akan
namaku sendiri, juga aku pun tidak peduli. Bengcu, biasanya aku hanya
menggunakan nama Han Lojin, tempat tinggalku tidak menentu, di mana saja asal
menyenangkan hatiku, di situlah tempat tinggalku."
"Hemm,
terus terang saja, telah banyak aku mengenal tokoh dunia kang-ouw, akan tetapi
belum pernah aku mendengar nama Han Lojin, juga belum pernah bertemu
denganmu."
"Tentu
saja, Bengcu. Selama ini aku memang selalu bersembunyi saja di tempat sunyi,
menjauhkan diri dari segala urusan dunia ramai. Namun akhirnya aku merasa bosan
dan begitu turun gunung, aku mendengar akan kesempatan yang diberikan oleh
Bengcu untuk bekerja sama dengan orang-orang gagah. Aku siap membantu asal saja
ada imbalannya yang cukup memuaskan," sambil berkata demikian ia memandang
dan tersenyum kepada Pek Eng. Gadis itu mengerutkan alisnya dan segera membuang
muka. Pria itu sungguh genit, pikirnya.
Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk lalu tersenyum. Memang dia ingin mengumpulkan
sebanyak mungkin orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi agar
gerakannya akan menjadi kuat.
"Hemm,
Han Lojin, ilmu silat baru dapat dilihat bila mana sudah diuji. Tadi engkau
sudah menunjukkan kepandaian ketika menghadapi pengeroyokan anak buah kami.
Akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka masih amat rendah, maka hal itu
belum bisa dijadikan ukuran. Saudara Tang Hay, engkau wakililah aku untuk
menguji sampai di mana tingkat kepandaian Han Lojin itu. Nah, marilah kita
masuk ke lian-bu-thia."
Han Lojin
tersenyum, lantas dengan langkah gagah dia pun ikut bersama mereka semua
memasuki ruangan berlatih silat itu. Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi
segera dia tersenyum.
Dia harus
memperoleh kepercayaan mereka agar dapat menyelidiki keadaan persekutuan itu,
dan dia pun tahu bahwa sekali ini yang diuji bukan hanya kepandaian lelaki
bernama Han Lojin (Kakek Han) itu saja, akan tetapi juga ujian untuk kesetiaan
dan kesungguhan hatinya untuk bekerja sama dengan persekutuannya.
Maka,
sesudah tiba di dalam ruangan belajar silat itu dia langsung menghadapi Han
Lojin, ada pun Lam-hai Giam-lo, Pek Eng dan Ki Liong sudah mengambil tempat
duduk masing-masing untuk menonton pertandingan silat.
Kini kedua
orang itu sudah berdiri saling berhadapan, seperti dua ekor jago yang hendak
bertarung, lebih dahulu mengamati lawan dengan sinar mata tajam penuh
penilaian. Hay Hay melihat betapa Han Lojin seperti menahan senyum dan sikapnya
amat memandang rendah, akan tetapi anehnya wajah itu berseri seolah-olah hati
orang itu merasa gembira! Timbullah rasa suka di dalam hatinya.
Orang ini
berwatak periang, dan dia pun merasa kasihan. Akan dijaganya agar dia tidak
sampai melukai atau merobohkan orang ini dengan mudah, agar martabat orang ini
dapat terangkat di dalam pandangan mata Lam-hai Giam-lo.
Pada saat
itu bermunculanlah tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo. Mereka itu
adalah Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko, Kim San Ketua Kui-kok-pang, Hek-hiat Mo-ko,
serta beberapa orang pendeta perkumpulan Pek-lian-kauw.
Mereka
mendengar bahwa Ki Liong telah berhasil membujuk pemuda yang namanya Hay Hay
dan terkenal sangat lihai itu untuk menghadap Lam-hai Giam-lo dan menjadi
sekutu, juga mendengar bahwa pemuda itu kini disuruh oleh Bengcu untuk menguji
kepandaian seorang tamu yang menyatakan diri hendak bergabung. Mereka tertarik
dan berbondong-bondong memasuki lian-bu-thia.
Karena
mereka bukan anggota biasa, namun serombongan orang yang dianggap sebagai
sekutu dan rekan, maka mereka pun diperbolehkan lewat dan masuk oleh para
anggota Kui-kok-pang yang tengah berjaga. Lam-hai Giam-lo juga diam saja dan
hanya membalas penghormatan mereka dengan anggukan kepala ketika melihat mereka
masuk kemudian mengambil tempat duduk di pinggir dekat dinding. Hay Hay juga
melihat ketika mereka itu memasuki lian-bu-thia, dan merasa heran mengapa dia
belum melihat dua pasang suami isteri yang pernah memperebutkannya pada waktu
dia kecil.
"Han
Lojin, silakan mulai membuka serangan!" tantangnya.
Dia ingin
segera menyelesaikan tugas yang tidak enak ini. Dia harus menguji kepandaian
orang yang mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. Namun tanpa disangkanya Han
Lojin malah tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
baru sekarang ini aku memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan
Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!"
Semua orang
terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu tentang hal itu. Hay Hay bahkan
lebih terkejut dari pada orang lain.
"Han
Lojin, apa maksudmu...?!" Dia berseru penasaran. "Aku bukan
Ang-hong-cu!"
Han Lojin
masih tertawa, lantas menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil
berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi? Jika engkau bukan
Ang-hong-cu, kenapa para tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu
mati-matian? Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay? Bagus, akui saja karena
dari golongan mana pun juga, semua yang berada di sini adalah rekan sendiri,
bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu."
"Dia
bukan Ang-hong-cu...!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis
ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa
Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga
yang tersohor itu.
Hay Hay
terkejut sekali, cepat-cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng lantas
mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Eng-moi,
jangan ikut mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan
ini!"
Kekuatan
sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak
berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tak merasa heran dengan seruan Pek
Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay? Tentu gadis itu membelanya
karena mungkin dia tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu.
Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu.
"Han
Lojin, Saudara Tang Hay terlampau muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan
bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu agar bisa membuktikan
kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami," kata
Ki Liong dengan suara lantang.
Han Lojin
tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang harus mulai
menyerang lebih dulu karena engkau adalah pengujiku, bukan? Heh-heh-heh!"
Kini
berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimana pun
juga, di hadapan orang banyak orang ini telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cu
dan ini berbahaya sekali karena memang dia adalah putera jai-hwa-cat itu.
Bagaimana pun juga kenyataan ini sudah menghancurkan hatinya dan dia tidak mau
kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain.
Pek Eng
mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan
kekuatan sihirnya. Ada pun Han Lojin tampaknya demikian memandang rendah
padanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh
dibuat permainan!
"Baik,
aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay.
Dia pun
sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan
Belas Jurus Dewa Arak). Dengan mempergunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat,
tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya hanya perlahan saja
namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat.
"Hehhh!"
Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat
kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda
itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa
pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat
mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke
arah pundaknya itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya dari
pada sebelum dielakkannya tadi.
Tiba-tiba
saja kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay.
Serangan balasan ini juga merupakan pembelaan diri karena kakinya lebih panjang
dari pada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya
karena kaki lawan sudah menyambar cepat.
Dia pun
cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya, lantas membacokkan tangan kiri
itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin
mampu menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu hingga tubuhnya ikut
terputar dan luput dari bacokan tangan Hay Hay.
Han Lojin
mengerluarkan seruan nyaring, kemudian tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan
dengan sangat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandangan mata biasa. Dan
dengan gerakan secepat itu, dia segera menghujankan serangan berupa totokan
bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay!
Pemuda ini
kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh)
Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti
seekor burung walet terbang saja. Sekarang giliran Han Lojin yang mengeluarkan
seruan kagum. Wuiiihhhh.!
Para
penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan
kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han
Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki
Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai berbagai
macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula
gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, setiap gerakan
Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini
menunjukkan bahwa dia telah mempunyai pengalaman yang luas sekali, mempelajari
banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai.
Melihat
kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang merasa kagum dan Lam-hai Giam-lo girang
sekali karena dia telah membayangkan mendapat dua orang pembantu yang hebat di
samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang
pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia
merasa kuat, apa lagi masih ada Kulana di sana.
Jangankan
mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa
terkejut dan kagum sekali. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan
memuji sebab serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus
paling ampuh, semua mampu dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan
mau pun elakan. Dan dalam adu tenaga harus diakuinya bahwa tenaga sinkang
pemuda itu kuat bukan main, mungkin lebih kuat dari pada tenaganya sendiri!
Di lain
pihak Hay Hay juga tertegun saat melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya
yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sulit baginya untuk merobohkan atau
mengalahkan lawan. Apa lagi mengalahkan tanpa merobohkan!
Lawannya ini
sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sinkang mungkin
dia masih menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh
tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu.
Setelah
melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang di dalam hati Hay Hay. Orang
ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat atau dia
seorang pendekar aneh.
Memang di
dunia ini terdapat banyak pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aneh.
Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk
orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan
Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat
perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya.
Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini.
Di dalam
hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah
merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan, ada pun pertarungan berjalan
seimbang dan seru sekali. Lalu andai kata mereka itu benar-benar berkelahi,
betapa akan seru dan mati-matian!
"Heiiiittt...!"
Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, kali ini dengan cengkeraman tangan ke
arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah
dada!
"Ihhhh...!"
Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil
miringkan tubuh hingga cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan
tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya,
dan disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah
untuk menusuk ke arah mata lawan!
Hay Hay
kagum bukan main. Sungguh indah dan berbahaya gerakan lawan yang dengan kontan
membalas serangannya. Maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya.
"Dukkk!
Desss...!!" Dua kali empat tangan itu bertemu kemudian keduanya terdorong
ke belakang.
"Hyaaaattt...!"
Tubuh Han Lojin sudah melayang ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay
juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas kemudian
menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula.
"Desss...!"
Bentrok hebat terjadi di udara tanpa dapat dicegah lagi, lantas tubuh keduanya
terpelanting. Jika Hay Hay tidak cepat-cepat berjungkir balik mematahkan
luncuran, maka badannya akan terbanting.
Kini
keduanya telah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter.
Keduanya telah mengeluarkan keringat, akan tetapi tampak bahwa Hay Hay masih
segar sedangkan lawannya sudah mulai terengah-engah!
"Hebat...
engkau sungguh hebat, sangat pantas menjadi Ang-hong-cu...," kata Han
Lojin sambil memandang dengan mulut menyeringai.
"Aku
bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap
menyerang lagi.
Saat itu
digunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai.
"Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah
memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu,
Bengcu?"
Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya dia tadi sampai lupa. Jika tidak
Ki Liong yang cepat maju melerai, lantas pertandingan itu dilanjutkan sampai
seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang
sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan
mengangkat kedua tangannya.
"Sudah
cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi sudah memperlihatkan kepandaian dan kami
kagum sekali. Mulai saat ini juga Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat
kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan
lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo kemudian memerintahkan
orang-orangnya supaya menyiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati
kedua orang pembantu baru itu.
Terjadi
keanehan di dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah
baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia
menyamar sebagai seorang penggembala kambing suku Hui, sebaliknya ketika Hay
Hay dikenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ.
Tentu saja
dia telah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah birahi
dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena telah
beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi.
Ketika
mereka semua tengah berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai
Siang-mo beserta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam
ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo.
"Aihh,
kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian ikut berpesta dengan kami,
menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada
Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang
suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh amarah
dan juga kegentaran.
"Wah,
agaknya kalian berempat sudah mengenal pemuda ini pula! Saudara muda Tang,
ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik,
ha-ha-ha!" Demikian Han Lojin berseru sambil tertawa.
Lam-hai
Giam-lo memandang tajam pada pemuda itu. "Saudara Tang, benarkah engkau
sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran.
Hay Hay
mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah
menjadi ayah dan ibuku, maksudku dulu mereka telah mengambilku sebagai anak
pungut semenjak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka suami
isteri Goa Iblis Pantai Selatan ini juga sudah kukenal baik sekali karena
mereka pernah mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku
diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!"
Hay Hay tertawa.
"Sin-tong...?
Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo
kepada Eng Eng.
Eng Eng
tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang dia pernah
bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu.
Semenjak kecil kakak kandungku Pek Han Siong dianggap sebagai Sin-tong dan
dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami kakakku itu disembunyikan dan
diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko lenyap
dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai
Siang-mo."
Lam-hai
Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada dua pasang
suami isteri itu. "Ehh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah
melihat Saudara Tang Hay? Mari duduklah dan jangan khawatir, sekarang dia ini
adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah semua hal yang terjadi pada masa lampau,
karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita.
Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?"
"Kami
sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita sudah siap
dan sudah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu
orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas
kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara
mereka berempat lalu menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut
segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo.
Bengcu ini
menerima buntalan itu lalu meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat
buntalan itu dan begitu buntalan dibuka, semua orang langsung terbelalak
melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa
emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai!
Lam-hai
Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah
menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya
yang kini lengkap hadir di situ.
"Cu-wi
(Saudara sekalian), ada kabar yang sangat baik. Selain Kulana telah mengirimkan
bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun,
juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir
bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia telah menentukan ke arah mana
pasukan akan bergerak, dibagi menjadi berapa kelompok, dan kota mana yang akan
diduduki sebagai landasan pertama untuk dijadikan benteng bagi gerakan
selanjutnya. Maka sekarang juga kita harus mulai mempersiapkan pasukan kita dan
menarik mereka semua ke sini, melatih mereka sambil menunggu siasat yang akan
disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu
lagi."
Semua orang
menyambut kabar ini dengan gembira, sementara itu secara diam-diam Hay Hay
mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam
itu dan kemudian terjadi kesibukan.
Tentu saja yang
bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak adalah pembantu-pembantu yang
telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang
merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat
penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini
merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang
diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu
baru itu.
***************
Malam itu
sangat dingin dan sunyi. Pek Eng sudah berada di dalam kamarnya, rebah di atas
pembaringannya. Dia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan
ketegangan di dalam hatinya, apa lagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay telah
dituduh sebagai Ang-hong-cu. Dia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda
itu sehingga dia merasa kasihan.
Ingin dia
bertemu untuk bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak
apa bila dia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimana pun juga dia tahu bahwa
orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi tampaknya belum percaya penuh
kepadanya, walau pun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai
Giam-lo sangat menyayanginya sebagai murid dan bahkan anak angkat!
Akan tetapi
dia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, berbicara dengan dia dan bertanya akan
maksud kunjungan pemuda itu ke tempat ini. Dia tak percaya bahwa Hay Hay ingin
membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Dia merasa yakin
bahwa Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu.
Karena
gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas
itu. Semenjak dia berada di situ, taman ini telah menjadi semakin terawat
karena dia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya
untuk membangun sebuah pondok kecil yang dicat indah di dalam taman itu untuk
tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas.
Hati Pek Eng
yang gelisah menjadi sedikit lega sesudah dia keluar dari kamar dan hawa malam
meniup wajahnya, bermain-main dengan rambutnya. Ketika dia berjalan menuju ke
sebuah bangku, dia terkejut dan jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat
sesosok tubuh seorang lelaki duduk di atas bangku itu, wajahnya tidak jelas karena
lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay,
pikirnya dengan girang dan dia pun lalu menghampiri.
"Aihhh,
malam-malam begini melamun seorang diri..." Pek Eng menghentikan
tegurannya karena setelah pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang
ditemukan melainkan Ki Liong. Dia merasa kecelik dan malu, maka cepat
disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?" Gadis
yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi dia
mengira bahwa pemuda itu adalah Hay Hay.
Sim Ki Liong
segera bangkit sambil tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi,
bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil
melamun dan merindukan seseorang?"
Pek Eng
tersenyum, kemudian tanpa malu-malu dia pun duduk di sudut bangku itu sambil
menatap wajah Ki Liong yang sekarang tertimpa sinar lampu gantung yang
tergantung di batang pohon dekat bangku.
"Aihh,
agaknya engkau telah mempunyai seorang kekasih yang kau rindukan,
Liong-ko?" Pek Eng menggoda. Gadis ini memang berwatak lincah jenaka dan
dia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan
membawa diri.
"Sudah
lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam
hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini."
"Siapakah
gadis itu, Liong-ko? Boeh aku mengenalnya?"
"Engkau
sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini."
"Di
taman ini? Ahh, di mana? Siapa?'"
"Tidak
jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah
gadis yang kucinta, yang selalu kurindukan dan membuat aku tergila-gila. Tidak
tahukah engkau?"
Seketika
wajah Pek Eng berubah merah sekali. Dia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh
tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta
kepadanya!
"Ahh...
Liong-ko...!" Dia bangkit berdiri.
Dengan cepat
Ki Liong melangkah maju dan dengan lembut dia sudah memegang tangan Pek Eng
sambil menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis itu. "Eng-moi,
kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku
cinta padamu, Eng-moi...!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu.
Pek Eng
berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena dia
bingung sekali. Dia merasa kaget, juga terharu bercampur marah sehingga dia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi pemuda yang mengaku
cinta itu. Kedua kakinya gemetar.
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di
taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu? Katanya berada di taman ini..."
Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat-cepat bangkit
berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng.
"Ahhh,
ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan
wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu
berada di sini juga?"
"Han
Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya
berkerut dan suaranya kaku, hatinya tak senang karena dia merasa terganggu
sekali. Padahal tadi Pek Eng tidak menunjukkan perlawanan dan agaknya dia sudah
hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau!
"Maaf,
sebelum kita bicara sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih
dulu. Nona, malam sudah begini larut, kalau Nona masih berada di taman tentu
akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke
kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu."
Pek Eng baru
sadar akan apa yang sudah terjadi, maka diam-diam dia merasa bersyukur dengan
kemunculan orang itu. Tadi dia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini dia
melihat dengan perasaan ngeri betapa hampir saja dia terjerumus ke dalam jurang
yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak
cakap lagi.
Tentu saja
hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang tua ini. Akan
tetapi tentu saja dia tak berani menyatakan ketidak senangannya, bukan karena
dia takut terhadap Han Lojin, melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai
Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau
Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, tentu dia akan menghadapi kesulitan
besar.
Sesudah Pek
Eng keluar dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, berusaha
menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus
dan kaku, tidak seperti biasanya di mana dia selalu lembut dan ramah.
"Nah,
sekarang keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau
malam-malam begini mencari aku?"
Han Lojin
bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong ini. "Aku tadi sudah
minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin
mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan
apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa, sedangkan
sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan tetapi Bengcu
tadi menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat
menjelaskan semua itu kepadaku."
"Hemm,
kiranya urusan begitu saja..." Ki Liong menoleh ke arah lenyapnya Pek Eng
dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa
melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk
saja! "Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi
penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn."
Han Lojin
tersenyum lalu mengangguk. "Begitu juga baik, Sim-kongcu. Selamat
malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia
berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Sebetulnya engkau harus
berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona
Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi mala petaka atas
dirimu." Setelah berkata demikian Han Lojin berjalan keluar taman dan
menghilang di dalam kegelapan malam.
Ki Liong
tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian pemuda ini
mendengus. "Bedebah!"
Dia pun
pergi meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi
berhati-hati dan tak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng
setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu melaporkan hal ini
kepada bengcu untuk mengambil hati! Dia harus berhati-hati sekali.
***************
Sementara
itu Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia sudah cukup mendengar dan
melihat banyak untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak
cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada
Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang
terdekat mengenai rencana pemberontakan yang akan dimulai ketika terang bulan
dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu
menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana.
Teringatlah
dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa
orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu
para pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang
menyamar!
Sebelum
pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat
harus dibinasakan. Akan tetapi pasukan pemerintah baru bisa bergerak kalau
pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu sudah
berkumpul di dataran Yunan.
"Tok-tok-tok!"
daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar, perlahan saja.
Dia terkejut
bukan oleh ketukan itu, akan tetapi karena sama sekali dia tidak mendengar
langkah orang di luar pintu. Jika langkah orang biasa sudah pasti akan
didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang
berkepandaian tinggi.
"Siapa
di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk.
"Aku,
saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara
denganmu!" kata suara itu dari luar pintu.
Berdebar
rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini!
Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia? Kalau memang
benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja, tentu akan menimbulkan
kecurigaan.
Hay Hay tahu
bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu
selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong
mata-mata itu, atau para anggota Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat
dia akan kelihaian orang ini.
Tidak mudah
baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan ilmu sihir? Belum
dicobanya. Kekuatan sihirnya tidak selalu dapat diandalkan. Apa bila bertemu
lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe
Tok-li nenek buruk itu, maka kekuatan sihirnya tidak akan ada artinya. Akan
tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun
pintu.
Dia telah
mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya pada saat membuka pintu. Begitu
daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam
di antara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh
wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!"
Jelas
kelihatan betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan
mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan
tiga jari tangan kirinya untuk menekan dahi di antara kedua alisnya, lalu
memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar.
"Wah,
Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja
aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap,
ya?"
Dan tahulah
Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin
tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua
alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa
sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia untuk apa orang ini datang
kepadanya membawa guci arak.
"Han
Lojin, ada keperluan apakah maka malam-malam begini engkau datang berkunjung
kepadaku?" Diam-diam dia merasa heran. Orang ini bersama dia baru saja
diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah
berkeliaran di tempat orang!
"Ha-ha-ha,
karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan
tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa
kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita."
"Hemm,
di dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, malah secara
seenaknya telah menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol.
"Heh-heh,
karena engkau memang pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu..."
"Tidak
sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?"
"Ha-ha-ha,
Saudaraku yang baik. Bukankah di sini sedang berkumpul banyak orang yang
bergelimang kejahatan? Ataukah engkau adalah seorang yang menentang kejahatan,
dan kalau benar demikian, mengapa berada di sini?" Berkata demikian, Han
Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk ke dalam? Aku hanya ingin
menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa
kagumku."
Ucapan Han
Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya dia
menaruh curiga kepadaku dan mengira bahwa aku adalah seorang dari golongan lain
yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian,
celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat
perkembangannya.
"Masuk
dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan
meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah,
katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?"
"Heh-heh,
telah kukatakan tadi, aku ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan
arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah berumur
ratusan tahun, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin supaya engkau
menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di
sini ada cawan?"
Kebetulan di
setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay
mengambil dua buah cawan lantas dia bersikap waspada. Akan tetapi Han Lojin
menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu
berwarna kekuningan seperti emas, dan mengeluarkan aroma yang sangat harum
semerbak seperti bunga.
"Saudara
Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu," kata Han Lojin
sambil mengangkat cawan araknya.
Hay Hay
mengikutinya dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi
sehingga dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras,
namun hangat memasuki perutnya.
Dua cawan
lagi mereka minum sehingga guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan
gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang sangat
hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di
kamarku." Orang itu bangkit dan agak terhuyung.
Hay Hay
ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja orang ini sudah terlihat
mabuk. Akan tetapi ketika bangkit berdiri dia pun terkejut karena kepalanya
terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk
hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus
namun keras bukan main.
"Tapi,
urusan apakah yang sebetulnya hendak kau bicarakan, Han Lojin?"
"Aku?
Heh-heh-heh, tidak ada apa-apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh-heh,
dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam
rayuannya, akan tetapi... heh-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda,
engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau
memperingatkan dia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han
Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.
Hay Hay
merasa terkejut sekali, juga marah. Jahanam Ki Liong itu! Dia menduga keras
bahwa Ki Liong adalah Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang
diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar
juga anjuran Han Lojin itu.
Hay Hay lalu
keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan
dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak
yang sudah tua sekali dan memang sangat hebat!
Dia tahu di
mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin
mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus
memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak
baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, sungguh pun tidak ada maksud
buruk. Sebaiknya dia memanggil Pek Eng keluar.
"Eng-moi...!"
Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala
dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay
Hay...!"
"Hay-ko...!"
terdengar suara gadis itu.
"Ssstttt...,
keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau membicarakan hal penting,"
kata pula Hay Hay.
"Baik,
Hay-ko..."
Mereka
bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi dan juga gelap karena sinar
lampu di depan pondok itu terhalang oleh pohon.
"Ada
apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, lalu berdiri
dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri bila mana
teringat mengenai pengalamannya dengan Ki Liong tadi.
"Eng-moi..."
Hay Hay tergagap dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya. Ia merasa aneh
sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar
dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Engkau... engkau harus berhati-hati
terhadap rayuan Ki Liong..."
"Hay-ko...!
Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak
cinta kepadanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran
melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan.
"Hay-ko,
engkau kenapakah...?" tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay.
Akan tetapi
sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul,
mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan
main, sampai dia menjadi gelagapan.
"Hay-ko...
Hay-ko... Hay..." Gadis itu tidak dapat melanjutkan lagi karena Hay Hay
sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya.
Karena
semenjak pertemuan pertama dahulu di sudut hati gadis ini memang sudah jatuh
cinta kepada Hay Hay, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan dia
pun bukan hanya mandah saja, bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay
Hay.
"Hay-kooo..."
keluhnya dan dia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay
memasuki pondok itu.
Dengan
kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok hingga terbuka, lalu masuk ke dalam
pondok yang gelap akibat lampunya memang tidak dinyalakan itu, dan menghampiri
dipan kayu yang terdapat di dalam pondok.
"Eng-moi..."
"Hay-ko...
"
Akan tetapi,
ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika
Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay
Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya. Keadaan mabuk yang sangat
aneh dan mendatangkan rangsangan birahi yang amat hebat itu kini dapat nampak
oleh kesadarannya, Maka dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan
meloncat turun dari pembaringan.
"Hay-ko...!"
"Eng-moi,
apa yang kita lakukan ini? Ahh..." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu
dengan geram tertahan dia pun melompat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih
berada di atas dipan dan gadis ini terisak.
Baru saja
bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap di dalam kegelapan, nampak pula
bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu
dari dalam.
"Hay-koooo...!"
Pek Eng mengeluh dan merintih panjang.
Selanjutnya
pondok itu sunyi senyap. Kesunyian yang menghanyutkan, kesenyapan yang penuh
dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa tentang segalanya,
lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari
perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu.
Dalam
kegelapan malam itu, remang-remang terlihat sesosok bayangan keluar dari dalam
pondok kemudian meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak
berapa lama kemudian nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan
isak dan bayangan yang kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung-huyung
meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih.
***************
Semalam
suntuk Pek Eng tidak dapat tidur. Kadang kala dia terisak, akan tetapi
kadang-kadang dia nampak tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan
diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya sudah mereguk anggur
manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan.
Tadi, ketika
Hay Hay tiba-tiba meninggalkannya, dia bingung dan menyesal. Akan tetapi,
ketika pemuda itu masuk kembali ke kamarnya dia terkejut sekali. Baru setelah
Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, dia pasrah sepenuh
hatinya.
Dia mencinta
Hay Hay, dan dia tidak merasa menyesal bahwa dia telah menyerahkan diri kepada
pemuda itu, karena dia merasa yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan
mengawininya! Dan dia merasa bahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan
menjadi isteri Hay Hay walau pun kadang-kadang hatinya terganggu oleh perasaan
sesal karena dia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan
menahan perasaan canggung dan malu, dia tidak dapat menemukan pemuda itu!
Ternyata pada malam hari itu juga Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan
itu tanpa pamit kepada siapa pun. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan
khawatir, dan dia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay.
Bagi Ki
Liong, yang menghilang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin yang
tidak berada di dalam kamarnya. Tidak seorang pun di antara para penjaga
melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan, namun hal ini tidak
mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi.
Dia merasa
menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan
lebih waspada mengamati kedua orang itu. Kini mereka sudah pergi, entah ke mana
dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai
Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang
dimakinya kurang hati-hati.
"Sebar
orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau
tempatnya sudah diketahui, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka
memang berkhianat!"
Ki Liong
sendiri yang juga merasa penasaran segera memimpin pasukan kecil untuk turut
melakukan pencarian. Keadaan menjadi sangat kacau, apa lagi sesudah Lam-hai
Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga
meninggalkan tempat itu.
Para penjaga
melihat Pek Eng keluar dari perkampungan, namun karena semua penjaga mengenal
bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun di
antara mereka berani bertanya apa lagi menghalangi kepergian dara itu. Lam-hai
Giam-lo merasa khawatir sekali, dan dia pun menyuruh orang-orang untuk mencari
pula muridnya itu.
***************
Saat
mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susiok-nya yang amat
dikaguminya itu adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang
tersohor, tanpa Hay Hay mampu membuktikan bahwa dia bukanlah Ang-hong-cu,
timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan di dalam hati Cia Ling atau Ling
Ling.
Ling Ling
adalah seorang gadis yang berhati lembut, mempunyai watak jujur, terbuka dan
peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena
selama hidupnya dia merasa belum pernah bertemu dengan seorang pria yang
demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Karena itu, tuduhan bahwa Hay
Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa
lagi ketika dia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan
seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja
memuji-muji kecantikannya.
Apakah Hay
Hay benar-benar seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka
memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidaklah sulit bagi Hay Hay untuk
melakukan kejahatan seperti itu, pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng
untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan sangat lihai untuk menarik hati
wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Apa bila
rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk
menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri.
Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri,
adalah seorang penjahat keji?
Tadinya dia
sudah tidak mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki
sendiri persekutuan pemberontak itu. Namun betapa pun juga hatinya merasa tidak
tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan
menjumpainya di tepi telaga, pada bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali
dia berjumpa dengan susiok-nya itu, ketika Hay Hay tengah memancing ikan
kemudian terganggu oleh luncuran perahunya.
Maka, pada
hari ketiga Ling Ling membawa perbekalan makanan kemudian pergilah dia ke
tempat itu. Dia menunggu dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam ketika
hari telah menjadi gelap dia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay
Hay di situ.
Gadis ini
merasa yakin bahwa susiok-nya pasti akan datang, entah malam ini atau paling
lambat besok pagi-pagi. Dia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati,
bukan hanya untuk mendengar tentang hasil penyelidikan susiok-nya, akan tetapi
juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Dia harus dapat yakin
mengenai hal itu!
Ketika malam
tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul hingga
mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir
dingin dan nyamuk, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum dia
tidur. Dia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu
untuk dibakar sudah habis, Hay Hay belum juga datang.
Ling Ling
membiarkan api unggun padam, kemudian merebahkan diri di atas tanah di tepi
telaga, berselimut kain yang dibawanya. Dia tidak mempunyai nafsu untuk makan
malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimana pun juga dia
merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang.
Gadis itu
mulai hanyut dalam kantuknya dan hampir saja pulas sehingga dia tidak melihat
berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Dia baru merasa kaget saat ada
tangan menotoknya. Dia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika dia
sadar dan hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Dia tidak
mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh!
Ada sosok
tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biar pun cuaca remang-remang sehingga tak
memungkinkan dia untuk mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya,
dia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin dia memanggil
susiok-nya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara.
Totokan itu
lihai bukan main, membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan mau pun
lidahnya, namun tetap membiarkan dia sadar. Kenapa susiok-nya melakukan hal
ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya?
Alangkah
kagetnya ketika dia melihat apa yang dilakukan susiok-nya terhadap dirinya! Ia
terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susiok-nya telah melucuti
pakaiannya kemudian memperkosanya!
Hatinya
memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu!
Tak tahulah susiok-nya itu bahwa semenjak pertama kali bertemu dia telah jatuh
hati? Dia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susiok-nya itu, dengan
rela dan suka hati dia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih
sayang! Akan tetapi mengapa susiok-nya itu memperkosanya?
Alangkah
kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling
pun jatuh pingsan, tidak merasakan lagi semua yang sedang terjadi pada dirinya.
Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia
tujuh belas tahun lebih ini.
Ketika
akhirnya Ling Ling siuman kemudian membuka matanya, dia mengeluh tanpa bisa
mengeluarkan suara. Hanya rintihan panjang yang keluar dari dalam dadanya dan
dia pun menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika dia membuka mata, ternyata
malam sudah lewat dan biar pun matahari belum muncul, akan tetapi sinarnya
telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin.
Ling Ling
mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat, di
atas pakaiannya sendiri! Dia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah
tidak ada, tidak nampak bayangannya. Keparat! Alangkah kejinya! Meninggalkannya
dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok.
Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan
pertama itu sudah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya,
jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi!
"Ling
Ling...!" Mendadak terdengar suara Hay Hay lantas muncullah pemuda ini.
Matanya terbelalak memandang gadis yang terlentang telanjang bulat dan tak mampu
bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling
Ling.
"Ling
Ling, kau kenapa?!" teriaknya. Dan melihat betapa gadis itu hanya
memandangnya dengan mata mengalirkan air mata, tanpa suara dan kaki tangannya
lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu.
Begitu Ling
Ling mampu bergerak, pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya
membelakangi Hay Hay, kemudian mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu
dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya
bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan hingga Ling Ling selesai
berpakaian, barulah dia bertanya lagi.
"Ling
Ling, apakah yang sudah terjadi? Apa... siapa..." dia tidak mampu lagi
melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang
kepadanya dengan sinar mata berapi namun juga mencucurkan air mata yang
menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat.
"Manusia
keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang sudah terjadi? Aihhh,
Susiok, mengapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat
melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi
mukanya dengan kedua tangan.
Hay Hay
terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh
kekhawatiran. "Ling Ling, apa... apa maksudmu...?"
Ling Ling
menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan lantas dengan mata membendul merah
karena terlampau banyak menangis dia menatap wajah pemuda itu dan berkata,
suaranya penuh nada penyesalan.
"Engkau...
jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Tadi malam... engkau datang ketika aku
sedang tidur, dan engkau menotokku... kemudian kau... kau... memperkosa aku!
Dan kini sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?"
Kalau saat
itu ada guntur menggelegar dan kilat menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay
akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh dara itu. Dia
meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali.
"Ling
Ling...! Apakah engkau benar-benar melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah
engkau melihat dan mengenalku?"
Dengan mata
mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling
berkata, "Biar pun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan
tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang
tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji
kepadaku akan datang ke sini setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok,
engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian.
Engkau sudah menghancurkan hatiku dan menodai kehormatanku..." Dara itu
menangis lagi. "Akan tetapi semua ini telah terlanjur..., mungkin engkau
dikuasai nafsu... dan aku bersedia memaafkan semua itu asal engkau menyatakan
penyesalanmu lantas bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau
memperisteri aku dengan sah..."
"Tidak...!
Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian
itu terhadap dirimu!"
Dengan hati
marah Ling Ling meloncat dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya
membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Hanya begini sajakah keadaan batinmu?
Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih tega untuk
berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia,
engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis, maka engkau atau aku yang akan
mati di sini!"
Gadis yang
biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas laksana seekor harimau marah
dan dia telah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena dia mengerahkan
seluruh tenaganya dalam serangan itu.
Batin Hay
Hay masih terguncang akibat tuduhan tadi, karena itu seperti orang bingung dia
menghadapi serangan ini dan hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau
sebagai gerakan pertahanan otomatis. Tapi dia tidak mengerahkan tenaga yang
terlampau besar, sebab di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa
amat kasihan kepada gadis yang baru saja ditimpa mala petaka yang bagi seorang
gadis lebih hebat dari pada maut itu.
"Dukkk...!"
Tubuh Hay
Hay terlempar lantas terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang
cepat bukan main Ling Ling sudah melompat, mengejar dan mengirim tendangan ke
arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh pemuda itu,
karena di dalam tendangan ini terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay
belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali
gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala.
"Dessss...!"
Tendangan
yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya
tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang.
Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan dia pun
sudah mengejar lagi.
Akan tetapi
Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku
tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan
ke atas.
Akan tetapi
penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi makin marah. Kemarahan yang
timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana jika ternyata benar-benar bukan Hay
Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar
lagi.
Apa bila Hay
Hay yang melakukannya, bagaimana pun juga dia mencintai susiok-nya itu. Akan
tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka ia tak sudi mendengarkan kemungkinan
ini dan dia sudah menerjang lagi sambil berkata,
"Engkau
akui perbuatanmu atau harus mengadu nyawa dengan aku!"
Dan ini
memang telah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab
maka dia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya jika Hay
Hay tetap menyangkal, maka pemuda itu harus mati atau dia sendiri yang akan
mati di dalam tangan pemuda itu.
Dia
menyerang kembali dengan satu loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur
turun, dua tangannya membentuk cakar sambil mencengkeram ke arah ubun-ubun,
kepala dan leher pemuda itu. Serangan ini bukan main hebatnya sebab Ling Ling
telah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas
Jurus Penakluk Iblis)!
Serangan ini
memang dahsyat bukan kepalang, tapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih
tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri,
juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tak ada niat di hatinya untuk
membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu.
Dia mencoba
untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan
lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam.
"Dukkk!"
Kini tubuh
Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah,
Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting. Hay Hay
masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk.
"Dengarkan
dulu, Ling Ling, dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan
bahwa aku tidak..."
"Bukkk!"
Kini
hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay sehingga pemuda itu
terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras karena mengandung tenaga
sinkang yang kuat, tetapi tidak melukai Hay Hay walau pun dalam dadanya
terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat
bangun kembali. Pada saat itu Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya
mengelak sambil mundur.
"Ling
Ling, demi Tuhan... Ling Ling..." Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan
gadis itu di antara serangan bertubi-tubi yang dielakkan atau ditangkisnya
dengan lembut,.
"Pengecut
keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, sekarang
menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali.
Karena sama
sekali tak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan
totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan
karena gadis itu telah mengenal ilmu ini dan tentu akan bisa melihat rahasia
gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya.
Maka Hay Hay
menggunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan satu
jari itu dengan telapak tangannya yang diisi dengan sinkang lunak. Pemuda ini
mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin
hebat.
"Tahan
serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Mendadak
terdengar seruan dari arah samping.
Hay Hay
melirik dan dapat mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang dahulu pernah
dibujuknya agar ikut menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin
bingung karena jika pemuda ini menanyakan urusan maka tidak mungkin dia dapat
menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling.
Maka,
menggunakan kesempatan saat Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang
baru datang itu, Hay Hay cepat melompat dan menggunakan kepandaiannya untuk
menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga.
"Jahanam,
jangan lari kau!" bentak Ling Ling yang segera melakukan pengejaran.
Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali juga ikut pula mengejar.
Akan tetapi
bayangan Hay Hay telah menghilang sehingga Ling Ling kehilangan jejaknya.
Ketika gadis ini berhenti di tengah hutan dalam keadaan bingung, Can Sun Hok
muncul dan bersikap hormat.
"Maaf,
Nona. Bukan maksudku ingin mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh
merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang
berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan
pemberontak itu."
Tadinya Ling
Ling hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi
kemarahannya segera berkurang melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar
Sun Hok memuji-muji Hay Hay. Ia pun maklum bahwa dia sama sekali tak mungkin
dapat menceritakan peristiwa antara dia dan Hay Hay yang merupakan rahasia
pribadinya itu, merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang
lain, kecuali orang tuanya sendiri.
"Pendekar?
Huh, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat keji, karena itu aku tadi
berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Kini Sun Hok
yang terbelalak heran, "Apa...?! Dia...? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat...?
Ahh, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya sangat
tinggi dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat
yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku sudah mendengar sendiri dari
Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri
Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu telah memesan
kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ahh... mengapa aku begini
lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana
dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?"
"Hemmm,
aku sendiri belum mengenal siapa engkau..." Ling Ling berkata sambil
menatap tajam.
"Namaku
Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah berjanji kepada
Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah dalam menentang kaum sesat yang akan
memberontak."
Ling Ling
percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku
pun sedang melakukan penyelidikan setelah mendengar bahwa di daerah Yunan
terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak
melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada
serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena
menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang
sudah mengganggu kemudian membunuh seorang murid Bu-tong-pai."
"Ahh,
kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai bukan main dan jika benar
dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat, maka tentu saja dia menjadi
sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan sangat
percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima
tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri
Cang supaya jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak
musuh."
Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling
Ling ragu.
Pemuda itu
tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini,
di balik bukit di utara itu. Dia sudah mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam
benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sedang berkumpul dl sana, siap
menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus
melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil
keputusan."
Tak ada
jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan
mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul
pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas dia lalu
mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara.
Untung dia
adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya telah memiliki kekuatan yang jauh
melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, sesudah apa yang dialaminya
semalam, tentu dia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat
menderita lahir batin.
Dia
membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali bila mendengar mala petaka
yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay
Hay untuk membalas dendam. Jika mengingat ini, ingin rasanya dia menangis
tersedu-sedan, namun perasaan ini ditekannya karena dia tidak mau memperlihatkan
kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya.
Ia harus
dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, kemudian akan dicobanya sekali lagi untuk
minta pertanggungan jawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal maka dia
akan menyerang mati-matian dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay
atau dia sendiri yang roboh dan tewas.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment