Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 31
GADIS yang
tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget.
Ketika melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri bagaikan patung
memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan
kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.
"Hemm,
mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti
orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?!" gadis itu
membentak. Bibirnya bergerak-gerak sehingga tampak kilatan giginya ketika
bicara, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.
"Bukan
main... hemmm, bukan main...!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati
wajah itu.
Gadis itu
membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata
bukan main? Siapa yang main-main?"
"Wah-wah-wah-wah,
selama hidupku belum pernah aku melihat yang seperti ini! Melebihi semua yang
pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar
hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan kepalang, ya
cantik, ya gagah, ya berani!"
"Heii,
apakah engkau ini orang gila?" bentak gadis itu sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Hay Hay.
"Aku?
Tidak, belum gila, Nona, walau pun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga
Hutan dan bukit ini?"
Dara itu
kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah
melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kau bilang? Aku
penjaga hutan dan gunung? Kau kira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau
siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan
isi neraka, engkau... engkau..." Ia kehabisan makian karena tidak tahu
lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.
"Aduh,
jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau
Sang Dewi. Apa bila engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin
tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"
Gadis ini
cemberut lantas memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat
begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai
itu dan diangkatnya, dipanggulnya.
"Lhoh!
Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu adalah milikku!" Hay Hay mencela dan
dia pun melangkah maju menghampiri.
Sekarang
nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seakan-akan dapat
merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya
dara itu.
"Apa
kau bilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi seperti orang
tolol, kemudian mengatakan orang sebagai makhluk penjaga gunung, dan kini
engkau bahkan berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang
sialan yang tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin
Nonamu marah kemudian sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di
bawah tebing!"
"Maafkan
aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dahulu. Seorang yang suka
marah lekas tua, Nona, dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis
ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai
kijang ini adalah milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."
"Apa?!
Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan
menyambitnya dengan sebuah batu!"
"Hemm,
aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!"
Hay Hay membantah, merasa penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau
gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku sudah membunuh kijang itu,
dia tidak akan menerimanya begitu saja.
"Bohong!
Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku tadi. Orang tolol
macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan
batu?"
"Hemm,
sebaiknya kita melihat buktinya dahulu, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini,
mengenai apanya?"
"Mengenai
kepalanya, tepat di antara kedua matanya! Kau berani menyangka bahwa aku
membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat
leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.
"Lihat
ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena
sambitanku?"
"Aku
pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan,"
kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu.
Gadis itu
segera mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada
tanda menghitam bekas sambitan. Dia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu
mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.
"Tidak
peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku,
aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?!"
"Tidak
mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang
lapar."
"Hemm,
kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"
"Apakah
engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"
"Tidak,
aku hanya seorang diri."
"Kalau
begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih dari pada cukup!"
"Itu
urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa saja dan menolak memberi kepada
siapa pun. Dan aku tidak akan memberi kepadamu yang tolol dan kurang
ajar!"
"Ehh?
Aku kurang ajar?"
"Semua
laki-laki kurang ajar!"
Hay Hay
merasa penasaran hingga perutnya terasa panas. Dara ini keterlaluan galaknya,
tidak ketolongan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!"
Gadis itu
membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding sampai hampir
mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu langsung melangkah mundur.
"Apa kau bilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tidak tahu
diri? Apakah ibumu bukan perempuan? Kalau begitu ibumu juga tak tahu
diri!"
"Dan
kau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah ayahmu bukan laki-laki? Kalau
begitu ayahmu juga kurang ajar!"
"Sialan,
engkau berani memaki ayahku?!" bentak gadis itu.
"Engkau
juga lebih dulu memaki ibuku!"
"Apa?!
Jadi engkau hendak menantang aku berkelahi? Boleh saja, kalau memang engkau
sudah bosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda.
"Siapa
yang mau berkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi jika engkau memang
sudah begitu kelaparan, kalau dapat menghabiskan semua daging kijang ini,
silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan
perkelahian. Bagaimana pun juga, dia kagum kepada gadis ini walau pun gadis ini
liar, berani, dan galaknya bukan buatan lagi.
"Nah,
bilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi
bangkai kijang. Ketika dia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.
"Huh,
gembulnya! Apa perut kecil itu tidak akan meledak pecah nanti?"
Kaki yang
sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu
dibanting. "Kau bilang apa tadi? Aku gembul dan perutku akan pecah kalau
makan daging kijang ini?"
Hay Hay
tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah sekali, Nona. Siapa bilang
engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapa
pun!"
Kembali
bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan
kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik ini mengaku menangkap
kijang, padahal yang dipanggulnya adalah bangkai anjing!"
Kaki yang
baru melangkah lima tindak itu kembali ditahan lantas gadis itu menengok lagi,
siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu dia melirik ke arah kepala kijang
yang berada di atas pundaknya.
"Ehhhh...?!"
Dia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang
sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang,
melainkan bangkai anjing!
Matanya
terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia
mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah tadi dia salah pungut? Di mana
bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay
lalu mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,
"Kalau
aku memang merobohkan seekor kijang asli!"
Dengan
pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan sekarang dia
terbelalak kaget. Bangkai 'anjing' yang dilemparkannya tadi tiba-tiba saja
berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi sesudah kini dipanggul oleh
pemuda itu!
"Hei,
keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui
tubuh Hay Hay dan kini menghadang di depannya.
"Hemm,
mau apa lagi? Apakah ingin meminta sebagian daging kijangku karena perutmu
sudah lapar sekali seperti perutku?"
"Keparat,
kembalikan kijangku!" dara itu membentak dan sikapnya siap untuk
menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.
"Hemm,
kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang, sesudah diambil orang lain lalu
ribut-ribut dan memintanya kembali."
"Habis,
tadi kulihat seperti...," dia menahan kata-kata berikutnya, lalu
melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan
juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?!"
Hay Hay
menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari
pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang lantas dipanggulnya lagi,
siap untuk cepat-cepat pergi dari situ.
Akan tetapi
Hay Hay segera berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh
aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan sekarang memanggul
bangkai seekor ular besar! Apakah dia doyan daging ular?"
Gadis itu
tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu dia melihat bangkai di pundaknya,
wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya,
melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular
yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan
licin. Sungguh menjijikkan! Akan tetapi agaknya gadis itu kini mengeraskan
hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya.
"Aku
tak peduli, biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau
bangkai setan sekali pun!"
Agaknya dia
mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya lalu dia
pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu, dan setelah tidak
nampak lagi, tentu dia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang
menjijikkan itu!
Melihat ini
Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis
yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tak akan lebih dari delapan
belas tahun, gagah dan galak tapi wajahnya manis bukan main, terutama sekali
mulutnya.
Mulut itu
selalu terlihat manis, baik sedang cemberut, marah atau pun sedang terkejut dan
ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu
laksana bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan
hati lelaki yang bagaimana pun alimnya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya
tarik yang istimewa dan lain lagi dari pada gadis-gadis yang pernah ditemuinya.
Dan melihat
betapa dengan sekali sambit saja gadis itu dapat mengenai kepala kijang, di
antara kedua matanya, maka mudah diduga bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu
silat yang cukup lihai. Cara dia mengangkat dan memanggul kijang itu saja telah
membuktikan pula akan kekuatannya.
"Wah,
hati-hati, Nona, ular itu masih hidup! Dan ular yang kepalanya seperti itu
gigitannya membahayakan sekali, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay
berseru keras.
Sesungguhnya
gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan dia sudah mengerahkan
tenaganya untuk berlari cepat. Baru saja dia hendak berhenti dan membuang
bangkai ular itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara pemuda itu tepat di
belakangnya!
Peringatan
itu membuat dia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah. Apa
lagi saat dia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai
mati itu kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak
mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas
pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.
"Ihhh...!"
Ia menjerit dan tentu saja dia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup
kembali itu ke atas tanah dan dia pun melompat ke belakang dengan muka pucat.
Ketika dia
berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu mempunyai ilmu
berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan
hampir tertinggal. Maka tadi dia pun cepat meneriakkan kata-kata yang
mengandung sihir.
Saking kaget
dan jijiknya, gadis itu sampai tak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu
ternyata mampu mengejarnya. Dengan kedua mata terbelalak saking jijik dan
ngerinya, dia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.
"Kalau
engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena
memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu.
Tiba-tiba
saja gadis itu melihat bahwa 'ular hidup' itu bukan lain adalah bangkai kijang
tadi yang sekarang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya.
Dua tangan pemuda itu masing-masing memegang dua kaki depan dan kaki belakang
bangkai kijang. Kini pemuda itu sudah melompat dan melarikan diri.
Gadis itu
membanting kaki kanannya lantas secepat kilat dia pun mengejar. Ginkang-nya
(ilmu meringankan tubuh) memang hebat, maka sebentar saja dia sudah dapat
menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.
"Berhenti
dulu kamu!"
Hay Hay
masih tetap tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah
akhirnya engkau hendak menuntut bagian, yaitu separuh dari daging kijang yang
memang menjadi hakmu ini? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan..."
"Cukup!"
Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan
kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang cepat melangkah mundur
selangkah. "Ternyata engkau adalah iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu
dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi
masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"
Berkata
demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan kiri yang menyambar
ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main
melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan
mendatangkan hawa pukulan yang sangat kuat, juga sangat cepatnya sehingga
hampir saja tak ada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa dia melempar
tubuhnya ke belakang, lalu berjungkir balik.
"Crakkk...!"
Perut
bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek oleh cengkeraman tangan
gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang lalu
memandang dengan mata terbelalak.
Kiranya
walau pun sudah dapat dia hindarkan, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman
dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman jika tidak
ada perisai istimewa berupa perut kijang itu! Perut itu terobek dan isi
perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk
sesaat dia terpukau.
Tentu saja
gadis ini amat hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi
kalau mengetahui siapa dia. Gadis ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri
ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis!
Cia Kui Hong
bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan
sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh
tahun yang lalu, akan tetapi bahkan selama tiga tahun dia digembleng oleh kakek
dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan
Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal
lagi.
Kakeknya
adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ada pun neneknya tidak kalah lihainya,
yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi 'Datuk' kaum sesat dengan julukan
Lam Sin. Sesudah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu
kepandaian Kui Hong tentu saja meningkat dengan pesat dan kini dia menjadi
seorang gadis berusia delapan belas tahun yang sangat lihai, gagah perkasa,
galak sekaligus manis, juga agak ugal-ugalan!
"Wah-wah-wah,
tobat, nanti dulu, Nona...!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu kembali
menerjangnya dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi.
Melihat
betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi dapat menghindarkan dirinya
dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang
digunakannya, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang
sembarangan, maka dia cepat menyerang lagi dan kini dia sengaja mengeluarkan
ilmu silat yang paling rumit dan sukar ketika dia pelajari dari kakeknya.
Ilmu silat
itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya terdiri delapan jurus, namun delapan
jurus yang teramat hebat dan sulit dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan
yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sinkang yang amat
kuat.
Sebenarnya
Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi
ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya
terhadap cucunya, dia lalu mengajarkannya kepada cucunya walau pun tidak mudah
bagi Kui Hong untuk menguasainya. Biar pun dia belum sempurna menguasai ilmu
silat itu, tetapi sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.
"Wuuuutttt...!"
Angin kuat
menyambar ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuh sampai
berjongkok itu tiba-tiba saja menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua
tangannya, didorongkan sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking.
"Haiiiiittt...!"
Hay Hay
melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang
ugal-ugalan serta senang sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka
sambil tersenyum dia pun mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu.
"'Dessss...!"
Dua kekuatan
yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong
hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah. Akan tetapi di
lain pihak, Kui Hong tidak dapat menahan kekuatan dorongan yang demikian
hebatnya, yang membuat tenaganya membalik hingga tubuhnya terdorong ke belakang
sampai dia terjengkang dan terpaksa dia harus bergulingan agar tidak terbanting
hebat!
Akan tetapi
dia tadi sempat mengerahkan sinkang-nya sehingga tidak sampai terluka oleh
tenaganya sendiri yang membalik, dan sesudah tubuhnya menabrak batang pohon,
baru dia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat,
lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena dia menjadi marah
dan juga malu!
Menurut
kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu sangat hebatnya, jarang
ada orang yang mampu menahannya. Apa bila pemuda ini dapat menahannya, maka hal
itu hanya berarti bahwa lawannya ini mempunyai tingkat kepandaian yang jauh
lebih tinggi darinya.
Sementara
itu, ketika melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay
terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke
depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.
"Ah,
harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Aku benar-benar tidak sengaja dan tidak
bermaksud untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"
Sikap baik
dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi makin marah. Dia merasa diejek dan
perutnya terasa panas bukan kepalang. "Manusia iblis, kau kira aku sudah
mengaku kalah?" Berkata demikian, dia pun menerjang kembali dan sekali
ini, biar pun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih
cepat dari pada tadi.
Memang Kui
Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang
keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang
lebih kuat. Maka dia pun menyerang dengan mengandalkan ginkang-nya. Gadis ini
sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang
Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari ibunya lalu disempurnakan oleh
gemblengan neneknya yang memiliki ginkang lebih hebat lagi.
Dan untuk
lebih memperhebat ginkang-nya, dia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang
dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti
Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepat sehingga tubuhnya
berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh
pandang mata.
"Ihhh,
engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi
lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka
sama sekali! Dia menjadi semakin kagum.
Gadis ini
lihai ilmu silatnya, kuat sinkang-nya dan hebat pula ginkang-nya. Kiranya hanya
Kok Hui Lian saja yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat
betapa gadis itu kini mempergunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia
pun melayaninya dengan gerakan cepat.
Akan tetapi
diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu
bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan
main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap
manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan
dan tidak pernah membalas.
Akan tetapi,
biar pun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia
tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong.
Karena Hay Hay sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak dengan amat
cepatnya dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka dia pun
menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini sangat memandang rendah
kepadanya dan sedang mempermainkannya!
Tapi
diam-diam dia pun terkejut bukan main karena baru sekarang dia tahu benar
betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Siapa yang
mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu mempunyai kepandaian
yang lebih tinggi darinya.
Akan tetapi
bukan watak Kui Hong untuk merasa jeri dan mau mengaku kalah! Dia malah
memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya
sehingga dia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu.
Menghadapi
seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerang dirinya secara
bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian
yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin
mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang
datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu.
Kini Hay Hay
mulai merasa bingung. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena
akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya.
Amukan gadis ini pun karena tadi dia mempergunakan sihir sehingga dia dimaki
sebagai manusia iblis dan dukun lepus!
"Haiii,
Nona, tahan dahulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!"
teriaknya berkali-kali.
Akan tetapi
agaknya Kui Hong sudah menulikan telinganya dan tidak sudi mendengarkan
omongannya lagi, bahkan menyerang terus walau pun sekarang leher dan dahinya
telah berkeringat, dan napasnya telah agak memburu karena sejak tadi dia
menyerang dengan sepenuh tenaga dan selalu mengerahkan ginkang-nya.
"Nona
yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tak
mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung.
Apa bila
dilanjutkan, akhirnya dia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan
kehabisan napas dan tenaga, dan hal ini juga amat membahayakan gadis yang nekat
itu. Maka dia pun melompat lagi lantas melarikan diri ke arah puncak bukit!
Akan tetapi Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan
pengejaran dengan amat nekat.
Celaka,
pikir Hay Hay. Gadis itu justru memiliki ilmu berlari cepat yang sangat hebat.
Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu
melewati puncak bukit, dia akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana
sehingga dia akan dapat bersembunyi. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah lelah
dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu.
Perhitungan
Hay Hay tadi memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya,
Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi
dengan nekat dia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main
kepada pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Dia
harus bisa menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun!
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay sesudah dia tiba di puncak bukit
itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak ada jalan
turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang
tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan di bagian lain bukit itu
selebar kurang lebih dua ratus meter. Jurang itu tidak mungkin dilompati,
kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung!
Sementara
itu Kui Hong sudah berhasil menyusulnya dan meski pun napas gadis itu kini
sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.
"Cukuplah,
Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" berkata Hay Hay yang merasa
terjebak dan tidak mampu lari mengelak lagi.
Akan tetapi
tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong telah kembali
menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap
pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya.
Akan tetapi
tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya terlepas
dari gelungnya. Rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah
muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan
cambuk saja.
Bukan main!
Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong
telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan
dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau
sampai mengenai muka, terutama mata, maka dapat mencelakai lawan!
Menghadapi
lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay harus melepaskan pegangannya dan meloncat
ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar
merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangannya
untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya sehingga beberapa
batang jarum merah itu pun runtuh.
Hay Hay
semakin kaget. Jarum-jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah
Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya.
Dengan diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu
meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal
ini malah membuat dia merasa penasaran sekali dan kini dia maju lagi sambil
mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah.
Melihat
pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran sekali. Apakah akhirnya gadis ini sudah
kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum
merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah
benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.
"Plakkk...!"
Dan Hay Hay
terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan
lunak sekali. Itulah Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya lunak
saja, namun begitu halusnya sehingga tenaga sinkang dan kekerasan pihak lawan
akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja!
Ketika
merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang
yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada
pegangan pokok bahwa dengan kelembutan mengalahkan kekerasan! Dia cepat-cepat
meloncat lagi ke belakang.
Akan tetapi
tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga pada waktu Hay
Hay melompat ke belakang dengan sepenuh tenaga, tubuh Kui Hong turut terbawa
pula. Dan karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi,
dia menjadi lengah, tak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa
lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melampaui
tepi tebing sehingga tanpa dapat dicegah lagi, mereka terjun melayang ke dalam
jurang yang amat curam itu!
"Ihhhh...!"
Saking kagetnya Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan dia melihat betapa tubuh
mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya.
Akan tetapi
dia adalah seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi
kematian. Karena dia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan
dirinya, maka dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan.
Dia tidak memejamkan mata, bahkan membuka kedua matanya lebar-lebar,
seakan-akan dia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya
dan dengan mata terbuka!
Hay Hay
terkejut bukan main. Akan tetapi seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut,
malah dia membuka mata dan bersiap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan
dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya,
luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika masih
dibebani dengan tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimana pun juga, masih lebih
cepat dari pada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak
dibandingkan gadis itu.
Ketika dia
melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing sebelah bawah,
menonjol keluar atau seperti tumbuh agak miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya
agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau
sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan
terobek, bahkan dapat mengoyak tubuhnya dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur
lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan
keras.
Hidup dan
mati merupakan suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tak
dikuasai dan juga tak dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja.
Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri.
Berdetaknya
jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggota tubuh, sama sekali
terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya
saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan
oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau
rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum
bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita.
Kita ini
diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses
kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya
mau pun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan
melalui kematian oleh Dia pula!
Kalau Dia
masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya,
dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Namun sebaliknya,
kalau Dia menghendaki mati, meski kita bersembunyi di dalam benteng baja atau
ke dalam lubang semut sekali pun, tetap saja maut akan datang menjemput! Paham,
kan?
Begitu pula
dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup
sehingga meski pun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan
menurut perhitungan akal manusia sudah wajarlah apa bila dia binasa dengan
tubuh hancur di dasar jurang yang curam itu, namun secara 'kebetulan' sekali,
di tengah tebing itu ada sebuah pohon yang tumbuh menonjol dan 'kebetulan' pula
Hay Hay melihatnya.
Kemudian,
'kebetulan' ke tiga adalah bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian silat
yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk dapat meraih cabang pohon yang
mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andai kata tidak ada
kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu riwayat Hay Hay akan
tamat!
Begitu
tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh
gadis itu pun meluncur ke bawah, tidak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan
kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.
"Cepat
tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga.
Agaknya Kui
Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi, agaknya Tuhan
masih menghendaki dia hidup. Maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan dia
pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu.
Sentakan
ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau
bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia telah mengerahkan
sinkang-nya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan
tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas!
Demikianlah,
pemuda dan gadis itu kini bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah
mereka, maut menganga lebar dan siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan
keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan
tubuh mereka berdua. Akan tetapi perhatiannya yang sedang melakukan
penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada
betis dan pegangan kaki kirinya.
"Hemmm,
kini nyawamu berada di tanganku," kata gadis itu, agaknya kemarahannya
kini bangkit kembali sesudah melihat bahwa mereka selamat biar pun hanya untuk
sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan
mampus!"
Hay Hay tersenyum.
Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu dia masih mampu
tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan watak jenakanya. Alangkah
bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dan segala
keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu.
Apakah
sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut
syarat, hanya satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh
keinginan-keinginan akan hal-hal yang tidak ada! Berarti menerima segala
sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian takkan pernah ada
kekecewaan, takkan pernah mengeluh, sebab memang tidak mengharapkan hal-hal
yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah
yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.
"Ha-ha-ha,
Nona manis. Agaknya engkau lupa diri. Kalau aku kau bunuh, tentu tanganku akan
terlepas dari cabang ini dan kau sangka engkau akan dapat selamat kalau bersama
mayatku meluncur ke bawah sana itu?"
Agaknya Kui
Hong baru teringat mengenai hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi
hatinya. Dia marah bukan hanya karena teringat tentang perebutan kijang, bukan
hanya karena berkali-kali dia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding dia
tidak mampu mengalahkan pemuda itu, tapi dia marah terutama karena mengingat
bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak
melompat ke jurang, tentu dia pun tidak akan terbawa!
Kini,
mendengar ucapan itu, dia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke
bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat
bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk!
Meski pun
mulutnya tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pelukannya pada kaki kiri Hay
Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang senyumnya menjadi
semakin lebar. Memang dia amat nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali
melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi
dia pun suka menggoda!
"Nona,
apa bila aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua
tanganmu yang merangkul kaki kiriku, lantas engkau akan terlepas dan jatuh.
Akan tetapi jangan khawatir, aku tak sekejam dan seganas engkau yang haus darah
ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di
bawah sana."
Kui Hong
merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke
telinganya. Untunglah bahwa dia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak
dapat melihat mukanya yang ditundukkan.
"Sudahlah,
tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan
berbahaya ini!" Akhirnya dia berkata sambil bersungut-sungut.
Semenjak
tadi Hay Hay telah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari
celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat tertanam dan terbelit
di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan
tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan
ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang
sangat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali
melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada tempat untuk berpijak
dan berpegang sama sekali.
"Naikkanlah
kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi.
Tentu saja
dia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan
dilakukannya karena dia merasa malu. Apa bila dia merayap naik melalui tubuhnya
maka seolah-olah dia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu!
"Dan
sesudah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku
terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah lebih dahulu
bahwa engkau tak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."
Kui Hong
menjadi semakin gemas. Akan tetapi dia pun teringat betapa dia telah bersikap
terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu
terdapat luka bekas sambitan. Tidak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua
merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tak bersalah. Akan tetapi
sikapnya itu seperti mempermainkan, itulah yang membuat dia marah. Dan pemuda
itu tukang sihir pula! Dia bergidik.
"Baiklah,
aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu
hitammu itu!"
Hay Hay
tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu
sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau, Nona?"
Kui Hong
mengerutkan sepasang alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya!
Menggunakan keunggulannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung dan
mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik
dari pada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut
bersama-sama. Dan pemuda itu sudah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang
aneh karena tanpa nama keturunan.
"Namaku
Kui Hong," katanya kemudian, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama
keturunan).
"Kui
Hong... Kui Hong... ahh, nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya..."
Hay Hay memuji.
Apa bila
pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji
untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tak pernah ingin mengambil
hati atau merayu. Justru karena dia menyukai keindahan maka dia memuji
berdasarkan apa yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!
"Sudahlah,
tutup mulutmu dan angkat kakimu supaya aku dapat naik ke cabang itu!" Kui
Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa gembira
sekali oleh pujian itu.
Hay Hay lalu
mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu segera meraih cabang pohon di
sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini dia sudah duduk di atas cabang
pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.
Untung ada
pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini
sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua
mata gadis itu.
Mendengar
sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan dia pun tersenyum. Lenyaplah semua
kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.
"Aih,
Nona Kui. Mengapa engkau tidak mau memperbanyak senyummu itu? Bukan main!
Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"
Senyum ini
lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"
Hay Hay
membelalakkan matanya. "Memualkan perutmu? Wah aneh! Akan tetapi biarlah,
hanya aku ingin sekali tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona
Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"
"Ada
beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum," kata Kui Hong.
"Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui.
Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."
"Aihhh,
begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama
keturunan?"
"Hemm,
sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong
mencela.
Hay Hay
memandang wajah yang manis itu sehingga keduanya saling pandang, dan Hay Hay
mengerutkan alisnya. "Aihh Nona Hong!" Dia merubah panggilannya,
tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!"
"Main-main?
Aku...?" Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang
main-main kini malah mengatakan bahwa dialah yang main-main!
"Di
tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek
dan..."
"Tolol!"
"Memang
aku tolol, tapi mengapa..."
"Maksudku
bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku namamu Hay Hay,
tanpa menyebutkan she-mu. Tak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she
Hay di dunia ini? Kalau engkau sendiri tidak mau menyebutkan she-mu, apakah aku
perlu memperkenalkan she-ku?"
Hay Hay
tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan
menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang
kala mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat
betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, dia bergidik dan segera menundukkan
mukanya, tak berani terlalu lama bertemu pandang.
"Ahh,
kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, meski pun selama ini aku ini tidak
pernah mempergunakan she-ku, akan tetapi nama keturunanku adalah Tang, jadi
nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka
dikenal sebagai Hay Hay saja."
"Aneh
kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong.
" Aku sendiri she Cia "
"Heiiii...!"
Kui Hong
sampai tersentak kaget. "Apakah engkau gila? Teriak-teriak mengejutkan
orang! Ada apa sih engkau langsung berteriak ketika mendengar nama
keturunanku?"
"She
Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suheng-ku. Menurut keterangan seorang di
antara guru-guruku, beliau memiliki seorang murid yang juga she Cia, nama
lengkapnya Cia Sun."
"Ihhhh...!"
Kini bagian
Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget.
Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama suheng-ku itu? Apakah engkau mengenal
dia?"
"Mengenal?
Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."
Hay Hay
mengangguk-angguk. "Aku sudah sering mendengar akan keluarga Cin-ling-pai.
Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"
"Aku
puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada.
Kembali Hay
Hay merasa kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika
diangkat dada itu membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.
"Wah-wah,
kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat. Engkau adalah puteri Ketua
Cin-ling-pai, keluarga Cia yang sangat terkenal, sedangkan aku hanya seorang
perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya
bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi..."
"Sudahlah.
Mengapa kita mengobrol ke barat dan ke timur tanpa arah ini? Lebih baik kita
berbicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa
engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap
wajah Hay Hay.
Yang ditatap
tersenyum lebar sehingga Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya
pertanyaan itu. Tentu saja tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup
selamanya di pohon itu!
"Ya,
aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"
Senyum Kui
Hong langsung lenyap dan mukanya kembali menjadi merah, tetapi matanya
mencorong dan alisnya berkerut. "Engkau mau mempermainkan aku dan kurang
ajar lagi?"
"Tidak,
tidak..., mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka sekali bergurau.
Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, marilah kita selidiki tempat
ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian
licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan
bergantung. Untuk turun ke bawah juga tidak mungkin, dinding tebingnya sama,
bahkan lebih jauh dari pada kalau naik ke atas. Akan tetapi di sana itu
terdapat sebuah goa. Lihat!"
Kui Hong
memandang ke bawah sebelah kanan dan benar saja, di sana nampak sebuah goa yang
cukup besar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang
pohon itu.
"Akan
tetapi goa itu terlalu jauh, bahkan untuk ke situ pun tidak mungkin dengan
merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu," kata Kui Hong.
"Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sinkang sambil menggunakan dua
tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau
gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya
bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke goa itu."
"Akan
tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa,
dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, dan mungkin
bisa mencari makanan di dalam goa itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di
batang pohon dan akhirnya kita berdua akan mati kelaparan. Sayang, bangkai
kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"
Diingatkan
akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang
dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk.
"Nah,
perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana
agar gembira.
Wajah Kui
Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku
berkeruyuk?" bentaknya marah.
"Aihhh,
siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku tadi hanya mendengar suara perut
berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."
"Perutku
tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.
"Lagi
pula perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan apa
bila terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah,
dengar, berkeruyuk lagi...!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay
berkeruyuk karena sejak berburu kijang, dia memang sudah merasa lapar sekali.
Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!
"Wah,
jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui
Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Dia tidak merasa malu lagi
karena jelas perut Hay Hay terdengar berkeruyuk lebih dulu, lebih nyaring lagi!
"Kalau
tinggal di sini terus, walau pun kita kuat bertahan namun perut kita ini yang
tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari..."
"Hay
Hay, lihat...!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah goa.
Hay Hay
tersenyum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya jika saja
dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh dara itu. Ketika dia menoleh ke
arah goa, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut.
Sebuah wajah
yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna
dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah
seorang nenek-nenek yang sulit ditaksir berapa usianya. Jika melihat keriput
pada pipinya tentu lebih dari enam puluh tahun.
Tetapi wajah
itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita
itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah
dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.
"Hik-hik-hik,"
nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas
saja kelihatan kempot dan kisut. Andai kata nenek itu masih bergigi, tentu
kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan
mulus seperti dahi dan leher orang muda saja.
"Sepasang
monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!"
Hay Hay dan
Kui Hong mengamati nenek itu yang kini bagian tubuhnya yang lain nampak lebih
banyak, sampai batas pinggangnya. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor
sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda!
Kini mereka
melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke dalam mulutnya dan
begitu dia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu
pecahan dari batu keras, segera menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong
dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!
"Awas...!"
Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika
dia miringkan kepala.
Dia terkejut
bukan main karena telapak tangannya terasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu
kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan
dengan mudahnya dia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di
dekat kepalanya.
Hay Hay
membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil yang tajam runcing, namun
bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau
nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi
mempergunakan mulut meniup?
Kui Hong
kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil
sebagai senjata rahasia hanya dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum
terhadap Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke
arah mukanya. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak akan sanggup melakukannya,
kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi.
Sementara
itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran.
"Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"
Nenek itu
kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah
kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, ada pun dua buah yang lain
lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan
yang lebih besar dari pada tadi!
Kui Hong
yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua
sinar menyambar, dia telah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat
di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kepandaiannya yang
sangat hebat. Dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil
menangkap dua buah kerikil itu!
"Nenek
iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu,
serang dia dengan kerikil-kerikil itu!"
Hay Hay
menggelengkan kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan
kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah
bukan main namun tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau dia
menggunakan jarum-jarum merahnya, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.
"Jangan,
biarkan aku bicara dengannya."
Sementara
itu, ketika melihat mereka berdua kembali dapat menghindarkan diri, apa lagi
melihat betapa dua butir kerikilnya berhasil ditangkap oleh pemuda itu, nenek
itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya datang untuk membunuhku!
Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian
hendak menghindar ke mana?"
Melihat
nenek itu sudah bersiap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat
Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lantas berseru
nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa,
"Nenek
yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu,
bahkan aku adalah suamimu sendiri. Lihat, apakah engkau sudah lupa kepada
suamimu sendiri?"
"Apakah
engkau sudah gila, Hay Hay?" Kui Hong berkata, namun gadis ini segera
teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka
dia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa sekarang pemuda itu tentu sedang
menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu.
Ia melihat
betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay Hay,
nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya
sendiri dengan punggung tangan kanannya, memandang kembali, dan... seketika
muka nenek itu menjadi merah dan kelihatan marah bukan main.
"Hek-hiat-kwi
(Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang ke sini untuk
membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis
muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah
bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!"
Tiba-tiba
saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau
ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main
karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang
bertubi-tubi dan semua itu dilepaskan dengan kekuatan dahsyat, bahkan
masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya.
Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil
memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis.
Diam-diam
Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi dia pun
kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau dia yang
diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Dan
diam-diam dia merasa khawatir sekali, maka dia pun segera mengerahkan khikang
lantas dengan suara nyaring mengandung kekuatan khikang dia pun berteriak.
"Nenek
tolol! Lihat baik-baik, dia adalah seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali
bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"
Ternyata
lengkingan suara ini mampu menembus jarak dan pada saat itu Hay Hay juga
menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan langsung
menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, wajahnya masih
sedikit pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini
agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri!
Sesudah
melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukanlah suaminya melainkan
seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini digunakan
oleh Hay Hay untuk membujuknya.
"Nenek
yang baik, kami tidak punya kesalahan padamu, kenapa engkau memusuhi kami?
Manusia hidup harus saling tolong menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan,
tadi terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak
dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu kami juga akan
dapat menolongmu kelak."
Nenek itu
agaknya berpikir sampai lama, memandang pada Hay Hay dan Kui Hong, lalu
mengangguk-angguk. "Aku sudah salah sangka, kalian jelas bukan musuh,
bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan
dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huh... aku yang sengsara,
disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat."
Nenek itu
lalu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya sehingga
kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena sudah menanti tangis
nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong
menjadi kehilangan kesabarannya.
"Sudahlah,
Nek, hentikan tangismu itu dan tolonglah kami kalau memang engkau mampu, baru
kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong
sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi,
Hay Hay segera menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai
nenek ini.
"Benar,
Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat
menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas
budimu."
Nenek itu
menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian dia pun
mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong
kalian."
Mendadak
tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap, agaknya dia masuk ke dalam goa.
Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan
ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana
mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?
"Nona,
dengarlah..."
"Hay
Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara
denganmu lagi! Namaku Kui Hong, engkau sudah tahu ini, jadi tidak ada tuan-tuan
atau nona-nonaan!"
Hay Hay
tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi, di luar dugaannya
gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam goa, dia sudah menduga
bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya
kepadanya.
"Baiklah,
Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum dia muncul,"
katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Jika nenek itu
nanti benar-benar menolong kita, biar aku yang lebih dulu ditolongnya, karena
aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan dia menolong hanya untuk menjebak
kita."
Kui Hong
memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali
mengenai tingkat kepandaian mereka. Dia maklum bahwa Hay Hay adalah seorang
pemuda yang sangat tinggi ilmunya. Dia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu
bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan bisa menyelamatkan diri ketika
dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya!
Mendengar
suara bisikan itu dia pun mengangguk karena dia sendiri juga belum percaya
benar terhadap nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu
berhadapan dengan nenek itu, yang jelas mempunyai ilmu kepandaian silat yang
tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya.
Pada saat
itu kepala Si Nenek tadi nongol kembali dan kini dia membawa segulung tali!
Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tidak
disangkanya bahwa nenek itu mempunyai gulungan tali yang nampaknya panjang dan
kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu hendak menolong mereka,
yaitu mengajak mereka ke dalam goa itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tentu
lebih baik dari pada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu!
Akan tetapi
Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke
bawah?" katanya.
Mendengar
ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak bernada mengejek
seperti tadi, walau pun masih kelihatan sama, yaitu mulut itu tidak bergigi
lagi.
"Mau
apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tak ada kemungkinan naik
kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" nenek itu berkata dengan
suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang, selama bertahun-tahun ini
tidak pernah kulihat seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar
untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui goa ini."
"Baiklah,
Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay.
"He-heh-heh,
engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya
engkau dan Nona itu yang mampu membantuku menghadapi musuh besarku. Nah,
sambutlah tali ini!"
Nenek itu
melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa
lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya begitu hebatnya sehingga ujung tali
itu meluncur dengan cepat ke arah pohon itu, bagaikan dibawa anak panah saja,.
Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu,
melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya!
Hay Hay
cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya
pada sebatang pohon yang berukuran sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan
berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali
yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun
dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu
dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam
rumput yang amat kuat.
"Sudah
kuikat dengan kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik
kepada Kui Hong. "Kui Hong, jika nanti engkau menyeberang, jangan berjalan
di atas tali. Berbahaya kalau dia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung
saja seperti yang aku lakukan."
Nenek di goa
itu telah menarik talinya hingga tali itu kini menegang, merupakan jembatan
yang terbuat dari sehelai tali, dari atas ke bawah namun tidak terlalu menurun
sehingga kalau saja tidak takut dikhianati oleh nenek itu, akan lebih mudah
bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi
kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya
tentu akan terjatuh ke bawah sana.
"Kui
Hong, aku menyeberang lebih dahulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu
dan dia pun berteriak ke arah goa, " Aku mulai menyeberang, Nek!"
Dan dia pun
memegang tali itu dengan kedua tangannya, lalu meloncat dari atas cabang pohon.
Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup
kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan sepasang
tangannya merayap maju sambil bergantung.
Dengan cara
demikian, andai kata nenek itu bertindak curang dan melepaskan tali, maka
tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang pada tali
tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya sehingga dia akan selamat dan
kembali ke pohon tadi. Agaknya hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia
semakin kagum. Di samping lihai, pemuda itu juga cerdik sekali.
Nenek yang
mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek.
"Orang muda, agaknya engkau tak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang
sambil bergantungan. Hemm, jika aku bermaksud buruk, biar pun engkau
bergantungan, apa kau sangka aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan
terjatuh ke bawah? Ingat, jika sekarang aku menghujankan batu kerikil kepadamu,
bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"
"Aku
akan menghindarkan seranganmu dengan cara begini, nenek yang baik!"
Tiba-tiba
saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti
seorang pemain akrobat tali atau bermain sulap. Akan tetapi gerakan Hay Hay
lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya dan berubah menjadi
bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan sangat cepatnya sehingga
diam-diam nenek itu menjadi terkejut dan kagum.
Memang akan
sukarlah menyerang Hay Hay karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil
tubuhnya berputaran, kedua tangan Hay Hay terus 'melangkah' sehingga akhirnya
dia tiba di mulut goa dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu.
Dan Hay Hay
terkejut bukan main ketika melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan
duduk dan melihat keadaan dua kakinya yang terkulai lemas dalam celana hitam
itu, dia pun dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan
perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum
ramah.
"Aku
percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena sesungguhnya
engkau juga membutuhkan bantuanku," katanya sambil tersenyum.
"Hi-hi-hik,
engkau benar, aku butuh bantuanmu sebab engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan
tetapi aku tak membutuhkan bantuan gadis itu, sebab itu lebih baik dia
dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat
bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang.
Karena tali
penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi untuk
mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak
dengan suara nyaring, karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan
pada tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!
"Heiii,
Nek, untuk apakah engkau memegang ular di tangan kananmu?"
Pedang itu
sudah diangkat, akan tetapi gerakannya segera terhenti di tengah jalan ketika
mendengar bentakan itu. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan
tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.
"Ular...?"
Dan dia pun cepat mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya
kemudian dia pun menjerit.
"Ihhhh...!"
Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai goa.
Saat itu
pula Hay Hay telah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah
menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedang lalu
mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak
antara pohon dan goa itu hanya tiga puluh meter, dengan 'melangkah' sebanyak
lima puluh kali saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut goa kemudian
melompat ke dalam dengan selamat.
Nenek itu
telah memungut kembali pedangnya dan kini dia berdiri, atau lebih tepatnya lagi
duduk karena dia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui
Hong. Gadis ini pun terkejut karena seperti juga Hay Hay, dia sama sekali tidak
pernah mengira bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!
Melihat
betapa dua orang muda itu memandang ke arah dua kakinya, nenek itu berkata,
"Kalian tidak menduga bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku memang
lumpuh, aku tak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh
kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"
Tiba-tiba
nenek itu terlihat beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan
sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Kemudian pedang di tangannya
dimainkan, menyambar-nyambar ganas.
"Karena
itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"
Pedang itu
kembali menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu amat terkejut karena mereka
mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi
sinar putih bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang,
lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.
"Crakkk!"
tampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali
pedang itu menyambar ke arah batu.
"Seperti
inilah dia akan kucincang...!" Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar
itu sudah menjadi puluhan potong!
Seperti
permulaannya tadi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke
arah batu itu, kemudian ke arah pedangnya dan dia pun menangis kembali, agaknya
merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, namun
hanya sepotong batu besar!
"Uhu-huu-huuuu...
aku memang wanita malang, menderita dan sengsara..." Dan tiba-tiba pedang
itu ditekuknya dengan kedua tangannya kemudian dia sudah memaki marah lagi.
"Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"
"Krekkk...!"
Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.
"Dan
kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan
pedang itu keluar goa, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang
amat curam itu.
Dua orang
muda itu saling pandang, terkejut dan sekaligus kagum karena mereka melihat
betapa pedang itu dengan mudah dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu
terbuat dari baja yang baik sekali, akan tetapi dengan sangat mudah pula nenek
itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini sudah membuktikan betapa
kuat jari-jari tangan nenek itu.
"Nenek
yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami pasti
akan suka membantumu, asal saja engkau bisa menunjukkan jalan keluar dari
sini," kata Kui Hong yang menjadi terharu sesudah melihat keadaan nenek
itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena
kedua kakinya lumpuh, tentu saja dia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya.
"Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat
engkau hidup merana seorang diri di dalam goa ini?"
Ditanya
demikian, kembali nenek itu menangis sesenggukan dan air matanya bercucuran.
Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, namun
tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.
Sesudah
menangis beberapa lamanya nenek itu menghentikan tangisnya, lantas berkata,
seperti menjawab semua pertanyaan Kui Hong tadi. "Satu-satunya jalan
keluar dari jurang ini adalah melalui goa ini, akan tetapi jalan itu merupakan
rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, walau
kalian sudah berada di dalam goa ini, sampai mati pun kalian takkan dapat
menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku,
dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun
lamanya! Dengar, sudah dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini,
dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan
baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah..."
"Tetapi,
Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)," kata Hay Hay. "Aku
melihat bahwa engkau sangat lihai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, kalau
memang mengenal jalan rahasia itu, kenapa selama ini engkau tidak keluar?"
"Ah,
dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa setan itu lebih dulu membuat
kedua kakiku lumpuh sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini? Dalam keadaan
lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat
keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar.
Orang yang tidak cacat sekali pun jangan harap dapat keluar kalau dia tidak
mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh
lagi ke sini."
"Akan
tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong
penasaran. Dia tak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay,
mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih
berada di atas pohon.
"Setan
itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia
masih suamiku sendiri."
"Ahhhh
!" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran.
"Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini
terhadap isterinya?" tanya Kui Hong semakin penasaran, dan sebagai seorang
wanita tentu saja dia segera merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu
dan menentang suami nenek itu yang begitu kejam dan jahatnya.
Nenek itu
mengerling ke arah Hay Hay, lantas menarik napas panjang dan dengan sikap sedih
dia menundukkan mukanya. "Di dunia ini mana ada laki-laki yang dapat
dipercaya? Sebelum mendapatkan wanita yang disukanya, dia merayu dengan
kata-kata manis, yang semanis madu. Akan tetapi, sesudah wanita itu berhasil
dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan lalu mencari wanita
lain! Sebagai isterinya tentu saja aku merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku
hendak membunuh wanita itu, akan tetapi dia membela wanita itu. Dan dia sangat
lihai! Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat
ini!"
"Jahanam
keparat laki-laki itu!" Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya
telah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia
bertanya.
"Locianpwe,
tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di
tempat ini. Tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat
bertahan untuk hidup?"
"Goa
ini luas sekali dan memiliki banyak terowongan, bahkan beberapa di antaranya
ada yang menembus ke dinding tebing, menjadi goa kecil lainnya. Di salah satu
goa-goa kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka.
Aku bisa makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang mereka
tinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang
ada pula ular memasuki goa-goa kecil itu dan daging ular lezat sekali. Di dalam
terowongan juga terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan di depan
goa kecil ada tanaman yang menghasilkan buah yang manis. Ada pula air jernih
mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir
kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu
oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal
yang kupakai ini."
"Dan
Locianpwe masih memiliki waktu untuk memintal tali itu, juga berlatih
menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"
"Heh-heh,
engkau memang cerdik, orang muda. Memang, selama ini banyak waktu luang sehingga
aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan
setiap hari belajar melempar atau meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu
besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilin dari
sejenis rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud mempergunakan
tali itu untuk keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."
"Nenek
yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup
seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara."
Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu untuk memancing dan
menyembunyikan kecurigaannya karena memang sungguh aneh jika melihat seseorang
yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun tetapi masih mampu bicara
sedemikian lancarnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment