Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 30
GADIS itu
memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar
itu membalikkan ikan di dalam tanah liat itu. "Kalau dipanggang begitu
saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus
tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap,
bumbunya akan terasa benar sehingga biar pun dagingnya masih nampak putih
kemerahan seperti mentah, akan tetapi sebetulnya sudah lunak dan matang.
Memanggang seperti ini adalah cara memanggang istimewa yang biasanya
dihidangkan kepada para bangsawan di istana."
Sun Hok
mengerutkan kedua alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana
bangsawan? Apakah dia seorang puteri? Jika melihat pakaiannya, biar pun cukup
indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan
lengannya bukan dari emas murni dan berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan
sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti orang
terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti tentang
cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti
menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan.
Setelah
tanah liat itu terlihat kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang
sumpit ranting dan berkata girang. "Sekarang sudah matang, siap untuk
dimakan setelah agak dingin."
Dengan
sumpitnya dia lantas mengambil dua ikan yang terbungkus tanah itu, dikeluarkan
dari api unggun yang tetap dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu,
juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk dan cuaca mulai menjadi gelap.
Dengan
gerakan yang lincah dan cekatan gadis itu lalu memukul-mukulkan batu sehingga
tanah liat yang telah mengering itu menjadi pecah dan tampaklah daging ikan
yang putih kemerahan karena semua sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan
terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia
menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan
memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun
tidak ada bau asap atau gosong!
"Wah,
lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.
"Sayang
bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau
ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau
masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu.” Tiba-tiba dia menghentikan
kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan dia pun
berseru. "Ah, apa yang kukatakan tadi? Aku sudah lupa diri, lupa akan
keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau sudah menyelamatkan aku, dan... dan
aku belum tahu siapa Kongcu, engkau pun belum tahu siapa aku..."
Sun Hok
tersenyum melihat kegugupan gadis itu. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa
seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, dan seolah-olah
mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.
"Tenanglah,
Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara
tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"
Melihat
sikap pemuda itu, gadis tadi bisa menguasai dirinya kembali. Dia tersenyum,
lalu mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa
bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu
ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok.
Bagi dua
orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang begitu santai, damai dan
juga makan demikian enaknya, walau pun tidak ada nasi dan hanya makan daging
ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal
tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam
buntalannya.
"Aku...
aku tidak suka minum arak, takut mabok...!" kata gadis itu.
Sun Hok
menggeleng kepalanya. "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang
halus dan enak. Engkau tidak akan mabok meski habis sepuluh cawan sekali pun.
Hanya sayang, aku tak biasa membawa cawan. Maklum, biasanya aku minum
sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum
setelah makan daging ikan." Sun Hok lalu memberikan guci anggurnya kepada
nona itu setelah mencabut sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali
tidak keras seperti bau arak.
Kedua pipi
gadis itu menjadi merah sekali. Meski pun sinar api unggun itu telah membuat
wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah sehingga mudah
dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata,
"Aih,
Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, lalu bagaimana aku
berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"
Sun Hok pun
tertawa. "Ha-ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor
kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan
mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci
sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."
Akan tetapi
gadis itu tetap saja menolak. "Tidak, Kongcu. Aku tak berani.
Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan
mencobanya."
"Ehh,
kenapa begitu?"
"Pertama,
karena engkau adalah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkau adalah tuan
rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita."
Sun Hok
melebarkan matanya dan tersenyum kembali. Heran, belum pernah dia merasa
segembira itu, belum pernah dia tertawa dan tersenyum sebanyak itu dalam waktu
yang demikian singkat!
"Baiklah,
aku akan minum terlebih dahulu, baru engkau!" Dan dia pun meneguk beberapa
teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak dari pada yang
sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia kemudian menyerahkan guci itu kepada
gadis yang sejak tadi menatapnya penuh kagum.
Kali ini
gadis itu tak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya
yang merah basah itu lantas dia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang
dikhawatirkan tidak terjadi. Dia tidak tersedak dan ternyata isi guci itu
memang sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap
dan harum. Enak sekali!
"Wah,
terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan amat segar!"
katanya memuji.
Sekarang
mereka duduk berhadapan, terhalang oleh api unggun. "Sekarang bagaimana,
Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"
"Pulang...?"
Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang ke mana?
Ahh, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi... "
"Ehhh?"
Sun Hok terkejut dan heran bukan main. "Engkau, seorang gadis seperti
engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu?
Orang tuamu atau... suamimu barang kali?"
Gadis itu
menggeleng kepalanya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak
memiliki orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara..."
"Tapi...
tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jahat.
Apakah yang telah terjadi. Nona?"
Gadis itu
menarik napas panjang, "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu.
Sesudah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu
lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang
ini. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi
kebaikan Kongcu kepadaku," Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak
pergi meninggalkan Sun Hok.
Pemuda itu
terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu.
"Nona! Tadi kau mengatakan tidak memiliki tempat tinggal, akan tetapi
engkau akan pergi begitu saja? Lalu ke mana engkau hendak pergi?"
"Ke
mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tak
berharga ini."
"Ahh,
Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... ehh, kita sudah makan bersama
seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan
khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."
"Aku
hanya mengganggu dan menyusahkanmu saja, Kongcu."
"Tidak
sama sekali! Marilah, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan
di rumah nanti kita baru bicara."
Gadis itu
hanya dapat mengangguk, lantas pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu
setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang
sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap.
Sun Hok
terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak menggunakan ilmu berlari cepat
seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang demikian lemah
lembut. Ketika mereka sampai di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan
menahan langkahnya di depan pintu gerbang.
"Aih,
kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana
aku... berani... mengganggumu?"
"Ahh,
jangan berlebihan, Nona. Di sini aku tinggal hanya seorang diri. Memang istana
ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan
tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan
khawatir."
Seorang
kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah yang merangkap tukang
masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Meski pun mereka merasa heran
melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun
mereka tak berani bertanya sesuatu. Sun Hok lalu berkata kepada nenek yang
menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya.
"Nek,
harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani dia baik-baik. Kemudian
persiapkan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis
itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar
Nona, agar Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."
Gadis itu berkata,
"Aku akan membantu Nenek memasak."
Pada waktu
makan malam sudah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama
sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang
membantu nenek memasak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu
pun dengan gembira berkata,
"Kongcu,
Nona inilah yang memasak semuanya. Dia pandai sekali memasak! Dan dialah yang
memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."
Sun Hok
memandang dengan perasaan senang sekali. Agaknya nona itu sudah mandi, akan
tetapi pakaiannya amat lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek
itu sehingga nampaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan!
"Dia
memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau
disalahkan.
"Untuk
sementara saja, Nek," kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat,
biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih memiliki sedikit
simpanan uang."
Kini mereka
duduk makan nasi dan masakan, berdua saja karena para pelayan dengan penuh
pengertian sudah meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biar pun
mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat di antara dua orang muda itu, akan
tetapi mereka tidak suka menjadi pengganggu.
Setelah
selesai makan malam mereka duduk berdua di serambi depan, dan baru mereka
memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Mereka pun bercakap-cakap di bawah
sinar lampu yang cukup terang,.
"Nona,
agaknya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang
sudah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan oleh lima orang jahat itu.
Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal di sini bersama
ketiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk
diceritakan dan kuharap engkau mau menceritakan segala peristiwa yang telah
terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku."
Gadis itu
menghela napas panjang, dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini
seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi dia tidak menangis,
bahkan mencoba untuk tersenyum, walau pun merupakan senyum pahit.
Sun Hok
dapat menduga bahwa gadis ini tentu telah mengalami banyak penderitaan batin
yang tersembunyi di balik wajahnya yang begitu cantik menarik. Dara yang halus
lembut, penuh sifat-sifat kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya,
Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini
membutuhkan perlindungan, dan dia akan merasa senang apa bila dapat menjadi
pelindungnya.
"Namaku
Bhe Siauw Cin, Can-kongcu…" dia berhenti seperti hendak melihat tanggapan
pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum.
"Nama
yang bagus," kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan
pembicaraannya.
Kembali
gadis itu, Siauw Cin, menarik napas panjang. "Engkau belum pernah
mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda
bangsawan yang lain dari pada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua
pemuda lain, meski pun belum pernah melihatku setidaknya tentu pernah mendengar
namaku."
"Begitu
terkenalkah engkau, Nona Bhe?"
"Betapa
janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, namun
menyebut aku Nona Bhe. Padahal orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti
nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai
boneka. Memang aku dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang
suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur."
"Ahhh...
!" Sun Hok benar-benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali.
Dia sendiri
belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, juga belum pernah bergaul dengan
gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu sampai
betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur itu. Hampir dia tak
dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh
menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya!
Siauw Cin
menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang terbayang di wajahnya.
"Engkau... engkau mulai merasa kecewa dan menyesal telah mengundangku ke
rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih
sekali.
"Sama
sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama
sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona
Bhe!"
Siauw Cin
mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali. "Ya Tuhan, baru sekarang
inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga
mendatangkan rasa duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menuturkan riwayatku kepadamu,
Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapa pun juga dan
engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku."
Siauw Cin
lalu bercerita. Sejak kecil dia telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu
kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil dia tampak mungil
dan cantik maka oleh keluarga itu dia pun dididik sehingga pandai baca tulis,
juga pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih
pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, dia dilatih
untuk menjadi seorang dayang yang baik.
Ketika dia
berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota
raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang dia tiada
bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di
rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya dapat menangis
ketika menyerahkan diri.
Hal ini lalu
diketahui oleh isteri majikannya dan dia pun dijual! Dia dijual ke sebuah rumah
hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat dia masih
muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi.
Sebentar
saja nama Siauw Cin terkenal di kalangan para hartawan dan bangsawan yang suka
keluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya.
Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan, Siauw Cin
pun bisa menjual mahal. Dia tidak sudi melayani segala macam orang, tak mau
menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan dia pun berhak memilih.
Demikianlah,
dia kemudian menjelma sebagai gadis penghibur yang menjadi rebutan. Dia tampak
hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, akan tetapi sebenarnya, bila dia
rebah seorang diri di dalam kamarnya, sering kali dia menangis menyesali nasib
dirinya dan masa depannya yang suram. Betapa pedih hatinya ketika secara
terpaksa dia harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hati oleh seorang
pria yang sama sekali tidak dicintanya!
Tidak
mungkin dia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik
rumah hiburan menjadi marah, dan dia bisa disiksa jika terus-menerus menolak.
Biar pun jarang, sekali waktu dia harus mau menerima langganan yang royal.
Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang
perutnya gendut dan napasnya terengah-engah. Ingin rasanya mati saja!
"Kemudian,
entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima
orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut dengan mereka naik perahu itu dan
katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo.
Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku
sudah merasa ngeri. Apa lagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian,
muncullah engkau, Kongcu."
Sejak tadi
Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak
disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara
yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang meski pun masih sangat
muda, tetapi sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam-macam pria!
Sungguh sulit untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan dan lembut!
"Karena
itu, pada waktu engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung,
Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai
mati pun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!"
Dan baru
sekarang Siauw Cin tidak sanggup menahan lagi air matanya yang bercucuran
membasahi kedua pipinya. Cepat dia mengusap air matanya dengan sapu tangan
sambil menundukkan mukanya. Sungguh tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan
Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini.
"Sungguh
engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, jika sekarang
engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya
untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?"
Cepat saja
Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlalu banyak dia menangis,
sudah pandai dia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air
matanya dan dengan sepasang mata kemerahan dia memandang kepada pemuda itu.
"Kongcu,
sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika bertemu
denganmu, Kongcu, semakin kelihatan jelas sekali betapa kotor kehidupanku yang
sudah lampau. Ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, aku
berjanji dalam hatiku bahwa aku akan meninggalkan kehidupan lamaku. Lebih baik
mati dari pada harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari
pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu
mengemis, dari pada kembali menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu.
Besok pagi-pagi aku akan pergi untuk mulai mencari pekerjaan, dari rumah ke
rumah. Mustahil tak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau
tukang masak atau pengasuh anak kecil..."
"Kalau
begitu, engkau tak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja di sini
saja, menjadi tukang masak," cepat Sun Hok berkata sambil menatap wajah
yang cantik halus kemerahan itu.
Siauw Cin
mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi
sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya, lantas dengan suara lirih dia
berkata, "Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang
bersih..."
"Ehh,
apa maksudmu?"
"Semua
orang tahu siapa diriku, dan kalau nanti mereka mendengar bahwa aku sekarang
tinggal di sini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda..."
"Peduli
amat dengan pendapat orang lain! Bukankah di sini engkau kuterima sebagai juru
masak?"
"Tidak
akan ada orang yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup
membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menduga yang bukan-bukan, apa
lagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang
penjahat itu."
"Nona..."
"Kongcu
ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi
masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?"
"Baiklah,
Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan padamu dan aku girang sekali
engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja di
sini, memasak untukku dan tidak akan ada orang yang berani mengganggu selembar
pun rambutmu."
Kembali
mereka saling pandang dan perlahan-lahan, tanpa dia ketahui, kedua mata gadis
itu kembali menjadi basah. Pandang mata pria ini! Selamanya belum pernah dia
berjumpa dengan pandang mata seperti itu!
Biasanya,
dia sudah terbiasa oleh pandang mata pria jika ditujukan kepadanya. Pandang
mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai
ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor
sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih
sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh
dengan kekaguman tetapi juga dipenuhi nafsu birahi.
Akan tetapi
pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa
kagum di dalam sinar mata yang kadang-kadang mencorong menakutkan itu, akan
tetapi rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam!
"Bagaimana,
Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau
tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu."
"Aku?
Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tak mau menerima dengan
tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah sebuah kesempatan bagiku untuk membalas
budi Kongcu, biar pun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya
meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu
saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!"
Sun Hok
tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan
mundur.
"Ehh,
apa lagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku."
Siauw Cin
membungkuk. "Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi
pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas kalau seorang pelayan
bercakap-cakap dengan majikannya. Sekarang saya bukan tamu lagi, harap Kongcu
ingat baik-baik hal ini, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh
Kongcu. Dan saya akan menjaga supaya Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat
malam, Kongcu, saya harus memberi tahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau,
barang kali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?"
Sun Hok
tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala. "Baiklah, selamat tidur, Siauw
Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di
rumah ini."
Sun Hok
mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu
menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang.
***************
Demikianlah
keadaan Can Sun Hok yang namanya disinggung oleh Jaksa Kwan kepada Hay Hay,
bahkan Jaksa Kwan minta kepada Hay Hay agar suka berkenalan dengan Sun Hok dan
membujuknya agar suka pula turun tangan bersama para pendekar menentang gerakan
yang dipimpin oleh datuk sesat Lam-hai Giam-lo.
Gadis
bernama Siauw Cin itulah gadis penghibur yang digunakan oleh Jaksa Kwan untuk
memancing keluar Sun Hok. Dialah yang menyuruh orang-orangnya menyamar sebagai
utusan Lam-hai Giam-lo lalu membeli gadis itu dan memaksanya pergi naik perahu,
tepat pada saat Sun Hok mengail ikan di sore hari itu.
Memang
pancingannya berhasil, membuat Sun Hok turun tangan menyelamatkan gadis itu.
Akan tetapi agaknya tidak sampai menggerakkan hati pemuda itu untuk menentang
orang yang disebut oleh gadis itu sebagai bengcu yang menyuruh orangnya memaksa
dia pergi, yaitu Lam-hai Giam-lo. Menurut penyelidikan yang dilakukan Jaksa
Kwan, Sun Hok kini bahkan mengambil gadis itu menjadi pelayan!
Setelah satu
bulan tinggal di dalam rumah Can Sun Hok, memasak dan membantu nenek pengurus
rumah tangga, setiap hari bertemu dengan pemuda itu, Siauw Cin mengalami dan
menghadapi sesuatu yang membuat dia kadang-kadang merasa menjadi orang yang
paling berbahagia di dunia ini, akan tetapi kadang kala juga membuat dia
gelisah bukan main, khawatir, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa!
Dia melihat
dengan jelas betapa pemuda itu bukan hanya kasihan kepadanya, melainkan jatuh
cinta! Ya, dia tahu betul akan hal itu. Pemuda yang menjadi majikannya itu,
pemuda bangsawan kaya raya yang alim, tampan, gagah dan mempunyai ilmu
kepandaian tinggi seperti seorang pendekar perkasa, ternyata telah jatuh cinta
padanya!
Belum pernah
Sun Hok menyatakan cintanya dengan kata-kata, namun pernyataan cinta kasih itu
jelas nampak oleh Siauw Cin melalui sinar matanya, melalui getaran suaranya.
Belum pernah ada pria, apa lagi seperti Sun Hok, yang mencintanya seperti itu.
Para pria yang pernah menguasai serta menggaulinya hanya mencinta tubuhnya
saja, cinta nafsu yang akan musnah setelah terpuaskan, seperti mendung tebal
yang lenyap sehabis hujan lebat.
Tentu saja
dia merasa berbahagia bukan main. Akan tetapi, di dalam kebahagiaannya ini
timbul rasa cemas dan gelisah karena dia pun mendapat kenyataan yang meyakinkan
bahwa dia sendiri juga jatuh cinta kepada Can Sun Hok! Hal ini pun selama
hidupnya belum pernah dia rasakan! Dan justru cintanya inilah yang membuat dia
merasa gelisah bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya.
Can Sun Hok,
seorang pemuda bangsawan kaya raya, selama hidupnya belum pernah bergaul dengan
wanita, hal ini dia yakin benar, seorang pendekar gagah perkasa, pendek kata,
seorang pemuda pilihan. Dan dia? Seorang bekas wanita penghibur! Gadis namun
bukan perawan lagi yang sudah digauli banyak pria! Seorang bekas pelacur
tingkat tinggi atau mahal!
Betapa
mungkin dia membiarkan pria yang dicintanya, dipuja dan dikaguminya itu sampai
terikat dengan seorang perempuan seperti dirinya. Kasihan Can Sun Hok! Tidak,
dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi! Inilah yang membuat dia sering kali
menangis di tengah malam dan di dalam batinnya terjadi perang hebat.
Sun Hok
memang tak pernah menyatakan cintanya lewat kata-kata. Akan tetapi sikapnya
terhadap Siauw Cin bukan sikap seorang majikan terhadap pelayannya. Begitu
sering dia mengajak Siauw Cin memancing ikan di tepi sungai lantas memasak ikan
itu di situ juga untuk dimakan bersama.
Juga, segera
sesudah dia tahu bahwa Siauw Cin pandai bermain musik, bernyanyi dan menari,
dia pun sering bermain suling dan yang-kim bersama gadis itu. Kadang-kadang dia
bermain yang-kim dan Siauw Cin meniup suling atau sebaliknya, kadang dia
bermain yang-kim mengiringi Siauw Cin menyanyi atau menari. Kalau dilihat orang
lain, hubungan mereka itu bagaikan hubungan antara sahabat atau saudara saja,
bukan seperti majikan dengan pelayannya.
Tiga orang
pelayan tua itu pun bukan orang yang tidak berpengalaman. Mereka juga tahu
bahwa majikan mereka sudah jatuh cinta kepada pelayan baru itu. Dan mereka
bertiga pun sayang kepada Siauw Cin yang memiliki watak yang halus dan rendah
hati. Bahkan Siauw Cin juga telah mengaku siapa dirinya kepada mereka, mengaku
bahwa dahulunya dia adalah seorang wanita penghibur tapi kini sudah bersumpah
meninggalkan cara hidup yang dahulu.
Tiga orang
pelayan tua itu maklum pula bahwa kedudukan majikan mereka terlalu tinggi, dan
bahwa Siauw Cin bukan pasangan yang cocok untuk menjadi calon isteri. Akan
tetapi apa salahnya bila menjadi seorang selirnya? Tentu saja mereka tidak
berani mencampuri dan mereka hanya ikut bergembira melihat betapa terjadi
perubahan di dalam kehidupan Sun Hok.
Kini, baru
sebulan setelah Siauw Cin berada di situ, Sun Hok menjadi periang, wajahnya
selalu berseri, makannya banyak, suka bermain musik dan pakaiannya juga menjadi
rapi, tubuhnya menjadi agak gemuk! Bahkan lenyap sudah kebiasaan suka termenung
sejak kematian Wa Wa Lobo.
Pada suatu
malam bulan purnama, malam belum larut dan bulan purnama baru muncul, menerangi
permukaan bumi. Permulaan malam yang indah sekali. Udaranya sejuk, angin hanya
bersilir lembut, di musim semi taman penuh bunga semerbak mengharum.
Sun Hok mengajak
Siauw Cin untuk bermain suling dan yang-kim di dalam taman mereka di samping
gedung. Bahkan tiga orang pelayan tua itu diajak pula menikmati malam bulan
purnama indah di situ. Mereka hanya duduk di atas tikar yang dibentangkan di
atas petak rumput yang tebal dan lunak, dekat kolam ikan. Anggur dan kue-kue
dihidangkan.
Melihat
bulan purnama, Siauw Cin menarik napas panjang. Hal ini nampak oleh Sun Hok.
"Ehhh, bulan purnama demikian indah, mengapa engkau malah menghela napas
panjang, Siauw Cin?" tanyanya.
"Apakah
Kongcu tadi melihat seekor burung kecil terbang melayang di sana?" Siauw
Cin menunjuk ke arah bulan. Sun Hok menggeleng kepala, akan tetapi nenek
pelayan bilang bahwa dia tadi ada melihatnya, seekor burung kecil.
"Saya
pernah melihat burung kecil terbang melayang di bawah sinar bulan purnama dan
saya mempunyai sebuah lagu untuk itu, Kongcu."
"Bagus!
Nyanyikan lagu itu untuk kami, Siauw Cin!" kata Sun Hok dengan gembira.
"Ahh,
nyanyian itu tidak menggembirakan, tentang kisah burung murai yang
malang."
"Tidak
mengapa, kalau engkau yang menyanyikan tentu indah."
Melihat
Siauw Cin meragu, tiga orang pelayan yang terbawa oleh kegembiraan suasana ikut
pula membujuk. Akhirnya gadis itu pun menurut.
"Biar
kumainkan lagunya beberapa kali dengan suling supaya Kongcu bisa mengenalnya
dan kalau sudah bisa, nanti Kongcu dapat mengiringi saya bernyanyi dengan
memainkan yang-kim." katanya.
Sun Hok
mengangguk gembira, lantas gadis itu pun mulai meniup suling. Suara sulingnya
mengalun demikian lirih, indah sekali dan ternyata lagunya sederhana saja
sehingga baru dimainkan tiga empat kali saja, Sun Hok yang memang sangat
berbakat itu sudah dapat menghafalnya.
"Sekarang
coba dengarkan aku memainkan lagu itu dengan yang-kim. Jika sudah benar, baru
engkau bernyanyi dan aku mengiringimu dengan yang-kim."
Sun Hok lalu
memainkan yang-kimnya dan ternyata memang dia sudah hafal dengan lagu itu
sehingga permainannya indah, dipuji oleh Siauw Cin dan tiga orang pelayannya.
"Nah,
sekarang nyanyikanlah lagu itu, tentang murai itu, dan aku akan mengiringi
dengan yang-kim," kata Sun Hok gembira.
Kemudian, di
antara suara berkencringnya yang-kim yang bening, terdengar suara merdu dari
mulut Siauw Cin, dengan kata-kata yang indah pula, didengarkan penuh perhatian
oleh Sun Hok dan tiga orang pelayannya.
"Burung
murai terbang melayang ingin mencapai bulan di awang-awang murai betina bodoh
janganlah mimpi sang bulan bagimu terlalu tinggi! Murai melihat bulan terbang
di air telaga dia meluncur mengejar dan tenggelam binasa habislah kisah murai
dan bulan purnama!"
Tiga orang
pelayan itu bertepuk tangan memuji. Memang indah sekali suara Siauw Cin, dan
menjadi lagu yang amat indah ketika diiringi yang-kim yang dipetik dengan
mahirnya oleh jari-jari tangan Sun Hok. Tetapi Sun Hok tidak ikut bertepuk
tangan dan memandang kepada Siauw Cin yang menundukkan mukanya. Gadis itu
nampak berduka.
Tiba-tiba
terdengar suara orang. "Hebat, sungguh nyanyian yang amat merdu dan indah,
diiringi yang-kim yang hebat pula. Sungguh mengagumkan sekali!"
Sun Hok
segera mengangkat muka memandang dan ternyata di pintu gerbang taman itu sudah
berdiri seorang pemuda, yaitu seorang pemuda yang usianya sebaya dengannya,
wajahnya tampan dan amat menarik sebab wajah itu selalu dihias senyum ramah,
dengan sepasang mata yang bersinar sehingga wajah itu selalu nampak
berseri-seri. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar.
"Murai
betina jelita kembalilah ke dunia banyak murai jantan perkasa menantimu dengan
hati cinta!"
Pemuda
bercaping lebar itu bernyanyi, lagunya mirip dengan yang dinyanyikan Siauw Cin
tadi, dan memang dia pandai sekali bernyanyi untuk mengimbangi lagu tadi,
suaranya pun merdu sehingga tiga orang pelayan tua yang sedang bergembira itu
pun bertepuk tangan.
Diam-diam
Siauw Cin juga memuji pemuda itu karena sebagai seorang ahli, dia langsung tahu
bahwa pemuda yang baru datang ini memiliki bakat yang amat baik untuk membuat
sajak dan bernyanyi seketika untuk mengimbangi nyanyiannya tadi. Bahkan isi
nyanyian itu merupakan hiburan bagi Si Murai betina supaya jangan mengharapkan
terlampau jauh, melainkan kembali kepada kenyataan bahwa jodoh murai betina itu
adalah murai jantan, bukan bulan purnama!
Akan tetapi
Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal orang ini, tetapi tahu-tahu
orang ini berada di pintu gerbang taman rumahnya, tanpa ijin, masuk begitu
saja, bahkan lancang mulut ikut pula bernyanyi! Dia pun cepat bangkit berdiri
dan dengan perlahan dia lalu melangkah maju.
Kini mereka
berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang bagaikan sedang
saling menyelidiki. Pemuda bercaping lebar itu masih tersenyum dan wajahnya
berseri, mengajak bersahabat. Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya, penuh
kecurigaan.
"Siapakah
engkau dan mau apa engkau datang mengganggu kami di sini?" tanya Sun Hok
sambil memandang tajam.
Pemuda
bercaping lebar itu bukan lain adalah Hay Hay. Setelah menerima anjuran Jaksa
Kwan untuk berkenalan dengan pemuda yang menurut jaksa itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi, pada malam hari itu dia pun datang berkunjung.
Malam belum
larut dan sedang terang bulan. Ketika dia lewat di depan istana kuno itu, dia
mendengar suara nyanyian tadi. Tentu saja hatinya tertarik bukan main sehingga
dia pun segera melangkah dan mendekati taman, mengintai sambil mendengarkan.
Saat melihat
gadis cantik manis itu dia pun teringat akan cerita Kwan-taijin tentang gadis
panggilan dari kota raja yang digunakan sebagai umpan agar pemuda yang bernama
Can Sun Hok itu keluar dari sarang dan bangkit semangatnya untuk menentang
persekutuan kaum sesat yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi pemuda
itu tetap acuh, demikian kata Jaksa Kwan.
Dan kini,
melihat keadaan pemuda itu dan mendengarkan nyanyian merdu gadis itu, Hay Hay
dapat menduga apa yang sudah terjadi! Agaknya gadis itu sudah jatuh cinta
kepada penolongnya, kepada pemuda itu. Dan begitu dia berhadapan kemudian
saling pandang dengan pemuda itu, dia pun tidak menyalahkan gadis itu. Memang
seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas untuk dicinta seorang gadis cantik
yang bagaimana pun juga.
Akan tetapi
dia pun teringat bahwa gadis cantik yang bernyanyi ini hanya seorang gadis
penghibur, yang seperti isi nyanyiannya tentu saja merasa tidak sepatutnya jika
berjodoh dengan seorang pemuda bangawan seperti Can Sun Hok. Gadis itu tadi
mengumpamakan dirinya seekor murai betina yang merindukan bulan! Sungguh
kasihan.
Mendengar
teguran Sun Hok yang kelihatan tidak senang itu, Hay Hay tersenyum dan dia
memberi hormat dengan bersoja, yaitu mengangkat kedua tangan ke depan dada
dengan tubuh agak dibungkukkan.
"Maaf
kalau aku mengganggu. Terus terang saja, aku datang untuk berjumpa dan bicara dengan
seorang Kongcu yang bernama Can Sun Hok."
Dengan penuh
perhatian Sun Hok mengamati muka yang sebagian tersembunyi di bawah caping itu.
Hay Hay sengaja menurunkan capingnya sehingga tergantung di punggungnya dan
kini wajahnya nampak jelas. Sun Hok kagum. Wajah seorang pemuda yang tampan,
gagah dan ramah sekali, bukan wajah penjahat.
Akan tetapi
hatinya tetap merasa tidak senang karena dia merasa terganggu. Lenyaplah sudah
kegembiraan yang dirasakannya pada saat dia hanya bersama Siauw Cin dan tiga
orang pelayannya tadi. Hilanglah sudah suasana meriah dan suasana santai.
"Akulah
Can Sun Hok, akan tetapi aku tidak pernah mengenalmu!" katanya, tidak
ramah untuk memperlihatkan kekesalan hatinya.
"Memang
kita belum pernah saling berjumpa, Can-kongcu. Namaku Hay Hay dan karena aku
mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, maka
hatiku tertarik sekali dan aku ingin sekali datang berkunjung dan berkenalan
denganmu."
Sun Hok
mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal nama Hay Hay, dan pula ketika itu dia
sama sekali tidak ada keinginan untuk berkenalan dengan orang lain, apa lagi
dia belum tahu orang macam apa adanya pemuda yang mengaku bernama Hay Hay ini.
"Akan
tetapi aku tak ingin berkenalan denganmu, dan aku tidak mempunyai waktu. Sobat,
harap engkau pergi dan jangan mengganggu kami. Pula, di malam hari seperti ini
bukan waktunya orang berkunjung untuk berkenalan." Suaranya masih halus,
namun nada suara itu jelas mengusir!
"Can-kongcu,
ketahuilah bahwa aku datang untuk berbicara denganmu mengenai gerakan dari
persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Kukira sudah menjadi
kewajiban seorang pendekar seperti Kongcu untuk bangkit dan menentang
persekutuan jahat yang amat berbahaya bagi keamanan hidup rakyat jelata. Nah,
kini maukah engkau menerimaku sebagai seorang sahabat dan kita bicara tentang
itu?"
"Hemm,
apakah engkau seorang pendekar?" Can Sun Hok bertanya, nada suaranya agak
memandang rendah dan mengejek. Hay Hay tertawa dan merasa lucu. Dia sendiri
belum pernah bertanya apakah dia adalah seorang pendekar, maka dia merasa lucu
ketika ada yang bertanya secara demikian langsung.
"Entahlah,
aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Akan tetapi setidaknya aku merasa penasaran dan
ingin menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."
Siauw Cin
yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, tiba-tiba berkata kepada Sun Hok,
"Can-kongcu, agaknya Kongcu yang datang ini membawa berita sangat penting.
Lam-hai Giam-lo adalah orang yang menyuruh anak buahnya untuk menculik aku,
apakah Kongcu tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang
dia?"
Mendengar
ini, Hay Hay lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Cin dan pandang matanya
penuh kagum.
"Sungguh
berbahagia sekali mataku dapat melihat seorang gadis secantik bidadari seperti
Nona dan telingaku dapat mendengar nyanyian sorga seperti yang Nona nyanyikan
tadi, bahkan kini mendengar pula pendapat yang amat bijaksana. Sukarlah di
dunia ini mencari gadis kedua yang sehebat Nona. Harap jangan sebut aku Kongcu,
karena aku hanyalah seorang pemuda pengelana biasa saja, Nona yang mulia."
Sepasang
mata itu terbelalak dan Siauw Cin memandang kepada Hay Hay, tersenyum lebar,
lalu menutup kembali mulutnya, mukanya menjadi kemerahan. Bukan main pemuda
ini. Kata-katanya demikian penuh madu, manis merayu dan baru sekarang ini dia
merasa dipuji-puji orang sampai ke langit ke tujuh, bukan sekedar rayuan
seorang laki-laki yang tergila-gila akibat nafsu. Dan ada sesuatu pada pandang
mata pemuda itu yang membuat hatinya tiba-tiba menjadi lemah, tunduk dan tidak
tahu apa yang harus dia lakukan.
"Kalau
begitu, engkau tentu seorang Taihiap (Pendekar Besar), dan harap jangan sebut
aku Nona yang mulia, Taihiap, karena aku hanyalah seorang pelayan yang hina dan
setia dari Can-kongcu," katanya merendah dengan suara merdu.
"Nona,
engkau bukan hanya seorang pelayan yang setia, akan tetapi juga seorang gadis
secantik bidadari yang mencinta majikannya dengan segenap badan dan nyawa..."
"Hei,
orang asing! Tutup mulutmu dan lekas pergi dari tempat ini!" bentak Sun
Hok yang mukanya merah sekali mendengar ucapan Hay Hay itu. Akan tetapi,
anehnya Siauw Cin menengahi dan berkata kepada majikannya.
"Kongcu,
biarkan dia bicara. Saya kira dia ini seorang yang jujur dan baik, tidak
berniat buruk "
"Ha-ha,
engkau sungguh seorang gadis yang berpenglihatan tajam, Nona manis. Jangan
khawatir, pria mana pun yang kejatuhan cintamu, sudah pasti akan membalasnya,
karena pria mana di dunia ini yang tak akan tergila-gila kepada seorang gadis
secantik engkau?"
Sun Hok tak
dapat menahan kemarahannya lagi.
"Wuuutttt…!"
Dia sudah meloncat dan berdiri berhadapan dengan Hay Hay.
"Keparat!
Apakah engkau sengaja datang ingin menantang aku? Hay Hay, kalau memang itu
adalah namamu, tidak perlu engkau merayu Siauw Cin, tetapi hadapilah aku
sebagai laki-laki kalau memang engkau mencari keributan di sini!"
"Kongcu...
jangan...! Jangan memusuhinya, aku yakin bahwa dia seorang yang baik
hati." Siauw Cin yang telah berada dalam kekuasaan Hay Hay yang
mempengaruhinya dengan ilmu sihir itu, kini memegang lengan Sun Hok dan
berusaha menarik pemuda itu mundur agar jangan menyerang Hay Hay.
Hay Hay
tersenyum dan melepaskan kekuatan sihirnya. Ketika kekuasaan sihir itu lenyap,
tiba-tiba Siauw Cin menyadari betapa dia memegangi lengan itu dan melangkah
mundur dengan bingung.
"Can-kongcu,
agaknya Nona pelayanmu itu lebih pandai menilai orang. Percayalah, aku datang
bukan untuk memusuhimu atau membikin ribut, melainkan untuk bicara denganmu
tentang gerakan kalangan sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Kongcu,
kapan lagi engkau dapat berbakti terhadap nusa dan bangsa, akan mempergunakan
kepandaianmu demi kepentingan rakyat kalau tidak sekarang?"
Akan tetapi
Sun Hok sudah marah sekali. Pemuda ini perayu besar dan sungguh lancang sekali
bicara tentang cinta di dalam hati Siauw Cin terhadap dirinya, bahkan
menyinggung cintanya terhadap gadis itu pula. Bagaimana begitu muncul pemuda
ini dapat menduga dengan tepat isi hatinya dan isi hati Siauw Cin?
"Baiklah,
akan tetapi aku harus melihat dahulu orang macam apa yang hendak berbicara
dengan aku tentang pembelaan terhadap rakyat. Apakah engkau benar seorang
pendekar ataukah hanya seorang lelaki yang lancang mulut dan pandai merayu.
Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin aku melihat kelihaian
tangan kakimu. Bukan sekedar mulutmu!"
Setelah
berkata demikian, Can Sun Hok segera menerjang ke depan, mengirim serangan dengan
dua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Hay Hay, ada pun
tangan kanannya yang juga terbuka menusuk dari bawah ke arah perut.
Serangan
pertama ini untuk menarik perhatian sedangkan tangan kanan yang merupakan
serangan inti. Serangan ini amat berbahaya, dengan sekali pandang saja
maklumlah Hay Hay bahwa pemuda ini memiliki dasar ilmu silat dari golongan
sesat yang sifatnya curang dan kejam, juga sangat berbahaya, tidak
memperhatikan segi keindahan melainkan segi hasilnya walau pun curang dan kejam
sekali pun.
"Hemmm,
bagus!" teriaknya dan dengan lincahnya dia pun mengelak.
Dengan
langkah Jiauw-pou-poan-soan yang berputar-putaran dia dapat mengelak dengan
mudah dan sungguh pun lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tujuh
jurus berantai, tetap saja semua serangan tidak dapat menyentuhnya.
Jiauw-pou-poan-soan
adalah langkah ajaib berputaran yang dulu dipelajari Hay Hay dari See-thian
Lama, berdasarkan ilmu perbintangan ditambah ilmu ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang tinggi. Jangankan hanya satu orang, biar ada sepuluh orang
mengepung dan mengeroyoknya, dengan senjata sekali pun, tak akan mudah dapat
mengenai tubuh Hay Hay kalau dia memainkan ilmu langkah ajaib ini.
Tentu saja
Can Sun Hok menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Serangannya sudah
bertubi-tubi dan cepat sekali karena dia ingin segera merobohkan lawan ini,
akan tetapi sedikit pun tidak pernah berhasil menyentuh tubuh lawan yang selalu
lenyap pada saat serangannya tiba, seperti menyerang bayangan setan saja.
"Pengecut!
Jangan lari saja, balaslah menyerang kalau engkau mampu!" bentak Can Sun
Hok dengan marah karena dia sangat penasaran dan merasa dipermainkan.
"Sabarlah,
Can-kongcu. Kita bukan bermusuhan, namun hanya main-main untuk menguji
kepandaian dan saling berkenalan, ingat?"
Sun Hok
makin penasaran karena selain dapat terus mengelakkan semua serangannya, lawan
itu masih sempat pula bicara dengan nada berkelakar! Dia pun teringat akan ilmu
pukulan baru yang sudah dikuasainya selama tiga tahun ini, yaitu yang
dipelajarinya dari kitab peninggalan ibu kandungnya.
Tiba-tiba
dia menggerakkan kedua tangannya, menggosok dua telapak tangannya sambil
mengerahkan tenaga dan menahan napas. Dan kini, begitu dia menggerakkan
sepasang tangannya untuk menyerang lagi, Hay Hay mencium bau harum dari dua
telapak tangan itu. Sambaran tangan kiri berhasil dielakkan akan tetapi bau
wangi menyambar hidungnya sehingga membuat pandang matanya berkunang.
"Ihh...!"
Hay Hay cepat menguasai dirinya lalu sambil mengerahkan tenaganya menangkis
lengan kanan lawan yang menghantam ke dadanya. Baru sekali ini dia menangkis
karena sudah tidak sempat mengelak setelah bau harum itu membuat matanya
berkunang.
"Dukkk!"
Akibat
benturan kedua lengan ini, tubuh Sun Hok segera terhuyung ke belakang. Pemuda
ini terbelalak. Bukan main kuatnya lengan lawan yang menangkisnya tadi, maka
mulailah dia menyadari bahwa Hay Hay bukan sekedar pemuda yang lihai mulutnya,
akan tetapi lihai pula ilmu silatnya dan memiliki tenaga sinkang yang luar
biasa kuatnya. Hal ini selain mendatangkan rasa penasaran, juga menimbulkan
kegembiraan di hatinya untuk menguji kepandaiannya dengan sungguh-sungguh.
Karena tahu
bahwa lawan lihai, dia pun berani mengerahkan seluruh kepandaiannya dan
tenaganya. Sekarang dia menghujankan serangan dengan Ilmu Pukulan
Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi) yang sangat hebat itu. Akibat dari ilmu
ini, di sekeliling tempat itu tercium bau wangi.
Akan tetapi
anehnya, Siauw Cin beserta tiga orang pelayan yang menonton perkelahian dan
mencium bau wangi ini, menjadi pening sehingga terpaksa mereka menjatuhkan diri
dan duduk di atas rumput! Demikian hebatnya pengaruh hawa beracun itu. Apa lagi
kalau sampai terkena pukulan tangan yang mengandung hawa beracun itu!
Hay Hay juga
terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa meski pun pemuda ini seorang
bangsawan dan oleh Jaksa Kwan dianggap sebagai seorang pendekar, akan tetapi
kalau melihat dari ilmu-ilmunya yang sesat dan kejam, jelas bahwa pemuda ini
telah menerima pendidikan dari datuk sesat.
Dia harus
mengumpulkan hawa murni untuk melawan hawa beracun berbau wangi itu dan melihat
betapa gerakan ilmu silat lawan itu cukup cepat dan berbahaya, Hay Hay segera
mengeluarkan ilmu-ilmunya dari Ciu-sian Sin-kai, yaitu Ciu-sian Cap-pek-ciang
(Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Dewa Arak).
Begitu dia
memainkan ilmu ini, Sun Hok menjadi bingung. Gerakan Hay Hay sangat indah namun
juga aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap tangannya bergerak,
ada hawa pukulan yang sangat dahsyat dan walau pun untuk serangan jurus pertama
dia masih mampu mengelak dan bertahan, ketika Hay Hay menyerangnya lagi dengan
jurus ke dua, meski pun Sun Hok berusaha menangkis dengan kedua lengannya,
tetap saja dia terdorong sampai lima langkah, lalu terhuyung dan hampir roboh!
"Cukuplah
sudah kita bermain-main, Can-kongcu!" Hay Hay berkata, tersenyum ramah,
sama sekali tidak mengejek.
"Belum!"
bentak Sun Hok, "Mari kita mencoba kelihaian dalam hal memainkan
senjata!" Berkata demikian, dia sudah memegang suling dengan tangan kiri
dan yang-kim dengan tangan kanan!
Melihat ini
Hay Hay terbelalak. Baru sekarang ini dia melihat lawan yang mempergunakan
suling dan yang-kim sebagai senjata. Dia sendiri suka mempergunakan sulingnya
sebagai senjata, sungguh pun hal ini jarang sekali dia lakukan. Melihat betapa
pemuda itu hendak menggunakan alat musik sebagai senjata, Hay Hay juga segera
mencabut sulingnya lalu menghadapi Sun Hok sambil tersenyum lebar.
"Wah,
kita ini mau main silat ataukah mau main musik?" tanyanya.
Sun Hok
menjawab dengan serangannya. Sulingnya meluncur hingga terdengarlah suara
mengaung pada saat suling itu menusuk dada seperti sebatang pedang dan memang
dia sedang memainkan ilmu pedang yang baru dipelajarinya dari kitab lama. Ilmu
pedang ini dinamakan Kwi-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis), peninggalan
dari kakek gurunya Si Raja Iblis. Sementara itu, yang-kim di tangan kanannya
juga menyambar ke arah kepala lawan.
Kembali Hay
Hay terkejut sekali. Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari pemuda
bangsawan itu pun hebat sekali, bukan seperti ilmu pedang biasa. Dia pun
menggerakkan tubuhnya mengelak dan membalas tusukan pedang dari samping ke arah
pundak kanan. Namun yang-kim itu bergerak menangkis suling dan kembali suling
di tangan kiri Sun Hok sudah membabat, sekali ini membabat pinggang sambil
mengeluarkan suara mengaung yang menyeramkan.
Hay Hay
cepat menggeser kakinya dan kembali mengandalkan langkah-langkah ajaibnya untuk
menghindarkan diri. Sambil menghindar jari tangan kirinya menyentil ke arah
tali-tali yang-kim sehingga terdengarlah nada-nada yang merdu!
Untuk
belasan jurus lamanya Hay Hay terus memperhatikan gerakan lawan. Setelah tahu
bahwa dia masih menang jauh di dalam hal kecepatan, dan bahwa langkah-langkah
ajaib Jiauw-pou-poan-soan telah cukup baginya untuk menyelamatkan diri, maka
mulailah Hay Hay meniup sulingnya dengan satu tangan, lantas dia pun sengaja
memainkan lagu yang dinyanyikan oleh Siauw Cin! Kadang-kadang tangan kirinya
dia gunakan untuk menangkis dan balas menotok atau menampar.
Perkelahian
itu terjadi dengan cepat sekali dan Siauw Cin bersama tiga orang pelayan itu
memandang bengong. Bagaimana mereka takkan menjadi bengong ketika melihat
betapa tubuh kedua orang pemuda itu lenyap menjadi dua sosok bayangan
berkelebatan sambil terdengar suara suling ditiup melagukan nyanyian tentang
murai dan bulan purnama tadi?
Can Sun Hok
bukan orang yang tak tahu diri. Berulang kali dia dikejutkan oleh kehebatan
ilmu lawan dan sekarang lawannya hanya menghadapinya dengan langkah-langkah
ajaib itu, dengan tangan kiri yang kadang menangkis atau bahkan balas menyerang
dan tangan kanan meniup suling memainkan lagu tadi! Apa bila dia tidak
mengalaminya sendiri, tidak mungkin dia dapat percaya. Selama hidupnya baru
sekarang inilah dia berjumpa dengan lawan yang begini sakti, dan diam-diam dia
pun merasa takluk!
Sun Hok
cepat melompat ke belakang, lalu menjura. "Sobat, ilmu kepandaianmu
sungguh berlipat kali lebih tinggi dariku. Aku mengaku kalah!" katanya
tanpa malu-malu lagi.
Sikap ini
membuat Hay Hay menjadi kagum dan suka sekali kepada pemuda bangsawan ini.
Benar kata Jaksa Kwan. Pemuda ini adalah seorang gagah dan seorang yang berjiwa
pendekar walau pun ilmu silatnya merupakan ilmu kaum sesat. Dengan wajah
sungguh-sungguh dia pun balas memberi hormat.
"Can-kongcu,
harap jangan merendahkan diri. Kepandaianmu sendiri juga sangat hebat. Sekarang
maukah engkau menerimaku untuk bicara tentang gerakan kaum sesat itu?"
Sun Hok
menarik napas panjang. Dia memang selalu ingat akan nasehat pendekar wanita
Ceng Sui Cin yang pernah dianggapnya sebagai musuh besarnya itu. Satu-satunya
jalan untuk berbakti kepada mendiang ibu kandungnya adalah melakukan
perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar sehingga dengan
perbuatan-perbuatan itu seolah-olah dia dapat mencuci noda dan dosa ibunya yang
pernah menjadi tokoh wanita sesat!
Dia kagum
terhadap pemuda di hadapannya ini yang teramat lihai. Ingin dia bersahabat
dengan pemuda ini sehingga dia bisa mendapat tambahan pengetahuan biar pun
pemuda ini lebih muda darinya. Akan tetapi mengingat betapa pemuda ini sangat
pandai merayu, timbul perasaan cemburu dalam hatinya. Jangan-jangan pemuda ini
bukan hanya berhasil menarik rasa suka dan kagumnya, akan tetapi bahkan menarik
hati dan membuat Siauw Cin tergila-gila kepadanya!
"Tak
perlu banyak bicara lagi," katanya. "Aku pasti akan pergi menyelidiki
sarang Lam-hai Giam-lo di Yunan dan untuk itu, aku lebih suka bekerja seorang
diri tanpa kawan."
Hay Hay
maklum bahwa kehadirannya tidak dikehendaki dan dia pun tahu sebabnya. Dia
tersenyum, lantas menjura kepada tuan rumah. "Baiklah, Can-kongcu, aku
percaya akan kesanggupanmu dan aku juga merasa gembira sekali bahwa engkau
telah berjanji untuk mengulurkan tangan membantu." Kemudian dia menoleh ke
arah Siauw Cin yang masih memandang dengan terheran-heran, lalu berkata dengan
halus. "Nona, jangan bersedih hati tentang murai dan bulan purnama. Kalau
dua hati sudah saling mencinta, maka apa pun dapat terjadi. Percayalah!"
Setelah berkata demikian, Hay Hay mempergunakan ilmu kepandaiannya, dengan
sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tempat itu. Hal ini sangat mengejutkan
Siauw Cin dan ketiga orang pelayan itu, dan sangat mengagumkan hati Sun Hok.
Siauw Cin
bangkit dan mendekati Sun Hok, takut-takut. "Kongcu... apakah dia tadi
itu... manusia ataukah setan...?"
Sun Hok
memegang tangan gadis itu yang terasa dingin. "Jangan takut, dia itu
setengah manusia setengah setan. Karena itu, jangan mudah terkena rayuannya."
Siauw Cin
mengerling tajam. "Aihh, Kongcu. Kau kira aku demikian mudah dirayu orang?
Walau pun dia memang luar biasa, akan tetapi bagi saya tak ada seorang pun pria
yang lebih baik dari pada engkau, Kongcu."
Mereka
berdua, diikuti oleh tiga orang pelayan, lalu memasuki rumah. Malam mulai larut
dan hawa mulai dingin. Tiga orang pelayan langsung menuju ke kamar
masing-masing di belakang, akan tetapi Siauw Cin masih berada di ruangan dalam
bersama Sun Hok.
Wajah
keduanya memerah dan tanpa kata-kata Sun Hok menggandeng tangan wanita itu.
Jari-jari tangan mereka bergetar, akan tetapi ketika Sun Hok menuntun Siauw Cin
menuju ke kamarnya, gadis itu menahan diri dan menghentikan langkahnya. Mereka
berdiri saling pandang, berhadapan dekat sekali.
Sun Hok
merasa betapa tubuhnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Dari pandang
matanya memancar kemesraan dan permintaan, permintaan setiap pria yang jatuh
cinta dan ingin menumpahkan semua rasa sayangnya kepada wanita yang dicintanya.
Melihat sinar mata yang biasanya hanya mengandung rasa iba dan cinta, kini
mengandung birahi, Siauw Cin menundukkan mukanya, lalu perlahan-lahan dia
menggelengkan kepalanya.
"Jangan,
Kongcu... jangan... sekarang...," katanya lirih.
Sun Hok
mempererat pegangannya pada tangan yang masih merasa dingin itu.
"Kenapa,
Siauw Cin? Aku cinta kepadamu, dan bukankah engkau pun cinta kepadaku?"
bisiknya dengan suara gemetar.
Selama
hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan sekarang mendadak timbul
gairah dan hasratnya untuk tidur bersama gadis yang dicintanya ini!
Siauw Cin
mengangkat mukanya dan Sun Hok melihat betapa sepasang mata itu menjadi basah,
"Saya cinta padamu, Kongcu, cinta dengan sepenuh jiwa raga saya. Akan
tetapi... saya tahu di mana tempat saya, Kongcu. Engkau adalah seorang perjaka,
engkau belum pernah berhubungan dengan wanita, sedangkan aku... ahhh, aku tidak
layak. Kelak, kalau Kongcu sudah menikah, sudah mempunyai seorang isteri yang
pantas mendampingimu sebagai isteri yang sah, barulah saya akan menyerahkan
diri, menjadi selir, atau pelayan, atau apa saja. Tapi jangan sekarang,
Kongcu..."
"Apa...
apa bedanya? Apa salahnya kalau sekarang?"
"Tidak...
sama sekali salah. Apa akan kata orang nanti. Engkaulah yang akan malu... ah,
mengertilah, Kongcu. Saya cinta padamu, akan tetapi biarlah sementara ini saya
menjadi pelayanmu. Kelak saja, kalau Kongcu sudah beristeri, kalau Kongcu masih
menghendaki diriku. Diriku bukan untuk pria lain, sampai saya mati, kecuali
hanya untukmu, Kongcu..." Gadis itu menarik tangannya, lantas berlari
sambil terisak menuju ke kamarnya di bagian belakang.
Sun Hok
berdiri termenung seperti patung. Dia sungguh bingung, tak mengerti akan sikap
gadis itu. Akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa gadis itu
menolak ajakannya. Bukan menolak karena tidak mau atau tidak cinta, melainkan
karena gadis itu hendak menjaga nama baiknya, dan gadis itu sungguh tahu diri.
Ahh, adakah wanita lain seperti Siauw Cin di dunia ini?
Cinta memang
sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapa pun juga, pria atau wanita,
tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan seorang wanita yang
dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur tidak terluput dari
serangan cinta. Cinta yang lain dari pada yang dijualnya untuk ,mencari uang,
atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani mau pun batin. Cinta yang
satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan diri pribadi,
melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya.
Seorang
pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para penyeleweng
atau pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri, penjahat dan lain
sebagainya. Sedang sakit! Bukan badannya yang sakit, akan tetapi batinnya. Dan
orang yang sakit, baik sakit badan mau pun sakit batin, dapat sembuh, dapat
pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu selanjutnya.
Karena itu,
mencemooh dan merendahkan orang yang sedang dilanda sakit, baik badan mau pun
batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak patut dan tidak terpuji. Seyogianya
mengulurkan tangan, memberi jalan keluar, memberi pengobatan. Harus selalu
diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan mau pun batin bisa sembuh sama
sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik badan mau pun batinnya, sekali waktu
dapat saja jatuh sakit!
Seperti juga
penyakit badan maka penyakit batin timbul dari berbagai macam sebab dan
keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula melemah
sehingga mudah terserang penyakit. Olah raga menguatkan badan sehingga tidak
mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin sehingga tidak mudah
diserang penyakit pula.
Olah batin
adalah perenungan akan kehidupan, akan kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang
Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan
batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau salah satu sampai sakit,
maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat dirasakan
lagi.
***************
Hay Hay
melakukan perjalanan seorang diri di daerah pegunungan yang sunyi itu. Enak
berjalan di padang rumput itu. Pemandangan alamnya sungguh menyenangkan hati
dan menyedapkan mata. Serba hijau dan bau rumput dan tanah, juga pohon-pohonan
amatlah sedapnya. Dia menyedot napas sekuatnya sampai seluruh paru-parunya
penuh dan hawa murni itu terus turun mendesak ke bawah, terasa nikmat dan
penuh, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Bukan main nyamannya.
Hidup adalah
bahagia! Karena bahagia hanyalah suara perasaan, suatu sebutan, seperti juga
hidup. Hidup juga hanya suatu perasaan. Merasa hidup! Siapa yang merasa hidup?
Siapa yang merasa bahagia?
Hanya kesadaran
pikiran bahwa ada aku yang merasakannya! Kalau kesadaran tertutup sementara
selagi tidur, tidak ada lagi itu yang dinamakan hidup atau kebahagiaan, atau
bahkan kedudukan, kesenangan dan sebagainya lagi. Semua itu kosong!
Sesungguhnya tidak apa-apa, yang ada itu hanyalah permainan pikiran sendiri
belaka!
Pagi itu
cerah sekali. Sinar matahari pagi menghidupkan segala yang tertidur malam tadi,
mendatangkan kesegaran, kehangatan, kenyamanan dan keindahan. Cahaya
mataharilah yang menghidupkan segala sesuatunya. Bahkan cahaya matahari pagi
sempat membawa batin Hay Hay ke alam yang penuh semangat dan kegembiraan,
mendorong dirinya untuk melepaskan riang lewat nyanyian.
Pada saat
dia membuka mulut dan mulai bernyanyi, tanpa sengaja dia menyanyikan lagu yang
pernah didengarnya dari mulut gadis pelayan dari Can Sun Hok itu! Nyanyi
tentang burung murai betina yang bodoh, yang merindukan bulan purnama! Burung
yang tidak mampu mencapai bulan purnama, lantas mengejar bulan di dalam air dan
akhirnya tewas tenggelam! Setelah nyanyian itu selesai dinyanyikan, baru dia
sadar bahwa tanpa sengaja dia menyanyikan lagu baru itu. Dan Hay Hay tertawa
sendiri.
Burung murai
yang bodoh, pikirnya mencela. Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tak
terjangkau! Akhirnya bahkan dapat mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba saja dia
berhenti melangkah. Kisah burung murai itu, bukankah itu kisah semua manusia?
Bukankah
setiap manusia selalu menginginkan keadaan yang lebih? Lebih indah, lebih enak,
lebih banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih. Saling
berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, jika perlu saling
serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh yang serba
lebih itu! Seperti si murai bodoh.
Karena
pengejaran akan yang serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi
dapat melihat dan menikmati apa yang ada! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada
yang dianggap serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya.
Akhirnya hanya ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu,
sesudah di dalam pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan.
Apa bila
yang dikejar itu bisa didapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat,
seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan
pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi dari pada yang sudah
didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara!
Hay Hay
melompat dan tertawa. "Ha-ha-ha-ha, berbahagialah orang yang tidak
mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada padanya!
Berbahagialah orang yang membuka mata melihat apa yang ada padanya saja,
melihat keindahan dari apa YANG ADA."
Kembali dia
menarik napas panjang dan merasakan benar betapa nikmatnya menghirup udara
bersih seperti itu! Dia lalu mengamati semua yang terbentang luas di
hadapannya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-bunga,
burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan putih laksana
sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi yang menerobos menembus
celah-celah daun pohon.
Betapa indah
semua itu, indah tak terlukiskan dengan kata-kata! Dan semua itu tentu tak akan
nampak oleh mata yang dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak
ada dan tidak dimiliki!
Tiba-tiba
perutnya berkeruyuk. "Hishh, tak tahu malu." Dia menepuk perutnya
sendiri dan baru teringat bahwa sejak kemarin siang dia belum makan.
Semalam,
sesudah mengunjungi istana tua tempat tinggal Sun Hok, dia pun melanjutkan
perjalanan keluar dari kota Siang-tan, kemalaman di tengah jalan dan melewatkan
malam di sebuah gubuk petani di tengah sawah, tanpa makan. Pagi tadi, ketika
pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan melanjutkan perjalanan, mendaki bukit dan
kini berjalan di padang rumput.
"Wah,
perut lapar di tempat seperti ini. Mana ada makanan?" Dia lalu menoleh ke
kiri.
Di lereng
itu terdapat hutan. Kalau dia dapat menangkap seekor kelinci, atau ayam hutan,
atau kijang muda, tentu tuntutan perutnya yang lapar akan dapat dipenuhi. Dan
di dalam hutan yang serimbun itu sudah pasti ada binatangnya. Dia lalu berlari
ke arah hutan itu.
Dengan
berindap-indap Hay Hay lalu memasuki hutan, mulai mengintai mencari mangsa,
calon pengisi perutnya yang lapar bukan main. Seperti seekor harimau kelaparan
dia pun jalan perlahan-lahan, jangan sampai mengeluarkan suara sehingga
mengejutkan binatang yang dicarinya, yaitu ayam hutan, kelinci atau kijang.
Hanya daging tiga binatang ini saja yang dia suka.
Dia tidak
suka makan daging kera, ular atau binatang lainnya. Akan tetapi yang dilihatnya
hanyalah beberapa ekor kera dan dua ekor ular besar saja. Dia berjalan terus
sehingga akhirnya melihat seekor kijang muda sedang minum di pinggir anak
sungai. Ketika angin bertiup, baru dia menyadari bahwa angin dari arahnya.
Benar saja,
kijang itu menangkap bau manusia melalui angin itu, lantas binatang itu pun
meloncat berlari cepat sebelum Hay Hay sempat mendekatinya. Hay Hay juga
melompat dan melakukan pengejaran. Kijang itu berloncatan cepat sekali,
meloncati semak-semak belukar, kadang-kadang menghilang ke dalam semak-semak,
lari lagi mendaki bukit.
Hay Hay
mengejar terus dan akhirnya dia melihat kijang itu terhalang sebuah jurang yang
curam di tebing bukit. Binatang itu kebingungan, lari ke kanan kiri di tepi
jurang. Kalau dia meloncat, maka lenyaplah binatang itu, akan tetapi tentu akan
hancur terbanting di bawah jurang. Binatang itu agaknya maklum pula bahwa tak
mungkin baginya meloncat turun.
Sejak tadi
Hay Hay telah siap, mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya. Dia
merasa heran kenapa binatang itu tidak mau lari ke barat di mana terdapat
semak-semak belukar, seolah-olah di sana terdapat sesuatu yang menakutkan,
melainkan lari ke kanan lalu ke kiri seperti dikepung.
Setelah
binatang itu berhenti sejenak melepas lelah sambil terengah-engah, Hay Hay lalu
menggerakkan tangannya. Batu itu melucur cepat mengarah tengkuk binatang itu,
bagian yang sekali kena akan mematikan. Dan dia melihat kijang itu roboh
terguling, tak bergerak lagi.
Hay Hay
berloncatan dengan hati girang dan hampir saja dia berteriak-teriak dan
bersorak kegirangan ketika mendadak dari balik semak belukar di sebelah barat
itu pun melompat keluar seorang gadis yang berlari seperti terbang cepatnya
menghampiri bangkai kijang. Gadis itu memeriksa sebentar, tersenyum girang lalu
memegang ekor kijang untuk diseret dan dibawa pergi.
"Heii...!
Nanti dulu...!" Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu.
Gadis itu
kaget sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat
sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas
dan dia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak. Dan Hay Hay
terpesona! Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.
Sekarang dia
tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay
seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di
depannya itu.
Seorang
gadis yang usianya masih sangat muda, tak akan lebih dari delapan belas tahun.
Pakaiannya sederhana bahkan terlihat nyentrik, setengah pakaian pemburu dan
setengah pakaian puteri, agak kedodoran akan tetapi tidak menyembunyikan tubuh
yang padat dan lekuk-lengkungnya sempurna, tubuh seorang gadis yang bagaikan
sekuntum bunga mulai mekar meranum.
Rambutnya
awut-awutan, terlepas dari gelungnya, tetapi menjadi penambah manis wajah yang
sudah sangat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu
bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang
matanya tajam seperti mata kucing namun lebih indah, dan hidung itu kecil
mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya
memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah,
merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan
tetapi nampak galak.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment