Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 14
Hati atau
batin yang gelisah dan tidak tenteram hanya merupakan akibat dari sibuknya
pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik,
maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan
tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua
lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan
mengeruhkan, keheningan air pun lenyap.
Jadi yang
paling penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun
merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang terpenting adalah
menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan
pengamatan dengan niat mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul
dari kewaspadaan.
Tanpa penekanan
dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya
aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum,
pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan dibikin diam.
Sejak kecil
sampai tua atau mati, kehidupan kita sekan-akan dipenuhi dengan berbagai macam
masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri dan
menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu
berselang-seling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari.
Semua ini
bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan
pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak
begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa
keinginan kita tidak dapat terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita
susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan
sebagainya.
Perang atau
konflik terjadi dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan
lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita
kehendaki. Konflik di dalam diri setiap manusia ini lantas menjalar menjadi
konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa hingga menjadi perang
yang mengguncang dunia.
Semua
pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena kepentingan
pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan biar pun
jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani meski jarang sekali
mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri dan kebenaran yang
diperebutkan itu pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya
memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi
usang dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa
atau kurun waktu tertentu dan jika selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan
konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor
saja pada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana
merupakan suatu kebodohan.
Semenjak
ribuan tahun, di Tiongkok terdapat satu anggapan yang telah berakar di dalam
hati setiap keluarga, menjadi tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap
keluarga harus mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini
terdorong oleh dua keadaan.
Pertama,
seorang anak laki-laki dianggap akan bisa membantu keluarga orang tuanya di
sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang
miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan
bahwa bila mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat
baik dan dapat dipercaya, dan berarti bisa meringankan beban keluarga. Hal ke
dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melanjutkan
keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya,
seorang anak laki-laki akan dapat meneruskan silsilah keluarga, melanjutkan
riwayat marga itu. Tetapi sebaliknya anak perempuan sejak kecil hanya menjadi
beban, merupakan makhluk lemah yang tenaganya tidak bisa banyak diharapkan di
waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan hanya akan mengundang datangnya gangguan
yang datang dari orang-orang muda, hingga akhirnya anak itu hanya akan diboyong
oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih
celaka lagi, begitu menikah seorang anak perempuan segera berganti she (nama
marga) yang berarti telah menjadi anggota keluarga marga baru itu, dan marganya
sendiri telah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi
seperti ini merupakan sebuah pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan
si aku, di dalam hal ini adalah kepentingan si orang tua sendiri.
Pendapat
yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu akan mendatangkan
tindakan-tindakan yang jahat. Begitu pula dengan tradisi tentang anak laki-laki
ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat pada kalangan orang-orang tua.
Banyak yang menganggap keluarga mereka sial bila mana mempunyai anak perempuan,
bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir
perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, lantas memperlakukan anak-anak
mereka dengan kejam, malah ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir
perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak,
selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan
yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan
kebijaksanaan lagi
Tentu saja
segala sesuatu ada kecualinya, tidak semua demikian, akan tetapi pada masa
cerita ini terjadi, mungkin sembilan dari sepuluh keluarga bersikap seperti
itulah.
***************
Kebiasaan
atau anggapan tradisionil seperti ini malah melanda keluarga ketua Cin-ling-pai
yang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berkepandaian tinggi!
Siapakah yang tak mengenal perkumpulan Cin-ling-pai yang terletak di sebuah
puncak pegunungan Cin-ling-san, diketuai oleh Pendekar Sakti Cia Kong Liang
yang pada waktu itu sudah berusia enam puluh lima tahun.
Biar pun
telah menjadi seorang kakek, namun ketua ini masih nampak tegap dan gagah,
wataknya masih saja keras, jujur dan memegang teguh peraturan. Seperti telah
dituturkan di dalam kisah Asmara Berdarah, isteri ketua Cin-ling-pai ini, yaitu
Bin Biauw, telah tewas di tangan Siang-tok Sian-li, seorang iblis wanita yang
lihai sekali. Kini ketua Cin-ling-pai sudah menjadi seorang duda.
Dalam
kedudukannya sebagai ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya
yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga
puluh delapan tahun, sangat lihai karena selain sudah mewarisi kepandaian ayah
dan mendiang ibunya, dia pun pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin
atau San-sian, salah seorang di antara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu
tinggi dalam hal sinkang dan ginkang.
Sejak
belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang
wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan sebab dia adalah puteri dari
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah dl lautan
selatan. Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim
Hong.
Selain
menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, Ceng Sui Cin juga memperoleh gemblengan
dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka
dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya!
Cia Hui Song
dan Ceng Sui Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas
tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang
sehat dan mungil sejak kecilnya, juga mempunyai kecerdasan dan bakat yang baik
sekali dalam ilmu silat sehingga ketika dia berusia lima belas tahun, dia telah
mewarisi ilmu-ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan
watak ibu dan ayahnya. Dia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan
lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa.
Melihat
keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka adalah
keluarga yang berbahagia. Mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang
sehat dan nampak selalu gembira. Juga mereka memiliki kedudukan sebagai
keluarga pimpinan dari sebuah perkumpulan yang terpandang dan terhormat. Akan
tetapi sebetulnya tidaklah demikian. Semenjak bertahun-tahun yang lalu, ketua
Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan bahwa harapannya
sendiri sudah terlepas darinya.
Pendapat
yang kemudian menjadi tradisi seperti ini tentu saja merupakan suatu pendapat
yang seluruhnya hanya berdasarkan pada kepentingan si aku, dalam hal ini
kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan
diri sendiri selalu akan mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.
Begitu pula
dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, dapat menimbulkan banyak tindakan
yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka
sial jika mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau
ada keluarga yang anaknya, terlahir perempuan melulu, tanpa ada seorang pun
yang laki-laki, lantas memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada
yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu
kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur!
Sungguh
menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang
namun tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
"Hui
Song, sekarang di depan isterimu aku hendak minta ketegasan dan keputusanmu.
Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?"
Mendengar
ini Sui Cin kaget bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang
keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu
minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu
berubah merah sekali. Tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka dia pun
diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian.
Hui Song
juga terkejut. Ayahnya sudah berterus terang di depan isterinya, berarti hal
ini merupakan desakan yang terakhir dan sangat kuat, yang memaksa dia untuk
mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan
tangguhkan saja.
Diam-diam
dia merasa sangat kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk
memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih di antara mereka,
ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, akan tetapi untuk menolak dia pun
takut kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya menganggap keturunan laki-laki yang amat
diharapkannya itu sebagai suatu hal yang penting sekali. Maka, dalam keadaan
bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih.
"Ayah,
aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk..."
"Hui
Song!" Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak
di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga kalimat jawaban
yang belum putus itu langsung dianggapnya sebagai penolakan. "Apakah
engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)?
Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai
kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mempunyai seorang anak laki-laki,
maka terpaksa aku tidak berani mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan
pimpinan padamu. Aku hanya ingin agar engkau mengambil seorang gadis yang
baik-baik supaya dia dapat memberikan seorang cucu laki-laki kepadaku, untuk
menyambung keturunan she Cia kita!"
"Tetapi,
Ayah...?"
"Tidak
ada tetapi. Engkau harus menuruti perintahku, kecuali kalau engkau ingin
menjadi seorang anak durhaka seperti kataku tadi, tidak hanya durhaka terhadap
aku, terhadap mendiang ibumu, akan tetapi juga terhadap nenek moyangmu, nenek
moyang she Cia!"
"Akan
tetapi, Ayah, isteriku...?
Cia Kong
Liang menoleh dan menatap wajah mantunya dengan sinar mata tajam penuh selidik,
juga marah. "Ada apa dengan dia?"
Semenjak
tadi Sui Cin berusaha menahan kemarahannya. Selama menjadi mantu ketua
Cin-ling-pai itu, Cia Kong Liang selalu bersikap baik, penuh kasih sayang, dan
juga sangat sayang kepada Kui Hong. Belum pernah ayah mertuanya itu
mengeluarkan kata-kata atau memperlihatkan sikap yang menyakitkan hati.
Akan tetapi
sekali ini Sui Cin merasa seolah-olah jantungnya ditusuk-tusuk dan sejak tadi
dia sudah menahan kemarahannya yang makin berkobar. Kini, mendengar betapa ayah
mertuanya itu menanggapi secara acuh saja, dia tidak tahan lagi.
"Ayah,
apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai
kertas pembungkus saja?"
Mendengar
pertanyaan ini, Cia Kong Liang melebarkan matanya. "Maksudmu?"
"Jika
saya dianggap sebagai kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat
sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja!
Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, mengapa saya tidak pernah
diajak berunding? Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan
tentang dirinya!"
"Tapi...
tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil
seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia..."
"Saya
tidak setuju!" teriak Sui Cin, sekarang tidak lagi bersopan-sopan,
melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati berikut kemarahannya. Mendengar
teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga memiliki
hati keras itu seketika bangkit kemarahannya.
"Engkau...
tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanyalah seorang
isteri, hanya seorang anak menantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada
ayah mertuanya!"
"Ayah,
kapankah aku tidak pernah patuh?" teriak Sui Cin. "Selama belasan
tahun tinggal di sini, bukankah aku selalu patuh? Akan tetapi sekali ini
menyangkut hubungan di antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada
Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba
saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain? Aku tidak mau membaginya dengan
wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai
isteri ke dua!"
"Engkau
tidak berhak melarang!" teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya
dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat
disayangnya itu. "Engkau sudah tidak mampu melahirkan seorang keturunan
laki-laki!"
"Belum
tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu untuk
mempunyai turunan laki-laki? Jangan hanya menyalahkan aku seorang!" Kedua
mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi dia tidak menangis
dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak biar pun telah basah
bahkan air matanya mulai jatuh berderai.
"Kalau
dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!"
"Mungkin
saja! Kalau aku menikah lagi dengan pria lain juga mungkin saja aku melahirkan
anak laki-laki! Akan tetapi, pernikahan antara kami jika tidak membuahkan anak
laki-laki, itu bukanlah salahku, atau salah Hui Song. Jangan salahkan kepadaku,
Ayah, pendeknya aku tidak setuju kalau Hui Song menikah lagi!"
Ketua
Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Belum pernah dia didebat dan
ditentang orang seperti itu, apa lagi kini yang menentangnya adalah anak
mantunya sendiri. Hal ini merupakan pukulan batin yang sangat hebat, yang
membuat dia marah bukan main dan dia telah bangkit dari kursinya, mengepal
tinju dan agaknya sudah siap untuk menyerang Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin juga
bangkit berdiri, siap untuk membela diri!
"Sui
Cin, jangan...!" Hui Song berteriak dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut
di hadapan ayahnya, membentur-benturkan dahinya ke lantai. "Ayah... Ayah,
ampunkanlah isteriku, Ayah. Apa bila Ayah hendak menjatuhkan hukuman, hukumlah
aku. Ayah, tenanglah dan ampunkan kami."
Melihat ini,
Cia Kong Liang sadar kembali. Dia tahu bahwa kalau dia menyerang Sui Cin dan
mantunya itu melawan, dia bahkan akan kalah oleh anak mantunya yang sangat
lihai itu. Dan kalau sampai terjadi hal demikian, bukankah akan memalukan
sekali dan nama besar Cin-ling-pai akan hancur sama sekali.
Bayangkan
bagaimana akan pendapat orang kalau mendengar bahwa ketua Cin-ling-pai bentrok
dengan mantu perempuannya, bahkan dipukul roboh oleh mantu perempuannya
sendiri! Dia lalu menjatuhkan dirinya kembali di atas kursi, napasnya
terengah-engah dan mukanya masih merah sekali.
"Sudahlah,sekarang
engkau boleh pilih. Engkau menuruti permintaan ayahmu, mengambil seorang gadis
lain untuk menyambung keturunan she Cia, atau aku yang akan memungut seorang
murid yang baik untuk kujadikan putera angkatku, kuberikan she Cia kepadanya,
kemudian dia kukawinkan agar dapat menyambung keturunan she Cia, walau pun
secara memungut anak. Dan engkau... jangan harap lagi aku mengakuimu sebagai
anak."
"Ayah...!"
Hui Song berteriak dan kini air matanya pun jatuh bertitik.
Sui Cin
menjadi semakin marah. Dianggapnya bahwa orang tua itu sungguh tidak adil dan
keterlaluan. Maka, melihat suaminya menangis, dia pun segera berkata sambil
menatap ayah mertuanya dengan pandang mata tajam.
"Ayah,
mengapa Ayah begitu mendesak Hui Song? Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang
menikah lagi dan mempunyai seorang anak keturunan laki-Iaki yang lain?"
Mendengar
ini, Hui Song, merasa mempunyai harapan untuk mengatasi persoalan itu.
"Itu benar, Ayah..."
"Diam...!"
Cia Kong Liang membentak penuh kemarahan. "Ceng Sui Cin, jangan engkau
mengajukan usul yang begitu gila!" Sejak Sui Cin menjadi mantunya, baru
sekarang dia menyebut nama menantunya itu lengkap dengan nama she-nya, dan Sui
Cin merasakan benar sebutan itu. Dia sudah mulai dianggap orang luar oleh ayah
mertuanya ini!
"Bukan
aku yang mengajukan usul yang gila, Ayah, tetapi Ayah sendiri yang mengajukan
permintaan yang bukan-bukan."
"Cukup!"
Kembali ketua Cin-lin-pai itu membentak. "Sekali lagi, Hui Song, kau boleh
pilih. Engkau menikah lagi dengan gadis lain untuk mendapatkan keturunan she
Cia, atau aku tidak menganggapmu sebagai anakku lagi dan engkau boleh pergi
dari sini bersama isteri dan anakmu."
Mendengar
ini, Sui Cin juga berteriak, "Cia Hui Song, dengarkan kata-kataku. Aku
akan pergi bersama Kui Hong kembali ke rumah orang tuaku. Kalau engkau kawin
lagi, kita tak perlu berjumpa kembali. Kalau engkau masih memberatkan kami,
susullah kami ke Pulau Teratai Merah!" Setelah berkata demikian, dengan
sekali berkelebat Sui Cin sudah lenyap dari ruangan itu, keluar untuk mencari
anaknya.
"Sui
Cin...!" Hui Song berkata dan dia pun terkejut bukan main, bangkit
berdiri.
"Hui
Song, jika engkau pergi meninggalkan ruangan ini, jangan harap akan dapat
kembali kepadaku!"
Hui Song
yang sudah bangkit itu tersentak dan menoleh kepada ayahnya, lantas menoleh ke
arah pintu. Pada waktu itu hatinya terobek menjadi dua, tubuhnya menggigil,
kemudian tiba-tiba dia pun mengeluh dan terpelanting jatuh pingsan saking
hebatnya pukulan batin yang dideritanya.
Tiada
sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap saat,
seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia menjadi
gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali menjadi
terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja terjadi setiap waktu
dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput.
Orang yang
selalu waspada pasti mempunyai kebijaksanaan untuk menerima segala hal yang
terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah semestinya
terjadi, karena itu takkan mengguncangkan batinnya. Bahkan kematian yang datang
menjemput juga akan diterima dengan iklas, pasrah dan mulut tersenyum karena
maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya menjadi anak wayang saja
yang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dijalankan oleh Sang
Sutradara!
Dijadikan
pemegang peran apa pun tidak penting, biar pun dijadikan raja atau pengemis,
orang kaya atau pun orang miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan.
Tidak mengeluh kalau memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau
memegang peran mulia, karena yang paling penting adalah menghayati peran itu,
memainkan peran yang dipegangnya dengan sebaik mungkin.
Memegang
peran apa pun juga, baik yang kalah atau yang menang, yang rendah atau yang
tinggi, yang miskin atau kaya, bodoh atau pandai, kesemuanya itu hanyalah untuk
sementara saja dan semua akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau
datangnya kematian. Karena maklum bahwa segala sesuatu, yang baik mau pun yang
buruk, tidak abadi, bahwa kehidupan sebagai roda, maka tak akan mengeluh selagi
berada di bawah dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah
seorang yang bijaksana.
***************
Dapat
dibayangkan betapa hancur rasa hati Cia Hui Song. Dia mengeluh panjang pendek,
sampai tiga hari dia tidak mampu meninggalkan kamarnya, hanya rebah dengan
gelisah dan menyesali nasibnya setelah dia mendekati usia empat puluh tahun
itu. Hatinya ingin sekali pergi menyusul isteri dan puterinya yang pergi secara
mendadak tanpa pamit lagi, hanya membawa buntalan pakaian saja.
Dia tahu
akan kekerasan hati dan keangkuhan isterinya, tentu isterinya itu mengajak Kui
Hong untuk pergi ke Pulau Teratai Merah dan isterinya tidak akan kembali ke
Cin-ling-san sebelum dia datang menyusul. Akan tetapi ia pun mengenal baik
kekerasan hati ayahnya. Kalau dia nekat pergi, tentu dia benar-benar takkan
diakui lagi sebagai anak dan ayahnya tak mungkin mau mengampuninya lagi.
Terjadi
perang di dalam batinnya. Dia membayangkan betapa ayahnya akan menderita batin
yang amat hebat apa bila dia memaksa diri meninggalkan ayahnya. Ayahnya hanya
mempunyai dia seorang, tidak ada lagi keluarga lainnya, dan hanya kepada
ayahnya dia memandang dan bergantung. Kalau dia pergi, mungkin hal itu akan
menghancurkan hati ayahnya sehingga dia akan mempercepat kematian ayahnya dan
dia tentu akan merasa berdosa selama hidupnya kalau sampai terjadi hal seperti
itu.
Sebaliknya,
isteri dan puterinya akan hidup aman dan terjamin bila berada di Pulau Teratai
Merah dan mudah-mudahan saja kelak perasaan Sui Cin akan melunak. Bagaimana pun
juga, sebagai putera tunggal tak mungkin ia meninggalkan ayahnya, tak mungkin
menjadi anak durhaka yang dikutuk ayahnya sendiri. Selain itu, dia pun harus
menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai, sungguh pun dia harus mengorbankan
perasaannya yang seperti tertindih selalu dan semangatnya seolah-olah terbang
mengikuti isteri dan puterinya.
Bagaikan
seorang yang patah semangat, Cia Hui Song pendekar sakti itu menurut saja
ketika ayahnya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterinya, untuk dapat
memberi seorang putera penyambung keturunan Cia, keturunan keluarganya. Demi
ayahnya, demi keluarga Cia, dia harus mentaati perintah ayahnya walau pun
diam-diam hatinya hancur.
Tak mungkin
dia bisa mencinta isterinya yang baru, seorang gadis berusia delapan belas
tahun dari keluarga Siok, seperti cintanya terhadap Sui Cin. Dia hanya merasa
kasihan kepada isteri barunya, Siok Bi Nio, karena seperti sudah lazim pada
jaman itu, gadis ini pun menjadi isterinya karena kehendak orang tuanya.
Orang tua
mana yang tidak akan merasa bangga apa bila anak perempuannya menjadi mantu
Ketua Cin-ling-pai, biar pun hanya menjadi isteri ke dua? Nama besar
Cin-ling-pai akan mengangkat derajat keluarga Siok pula di samping kehidupan
makmur yang akan dapat dinikmati oleh gadis she Siok itu.
Demikianlah,
Cia Hui Song menikah lagi tanpa dirayakan secara meriah karena sungguh pun dia
tidak berani menolak kehendak ayahnya untuk kawin lagi, dia berkeras tidak mau
jika pernikahan itu dirayakan, tetapi terjadi secara sederhana saja dan hanya
melakukan upacara sembahyangan sebagaimana mestinya tanpa mengundang banyak
tamu.
Hati Kakek
Cia Kong Liang sangat puas dan gembira karena puteranya mau memenuhi
permintaannya. Tetapi, tanpa ada yang mengetahuinya, dia sendiri merasa amat
berduka dengan kepergian Kui Hong tanpa pamit. Dia amat sayang kepada cucunya
itu, bahkan ketika Kui Hong masih kecil, dialah yang menimang-nimang anak itu.
Akan tetapi sayang bahwa Kui Hong adalah seorang cucu perempuan, dan kakek ini
merasa prihatin bahkan malu kalau sampai puteranya tidak memiliki anak
laki-laki yang kelak akan menyambung keturunan keluarga Cia.
Setelah Kui Hong
pergi tanpa pamit bersama ibunya, dia merasa sangat kehilangan dan sering kali,
seorang diri di dalam kamarnya, kakek ini menutupi mukanya dan menghapus
beberapa butir air mata yang keluar karena duka ketika teringat akan cucu
perempuan yang amat disayangnya itu. Dia tidak merasa bersalah dalam urusan
itu, merasa bahwa keputusannya itu sudah benar dan tepat, dan mantunyalah yang
tidak tahu diri, yang tidak adil, tidak seperti para wanita lainnya yang tentu
bahkan akan menganjurkan sang suami untuk mengambil isteri muda agar memperoleh
keturunan laki-laki!
Lebih
gembira dan puas lagi hati Kakek Cia Kong Liang ketika setahun setelah Hui Song
menikah dengan Siok Bi Nio, mantu perempuannya itu melahirkan seorang anak
laki-laki. Harapannya dan dambaannya terkabul sudah! Keluarga Cia tidak akan
putus, melainkan akan bersambung terus dengan lahirnya Cia Kui Bu, cucunya yang
kedua itu. Karena itu, begitu cucu ini terlahir, Cia Kong Liang lalu
mengundurkan diri dan mengangkat Cia Hui Song menjadi ketua Cin-ling-pai!
Jabatan ini
sedikit banyak menghibur hati Hui Song yang selalu teringat kepada Ceng Sui Cin
dan Kui Hong. Kesibukan di dalam perkumpulan menyita banyak waktu dan pikiran.
Dia bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangan dalam perkumpulan Cin-ling-pai,
memperketat peraturan dan menambah latihan-latihan untuk menggembleng para
anggota dan murid agar kelak bisa mengangkat tinggi nama besar Cin-ling-pai.
Bahkan dia sendiri terjun untuk melatih murid-murid kepala.
Sementara
itu, Cia Kong Liang mernperoleh pekerjaan baru yang mengasyikkan hatinya, dan
merupakan hiburan pula padanya karena kini dia dapat mengasuh cucunya sebagai
pengganti Kui Hong!
***************
Kita
tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan
Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah
dia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya. Kui Hong
terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa pada wajah ibunya
ada tanda bahwa ibunya habis menangis.
"Ibu,
ada apakah, Ibu?" tanyanya, hatinya tidak enak.
Biasanya
ibunya selalu ramah dan senang bergurau, dan dia sendiri pun paling senang
bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah
berseri serta hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya kelihatan
murung dan kusut, maka dia pun tidak berani bergurau seperti biasanya dan tidak
berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan
itu.
Dengan
menahan tangisnya karena dia tidak mau memperlihatkan kelemahan di hadapan
anaknya, Sui Cin berkata, "Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua
pakaianmu yang terbaik, sekarang juga kita pergi ke Pulau Teratai Merah."
Sejenak
wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak. "Ke tempat tinggal
kakek dan nenek di Laut Selatan?"
"Benar,
cepatlah berkemas!" kata ibunya singkat.
"Horeee...
kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!" Gadis itu berteriak dan
bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya.
Baru dua
kali dia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika
dia baru berusia sepuluh tahun. Sekarang dia telah berusia lima belas tahun,
dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang
liar dan luas, dia pun merasa girang bukan main.
Setelah
mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dulu, segera
menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang
sama.
"Mari
kita berangkat!"
"Ehh,
apakah ayah tidak ikut, Ibu?" tiba-tiba gadis remaja itu bertanya.
Ibunya hanya
menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya
mengajak dia langsung keluar.
"Ibu,
kita pamit dulu dari kongkong (Kakek) dan ayah "
"Tidak
usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!" kata ibunya singkat.
Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada
kakeknya dan ayahnya.
"Tapi,
Ibu..."
"Cukup!
Tidak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam sudah
semakin gelap!"
"Tetapi
mengapa tergesa-gesa, Ibu? Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan
aku harus pamit... "
"Diam
dan mari kita pergi!" Tiba-tiba Sui Cin membentak.
Gadis remaja
itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak, apa lagi melihat dua titik
air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Dia maklum bahwa ibunya sedang marah
sekali, maka dia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah dia mengikuti
ibunya. Dia merasa lebih terkejut dan heran lagi melihat betapa setelah berada
di luar rumah, ibunya langsung saja menggunakan ilmu berlari cepat, meluncur di
dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk
mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang
amat cepat menuju ke tenggara.
Dapat
dibayangkan alangkah heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tidak pernah mau
berhenti berlari sampai akhirnya, beberapa jam kemudian, lewat tengah malam,
Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya.
"Ibu,
jangan cepat-cepat... ahh, aku... aku sudah lelah sekali...," dan gadis
itu pun mogok lari.
Melihat ini,
Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Dia pun lantas berhenti berlari
dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dia sendiri
pun baru sadar bahwa peluh sudah membasahi seluruh leher dan mukanya, betapa
napasnya juga memburu.
Mereka duduk
di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas.
Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang
yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak
bagaikan ratna mutu manikam di atas beludru hitam. Kadang-kadang nampak bintang
meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan. Bintang jatuh?
Atau bintang pindah?
Kui Hong
selalu kagum jika memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan
purnama. Baginya, angkasa penuh denganrahasia alam yang amat hebat, sehingga
orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu
memberikan penjelasan ketika dia bertanya kepada mereka tentang bulan dan
bintang. Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya
suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu
merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa.
Kalau
begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tidak terhitung banyaknya!
Lebih banyak bintang di langit dari pada rambut di kepalamu, demikian kata
ibunya. Mungkin hal itu benar, pikir Kui Hong, sebab walau pun sangat banyak,
apa bila memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia.
Akan tetapi bintang di langit? Siapakah yang mampu menghitungnya? Makin gelap
langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin
dihitung.
"Aduh,
bukan main indahnya bintang-bintang itu, Ibu..." Kui Hong yang sejenak
lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum.
Akan tetapi
ibunya tidak menjawab dan dia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji
keindahan alam. Dia segera menengok dan di dalam keremangan malam itu dia
melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru dia
teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali.
Dia bukan
anak kecil lagi. Tentu sudah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya
berduka seperti itu. Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai
Merah meninggal dunia, pikirnya dan dia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau
benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong
Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain.
"lbu...
lbu, engkau kenapakah, Ibu...?" tanyanya lirih sambil menyentuh tangan
ibunya.
Pertanyaan
puterinya ini menyentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin. Dia terisak
sambil menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Dia menangis!
Ibunya
menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ibunya menangis!
Dia selalu menganggap bahwa ibunya adalah seorang wanita yang terhebat, yang
gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan pada waktu dia masih kecil dan suka
menangis, ibunya sering memberi nasehat bahwa seorang wanita gagah lebih
menghargai air mata dari pada darah!
Keringat
bahkan darah sekali pun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus
dipantang! Tangis hanya menunjukkan kelemahan saja, dan seorang wanita yang
gagah perkasa bukanlah orang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang hingga
kini masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggembleng dirinya menjadi seorang
gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apa pun juga tanpa
mengeluh. Tapi sekarang, ibunya menangis!
"Ibu...!"
Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya supaya menurunkan tangan.
Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar,
akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis. "Ibu, engkau menangis?
Mungkinkah ini? Apakah yang sudah terjadi, Ibuku?" Kui Hong bertanya
sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata.
Dengan
sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini
bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, maka tak
perlu menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya, karena Kui Hong kini tentu
sudah dapat mengerti.
"Ayahmu...
Ayahmu harus menikah lagi." jawabnya dan begitu dia menjawab, dia merasa
lancar dan bisa menahan getaran perasaannya. Sekarang kedukaannya terganti oleh
rasa penasaran dan kemarahan.
Mendengar
keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan
akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata
ibunya. Ayahnya harus menikah lagi? Keterangan macam apa ini?
Akan tetapi,
semuda itu Kui Hong sudah digembleng untuk dapat menguasai hatinya dan sikapnya
masih tetap tenang walau pun keterangan ibunya tadi membuatnya terkejut dan
terheran-heran sekali. Sukar baginya untuk dapat percaya bahwa ayahnya akan
menikah lagi! Dia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi.
Ayahnya harus menikah lagi. Harus?
"Ibu,
siapa yang mengharuskan ayah menikah lagi?"
"Kakekmu,
siapa lagi?" Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui
Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya.
"Menikah
dengan siapa?"
"Dengan
siapa saja, ayahmu sendiri pun belum tahu."
"Tetapi,
kenapa? Kenapa kongkong menyuruh dan bahkan mengharuskan ayah menikah lagi?
Bukankah ayah sudah menikah dengan Ibu?"
"Kongkong-mu
ingin mempunyai seorang cucu laki-laki..."
"Akan
tetapi, kongkong sudah mempunyai cucu aku!"
"Dia
ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai
anak laki-laki, maka ayahmu diharuskan menikah lagi."
"Dan
ayah... ayah mau...?"
"Ayahmu
terpaksa, kalau tidak, dia tak akan diakui lagi sebagai anak kongkong-mu, akan diusir!"
"Ahhh...!"
Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena dia mulai mengerti benar dan
tahu bahwa memang sudah terjadi peristiwa yang hebat sekali, bahkan merupakan
malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua!
"Jadi
karena itukah Ibu pergi? Tapi... tapi mengapa pergi, Ibu? Mengapa kalau Ibu
tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada ayah agar dia tidak usah menikah
lagi?"
"Aku
sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan kongkong-mu,
akan tetapi kongkong-mu memaksa ayahmu, jika ayahmu tidak mau, maka ayahmu
harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi."
"Ah,
kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali ke sana
dan aku akan menegur kongkong dan ayah!" Kui Hong bangkit berdiri sambil
mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya
duduk kembali.
"Tidak
ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu alangkah keras hati kongkong-mu dan
betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang mana pun
juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi
saja dan kalau memang ayahmu ingin berbakti pada kongkong-mu dan melupakan
kita, biarlah kita hidup sendiri, di rumah orang tuaku di Pulau Teratai
Merah."
"Tapi,
Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?"
"Tiada
gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk
pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau ayahmu menyusul kita dan
mengurungkan niat kongkong-mu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau
ikut dengannya. Bila sebaliknya yang terjadi, dia menikah lagi, biarlah
selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah."
Percakapan
itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan
masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinjunya, hatinya marah dan
panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya.
Apa bila
kelak ayahnya benar menikah lagi, dia akan menegur ayahnya itu, dan menegur
kakeknya, kalau perlu dia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu
tirinya yang mendatangkan kehancuran di dalam hidup ibunya. Ibunya kini sampai
meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon,
terlunta-lunta!
***************
Perjalanan
yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah
perjalanan yang sangat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walau
pun mereka sudah mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini
mengalami banyak kesulitan. Di samping rasa lelah dan hati mereka yang tertekan
duka, juga masih banyak gangguan yang harus mereka hadapi sebagai dua orang
wanita cantik melakukan perjalanan tanpa pengawalan.
Meski pun
usianya telah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita.
Tubuhnya yang dulu ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan ketika
sebelum dia memiliki anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih
sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat sebab dia masih terus berlatih
silat sehingga dia lebih tepat dikatakan bertubuh montok. Wajahnya kelihatan
jauh lebih muda dari usianya yang sesungguhnya sehingga dalam melakukan
perjalanan bersama Kui Hong, mereka berdua lebih pantas disebut enci adik dari
pada ibu dan anak.
Sampai
sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya semenjak dulu, yaitu
sikapnya bebas dan pakaiannya pun agak nyentrik. Dia lebih mengutamakan enak
dipakai dari pada indah dipakai. Karena sedang melakukan perjalanan yang jauh,
dia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang dulu
sudah mengangkat namanya ketika dia masih gadis, di samping benda itu dapat
pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik
matahari dan curahan air hujan.
Juga
puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, yakni pakaian pria yang ketat
hingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu kelihatan indah
menarik laksana buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa
sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung bila tidak
digunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa
sebatang pedang yang dipasangnya di atas buntalan di punggung.
Karena gadis
ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang sudah banyak menolong
mereka. Setiap kali ada lelaki yang tertarik dan bermaksud kurang ajar, mereka
langsung mundur teratur sesudah melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang
wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli
silat) yang tidak boleh sembarangan diganggu.
Kurang lebih
sebulan kemudian sesudah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan
anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini
memang sangat indah karena letaknya di pinggir telaga besar itu yang menampung
air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Oleh karena hari telah menjelang sore
dan tak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi
keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin
kemudian mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini.
Mereka
memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah
penginapan yang terletak di tempat indah sekali, yaitu di tepi telaga. Setelah
mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian
mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka.
Sedapat
mungkin Kui Hong menyembunyikan pedangnya di bawah baju, sedangkan Sui Cin
membawa payungnya. Mereka lantas meninggalkan rumah penginapan untuk melihat
keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang
pesiar ke telaga.
"Ibu,
kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu akan
menyenangkan sekali!" kata Kui Hong.
Sui Cin
tersenyum. Setelah melakukan perjalanan bersama puterinya, sedikit demi sedikit
Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya, namun dia merasa kasihan terhadap
puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.
"Baiklah,
Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan
untuk mengantar makanan ke perahu yang kita sewa."
Dengan hati
gembira, seperti dua orang ibu dan anak yang tengah pergi pelesir dan sama
sekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lantas memilih sebuah
perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang
kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah memperoleh perahu, mereka lalu
memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu
oleh kakek pemilik perahu.
Tidak lama
kemudian perahu itu pun sudah didayung perlahan oleh kakek tukang perahu,
sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja
didayung menuju ke barat, menyongsong mentari yang sedang tenggelam.
Pemandangan itu indah bukan main. Matahari yang condong ke barat itu membakar
langit barat dan bayangannya pada permukaan air yang tenang dan jernih
benar-benar merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali.
Gembira hati
ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak
pula perahu-perahu pesiar lain yang hilir mudik di permukaan telaga yang
teramat luas. Terdengar suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis
penyanyi yang bermain yang-kim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan
muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar.
Sui Cin dan
Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang-senang di atas
perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu. Mereka lalu menyuruh tukang perahu
agar mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai.
Dari jauh
perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu nampak laksana binatang-binatang
aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua buah perahu
yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih
belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak
tergesa-gesa.
Mendadak
terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim
(semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang
bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja
hari itu.
Petikan
yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara
itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seakan-akan
memberikan penghormatan dan mengiringi Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan
diri ke istana barat.
Ibu dan anak
itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil
sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka.
Dengan tenang perahu itu meluncur, dan ternyata digerakkan oleh layar kecil
yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke arah mana pun sebab
penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu
karena ternyata dialah yang sedang asyik memainkan musik itu. Akan tetapi,
seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya
pula, sungguh sukar untuk dipercaya!
"Dekati
perahu itu...," kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena dia
tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju.
Akan tetapi
kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan kemudian menggeleng kepala. "Tidak
boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."
"Ehh,
memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.
"Saya adalah
tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini sehingga saya mengetahui segala
peristiwa yang terjadi di telaga ini, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu
perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada
hari pertama, ada sebuah perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja
dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan
yang-kim itu!"
Tentu saja
Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu.
"Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba
untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu.
Akan tetapi
karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca telah
mulai remang-remang, dia pun tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang
laki-laki bertubuh sedang yang duduk menunduk di perahu itu, sambil memangku
sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Dia memegang suling itu dengan
tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan
tangan kirinya saja, ada pun tangan kanannya digunakan untuk memainkan
senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.
"Saya
tidak tahu, Nona. Tak seorang pun yang tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang
perahu tidak berani mendekatinya. Selama dia tidak diganggu, maka dia pun tidak
pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, malah menyenangkan dengan
permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"
"Bagaimana
dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang merasa tertarik bertanya.
Kakek itu
menggelengkan kepala. "Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu
terbalik, sedangkan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim.
Sesudah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu
kecilnya meluncur pergi."
"Apa
yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan
marah?" Sui Cin bertanya lagi, hatinya semakin tertarik.
"Perahu
besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air yang memercik membasahi
pakaian dan yang-kimnya, dan para penumpang perahu besar
mentertawakannya," jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena
tidak mau datang terlalu dekat.
"Sombong
benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana macam orangnya. Paman tua,
dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa
tertarik dan penasaran sekali.
Sui Cin juga
tertarik, karena menduga bahwa orang yang dapat sekaligus bermain suling dan
yang-kim menjadi paduan suara yang sangat serasi, dan yang berwatak aneh
seperti menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu
merupakan orang yang luar biasa. Apa lagi bila dipikir bahwa menggulingkan
perahu bukan pekerjaan yang mudah.
"Dekatkan
perahu kita," katanya pula kepada tukang perahu.
"Tidak,
Toanio, Siocia, saya tak berani. Bagaimana jika nanti perahuku digulingkan
pula? Celaka, saya akan menderita rugi." Ia lalu memandang kepada mereka.
"Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dengan
berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai
tenggelam?"
"Aku
akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian," kata Sui Cin sambil
tersenyum.
"Saya
tidak berani, Toanio."
"Heh,
tukang perahu cerewet! Jika engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu
dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi jika engkau tidak mau dan masih
banyak cerewet, maka sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!"
bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan
menolak permintaan mereka.
Mata tukang
perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya,
kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan
laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang
gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula
hal ini, maka dia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran
perahu yang terbuat dari papan tebal itu.
"Cusss...!"
Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu
seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.
"Kau
ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak.
Sepasang
mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat. "Tidak... tidak,
Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu...," katanya dengan
suara gemetar.
Hampir dia
tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan
halus itu dapat menusuk amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja
memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih
berbahaya dari pada ancaman perahu kecil pemain suling itu, maka dia pun mulai
mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar
ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya
tidak membuat air terpercik terlampau keras dan agar perahunya tidak sampai
menubruk perahu kecil di depan itu.
Kini perahu
kecil itu tidak meluncur lagi karena rupa-rupanya angin telah berhenti bertiup.
Karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih,
kadang-kadang mengarah ke kanan dan kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk.
Akan tetapi orang yang duduk pada kepala perahu itu agaknya tak mempedulikan
hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya.
Remang-remang
nampak seorang laki-laki meniup suling. Dengan ibu jari tangan kirinya dia
menyangga suling, ada pun jari-jari tangan kiri lainnya mempermainkan
lubang-lubang suling. Laki-laki itu meniup suling dengan suara merdu,
melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indah, dan suara ini diiringi
petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya.
Walau pun
memainkan setiap alat musik hanya dengan satu tangan saja, namun jari-jari
tangan itu bermain dengan sangat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat
merdunya. Orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena
mukanya menunduk, apa lagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas
kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.
Sui Cin
teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang belasan tahun yang
lalu masih dilihatnya, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari
Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan salah seorang di antara
Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan
seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim.
Akan tetapi,
belasan tahun yang lalu Shantung Lo-kiam telah berusia delapan puluh tahun
lebih, dan juga belum pernah dia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup
suling. Apa lagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini.
Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini?
Tiba-tiba
suara suling dan yang-kim terhenti, lalu laki-laki bercaping itu mengangkat
muka, memandang ke angkasa dan dia pun mulai bernyanyi. Suara nyanyiannya cukup
merdu dan lantang, kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan
dengan sepuluh jari tangannya.
"Minum
arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur
tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur
dengan bebas melalui jalur yang diciptakan matahari jalur emas sang surya di
senja hari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh
kesah...?"
Mendengar
nyanyian yang seolah-olah merupakan nasehat dan hiburan bagi hati mereka yang
memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang
dan Sui Cin memuji, "Bagus sekali sajak itu...!"
Sejak tadi
Kui Hong juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, dia bisa melihat
wajahnya dan dia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang
pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian
yang merdu itu, kata-kata nyanyian yang demikian indahnya. Kui Hong memandang
seperti terpesona, setuju atas pujlan ibunya. Memang indah sajak itu, indah
pula suaranya.
Tadinya
laki-laki itu seolah-olah merasa bahwa dirinya hanya sendirian di tempat luas
itu, karena itu agaknya dia terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru
sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin.
Untuk sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandangan
matanya dan memandang kepada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang
kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.
"Apakah
kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau
dapat melakukan itu!" tantangnya.
Sui Cin
kaget bukan main, akan tetapi tak sempat mencegah puterinya yang menantang itu.
Mendengar
tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu sekarang ditujukan kepada
tukang perahu seakan-akan orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang
telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang
mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu segera menjadi ketakutan dan dia
pun menjura di tempatnya.
"Mohon
maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan
saya..."
Melihat
betapa tukang perahu itu begitu penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol.
"Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat. Jika engkau demikian
pengecut, tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya
maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?"
Sekarang
sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia
berkata, "Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, mengapa
engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri, lantas menjura ke
arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku
juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana
saja dengan perahumu itu, siapa yang melarang?"
Sesudah
berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan
kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu
kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Siapa
sudi kau bermanis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah
memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, dia melihat ibunya tersenyum
geli.
"Kui
Hong, engkau ini kenapakah? Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau
marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau telah kemasukan setan penunggu telaga
ini!" kelakar ibunya.
"Mata
orang itu seperti mata maling, membikin hatiku sangat mendongkol, Ibu!"
kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Dia
telah menantang digulingkan perahunya, kemudian dia marah-marah ketika disebut
adik manis. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa sikap pemuda itu sopan
dan manis budi.
"Memang
telaga ini dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang gawat," tiba-tiba saja
tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami
juga menganggap pemuda peniup suling itu adalah makhluk halus pula. Maka harap
Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di
telaga ini karena gangguan makhluk halus."
Tadinya Kui
Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi
mendengar kalimat terakhir, kembali dia merasa tertarik.
"Kenapa
banyak orang pelancong tewas di telaga ini? Diganggu makhluk halus
katamu?" Diam-diam Kui Hong melirik ke kanan kiri.
Cuaca sudah
menjadi agak gelap dan dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa
dingin. Bagaimana pun juga Kui Hong hidup di jaman di mana banyak orang masih
percaya penuh kepada segala macam takhyul dan dongeng-dongeng tentang setan,
iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tak dimengertinya dan
menurut dongeng, makhluk halus tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat yang
bagaimana tinggi pun karena makhluk halus pandai menghilang.
Tentu saja
dia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang makhluk halus. Apa lagi di
telaga seperti itu, di mana dia merasa demikian lemah dan tidak leluasa seperti
kalau dia menginjak tanah keras.
Agaknya
tukang perahu nampak senang. Bagaimana pun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa
dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang makhluk halus dan
melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang!
"Memang
telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona." katanya bercerita.
"Meski pun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian
tertentu telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu
mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan
ada yang bilang bahwa ada bagian di mana terdapat terowongan yang menghubungkan
air telaga ini dengan lautan di timur! Bahkan kadang-kadang bagaikan lautan
saja, telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah
begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula
binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga
ini."
"Ihhh...!"
Kui Hong kembali melirik ke kanan kiri.
"Tidak
aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh
penasaran berkeliaran di sini."
"Kenapa
begitu?" Kui Hong mendesak, tapi diam-diam dia mengisar duduknya mendekati
ibunya.
"Di
samping menjadi tempat hiburan bagi para pelancong, telaga ini juga terkenal
sebagai tempat orang membunuh diri, Nona."
"Bunuh
diri? Mengapa...?"
"Aihh,
banyak sekali sebabnya, Nona. Karena patah hati, karena ketakutan, karena malu
dan sebagainya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri di sini."
"Maksudku,
kenapa di sini?"
"Karena
tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan
tewas. Dan airnya dingin sekali, juga sangat dalam. Orang yang sudah tenggelam,
sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah
yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang
orang muda membunuh diri di sini. Aihh, kasihan sekali, masih muda remaja,
seusia Nona..."
Melihat
puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng segera berkata. "Sudahlah, jangan
bicara tentang hal yang bukan-bukan. Sekarang antarkan kami ke tepi, kami
hendak mengaso, malam telah mulai tiba."
"Baik,
Toanio dan maafkan saya." Tukang perahu itu girang sekali dan cepat
mendayung perahunya kembali ke tepi.
Senang
sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi
telah membuat dia ketakutan bukan main karena diharuskan mendekati perahu kecil
Si Peniup Suling. Dia masih merasa heran mengapa laki-laki peniup suling itu
tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya,
bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut.
Ya, takut! Aihh, jangan-jangan...
Sambil
melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong, kakek itu menjadi pucat mukanya. Ibu dan
anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu,
cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya
kepadanya mengenai makhluk halus! Ihh...! Siapa tahu dua orang wanita ini malah
makhluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia.
Setelah tiba
di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu
kemudian pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambil memandang uang yang berada
pada tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil
atau rumput seperti dongeng orang-orang yang sering dia dengar tentang
pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia. Dan mulai keesokan harinya, di
antara tukang-tukang perahu di situ, tentu akan muncul dongeng baru tentang
siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu,
siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu!
Ketika Sui
Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut
di tepi sebelah depan, di mana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh.
Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang
laki-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut
minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita
sedang menangis, yang bila dilihat dari pakaiannya tentu seorang gadis
penyanyi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment