Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 04
KETIKA semua
orang memandang, ternyata di sana sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi
besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu
berkotak-kotak warna merah kuning, di tangan kirinya memegang seuntai tasbeh.
Begitu melihat pendeta Lama tinggi besar dan berwajah lembut ini, lima orang
pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu
menjura dengan sikap hormat!
"Mohon
Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian berkelahi bukan karena terdorong
nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan
pihak Pek-sim-pang. Teecu diutus oleh pimpinan Dalai Lama di Lha-sa untuk
mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang sudah melarikan diri dengan
diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor.
Tentu saja
mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung
kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid
keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian
(Delapan Dewa)!
Karena
selama puluhan tahun pendeta ini tak pernah keluar dan sama sekali tidak
dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi,
melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama
yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan
tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi
hormat.
"Harap
Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami
selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami
pun tak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi kali ini para pendeta Lama
hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan
isterinya yang mengandung tua sedang pergi untuk berkunjung kepada keluarga
mereka di kampung halaman karena isterinya ingin melahirkan di antara
keluarganya di timur sana. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar
mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah itu
berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan
keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."
See-thian
Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tak
perlu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia
ramai tidak akan dapat terbebas dari pada peraturan-peraturan yang diadakan
oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet
mengenai pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang sudah ditentukan untuk kelak
menjadi Dalai Lama. Dan kebetulan sekali yang terpilih adalah calon cucu
Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja
Pangcu juga tidak terbebas dari pada peraturan itu. Nah, tentu saja para
pimpinan Lama tidak dapat dianggap sewenang-wenang jika mereka itu ingin
melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu merupakan hak
dan kewajiban mereka. Jika Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan
dan kepercayaan serta kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang
lalu."
Pek Ki Bu
dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat
membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah
mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.
"Pendapat
Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan
mantu kami itu tak bermaksud melarikan diri, melainkan ingin melahirkan anak
mereka di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa
mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah pada
punggungnya. Bagaimana kalau kelak dia melahirkan anak yang tidak mempunyai
tanda itu?"
"Tidak
mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat.
"Biasanya,
perhitungan dan ramalan para pimpinan Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan
tetapi kalau anak itu benar-benar terlahir tanpa tanda itu, berarti ada
kekeliruan di dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan
Sin-tong."
"Bagus,
kalau begitu kami berjanji. Apabila anak itu nanti terlahir dengan tanda merah
di punggungnya, maka kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau
tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."
"Biar
kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami
harus mengetahui di mana mantumu itu supaya kami dapat mengamatinya dan
melindunginya," seorang pendeta Lama berkeras.
"Kalau
begitu, biar pun kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana
adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras.
Kedua pihak
sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang
lebih mati-matian. Akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas, maka
semua orang pun terdiam. Memang kepada pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak
agaknya minta pertimbangan dan keputusan.
"Omitohud...
kekerasan tidak akan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong
dicemari oleh kekerasan, perkelahian, apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka
kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada
peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Lama mempunyai hak untuk menentukan segala
sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Bila seorang Sin-tong akan
terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Lama boleh mengambil
tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan
Sin-tong dilahirkan di luar wilayah Tibet, ini adalah suatu hal yang sering
pula terjadi, maka para Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan
karena mereka bukan warga negaranya, meski pun tentu saja mereka juga akan
berusaha sebisa-bisanya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu,
kalau keluargamu dan seluruh anggota Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di
Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa takkan memaksamu.
Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk terhadap
peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini
saja."
Andai kata
yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, seorang yang amat
dihormati oleh para pendeta Lama, mungkin sekali bisa menimbulkan kemarahan di
pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga
Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang akan merasa
terhina atau seolah diusir. Akan tetapi para pendeta Lama itu diam saja dan
hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.
Pek Ki Bu
bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa
dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak
pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini
sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat sehingga tentu saja kehidupan
mereka menjadi tidak aman lagi.
Demikianlah,
tanpa banyak membantah lagi Pek Ki Bu kemudian membawa keluarga dan anggota
perkumpulannya untuk boyongan dan pergi meninggalkan kota Nam-co, menuju ke
timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka
tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah
tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara
langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang
masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.
Dan di
tengah perjalanan, di luar batas negeri Tibet, rombongan keluarga Pek ini
bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan
akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan
pengalaman mereka.
Saat
mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri,
Pek Ki Bu merasa amat lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut
yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.
"Kong-ji
(Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak
laki-laki yang diculik penjahat itu. Betapa pun juga, anak itu telah
menyelamatkan cucuku dan sungguh kasihan dia, masih begitu kecil sudah
kehilangan ibunya dan tak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini
berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan
menyelamatkannya."
Pek Kong
mengangguk. "Kongkong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang
menurut Kongkong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama
keturunan Tang."
Dia lalu
menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu
melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di
Propinsi Se-cuan dari mana keluarga Pek berasal.
***************
Anak
laki-laki yang dilahirkan oleh isteri Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh
kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek
Kong serta isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi
seorang kakek tua seperti Pek Khun, harus membawa seorang bayi yang baru
berusia beberapa hari dan melakukan perjalanan yang jauh dan sukar!
Akan tetapi
kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga
dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia bisa merawat anak itu di
sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk meminta tolong
kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi
Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat
membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat.
Mula-mula
dia tinggal di sebuah dusun pada kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar
seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa
anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi kemudian merawat sendiri
anak itu dengan susu binatang keledai.
Sejak bayi
anak itu diasuh oleh kakek Pek Khun. Sesudah anak itu berusia empat tahun, dia
mulai membimbingnya untuk berlatih langkah-langkah dasar ilmu silat,
menggembleng tubuh anak itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga
dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis setelah anak itu berusia lima tahun.
Akan tetapi
kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Sangat tidak baik jika
anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang
sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu
untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan berjumpa
dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini
akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai
kelainan-kelainan jiwa.
Lagi pula
dia sendiri telah menjadi semakin tua untuk dapat terus menerus melindungi diri
anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai
dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan
dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak
agar cucu buyutnya itu terbebas dari pada ancaman bahaya dari Tibet.
Akhirnya
kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil
Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian,
akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia
tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegunungan
Kun-Iun.
Bukan main
girang rasa hati Han Siong pada saat kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa
ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Kakek buyutnya ini
sudah sering bercerita mengenai kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio
yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya.
Bukan hanya
karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggembirakan hati Han Siong,
tapi terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan
amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat
membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si berarti akan hidup bersama
banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan
senangnya!
Kakek Pek
Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, karena itu kunjungannya ke
kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai,
diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah
Pek Khun memperkenalkan dirinya.
Kuil itu
cukup besar dan terletak di sebuah tempat yang indah, di pinggir Sungai Cin-sha
yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biar pun terletak
di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, akan
tetapi kuil itu tidak terlalu terpencil.
Kota Yu-shu
tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya. Dalam perjalanan
satu jam maka orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi
para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang.
Ketua kuil
itu berjuluk Ceng Hok Hwesio. Setelah bercakap-cakap, maka tahulah mereka bahwa
antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan
kakek Pek Khun memiliki kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu
yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.
"Sungguh
menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu
buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena semenjak
kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlampau tua untuk mendidiknya, juga
dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia
diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."
Mendengar
permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio lalu mengerutkan
alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu
membuka tangan untuk menolong siapa saja, apa lagi terhadap Pek-susiok yang
juga masih seorang murid Siauw-lim-pai. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri.
Akan tetapi Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan
yang sangat ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus
diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan
bagaimana pula pendapat ayah dan ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami
tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok
mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok merasa sudah terlalu
tua untuk mendidiknya, masih ada kakeknya dan ayahnya?"
Kakek Pek Khun
mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh
kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun
itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."
"Baik,
aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!"
kata Han Siong yang menjadi girang sekali.
Tadi dia
merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu
mendengarkan percakapan yang tak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin
sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.
Sesudah Han
Siong keluar meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu
berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun kemudian menarik
napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya
keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran
para pendeta Lama di Tibet."
"'Omitohud...!"
Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya. "Ada urusan apakah maka para
saudara pendeta Lama di Tibet mengejarnya?"
"Sejak
dari dalam kandungan Han Siong ini telah diramalkan menjadi calon Dalai
Lama..."
"Sin-tong?
Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan
dadanya.
"Ini
rahasia di antara kita saja, Ceng Hok Hwesio." kata pula kakek Pek Khun.
"Rahasia ini jangan dibocorkan. Bukan hanya para pendeta Lama yang
mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada banyak tokoh
kaum sesat yang dengan mati-matian mencari Han Siong, mungkin untuk dijadikan
murid atau semacam jimat atau juga hendak diserahkan kepada para pendeta Lama
dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya
dengan segala ketahyulan para pendeta Lama dan kami tidak ingin anak itu
dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi dia sudah
kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang aku harap kuil ini suka menerimanya
sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik saja untuk
mengabdi kepada agama dan rakyat dari pada harus menjadi Dalai Lama di
Tibet."
"Siancai,
siancai, siancai...! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa
gembira sekali untuk mendidik serta membimbing Pek Han Siong, semoga Sang
Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."
"Rahasia
ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar
kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Siauw-lim-pai dan terutama
sekali bagi Han Siong sendiri. Ada tanda merah di punggung anak itu yang
dijadikan pegangan oleh para pendeta Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu
harus disembunyikan pula."
"Omitohud...
kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Semenjak lahir sudah diberi
tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)," kata Ceng Hok Hwesio.
"Aahhh,
semua itu omong kosong dan tahyul belaka," cela kakek Pek Khun.
"Setiap anak sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya
kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Sebab
itulah maka hatiku akan merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai
murid di sini."
"Pinceng
merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok."
Pek Khun
lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han
Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang
kepalanya gundul, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga
pembantu-pembantu pekerja di kuil itu.
Ketika dia
memanggilnya, Han Siong cepat bangkit berdiri dan berlari memasuki ruangan.
Kakek Pek Khun girang sekali karena kehidupan di kuil ini akan merubah cara
hidup Han Siong yang tentu tidak akan kesepian lagi. Di situ terdapat pula
banyak calon hwesio yang sejak kecil digembleng untuk menjadi manusia-manusia
yang baik.
Setelah Han
Siong datang menghadap, kakek Pek Khun lalu berkata, "Han Siong, seperti
yang telah kuberi tahukan kepadamu, mulai hari ini engkau akan menjadi murid di
kuil ini. Ceng Hok Hwesio ini adalah ketua kuil ini dan menurut tingkat, dia
masih kakek gurumu sendiri. Akan tetapi karena mulai hari ini engkau akan
menjadi muridnya, maka engkau harus memberi hormat kepadanya sebagai
gurumu."
Han Siong
memandang kepada Ceng Hok Hwesio, kemudian memandang kepada kakek buyutnya.
"Apakah Kakek hendak meninggalkan aku di sini?"
"Benar,
aku sudah terlampau tua untuk mendidikmu sedangkan engkau perlu memperoleh
pengalaman hidup yang lain dan pergaulan yang tepat. Di sini terdapat banyak
anak-anak yang menjadi murid, maka engkau dapat bergaul dengan mereka."
"Baik,
Kek," kata Han Siong dan dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan
Ceng Hok Hwesio, memberi hormat delapan kali, sambil menyebut,
"Suhu!"
Dengan wajah
berseri-seri Ceng Hok Hwesio menyentuh pundak anak itu. "Bangkitlah, Han
Siong, dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala peraturan di kuil ini.
Untuk sementara engkau menjadi murid dalam ilmu silat, juga mempelajari agama
namun belum menjadi calon hwesio karena untuk hal itu diperlukan bakat dan
pinceng ingin melihat dulu apakah engkau berbakat untuk menjadi calon
hwesio."
"Baik,
Suhu. Teecu hanya mentaati perintah Suhu." kata Han Siong.
Diam-diam
hwesio itu kagum sekali. Anak ini baru berusia tujuh tahun, sejak kecil hidup
di dalam pertapaan bersama kakek buyutnya, namun anak ini sudah pandai membawa
diri.
"Han
Siong, engkau harus selalu ingat bahwa engkau keturunan keluarga Pek yang
turun-temurun menjadi pimpinan dari perkumpulan Pek-sim-pang. Nama perkumpulan
ini berarti Hati Putih dan hati putih adalah hati yang bersih, tidak ternoda
oleh perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Karena itu aku hanya
mengharapkan agar kelak engkau akan dapat melanjutkan pimpinan Pek-sim-pang
dengan baik, dan untuk itu, terimalah kitab ini. Kitab ini adalah tulisanku
sendiri, merupakan inti dari ilmu silat Pek-sim-kun, telah kusaring dan
kupadatkan sehingga menjadi tiga belas jurus saja. Untuk dapat mempelajari ini,
engkau harus sudah mencapai tingkat ilmu silat yang cukup tinggi, karena itu
rajin-rajinlah belajar di Siauw-lim-si." Kakek itu menyerahkan sebuah
kitab yang diterima dengan sikap hormat oleh Han Siong.
"Pesan
Kakek akan selalu kuperhatikan baik-baik dan akan kulaksanakan dengan
patuh," jawabnya.
Setelah
meninggalkan pesan-pesan kepada cucu buyutnya, pada hari itu juga kakek Pek
Khun meninggalkan kuil Siauw-lim-si itu untuk kembali ke Kun-lun-san di mana
dia akan bertapa sampai akhir hayatnya.
Demikianlah,
mulai hari itu juga Han Siong tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid
yang setiap hari membantu pekerjaan para hwesio tua muda di kuil itu. Setelah
dia dapat menyesuaikan diri, barulah Ceng Hok Hwesio mulai memberikan pelajaran
ilmu silat, juga ilmu baca tulis dan membaca kitab-kitab agama. Ternyata anak
itu cerdik sekali sehingga segala macam mata pelajaran yang diajarkan
kepadanya, dengan cepat dapat dimengerti dan diresapi.
Di
Siauw-lim-si ini dia menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga dia
memiliki dasar yang kuat dan asli dari Siauw-lim-pai. Berbeda dengan kakek Pek
Khun yang biar pun tokoh Siauw-lim-pai akan tetapi tidak mempunyai cukup waktu
untuk menggembleng seperti yang dilakukan di perguruan Siauw-lim-si.
Di kuil ini
Han Siong benar-benar harus mengulang kembali semua pelajaran yang pernah
diajarkan oleh kakek Pek Khun, dan belajar lagi mulai dari tingkat yang
terendah. Untuk memperkuat dan menyempurnakan kuda-kuda kedua kakinya saja,
setiap hari dia harus berlatih dengan memikul air melewati jalan tanjakan yang licin
dan berliku-liku, dan harus terus berlatih selama dua tahun! Sesudah itu dia
harus melatih kaki dan tangannya untuk memperkuat otot-ototnya dengan
menggantungi kaki tangan dengan gantungan besi yang cukup berat. Belajar pula
menghimpun tenaga untuk dasar ilmu meringankan tubuh.
Setelah lima
tahun digembleng, meski pun belum pernah diajarkan ilmu silat yang berarti,
tubuh Han Siong yang berusia dua belas tahun itu menjadi kuat sekali.
Otot-ototnya kuat dan lentur sehingga dia dapat bergerak dengan gesit seperti
tubuh seekor kijang dan kuat seperti seekor harimau.
Bukan hanya
otot-otot tubuhnya yang dilatih sehingga menjadi kuat, juga panca inderanya
dilatih sehingga memiliki pandangan yang tajam, pendengaran dan penciuman yang
peka pula. Pendeknya, selama lima tahun dia terus digembleng sehingga memiliki
dasar-dasar bagi seorang calon ahli silat yang lihai.
Di antara
tugas-tugas pekerjaannya, Han Siong setiap pagi dan sore menyapu lantai, baik
pekarangan depan mau pun pekarangan belakang. Sesudah lima tahun tinggal di
dalam kuil, kadang kala dia merasa kesepian dan rindu kepada kakek buyutnya.
Sejak kecil dia biasa hidup di alam terbuka, dan di Pegunungan Kun-lun-san
setiap hari dia menjelajah hutan-hutan dan alam bebas. Akan tetapi sekarang dia
tidak boleh keluar dari dalam kuil sehingga dia mulai merasa terkurung dan
tidak leluasa.
Di bagian
belakang bangunan kuil itu terdapat dua buah bangunan kecil, di ujung kanan dan
di ujung kiri, dekat kebun yang luas. Dari para hwesio kecil lainnya, dia mendengar
bahwa dua bangunan kecil ini merupakan tempat-tempat hukuman. Yang sebelah
kanan terdapat seorang hwesio yang menjalani hukuman kurungan, sedangkan yang
sebelah kiri terdapat seorang nikouw (pendeta perempuan) yang menjalani hukuman
yang sama.
Sesudah lima
tahun berada di situ, sekarang Han Siong juga telah menjadi seorang calon
hwesio. Kepalanya sudah digundul dan dia mengenakan pakaian seperti hwesio. Dia
juga sudah pandai membaca kitab-kitab agama, pandai berliam-keng (berdoa) dan
di samping berlatih ilmu silat, kesukaannya adalah membaca kitab-kitab suci
sampai jauh malam.
Malam itu
amat sunyi. Semua hwesio sudah tidur. Bahkan hwesio tua yang tadi membaca
liam-keng dengan suara yang parau sudah berhenti sehingga suasananya menjadi
makin sunyi. Akan tetapi, seperti biasa, Han Siong yang senang menyendiri itu
belum memasuki kamarnya. Dia masih duduk melamun di sudut pekarangan belakang,
di tepi kebun sambil menikmati langit yang amat indah, penuh dengan
bintang-bintang cemerlang.
Di
Pegunungan Kun-lun-san, semenjak kecil Han Siong suka sekali menerawang ke
langit mengagumi kebesaran alam. Karena sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka
dia banyak mengenal bintang-bintang di langit. Dari kakek buyutnya, dia banyak
mendapat pelajaran dan keterangan tentang perbintangan sehingga niatnya untuk
mempelajari ilmu itu menjadi semakin besar.
Sekarang,
sesudah dia menjadi calon hwesio di kuil Siauw-lim-si dan memperdalam ilmu
membaca kitab agama, secara kebetulan dia berhasil menemukan sebuah kitab
tentang perbintangan di perpustakaan. Dia sudah selesai membaca kitab itu, maka
kini dia dapat menikmati bintang-bintang di langit dengan perasaan lebih
tertarik karena dia sudah mulai mengenal peredaran dan pergerakan
bintang-bintang itu.
Tiba-tiba
Han Siong merasa terkejut dan cepat dia menyelinap di belakang batang pohon di
sebelah kirinya untuk bersembunyi. Dia melihat berkelebatnya orang yang
melompat turun dari luar pagar tembok kebun! Lalu ada bayangan ke dua yang juga
berkelebat cepat sekali. Bagaikan terbang saja dua bayangan itu kemudian
berlari menuju kedua pondok belakang di sudut kanan kiri kebun dan lenyap di
situ.
Han Siong
merasa jantungnya berdebar-debar. Demikian cepatnya gerakan dua orang itu
sehingga dia tidak mampu melihat muka mereka dengan jelas. Selagi dia
menduga-duga, tiba-tiba berkelebat bayangan ke tiga dari luar.
Bayangan ini
berbeda dengan dua bayangan terdahulu karena begitu dia melompat turun,
bayangan ini lalu celingukan seperti orang menyelidik. Ketika orang itu agak
mendongak sehingga mukanya tertimpa sinar bintang, Han Siong menjadi terkejut
sekali.
Dia mengenal
muka itu sebagai muka seorang hwesio tua yang bekerja sebagai tukang sapu di
dalam kuil, seorang hwesio tua yang tuli dan gagu. Dia ditemukan kelaparan dan
hampir mati di pekarangan depan kuil, maka oleh Ceng Hok Hwesio lalu ditolong,
dirawat dan diberi pekerjaan sebagai tukang sapu di situ.
Setelah
celingukan dengan sepasang matanya yang tampak mencorong ditujukan ke arah
kedua pondok di mana dua bayangan pertama tadi menghilang, hwesio tua ini pun
lantas meloncat dan menghilang di bagian belakang bangunan di mana terdapat
kamar hwesio tua tuli gagu itu.
Han Siong
mengerutkan alisnya, berpikir dengan hati tegang. Biar pun tidak jelas, tapi
dia dapat menduga bahwa dua bayangan pertama tadi tentulah dua orang terhukum
itu. Hal ini saja sudah amat aneh. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah hwesio
tua tuli dan gagu itu. Melihat gerakannya tadi, jelaslah bahwa hwesio tua ini
lihai bukan main.
Sudah lama
dia menaruh perasaan curiga terhadap hwesio gagu tukang sapu ini. Sering kali
dia melihat betapa kalau dia sedang tidak diperhatikan orang, hwesio tua itu
memiliki sinar mata yang mencorong dan berkilat, penuh kekerasan. Akan tetapi
di hadapan para hwesio, sinar matanya dapat berubah menjadi demikian lembut dan
mendatangkan rasa iba.
Selain ini,
yang membuat Han Siong semakin curiga adalah ketika beberapa kali, dalam
perjalanannya keliling bila sedang bergadang, ketika dia lewat di depan kamar
hwesio tua ini dan mendengar suara hwesio tua ini mengigau! Hal ini tentu saja
sangat mengejutkan hatinya karena mana mungkin seorang gagu dapat mengigau dan
bicara, biar pun dalam tidur! Dia semakin curiga akan tetapi masih
menyembunyikan hal itu sebagai rahasianya sendiri.
Dan malam
ini secara kebetulan sekali dia dapat memergoki hwesio tua itu yang agaknya tadi
membayangi dua orang hukuman yang berkeliaran keluar dari kuil, dan dia
mendapat kenyataan bahwa hwesio tua gagu ini adalah seorang yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi.
Pada
keesokan harinya, Han Siong masih menyembunyikan rahasia yang dilihatnya tadi
malam. Jantungnya kadang-kadang berdebar tegang dan bagi pemuda remaja seperti
dia, mengetahui sebuah rahasia bagi dirinya sendiri seolah-olah tengah
menggenggam sebutir mutiara yang belum diketahui orang lain. Menimbulkan
ketegangan yang menggembirakan sekali!
Pada pagi
hari itu, pada saat Han Siong sedang menyapu lantai pekarangan dengan sinar
mata berseri karena kegembiraan menyimpan rahasia semalam, tiba-tiba terdengar
suara Ceng Hok Hwesio memanggilnya dari ruangan depan.
"Han
Siong... ke sinilah sebentar!"
Han Siong
menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat
suhu-nya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua
itu menatap kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini amat mengherankan
hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya.
"Suhu
memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan.
Ceng Hok
Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh
perhatian. "Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di dalam dua buah
kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan
pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu.
Han Siong
sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran.
"Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan Dosa itu?"
"Benar!
Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai di depan dua kamar itu? Tahukah
engkau siapa yang berada disana?"
Dengan
pandangan mata yang polos Han Siong lalu menjawab sejujurnya. "Teecu
pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di dalam kamar yang
sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman,
sedangkan di kamar yang sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah
yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng."
"Hemm,
apa yang engkau dengar itu memang benar adanya. Pernahkah engkau bertemu atau
melihat mereka atau seorang di antara mereka berdua itu?" Kembali sepasang
mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik.
Sejenak Han
Siong tertegun. Tadi malam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam
kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan dia
pun tak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan
Si Nikouw yang dibicarakan. Maka dia lantas menggelengkan kepala. "Teecu
belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu."
"Dan
engkau juga tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka? Ingat, engkau tidak
boleh membohong."
"Suhu,
bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapa pun juga? Teecu
tahu bahwa membohong merupakan sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu benar-benar
tidak membohong kepada Suhu."
"Baiklah,
pinceng percaya padamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang
itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar
sekarang juga menghadap ke sini."
Han Siong
terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa girang bahwa dia
yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua
orang hukuman itu.
Secara
diam-diam dia merasa amat kasihan sebab menurut percakapan para hwesio kecil di
kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama
sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk di situ selama sepuluh tahun lagi
karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tidak ada seorang pun
hwesio kecil di situ tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka
dihukum selama dua puluh tahun.
"Ba...
baik, Suhu...," katanya agak gagap saking tegang hatinya. Dia cepat
bangkit lantas berlari menuju kebelakang.
Pertama-tama
Han Siong menuju ke rumah pondok yang sebelah barat, rumah pondok yang hanya
terdiri dari satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan
Dosa itu. Jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan, karena bukankah selama
bertahun-tahun ini dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat
yang terlarang untuk dikunjungi?
Dia hanya
boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati
pintu, apa lagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara
dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia.
"Tok-tok-tok...!"
Tiga kali
Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu.
Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam.
Akan tetapi tidak ada jawaban.
"Heiii,
Sute, apa yang kau lakukan itu?" Tiba-tiba saja terdengar bentakan seorang
hwesio muda karena dia terkejut bukan kepalang melihat betapa hwesio kecil itu
berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu!
"Sssttt,
Suheng, baru saja aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil
penghuninya agar menghadap Suhu!"
Mendengar
jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari
situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas
penting itu.
"Tok-tok-tok..!"
"Siapa
di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam,
suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walau pun tadinya dia
mengharapkan memperoleh jawaban.
"Aku...
eh, teecu...diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang... Lo-suhu agar
suka datang menghadap Lo-suhu..."
Hening
sejenak, lalu suara itu bertanya lagi. "Siapa namamu?"
"Teecu...
Han Siong...," jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang
oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada
siapa pun juga.
"Engkau
adalah anak yang suka menyapu pekarangan di luar pondok ini?" kembali
suara itu terdengar.
Tentu saja
Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu
bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu?
"Benar,
Lo-suhu...!"
Daun pintu
berderit dan Han Siong cepat melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka,
muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak,
tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya.
Tadinya dia
membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang
sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh
sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio
tua di dapur. Namun yang muncul ini ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh
tegap yang rambutnya panjang awut-awutan, biar pun jubahnya masih jubah hwesio.
Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di
kepalanya yang tadinya gundul.
Mukanya
sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu
sangat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih!
Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan. Walau pun
pakaiannya adalah pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan
tubuhnya yang tegap.
Anehnya,
lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung
lemas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang
terhukum ini adalah seorang penderita cacat.
Sejenak
keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di
mata anak itu. "Kau... kau... masih muda dan... bukan hwesio...,"
kata Han Siong agak tergagap.
"Anak
baik, pada waktu memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia
meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum.
"Sekarang bukan lagi."
Ingin sekali
Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak
berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah
demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan.
Teringatlah
dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat
seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu
itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri
tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu,
tentu mengandung niat tidak baik.
"Lo-suhu...
eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman..." Han
Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di sana tidak ada orang lain,
dia baru melanjutkan sambil berbisik, "semalam, dengan tidak sengaja aku
melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan
tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua
orang terdahulu..."
Pria itu
mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm... siapakah orang terakhir
itu?"
Kembali Han
Siong celingukan. "Dia adalah hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu di
sini, akan tetapi aku curiga padanya, Paman. Dia baru setahun ditolong karena
kedapatan kelaparan, lalu dijadikan tukang sapu di sini, dan dia itu mengaku
gagu, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara
dalam tidurnya."
"Ehhh...?"
Pria itu semakin tertarik. "Anak baik, coba ceritakan bagaimana bentuk
wajah dan tubuh orang yang mengaku gagu itu."
"Usianya
sekitar lima puluh tahun. Wajahnya panjang meruncing ke depan seperti muka
kuda, mulutnya lebar dengan gigi atas menjorok ke depan dan menonjol keluar,
sepasang matanya sipit dan dua telinganya lebar. Tubuhnya tinggi kurus dan dua
kakinya timpang."
Pria itu
kembali mengerutkan kedua alisnya kemudian mengangguk-angguk. "Anak baik,
keteranganmu ini penting sekali. Apakah engkau juga diutus untuk memanggil...
penghuni di kamar timur?"
Han Siong
mengangguk.
"Kalau
begitu, kau pergilah ke sana, Han Siong. Selain menyampaikan panggilan ketua,
juga kau ceritakan semua yang kau lihat semalam kepadanya. Hal ini amat penting
untuk diketahuinya."
Girang rasa
hati Han Siong. Pria yang menimbulkan perasaan kagum di dalam hatinya ini
percaya kepadanya!
"Baik,
Paman!" Dan dia pun berlari menuju ke pondok terpencil di ujung timur itu.
Ketika dia mengetuk beberapa kali, dia pun mendengar suara wanita dari dalam.
"Siapa
yang mengetuk pintu?" Suara ini begitu halus dan merdu, juga seperti suara
pria tadi, mengandung penuh kesabaran sehingga menyenangkan hati Han Siong.
"Teecu
Han Siong, diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang Locianpwe agar
menghadap suhu sekarang juga."
Hening
sejenak, kemudian suara halus itu bertanya, "Engkau anak yang biasa
menyapu pekarangan depan pondok ini?"
Kembali Han
Siong terkejut. Sebelum dia menjawab, daun pintu sudah terbuka dan untuk kedua
kalinya dia merasa tertegun. Wanita yang nampak sesudah daun pintu dibuka itu
sama sekali jauh dari pada perkiraan yang dibayangkannya. Bukan seorang nikouw
tua, melainkan seorang wanita yang amat cantik dan perkasa!
Seperti juga
pria tadi, wanita ini usianya sekitar tiga puluhan dan pakaiannya juga seperti
pakaian seorang pendeta. Dari keadaannya ini Han Siong bisa menduga bahwa
agaknya wanita ini pun dahulunya seorang nikouw yang gundul kepalanya, akan
tetapi rambutnya sudah tumbuh dengan subur selama bertahun-tahun dalam tahanan.
Dia merasa
kagum bukan main, akan tetapi juga kasihan. Dua orang itu ternyata masih muda,
dan mereka tentu lebih muda lagi ketika pertama kali masuk ke kamar hukuman
itu. Mengapa? Apa kesalahan mereka?
Seperti yang
sudah dipesankan oleh pria di kamar sebelah barat tadi, Han Siong segera
menceritakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Wanita itu nampak lebih
terkejut lagi.
"Hemm...
jahanam itu berani memata-matai kami!" Demikian dia menggumam akan tetapi
agaknya dia bisa menguasai kemarahannya dan berkata, "Han Siong, sampaikan
kepada ketua kuil bahwa sebentar lagi aku datang menghadap."
"Baik...
Bibi!" kata Han Siong.
Wanita itu
tersenyum manis sekali, mendengar betapa kini anak itu sudah cepat merubah
sebutan sesudah melihatnya. Tadi menyebut Locianpwe, sebutan menghormat dari
kaum muda kepada kaum tua yang dianggap gagah perkasa dan mempunyai kepandaian
tinggi, akan tetapi kini menyebut Bibi saja. Dan agaknya dia lebih senang
dengan sebutan ini.
Han Siong
lalu berlari ke ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio masih duduk bersila. Dia
segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek hwesio itu, lalu berkata,
"Suhu, teecu sudah menyampaikan undangan Suhu kepada kedua orang Paman dan
Bibi yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa itu."
"Bagus,
sekarang kau boleh pergi dan melanjutkan pekerjaanmu lagi," kata ketua
kuil itu sambil memandang keluar.
Han Siong
bangkit berdiri lantas keluar dari ruangan itu. Dia melihat apa yang dipandang
oleh gurunya, yaitu pria dan wanita yang ditemuinya tadi. Mereka berdua sedang
berjalan perlahan, berdampingan, dengan sikap dan wajah tenang sekali.
Han Siong
mengambil sapunya lagi dan menyapu lantai, melanjutkan pekerjaannya tadi.
Ketika pria dan wanita itu lewat di depannya, mereka berhenti melangkah dan
tersenyum kepadanya. Han Siong membalas senyum mereka dan melanjutkan
pekerjaannya ketika mereka kembali berjalan meninggalkannya untuk memasuki
ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio sudah menanti.
***************
"Han
Siong...!"
Suara ini
demikian dekat terdengar olehnya, seperti diserukan orang di dekat telinganya
saja, mengejutkan Han Siong yang sore hari itu duduk mengaso di bawah pohon di
kebun sesudah selesai bekerja. Dia menoleh ke kanan kiri akan tetapi tidak
melihat seorang pun manusia.
"Han
Siong ke sinilah engkau...!" kembali terdengar suara itu.
Dan Han
Siong segera mengenal suara lembut itu. Suara pria yang berada dalam kamar
tahanan di pondok sebelah barat! Maka dia lalu bergegas bangkit dan melangkah
cepat menuju ke Kamar Renungan Dosa sebelah barat. Dia menghampiri pintu namun
tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, keluar dari kamar itu.
"Han
Siong, kau pergilah menghadap gurumu dan katakan kepadanya bahwa hwesio gagu
tukang sapu itu adalah seorang tokoh sesat bernama Lam-hai Giam-lo, murid
mendiang Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan. Kedatangannya ke sini
dengan menyamar sebagai seorang hwesio gagu tentu mengandung maksud yang tidak
baik!"
Han Siong
merasa terkejut sekali. Sudah diduganya bahwa kakek gagu itu tentu seorang yang
mempunyai niat jahat. Akan tetapi tak disangkanya bahwa kakek itu adalah
seorang yang memiliki julukan demikian mengerikan. Lam-hai Giam-lo (Malaikat
Pencabut Nyawa Laut Selatan)!
"Baik...,
baik, Paman...!" katanya dan dia pun berlari-lari mencari suhu-nya.
Pada saat
itu Ceng Hok Hwesio sedang duduk di dalam ruangan semedhi, akan tetapi dia
tidak sedang bersemedhi karena sudah selesai membaca kitab suci. Melihat
munculnya Han Siong di ambang pintu, dia kemudian menggapai. Han Siong memasuki
ruangan dan menjatuhkan diri berlutut.
"Harap
Suhu sudi memaafkan kalau teecu datang mengganggu."
Ketua kuil
itu tersenyum. Dia seorang yang berwatak keras dan memegang teguh disiplin dan
peraturan kuil, akan tetapi setiap kali habis berliam-keng dan bersemedhi,
kekerasan itu seperti luntur dan dia menjadi lebih ramah.
"Tidak
mengapa Han Siong. Pinceng sudah selesai bersemedhi. Ada keperluan apakah maka
engkau agaknya mencari pinceng?"
"Benar,
Suhu. Tadi... paman yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa sebelah barat
memanggil teecu dan minta agar teecu menyampaikan pesanan penting kepada
Suhu."
Hwesio tua
itu mengerutkan alisnya dan sekarang mulailah kelihatan kekerasan hatinya.
Agaknya dia tidak suka mendengar ini. "Han Siong, engkau tentu sudah tahu
apa artinya Kamar Renungan Dosa itu. Orang yang dihukum di dalam kamar itu
harus merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya."
Ingin Han
Siong bertanya dosa apa gerangan yang sudah dilakukan oleh pria dan wanita itu.
Akan tetapi dia tahu akan kegalakan suhu-nya, maka dia menahan keinginannya dan
mengangguk.
"Teecu
mengerti, Suhu."
"Nah,
oleh karena itu engkau jangan terlampau berdekatan dengan mereka yang sedang
menjalani hukuman di dalam Kamar Renungan Dosa, karena dosa itu sifatnya
menular seperti sebuah penyakit, muridku."
"Baik,
Suhu."
"Nah,
sekarang pesan penting apakah yang harus kau sampaikan kepada pinceng?"
"Begini,
Suhu..." Han Siong memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau kakek tukang
sapu itu berada di dekat situ. Mendengar bahwa kakek itu adalah seorang
penjahat besar, seorang tokoh sesat, dia telah merasa ngeri. "Tadi paman
di sana itu mengatakan bahwa hwesio tua tukang sapu yang gagu itu sebenarnya
adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid dari
mendiang Lam-kwi-ong salah seorang di antara Empat Setan."
"Plakk!"
Ketua kuil Slauw-lim-si itu menepuk pahanya sendiri dengan tidak sabar.
"Jangan bicara sembarangan!"
"Teecu
hanya menyampaikan pesan paman itu..."
"Dia
bohong! Mana pinceng bisa percaya pada omongan seorang yang berdosa? Sudah
setengah tahun dia di sini dan dia benar-benar seorang tua yang patut
dikasihani, kenapa difitnah demikian kejam?"
"Akan
tetapi, Suhu, teecu percaya akan keterangan Paman di Kamar Perenungan Dosa
itu."
Ceng Hok
Hwesio membelalakkan kedua matanya yang lebar, menatap Han Siong lantas alisnya
berkerut. "Han Siong, bagaimana engkau bisa mempercayai keterangan seorang
yang berdosa? Engkau ikut berdosa kalau menjatuhkan fitnah kepada orang
lain!"
"Teecu
tidak mengucapkan fitnah, Suhu, akan tetapi keadaan kakek itu memang sangat
mencurigakan. Beberapa kali di waktu malam teecu lewat di depan kamarnya, dan
teecu mendengar dia ngelindur dan mengigau. Suhu, seorang gagu mana dapat
bicara walau pun hanya dalam ngelindur?"
Ceng Hok
Hwesio nampak terkejut. "Benarkah apa yang kau katakan itu?"
"Demi nama
Sang Buddha, teecu tidak berbohong, Suhu."
"Omitohud,
jangan kau bawa-bawa nama Sang Buddha dalam hal ini. Akan tetapi pinceng masih
belum yakin benar." Dia lalu bertepuk tangan beberapa kali, kemudian
muncullah lima orang hwesio yang menjadi murid-murid kepala di dalam kuil itu.
Mereka datang dan memandang kepada guru mereka dan Han Siong dengan heran.
"Panggil
hwesio tua yang tuli gagu itu ke sini!" perintah Ceng Hok Hwesio.
"Dan kalian berlima tetap berdiam di sini pula menjadi saksi."
Salah
seorang dia antara lima murid itu lalu pergi memanggil tukang sapu tua yang
gagu tuli itu, sedangkan empat orang murid lainnya duduk bersila. Tak lama
kemudian, seorang kakek hwesio yang wajahnya sangat menyeramkan, mirip seekor
kuda, dengan mata sipit dan telinga lebar, masuk bersama hwesio murid kepala
tadi dengan langkah terpincang-pincang.
Memang jelas
hwesio tua ini tidak kelihatan sebagai seorang jahat, apa lagi yang memiliki
kepandaian tinggi. Dia lebih pantas menjadi seorang hwesio cacat yang lemah dan
patut dikasihani.
Hwesio tua
itu cepat memberi hormat dan duduk bersila pula, memandang kepada ketua kuil
dengan sikap bodoh. Lima orang murid kepala pun memandang guru mereka, karena
mereka belum tahu apa maksud guru mereka memanggil mereka dan memanggil hwesio
gagu itu pula.
"Pinceng
mendengar bahwa kau Hwesio (Gagu) ini dapat berbicara, karena itu pinceng ingin
menguji apakah berita itu benar ataukah tidak," kata Ceng Hok Hwesio.
Mendengar
ucapan ini, lima orang murid itu menjadi terkejut dan memandang kepada Si Gagu
yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak
mengerti apa yang dibicarakan. Akan tetapi dalam hatinya, Han Siong merasa
menyesal. Dia menganggap bahwa keterus terangan suhu-nya itu merupakan
kebodohan.
Apa bila
persangkaannya benar bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan benar pula keterangan
orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang
lihai, bukankah ucapan suhu-nya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek
gagu tuli itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya?
Ceng Hok
Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu
menggeser duduknya, menghadap semakin dekat dengan pandangan mata bodoh. Ceng
Hok Hwesio lalu menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si
Gagu dapat bicara.
Hwesio tua
yang gagu tuli ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah
uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan
telinganya tidak dapat mendengar. Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio
mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, akan tetapi tukang sapu gagu itu
tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau
mendengar.
"Omitohud...semoga
Sang Buddha memaafkan pinceng jika dia ini memang benar-benar gagu dan tuli.
Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar-benar gagu atau tidak, namun
pinceng punya akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak.
Kalian berlima harus menutup telinga dengan rapat dan mengerahkan sinkang
melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi agak
jauh dari ruangan ini, dan bila masih ada suara getaran menyerangmu, cepat
tutup kedua telingamu dengan tangan. Beri tahu kepada para suheng-mu agar
melakukan hal yang sama."
Lima orang
murid kepala itu mengerti apa yang hendak dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka
mereka pun cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan
mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi
keluar dari ruangan itu.
Ceng Hok
Hwesio segera mengerahkan sinkang dan tidak lama kemudian keluarlah suara
melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu
makin lama semakin tinggi, menggetarkan hingga lima orang murid kepala yang
sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata
dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka.
Han Siong yang sudah berada di kebun, biar pun sudah menutupi kedua telinga
dengan tangan, masih merasakan getaran hebat.
Akan tetapi
kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama
sekali tak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya
itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang
berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu
duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka kemudian dia
pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka
mata.
"Ternyata
Aekau Hwesio ini betul-betul gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah
berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti
biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya," pesannya kepada para murid.
Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar
pula.
Sesudah
hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong kembali ke
dalam ruangan itu. "Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu
mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat
sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal
ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang
terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar
orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"
Han Siong
diam saja. Dia hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan
mengangguk-angguk saja. Kemudian dia pun pergi keluar dan melanjutkan
pekerjaannya kembali. Hatinya merasa penasaran sekali.
Benarkah dua
orang itu sudah berbohong? Akan tetapi, kalau melihat wajah mereka yang
menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa
mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu
itu yang pintar membohong dan bersandiwara.
Dan melihat
betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua
orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tak mungkin Si Gagu
yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.
Karena
merasa sangat penasaran, malam itu Han Siong tidak tidur melainkan keluar dari
tempat tidur dan kamarnya, kemudian bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu
yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena
dia belum diterima sebagai anggota kuil, melainkan seorang pembantu.
Sesudah
lewat tengah malam, kesabaran Han Siong baru mendapatkan hasil. Mula-mula dia
mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah
tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan sambil berindap-indap
mendekati kamar itu. Tidak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang
mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa
igauan itu mengandung kata-kata.
Han Siong
cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhu-nya. Hatinya
lega karena melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil
membaca kitab agama.
"Suhu...!
Suhu...!" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik.
Ceng Hok
Hwesio mengerutkan kedua alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong.
"Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar.
"Suhu...
Si Gagu itu mengigau lagi..."
"Han
Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"
"Tidak,
Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."
Ceng Hok
Hwesio menatap wajah anak itu dengan pandangan tajam penuh selidik. Wajah anak
itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang.
"Omitohud... engkau ini ada-ada saja. Han Siong, hanya mengganggu
ketenteraman pinceng..." Akan tetapi karena hatinya merasa amat tertarik,
dia pun turun dari tempat dia bersila kemudian bergegas mengikuti Han Siong
menuju ke bagian belakang.
Sesudah
mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja di dalam kamar itu terdengar
suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan
cepat dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau,
pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar
suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!
"...kalau
tidak diberikan kepadaku... kubunuh kalian..."
Ceng Hok
Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Sekarang mau tidak
mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan kakek
itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara!
Hati Ceng
Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan
dikelabui oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, maka jelaslah bahwa dulu
dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, supaya memperoleh kesempatan
masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa
pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali!
"Manusia
palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke
arah daun pintu kamar itu.
"Braaakkk...!"
Daun pintu itu pecah dan jebol dan Ceng Hok Hwesio langsung meloncat ke dalam.
Kaget oleh
suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di
atas pembaringannya. Dua matanya yang sipit memandang dengan marah dan tampak
mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang kini
tidak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata
itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang
mata sipit itu.
"Penipu
jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara kereng
berwibawa.
Akan tetapi,
orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar
bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.
"Ha-ha-ha,
Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"
Ketua kuil
itu sampai terbelalak saking terkejut dan herannya. Kini sikap orang bermuka
kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia
selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap
demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!
"Siapakah
engkau?!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh
Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau
berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"
Kembali
kakek itu tertawa hingga kamar itu seolah-olah hendak runtuh oleh getaran suara
ketawanya, "Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, mengapa engkau
tidak lekas berlutut di depan kakiku?"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat
menghinanya itu. "Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut
dihajar!"
Dia pun
segera menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar
harimau menyerang kakek yang masih duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi
tiba-tiba saja bayangan kakek itu berkelebat lantas terdengar bunyi kain robek
dan kapuk berhamburan pada saat kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai
kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!
Mendengar
suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio cepat memutar tubuh sambil
menyerang kembali, kali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang
seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga
menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai.
Membalik
sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar
biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan
terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang
pun akan remuk.
Akan tetapi,
sambil mengeluarkan suara laksana kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu
sama sekali tidak kelihatan jeri, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis
dari samping dengan memutar siku.
"Desss...!"
Pertemuan
antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang
di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat bukan main karena begitu
beradu, tubuh Ceng Hok Hwesio langsung terpental seperti terdorong oleh angin
yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak
bertenaga.
"Aihhh...!"
Ceng Hok Hwesio berseru kaget dan sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya
tidak sampai terbanting.
Dia kaget
sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka
dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang
kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan tangguh,
Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap kereng.
"Lam-hai
Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tak pernah ada urusan dengan
dirimu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"
"Ha-ha-hah-hah,
Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di
sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku selalu bekerja baik-baik
dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun
tak akan mengganggumu!"
"Omitohud,
kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah
dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!" Kini nada suara kakek
ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo
berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!
"Ha-ha-ha,
engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka
hatiku."
"Keparat!
Engkau memang jahat!" Dan Ceng Hok Hwesio sudah menyerang lagi dengan
lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar.
Tapi dengan
mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya sehingga dia
kembali terhuyung. Pada saat itu pula lima orang murid kepala Siauw-lim-pai
bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu
dikepung.
"Dia
ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Lekas
usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja
langsung maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya
dibutuhkan bantuan para muridnya.
Para hwesio
itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, biar pun dengan
pandang mata penuh keheranan sebab mereka sama sekali tak mengira sehingga
hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini kini disebut
Lam-hai Giam-Io, seorang penjahat besar!
"Ha-ha-ha-hiyeehhhh...!"
Suara tawa yang makin mirip dengan ringkik kuda itu terdengar berbareng dengan
penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan.
Dua orang
murid Siauw-lim-pai segera roboh saat Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua
tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya bagai berputar. Dengan
gerakan ini dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru
sambil merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya
Melihat
kehebatan kakek itu, Han Siong yang menonton dari luar diam-diam menyelinap
pergi. Tak lama kemudian dia telah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di
mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.
"Paman...!
Paman...! Bukalah pintu!" teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa
dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.
"Anak
baik, apakah yang terjadi?" terdengar suara pria itu dan daun pintu pun
terbuka.
"Paman...
terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para suheng
dan suhu, tapi... agaknya dia lihai sekali."
"Ahhh!
Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu segera berkelebat....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment