Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 13
Hay Hay
menerima benda itu, mengamatinya, dan mendadak dia mengeluarkan teriakan keras
lalu jatuh terguling dari kursi yang didudukinya. Pingsan! Tentu saja semua
orang menjadi terkejut dan Pek Kong segera memondongnya ke atas dipan kemudian
mengurut beberapa jalan darah untuk membuatnya siuman kembali.
Tidak
mengherankan bila Hay Hay menjadi pingsan saking kagetnya ketika dia menerima
benda itu lantas mengenalnya. Benda itu adalah sebuah tawon merah terbuat dari
emas dan permata, persis dengan benda yang ditinggalkan oleh jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga) yang dulu telah membunuh seorang gadis dusun yang
hitam manis dan kemudian memperkosa Siauw Lan, gadis dusun yang lainnya
sehingga dialah yang dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa.
Kiranya yang
melakukan hal itu adalah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang Hong Cu, Si Tawon Merah,
yang meninggalkan perhiasan berbentuk tawon merah itu. Dan Ang Hong Cu ini
bukan lain adalah ayah kandungnya!
Jai-hwa-cat
itu telah memperkosa gadis yang kemudian mengandung dan melahirkan dia. Dia
anak seorang jai-hwa-cat, lahir dari hasil pemerkosaan. Anak haram! Darah
penjahat keji! Maka, tidaklah mengherankan ketika melihat benda itu dan
menyadari siapa dirinya, Hay Hay langsung roboh pingsan.
Setelah
siuman kembali, dia mengeluh dan cepat bangkit duduk, lalu bangkit pula berdiri
memberi hormat kepada Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee. "Harap Cu-wi
memaafkan saya. Sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahasia diri
saya, maka saya hendak mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang
diberikan oleh Locianpwe Pek Khun terhadap mendiang ibu saya dan kepada saya
sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama ibu dan...
tidak akan mendengar kenyataan yang sangat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya
telah membikin repot keluarga Pek yang budiman."
Hati tiga
orang itu merasa sangat kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walau
pun di dalam hatinya dia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang
lahir dari hubungan perkosaan!
"Jangan
berkata demikian... Tang-taihiap," kata Pek Ki Bu. "Bagaimana pun
juga keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan
terhadap dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau sudah menyelamatkan Pek Han
Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya
dengan engkau hingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah
kami."
"Tidak,
tidak...! Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada
saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat..." Hay Hay memberi hormat lagi
dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan
melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang
berkunjung.
Mendengar
ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri. "Aihhh, kiranya mereka
yang datang! Tang-taihiap, aku harap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena
kami masih ingin berbincang-bincang denganmu tentang masa lampau. Marilah kami
perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari
Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang
amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budiman."
Hay Hay yang
baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa,
sesungguhnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta
dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang
terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan
bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu.
Rombongan
tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang lelaki berusia
kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus, berwajah keras dan mata
membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan
Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek.
Orang ke dua
adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut
seperti bola dan yang mempunyai muka bulat yang selalu tersenyum mengejek.
Orang ini bernama Song Un Sui, tak kalah terkenalnya jika dibandingkan kakaknya
yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang sangat tinggi
serta jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui
ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka
memandang rendah orang lain.
Ada pun
orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang
bertubuh tinggi besar, gagah sekali tampaknya dengan pakaian seperti seorang
pendekar dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam
sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya.
Pemuda ini
adalah putera ketua Kang-jiu-pang yang bernama Song Bu Hok, dan dia telah
digembleng oleh ayahnya serta pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan
juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi
ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan
dagunya yang gagah.
Perkumpulan
Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari dua
orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira
tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan.
Karena
merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang
lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu
percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga hampir seluruh
kekuasaan dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lantas mendirikan
perkumpulan Kang-jiu-pang. Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang
menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat dari pada penekanan
dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho.
Setelah
kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang lalu diketuai oleh puteranya,
yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak
beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena sekarang
tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka,
setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu kini
lebih menyerupai perkumpulan orang gagah.
Murid-murid
Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah yang lain, selalu
bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di
dunia kang-ouw. Nama Kang-jiu-pang lalu menjulang tinggi karena sepak terjang
anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa.
Sudah cukup
lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dengan pimpinan
Pek-sim-pang, maka dapatlah dibayangkan betapa girang pihak Pek-sim-pang
menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang
akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para
tamu, walau pun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah
mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu.
Pada saat
pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu
yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri kemudian memberi
hormat.
"Aihhh,
angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?"
kata Pek Kong dengan gemblra.
"Kami
harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan
jaya," kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia juga sudah menjadi
sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi ketua Kang-jiu-pang.
"Kami
baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan
para keluarga Pek juga dalam keadaan sehat bahagia," jawab Song Un Tek dan
Song Un Sui dengan ramah.
Akan tetapi
Song Bu Hok yang tadinya memandang pada Pek Eng dengan wajah berseri, kini
mengerutkan alisnya melihat di belakang gadis itu muncul seorang pemuda tampan
yang tidak dikenalnya. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.
"Bu
Hok, kenapa engkau diam saja?" ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia
pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di
belakang Pek Eng itu.
"Pek-locianpwe
dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi Pek, terimalah hormat
saya," kata Bu Hok.
Akan tetapi
kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru. "Aha!
Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han
Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"
Mendengar
seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok
segera terganti cerah dan berseri. "Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat
terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng.
"Jangan
sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut. Hatinya merasa tidak
senang ketika mendengar sangkaan orang bahwa dia adalah adik Hay Hay, pemuda
mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!
"Kalian
salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan amat ramah. "Pemuda ini
adalah seorang tamu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay.
Mari, silakan duduk di dalam."
Berbondong-bondong
mereka memasuki rumah dan tidak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan
dalam yang luas. Hay Hay yang juga turut dipersilakan duduk, memilih tempat
duduk pada sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang
bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu.
Malah dia
melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi
besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula betapa pemuda tinggi besar
itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tak ramah,
akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
"Song-pangcu,
bagaimana kabarnya kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota
raja, tentu banyak mendengar mengenai keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini
datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang
menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!" kata Pek Kong.
"Ahh,
untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja
semenjak Kaisar Cia Ceng memegang tahta kerajaan. Semua ini berkat
kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana..."
"Apa
kau maksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu
menyela.
"Benar
sekali, Paman," kata Song Un Tek.
Kakek Pek Ki
Bu menarik napas panjang. "Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu
bahwa kalau negara adalah sebatang pohon besar, maka kaisar serta para pejabat
tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan
akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta
buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, apa bila kaisar dan para
pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan
rakyat menjadi sengsara."
"Benar sekali,
Paman," kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang sungguh besar jasa dua
orang menteri yang bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi
keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri.
Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan
Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."
"Sayang
sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya
bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga demi kepentingan daun-daunnya,
cabang, ranting, kembang dan buahnya. Para pimpinan biasanya hanya memikirkan
kepentingan dan kesenangan dirinya sendiri belaka. Pada waktu perjuangan mereka
membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk mendapat kekuatan, dengan segala
macam kata-kata indah dan slogan patriotik, akan tetapi sesudah berhasil
memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali terhadap
rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan dari rakyat, tanpa dibantu oleh
rakyat, mereka tak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan
mereka yang sekarang," kata kakek Pek Ki Bu.
Song Un Tek,
ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. "Kiranya hal
itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimana pun juga para pimpinan itu
hanya manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan.
Akan tetapi ada pula pemimpin yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat
jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang
sama sekali tidak memperhatikan, yang hanya mengejar kesenangan pribadi
berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, mereka itulah
pembesar lalim dan orang semacam ini lambat laun pasti akan digilas oleh roda
perputaran dunia yang adil."
Kedua
pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan,
tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang secara diam-diam merasa
kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, akan tetapi
dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang tengah bercakap-cakap itu memang
orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati.
Kalau dia
teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah
keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, ada pun dia sendiri
adalah anak seorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia
pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya amat rendah dan hina. Akan
tetapi hanya sebentar saja dia berlaku demikian. Wataknya yang periang dan
tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya dengan cepat telah membuat
wajahnya menjadi cerah kembali.
"Song-pangcu,
selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang
dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting,
harap segera disampaikan kepada kami," Pek Kong berkata kepada temannya.
Song Un Tek
tertawa lantas mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat.
"Tak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada
awal perkenalan kita dulu dan kini ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek.
Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah
kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay.
Pek Kong
bersama isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya,
"Eng-ji, kau ajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman
bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri sementara kalian orang-orang
muda bersenang-senang di taman."
Sebetulnya
Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya terasa kecewa
dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi dia juga tidak berani
membantah, maka dia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk
bangkit berdiri.
"Eng-moi,
marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang sudah bangkit lebih dulu berkata
dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman karena aku ingin sekali
melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu dibandingkan dua tahun yang
lalu."
Ajakan ini
membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini
paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apa lagi untuk saling menguji
kepandaian. Dua tahun yang lampau ayahnya pernah mengajak dia pergi merantau
kemudian singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana dia berkenalan dengan
Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian
masing-masing.
Akan tetapi
pada waktu itu usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok telah
berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja dia masih kalah matang dalam
latihan. Kini dia sudah lebih matang dan dia ingin sekali melihat apakah kini
dia dapat mengatasi kepandaian puteea Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Mari...!"
katanya sambil bangkit berdiri kemudian melangkah pergi bersama putera Ketua
Kang-jiu-pang itu.
"Eng-ji,
ajak dia juga!" kata ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih
duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya
berkerut ketika dia menoleh kepada Hay Hay.
"Mari
ikut dengan kami," ajaknya dengan suara agak kaku.
Akan tetapi
Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri lantas berkata, "Terima
kasih, Nona, engkau baik sekali!"
Melihat
sikap dan mendengar kata-kata ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang
tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia pun merasa
adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini,
pikirnya.
Ayah dan
pamannya mengajak dia berkunjung ke sini karena ingin mengajukan pinangan
terhadap Pek Eng untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disepakati bersama oleh
kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang sudah
tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia bermain dengan Pek
Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat
lincah menarik.
Kini, dua
tahun kemudian, ternyata Pek Eng sudah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih
memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu melihatnya tadi, langsung saja
Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi
di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng!
Bu Hok bersikap
acuh saja terhadap Hay Hay pada saat dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke
taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang
mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua
orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya.
Dari
belakang dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika
gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya
yang ceking bagaikan pinggang lebah kemit itu seperti hendak jatuh ke kanan
kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat hingga lututnya saling
bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang
menggiurkan!
Mereka
memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman
rumput yang cukup luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk
berlatih ilmu silat. Nampak enak sekali berolah raga di taman itu, di atas
petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah serta pohon-pohon yang
menimbulkan hawa segar. Terlebih lagi berolah raga di waktu pagi-pagi sekali,
pasti amat sejuk dan menyegarkan tubuh.
"Eng-moi,
aku percaya bahwa sekarang engkau tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam
ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu supaya aku dapat
mengaguminya?" kata Bu Hok.
Kalau saja
di sana tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan senang sekali memamerkan ilmu
silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan dia tahu betapa
lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari
ayahnya dan kakeknya.
Bagaimana
mungkin dia dapat memamerkan ilmu silatnya di hadapan seorang yang lihai
seperti Tang Hay itu? Tentu dia hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka
sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak
menjauh dari mereka, dia pun menggelengkan kepala.
"Tidak,
Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini kedatangan
tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi
sehingga kini aku lelah sekali."
"Ahhh...!"
Bu Hok berseru kaget. "Ada tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini?
Di mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya
dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah saja dia akan mampu membasmi
mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.
"Kini
mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi lalu engkau bersama ayah
dan pamanmu datang."
"Akan
tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus
mendesak dan mencari kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"
Pemuda ini
memang sudah mendengar mengenai peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan
lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong lantas diminta oleh para pendeta
Lama di Tibet.
Dara itu
mengangguk. "Mereka masih terus mencari kakakku yang hingga kini belum
juga pulang. Ahh, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau
tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu sekarang Ilmu Silat Tangan Baja
milikmu telah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."
Bu Hok
adalah seorang yang sangat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Memang harus
diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia
dapat dikatakan murid yang terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah
sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!
"Ilmu
silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, bahkan
kini latihanku sudah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya ayah dan
paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat
dinamakan maju pesat. Dengan bantuan ayah dan paman, aku sudah berhasil
merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan
Baja, oleh karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam).
Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk
dari ayah dan paman. Aku baru merasa puas jika sudah dapat menjadikan ilmu
pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."
Pek Eng
memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya,
seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai
seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi
kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tak
mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut
petak rumput itu!
Hay Hay
seakan-akan sudah merusak semua kegembiraannya, membuat segala-galanya menjadi
tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng
melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya.
Dia sudah
melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang sanggup mengusir tiga orang pendeta Lama
yang berilmu tinggi tadi, tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, malah
kelihatan seperti seorang pemuda lemah yang tolol, sedikit pun tidak
menonjolkan kepandaiannya. Sebaliknya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok
kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka timbullah keinginan hatinya untuk
mengadu kedua orang pemuda ini!
"Song-toako,
perlihatkanlah ilmu silatmu supaya aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu
dapat mengaguminya."
Bu Hok
menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay
berada di situ bersama mereka. "Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu,
Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai serta menghargai ilmu
silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat hanyalah seperti seekor
harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."
"Aih,
Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali
dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh
akan tetapi sekaligus juga bermaksud membakar hati Bu Hok.
Mendengar
ucapan Pek Eng ini, Bu Hok lalu memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata
tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya.
Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya,
"Saudara
Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?"
Sejak tadi
Hay Hay hanya tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera ketua
Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa
pemuda tinggi besar itu agaknya amat tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada
Pek Eng dan dalam gerak-gerik serta kata-katanya, juga pandang mata dan
ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan
diri sambil memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar saja
dan dia pun tak merasa heran jika pemuda itu nampak agak angkuh dan sombong,
karena memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik
perhatian seorang gadis.
"Ah,
tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan
untuk membela diri," kata Hay Hay merendah sebab dia tak ingin mengurangi
nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu.
Akan tetapi
Song Bu Hok masih belum merasa puas. Dara itu tadi mengatakan bahwa dia berdua
dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!
"Saudara
Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa
paling tidak pemuda ini menyebut kongcu padanya, tanda bahwa pemuda ini
menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi dari pada
pemuda itu.
Kembali Hay
Hay menjawab sambil tersenyum, "Ahh, aku hanya belajar begitu saja, tidak
dari perguruan mana pun."
Tentu saja
Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek
Eng tadi memujinya, dan lebih tak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan
dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan
hormat.
"Kalau
begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang
terhormat?" Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya
berkerut dan wajahnya membayangkan ketidak senangan dan keraguan.
Diam-diam
Hay Hay merasa mendongkol juga. Boleh saja kalau pemuda ini menganggap dia
tidak sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng
juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi telah mendengar semua penuturan
mengenai dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerima dirinya
sebagai seorang sahabat dan tamu.
"Begini,
Song-kongcu. Keluarga Pek telah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku
sehingga ketika untuk pertama kali aku tiba di sini tadi, aku disambut dengan
rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"
Tiba-tiba
wajah Pek Eng menjadi merah sekali. "Ihhh...!" Dia mengeluarkan
seruan kaget akan tetapi tak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay
dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Eng-moi,
apa artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina..." Bu Hok mengepal
tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.
"Ia
datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong,
karena itu aku dan ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira
dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan
membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay
dengan marah.
"Aku
tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu tak akan terlupakan selama
hidupku, Nona."
"Dasar
engkau laki-laki... mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah tak
akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!" Dengan ucapan ini Pek Eng
mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang
jai-hwa-cat itu.
Mendengar
ini, wajah Hay Hay berubah menjadi merah sedangkan matanya yang tadinya
bersinar-sinar sekarang menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata
apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera
mendesak,
"Eng-moi,
dia ini putera siapakah?" Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan
menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat.
Akan tetapi
Pek Eng telah merasa menyesal bahwa dia telah mengumbar kemarahannya. Dia
menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.
"Sudahlah,
tidak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan
dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."
Bu Hok tidak
mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek
Eng dengan ciuman! Dia membayangkan alangkah mesranya mereka itu saling
berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu
dan iri!
"Saudara
Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, maka marilah kita main-main
sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"
"Ahh,
tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa..."
"Hemm,
kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara
persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata.
"Tidak,
aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri,
biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."
Song Bu Hok
membusungkan dadanya, merasa bangga sekali. Orang ini tidak berani! Dia
tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng. "Kalau dia
tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihatlah, aku akan bermain
pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup
baik." Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya lantas nampaklah
sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya.
Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang
pilihan.
Song Bu Hok
memang bertubuh gagah dan kini dia sudah beraksi dengan pedangnya, memasang
kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di
depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat bukan main.
Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lantas
nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan
cepat dan kuat.
Secara
diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang nampak indah, cukup
cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum matang dan tenaga yang
dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya. Akan
tetapi harus diakui pula bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja
tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan
menjadi ilmu yang ampuh.
Karena ingin
memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat dan setiap kali menusuk
atau membabat, selalu dibarengi dengan bentakannya yang nyaring. Kemudian dia
mengeluarkan suara melengking, lantas pedangnya berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu, pohon yang setinggi
orang akan tetapi daunnya lebat.
Gulungan
sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali hingga tubuh
Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan
mengitari pohon kembang itu. Nampak daun-daun pohon itu berhamburan dan ketika
akhirnya dia menghentikan gerakannya lantas berdiri tegak dengan pedang di
belakang lengan, pohon itu sudah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon
itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!
"Sungguh
kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!" Hay Hay memuji, sekedar untuk
mengisi kekosongan.
Akan tetapi
Pek Eng mengerutkan sepasang alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu
merupakan salah satu di antara pohon kesayangannya, dan pada waktu itu telah
dekat masanya pohon itu berbunga, tapi kini dibabat oleh pedang Bu Hok.
Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai
sasaran tanpa terlebih dulu minta perkenan pemiliknya?
Maka, pada
saat mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, dia pun berkata
ditujukan kepada Hay Hay.
"Ah,
tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok,
"Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek
karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, apa
bila dipakai melawan dia maka tidak ada artiya sama sekali!"
"Nona
Pek Eng...!" Hay Hay berseru kaget.
Wajah Song
Bu Hok berubah menjadi merah saking marahnya, lalu dengan langkah lebar dia segera
menghampiri Hay Hay. "Kalau begitu, Saudara Tang, mari kau beri aku
sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"
"Tidak,
Song-kongcu, aku..."
"Apakah
aku harus mengatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tak berani
terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan hanya berani melontarkan
celaan di dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?"
"Song
Bu Hok...!" Hay Hay kini menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki
aku sebagai pengecut!"
"Jika
bukan pengecut, hayo kau hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok yang juga
marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.
"Aku
tidak ingin berkelahi, biar pun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama
sekali!" kata Hay Hay.
Ucapan ini
merupakan minyak yang menambah berkobarnya api di dalam dada Bu Hok. Kata-kata
bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggapnya sebagai sebuah
tantangan.
"Kalau
begitu, sambutlah pedangku!" Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini segera
diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya
cepat dan kuat. Hay Hay mengelak dengan mudah.
"Song-toako,
aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekali pun engkau tak akan
mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!"
Ucapan Pek
Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, melainkan karena dia tadi sudah melihat
betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua
serangan tiga orang pendeta Lama yang jauh lebih lihai dari pada Bu Hok! Akan
tetapi teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.
"Hendak
kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah kemudian
dia memperhebat serangannya.
Tadinya Hay
Hay ingin meloncat keluar dan tak mau melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu,
akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas
juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati sehingga perlu diberi pelajaran, pikirnya.
Maka dia pun
segera menggerakkan kedua kakinya, menggunakan langkah-langkah ajaib untuk
menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu. Dengan
mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan
kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama
sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Setiap kali Bu Hok menyerang
dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh
Hay Hay juga cepat menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja
serangan Bu Hok mengenai angin kosong!
Bu Hok yang
wataknya keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi
tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawannya itu
jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali.
Serangannya segera diperhebat hingga akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya
basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan
menggeser kaki ke sana-sini.
"Bu
Hok, apa yang kau lakukan itu? Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan
suara Song Un Tek.
Kiranya Song
Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari
rumah memasuki taman, dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang
kabut dengan pedangnya, ketua Kang-jiu-pang itu sangat terkejut dan cepat
membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan.
Namun, Bu
Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah masih terus mengirim beberapa
tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke
arah pedang pada dekat gagang. Terdengar suara nyaring lalu Bu Hok merasa
betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh.
Hampir saja
dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang
terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan
tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan
meraba baju di bagian dadanya yang terobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan
tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.
"Kiam-hoat-mu
hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah."
Apa bila tadinya
dia terkejut dan heran, sekarang Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimana
pun juga pedangnya mampu merobek baju pada bagian dada lawan, bahkan Tang Hay
mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata,
"Eng-moi,
sungguh pun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan
pedangku." Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali,
akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah di dekat
gagangnya, lantas jatuh keluar dari sarung.
"Eehhhh...!"
Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata
terbelalak dan muka pucat, lalu memandang pada pedang yang sudah buntung dan
kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku...?"
Melihat
betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut
itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan laki-laki
gendut ini karena kalau melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk
bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu.
Kini dia
telah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat
gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya telah
terpukul oleh benda yang sangat kuat, lebih kuat dari pada pedang itu sendiri.
Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah
pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga sempat melihat
keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana
kini tahu-tahu pedang itu bisa menjadi patah?
Tadi ketika
bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain
pembicaraan mengenai mematangkan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng,
juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama
yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menuturkan bahwa pemuda
bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian tinggi.
Akan tetapi
Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian
sendiri, watak yang ditiru oleh keponakannya. Walau pun kini dia melihat bahwa
pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang
mematahkan, dia justru menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa
patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she
Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Bocah
she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya
dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan
keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu saja,
maka dia pun berani menentangnya.
"Aku
hanya membela diri...," Hay Hay menjawab.
"Bocah
sombong, engkau hendak memamerkan kepandaianmu dengan menghina kami? sambutlah
seranganku!" Si Gendut itu kini langsung menerjang ke depan dengan pukulan
tangan terbuka ke arah dada Hay Hay.
Melihat
serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga Bu Hok
tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya terus mendesak dengan serangan
bertubi-tubi, tetapi Hay Hay cepat mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan
mudah menghindarkan diri dari semua serangan.
Melihat
pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata sepatah kata lagi Bu Hok yang
merasa sangat penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay.
Akan tetapi Hay Hay masih terus mengelak dengan Jiauw-pouw Poan-soan dan
serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya
selalu berhasil menghindar, padahal nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang
dan lambat saja!
Keluarga Pek
merasa bingung sekali melihat perkelahian ini. Mereka menjadi serba salah. Mau
melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, kalau tidak
dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang
ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja mempunyai ilmu silat
tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir.
Para murid
Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di
situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi
sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apa lagi para murid
muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu
untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apa lagi melihat sikap
Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka menonton
perkelahian sambil mengharap agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu!
Akan tetapi
Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak ingin membikin malu keluarga Song
yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Jika tadi dia
sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia amat
mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya.
Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut
gendut yang menjadi paman Bu Hok.
Sekarang dia
memainkan Jiauw-pouw Poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang
lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa
yakin bahwa biar pun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tetap tidak
akan mampu memukulnya.
Maka dia pun
hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tak seperti ketika
dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu
untuk mempermainkan mereka. Secara diam-diam kini dla merasa menyesal kenapa
tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok.
Sementara
itu, ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti
dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat lagi dan diam-diam mereka
terkejut sekali sesudah mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay
Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-soan yang dahulu
pernah mereka lihat, yaitu ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh
besar di Tibet!
Song Un Tek,
ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi
telah mendengar bahwa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga
Pek, bahkan pemuda itu pun telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta
Lama yang datang mengacau.
Biar pun
patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus
mendengar dahulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu
sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun segera melangkah maju dan
berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.
"Tak
baik urusan kecil dibikin besar," katanya setelah adiknya dan anaknya
mundur saat mendengar perintah Song Un Tek. "Apa bila ada urusan,
sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, sebenarnya apa yang sudah terjadi?
Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"
Bu Hok
adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan
tetapi dia pun seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan
ayahnya, mukanya berubah merah. Tidak perlu dia berbohong karena di situ
terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.
"Aku
hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah," katanya.
Song Un Tek
mengerutkan alisnya dan menegur adiknya. "Sui-te, engkau tadi mendengar
sendiri. Keponakanmu itu yang mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian
Saudara Tang, kenapa tanpa penyelidikan lebih dulu engkau telah lancang turun
tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"
Song Un Sui
menundukkan mukanya. Tidak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji
kepandaian saja. "Aku melihat pedang itu patah, maka..."
"Nah,
lain kali harap suka lebih bersabar," tegur kakaknya, kemudian dia
memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sikapmu itu sangat memalukan.
Engkau menguji kepandaian orang secara persahabatan, hal itu biasa saja. Akan
tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong.
Patutkah perbuatan itu? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan,
bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta
maaf."
Dengan muka
merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang
dan jujur pada saat dia berkata, "Saudara Tang Hay, harap kau suka
memaafkan kebodohanku tadi."
Song Un Sui
juga buru-buru berkata, "Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku tadi,
Saudara Tang."
"Aku
sendiri ingin mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah
perkasa," kata Ketua Kang-jiu-pang.
Melihat
sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan
sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun
menjura untuk memberi hormat kepada mereka. "Harap Sam-wi tidak berkata
demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa
Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa sehingga patut
menjadi teladan bagi orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum
sekali!"
Dengan
adanya kata-kata ini, tentu saja lenyaplah semua sikap bermusuhan tadi, bahkan
diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat lantas memegang
lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab.
"Saudara
Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat sekali,
dan sekarang aku tak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercayai kebenaran
keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi
dari pada kami."
"Ahh,
jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu..."
"Sudahlah,
siapa yang ingin disebut kongcu? Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku
menyebut namamu. Bukankah kita telah menjadi sahabat? Malah sahabat akrab,
karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay? Maukah
engkau menjadi sahabatku?"
Bukan main
girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi nampak
demikian sombong itu ternyata adalah seorang lelaki yang amat jujur dan gagah
perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan.
"Baiklah,
Bu Hok."
Semua orang
menjadi girang melihat kerukunan itu, dan tiba-tiba saja Pek Ki Bu berkata
kepada Hay Hay, "Tang-taihiap..."
"Ya
Tuhan... Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada
saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika
masih bayi? Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay
Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?"
Pek Ki Bu,
Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, lalu Pek Ki Bu tertawa. "Ha-ha-ha,
baiklah, Hay Hay. Bagaimana pun juga engkau sebaya dengan cucuku, maka engkau
pun pantas menjadi cucuku. Nah, kini aku ingin bertanya. Bukankah ketika
menghindarkan serangan tadi engkau telah memainkan ilmu langkah ajaib, dan
kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw Poan-soan?"
Hay Hay amat
terkejut dan cepat memberi hormat. "Pek-locianpwe benar-benar bermata
tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw Poan-soan."
"Kalau
begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama? Bukankah ilmu itu adalah miliknya?"
"See-thian
Lama adalah guru saya."
"Ahhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee.
"Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, ternyata murid dari seorang di
antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami keluarga Pek menjunjung tinggi
dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga
bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe
See-thian Lama itulah yang melerai sambil melindungi kami, bahkan beliau pula yang
menganjurkan kepada kami supaya meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini.
Ahh, kiranya engkau adalah muridnya..."
"Benar-benar
merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi
dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya karena kami ingin
mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama
dan lain-lain," kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay.
Melihat
keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami
guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya,
kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima
kasih.
"Mari
kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga turut masuk karena
kami hendak membicarakan urusan penting," kata Pek Kong sambil menggandeng
tangan Hay Hay.
Setelah
mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lantas berkata,
"Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan sebagai orang luar, maka
biarlah dia ikut pula mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan.
Setujukah engkau, Song-pangcu?"
Song Un Tek
yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa. "Apa yang
kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin
banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik."
"Pertama-tama,
kutujukan kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau betapa usiamu sekarang?"
Ditanya
usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan dua mata terbelalak, akan tetapi
mukanya langsung berubah merah. "Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia di
hadapan orang banyak? Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa
usiaku," katanya manja.
Ibunya
menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu. "Usianya sudah
hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi."
"Aku
dan Ibumu sudah semenjak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk
menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang
secara resmi..."
"Ayah...!"
Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya.
Ayahnya
tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak kebingungan melihat
sikap Pek Eng itu.
"Anakku
itu memang manja dan pemalu, dia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan
tetapi aku yakin bahwa dia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap
Bu Hok menunjukkan bahwa dia tidak akan keberatan? Eng-ji pasti setuju, maka
kuharap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir."
"Biarlah
aku yang akan bicara dengan Eng-ji," kata Souw Bwee yang kemudian banglit
meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng.
"Ha-ha-ha-ha,
pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami.
Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita,
Song-pangcu!" kata Pek Kong.
Mereka
mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu kemudian
berkata kepadanya. "Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi
selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini."
Hay Hay
mengangkat cawannya, dan pada saat itu pula Pek Kong bertanya, "Hay Hay,
bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek
Eng?"
Sambil
memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya. "Pasangan yang
sangat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng
adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu."
"Hushh,
jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja
Paman padaku."
"Baik,
Paman. Nah, selamat bagi sepasang orang muda yang pada hari ini
bertunangan!" katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh
semua orang.
Malam itu
pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum
dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walau pun sudah
dibujuk ibunya.
"Dia
tentu malu, maklumlah dia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman
dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya sehingga membuatnya merasa
canggung dan malu," katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya.
Dua orang
pangcu itu makan minum dengan sangat gembira. Betapa mereka tidak akan gembira.
Semenjak belasan tahun mereka telah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok
dan sepaham, pada satu pihak mereka adalah pejuang dan pendekar, dan di pihak
lain juga pendekar yang terkenal, ada pun kedua orang anak mereka memang
merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka
berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali.
"Mengenai
penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu,
Song-pangcu," kata Pek Kong. "Bagaimana pun juga hati kami tak akan
merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia
harus turut menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa
adiknya akan menikah lebih dulu dari pada dia sendiri."
Song Un Tek
dapat mengerti alasan ini dan dia pun tak merasa keberatan. Mereka makan minum
sambil mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan
mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan.
Hay Hay juga
dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena
kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu!
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment