Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 03
KETIKA
melihat sepak terjang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tadi, Hay Hay merasa kagum
bukan main karena mendapat kenyataan bahwa mereka itu jauh lebih lihai
dibandingkan dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Akan tetapi kemudian
muncul pengemis itu dan pendeta yang luar biasa ini, maka tentu saja hatinya
menjadi bimbang. "Biarkan aku mengenakan pakaianku dulu," katanya.
Pendeta Lama
itu tersenyum ramah, lalu menyerahkan pakaiannya, malah membantunya memakai
bajunya. Sesudah selesai berpakaian, Hay Hay lalu menuju ke tengah lapangan
itu, memandang empat orang itu satu demi satu. Masih sukar dia menentukan
sehingga dia memandang ragu-ragu.
Dia suka
menjadi murid seorang di antara mereka, mempelajari ilmu yang tinggi supaya
kelak dia dapat melakukan penyelidikan sendiri mengenai dirinya. Dia harus
mencari ayah bundanya yang asli, dan dia yang akan memberi hajaran kepada
orang-orang seperti dua pasang suami isteri tadi. Dia harus mendapatkan guru
yang paling pandai. Paling pandai! Itulah ukurannya untuk memilih!
"Aku
ingin berguru kepada orang yang paling pandai di antara Locianpwe berempat.
Kini silakan para Locianpwe mengadu kepandaian dan siapa yang paling tinggi
kepandaiannya dan menang dalam pertandingan ini, nah, dialah guruku."
"Anak
setan...!" Tung-hek-kwi menyumpah.
"Omitohud...!"
Se-thian Lama berseru.
Dua orang
kakek lainnya, yaitu Pak-kwi-ong dan Ciu-sian Sin-kai tertawa bergelak-gelak
mendengar kata-kata Hay Hay itu.
"Ha-ha-ha-ha,
anak baik, ketahuilah bahwa di antara Delapan Dewa tidak ada yang saling
bertanding. Aku suka mengalah kepada See-thian Lama dan dia pun pasti suka
mengalah kepadaku. Akan tetapi entah dengan dua orang dari Empat Setan ini.
Nah, bagaimana Pak-kwi-ong? Engkau hanya tertawa saja. Apakah engkau ingin
memasuki... ha-ha-ha-ha, sayembara ini?" Kata Ciu-sian Sin-kai sambil
tertawa geli.
"Heh-heh,
aku sungguh tidak tahu diri kalau berani menandingi Pat Sian! Akan tetapi, kini
muncul kesempatan bagiku untuk menguji satu jurus pukulanku yang paling akhir.
Begini saja, Ciu-sian Sin-kai, karena di antara Pat Sian hanya engkau yang
paling cocok dengan aku, karena kita sama-sama suka bergembira, bagaimana kalau
engkau membantu aku dan menguji jurusku itu?' Satu jurus saja dan aku akan
mengerti sudah, apakah aku harus melangkah terus ataukah mundur.”
Ciu-sian
Sin-kai mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dia menyukai ketegasan sikap salah
seorang di antara Empat Setan yang memang paling suka berkelakar ini walau pun
hatinya amat kejam.
"Boleh,
boleh, hanya aku khawatir tulang-tulangku yang sudah tua ini akan menjadi remuk
nanti dan berarti dalam usia setua ini engkau akan menjadi pembunuh lagi.
Ha-ha-ha, itu namanya menambah dosa saja!"
"Heh-heh,
usia kita sebaya, Sin-kai. Jika sampai engkau mati berarti aku tidak
keterlaluan dan tidak menjadi buah tertawaan orang sedunia. Nah, mari kita
bersiap."
"Anak
baik, kau minggirlah dulu," kata Sin-kai sambil mendorong pundak Hay Hay
dengan lembut.
Anak ini
melangkah minggir untuk memberi tempat kepada dua orang kakek yang hendak
mengadu ilmu. Diam-diam anak ini merasa girang bukan main. Kalau dia berhasil
menjadi murid orang terpandai di antara mereka ini, sungguh hal itu amat
menyenangkan.
"Pak-kwi-ong,
aku sudah siap," kata Ciu-sian Sin-kai.
Kakek ini
sama sekali tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Dia tahu siapa
adanya Empat Setan yang beberapa puluh tahun yang lalu sudah amat terkenal di
dunia persilatan kalangan atas. Orang semacam Empat Setan, apa lagi yang
sikapnya gembira seperti Pak-kwi-ong, harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan.
Oleh karena
itu, biar pun nampaknya dia berdiri santai saja, namun tubuh tua itu berada
dalam keadaan siap siaga, seluruh tubuhnya dialiri hawa sinkang yang sukar
dapat diukur kekuatannya. Bahkan tangan kanannya sudah memegang senjata yang
juga menjadi alat musiknya, yaitu suling yang terbuat dari kayu berwarna hitam.
Pak-kwi-ong
juga tidak mau membuang waktu lagi. Dia bersikap cerdik ketika satu jurus
ilmunya minta diuji oleh Ciu-sian Sin-kai. Kalau dia menantang berkelahi, dia
meragukan apakah dia akan mampu keluar dengan nyawa masih menempel di tubuhnya.
Ujian hanya
satu jurus ini, andai kata dia gagal dan kalah sekali pun, maka dia masih bisa
keluar dengan selamat dan satu jurus saja telah cukup baginya untuk menguji.
Jurus yang akan dikeluarkan ini adalah jurus terampuh dan kalau jurus ini tidak
mampu mengalahkan Sin-kai, maka jurus-jurus lainnya tidak akan ada artinya
lagi.
Dengan kedua
kakinya yang nampak pendek karena berbentuk bulat, dia melangkah maju sambil
menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian tampak uap tebal
mengepul dari telapak tangannya.
Dapat
dibayangkan kehebatan tenaga sinkang kakek ini. Ketika muncul di sana, tenaga
saktinya telah datang menerpa bagai badai yang membuat daun-daun kering
beterbangan dan kini dia mengumpulkan seluruh kekuatannya pada kedua telapak
tangannya, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya kedua telapak tangan yang telah
diisi tenaga sakti itu.
"Sin-kai,
terimalah seranganku ini!" Kakek gendut botak itu berseru dengan suara
nyaring seperti bentakan.
Kakek ini
adalah seorang datuk sesat yang kejam, akan tetapi juga cerdik sekali. Selain
mengerahkan seluruh kekuatan dan menggunakan jurus terampuh dalam serangan yang
hanya satu kali ini, juga dia memakai sopan-santun memberi peringatan terlebih
dulu. Hal ini dilakukan karena dia belum yakin benar akan dapat mengalahkan
lawan ini dalam satu serangan itu. Andai kata yang diserangnya itu adalah orang
yang tingkatnya lebih rendah dan dia yakin akan sanggup merobohkannya, tentu
dia akan turun tangan tanpa banyak aturan lagi.
"Wuuuuttt...!"
Angin dari
hawa pukulan itu menyambar dahsyat ketika Pak-kwi-ong menerjang ke arah
Ciu-sian Sin-kai. Ternyata jurus pukulan itu hanya sederhana saja, tangan kiri
menampar dari atas ke arah kepala sedangkan tangan kanan menghantam lurus dari
depan ke arah dada. Biar pun sederhana, jangan harap pukulan ini akan dapat
dihindarkan oleh ahli-ahli silat kebanyakan saja karena pada kedua lengan itu
terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.
Dan
hebatnya, meski pun nampaknya tidak begitu cepat, namun Ciu-sian Sin-kai,
seorang di antara Delapan Dewa, melihat bahwa pukulan dari Si Gendut itu tidak
mungkin dapat dielakkan karena hawa pukulan itu sudah membuat semua jalan
keluar tertutup. Apa bila orang memaksa diri untuk mengelak, tentu akan terkena
pukulan, betapa pun cepatnya dia mengelak. Satu-satunya jalan untuk menghadapi
pukulan kedua tangan itu hanyalah menyambutnya dengan tangkisan.
Dan inilah
yang dikehendaki oleh Pak-kwi-ong. Dia hendak memaksa lawan menggunakan tenaga
menyambutnya untuk mengadu tenaga! Dan karena ini pula maka dia langsung
mengerahkan seluruh tenaganya pada kedua tangan.
Akan tetapi
Ciu-sian Sin-kai tidak merasa gentar. Juga sebagai seorang datuk persilatan
yang sudah memiliki tingkat tinggi sekali, dia tidak kekurangan akal. Dengan
tenang saja dia lalu menyalurkan tenaga sinkang dari pusarnya ke arah kedua
tangan, lebih banyak ke tangan kiri dari pada tangan kanan.
Tangan kanan
yang memegang suling hitam itu lantas bergerak, menggunakan sulingnya untuk
menyambut dan menotok ke arah telapak tangan kiri Pak-kwi-ong yang menampar
dari atas ke arah kepalanya. Karena dia menyambut tamparan itu dengan totokan,
bukan tangkisan, maka dia tak perlu mengerahkan terlampau banyak tenaga. Ujung
tongkatnya menyambar ke arah jalan darah yang menjadi pusat, yaitu di antara
pangkal telunjuk dan ibu jari. Ada pun tangan kirinya, dengan jari-jari
terbuka, menyambut hantaman lawan dari depan. Dia menerima tantangan adu tenaga
itu.
Melihat
sambaran ujung suling, Pak-kwi-ong maklum bahwa besar kemungkinan tangan
kirinya akan tertotok dan hal itu dapat mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena
itu, dia terpaksa miringkan sedikit tangan kirinya yang menampar agar ujung
suling itu mengenai bagian lain dari telapak tangannya, lantas dengan nekat dia
pun mengadu tenaga dengan tangan kanannya yang terbuka, menghantam dahsyat ke
arah telapak tangan kiri lawan yang berani menyambutnya.
"Plakk...!
Dessss...!"
Hebat bukan
main pertemuan tenaga dua kali itu, terutama yang terakhir ketika tangan kanan
Pak-kwi-ong bertemu dengan tangan kiri Ciu-sian Sin-kai. Tubuh Hay Hay sampai
terpelanting dan para tokoh lain dapat merasakan getaran yang hebat ketika dua
tenaga dahsyat itu bertemu.
Tubuh
Ciu-sian Sin-kai yang kurus itu masih berdiri tegak dengan mulut tetap
tersenyum, akan tetapi tubuh Pak-kwi-ong yang gendut itu terdorong mundur
sampai lima langkah! Jelaslah bahwa Pak-kwi-ong kalah dalam adu tenaga itu dan
dia pun terkejut bukan main, merasa untung bahwa dia tadi hanya menantang untuk
satu kali atau satu jurus serangan saja.
Jurus itu
pun tidak dilanjutkannya karena lengkapnya masih ada susulan tendangan. Dari
pertemuan tenaga tadi saja dia maklum alangkah hebatnya tokoh dari Delapan Dewa
ini. Bukan nama kosong belaka. Isi dadanya sampai terguncang dan dia pun cepat
menahan napas untuk menghimpun hawa murni. Kemudian, sambil tersenyum
menyeringai dia pun mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Memang
kepandaian Ciu-sian Sin-kai amat hebat. Aku tak merasa malu untuk mengakui
kekalahanku."
Berbeda
dengan dua orang kakek dari Empat Setan itu, para tokoh Delapan Dewa adalah
datuk-datuk persilatan yang berwatak gagah perkasa. Biar pun mereka juga tidak
pernah mengaku sebagai golongan putih atau golongan pendekar, dan tidak
langsung memusuhi golongan hitam seperti kaum pendekar, akan tetapi mereka juga
tidak pernah melakukan perbuatan jahat sehingga terkenal sebagai tokoh-tokoh
aneh yang selalu bersikap adil dan gagah perkasa.
Ciu-sian
Sin-kai merasa kasihan ketika melihat betapa Pak-kwi-ong, seorang tokoh besar
yang tingkatnya telah tinggi sekali, kini bersedia mengakui kekalahannya begitu
saja. Tadi ketika bertemu dengan telapak tangan kiri Pak-kwi-ong, suling
hitamnya yang terbuat dari kayu cendana itu sudah mengalami keretakan. Hal ini
dia tahu dan rasakan benar. Suling itu sudah rusak dan tidak ada gunanya
dipakai lagi, maka kini melihat lawannya mengaku kalah, dia pun tertawa.
"He-heh-heh-heh,
Pak-kwi-ong, kau ini merendahkan diri ataukah mengejek orang? Lihat, dalam adu
tenaga tadi engkau telah merusak sulingku."
Dia
melemparkan suling itu ke atas tanah dan ternyata benda itu telah patah menjadi
dua potong. Tadinya memang hanya retak saja, akan tetapi dengan bantuan tenaga
sinkang Ciu-sian Sin-kai, kini suling itu patah menjadi dua tanpa ada yang
melihatnya.
Pak-kwi-ong
bukan orang bodoh. Meski pun andai kata benar dia berhasil merusak suling
lawan, namun bagaimana pun juga jika perkelahian dilanjutkan, dia akan kalah.
Maka dia pun tertawa.
"Sudahlah,
kini aku memang kalah. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas
kekalahanku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, kakek gendut itu
lalu melompat kemudian tubuhnya seperti menggelundung saja dari puncak bukit
itu, dan sebentar saja dia sudah menghilang.
"Omitohud...
Pak-kwi-ong sungguh tahu diri, semoga dia memperoleh kebahagiaan dan kedamaian
hidup…," kata Seng-thian Lama, merasa lega bahwa seorang di antara Empat
Setan itu tidak membuat onar selanjutnya dan mau mengalah. "Dan bagaimana
dengan engkau, Tung-hek-kwi?"
Semenjak
tadi Tung-hek-kwi sudah memutar otak. Dia seorang yang pendiam, akan tetapi
juga cerdik. Melihat betapa Pak-kwi-ong tidak mampu mengalahkan Ciu-sian
Sin-kai, dia mengerti bahwa dia pun tidak akan menang menghadapi dua orang dari
Delapan Dewa itu. Hatinya merasa mengkal sekali.
Dia pun
tidak terlalu ingin mengambil anak itu sebagai muridnya. Akan tetapi melihat
ada orang datang kemudian mengambil alih begitu saja anak yang tadinya berada
di dalam lindungannya, dia merasa dipandang rendah sekali. Apa lagi anak itu
telah mengadakan semacam sayembara, yang berarti mengadu domba dan apa bila
dituruti berarti dia akan membuktikan kekurangan serta kekalahannya terhadap
dua orang kakek Delapan Dewa itu. Maka timbullah kemarahan dan kemendongkolan
hatinya terhadap Hay Hay.
"Dari
pada diperebutkan, biarlah tak seorang di antara kita memperolehnya!"
bentaknya.
"Omitohud...!"
See-thian Lama berseru dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap.
Ternyata
tubuh yang tinggi besar itu telah melayang ke atas seperti seekor burung garuda
terbang saja. Gerakan pendeta Lama ini begitu cepat sehingga dia mampu
menghadang di hadapan Hay Hay ketika Tung-hek-kwi datang menghantam anak itu.
See-thian Lama menyambut pukulan itu dengan tangkisan tangannya selagi tubuhnya
masih menyambar turun.
"Dessss...!"
Demikian
hebatnya tangkisan itu dan tak terduga-duga oleh Tung-hek-kwi sehingga tubuh
kakek hitam yang tinggi besar itu pun terjengkang dan bergulingan di atas
tanah! Melihat betapa kakek hitam itu tadi nyaris saja membunuh anak kecil itu,
kakek pendeta ini telah mengerahkan seluruh tenaganya dan mana mungkin
Tung-hek-kwi mampu menahannya? Tubuhnya yang terjengkang dan bergulingan itu
membuktikan betapa dahsyatnya tenaga tangkisan See-thian Lama!
Tung-hek-kwi
segera meloncat bangun dengan muka berubah pucat, sepasang matanya mengeluarkan
sinar berapi. Tetapi kini Ciu-sian Sin-kai juga sudah berdiri menghadang di
depan anak itu.
"Ha-ha-ha,
Tung-hek-kwi, apa bila engkau mau bermain curang dan hendak mengganggu anak
ini, maka terpaksa aku akan menghajarmu!"
Tung-hek-kwi
adalah orang yang berwatak keras. Akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan dia
maklum bahwa menghadapi dua orang kakek itu sama sekali dia tidak akan dapat
menandinginya. Baru melawan seorang di antara mereka saja dia akan sulit
menang, apa lagi mereka berdua kini melindungi anak itu.
"Huh!"
dengusnya. "Tidak sekarang, namun kelak dia akan mampus di tanganku!"
Setelah berkata demikian, dia pun membalikkan tubuhnya lantas sekali meloncat,
dia pun lenyap dari situ.
Ciu-sian
Sin-kai hanya tertawa dan See-thian Lama berkata, "Omitohud... mereka
berdua itu kelak akan menjadi ancaman bagi anak ini."
"Siangkoan
Hay... "
"Locianpwe,
aku tidak mau lagi memakai nama keluarga Siangkoan. Akan tetapi karena nama Hay
Hay adalah namaku semenjak kecil, biarlah aku menggunakan nama Hay Hay
saja," Hay Hay memotong ucapan Ciu-sian Sin-kai.
Kakek
berpakaian pengemis itu terkekeh, "He-he-he, baiklah. Akan tetapi karena
engkau dari keluarga Pek, namamu menjadi Pek Hay."
"Omitohud,
pinceng sangsikan apakah dia ini benar-benar putera pendekar Pek. Menurut
perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama, putera dari pendekar Pek itu
adalah Sin-tong dan pada punggungnya terdapat tanda merah. Akan tetapi di
punggung anak ini tidak ada tandanya, berarti dia bukan Sin-tong dan bukan pula
anak pendekar Pek."
"Pendapatmu
itu memang benar, See-thian Lama, tetapi sekarang kita hanya tahu bahwa dahulu
Lam-hai Siang-mo menculiknya dari keluarga Pek. Oleh karena itu, sebelum ada
keterangan lebih lanjut dari keluarga Pek, biarlah dia bernama Pek Hay.
Bagaimana Hay Hay, maukah engkau memakai nama keluarga Pek? Tidak baik orang
tidak memiliki nama keluarga sama sekali."
Hay Hay
menarik napas panjang. Dia sendiri bingung dengan keadaannya, akan tetapi dia
tidak peduli dengan segala macam nama keturunan atau nama keluarga, maka dia
pun hanya mengangguk saja.
"Nah,
sekarang kepada siapa engkau hendak berguru? Kepadaku atau kepada See-thian
Lama? Ingat, antara kami berdua terdapat ikatan persaudaraan maka kami tidak
mungkin mau mengadu ilmu untuk memperebutkan dirimu. Kalau engkau ikut dengan
aku, engkau akan menjadi murid seorang pengemis jembel yang kadang-kadang makan
sisa makanan dan tidur di emperan toko atau di kuil rusak, tak tentu tempat
tinggalnya, tak tentu makan dan pakaiannya. Kalau engkau ikut dengan See-thian
Lama, engkau akan hidup sebagai seorang murid pendeta dan menjadi penghuni
kuil. Nah, engkau pilih yang mana?"
Anak itu
memandang kepada dua orang kakek itu bergantian, menimbang-nimbang. Dia sudah
kehilangan segala-galanya dan kini hidupnya tergantung kepada dua orang kakek
ini. Dia belum mengenal mereka dan tidak tahu pula siapa di antara mereka yang
paling baik, paling pandai dan paling dapat diharapkan.
"Aku
memilih... keduanya!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua
orang kakek itu. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi menerimaku sebagai murid dan
aku berjanji akan mentaati segala perintah Ji-wi."
Dua orang
kakek itu saling pandang dan kemudian mereka berdua pun tertawa terbahak.
"Omitohud, anak ini memang lihai sekali. Ciu-sian Sin-kai, pinceng merasa
kasihan kalau melihat anak yang masih kecil ini kau ajak berkeliaran dan hidup
terlantar. Biarlah selama lima tahun dia ikut bersama pinceng dahulu, kemudian
setelah lima tahun, engkau boleh menjemputnya dan mengajaknya pergi.
Bagaimana?"
"Ha-ha-ha-ha,
aku mengerti maksudmu, See-thian Lama. Tentunya engkau takut anak ini menjadi
tersesat seperti aku, maka engkau hendak menanamkan dasar-dasar semua ilmu
kepadanya, mengajarkan ilmu membaca, menulis dan keagamaan. Baik, aku setuju
saja. Nah kalau tidak ada sesuatu, lima tahun kemudian aku mengunjungimu untuk
menjemput Hay Hay. Dan kau, Hay Hay, engkaulah satu di antara jutaan anak-anak
di dunia ini yang paling beruntung, dapat menjadi murid See-thian Lama.
Belajarlah baik-baik." Dan setelah berkata demikian, Ciu-sian Sin-kai
segera berkelebat lalu lenyap dari tempat itu.
Walau pun
hatinya agak kecewa ditinggalkan oleh kakek jembel yang ramah dan lucu itu,
karena dia sudah berjanji akan mentaati kedua orang itu, Hay Hay diam saja dan
masih berlutut di depan See-thian Lama.
"Bangkitlah,
Hay Hay, dan mari ikut dengan pinceng." Setelah berkata demikian, kakek
itu tanpa menanti Hay Hay bangkit, lalu turun dari puncak bukit itu.
Hay Hay
cepat bangkit berdiri lantas mengikuti pendeta itu dari belakang. Karena
pendeta itu berjalan perlahan-lahan, maka Hay Hay mampu mengimbangi
kecepatannya. Mulailah Hay Hay memasuki suatu keadaan hidup yang baru, yang
sama sekali berbeda dengan keadaan hidupnya sebagai putera Siangkoan Leng di
Nan-king.
Memang
kehidupan ini sangat mudah berubah. Peristiwa-peristiwa yang kebetulan, yang
tidak terduga-duga, dapat merubah keadaan hidup seseorang. Apa yang terjadi
pada diri Hay Hay juga kebetulan saja.
Kwee Siong
dan Tong Ci Ki, suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan itu, selain ingin
membalas dendam atas kekalahan-kekalahan mereka dari Siangkoan Leng, juga
memiliki niat untuk menculik Hay Hay demi keuntungan mereka sendiri. Akan
tetapi, tanpa mereka sengaja suami isteri ini membawa Hay Hay ke puncak bukit
itu, dibayangi dan diintai oleh Siangkoan Leng dan isterinya.
Akan tetapi
sungguh terjadi hal yang tidak sengaja dan kebetulan sekali bahwa di puncak
bukit itu muncul Pak-kwi-ong bersama Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat,
tokoh-tokoh Empat Setan yang sakti! Di antara Empat Setan, memang hanya tinggal
dua orang tokoh ini yang masih hidup, dan puncak bukit itu memang merupakan
tempat pertemuan antara mereka selama puluhan tahun.
Kebetulan
sekali, pada pagi hari itu adalah tepat merupakan pertemuan antara dua orang
datuk ini. Munculnya dua orang datuk ini sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Hay Hay, hanya kebetulan saja, akan tetapi sudah merubah semua jalan
kehidupan Hay Hay. Seandainya mereka tidak muncul dan Hay Hay dibawa pergi oleh
suami isteri Goa Iblis, atau mungkin berhasil terampas kembali oleh Lam-hai
Siang-mo, tentu keadaan hidupnya akan menjadi berlainan sama sekali.
Di dalam
peristiwa yang kebetulan itu, terjadi lagi peristiwa kebetulan lain yang
menimpa dirinya, yakni kemunculan Ciu-sian Sin-kai serta See-thian Lama. Dua
orang kakek yang jarang sekali muncul di dunia ramai ini adalah dua di antara
Pat-sian atau Delapan Dewa, julukan yang diberikan kepada delapan orang tokoh
besar dunia persilatan.
Kemunculan
mereka di tempat itu pun hanya suatu kebetulan saja. Ciu-sian Sin-kai dalam
perantauannya sebagai seorang pengemis selalu memilih jalan sunyi dan tempat-tempat
rawan dan gawat, jarang mau menemui orang lain. Sedangkan See-thian Lama,
seorang tokoh besar di daerah Pegunungan Himalaya, walau pun dia penganut Agama
Buddha seperti para Lama di Tibet, namun dia tidak tergabung dalam golongan
Lama di Tibet, juga sedang merantau ke timur dengan dua maksud.
Pertama,
untuk turut pula menyelidiki mengenai hilangnya Sin-tong yang menghebohkan para
pendeta itu, dan ke dua, untuk mencari murid karena dia merasa sudah tua dan
ingin menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang baik. Dan sungguh dia
memperoleh berkah, mungkin disebabkan cara hidupnya yang selalu bersih sehingga
terjadi hal yang demikian kebetulan. Dia menemukan anak yang diributkan sebagai
Sin-tong, bahkan juga menemukan seorang murid yang baik.
Segala
peristiwa yang terjadi di dunia ini adalah fakta-fakta yang tidak dapat diubah
lagi oleh apa dan siapa pun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang
sudah nyata, wajar, dan tidak baik mau pun buruk. Yang terjadi pun terjadilah!
Kitalah yang
menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa yang terjadi, sesuai dengan
penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri pribadi. Dan sekali kita
menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk, maka muncullah sebutan
baik buruk. Kita senang kalau peristiwa itu baik (menguntungkan) sebaliknya
kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan).
Kecewa,
marah, duka dan sebagainya berada di dalam CARA MENERIMA KENYATAAN yang berupa
peristiwa itu dan bukan terletak pada kenyataan itu sendiri. Dan oleh karena
penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa yang kita anggap baik hari
ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan harinya, dan sebaliknya. Apa
yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita tertawakan, dan apa yang
mendatangkan tawa kepada kita hari ini, mungkin akan mendatangkan tangis di
keesokan harinya. Semua itu tergantung dari keadaan hati kita ketika menghadapi
kenyataan itu.
Apa bila
kita mau menghadapi segala macam peristiwa di dalam hidup ini sebagai suatu
kenyataan, sebagai fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan hati
lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan begitu
batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai tanggapan
terhadap peristiwa itu tidak lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu, melainkan
didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat.
Kewaspadaanlah
yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang terjadi
hanyalah merupakan suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat
berantai panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu
kita dapatkan di dalam diri sendiri!
Kalau sudah
begini, tidak mungkin akan ada lagi keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri.
Jangankan hanya urusan yang tidak langsung mengenai diri kita, bahkan datangnya
penyakit dan kematian sekali pun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai
sebagai baik atau pun buruk.
Dan kalau
sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan? Kalau batin telah bebas
dari ikatan apa pun juga, kematian pun hanya merupakan suatu kewajaran yang
tidak mendatangkan perasaan was-was atau takut sama sekali
***************
Kita
tinggalkan dulu Hay Hay yang sedang mengikuti See-thian Lama menuju ke barat,
ke Pegunungan Himalaya dan mari kita menengok keadaan keluarga lain yang
hubungannya dekat dengan Hay Hay.
Di kota
Nam-co, di daerah Tibet, sebelah utara kota Lha-sa yang menjadi ibu kota Tibet
di mana para Dalai Lama menjadi penguasa-penguasa mutlak, terdapat banyak
pendatang dari timur, jadi bukan penduduk asli Tibet. Mereka ini sebagian besar
menjadi pedagang, membuka toko dan melakukan perdagangan dengan mendatangkan
barang-barang dari Propinsi-propinsi Yu-nan, Secuan, atau Cing-hai.
Karena
banyak pula keluarga bangsa Han (Cina) yang berada di Tibet, maka terdapat pula
kelompok-kelompok atau golongan-golongan di kota Nam-co. Akan tetapi yang
paling terkenal adalah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih).
Perkumpulan
ini adalah perkumpulan silat, merupakan sebuah perguruan akan tetapi juga
perkumpulan sosial yang sering kali bertindak membantu masyarakat yang tertimpa
malapetaka atau ketidak adilan. Penjahat-penjahat di daerah Tibet merasa gentar
menghadapi perkumpulan Pek-sim-pang, karena keluarga Pek, yaitu pendiri dari
Pek-sim-pang, adalah ahli-ahli silat yang amat lihai.
Sejak
berdiri kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, Pek-sim-pang sudah memperoleh
kemajuan besar. Banyak orang muda yang gagah perkasa menjadi murid atau anggota
perkumpulan itu. Karena sepak terjang mereka itu gagah perkasa dan seperti
pendekar-pendekar sejati, maka nama Pek-sim-pang makin terkenal dan anggotanya
pun semakin banyak sampai berjumlah kurang lebih seratus orang.
Selama
bertahun-tahun keadaan perkumpulan itu jaya dan tenteram, bahkan nama besar
Pek-sim-pang membuat kota Nam-co menjadi tenteram pula. Hal ini juga diakui
oleh para pendeta Lama di Lha-sa sehingga mereka amat menghargai Pek-sim-pang
yang mereka anggap sebagai perkumpulan sahabat yang dikagumi.
Apa lagi
mengingat bahwa pendirinya pada empat puluh tahun yang lalu adalah seorang
pendekar besar, murid dari Siauw-lim-pai. Para guru besar Siauw-lim-pai masih
memiliki hubungan baik, bahkan hubungan persaudaraan dalam perguruan dengan
para pimpinan Lama di Tibet, maka tentu saja keluarga Pek diterima sebagai
keluarga seperguruan pula.
Akan tetapi,
tidak ada sesuatu yang abadi dan tidak berubah di dunia ini. Ketenteraman
Pek-sim-pang dan keluarga Pek pada khususnya, mengalami perubahan hebat pada
tujuh tahun yang lalu.
Pada waktu
itu, Pek Khun, pendiri Pek-sim-pang yang sudah berusia enam puluh tahun, telah
mengundurkan diri lalu pergi bertapa di sebuah puncak di Pegunungan
Kun-lun-san. Yang menggantikannya menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Ki Bu,
puteranya yang pada waktu itu sudah berusia empat puluh lima tahun.
Pek Ki Bu
telah mewarisi ilmu-ilmu silat ayahnya dan dia pun amat lihai dalam ilmu silat
Siauw-lim-pai yang sangat banyak ragamnya itu. Pek Ki Bu hanya mempunyai
seorang putera yang bernama Pek Kong. Melalui diri Pek Kong inilah peristiwa
yang menimbulkan perubahan hebat pada Pek-sim-pang itu terjadi.
Baru setahun
Pek Kong menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang obat di Nam-co,
dan ketika isterinya mengandung tua, tiba-tiba saja datang utusan dari Lha-sa,
dari para pendeta Dalai Lama yang menyatakan bahwa anak dalam kandungan isteri
Pek Kong itu adalah calon Dalai Lama! Sebagai cirinya, pada punggung anak itu
akan nampak tanda merah selebar telapak tangan dan karena anak itu merupakan
calon orang suci atau guru besar, maka diminta kerelaan orang tuanya untuk
menyerahkan anak itu bila mana terlahir kelak!
Keluarga Pek
adalah keluarga yang sudah dua keturunan tinggal di daerah Tibet sehingga
mereka maklum apa artinya itu. Anak itu kelak akan menjadi seorang calon Dalai
Lama dan sama sekali terputus hubungannya dengan keluarga Pek!
Tentu saja
keluarga itu tidak rela dengan bayangan ini. Pek Kong merupakan keturunan
terakhir dan tunggal dari keluarga Pek. Kalau kelak anak itu terlahir
laki-laki, maka anak itulah yang merupakan keturunan terakhir. Bagaimana
mungkin mereka bisa menyerahkan keturunan terakhir itu untuk menjadi calon
Dalai Lama dan terputus hubungannya dengan keluarga mereka?
Bagaimana
kalau Pek Kong, seperti kakeknya dan juga ayahnya, hanya memiliki seorang saja
anak laki-laki? Bukankah dengan demikian berarti keturunan keluarga mereka akan
putus dan lenyap? Di mana pun, bagi bangsa Han keturunan laki-laki yang
menyambung nama keluarga mereka merupakan hal yang teramat penting.
Di dalam
kebingungan itu, keluarga Pek tentu saja tidak berani menolak permintaan para
pendeta Lama yang amat berpengaruh di Tibet. Pek Ki Bu sebagai ketua
Pek-sim-pang menjadi bingung, maka dia cepat pergi menghadap ayahnya yang
bertapa di Kun-lun-san untuk minta nasehat.
"Aihh,
mengapa keluarga kita ditimpa urusan yang sesulit itu?" Kakek Pek Khun
menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Walau pun
andai kata ada aku sendiri di sana dan semua puncak pimpinan para Lama menjadi
sahabat-sahabat baikku yang amat menghormatiku, namun urusan pemilihan calon
Lama itu sungguh merupakan urusan yang tak boleh dipandang ringan. Para Lama
itu sangat percaya dengan ramalan, dan menganggap hal itu seperti perintah dari
Sang Buddha sendiri. Biar pun sahabat baik, kalau menentang tentu akan
dimusuhi! Sebaiknya begini saja. Sebelum anak itu terlahir, Pek Kong dan
isterinya harus mengungsi jauh ke timur. Dan kelak, kalau anaknya terlahir,
kita harus menukar anaknya itu dengan anak lain, jika memang di punggungnya
ternyata ada tanda merah. Ada pun anak itu, cucu buyutku, biarlah aku yang akan
membawa dan menyembunyikannya."
Demikianlah,
keluarga Pek lantas mentaati kakek Pek Khun itu dan diam-diam Pek Kong bersama
isterinya melarikan diri ke timur, memasuki Propinsi Yu-nan kemudian mereka
terus melanjutkan perjalanan sampai ke pantai selatan di daerah Propinsi
Kuangsi.
Sesudah
merasa cukup jauh dan sudah hampir tiba waktunya bagi kandungan isterinya untuk
melahirkan, suami isteri Pek ini lantas menyembunyikan diri dan mondok di
sebuah kuil. Tetapi, tanpa mereka ketahui, diam-diam mereka dibayangi oleh
seorang kakek yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, yaitu kakek mereka
sendiri, pertapa Pek Khun yang secara diam-diam melindungi pelarian cucunya
itu.
Sesudah
mereka mendapatkan tempat pondokan di kuil itu, barulah Pek Khun menemui mereka
sehingga girang dan legalah hati Pek Kong bersama isterinya. Saat yang
dinanti-nantikan telah tiba dan isteri Pek Kong lalu melahirkan seorang bayi
laki-laki yang sehat.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati Pek Kong dan isterinya pada saat
melihat bahwa di punggung anak mereka memang terdapat tanda merah sebesar
telapak tangan! Kulit di bagian itu seperti bekas terbakar atau ada kelainan
sehingga warnanya kemerahan.
Bila tidak
ada kakek Pek Khun di situ, tentu suami isteri yang masih amat muda itu, baru
berusia dua puluh tahun lebih, menjadi panik dan khawatir sekali. Kakek Pek
Khun yang membuat mereka tenang. Mula-mula, kakek pertapa ini mencoba untuk mempergunakan
ilmu kepandaiannya supaya tanda kemerahan pada punggung itu dapat lenyap.
Namun, semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya dia harus mengambil jalan
terakhir seperti yang direncanakannya.
"Cucuku,
agaknya memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa anak ini harus terlahir
dengan tanda ini yang tak dapat dihilangkan dengan obat. Maka, satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan keturunan kita ini adalah menyembunyikan dan menukar
anak ini dengan seorang anak lain yang tidak memiliki tanda merah pada
punggungnya. Dengan demikian, anak kalian itu dapat kita ajak pulang dan kalau
para pendeta Lama tidak melihat tanda merah di punggungnya, tentu mereka tidak
akan mengganggunya."
Pek Kong dan
isterinya yang merasa bingung hingga tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa
menyelamatkan putera mereka tanpa menjadi keluarga pelarian, lalu menyetujui
saja siasat yang akan diatur oleh kakek Pek Khun itu.
Maka
mulailah kakek yang sakti itu melakukan penyelidikan di sepanjang pantai
selatan, ke dusun-dusun yang sunyi. Namun dia tak berhasil menemukan anak yang
keadaannya dianggap amat cocok dengan cucu buyutnya. Dia harus cepat menemukan
keluarga yang mempunyai anak bayi yang sebaya, dan keluarga itu harus bersedia
menerima penukaran anak dan mau merawat cucu buyutnya, namun tentu saja tidak
mudah mencari keluarga seperti ini.
Pada hari ke
tiga, pada saat dia berjalan menyusuri pantai yang sunyi, pandang matanya
tertarik oleh sesosok tubuh yang berdiri di atas tebing yang curam. Walau pun
waktu itu sudah menjelang senja dan cuaca sudah remang-remang, namun
penglihatan kakek yang masih tajam ini dapat melihat bahwa tubuh yang berdiri
di tepi tebing itu adalah seorang perempuan yang agaknya memondong sesuatu.
Dia merasa
khawatir melihat wanita itu berdiri demikian dekat di bibir tebing yang begitu
curam. Ingin dia berteriak memperingatkan wanita itu, akan tetapi dapatlah
dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita itu tiba-tiba malah
meloncat ke bawah, ke air laut yang bergelombang! Dan lebih ngeri lagi rasa
hatinya ketika dia melihat bahwa benda yang dipondong oleh wanita itu adalah
seorang anak kecil yang terdengar menangis pada saat wanita itu meloncat ke
bawah.
Tanpa pikir
panjang lagi kakek Pek Khun kemudian cepat berlari ke pinggir pantai itu dan
meloncat ke air bergelombang saat wanita dan anak kecil itu sudah terbanting ke
air. Hati kakek itu tergerak melihat tubuh kecil bayi itu diombang-ambingkan
ombak dan tangisnya masih terdengar. Maka dia pun cepat berenang ke arah anak
itu dan akhirnya berhasil menyambar tubuh kecil itu.
Dengan cepat
diikatnya tubuh anak itu pada punggungnya menggunakan robekan bajunya yang
lebar, kemudian barulah dia berenang lagi hendak menolong wanita tadi yang
sudah timbul tenggelam. Apabila dia tidak bergerak cepat, tentu wanita itu akan
dihempaskan ombak ke batu karang di bawah tebing. Untung bahwa semenjak muda
kakek Pek Khun memang ahli renang yang terlatih sehingga dia dapat bergerak
dengan cepat dan lincah di dalam air, walau pun air laut itu bergelombang
dengan amat kuatnya.
Sesudah
berhasil mencengkeram rambut wanita itu yang terurai panjang karena terlepas
dari sanggulnya, dia cepat berenang ke tepi, memanggul anak kecil di
punggungnya yang masih terus menangis sambil menyeret wanita yang sudah pingsan
itu. Berhasillah kakek yang gagah perkasa ini membawa tubuh wanita itu ke
darat, menjauhi jangkauan air.
Anak itu
ternyata seorang bayi laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, juga tangisnya
amat nyaring. Tangis inilah yang agaknya menolong bayi itu. Dengan amat
hati-hati kakek Pek Khun merebahkan bayi itu di atas pasir kemudian dia pun
cepat menolong wanita itu, mengeluarkan air dari dalam perutnya.
Akan tetapi
wanita itu ternyata telah terluka parah pada dahinya. Pada saat meloncat ke
bawah dan dipermainkan ombak, agaknya kepalanya sempat terbentur pada batu
karang. Napasnya sudah empas-empis dan banyak darah keluar dari luka di
dahinya.
Melihat
keadaan dahi itu, kakek Pek Khun mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang ahli
silat yang juga pandai ilmu pengobatan, terutama dalam mengobati luka-luka.
Melihat luka di dahi yang demikian dalam, dia tidak melihat harapan untuk dapat
bertahan hidup pada wanita itu.
Setelah
ditotok sana-sini untuk menghentikan darah keluar, mengurangi rasa nyeri sambil
menyadarkannya, wanita itu lalu membuka matanya. Dia menengok ke kanan kiri
dengan lemah, lalu bertanya,
"Mana...
mana anakku...?"
Anak itu
sudah berhenti menangis dan kakek itu berkata, "Jangan khawatir, anakmu
telah selamat." Dia menunjuk ke arah anak itu yang kini rebah dan diam
saja.
Melihat
anaknya, wanita itu lalu menitikkan air mata yang bercampur dengan air laut
yang menetes-netes dari rambutnya membasahi mukanya. " Anakku... ahh, dia
tidak berdosa... biarlah dia mati bersamaku..."
Kakek itu
mengerutkan sepasang alisnya. Betapa menyedihkan melihat seorang manusia
mengalami penderitaan batin sehingga putus asa dan memilih jalan membunuh diri
seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, pikirnya. Seorang perempuan yang
masih amat muda, belum dua puluh tahun agaknya, dan memiliki wajah yang cantik
dan tubuh yang sehat. Dan dia tahu bahwa perempuan muda ini sekarang menghadapi
maut yang agaknya sukar untuk dapat dielakkan lagi.
"Anak
baik, mengapa engkau melakukan ini? Mengapa engkau berusaha membunuh diri
bersama anakmu yang masih bayi itu?"
Mendengar
pertanyaan ini, wanita itu lalu memandang wajah kakek Pek Khun,
mengamat-amatinya penuh perhatian dan air matanya bercucuran semakin banyak.
Kemudian ia pun mulai bercerita, suaranya tersendat-sendat, ada kalanya hanya
berbisik-bisik lemah dan napasnya semakin empas-empis. Namun agaknya dia
memiliki semangat terakhir untuk menceritakan keadaan dirinya, cerita yang
mengandung penuh penasaran baginya.
Wanita muda
itu puteri guru silat Coa-kauwsu, seorang guru silat yang tinggal di dusun
dekat pantai. Kurang lebih setahun yang lampau, di dusun itu datang seorang
pengacau, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang mengganggu wanita-wanita
muda di dusun itu, malah telah melakukan penculikan-penculikan dan
pemerkosaan-pemerkosaan. Hal ini membuat keluarga Coa yang menjadi
jagoan-jagoan di dusun itu merasa sangat marah dan penasaran.
Pada suatu
malam, Coa-kauwsu bersama puterinya, yaitu satu-satunya murid yang paling
pandai dan boleh diandalkan, melakukan penyelidikan dan pengintaian secara
berpencar. Akan tetapi malang bagi Coa Si, anak guru silat itu. Dia bertemu
dengan penjahat itu, lalu berkelahi dan dia kalah. Dia yang tadinya hendak
menangkap penjahat, sebaliknya malah tertawan dan kemudian diperkosa!
Anehnya, dia
malah jatuh cinta kepada jai-hwa-cat yang di samping tampan dan lihai, juga
pandai merayu itu sehingga dia merahasiakan peristiwa itu dari orang tuanya.
Dia malah kemudian menjadi pacar Sang Penjahat, berkali-kali mengadakan
pertemuan. Setiap kali jai-hwa-cat itu lewat di dusun itu, tentu mereka
mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk memadu cinta. Dan Sang
Jai-hwa-cat juga membebaskan dusun itu dari gangguannya setelah Coa Si menjadi
kekasihnya. Akan tetapi, saat Coa Si mengandung, jai-hwa-cat itu pun tidak
pernah mau singgah lagi ke dusun itu!
Orang tua
Coa Si marah bukan main melihat keadaan puteri mereka yang mengandung dan
kemarahan itu semakin memuncak ketika Coa-kauwsu mendengar pengakuan puteri
mereka bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah Sang Jai-hwa-cat! Hampir
saja Coa-kauwsu membunuh puterinya itu. Akan tetapi, isterinya yang amat
menyayang anak tunggal itu, berhasil meredakan kemarahannya sehingga Coa Si
tidak dibunuh melainkan diusir dari rumah keluarga Coa!
Mulailah Coa
Si hidup terlunta-lunta, hidup terasing di tepi laut. Akan tetapi ia masih
terus mengharapkan kedatangan kekasihnya. Dia tidak dapat mencari kekasihnya
itu karena memang tidak tahu di mana tempat tinggal jai-hwa-cat yang merupakan
seorang petualang dan perantau itu. Dan akhirnya dia pun melahirkan seorang
anak laki-laki, hanya dibantu seorang bidan yang dikirim oleh ibunya yang
diam-diam masih suka membantu anaknya.
Kakek Pek
Khun mendengarkan cerita itu dengan sabar, cerita yang dituturkan dengan suara
lirih dan tersendat-sendat. "...begitulah... ketika anakku terlahir...
ayahnya datang... tapi melihat aku melahirkan anak... dia malah marah-marah
lantas pergi lagi. Aku... putus asa... lebih baik anakku kubawa mati...
ohhh..." Wanita itu terkulai.
Kakek Pek
Khun cepat menekan pundak wanita muda itu. "Katakan siapa ayah anak ini,
dan siapa pula nama anak ini..."
Wanita muda
itu membuka mata, kini bibirnya membentuk senyuman lemah. "Aku... titip
anakku... belum kuberi nama... ayahnya... ayahnya... Tang... Tang…" Wanita
itu meraba ke balik bajunya dan mencabut sebuah benda yang tadinya menempel di
bajunya dengan bantuan peniti, menyerahkan benda itu kepada kakek Pek Khun,
sambil berbisik. "...ini... ini dari ayahnya " Dan dia pun terkulai
dan napasnya terhenti.
Kakek Pek
Khun berusaha untuk menahan kematiannya, namun tidak berhasil. Pada saat itu
terdengar suara anak kecil itu menangis, seakan-akan dia merasa bahwa saat itu
ibu kandungnya telah meninggalkannya untuk selamanya.
Kakek Pek
Khun menarik napas panjang, merebahkan tubuh wanita yang tadi kepalanya
diangkat lalu dia pun segera memondong anak bayi itu dan diayun-ayunnya sampai
anak itu terdiam kembali. lalu kakek Pek Khun cepat membuat lubang yang cukup
dalam dan menguburkan jenazah ibu muda yang malang itu.
Niatnya
untuk memberi tahu kepada keluarga wanita itu ke dusun diurungkannya. Malah dia
tergesa-gesa mengubur jenazah itu, lalu dengan cepat membawa pergi bayi
laki-laki itu, pulang ke kuil di mana Pek Kong dan isterinya sedang menunggu
dengan hati penuh ketegangan.
Demikianlah,
anak kandung Coa Si itu lantas diserahkan kepada Pek Kong dan isterinya sebagai
pengganti anak kandung mereka yang akan dibawa pergi oleh kakek Pek Khun. Semua
ini terjadi tanpa ada yang mengetahui kecuali mereka bertiga.
"Ibu
anak ini sudah meninggal dunia, namanya Coa Si, dan ayahnya she Tang. Ibunya
hanya menyerahkan benda ini kepadaku. Nah, simpanlah benda ini kemudian rawat
anak ini baik-baik."
Pek Kong
serta isterinya menerima anak laki-laki yang sehat itu bersama sebuah benda
yang ternyata berupa sebuah perhiasan terbuat dari logam dan batu permata
berwarna merah berbentuk seekor tawon. Seekor tawon merah!
"Kongkong,
ke manakah Kongkong hendak membawa anakku...?" tanya isteri Pek Kong
sambil mencucurkan air mata, memandang pada anak kandungnya yang sekarang sudah
dipondong oleh kakek suaminya.
"Aku
akan membawanya bersembunyi di Pegunungan Kun-lun di mana aku bertapa. Tak usah
khawatir, kelak jika sudah tidak ada bahaya atau ancaman dari para pendeta
Lama, tentu anak kalian akan kukembalikan kepada kalian. Aku akan menjaganya
baik-baik dan akan mendidiknya."
Pada malam
hari itu juga kakek Pek Khun kemudian pergi membawa cucu buyutnya yang
dipondongnya dan dibawanya berlari cepat. Sementara itu Pek Kong sibuk merangkul
dan menghibur isterinya yang menangis dengan sedih. Sungguh pun dia tahu bahwa
anaknya berada di tangan orang yang akan melindunginya, dan walau pun dia sudah
memperoleh penggantinya, seorang anak laki-laki yang bertubuh sehat dan montok,
akan tetapi hati ibu muda ini tetap saja berduka karena harus berpisah dari
anak kandungnya yang baru berusia dua bulan itu. Hanya dengan setengah hati dia
suka menyusui anak yang dibawa oleh kakek Pek Khun.
Melihat
keadaan isterinya itu, Pek Kong lalu minta bantuan seorang wanita pengasuh dan
seorang nikouw untuk menjaga anaknya, setiap isterinya rewel dan minta diajak
berlayar untuk menghibur hatinya. Mereka berdua sering naik perahu layar dan
mencari ikan, suatu kesibukan yang kadang-kadang bisa mendatangkan kegembiraan
di hati isteri Pek Kong dan membuat dia melupakan kedukaannya.
Ketika
Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, datang ke kuil
itu dan menculik anak mereka, membunuh pengasuh dan nikouw kemudian
meninggalkan mayat anak yang mukanya rusak, Pek Kong bersama isterinya juga
sedang mencari ikan di tengah lautan. Mereka berdua sangat gembira karena pada
waktu itu sedang musim udang sehingga jala mereka menghasilkan banyak udang
besar.
Tentu saja
mereka terkejut bukan main sesudah kembali ke kuil dan melihat betapa dua orang
pengasuh anak itu telah tewas dan anak mereka telah ditukar dengan seorang anak
sebaya yang sudah tewas pula dengan muka rusak! Hal ini sungguh mengejutkan
hati mereka dan barulah mereka yakin benar bahwa memang anak mereka itu selalu
diincar orang. Untuk memperkuat peristiwa itu, demi keselamatan anak mereka,
suami isteri ini lalu menyebar-luaskan berita tentang pembunuhan anak mereka!
Benar saja!
Begitu terdengar berita bahwa anak mereka yang di luaran terkenal sebagai
Sin-tong itu terbunuh, seketika banyak orang aneh bermunculan dengan alasan
melayat, akan tetapi yang sesungguhnya hendak membuktikan dan menyelidiki.
Bahkan tiga orang pendeta Lama dari Tibet tiba-tiba muncul di ambang pintu dan
mereka ini sengaja datang untuk memeriksa dan membuktikan sendiri mayat anak
kecil itu!
Selain tiga
orang pendeta Lama, di antara para tamu yang datang melayat terdapat pula suami
isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan. Sepasang iblis ini datang terlambat
sebab jenazah nikouw, pengasuh dan anak kecil itu sudah dikubur.
Akan tetapi,
pada malam harinya mereka membongkar tiga kuburan itu lantas memeriksa keadaan
mayat yang sudah hampir membusuk itu! Dari hasil pemeriksaan inilah mereka
dapat menemukan jarum-jarum yang digunakan oleh Ma Kim Li untuk membunuh nikouw
dan pengasuh, dan mereka pun bisa menduga siapa yang telah melakukan pembunuhan
itu.
Mereka
adalah orang-orang cerdik, karena itu mereka tak percaya bahwa anak kecil yang
tubuhnya penyakitan dan mukanya rusak itulah yang dikabarkan sebagai Sin-tong,
anak kandung suami isteri pendekar Pek! Suami isteri yang bertubuh sehat dan
hidup bersih itu tak mungkin mempunyai anak berpenyakitan seperti itu. Tentu
Lam-hai Siang-mo mencuri anak ajaib itu dan menukarnya dengan anak kecil yang
mereka bunuh pula.
Memang sudah
lama suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan bermusuhan dengan Lam-hai
Siang-mo, juga mereka ingin sekali menemukan Sin-tong untuk dibawa kembali ke
Tibet dan diserahkan kepada para pendeta Lama supaya mereka memperoleh hadiah
benda-benda mukjijat. Oleh karena itu, mereka segera mulai melakukan pencarian
sambil memperdalam ilmu silat mereka karena mereka maklum bahwa musuh besar
mereka itu, Lam-hai Siang-mo, merupakan lawan yang tangguh.
Ketika itu
Pek Kong dan isterinya merasa bahwa anak kandung mereka sudah aman dan mereka
boleh kembali lagi ke Nam-co. Bukankah sesudah kini tersiar berita bahwa anak
kandung mereka yang disebut Sin-tong dan diinginkan oleh para pendeta Lama itu
tewas, mereka tak akan mengalami gangguan lagi? Karena itu mereka pun kemudian
melakukan perjalanan kembali ke barat, menuju ke Nam-co.
Akan tetapi
di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang tua mereka beserta para
anggota Pek-sim-pang yang sedang berbondong-bondong menuju ke timur
meninggalkan kota Nam-co! Tentu saja pertemuan itu amat mengejutkan dan apakah
yang telah terjadi di Nam-co? Kiranya urusan Sin-tong menimbulkan banyak
peristiwa yang menyedihkan.
Pada saat
mendengar bahwa Pek Kong beserta isterinya melarikan diri dari kota Nam-co,
para pendeta Lama menjadi amat marah. Mereka segera pergi mengunjungi
perkumpulan Pek-sim-pang di Nam-co. Yang berangkat adalah lima orang pendeta
Lama yang menjadi utusan para pimpinan Lama di kota Lha-sa.
Pek Ki Bu
sudah menduga bahwa para pendeta Lama tentu tidak akan tinggal diam saja, maka
dia pun sudah bersiap dan menyambut kedatangan kelima orang pendeta Lama itu
dengan sikap ramah dan hormat. Para pendeta itu dipersilakan duduk, akan tetapi
mereka tidak mau duduk dan sambil berdiri dengan sikap kaku mereka memandang
pada Pek Ki Bu dengan alis berkerut. Seorang di antara mereka yang menjadi
pimpinan lalu bertanya dengan suara lantang.
"Pek-pangcu,
kami datang diutus oleh para pimpinan kami untuk menanyakan kesehatan putera
pangcu dan terutama keadaan kandungan anak mantu pangcu."
Pek Ki Bu
dapat menduga bahwa tentu para pendeta itu telah mendengar bahwa anaknya
bersama mantunya sudah melarikan diri. Hal itu sudah lewat lima hari, maka dia
merasa aman dan dengan sikap ramah dia menjawab. "Terima kasih banyak atas
perhatian para suhu di Lha-sa. Keadaan mereka baik-baik saja berkat doa restu
para suhu yang mulia."
"Siancai...
kalau begitu bagus sekali! Harap Pangcu suka mempersilakan mantu Pangcu untuk
keluar karena kami ingin menyaksikan sendiri keadaan kandungannya."
Pek Ki Bu
tidak bermain sandiwara lagi. "Harap Ngo-wi Suhu ketahui bahwa Pek Kong
dan isterinya tidak berada di rumah. Mereka sedang melakukan perlawatan ke
timur untuk pulang ke kampung halaman karena mantu saya ingin melahirkan di
sana, dekat dengan keluarga orang tuanya."
"Omitohud...!"
Pendeta Lama itu membelalakkan mata, tindakan yang dibuat-buat karena
sebenarnya dia pun sudah mendengar tentang kepergian mereka itu.
"Bagaimana Pangcu memperbolehkan mereka pergi tanpa setahu dan seijin
pimpinan kami?"
Inilah
pertanyaan yang dinanti-nanti oleh ketua Pek-sim-pang. Dia mengerutkan alisnya.
Memang harus diakuinya bahwa semenjak dulu, sejak ayahnya mendirikan
Pek-sim-pang, keluarga Pek menjadi sahabat-sahabat baik dari para pimpinan
pendeta Lama di Lha-sa. Akan tetapi sekali ini, dia menganggap bahwa pihak
pendeta Lama terlalu mencampuri urusan dalam keluarganya.
"Ngo-wi
Suhu harap suka mengingat bahwa Pek Kong adalah anakku dan isterinya adalah
mantu kami. Jika mereka pergi mengunjungi keluarga di kampung halaman, jauh di
timur, mereka cukup memperoleh ijin dari kami sebagai orang tuanya. Kenapa
harus setahu dan seijin pimpinan para suhu di Lha-sa?"
"Omitohud...!
Apakah Pangcu tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Mantumu adalah wanita
yang telah dipilih oleh Sang Buddha untuk melahirkan calon Guru Suci, calon
Dalai Lama! Tentu saja selama mengandung, dia harus berada di bawah pengawasan
kami dan dia tidak boleh pergi begitu saja tanpa ijin kami. Bagaimana kalau
sampai terjadi apa-apa dengan Sin-tong?"
Hati Pek Ki
Bu merasa amat mendongkol, akan tetapi dia menahannya karena dia pun tak ingin
bermusuhan dengan para pendeta Lama. "Harap Ngo-wi jangan khawatir, mereka
akan selamat. Dan pula, belum tentu menantuku akan melahirkan Anak Ajaib yang
kelak akan menjadi Dalai Lama."
"Sudah
pasti! Ramalan kami tak akan meleset. Yang dikandungnya adalah Sin-tong yang
kelak akan menjadi pimpinan kami!"
"Ngo-wi
harap jangan lupa bahwa bagaimana pun juga, yang dikandung itu adalah anak dari
Pek Kong dan calon cucuku!" kata Pek Ki Bu dengan suara agak keras karena
dia mulai marah.
"Omitohud,
pertimbangan akal Pangcu benar-benar dangkal. Dalam hal ini keluarga Pek hanya
dipinjam saja! Anak yang akan terlahir itu adalah untuk kami, untuk dunia,
bukan untuk keluarga Pangcu pribadi. Sudahlah, harap Pangcu beri tahu ke mana
mereka pergi, supaya kami dapat cepat menyusul dan mengajak mereka kembali ke
sini atau langsung saja ke Lha-sa karena kandungannya sudah tua sehingga dia
harus mendapat perawatan dan pengamatan langsung dari kami."
Marahlah Pek
Ki Bu. "Para suhu sungguh keterlaluan dan tak memandang persahabatan lagi!
Apa pun pendapat para suhu di Lha-sa tentang anak yang akan terlahir itu, dia
tetap calon cucuku dan keluarga kami, dan kami yang paling berhak untuk
menentukan tentang dirinya!"
"Siancai,
sesungguhnya Pek-pangcu yang tidak memandang persahabatan. Tentu Pangcu sudah
memaklumi bahwa seluruh wilayah di Tibet tunduk kepada pimpinan kami di Lha-sa
dan pimpinan kami merupakan kekuasaan mutlak yang harus ditaati oleh seluruh
orang yang tinggal di Tibet. Keluarga Pek sudah dipinjam serta dipilih untuk
melahirkan seorang calon Dalai Lama, tapi Pangcu sekeluarga tidak bersyukur
atas karunia itu, malah hendak memberontak dan hendak mengubah nasib yang telah
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, harap Pangcu cepat memberi tahu
di mana kami dapat menemukan kembali anak dan mantu Pangcu."
Wajah ketua
Pek-sim-pang berubah merah dan para muridnya sudah siap siaga. Mereka semua
memandang pada lima orang pendeta Lama itu dengan sinar mata tajam. Mereka tahu
bahwa ketua mereka sudah marah terhadap bekas kawan-kawan baik itu.
"Dan
sekali lagi kami tegaskan bahwa kami tak akan memberi tahukan kepada siapa pun
juga!" jawab Pek Ki Bu.
"Siancai...!
Berarti Pek-pangcu hendak menentang kami?!" bentak seorang di antara para
pendeta Lama itu.
"Terserah
penilaian Ngo-wi Suhu, akan tetapi kami tentu akan melawan mati-matian kalau
kebebasan pribadi keluarga kami ditekan!"
"Bagus,
agaknya Pek-sim-pang memang sudah siap untuk memberontak terhadap kami.
Pek-pangcu, kini terpaksa kami harus menangkapmu dan menghadapkan Pangcu kepada
pimpinan kami!"
Namun belum
juga lima orang pendeta Lama itu bergerak melaksanakan ancamannya, para anak
buah Pek-sim-pang telah bergerak mengurung dan menyerang mereka. Karena
pertentangan itu hanya bersifat pertentangan pendapat dan didasari panasnya
perasaan, bukan merupakan permusuhan, maka para murid Pek-sim-pang itu tidak
ada yang berani menggunakan senjata. Mereka menyerang dengan kepalan tangan dan
tendangan kaki.
"Omitohud...
kalian mencari penyakit saja!" kata para pendeta Lama itu dan mereka pun
bergerak berpencaran. Gerakan mereka kuat sekali, ada pun jubah mereka yang
berwarna kuning dan sangat lebar itu berkibar-kibar ketika mereka bergerak menyambut
serangan para murid Pek-sim-pang.
Tapi agaknya
para anggota rendahan itu sama sekali bukan tandingan yang setimpal dari para
pendeta Lama itu. Begitu bentrok, lima orang murid Pek-sim-pang terbanting
roboh! Hal ini mengejutkan para murid kepala Pek-sim-pang. Biar pun hanya
anggota rendahan, namun para murid itu rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang
cukup tangguh, tidak mudah dirobohkan demikian saja. Akan tetapi, serangan
mereka terhadap lima orang pendeta itu ternyata dalam sekali gebrakan saja membuat
mereka sendiri terbanting keras dan tidak mampu melanjutkan perkelahian!
Karena
maklum bahwa para pendeta Lama ini lihai sekali, serentak sepuluh orang murid
kepala Pek-sim-pang menerjang maju. Mereka disambut dengan tenang oleh lima
orang pendeta itu dan sesudah berkelahi sebanyak sepuluh jurus, kembali ada
lima orang murid Pek-sim-pang yang roboh.
"Para
pendeta yang suka mencampuri urusan keluarga orang!" bentak Pek Ki Bu
marah dan dia pun menerjang maju. Terjangan Pek Ki Bu disambut oleh seorang
pendeta Lama yang melompat ke depan dan menangkis serangan ketua Pek-sim-pang
itu.
"Dukkk...!"
Dua tenaga
raksasa melalui saluran kedua lengan itu bertumbuk di udara dan akibatnya, Pek
Ki Bu tertahan langkahnya, akan tetapi pendeta Lama itu pun terdorong mundur
dua langkah! Hal ini membuktikan bahwa tenaga ketua Pek-sim-pang masih lebih
besar dari pada lawannya.
"Omitohud,
Pangcu sungguh kuat sekali!" Pendeta Lama itu berseru lantas dia pun maju
dan menerjang lagi dengan dahsyatnya.
Pek Ki Bu
mengelak dan balas menyerang dari samping yang juga berhasil ditangkis oleh
lawannya. Akan tetapi, begitu Pek Ki Bu mainkan ilmu silat Pek-sim-kun (Ilmu
Silat Hati Putih) yang merupakan ilmu keturunan dari keluarga Pek dan menjadi
dasar dari ilmu-ilmu silat yang dilatih oleh para anggota Pek-sim-pang, pendeta
itu segera terdesak hebat dan selalu main tangkis dan mundur. Dasar ilmu ini
adalah dari ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi sudah disesuaikan dengan
ilmu-ilmu silat lain yang digabung dan menjadi semacam ilmu silat khas dari
keluarga Pek.
Melihat ini,
dua orang pendeta Lama lainnya menerjang maju dan membantu kawannya. Kini Pek
Ki Bu dikeroyok tiga orang pendeta yang sangat lihai dan perkelahian itu
menjadi berimbang, bahkan keadaannya berbalik karena ketua Pek-sim-pang itu
sekarang mulai terdesak.
Ada pun dua
orang pendeta Lama yang lain, kini menghajar semua murid Pek-sim-pang yang
berani melawan. Puluhan orang murid Pek-sim-pang sudah roboh terkena pukulan
atau tendangan dan yang lain-lain mengeroyok dari kejauhan karena mulai merasa
gentar menghadapi para pendeta Lama yang lihai itu.
Keadaan
pihak Pek-sim-pang sungguh gawat. Ketuanya sendiri sudah terdesak terus dan
sebentar lagi tentu akan roboh oleh tiga orang lawannya yang terlampau kuat
baginya itu. Dan para anak muridnya juga sudah banyak yang roboh.
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan halus, "Omitohud...! Tidak pantas sekali antara
sahabat sendiri menggunakan kekerasan seperti ini!"
Dan semua
orang merasa betapa ada angin keras bertiup lalu nampak bayangan merah kuning
yang melayang turun dari atas seperti seekor burung garuda raksasa. Lima orang
pendeta Lama itu merasa seperti terdorong oleh kekuatan yang dahsyat luar
biasa, yang membuat mereka berlima terpaksa mundur, dan pihak Pek-sim-pang juga
terhuyung oleh kekuatan angin besar yang menarik mereka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment