Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 15
KETIKA Kui
Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut
sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling
tadi! Sekarang sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim,
laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta
ampun.
"Hemm,
minta ampun? Orang semacam engkau ini sudah sepatutnya dilempar ke telaga biar
dimakan ikan! Kerjanya hanya menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina
orang lain saja! Boleh aku memberi ampun, akan tetapi engkau harus mengganti
kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan dia
kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani
mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kau laksanakan, besok aku akan datang
mengambil kepalamu!"
"Baik,
Taihiap (pendekar), baik enghiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi
semua perintah Taihiap...," Kongcu itu meratap.
"Lekas
laksanakan!" Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu
itu langsung terguling dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap di antara
banyak orang yang merubung di situ.
Kongcu itu
meratap kesakitan, akan tetapi segera memerintahkan orang-orangnya untuk
mengantar dara penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak
seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong langsung tertarik sekali.
Mereka mendekati seorang kakek yang berada di situ dan bertanya apa yang
sebenarnya telah terjadi.
Kakek itu
memandang kepada Sui Cin dan puterinya. "Agaknya Ji-wi bukan orang daerah
sini, ya?"
"Benar,
Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?"
"Mari
kita berbicara agak jauh di sana," kata kakek itu dan mereka pun berjalan
menjauhi tempat itu. Setelah cukup jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain,
kakek itu bercerita. "Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera
jaksa kota ini yang berwatak mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali
pelesir di sini. Dia tidak dapat membedakan mana wanita yang mau dibegitukan
dan mana yang tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis
penyanyi tadi bukan seorang pelacur, namun dia hendak memaksa gadis itu ikut
bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tak mau dan menangis, lantas muncul
pemuda peniup suling tadi. Terjadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam
orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri
dipaksa membayar seratus tael perak. Hemmm, memang menyenangkan sekali kalau
kami kaum kecil ada yang membela."
"Lopek,
siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?" Sui Cin kembali
bertanya.
"Jangan
bertanya kepadaku. Bagaimana kami bisa tahu? Tempo hari dia juga muncul lalu
menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar dan kini dia muncul
begitu saja menolong gadis penyanyi lalu menghilang begitu saja. Aku tidak akan
merasa heran kalau dia...," kakek itu tidak melanjutkan ceritanya,
melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh
arti.
"Kau maksudkan...
makhluk halus penunggu telaga?" tanya Sui Cin.
"Ssttt...,"
kakek itu berbisik, "Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan
lagi..." Dan dia pun pergi dengan tergesa-gesa.
Hampir Sui
Cin tertawa bergelak melihat sikap dan mendengar bicaranya kakek itu. Akan
tetapi karena Kui Hong nampak ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan
kiri, dia pun diam saja.
"Mari
kita kembali ke penginapan," katanya dan Kui Hong hanya mengangguk. Di
dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi
sebelah sana, Sui Cin berkata, "Tidak kusangka, kiranya pemuda itu adalah
seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali."
"Hemm,
belum tentu, Ibu."
"Belum
tentu bagaimana?"
"Siapa
tahu dia itu... dia itu...," Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding
ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan kepada mereka
tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa.
Setelah
mereka tiba di dalam kamar penginapan, Kui Hong masih tampak takut dan ngeri.
"Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah
tidak?"
"Bagaimana
aku tahu?" jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi.
"Kenapa
Ibu tidak tahu?"
"Anakku
yang baik, kalau Ibumu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibumu jujur dan tidak
mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu
dengan setan, walau pun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu
dengan setan."
"Ihh!
Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan?"
"Benar,
kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal
yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan
lain-lain. Menarik sekali, bukan? Dan jika Ibu sudah bercakap-cakap dengan
setan sendiri, barulah Ibu dapat menjawab pertanyaan setan itu ada ataukah
tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng di
dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itu pun
tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu di
antara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau
bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya."
"Kalau
begitu, apakah ada setan yang palsu? Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka
pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat
yang dihuni makhluk halus?"
"Tentu
saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal
sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat
benda-benda aneh dan menakutkan, yang sebetulnya hanyalah benda biasa saja. Di
waktu malam, sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa bagi orang yang
sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu
saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena
khayalan inilah yang kumaksudkan bukan makhluk halus yang sebenarnya, tapi
hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa
takut seperti itu merupakan suatu kebodohan, bukan? Takut akan sesuatu yang
sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut? Kepercayaan akan setan
membuat orang menjadi takut dan takhyul!"
"Tapi,
apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?"
Ceng Sui Cin
tersenyum. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada
ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu
dengannya. Kalau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu
akan keadaannya? Siapa tahu dia ada namun tidak nampak? Jadi lebih tepat jika
kukatakan tidak tahu saja."
"Tapi
Ibu tidak takut?" .
Ibunya
menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan
yang belum pernah kutemui?"
"Kabarnya
setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan
siluman?"
"Yang
jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, aku pun
tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan oleh setan, akan tetapi
yang tampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita
hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang
tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita membicarakan tentang
setan-setan? Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu
tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah
kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat
sajak yang indah, juga cerita mengenai dia menggulingkan perahu para kongcu
kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela
gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang."
"Sayang
dia tidak mau menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai di mana
kelihaiannya," kata Kui Hong penasaran.
"Hush,
jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan secara
baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat
lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat,
anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan
penindasan terhadap kaum lemah, bolehlah kita turun tangan menentangnya seperti
yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan
seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja
kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan
persahabatan, bukan perkelahian."
"Aku
juga tidak memusuhinya, Ibu, sesudah tahu bahwa dia adalah seorang pendekar.
Hanya ingin menguji sampai di mana kepandaiannya."
Tanpa terasa
mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur akibat
pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah
pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran.....
Tiba-tiba
telinganya yang terlatih dan tajam itu mendengar suara yang tidak wajar di atas
genteng, seperti suara seekor kucing yang berjalan dengan lembut. Sebagai
seorang ahli silat tingkat tinggi, Kui Hong merasa curiga dan dia pun sudah
siap siaga, dengan seluruh urat syaraf menegang.
Bulu
tengkuknya tiba-tiba meremang saat dia melihat bayangan berkelebat di luar
jendela kamar yang gelap itu, sebab dia teringat akan setan-setan.
Jangan-jangan iblis yang lewat di depan jendela tadi, karena gerakannya
demikian cepat dan bayangan itu pun semakin lama semakin membesar!
Kalau
menghadapi lawan manusia, betapa pun lihainya, Cia Kui Hong tidak akan mundur
meski setapak pun. Akan tetapi kalau harus melawan siluman, hiihh, belum
apa-apa bulu tengkuknya sudah meremang, tengkuknya terasa dingin dan jantungnya
berdebar keras, tubuhnya pun agak gemetar!
Kedua
matanya terbelalak memandang bayangan yang makin membesar di luar jendela.
Bayangan itu dapat nampak dari kertas yang menempel pada jendela, tentunya
bayangan seorang laki-laki karena tubuhnya kelihatan tegap, bukan seperti tubuh
wanita walau pun bayangan itu tentu saja tidak nampak jelas.
Karena rasa
takut terhadap bayangan yang disangkanya iblis itu, yang muncul dari dalam
pikiran Kui Hong sendiri karena sarat dengan gambaran-gambaran tentang iblis,
seketika Kui Hong kehilangan kegagahannya dan dia pun menyentuh kaki ibunya.
"Ibu,
Ibu, bangunlah...," bisiknya.
Sui Cin
adalah seorang pendekar wanita. Ketidak wajaran sedikit saja sudah cukup untuk
membuatnya tergugah dari tidurnya dan begitu sadar, dia pun telah bangkit duduk
dengan cepat.
"Ada
apa?" bisiknya kembali.
"Lihat...!"
Kui Hong menunjuk ke arah jendela.
"Srttt...!
Srttt...!"
Nampak dua
sinar merah kecil meluncur dari tangan pendekar wanita ini ke arah jendela dan
ternyata dia telah menyerang bayangan itu dengan jarum-jarum merahnya yang amat
lihai. Jarum-jarum kecil itu meluncur lalu menembus kain dan kertas jendela,
menyerang langsung bayangan yang berdiri di luar jendela, bayangan yang nampak
sebentar besar sebentar kecil.
"Hemmm...!"
Terdengar seruan kaget dan bayangan itu pun lenyap!
Dengan
sekali lompat Sui Cin sudah berada di dekat jendela, membukanya dan meloncat
keluar, dikuti oleh Kui Hong. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di luar,
hanya lampu gantung yang berada di ruangan luar kamar itu bergoyang-goyang.
Melihat betapa orang yang diserang ibunya itu selain dapat menyelamatkan diri,
juga dapat demikian cepatnya menghilang, kembali Kui Hong bergidik.
"Dia
tentu iblis, Ibu...," katanya dengan suara gemetar.
Sui Cin
mengerutkan alisnya. Percuma saja kalau mengejar atau mencoba untuk mencari
orang tadi karena tentu sudah bersembunyi dan menghilang, dan jika dia mengejar
tentu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak menguntungkan saja. Dia cepat
mendekati jendela lantas meneliti ke bawah. Di bawah sinar lampu gantung dia
melihat jelas bekas sepatu di bawah jendela, menginjak lantai yang berdebu.
"Dia
bukan setan, melainkan manusia biasa. Lihat telapak sepatunya di sini,"
katanya.
Kui Hong
juga memeriksa tapak kaki itu. "Aih, betapa bodohku, Ibu. Kalau aku tadi
tidak takut setengah mati dan langsung menerjang keluar, mungkin aku dapat
menangkapnya. Akan tetapi... hiiih, kenapa bayangannya bisa membesar dan
mengecil seperti itu? Kalau bukan setan..."
Sui Cin
tersenyum. "Itu adalah permainan sinar lampu, Kui Hong. Masuklah dan kau
lihat bayanganku di balik jendela."
Kui Hong
melompat masuk kamar, menutupkan daun jendela dan ketika ia melihat, benar
saja, bayangan ibunya menjadi kecil, kemudian membesar, persis seperti bayangan
orang tadi. Ibunya kemudian masuk.
"Mengertikah
engkau? Lampu itu tergantung di sana. Kalau orang itu mundur dari jendela
mendekati arah lampu, tentu saja bayangannya akan menjadi besar dan sebaliknya
kalau dia menjauhi lampu, menghampiri jendela, bayangannya akan mengecil."
Ingin
rasanya Kui Hong menampar kepalanya sendiri. "Betapa tololnya aku, Ibu!
Sungguh mati, tadi kusangka dia adalah seorang iblis. Untung aku tidak mengompol
saking seram dan takutku!" Gadis itu cekikikan teringat akan ulahnya
sendiri.
"Nah,
itulah. Jangan mudah membiarkan batin dicengkeram oleh rasa takut! Takut timbul
karena keraguan dan ketidak mengertian. Kalau ada sesuatu, selidiki saja dulu
agar tidak menimbulkan keraguan dan ketakutan. Rasa takut memang dapat membuat
batin menjadi tumpul sehingga orang bisa melakukan hal yang lucu-lucu,
aneh-aneh dan tolol sekali."
"Tapi,
siapakah orang itu, Ibu?"
"Aku
tidak tahu. Jelas dia seorang laki-laki, dan tentu memiliki ilmu kepandaian
silat yang cukup baik. Kalau tidak, tentu dia telah terkena serangan
jarum-jarumku tadi. Mungkin dia seorang pencuri biasa yang mempunyai sedikit
kepandaian. Serangan jarum itu pun tidak terlampau berbahaya sebab sudah menembus
kain dan kertas jendela, dan aku pun tidak bermaksud mencelakai orang yang
belum diketahui jelas kesalahannya."
"Akan
tetapi dia telah mengintai kamar ini!"
"Mungkin,
akan tetapi siapa tahu dia hanya kebetulan lewat saja? Sudahlah, sebaiknya mulai
sekarang kita berhati-hati dan kau tidurlah."
***************
Malam itu
terlewat tanpa ada suatu gangguan lagi dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali mereka sudah bangun, mandi, sarapan pagi lalu berkemas karena mereka
hendak melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju lautan selatan di mana Pulau
Teratai Merah berada, tempat tinggal Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu ayah
dan ibu Ceng Sui Cin.
Karena
puterinya ingin melakukan perjalanan secepatnya, Sui Cin lalu membeli dua ekor
kuda di tempat itu. Dengan menunggang kuda mereka kemudian membalap menuju ke
selatan.
Menjelang
senja mereka sudah tiba di luar kota Siang-tan dan di jalan yang sunyi ini, di
luar sebuah rawa-rawa, tiba-tiba saja bermunculan belasan orang laki-laki
menghadang di tengah jalan dan ada pula yang memasang tali melintang setinggi
dada. Melihat rintangan ini, terpaksa Sui Cin dan puterinya menahan kendali
kuda mereka karena kalau mereka menerjang terus, kuda mereka akan tersangkut
tali dan dapat menyebabkan kuda mereka terjungkal.
"Hemm,
mau apa kalian menghadang perjalanan kami?" bentak Kui Hong marah dan dia
segera meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas lalu dia menghampiri mereka
yang menghadang di tengah jalan.
Dua orang
itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh
kagum. "Ha-ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap.
Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!" kata seorang di
antara mereka.
"Ha-ha-ha,
dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal."
"Dan
lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul
mereka!"
"Dan
dua buntalan besar itu banyak isinya!"
Maklumlah
Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir
kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin segera melompat turun dan
berkata. "Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku
menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam."
Kui Hong
merasa kecewa sebab dia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok
itu, akan tetapi dia tidak berani membantah perintah ibunya. Dia lalu memegangi
kendali dua ekor kuda itu supaya tidak melarikan diri sambil melihat betapa
dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu.
"Heh-heh,
yang muda bagaikan bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang telah
masak. Keduanya cantik menarik, he-heh-heh!" kata orang tinggi besar muka
hitam yang agaknya menjadi pemimpin kawanan perampok itu. "Kawan-kawan,
tangkap mereka! Jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar
untuk kalian semua."
Wajah Sui
Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi dengan tenang dia maju
terus. "Kalian ini orang-orang tidak tahu malu, hendak merampok dua orang
wanita yang tengah melakukan perjalanan. Apakah seorang di antara kalian
semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?"
Mendengar
pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar bermuka
hitam tertawa, diikuti pula oleh para anak buahnya. "Manis, kalau aku
mengintai kamarmu semalam, apa kau kira aku sudah melepaskanmu pula hari ini?
Ha-ha-ha!"
"Plakk!"
Tamparan
tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tak terlihat oleh kepala perampok
itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu telah menampar pipi kanan
Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja.
"Aughhhh...!"
Tubuhnya
terpelanting lalu dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi
itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir
kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main
tamparan Sui Cin yang merasa amat marah karena dia telah dihina dengan
kata-kata yang kotor.
Melihat
pemimpin mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi sangat marah dan
mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong.
Gadis remaja ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda
yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok
telah bangkit lagi dan dia pun mencabut goloknya setelah kepalanya tidak pening
lagi.
"Bedebah,
tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan dia
sampai minta-minta ampun kepadaku."
Akan tetapi
dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja
orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali
bukan merupakan lawan yang tangguh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju
menyerang tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang
gerakannya amat cepat itu. Namun Sui Cin tak mau membunuh orang, maka tenaga
yang digunakan dalam pukulan dan tendangan itu terbatas.
Juga mereka
yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini
menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur.
Selagi para
perampok itu kacau balau akibat terkena pukulan Sui Cin serta tendangan ibu dan
anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hentikan semua itu!"
Para
perampok segera menghentikan gerakan mereka. Ketika mereka menoleh kemudian
melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja
mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah
ketakutan.
"Can
Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami...," kepala perampok itu
meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua
tangan) kepada pemuda itu.
Sui Cin dan
Kui Hong juga turut memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda
itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang kemarin mereka lihat di Telaga
Tung-ting! Sungguh mudah mengenali kembali pemuda ini, karena selain wajahnya
yang tampan serta matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat
pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal.
Pemuda itu
tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun kepadanya. Dia
menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru sekarang dia mengenal lagi
dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan
menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu.
"Ahh,
kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu
kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis."
Wajah Kui
Hong menjadi merah dan dia mengerutkan sepasang alisnya, akan tetapi pada waktu
dia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu
main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi,
maka dia pun tidak menjadi marah-marah.
"Mereka
semua berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?" dara yang
lincah dan galak ini mengejek.
Kalau
dugaannya itu memang benar, tentu pemuda ini akan diserangnya, karena kini dia
tidak akan dipersalahkan oleh ibunya. Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu
dia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walau pun ibunya selalu melarang
agar jangan sampai dia membunuh orang.
Mendengar
pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik
sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran serta wibawa yang ada pada
pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang terbayang lewat senyuman
itu.
"Nona,
mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan
salahku bila mereka kenal dan takut padaku karena di daerahku ini aku memang
dikenal sebagai pembasmi tikus-tikus. Nah, karena tikus-tikus ini sudah
berkeliaran di daerahku, bahkan sudah mengganggu Bibi dan engkau Nona, maka
katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"
"Bunuh
saja mereka!" bentak Kui Hong.
Pemuda itu
nampak terkejut, akan tetapi dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membunuh
mereka."
Para
perampok itu segera berseru mohon ampun dengan wajah ketakutan. Melihat betapa
pemuda itu agaknya benar-benar hendak membunuh mereka atas perintah Kui Hong,
Sui Cin berseru, "Tahan! Jangan bunuh mereka, kalau hendak membunuh pun,
bukan karena permintaan anakku!" Kemudian kepada Kui Hong dia pun berkata,
"Kui Hong, engkau tak boleh menyuruh dia membunuh orang!"
"Aku
tidak menyuruh siapa-siapa, dia tadi bertanya dan aku menjawab, bukan berarti
aku menyuruh dia untuk membunuh. Mau membunuh atau tidak adalah urusannya dan
tidak ada sangkut pautnya denganku!" jawab Kui Hong.
Pemuda itu
tersenyum. "Nah, tikus-tikus busuk, Nona kalian telah memberi ampun, tidak
lekas menghaturkan terima kasih dan menggelinding pergi?"
Dengan
diikuti oleh para anak buahnya Si Muka Hitam itu lalu berlutut dan bersoja
kepada Kui Hong dan Sui Cin, mohon ampun, kemudian mereka pergi sambil memapah
teman-temannya yang terluka babak belur terkena tamparan dan tendangan tadi.
Setelah
mereka pergi, pemuda itu segera menjura kepada Sui Cin. "Sungguh aku
merasa malu dan menyesal sekali. Tempat ini merupakan daerahku, maka sedikit
banyak aku ikut bertanggung jawab atas peristiwa perampokan ini. Lain kali
semua perampok di sini akan kubersihkan. Bibi yang gagah perkasa, perkenalkanlah,
aku bernama Can Sun Hok."
Melihat
sikap orang yang ramah dan sopan, Sui Cin juga balas menjura. "Namaku Ceng
Sui Cin dan ini puteriku bernama Cia Kui Hong."
"Ahh,
Bibi dari keluarga Cia? Aku pernah mendengar tentang keluarga Cia yang menjadi
pimpinan Cin-ling-pai, apakah...?"
"Ketua
Cin-ling-pai adalah kakekku!" kata Kui Hong cepat-cepat. Dia merasa bangga
juga bahwa nama keluarganya terdengar dan dikagumi sampai sejauh ini.
"Ahh,
saya telah bersikap kurang hormat!" Tiba-tiba pemuda yang bernama Can Sun
Hok itu menjura sampai dalam. "Harap Locianpwe dan Nona sudi memaafkan
kalau tadi saya bersikap kurang hormat karena tak mengenal ji-wi. Nama besar
keluarga Cia sudah lama saya dengar dan saya kagumi, terimalah hormat
saya." Dan kembali dia menjura kepada Sui Cin dan Kui Hong. Sui Cin merasa
canggung juga mendapat kehormatan yang amat berlebihan itu.
"Ahhh,
Can-kongcu bersikap terlalu sungkan. Engkau sendiri juga seorang pendekar yang
gagah perkasa, harap jangan sebut Locianpwe kepadaku dan kepada Kui Hong."
"Ahh,
mana saya berani selancang itu?" kata Can Sun Hok.
"Kenapa
engkau begini rewel dan banyak sungkan-sungkan? Ibuku telah memerintahkan
demikian, maka biarlah aku yang menyebutmu Toako!" kata Kui Hong yang kini
berbalik merasa suka kepada pemuda itu yang selalu memperlihatkan keramahan dan
kesopanan.
Mendengar
ucapan itu, Can Sun Hok kembali tersenyum dan mengangguk-angguk. "Saya
tidak bermimpi apa-apa semalam, akan tetapi ternyata kini memperoleh kehormatan
yang sangat besar! Baiklah, Bibi, dan engkau Adik Kui Hong, aku yang sudah
yatim piatu kini seolah-olah memperoleh keluarga lagi. Aihh, kalau Bibi dan
Adik merasa kasihan kepada saya dan sudi menerima undangan saya, maka saya
mempersilakan Ji-wi (Anda Berdua) untuk singgah di rumahku yang terletak di
Siang-tan, kota di depan itu. Tidak mungkin kita berpisah begini saja sesudah
Thian mempertemukan kita di tempat yang tak terduga-duga."
Karena
perjalanan mereka malam itu memang melewati Siang-tan dan harus bermalam di
tempat itu, Sui Cin tidak merasa keberatan. "Terima kasih, Kongcu..."
"Aih,
Bibi! Setelah aku tidak sungkan lagi, kenapa Bibi masih menyebut Kongcu padaku?
Namaku Can Sun Hok, harap Bibi suka menganggap aku sebagai keponakan Bibi
sendiri saja."
Sui Cin
tersenyum dan merasa semakin suka kepada pemuda yang ramah ini. "Baiklah,
Sun Hok, kami menerima undanganmu dan kuucapkan terima kasih. Akan tetapi,
karena engkau hidup sebatang kara, apakah kehadiran kami tidak akan
merepotkanmu?"
"Tidak
sama sekali, Bibi. Aku mempunyai banyak pelayan di rumah."
"Ha,
engkau seorang yang kaya rupanya!" Kui Hong berseru. "Akan tetapi
tidak mengapa, yang kubutuhkan hanya agar engkau suka melayani aku untuk
pi-bu."
"Hah?!"
Sun Hok terbelalak. "Pi-bu?"
"Ya,
adu silat secara persahabatan. Tidak apa-apa, bukan? Aku sudah mendengar bahwa
engkau dapat menggulingkan perahu, dan aku melihat engkau merobohkan tukang
pukul di tepi Telaga Tung-ting, maka aku ingin sekali mencoba ilmu
kepandaianmu!"
"Kui
Hong! Bersikaplah sopan dan ramah, kau jangan kurang ajar!" Sui Cin
membentak puterinya.
"Tidak
apa-apa, Bibi. Adik Kui Hong ini lucu bukan main, aku suka padanya. Akan
tetapi, Adikku, mana aku berani mengadu ilmu dengan cucu ketua Cin-ling-pai?
Jangan-jangan belum sampai sepuluh jurus aku sudah akan keok!"
"Apa
itu keok?" Kui Hong bertanya, karena memang dia tak pernah mendengar
istilah itu.
"Ayam
itu jika diadu dan kalah, bukankah lalu mengeluarkan bunyi keok-keok? Nah, keok
berarti kalah."
Kui Hong
tertawa geli dan merasa lucu sekali. Mereka lalu menunggang kuda masing-masing
dan mengikuti Sun Hok yang mengajak mereka ke rumahnya. Sui Cin mengambil
keputusan untuk melihat keadaan rumah pemuda itu. Kalau terlalu merepotkan, dia
akan mengajak puterinya untuk bermalam di rumah penginapan saja.
Akan tetapi,
apa yang dilihatnya sungguh jauh di luar dugaannya. Sebuah rumah gedung yang
besar sekali, seperti istana dan pantasnya menjadi rumah seorang bangsawan dan
hartawan besar! Dan kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan
laki-laki yang mengurus tiga ekor kuda itu. Ketika pemuda itu mengajaknya masuk
ke rumah gedung itu, dua orang pelayan wanita yang berpakaian serba bersih
segera menyambut mereka dan memberi hormat dengan ramah.
Bukan hanya
Sui Cin yang terheran-heran, bahkan sekarang Kui Hong juga memandang dengan
takjub. Pada waktu mereka memasuki ruangan depan, dinding itu penuh dengan
lukisan-lukisan sajak berpasangan yang serba indah, lantainya mengkilat putih,
ada pun perabot-perabot rumah juga terdiri dari barang-barang mewah yang
semuanya indah dan mahal!
"Can-toako...
ini... ini rumahmu sendiri?" Kui Hong bertanya heran.
Sun Hok
tersenyum. "Benar, Adik Kui Hong. Ini rumahku, peninggalan dari ayahku
yang sudah menerima warisan dari kakekku pula. Kakekku adalah bekas gubernur di
Ning-po, dia juga seorang pangeran..."
"Ahh,
kiranya engkau seorang bangsawan!" kata Sui Cin kaget.
"Bukan
bangsawan, Bibi, melainkan keturunan bangsawan saja. Mendiang ayahku sudah
tidak memegang jabatan walau pun kakekku adalah seorang bekas gubernur dan
seorang pangeran. Ada pun aku sendiri... ah, agaknya aku hanya kebagian
menghabiskan warisan mereka saja."
Mendadak
muncul seorang nenek yang membuat dua orang tamu itu terkejut. Kalau para pelayan
yang lain nampak rapi dan bersih, nenek ini terlihat amat menakutkan. Seorang
nenek yang usianya sudah tua sekali, sedikitnya tentu tujuh puluh tahun,
mukanya hitam dan bopeng penuh bekas cacar, sedangkan matanya lebar menakutkan.
Wajahnya
tentu akan menakutkan seorang anak-anak, bahkan Kui Hong juga terbelalak
memandang. Gadis ini kembali teringat akan dongeng tentang setan dan iblis.
Nenek ini agak bungkuk, pakaiannya serba hitam dan memegang sebatang tongkat.
"Kongcu
baru pulang?" tanya nenek itu, tanpa mempedulikan dua orang tamunya.
"Benar,
Lo-bo, harap beri tahukan kepada pelayan supaya mempersiapkan sebuah kamar
besar untuk dua orang tamu terhormat ini, sekalian siapkan pula air hangat
untuk mandi, kemudian hidangan yang cukup untuk kami makan malam. Lo-bo, ini
adalah Bibi Ceng Sui Cin dan puterinya, Adik Cia Kui Hong."
Nenek itu
nampak amat terkejut, memandang pada dua orang tamunya, sejenak matanya
terbelalak dan mencorong, lalu dia menunduk dan membungkuk sebagai tanda
hormat.
"Selamat
datang, Toanio dan Siocia!" katanya, kemudian dia pun membalikkan badan
dan terseok-seok berjalan pergi dibantu tongkatnya.
Melihat
betapa kedua orang tamunya kelihatan terkesan oleh kemunculan nenek itu, Sun
Hok cepat berkata menjelaskan, "Ia adalah Wa Wa Lo-bo, seorang pembantu
yang setia, yang sudah menjadi pembantuku sejak aku masih bayi. Karena
kesetiaannya, maka aku merasa kasihan kepadanya dan membolehkan dia hidup di
sini sampai selamanya untuk membalas budinya. Dialah yang dulu mengasuh dan merawat
aku sejak aku bayi."
Mereka lalu
diajak memasuki ruangan dalam, yaitu sebuah ruangan yang lebih indah lagi,
penuh dengan gorden-gorden sutera yang serba indah. Mereka duduk berhadapan di
atas kursi-kursi dan meja yang diukir indah.
"Kita
duduk di sini dahulu sambil menanti dipersiapkannya kamar Ji-wi dan juga
keperluan mandi. Sesudah mandi kita akan makan bersama di ruangan makan,"
kata Can Sun Hok, nampaknya gembira sekali menerima dua orang tamunya ini.
Diam-diam
Sui Cin memperhatikan tuan rumah yang masih muda akan tetapi kaya raya ini.
Seorang pemuda yang usianya masih kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan
dan tubuhnya tegap. Pakaiannya sederhana, tidak sesuai dengan keadaan rumah
gedung yang mewah seperti istana itu. Wajahnya yang tampan itu penuh wibawa,
pendiam dan nampak bengis, akan tetapi ada kalanya seperti sekarang ini,
perangainya nampak halus dan sikapnya ramah.
Yang masih
membuat Sui Cin menduga-duga adalah tentang ilmu silatnya. Sulit menaksir
sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Pada saat mempelajari keadaan
pemuda ini timbul suatu gagasan dalam pikiran Sui Cin. Pemuda ini sungguh
merupakan seorang pemuda yang baik, dan agaknya tidak akan mengecewakan apa
bila menjadi calon jodoh puterinya! Cukup tampan, kaya raya, lihai dan
berperangai baik, bahkan jelas dia seorang pendekar kalau melihat sepak
terjangnya baru-baru ini.
Akan tetapi
Sui Cin tidak tahu bahwa diam-diam Kui Hong juga memperhatikan pemuda itu dan
puterinya itu mempunyai pendapat sendiri. Seorang pemuda yang sangat tampan dan
gagah, akan tetapi agak aneh dan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong itu
mencurigakan, pikir Kui Hong!
Entah
mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi Kui Hong mempunyai perasaan kurang
suka kepada pemuda ini! Seorang yang menyembunyikan sesuatu, seorang yang
palsu, pikir Kui Hong.
Tak lama
kemudian Sui Cin mulai menyelidiki keadaan pemuda itu secara tidak langsung,
dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepintas lalu nampak biasa saja, "Sun
Hok, sungguh janggal sekali menyebutkan namamu begitu saja seakan-akan kita
masih ada hubungan keluarga, padahal engkau adalah seorang pemuda yang kaya
raya. Akan tetapi, melihat usiamu yang tentu tak akan lebih dari dua puluh
tahun, tentu orang tuamu juga belum tua benar. Akan tetapi, mengapa engkau
telah menjadi seorang yatim piatu? Apa yang telah terjadi dengan orang
tuamu?"
Pemuda itu
menarik napas panjang kemudian menundukkan mukanya, kelihatan berduka sehingga
ibu dan anak itu semakin tertarik dan menanti penuh perhatian.
"Ah,
memang sejak masih bayi nasibku amat buruk, Bibi. Ibu kandungku meninggal dunia
saat aku berusia tiga tahun, kemudian ketika aku berusia belasan tahun, ayah
kandungku meninggal pula karena sakit. Sejak kecil, sejak berpisah dari ibu,
aku dirawat dan diasuh oleh Wa Wa Lo-bo, malah setelah ayah meninggal, Wa Wa
Lo-bo yang terus mendidikku, memanggil guru-guru baca tulis, bahkan mencarikan
sastrawan-sastrawan yang terpandai dengan bayaran mahal untuk mendidik aku
"
"Hemm,
pantas sekali engkau demikian pandai membuat sajak!" kata Kui Hong kagum.
"Dan
siapakah yang sudah mengajarkan ilmu silat kepadamu? Engkau tentu memiliki ilmu
silat yang tinggi sekali dan gurumu tentu seorang tokoh persilatan yang sangat
terkenal!" kata Sui Cin memancing.
Pemuda itu
kembali menarik napas panjang. Nampak jelas bahwa dia sama sekali tidak suka
membicarakan tentang hal itu. "Bibi yang baik, aku mempelajari ilmu silat
hanyalah sebagai bekal untuk suatu tujuan. Selama ini aku berusaha
menyembunyikan kepandaian silatku, dengan maksud untuk kelak dapat kupakai
melaksanakan tujuan itu, tapi ternyata tak lepas dari pengamatan Bibi yang amat
tajam. Sesungguhnya aku... aku agak merasa kikuk dan canggung untuk bicara soal
ilmu silat, karena sesungguhnya ilmu silatku belum berapa tinggi dan masih jauh
dari pada cukup untuk melaksanakan tujuan yang kupendam sejak aku kecil itu,
Bibi!"
"Hemm,
untuk tujuan balas dendam, bukan?"
Tiba-tiba
saja pemuda itu meloncat dari kursinya dan memandang kepada wajah nyonya itu
dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. "Bagaimana Bibi... bisa
mengetahui hal itu...?" tanyanya gagap.
Sui Cin
tersenyum dan melambaikan tangannya. "Duduklah dan jangan kaget, jangan
pula khawatir orang muda. Tidak sulit untuk menduga demikian. Engkau kehilangan
ayah dan ibu semenjak masih kecil dan aku menduga bahwa kematian mereka, atau
satu di antara mereka tentu karena dibunuh orang. Dan engkau menyembunyikan
ilmu silatmu, dengan maksud tertentu dan karena kuhubungkan dengan dugaan bahwa
orang tuamu mungkin dibunuh orang, maksud apa lagi kalau bukan balas
dendam?"
Pemuda itu
memandang kagum. "Ahh, sungguh, luar biasa sekali ketajaman pikiran Bibi!
Kalau begitu, Bibilah tempat aku bertanya. Telah lama aku dibikin pusing oleh
keadaanku ini. Bibi yang terhormat, bolehkah aku bertanya dan kumohon Bibi suka
memberi nasehat kepadaku yang selama ini seperti orang dalam gelap, maukah Bibi
memberi penerangan kepadaku?"
Sui Cin
tersenyum lagi. Pemuda ini sungguh membuat dia merasa suka sekali, demikian
penuh rahasia, akan tetapi juga demikian rendah hati dan ramah. "Tanyalah,
orang muda, jika aku dapat memberi nasehat tentu aku akan membantu memikirkan
masalah apa yang memusingkan hatimu."
"Begini,
Bibi Ceng. Terus terang saja, mendiang ibu kandungku adalah seorang yang dulu
pernah melakukan kejahatan, bahkan dikenal jahat bukan main, seorang tokoh
sesat kata orang-orang dunia persilatan. Nah, biar pun aku sendiri tidak pernah
melihat buktinya, tapi setelah mendengar bahwa Ibu kandungku adalah seorang
yang amat jahat, lalu apa yang harus kulakukan? Baikkah kalau aku berbakti
kepadanya?"
Pertanyaan
itu sangat mengejutkan hati Sui Cin. Biar pun hatinya ingin sekali tahu siapa
gerangan ibu kandung pemuda ini, namun tentu saja dia tidak berani bertanya
karena hal itu bukan merupakan urusannya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengannya. Dan pertanyaan itu pun membuat ia menjadi bingung. Apa yang harus
dilakukannya andai kata dia sendiri yang demikian? Dan bagaimana dia harus
menjawab?
Keraguan ini
bangkit karena Sui Cin merasa bahwa dahulu ibu kandungnya sendiri juga adalah
seorang tokoh sesat, bahkan seorang datuk sesat! Ibunya, yang bernama Toan Kim
Hong, dahulu sebelum menikah dengan ayahnya terkenal sebagai datuk sesat yang
berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), seorang datuk sesat yang seolah-olah
menjadi raja di antara orang-orang jahat!
Ah,
pikirnya, kini ibunya telah menjadi orang baik-baik, malah menjadi seorang
pendekar. Jadi, jika ibu kandung pemuda ini dahulunya jahat, tak boleh
dikatakan bahwa selamanya akan menjadi jahat. Hanya bedanya, ibu kandung pemuda
ini telah meninggal dunia!
"Can
Sun Hok, tidak ada yang abadi di dunia ini," jawabnya. "Orang yang
tadinya disebut baik, belum tentu baik selamanya dan yang jahat belum tentu
jahat selamanya. Terhadap seorang ibu, tentu saja seorang anak harus berbakti
apa pun kata orang terhadap ibunya, baik mau pun buruk. Berbakti kepada orang
tua merupakan kewajiban utama bagi seorang anak."
"Ibuku
sudah meninggalkan aku sejak bayi, Bibi, meninggalkan aku dalam asuhan Nenek Wa
Wa Lo-bo bersama ayahku yang tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak. Ibuku
tewas terbunuh orang. Nah, bagaimana pendapat Bibi? Haruskah aku membalas
dendam kematian ibuku. Mencari pembunuh ibuku itu dan membalas dengan
membunuhnya demi kebaktianku terhadap ibuku?"
Bagaimana
pun juga Sui Cin tidak berani langsung menyatakan pendapatnya karena dia
menghadapi urusan orang lain. Dia membayangkan seandainya ibu kandungnya
dibunuh orang, dengan alasan apa pun juga, sudah pasti dia akan mencari
pembunuh ibunya itu dan membalas dendam! Walau pun dia memiliki pandangan
sendiri tentang cara berbakti, akan tetapi sanggupkah dia menahan sakit hatinya
kalau terjadi musibah menimpa dirinya seperti yang telah menimpa diri pemuda
ini?
"Bagaimana
pendapat ayahmu?" tanyanya untuk mencari waktu.
Pemuda itu menarik
napas panjang. "Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tiga tahun.
Setelah aku mengerti, ayah selalu menghindari pertanyaanku tentang ibuku dan
aku tahu bahwa ayah agaknya membenci atau setidaknya dia tidak suka kepada ibu.
Biar pun dia tidak pernah mengatakan sesuatu, tapi aku hampir yakin bahwa ayah
tidak peduli tentang kematian ibu dan tentu tidak setuju kalau aku membalas
dendam. Ketika aku berusia dua belas tahun, ayahku meninggal dunia karena
sakit."
"Aiihhh,
sungguh malang sekali nasibmu, Can-toako," kata Kui Hong sambil memandang
dengan sinar mata mengandung iba. Ternyata pemuda yang amat pandai dan kaya
raya ini hanya pada luarnya saja nampak hidup senang, padahal nasibnya amat
buruk.
"Jadi,
semenjak berusia dua belas tahun, engkau hanya hidup berdua saja dengan Nenek
Wa Wa Lo-bo itu?" tanya Sui Cin, teringat akan nenek yang wajahnya
menyeramkan tadi.
"Bukan
sejak dua belas tahun, bahkan boleh dibilang semenjak lahir Nenek Wa Wa Lo-bo
itulah yang merawat dan kemudian mendidik aku. Seingatku, pada saat masih amat
kecil sekali pun yang mengasuh aku selalu adalah nenek itu. Mungkin sejak kecil
mendiang ibu tidak peduli kepadaku." Wajah pemuda itu nampak diliputi awan
duka.
"Dan
dia pula yang memanggil guru-guru yang pandai untuk mendidik dan mengajarmu.
Apakah dia pula yang memanggil seorang guru silat, dan siapakah ahli silat yang
sudah mendidikmu, Sun Hok?"
"Dalam
segala ilmu kepandaian, Nenek Wa Wa Lo-bo selalu mencarikan guru yang terbaik
dengan bayaran mahal. Akan tetapi tentang ilmu silatku yang tidak ada artinya
ini, hanya mengenal satu dua pukulan, semua dilatih oleh Nenek Wa Wa
sendiri."
"Aihhhh...!"
Sui Cin terkejut dan memandang terbelalak. "Kalau begitu nenek itu tentu
lihai bukan main." Dia lalu mengingat-ingat, akan tetapi tak pernah
rasanya mendengar tokoh kang-ouw yang bernama Wa Wa Lo-bo. "Tetapi rasanya
belum pernah aku mendengar nama besarnya."
"Nenek
Wa Wa memang tak pernah berurusan dengan dunia kang-ouw. Dan sejak dahulu dia
adalah pengasuh mendiang ibuku, yang sengaja ditinggalkan ibu untuk mengasuh
dan merawatku." Sun Hok yang sejak tadi membiarkan percakapan membelok ke
arah lain, kini bertanya lagi. "Akan tetapi, Bibi Ceng, aku masih menanti
jawabanmu tentang niatku membalas dendam untuk berbakti kepada mendiang
ibuku."
"Hemm,
sebelum aku menjawab, katakan dulu bagaimana pendapat nenek yang menjadi
pengasuh dan juga gurumu itu? Mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?"
Sun Hok
menarik napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. "Sudah berulang kali
kutanyakan kepada nenek Wa Wa siapa nama pembunuh ibuku, tetapi dia tidak
pernah mau mengaku, dan mengatakan bahwa belum tiba waktunya bagiku untuk
memusingkan diri mengenai balas dendam karena ilmu kepandaianku masih jauh dari
pada mencukupi. Akan tetapi aku tak pernah bertanya tentang kebaktian
kepadanya, Bibi, karena dia hanya pandai ilmu silat tetapi dalam hal pengertian
hidup tentu saja tak banyak dapat diharapkan darinya. Karena itu, kepada Bibilah
aku memandang dan mengharapkan keterangan yang jelas. Haruskah aku membalas
dendam demi kebaktianku terhadap mendiang ibuku, Bibi Ceng?"
Sekarang
Ceng Sui Cin tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi tadi dia sudah memperoleh
cukup waktu untuk mempertimbangkan jawabannya.
"Sun
Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak mempunyai hak untuk
mencampuri urusan pribadimu. Tapi sesungguhnya balas dendam bukan berarti
berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran amarah dan kebencian yang
ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas
dendam timbul akibat adanya kebencian, bukan karena keinginan berbakti.
Seharusnya berbakti bersifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak.
Tadi kau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kau ketahui,
dahulu mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan
kejahatan. Nah, kalau dia meninggal karena melakukan kejahatan, maka
bagaimanakah pendirianmu? Jika engkau tetap hendak membela ibumu, bukankah
berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya?
Andai kata kini ibumu masih hidup, maka kebaktianmu bisa diwujudkan dengan
menasehati dan menyadarkan ibumu dari pada penyelewengan dan kesesatan. Namun
kini beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau hendak
berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang sudah
ternoda oleh kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah melihat dan mendengar bahwa engkau, putera
ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu mereka akan dapat memaafkan
semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang
paling tepat?"
Sun Hok
mengangguk-angguk. "Sudah cukup banyak aku mempelajari kitab-kitab agama
dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan
dengan apa yang Bibi nasehatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng.
Sesungguhnya aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang
kejahatan, membela si lemah yang tertindas. Akan tetapi perasaan tak enak dan
penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku
menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk
menghibur perasaan ini dengan nyanyian, musik, minum arak dan pelesir di
tempat-tempat indah. Namun kegelisahan ini belum juga mau lenyap."
Percakapan
mereka terhenti dengan munculnya Nenek Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya ini demikian
tiba-tiba sehingga sangat mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena tahu-tahu
nenek ini sudah berdiri tegak di ambang pintu ruangan itu tanpa mereka
mendengar suara langkahnya sama sekali. Dengan sikap dingin akan tetapi hormat
nenek itu membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun terdengar jelas.
"Kamar
dan air untuk Toanio dan Siocia telah dipersiapkan, Kongcu."
Agaknya
nenek itu hanya hendak menghadap lantas melapor kepada Sun Hok. Sikapnya bukan
seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap
majikannya. Setelah berkata demikian nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan
muncullah seorang pelayan wanita.
"Antarkan
Toanio dari Siocia ke kamarnya," katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian
pergi.
Sun Hok
agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu dengan sikap nenek itu.
Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya. "Bibi Ceng, Adik Hong,
silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita bertemu lagi nanti di ruangan
makan."
Sui Cin dan
Kui Hong mengangguk. Mereka mengucapkan terima kasih lantas mengikuti pelayan
wanita itu menuju kamar yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui
lorong-lorong, dan merasa semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar
yang menyerupai istana itu benar-benar sangat mewah dan indah, juga begitu
luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan
bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat
indahnya.
Mereka
memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan. Hawa dalam kamar
itu sejuk bukan main karena mendapatkan hawa segar yang langsung masuk dari
dalam taman.
Setelah
mandi dan mengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak.
"Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil sehingga aku
sudah lupa lagi keadaan di sana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah di
sana lebih bagus dari pada yang di Cin-ling-san. Apa bila dibandingkan dengan
rumah Can-toako ini, manakah yang lebih indah, Ibu?" tanya Kui Hong.
Ibunya
tersenyum. "Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga sangat
besar dan indah, akan tetapi agaknya belum semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok
menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu saja
perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!"
"Semua
di sini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga
para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, nenek itu sungguh membuat aku
merasa seram, Ibu."
"Memang
wajahnya sungguh menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia yang
tersimpan di dalam hatinya. Jelas dia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah
mendengar namanya sehingga aku juga tidak tahu orang macam apakah adanya nenek
itu. Tetapi betapa pun juga, kita harus tetap waspada dan berhati-hati dalam
menghadapi orang seperti itu, Kui Hong."
Ketika
mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka merasa kagum
karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat. Can
Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya
sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang amat mewah. Hal ini
membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini.
Ia sendiri
adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walau
pun dia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya. Pemuda ini biar pun
keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan
bu (silat) yang tinggi, tetapi demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong.
Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk
menjadi seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Maka hatinya makin condong untuk
mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini.
Akan tetapi
nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan
di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelas bahwa
para pelayan sudah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek
yang biar pun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu.
Namun nenek
yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini
membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak
bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu
Pada waktu
makan malam itu pun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya.
Nampak jelas betapa pemuda ini amat kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga
kagum dan suka kepada Kui Hong.
Setelah
makan Sun Cok kemudian mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok
sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di
belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang ada di tengah-tengah bangunan,
dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini
luas sekali.
Sun Hok
duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku
sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung,
memikirkan percakapannya dengan nyonya yang amat dikaguminya itu, terutama
tentang dendam dan kebaktian.
"Hemmm,
agaknya kata-kata manis beracun itu sudah mulai menyusup ke dalam hatimu,
Kongcu." Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin.
Sun Hok
maklum bahwa kata-kata itu diucapkan oleh pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu
silat yang baru muncul. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo sudah
berdiri di belakangnya.
"Ahh,kebetulan
engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara denganmu."
"Hemmm,
aku pun ingin bicara denganmu, Kongcu," kata nenek itu sambil duduk di
ujung bangku.
"Aku
mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam."
"Tepat
sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu."
Mendengar
ini, Sun Hok girang bukan main. Sungguh pun sudah sering kali dia bertanya,
akan tetapi nenek ini tidak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya,
tentang siapa pembunuh ibunya.
"Ahh,
Lo-bo yang baik... aku telah siap mendengarkan!" katanya dengan gembira
karena akhirnya nenek itu akan membuka rahasia yang selama ini terus
menggelisahkan hatinya itu. Dia ingin sekali mendengar bagaimana ibunya tewas
dan siapa pula pembunuhnya.
"Nah,
dengarlah baik-baik!" kata nenek itu dengan suara datar. "Sejak muda
ibumu sudah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi
bernama Gui Siang Hwa. Karena dia cantik jelita dan ahli dalam penggunaan
racun, maka ibumu itu dijuluki orang Siang-tok Sian-li (Bidadari Racun Harum).
Ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Akan tetapi dia yang demikian cantik jelita
dan lihai, dulu pernah tergila-gila kepada ayah kandungmu! Ayahmu itu sejak
muda sudah menjadi seorang pemuda bangsawan kaya raya yang tidak ada gunanya,
hanya tampan pesolek dan suka mengejar perempuan cantik. Memuakkan
sekali!"
Nenek itu
terhenti, agaknya dia masih penasaran mengapa gadis secantik Gui Siang Hwa yang
sejak kecil sudah menjadi asuhannya karena sejak muda dia menjadi pelayan Raja dan
Ratu Iblis, sampai mau menyerahkan diri kepada seorang pemuda lemah seperti Can
Koan Ti.
"Lalu
bagaimana, Nek?" Sun Hok mendesak.
"Ayahmu
itu, Can Koan Ti, seperti semua laki-laki macam dia, sebentar saja sudah jemu
dengan ibumu. Ketika ibumu melahirkan engkau, Can Koan Ti sudah bermain gila
dengan banyak wanita yang dilakukannya semenjak ibumu mengandung. Ibumu tak
tahan melihat semua itu, maka sejak engkau lahir akulah yang ditugaskan
mengasuh dan merawatmu, sedangkan ibumu sendiri pergi meninggalkan Can Koan
Ti."
"Terima
kasih atas semua kebaikanmu, Lo-bo," Sun Hok berkata dengan suara
sungguh-sungguh sambil memandang wajah yang tua dan sangat buruk itu. Dia tahu
benar, dapat merasakan betapa nenek ini amat sayang kepadanya.
"Hah,
aku tidak butuh ucapan terima kasih, Kongcu!" Nenek itu mengibaskan
tangannya, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menjadi basah.
Ia memang
sayang sekali kepada pemuda yang sejak bayi diasuhnya itu, bahkan merasa bahwa
pemuda itu seperti anaknya sendiri, seperti darah dagingnya sendiri!
"Lalu
bagaimana selanjutnya?" Sun Hok mendesak.
"Baik,
sekarang kulanjutkan ceritaku. Aku merawatmu di rumah ayahmu, melihat ayahmu
setiap hari hanya berfoya-foya dengan wanita-wanita cantik tanpa mempedulikan
dirimu. Akhirnya dia terkena penyakit yang menyeretnya ke lubang kubur. Engkau
lantas menjadi pewaris tunggal dan aku dengan sekuat tenaga dan kemampuan
berusaha mendidikmu sebagaimana mestinya, seperti yang dikehendaki ibumu."
"Dan
engkau memang sudah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik, terlampau baik
sekali. Terima kasih, Lo-bo."
"Hushh,
sudahlah. Sekarang dengarkan baik-baik. Ibumu adalah seorang petualang yang
gagah perkasa dan ketika ia membantu petualangan suhu dan subo-nya, sepasang
suami isteri sakti yang menjadi raja dan ratu di dunia kang-ouw, pada saat
engkau masih berusia tiga tahun, ibumu tewas...! Aku sudah melakukan
penyelidikan dan ibumu ternyata tewas karena dikeroyok oleh pasukan prajurit
kerajaan, sesudah ibumu dijatuhkan oleh seorang pendekar wanita."
Berkerut
alis Sun Hok yang tebal dan dia pun mengepal tinju. "Kenapa engkau tidak
pergi membunuh wanita itu, Lo-bo?"
"Aihh,
engkau enak saja bicara! Kalau ibumu saja sampai kalah, apa lagi aku! Aku
lantas menggemblengmu sampai sekarang, sampai engkau telah berhasil menguras
semua ilmu yang kumiliki. Sekarang kepandaianmu sudah setingkat dengan
kepandaianku, apa yang menjadi milikku tidak ada yang tidak kau kuasai, bahkan
engkau menang tenaga. Akan tetapi, dengan kepandaian kita berdua sekali pun,
takkan mudah mengalahkan pendekar wanita itu. Engkau masih harus memperdalam
illmumu dan..."
"Aku
tidak takut! Sekarang pun aku tidak takut, dan kalau engkau tidak berani, tidak
perlu turut-turut, biarlah aku sendiri yang menghadapinya. Siapa wanita itu dan
di mana tempat tinggalnya?"
"Aku
tahu bahwa engkau tentu akan nekat membalas dendam bila kuberi tahukan ketika
engkau berkali-kali menanyakan hal itu, akan tetapi karena kuanggap ilmu
kepandaianmu belum cukup, maka aku terus merahasiakannya. Sekarang pun pasti
masih kurahasiakan jika saja Thian tidak menolong kita. Akan tetapi agaknya
Thian menyetujui niat kita untuk membalas dendam, karena kini terbuka
kesempatan bagi kita untuk membalas dendam itu tanpa mengeluarkan banyak
tenaga!"
"Apa
maksudmu, Lo-bo?"
"Wanita
itu, musuh besar kita itu, pembunuh ibu kandungmu itu, dia sudah mengantarkan
sendiri nyawanya kepada kita. Sekarang kita tinggal mencabutnya saja untuk
membalas dendam itu!" Nenek itu nampak gembira dan sepasang matanya
mencorong.
"Lo-bo,
apa artinya ini?" Sun Hok memandang dengan mata terbelalak.
"Heh-heh,
anak bodoh. Pembunuh ibu kandungmu itu, pendekar wanita itu bernama Ceng Sui
Cin!"
"Bibi
Ceng...?!" Sun Hok melompat dari tempat duduknya, sepasang matanya
terbelalak dan wajahnya berubah pucat.
"Benar,
tamu kita! Ia kini mengajak puterinya seperti dua ekor tikus memasuki
perangkap. Inilah saatnya bagi kita, setelah terbuka kesempatan baik ini. Dia
adalah puteri Pendekar sadis di Pulau Teratai Merah, dan menantu dari ketua
Cin-ling-pai. Jika dia telah kembali ke satu di antara dua tempat itu, tidak
mudah bagi kita untuk mencari dan membunuhnya. Sekaranglah saatnya, selagi
mereka tidur. Aku akan membunuhnya sekarang juga!"
"Lo-bo,
jangan...!" Sun Hok berkata kaget.
"Hemm,
engkau ini kenapakah, Kongcu? Ia telah menyebabkan kematian ibu kandungmu, ia
musuh besarmu, juga musuh besarku karena ibumu bagiku seperti anakku sendiri
yang kuasuh sejak bayi! Sejak mereka kau bawa datang tadi dan mengakui nama
mereka, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhnya. Aku tidak berani
menggunakan racun di dalam makanan atau minuman, selain takut kalau engkau
sendiri terkena racun karena engkau makan bersama mereka, juga aku merasa
khawatir dia yang lihai sekali itu akan tahu bahwa makanan atau minuman diracun
sebelum ditelannya. Kalau begitu maka akan gagal usahaku membalas dendam.
Sekarang, sesudah mereka tidur, aku akan masuk ke kamar mereka lantas membunuh
mereka. Aku memberi mereka kamar di mana terdapat pintu rahasianya sehingga aku
dapat masuk tanpa mereka dengar."
"Jangan,
Lo-bo. Engkau tidak boleh membunuh mereka!" Sun Hok berkata dengan suara
tegas dan gemetar karena tegangnya. "Kita tidak boleh membunuhnya!"
Di dalam
telinga Sun Hok masih bergema nasehat Ceng Sui Cin kepadanya tadi tentang
dendam dan kebaktian. Jelas bahwa ibu kandungnya memang seorang tokoh hitam
atau kaum sesat, seorang petualang yang begitu kejamnya untuk meninggalkan anak
sendiri dalam asuhan seorang bujang dan tidak pernah ditengoknya lagi. Juga
ayahnya seorang mata keranjang yang tidak mempedulikan anaknya, hanya mengejar
kesenangan melalui wanita-wanita cantik saja. Kalau dia hendak berbakti,
demikian nasehat Ceng Sui Cin, dia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik,
menjadi pendekar budiman agar noda yang menempel pada nama orang tuanya dapat
tercuci bersih.
"Kongcu,
kau pikirlah baik-baik. Dia adalah musuh besarmu! Kenapa sih engkau ini? Aihh,
mengerti aku sekarang. Engkau telah tergila-gila kepada anak gadisnya
itu!"
"Lo-bo,
jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Heh-heh-heh,
engkau tidak mungkin dapat membohongi seorang tua renta seperti aku, Kongcu.
Engkau telah jatuh cinta kepada Nona itu, maka engkau merasa keberatan untuk
membunuh mereka. Akan tetapi hal itu dapat kita atur, Kongcu. Kita bunuh ibunya
tetapi membiarkan anaknya hidup dan engkau boleh memilikinya sampai engkau
merasa bosan baru ia dibunuh..."
"Lo-bo,
apakah engkau sudah gila?!" teriak Sun Hok marah sekali, juga terkejut dan
heran bagaimana nenek yang biasanya bersikap halus kepadanya itu, yang sama
sekali tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda jahat, sekarang bisa mengajukan
usul yang demikian mengerikan. Membunuh ibunya dan memperkosa puterinya sampai
bosan baru dibunuh! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Sejak kecil,
oleh guru-guru sastra dan dari kitab-kitab yang dibacanya, dia sudah banyak
mengetahui tentang baik buruk dan tentang kejahatan-kejahatan yang tak boleh
dilakukan manusia, mengenai kebajikan-kebajikan dan bagaimana seharusnya sikap
hidup seorang kuncu (budiman). Karena itu dia bergidik dan merasa ngeri sekali
ketika mendengar usul nenek itu.
"Bukan
aku, melainkan engkau yang sudah gila." kata nenek itu, juga marah sekali.
"Ibu kandungmu dibunuh orang, dan kini musuh besar itu berada di depan
hidung, akan tetapi engkau tak setuju ketika aku hendak membunuhnya! Apakah
engkau ingin menjadi murid yang murtad dan menentang gurumu sendiri, setelah
sejak bayi aku mengasuh, mendidik dan menggemblengmu? Apakah engkau ingin
menjadi seorang anak durhaka yang sama sekali tidak ingin berbakti kepada ibu
kandungmu sendiri? Benarkah engkau telah menjadi orang yang begini tidak
mengenal budi?"
Pada waktu
kedua orang itu bertengkar, muncullah Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong di dalam
taman itu! Kemunculan dua orang ini tentu saja sangat mengejutkan Sun Hok dan
Wa Wa Lo-bo. Bagaimana mereka dapat muncul di taman itu, di mana guru dan murid
itu sedang bicara tentang mereka?
Sejak makan
malam tadi, timbul kecurigaan di dalam hati Sui Cin tentang Nenek Wa Wa Lo-bo.
Melihat sikap nenek itu, juga wajahnya serta matanya yang mencorong aneh, Sui
Cin menduga bahwa tentu nenek itu seorang dari golongan hitam yang sangat
lihai, apa lagi mendengar cerita Sun Hok bahwa mendiang ibu kandungnya adalah
seorang tokoh sesat yang lihai. Dan berada di dalam satu rumah dengan seorang
tokoh sesat sungguh amat berbahaya, pikirnya.
Maka,
setelah keadaan menjadi sunyi, dia mengajak anaknya untuk diam-diam keluar dari
dalam kamar, melalui jendela yang mereka tutup kembali dari luar, dan mereka
pun lalu melakukan penyelidikan, mempergunakan ilmu kepandaian mereka
meringankan tubuh. Dengan gerakan mereka yang cepat, mereka tidak khawatir
terlihat oleh para pelayan.
Akhirnya mereka
tiba di taman belakang rumah itu dan merasa tertarik sekali oleh suara
percakapan antara Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Cepat-cepat mereka menghampiri
sambil mengintai. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar
bahwa nenek itu berniat untuk membunuh mereka.
Sui Cin juga
terkejut bukan main mendengar bahwa Can Sun Hok adalah putera tunggal dari Gui
Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis yang amat lihai itu. Memang dialah yang
dahulu merobohkan Gui siang Hwa sehingga iblis betina itu tewas di bawah hujan
senjata para prajurit kerajaan.
Mendengar
betapa Sun Hok menentang nenek itu untuk membunuh dia serta puterinya, secara
diam-diam Sui Cin merasa girang juga, dan dapat dibayangkan betapa marahnya
mendengar usul nenek itu agar mereka membunuh dia terlebih dahulu dan agar Kui
Hong diperkosa sampai Sun Hok menjadi bosan baru membunuhnya.
Dugaannya
memang tepat. Nenek yang bernama Wa Wa Lo-bo itu adalah seorang iblis yang
kejam sekali! Memang cocok untuk menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis. Maka dia
pun mengajak puterinya keluar untuk menghadapi nenek itu.
"Bibi
Ceng... Adik Hong...," Sun Hok berkata dengan muka sebentar pucat dan
sebentar merah, hatinya tegang bukan main dan dia tidak tahu harus bicara apa.
"Can
Sun Hok, kami telah mendengar semua percakapan kalian barusan. Nenek Wa Wa
Lo-bo ini memang tak salah lihat atau salah dengar. Wanita yang bernama Gui
Siang Hwa atau Siang-tok Sian-li itu tewas dalam pertempuran sesudah roboh di
tanganku. Aku tidak menyangkal akan hal itu dan kalau engkau ingin mengetahui
peristiwa yang sebenarnya, aku dapat menceritakannya kepadamu."
"Jangan
dengarkan omongannya, tentu hanya akan menyalahkan ibumu!" teriak Wa Wa
Lo-bo.
Akan tetapi
Sun Hok yang kini mukanya menjadi pucat, tidak mempedulikan gurunya.
"Ceritakanlah,
Bibi Ceng."
"Gui
Siang Hwa adalah murid Raja dan Ratu Iblis yang memimpin tiga belas datuk sesat
dan banyak lagi kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Para pendekar
menentang gerakan ini dan membela pemerintah. Kebetulan aku pun berada di
antara pendekar dan kebetulan saja Gui Siang Hwa menjadi lawanku di dalam
pertempuran itu. Aku berhasil menendangnya roboh lantas dia pun dihujani
senjata oleh para prajurit kerajaan sehingga tewas. Nah, itulah peristiwa yang
sesungguhnya terjadi, Sun Hok. Kini terserah padamu. Kalau engkau bermaksud
melanjutkan kesesatan ibumu dan menambah lagi noda pada nama dan kehormatan
ibumu dengan perbuatan jahat, silakan menyerang kami. Kami tak akan undur
selangkah pun karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Ataukah
engkau akan berbakti kepada ibumu dengan cara mencuci noda yang ada pada nama
dan kehormatannya dengan perbuatan baik? Terserah pula, aku sudah bicara."....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment