Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 19
PADA suatu
malam, di waktu hujan, dia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke
tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang
dibuka dari dalam! Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat
kelakuan suaminya itu. Dia membiarkan hingga beberapa lama, kemudian secara
tiba-tiba dia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar.
"Jahanam
busuk!" bentaknya dan bergidik dia menyaksikan perbuatan suaminya dengan
nyonya tetangga itu.
Su Ta Touw
terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak
berlari keluar. Namun sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendang
pria itu, sedemikian keras tendangan itu hingga tubuh suaminya terlempar keluar
jendela! Hui Lian mengejar keluar, lantas menyeret rambut suaminya, ditariknya
kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh
mereka.
"Ampun...
ampunkan aku... ahh, ampunkann...," Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika
isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka.
"Bangunlah
dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan terpaksa aku akan
membunuhmu begitu saja!"
"Tidak...
tidak... ahhh, ampunkan aku..." Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut
dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tak berani melawan Hui
Lian, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih sangat jauh di bawah
sehingga dalam satu gebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan
membunuhnya.
"Desss…!"
Kembali
sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang lantas bergulingan. Dia
mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh
tubuhnya basah oleh lumpur.
"Ampunkan
aku... aku bersumpah tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ahhh…, kau
ampunkan aku."
"Jahanam
keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!" Kembali kaki Hui
Lian menendang dan tubuh itu pun terpelanting keras. Ia menendang untuk
melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau dia
menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu nyawa laki-laki itu
akan putus.
"Tidak,
sekali ini aku tobat benar-benar, aku bersumpah... demi nenek moyangku, demi...
nama dan kehormatanku... aku..."
"Cukup
sudah!" Hui Lian membentak marah. "Bangkitlah dan lawan aku sebagai
seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!"
Melihat
kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi makin ketakutan
dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah di mana dia merlutut!
Melihat ini,
Hui Lian menjadi semakin marah, "Kalau begitu, bersiaplah untuk
mampus!" bentaknya dan dia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan
maut.
"Sumoi,
tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, segera
membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang lengan kirinya
buntung sudah berdiri di situ.
"Sumoi,
apa lagi yang kau lakukan ini?" kembali laki-laki menegurnya dengan suara
keras penuh teguran.
"Suheng...!"
Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, kemudian menangis
sejadi-jadinya di pundak Su Kiat.
Su Kiat
menarik napas panjang, kemudian mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian
menceritakan dengan suara terisak-isak tentang semua perbuatan suaminya yang
sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung
belang. Kemudian diceritakannya pula peristiwa tentang perjinahan suaminya
dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinahan
itu kini menumbuhkan kandungan di dalam perut nyonya itu.
Su Kiat
menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut
di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok demikian
dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu
birahi?
"Suheng,
sebelum engkau datang, tadinya aku hendak membunuhnya sebelum akhirnya aku
bunuh diri. Aku sudah malu hidup di dunia ramai ini..."
Su Kiat
terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoi-nya dan dia khawatir kalau-kalau
sumoi-nya akan betul-betul membunuh diri. "Sumoi, pikiranmu itu sangat
keliru. Agaknya memang telah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki
yang tidak benar. Akan tetapi membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan
jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang
sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Marilah kita selesaikan urusan
ini dengan sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini,
kemudian mari kembali membantuku membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah
sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?"
Diam-diam
Hui Lian menyalahkan suheng-nya yang dulu membujuknya supaya menikah, akan
tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suheng-nya begitu baik, dan siapa
lagi orang di dunia ini kecuali suheng-nya yang dapat ditangisinya di waktu dia
menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya?
"Mari
sekarang kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan pergi menemui orang
tuanya untuk membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini." Tanpa
pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan
tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap
perlu.
Pada
keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw
tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah
ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila
perempuan dan tidak bertanggung jawab itu.
Demikianlah,
dalam waktu lima tahun saja, untuk kedua kalinya Hui Lian kembali menjadi
janda. Dia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu
belaka bahwa dia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah
menjanda sampai dua kali! Karena itu, walau pun tidak ada orang berani
mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan dia
pun lalu berpamit kepada suheng-nya.
"Suheng,
perkenankanlah aku pergi dari dusun ini," katanya pada suatu senja.
Su Kiat
terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoi-nya sudah
mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoi-nya
itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria.
Sudah
berbulan-bulan sumoi-nya tinggal lagi di situ bersama dia setelah bercerai dari
Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.
Sebelum sumoi-nya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya sangat
berbahagia bersama sumoi-nya. Ketika sumoi-nya menikah dengan Tee Sun dan
pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka. Namun perasaan ini dilawannya
dengan keyakinan bahwa sumoi-nya pergi untuk menempuh hidup baru yang
berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula.
Kemudian
sumoi-nya bercerai lantas menikah lagi. Sekarang, setelah sumoi-nya bercerai
untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya,
baik untuk melatih para murid mau pun untuk urusan rumah tangga, dia merasa
seakan-akan matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu.
Hidup
menjadi amat berbahagia baginya, seolah-oleh dia menemukan kembali dirinya dan
kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghilang bersama dengan
perginya Hui Lian dari sampingnya. Oleh karena itu, mendengar sumoi-nya
berpamit, dia terkejut bukan main sampai air mukanya berubah.
"Kau...
kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?" tanyanya gagap.
"Aku...
aku hendak pergi merantau, ke mana saja, Suheng."
"Ahhh,
apa artinya ini, Sumoi? Mengapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku
dan membantuku? Apakah kita... tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi,
di mana kita mengalami segala hal berdua, pahit mau pun manis? Mengapa
tiba-tiba saja engkau hendak meninggalkan aku? Dan aku khawatir sekali karena
engkau pergi tanpa tujuan."
"Aku
hendak mencari pengalaman, Suheng, dan aku... aku berusaha melupakan segala
yang pernah terjadi denganku di sini, juga agar semua orang melupakan semua
itu... aku mungkin akan mencari keluarga orang tuaku di San-hai-koan."
"Bukankah
aku pengganti keluargamu, Sumoi?"
"Benar,
benar sekali, Suheng!" Hui Lian memegang tangan suheng-nya yang tergeletak
di atas meja. "Engkau adalah keluargaku, engkau pengganti orang tua,
kakakku juga guruku dan sahabatku. Ahh... betapa aku sudah bersikap tidak
mengenal budi, akan tetapi... aku ingin pergi, Suheng. Aku ingin menghirup
udara bebas setelah bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang tidak
mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Perkenankanlah aku pergi, Suheng. Untuk
satu tahun, dua tahun... Tanpa ijinmu aku tidak berani pergi. Tapi, kasihanilah
aku, Suheng..."
Su Kiat
memejamkan sepasang matanya. Aih, sumoi, tidakkah seharusnya engkau yang
mengasihani diriku, bisik hatinya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan
membuka mata, memandang wajah sumoi-nya penuh haru, penuh rasa sayang.
"Baiklah,
Sumoi. Tak mungkin aku dapat mencegah kehendakmu. Aku hanya mendoakan semoga
engkau akan menemukan kebahagiaan..."
"Aih,
Suheng! Engkau seperti dapat menjenguk dan membaca isi hatiku! Benar sekali,
aku rindu akan kebahagiaan, Suheng! Selama ini hanya kebahagiaan palsu yang
kuraih, dan aku rindu sekali. Aku akan pergi untuk mencari kebahagiaan,
Suheng."
Su Kiat
tidak menjawab. Dia masih duduk termenung setelah lama sekali Hui Lian pergi
meninggalkan tempat itu, meninggalkan dirinya. Ingin dia pun pergi mencari
kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin dia
mencari kebahagiaan kalau baru saja kebahagiaan sendiri meninggalkannya?
Sekarang dia
tahu benar. Hui Lianlah sumber kebahagiaannya! Namun kini Hui Lian telah pergi,
membawa kebahagiaan menjauhi hatinya yang mendadak menjadi penuh dengan
kesepian, penuh kekosongan dan kerinduan.
Betapa
banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui mulut
atau pun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan! Mencari
kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang ingin mencari
kebahagiaan, seolah kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat dicari, dapat
ditemukan dan digenggam supaya tidak pergi lagi!
Su Kiat
menyangka bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian
karena dia membutuhkan kehadiran Hui Lian yang menyenangkan hatinya. Namun bagi
orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber kebahagiaannya
karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang dapat menyenangkan
hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui kedudukan, atau nama besar,
atau benda atau keadaan. Namun bagaimana pun juga, pengejaran itu dilakukan
semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dia menganggap bahwa itulah yang
akan dapat menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya!
Namun apakah
kebahagiaan itu sama dengan kesenangan? Apakah orang yang senang hatinya itu
berbahagia? Apakah kesenangan itu dapat dinikmati selamanya? Hal ini dapat kita
pelajari dengan mengamati diri sendiri, mengamati kesenangan-kesenangan kita,
apa yang kita cari dan kejar-kejar itu.
Betapa
banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang mendatangkan
kesenangan. Akan tetapi alangkah rapuhnya kesenangan itu sendiri, seperti
gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona kanak-kanak yang
mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung itu pun lalu meletus dan
lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang atau pun keadaan, yang
tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber kesenangan, bahkan
akhirnya mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan juga kejengkelan! Adakah
kesenangan yang abadi?
Tentu saja
bukan! Yang disebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan! Kesenangan dapat
kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, tetapi kesenangan memiliki muka
yang banyak sekali, seperti sebuah dadu yang memiliki banyak permukaan, tetapi
hanya satu permukaan yang menyenangkan sedangkan permukaan yang lain sama
sekali tidak menyenangkan!
Kita semua
mengejar kebahagiaan secara membabi buta, mengira bahwa kebahagiaan ada di
sini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan
itu! Apakah mungkin orang mencari sesuatu yang tidak dikenalnya, sesuatu yang
tidak diketahuinya?
Kebahagiaan
tak mungkin bisa dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup,
sedangkan pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati.
Kesenangan adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang pernah kita kenal
melalui pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal
melalui pengalaman bukan kebahagiaan lagi, melainkan menjadi kesenangan dan
seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan.
Kita tidak
dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam kebahagiaan. Akan tetapi
kita mengenal dan mengerti akan ketidak bahagiaan karena kita semua sering kali
mengalaminya, merasakannya. Justru karena tidak berbahagia inilah maka kita
mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak bahagiaan dan mencari
kebahagiaan.
Mengapa kita
tidak menghadapi saja ketidak bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba
lari, namun menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan
terlihat benar oleh kita bahwa kita tak berbeda, tak terpisah dari ketidak
bahagiaan itu sendiri.
Ketidak
bahagiaan itu berasal dari kita sendiri, pikiran kita yang selalu mencari
senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan menghindarkan kerugian,
selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan terhadap diri sendiri
inilah yang akan membuat kita waspada dan mengerti, yang akan menghentikan
ketidak bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam batin.
Dan jika
sudah tidak ada lagi ketidak bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah kita
masih mengejar kebahagiaan? Kiranya tidak, sebab tanpa adanya ketidak bahagiaan
maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justru karena kebahagiaan sudah ada pada
kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak bahagiaan, seperti
matahari yang terbebas dari pada halangan awan yang menggelapkan.
Tuhan Maha
Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-lengkapnya. Bukan hanya
kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap, bahkan yang berada di luar
diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang nampak mau pun yang tak
nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-olah diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup kita.
Matahari,
bulan, bintang, angin, air, tanah serta segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan
segala logam dan minyak di dalam tanah, semuanya itu bermanfaat bagi kehidupan
kita, bukan hanya bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah
kebahagiaan, bagi mereka yang dapat menerimanya dan mau menerimanya. Akan
tetapi kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau
muncul ketidak bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena
sang aku yang tiada hentinya ingin ini dan itu, di antaranya ingin bahagia
pula!
***************
Sungai Yuan
yang airnya jernih itu mengalir ke timur menuju ke Telaga Tung-ting yang
terletak di perbatasan Propinsi Hu-nan dan Hu-pai. Ketika sungai itu melewati
pegunungan yang penuh dengan hutan cemara, airnya mengambil jalan
berkelok-kelok dan dari tempat ketinggian itu nampak seperti seekor ular perak
yang amat panjang.
Pemuda itu
mengagumi pemandangan alam yang sangat indah ini, sambil duduk di atas padang
rumput di puncak bukit yang datar itu dan memberi kesempatan pada tubuhnya
untuk beristirahat. Dari tempat dia duduk nampak di kejauhan Danau Tung-ting
yang luar biasa luasnya itu, seperti lautan. Danau inilah yang memberi nama
kepada dua propinsi, yaitu Propinsi Hu-nan (sebelah selatan danau) dan Propinsi
Hu-pai (sebelah utara danau).
Sebelah
selatan Danau atau Telaga Tung-ting ini menampung air dari sungai-sungai Ce,
Yuan, Siang, dan Li dan menghubungkan air danau dengan Sungai Yang-ce-kiang
yang sangat besar. Danau itu menjadi semacam waduk alam yang amat besar, yang
mengatur pasang surutnya air Sungai Yang-ce.
Di pagi hari
menjelang siang itu, pemuda tadi duduk mengaso dan termenung. Alangkah jauhnya
sudah dia menjelajahi bumi ini. Telaga atau Danau Tung-ting yang dari kejauhan
nampak seperti laut membentang luas itu juga pernah dikunjunginya beberapa hari
yang lalu, sempat berperahu dan mengail ikan disana. Alangkah jauh dan lama dia
menjelajah.
Dia tidaklah
terlalu muda lagi. Usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya
serba putih dari kain kasar yang kuat dan bersih. Hanya pita rambut dan ikat pinggangnya
yang berwarna biru. Sesungguhnya dia bukanlah seorang pemuda, tetapi seorang
wanita, yaitu Kok Hui Lian!
Kita tahu
bahwa wanita ini sudah meninggalkan Hek-bun, dusun tempat tinggalnya, pergi
meninggalkan suheng-nya untuk melakukan perantauan, untuk menghibur hatinya
yang penuh dengan kekecewaan dan kedukaan. Sesudah merantau dia menemukan
hiburan di dalam kehidupan baru ini sehingga dia lupa akan janjinya untuk
pulang ke tempat tinggal suheng-nya.
Sudah dua
tahun dia merantau dan sudah jauh tempat yang dijelajahinya. Bahkan sudah pula
dia mengunjungi San-hai-koan di mana mendiang ayahnya pernah tinggal dan malah
menjabat sebagai gubernur. Tetapi ketika dia melakukan penyelidikan, ternyata
ayah dan ibunya serta seisi rumah telah menjadi korban perang, semuanya telah
tewas kecuali dia seorang yang diselamatkan seorang pendekar yang menurut
cerita suheng-nya kemudian, bernama Cia Hui Song, putera dari Ketua
Cin-ling-pai.
Dia berhasil
menemui seorang paman, yaitu adik misan ayahnya yang menjadi seorang pembesar
di San-hai-koan. Tapi ternyata pamannya itu bersikap congkak dan tinggi hati,
membuat dia merasa sungkan untuk mengenalkan dirinya dan akhirnya dia
meninggalkan San-hai-koan dan menganggap bahwa orang tuanya tidak meninggalkan
anggota keluarga lain kecuali dirinya sendiri. Ia berkunjung ke makam ayah
ibunya dan bersembahyang.
Kini dia
telah tiba di tempat yang sunyi dan indah itu, dan duduk mengagumi keindahan
pemandangan alam sambil melamun. Dia teringat akan masa lalunya, teringat pada
Ciang Su Kiat, orang yang tadinya menjadi gurunya, menjadi pengganti orang
tuanya, sahabat terdekatnya, dan kemudian menjadi suheng-nya. Dan dia menjadi
terharu.
Setiap kali
termenung dan terkenang kepada suheng-nya, semakin jelas teringat olehnya
alangkah baiknya suheng-nya itu terhadap dirinya. Dan betapa malang nasib
suheng-nya. Pernah suheng-nya bercerita tentang lengannya yang buntung. Lengan
kiri itu dibuntungi sendiri sebagai pernyataan bersalah terhadap Cin-ling-pai!
Di depan
ketua Cin-ling-pai, ayah dari Pendekar Cia Hui Song yang menyelamatkannya,
suheng-nya itu membuntungi lengan kirinya sendiri sebagai penebus dosa dan
sekaligus sebagai protes pula atas peraturan yang amat keras dan bengis dari
Cin-ling-pai. ‘Dosa’ suheng-nya itu adalah karena Su Kiat membunuh seorang tihu
untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang disiksa sampai mati oleh tihu
itu karena ayahnya mencuri perhiasan untuk membiayai pengobatan anak bungsunya
Kasihan
sekali suheng-nya! Dan keterlaluan sekali Ketua Cin-ling-pai itu. Apakah ketua
itu tidak melihat bahwa suheng-nya tidak melakukan kejahatan, tetapi hendak
membalaskan kematian dan sakit hati ayah kandungnya? Biar pun suheng-nya telah
melupakan urusan itu, akan tetapi perasaan penasaran membuat Hui Lian kini mengambil
keputusan untuk mengunjungi Cin-ling-pai. Setidaknya ia akan menegur ketua
Cin-ling-pai atas kebengisan dan kekejamannya itu!
Tiba-tiba
Hui Lian tersentak dari lamunannya ketika ada suara melengking merdu, naik
turun dengan lembutnya, memasuki pendengarannya. Dia segera memperhatikan dan
itu adalah suara suling yang ditiup secara aneh.
Suara itu
begitu lembut, naik turun dengan halusnya, dalam lagu yang selamanya belum
pernah dia mendengarnya. Akan tetapi hanya sebentar saja suara itu terdengar,
karena segera menjauh dengan amat cepatnya, seolah-olah suling itu dibawa
terbang lalu saja.
Hui Lian
bangkit berdiri, memandang ke sekeliling untuk mencari peniup suling itu, akan
tetapi tidak nampak sesuatu dan kini suara suling itu telah makin sayup-sayup
kemudian menghilang di kejauhan. Ketika dia memandang ke bawah, di sebuah
lereng yang penuh rumput hijau gemuk, dia melihat ada puluhan ekor domba
digembala oleh seorang anak laki-laki yang usianya belasan tahun. Anak itukah
Si Peniup Suling, pikirnya.
Karena ingin
tahu sekali, masih tertarik oleh suara yang aneh tadi, Hui Lian meninggalkan
puncak bukit itu. Dia segera menuruni puncak menuju lereng bukit di mana anak
laki-laki itu sedang menggembala dombanya. Karena mengerahkan ilmunya berlari
cepat, dalam waktu singkat saja Hui Lian telah tiba di lereng bukit itu.
Akan tetapi,
ketika dia sampai di tempat di mana anak laki-laki berusia belasan tahun itu
menggembala tiga puluh ekor dombanya, dia terkejut sekali dan cepat menyelinap
di balik batang pohon sambil mengintai ke depan. Tidak jauh dari sana, dia
melihat empat orang yang mengerikan.
Mereka itu
dua orang pria dan dua orang wanita, keempatnya sudah berusia enam puluh tahun
lebih. Agaknya mereka adalah dua pasang suami isteri. Yang sepasang merupakan
kakek dan nenek biasa saja, bahkan kakek tinggi besar itu kelihatan gagah dan
isterinya, nenek yang tubuhnya masih ramping itu memperlihatkan bekas
kecantikannya.
Namun
pasangan ke dua sangat mengerikan. Yang pria tinggi kurus dengan muka yang
cukup tampan akan tetapi seperti topeng saja, karena tidak nampak pergerakan
pada kulit muka itu! Ada pun isterinya, yang juga berpakaian hitam-hitam
seperti suaminya, dapat dibilang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat
dan membayangkan kekejaman. Dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa empat
orang itu bukanlah kakek dan nenek sembarangan.
Dugaannya
memang tak keliru. Dua pasang suami isteri tua itu bukan lain adalah Lam-hai
Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri dari Goa Iblis Pantai
Selatan.
Seperti
sudah kita ketahui dari bagian depan kisah ini, dua pasang suami isteri sesat
ini pernah saling bermusuhan ketika belasan tahun yang lalu mereka saling
memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib). Kemudian, karena dari permusuhan itu
mereka sama-sama tidak memperoleh keuntungan, mereka lalu bersekutu dan
akhirnya mereka berjumpa dengan tokoh datuk sesat Lam-hai Giam-lo yang amat
sakti, kemudian menjadi sekutu atau anak buahnya.
Lam-hai
Giam-lo telah memperoleh seorang murid yang kaya raya dan sekarang datuk ini
tinggal bersama muridnya, memiliki banyak anak buah yang terdiri dari tokoh-tokoh
sesat yang pandai seperti dua pasang suami isteri itu.
"Aahhh,
kebetulan sekali. Perut kita lapar dan lihat domba-domba yang muda dan gemuk
itu!" terdengar Ma Kim Li, nenek isteri Siangkoan Leng yang menjadi
Sepasang Iblis Laut Selatan itu berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan
domba yang makan rumput dan berkeliaran di situ.
Anak
penggembala itu kini duduk di bawah pohon, kadang-kadang meneriaki domba yang
berkeliaran telampau jauh. Melihat pakaiannya yang terbuat dari kain Liu-jang,
yaitu kain yang terbuat dari bahan rami yang terkenal di daerah Hu-nan, mudah
di duga bahwa anak ini adalah suku bangsa Miao, suku bangsa yang banyak
terdapat di daerah itu.
"Benar
sekali! Daging domba muda dan gemuk itu dibakar setengah matang, diberi garam
saja sudah lezat bukan main," kata suaminya.
"Aku
masih menyimpan sisa garam dan bumbunya," kata Tong Ci Ki yang mukanya
pucat seperti mayat.
"Aku
lebih suka mengganyang otak domba itu mentah-mentah, segar dan memperkuat
tulang!" kata suaminya yang bernama Kwee Siong.
"Mari
kita tangkap domba itu, seorang seekor dan boleh makan menurut selera
masing-masing," kata Siangkoan Leng, suami dari Ma Kim Li.
Mereka
serentak muncul dari balik semak-semak dan menghampiri kumpulan domba itu.
Melihat ada empat orang kakek dan nenek menghampiri domba-dombanya yang menjadi
gelisah, anak penggembala berusia sekitar tiga belas tahun itu pun cepat
bangkit dan lari menghampiri.
Pada waktu
melihat betapa empat orang kakek dan nenek itu masing-masing menangkap seekor
domba muda, anak itu terkejut sekali dan dalam bahasanya sendiri, bahasa suku
bangsa Miao, dia berteriak, "Lepaskan domba-dombaku, jangan tangkap
mereka!"
Anak itu
berusaha untuk mengambil kembali domba-dombanya dari tangan empat orang kakek
dan nenek yang menangkapnya, akan tetapi Ma Kim Li yang berdiri paling dekat
mendorongkan tangan kirinya dan tubuh anak itu pun terdorong ke belakang,
terjengkang dan terguling-guling di atas rumput. Sambil tertawa-tawa empat
orang kakek dan nenek sesat itu hendak pergi dari situ membawa empat ekor domba
muda yang kini mengembik ketakutan. Anak laki-laki itu terkejut sekali, akan
tetapi dia tidak menangis, bahkan cepat dia bangkit lagi dan lari mengejar.
"Kembalikan
domba-dombaku! Kembalikan, kalian pencuri-pencuri busuk!"
Begitu
mendengar mereka dimaki pencuri busuk, Kwee Siong yang berjuluk Si Tangan Maut
berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang seperti topeng itu sama sekali
tidak menunjukkan apa-apa, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Hemm,
besar juga nyali anak ini. Tentu otaknya lebih segar dan menguatkan tulang dari
pada otak domba. Nak, marilah engkau ikut bersamaku!" katanya dan Kwee
Siong sudah melemparkan domba yang tadi dipegangnya ke atas tanah, lalu
tangannya menjangkau untuk menangkap leher anak laki-laki itu.
"Tua
bangka busuk, jangan ganggu anak itu!" tiba-tiba saja terdengar bentakan
halus dan mendadak tubuh anak itu tertarik ke belakang sehingga terluput dari
cengkeraman tangan Kwee Siong.
Kakek itu
terkejut dan langsung mengangkat muka memandang. Kiranya seorang dengan pakaian
serba putih telah berdiri di depannya. Dia seorang laki-laki muda, berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih kasar tetapi bersih,
dengan ikat rambut dan ikat pinggang warna biru. Wajahnya yang tampan sekali
itu membayangkan kemarahan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
Keempat
orang tua itu kini menghadapi pemuda yang bukan lain adalah Hui Lian itu, dan
mereka semua memandang marah.
"Ehhh,
pemuda liar dari mana yang berani mencampuri urusan kami?" bentak
Siangkoan Leng sambil melangkah maju, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak
mengancam dan wajahnya beringas.
Dengan suara
lantang dan ketus Hui Lian berkata, "Apa bila melihat sikap kalian, kalian
adalah empat orang tua bangka yang tidak miskin, juga bukan orang sembarangan.
Tidak malukah kalian mengganggu seorang anak penggembala domba dan merampas
domba-dombanya? Kembalikan domba-domba itu!"
"Wah,
agaknya bocah lancang ini sudah bosan hidup!" bentak Kwee Siong yang tadi
telah melempar dombanya karena hendak menangkap anak penggembala.
Sambil
membentak dia sudah menerjang maju dan mengirim tamparan kedua tangannya
bergantian ke arah kepala Hui Lian. Tamparan ini bukan sembarang tamparan,
melainkan tamparan yang mengandung tenaga kuat sekali, merupakan serangan maut.
Jangankan kepala orang, batu karang pun akan remuk terlanda tamparan kedua
tangan yang sangat kuat itu.
Dengan
tenang Hui Lian mengangkat kedua lengannya ke kanan kiri. Ketika dua pasang
lengan itu bertemu, kedua lengan Kwee Siong terpental dan kesempatan ini
dipergunakan Hui Lian untuk melanjutkan sepasang tangannya yang menangkis itu
untuk mendorong ke depan, ke arah dada lawan.
Kwee Siong
terkejut dan mengelak ke belakang, namun hawa dorongan yang kuat masih
menerjangnya dan membuat tubuhnya terjengkang keras! Hanya dengan berjungkir
balik sajalah dia terhindar dari bantingan keras.
Tentu saja
hal ini mengejutkan empat orang itu. Pemuda berpakaian putih itu bukan saja
mampu menangkis tamparan kedua tangan Kwee Siong Si Tangan Maut, bahkan mampu
membalas menyerang yang nyaris membuat Kwee Siong terbanting roboh!
Isteri Kwee
Siong, Tong Ci Ki, menjadi marah. Dia pun melempar dombanya dan begitu kedua
tangannya bergerak, nampak cahaya hitam kecil-kecil beterbangan menyambar ke
arah tubuh Hui Lian. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini maklum
bahwa dia diserang jarum-jarum halus yang mungkin sekali mengandung racun.
Akan tetapi,
sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi, Hui Lian tidak menjadi gugup
melihat datangnya serangan dengan senjata gelap ini. Sekali berkelebat tubuhnya
sudah lenyap dari depan empat orang lawan karena tubuh itu, dengan ginkang yang
luar biasa, sudah mencelat ke atas sehingga jarum-jarum itu lewat di bawah kakinya.
Hui Lian tidak hanya mengelak, akan tetapi ketika tubuhnya turun, tubuh itu
menyambar ke arah Tong Ci Ki yang tadi menyerangnya dengan jarum.
Tentu saja
Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, terkejut sekali melihat lawan yang
diserang jarum-jarum halus itu secara tiba-tiba lenyap, dan dia menjadi semakin
terkejut ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari atas dan ketika dia
menengadah, dia melihat lawannya tadi sudah meluncur turun sambil menyerangnya
dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!
Datangnya
serangan ini demikian tiba-tiba dan cepat sehingga satu-satunya jalan bagi
nenek iblis itu untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara membuang tubuhnya
ke samping, ke arah yang berlawanan dengan datangnya serangan, terus
menjatuhkan diri ke bawah. Akan tetapi gerakannya masih belum cukup cepat
karena pita rambut bersama sebagian rambut, segumpal rambut bercampur uban,
telah kena dicengkeram dan rontok dari kepalanya!
Tong Ci Ki
bergulingan kemudian melompat bangun dengan muka yang sudah pucat itu menjadi
kehijauan dan tengkuk meremang saking ngerinya. Nyaris dia tewas hanya dalam
satu gebrakan saja!
Dua pasang
suami isteri yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi itu hampir tak dapat mempercayai mata mereka sendiri melihat
betapa ada seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal, dengan beberapa
gebrakan saja membuat suami isteri iblis dari Goa Pantai Selatan itu hampir
roboh!
Siangkoan
Leng dan isterinya tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar yang
lihai, sebab itu tanpa banyak cakap lagi mereka pun melempar domba yang mereka
tangkap tadi dan keduanya kemudian menerjang maju membantu kawan-kawan mereka.
Siangkoan Leng meloncat ke atas dan menubruk dengan kedua tangannya membentuk
cakar, seperti serangan seekor singa kelaparan.
Dengan
kecepatan kilat Hui Lian menghindar ke samping, lantas kakinya bergerak cepat
menendang ke arah lambung penyerangnya. Siangkoan Leng menangkis tendangan itu
dengan tangannya, bermaksud menangkap kaki lawan, akan tetapi akibatnya,
lengannya tertendang dan dia pun terhuyung!
Pada saat
itu Ma Kim Li sudah menubruk dengan serangan kilat, memukul ke arah dada,
disusul dengan serangan yang dilakukan oleh Tong Ci Ki dan Kwee Siong. Karena
mereka bertiga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, maka dapat dibayangkan
betapa dahsyatnya serangan mereka bertiga yang dilakukan hampir berbareng itu.
Namun Hui
Lian juga maklum bahwa para lawannya bukanlah orang lemah, dan melihat cara
mereka menyerang serta ilmu yang dipergunakan itu mudah diduga bahwa mereka
adalah orang-orang dari golongan hitam. Ia pun cepat mengandalkan kecepatan
gerakan tubuhnya dan tubuh itu pun berkelebatan ke sana-sini, di antara tangan
dan kaki lawan yang menyerang.
Hui Lian
dikepung dan dikeroyok dari empat penjuru, akan tetapi tubuhnya segera lenyap
berubah menjadi bayangan putih yang sulit sekali disentuh, apa lagi dipukul.
Lebih mudah menangkap seekor burung walet dari pada menyentuh bayangan putih
yang berkelebatan dengan amat cepatnya itu.
Empat orang
tokoh sesat itu menjadi semakin terkejut. Tidak mereka sangka bahwa di daerah
sunyi ini mereka akan bertemu dengan seorang lawan yang sakti, padahal lawan
itu masih demikian muda dan tidak terkenal sama sekali!
Hui Lian
tahu bahwa empat orang ini bukan orang baik-baik, tentu dari golongan hitam
yang sering bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi karena dia tidak mengenal
mereka dan tidak bermusuhan dengan mereka, sedangkan kesalahan mereka hanyalah
mencuri domba-domba, maka dia pun tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Apa
bila hal itu dikehendakinya, biar pun tak begitu mudah karena dikeroyok empat,
dia tentu akan dapat merobohkan mereka satu demi satu.
Kini dia
membalas dengan kecepatan gerak tangan dan kakinya, dan sungguh pun empat orang
lawan ini pun mampu menghindarkan diri dengan saling bantu, namun permainan
silat mereka menjadi kacau saking cepatnya gerakan Hui Lian, dan mereka pun
merasa jeri. Mereka sedang melaksanakan tugas, sungguh tidak menguntungkan jika
melibatkan diri dalam perkelahian melawan orang yang sangat lihai ini, apa lagi
hanya untuk urusan yang sepele.
Siangkoan
Leng memberi isyarat kepada tiga orang lainnya untuk melarikan diri, ada pun
dia sendiri segera mendahului menarik tangan isterinya diajak meloncat ke luar
kalangan perkelahian. Suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan juga
berloncatan menjauh, lantas tanpa menoleh lagi keempatnya telah melarikan diri
secepatnya meninggalkan lereng itu.
Hui Lian
tidak mengejar mereka karena dia mengenal bahayanya melakukan pengejaran
terhadap orang-orang dari golongan sesat yang sering kali menggunakan segala
macam kecurangan. Apa lagi memang tidak ada apa-apa antara mereka dan dirinya.
Ketika dia
menoleh dan mencari, ternyata sekumpulan domba itu sudah lenyap dari situ dan
sesudah dia mencari-cari dengan pandangan matanya, domba-domba itu sudah jauh
berada di kaki bukit, digembala oleh anak tadi yang sekarang berjalan bersama
seorang dewasa yang tidak dikenalnya, seorang laki-laki yang mengenakan sebuah
caping lebar yang menutupi seluruh kepala dan mukanya. Caping seperti itu
memang dapat digunakan untuk melindungi tubuh, baik dari panas mau pun dari
curahan air hujan.
Hui Lian
tersenyum. Anak itu telah terlepas dari bahaya tanpa mengucapkan terima kasih
sedikit pun kepadanya. Hal ini tidak mengapa, apa lagi anak itu tidak
dikenalnya, hanya secara kebetulan saja mereka bertemu, juga anak itu tidak
minta tolong kepadanya.
Akan tetapi
melihat betapa anak itu sekarang berjalan bersama seorang dewasa, hatinya
merasa tidak enak dan dia menjadi curiga. Siapa tahu kalau orang bercaping
lebar itu juga seorang penjahat yang menipu anak itu dan hendak merampas
domba-dombanya! Maka dia pun cepat berlari turun dari lereng itu melakukan
pengejaran.
Ketika dia
sudah dapat menyusul, Hui Lian mencoba untuk memperhatikan muka orang dewasa
yang berjalan bersama dengan anak gembala itu. Mereka berjalan berdampingan,
akan tetapi agaknya tidak pernah bicara.
Anak itu pun
melihatnya dan nampaknya bingung dan juga khawatir, akan tetapi dia tidak
mengeluarkan kata-kata, hanya berjalan lebih merapat kepada orang dewasa itu.
Ketika Hui Lian mendahului supaya dapat melihat wajah orang, orang itu segera
menundukkan mukanya sehingga caping lebar itu kini menutupi mukanya sama sekali
dari arah samping dan depan! Hui Lian yang melirik tidak melihat apa-apa
kecuali sebuah caping yang dicat kuning itu. Orang itu mengenakan pakaian
berwarna biru muda dengan garis-garis pada pinggirnya.
Beberapa
kali Hui Lian berjalan sambil melirik di dekat mereka, baik dari belakang mau
pun dari depan. Namun selalu hanya caping yang dapat dilihatnya karena dari
mana pun dia memandang, muka itu selalu terlindung caping. Dia menjadi
penasaran dan semakin curiga.
Jangan-jangan
orang ini memang sengaja menyembunyikan wajahnya, pikirnya dongkol akibat
merasa dipermainkan. Oleh karena itu, dengan langkah lebar dia pun menghampiri
mereka.
"Hei,
berhenti dulu!" kata Hui Lian dengan suara gemas, mempergunakan bahasa
Miao sedapatnya.
Anak itu
cepat menahan langkahnya dan orang bercaping itu pun ikut pula berhenti. Akan
tetapi kalau anak itu pun mengangkat muka memandang kepada wajah Hui Lian
dengan sikap takut, orang bercaping itu berhenti dan berdiri sambil menundukkan
muka sehingga kembali Hui Lian hanya dapat melihat capingnya saja!
"Angkat
mukamu dan perlihatkan kepadaku!" bentak Hui Lian yang sudah tidak sabar
lagi. Dia masih mempergunakan bahasa campuran dengan bahasa Miao.
Baru
sekarang orang itu mengangkat mukanya hingga caping itu kini berada di belakang
kepalanya dan wajahnya kelihatan jelas ketika sepasang mata Hui Lian bertemu
dengan sepasang mata lain yang membuat dia terkejut bukan kepalang. Wajah itu
adalah wajah seorang pemuda yang tampan, hidungnya mancung, mulutnya dihias
senyum ramah dan sepasang matanya seperti mata naga, mencorong dan berpengaruh!
"Ehh,
siapa kau?" tanyanya dalam bahasa Miao. Akan tetapi pemuda yang usianya
dua puluh tahun lebih sedikit itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum
bodoh.
Hui Lian
mengerutkan alisnya dan bertanya kepada anak penggembala yang juga sedang
memandang kepadanya. "Siapakah dia ini?"
Penggembala
itu menoleh, lantas memandang kepada Si Caping Lebar dan menggeleng sambil
menjawab. "Aku tidak tahu."
Hui Lian
menjadi semakin curiga. Wah, benar dugaannya, pikirnya. Penggembala itu tidak
mengenal orang ini, berarti penggembala ini tertipu.
"Tanya
siapa dia!" katanya lagi dengan bahasa Miao sambil menatap tajam wajah
orang bercaping yang masih tersenyum-senyum akan tetapi nampaknya tak mengerti
apa yang dipertanyakan itu.
Anak itu
kini menghadapi Si Caping Lebar dan menggerak-gerakkan kedua tangan serta
jari-jari tangannya, berusaha memberi isyarat dengan tangan untuk menanyakan
namanya sambil menuding-nuding ke arah dada orang itu.
Melihat hal
ini Hui Lian menjadi semakin heran dan terkejut, juga jengkel karena melalui
bahasa isyarat tangan ini, orang bercaping yang berwajah tampan itu agaknya
belum juga dapat mengerti maksudnya pertanyaannya melalui anak penggembala itu.
"Sialan,"
gerutunya dalam bahasanya sendiri. "Dia gagu pula..."
Akan tetapi
pemuda tampan itu terkekeh geli sambil memandang kepadanya. "Sobat yang
baik, aku tidaklah gagu seperti yang kau kira."
Hui Lian
terkejut. Kiranya orang bercaping ini tidak gagu sama sekali. Ia menjadi
semakin jengkel karena merasa dipermainkan. "Kalau tidak gagu, mengapa
sejak tadi engkau tidak mau menjawab pertanyaanku dan anak ini mengajakmu
bicara dengan isyarat tangan?!" bentaknya.
"Aihh,
bagaimana aku tahu bahwa tadi engkau mengajakku bicara, sobat? Apa yang kau
bicarakan bersama adik ini tadi, aku sama sekali tidak mengerti sebuah kata
pun."
Kini Hui
Lian menahan ketawanya. Barulah dia mengerti. Ternyata orang ini tidak pandai
bahasa Miao, maka tentu saja tidak menjawab ketika dia bertanya karena memang
tidak mengerti. Dan dia telah menyuruh anak penggembala itu bertanya kepadanya,
tentu saja mereka pun tidak dapat saling bicara dan anak itu agaknya sudah tahu
bahwa orang ini tidak pandai bahasa Miao maka mencoba dengan isyarat tangan.
Hui Lian tersenyum dan orang itu agaknya girang bukan main melihat senyumnya.
"Wah,
dugaanku benar sekali, ha-ha-ha!"
Hui Lian
kembali mengerutkan alisnya. Ia melihat pemuda itu tertawa dan wajahnya yang
tampan menjadi semakin menarik.
"Engkau
mentertawakan apa?!" bentaknya.
Pemuda yang
sedang celangap tertawa itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan hal ini nampak
demikian lucu sehingga anak penggembala itu tidak dapat menahan ketawanya.
Memang lucu sekali melihat wajah yang tadinya tertawa gembira, tiba-tiba
menghentikan suara ketawa itu dan berubah menjadi demikian serius.
Pemuda itu
kemudian menoleh memandang kepada anak penggembala dan melihat anak itu
tertawa-tawa, dia pun tertawa lagi. Keduanya tertawa dan Hui Lian yang tidak
mengerti apa yang mereka tertawakan, mengerutkan alisnya lebih dalam lagi.
"Diam!
Mengapa kalian tertawa-tawa seperti orang gila?" bentaknya.
Meski pun
anak itu tidak mengerti ucapannya, namun agaknya dia mengerti bahwa orang
berpakaian serba putih itu sedang marah-marah. Maka dia pun langsung berhenti
tertawa seperti juga Si Pemuda Bercaping Lebar yang secara tiba-tiba sudah
menghentikan lagi suara ketawanya.
"Nah,
apa yang kau tertawakan? Kau mentertawakan aku, ya?!" Hui Lian kini
menghardik Si Caping Lebar.
Caping lebar
itu bergerak-gerak lucu pada saat kepala yang ditungganginya menggeleng.
"Bukan mentertawakan, melainkan tertawa akibat girang sebab dugaanku
agaknya benar. Tadi aku menduga bahwa engkau adalah seorang yang amat tampan
dan ganteng, juga berhati baik sekali. Ketika engkau menegur aku dan
marah-marah, aku merasa kecelik. Orang marah mana bisa nampak tampan? Akan
tetapi ketika engkau tidak marah lagi dan tersenyum tadi, barulah aku yakin
bahwa dugaanku benar. Engkau seorang laki-laki yang tampan dan ganteng, juga
berhati baik sekali. Atau... barangkali dugaanku tetap keliru?"
Tentu saja
Hui Lian tidak berani lagi memperlihatkan sikap marah. Siapa orangnya yang
tidak ingin disebut tampan dan baik hati? Dia tersenyum, kini senyumnya lebih
manis dan ramah, namun karena dia masih merasa curiga kalau-kalau pemuda
bercaping ini sedang mempermainkannya, dia pun berkata. "Tentu saja aku
marah kalau engkau pecengisan?"
"Pecengisan?
Apa itu?" tanya Si Pemuda Bercaping.
"Pecengisan
itu tidak bersungguh-sungguh tapi ingin memperolokku! Engkau tidak sedang
mempermainkan aku, bukan?"
"Wah,
tidak! Tidak! Mana bisa aku mempermainkan? Engkau begini tampan dan gagah,
begini baik, mana aku berani?"
"Nah,
kalau begitu tanggalkan dulu capingmu yang selalu menutupi mukamu supaya aku
dapat bicara sambil memandang mukamu!"
Pemuda itu
lalu menanggalkan capingnya dengan cara mendorong caping itu ke belakang
sehingga benda itu kini tergantung di belakang tubuhnya karena talinya
tergantung pada leher, dan caping itu menutupi buntalan pakaiannya yang
digendongnya.
Hui Lian
makin kagum. Ternyata pemuda ini ganteng bukan kepalang! Pakaiannya yang
berwarna biru muda itu biar pun sederhana, namun bersih, juga rambutnya hitam
sekali, terawat baik.
"Nah,
begitu baru baik. Sekarang katakan, bagaimana engkau tahu-tahu dapat berjalan
bersama penggembala ini? Di mana engkau ketika ada orang mencuri domba-domba
itu tadi?"
"Aku
kebetulan saja lewat dan melihat engkau berkelahi melawan empat orang iblis
tadi. Melihat adik penggembala ini ketakutan, aku segera mengajaknya pergi dan
menghalau semua domba-dombanya menjauhi tempat itu karena takut kalau-kalau ada
orang jahat lagi yang akan merampas dombanya. Bagaimana dengan perkelahian
tadi? Menangkah engkau? Dan di mana mereka itu?"
Hui Lian
mengangguk-angguk. Ternyata hanya orang lewat secara kebetulan saja. "Aku
sudah berhasil mengusir mereka," jawabnya singkat. "Mereka itu
orang-orang berbahaya sekali, aku harus mengantar adik penggembala ini sampai
ke rumahnya."
"Wah,
kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun tadinya hendak mengantarnya, akan tetapi
aku takut kalau-kalau ketemu orang jahat. Kalau engkau yang suka mengantarnya,
hatiku menjadi lega, Toako. Kini aku bisa melanjutkan perjalananku. Selamat
berpisah, senang sekali dapat bertemu seorang yang demikian gagah perkasa
seperti engkau."
Pemuda itu
mengenakan capingnya kembali, lalu memisahkan diri dengan langkah lebar menuju
ke kiri. Kepada anak penggembala itu, dia hanya tersenyum sambil melambaikan
tangan, dibalas oleh penggembala itu.
"Di
mana dusunmu?" Hui Lian bertanya kepada Si Penggembala setelah orang
bercaping lebar itu lenyap di balik pohon-pohon.
Anak itu
menunjuk ke sebuah bukit gundul yang berada di depannya. "Di balik bukit
itu."
"Hemm,
kenapa engkau menggembala domba sedemikian jauhnya?"
"Di
sana tidak ada rumput yang bagus, dan domba-domba ini harus diberi makan rumput
yang segar agar mereka tetap sehat dan segar ketika disembelih esok lusa."
"Disembelih?
Semuanya ini...?" Hui Lian memandang kepada domba-domba itu, dan baru
sekarang timbul perasaan ngeri mendengar bahwa domba-domba yang jinak dan manis
itu akan disembelih semua!
Melihat
betapa binatang-binatang yang jinak dan lemah ini, yang pada waktu digiring dan
mengembik nampak sekali tidak berdaya, kini hendak disembelih semua, timbul
perasaan kasihan dan ngeri. Padahal sejak kecil dia sudah makan daging domba
dan belum pernah dia teringat kepada dombanya kalau sedang makan daging domba.
"Ya,
semuanya ini dan masih banyak lagi. Kepala suku kami hendak mengadakan pesta
pemilihan suami untuk puterinya. Wah, pasti akan ramai sekali karena pemilihan
sekali ini pakai sayembara mengadu ilmu ketangkasan!"
Tentu saja
Hui Lian merasa tertarik sekali. Dia pernah mendengar tentang suku bangsa yang
mempunyai kebiasaan bermacam-macam mengenai pernikahan, dan dia pun pernah
mendengar tentang kebiasaan sayembara untuk memperebutkan seorang wanita
cantik, terutama puteri kepala suku.
"Apakah
aku boleh ikut menonton?" tanyanya, mempergunakan bahasa Miao yang hanya
dikuasainya setengah matang tapi cukup untuk dapat dipakai berkomunikasi dengan
anak penggembala itu.
Anak itu
mengangguk. "Pesta ini memang merupakan pesta suku kami, akan tetapi boleh
saja orang luar menonton, bahkan boleh juga kalau ada yang mau mengikuti
sayembara. Apa lagi untuk engkau yang sudah menyelamatkan domba-domba ini,
kepala suku kami tentu akan senang sekali mendengarnya. Marilah ikut bersamaku
sampai ke dusun, nanti akan kuperkenalkan kepada kepala suku."
Hui Lian
yang memang sedang merantau dan ingin mengalami hal-hal baru, mengangguk
senang. Mereka mendaki bukit di depan dan ketika tiba di puncak bukit, anak itu
segera menuding ke bawah. "Nah, di sanalah perkampungan kami."
Di bawah
bukit itu nampak sebuah perkampungan terdiri dari rumah-rumah sederhana. Akan
tetapi perhatian Hui Lian tertarik kepada sesosok tubuh yang menggeletak tak
jauh dari situ, terlentang seperti sudah tak bernyawa saja.
"Di
sana ada orang...," katanya dan cepat menghampiri, diikuti oleh anak
penggembala itu yang berlari-lari di belakang Hui Lian.
"Aihhh…
dia Kiao Yi!" tiba-tiba penggembala itu berseru. "Tuan, apakah dia...
dia sudah mati...?" Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh
kekhawatiran.
Hui Lian
cepat memeriksa. Orang itu belum mati, akan tetapi lemah sekali dan pingsan.
Melihat mukanya yang agak kebiruan serta mulutnya yang mengeluarkan busa, dia
dapat menduga bahwa tentu orang ini sudah keracunan. Suheng-nya pandai membuat
obat anti racun, dan dia juga membawa obat itu untuk bekal dalam perjalanan.
"Tidak,
dia belum mati. Cepat cari air untuk kuberi minum obat padanya," kata Hui
Lian.
Penggembala
itu lalu mengeluarkan guci tempat air yang dibawanya untuk bekal. Hui Lian
mengeluarkan satu butir pil putih, kemudian memaksa orang yang pingsan itu
menelan pil bersama air yang diminumkannya, dibantu oleh penggembala itu.
Hui Lian
lalu menotok sana sini. Orang itu masih muda, usianya paling banyak dua puluh
lima tahun, kulitnya kecoklatan seperti bangsa Miao pada umumnya, kepalanya
memakai kain kepala yang dilibat-libatkan seperti sorban, dan wajahnya cukup
tampan.
Pemuda Miao
itu mengeluh, mulai siuman dan membuka mata lalu bangkit dan muntah-muntah.
Legalah hati Hui Lian. Kalau pemuda itu muntah, hal itu berarti nyawanya akan
tertolong, karena racun itu ikut tertumpah keluar.
Sesudah
semua isi pencernaannya tertumpah keluar, agaknya pemuda itu baru melihat
adanya Hui Lian dan penggembala itu. Dia mengenal penggembala itu, akan tetapi
heran melihat Hui Lian. Anak penggembala itu cepat memberi tahu bahwa Hui Lian
adalah orang yang telah mengobatinya. Pemuda itu cepat-cepat memberi hormat sambil
menghaturkan terima kasih.
"Tak
perlu berterima kasih," kata Hui Lian dengan bahasa Miao yang kaku.
"Lebih baik ceritakan bagaimana engkau berada di sini, pingsan dan
keracunan."
Pemuda yang
bernama Kiao Yi itu mengerutkan alisnya lalu menggelengkan kepala.
"Saya
sendiri tidak tahu. Tadi saya sedang bersama para pemuda lain, terutama mereka
yang hendak mengikuti sayembara besok, kami makan-makan bersama. Kemudian saya
merasa perutku tidak enak sehingga saya lalu menjauhkan diri pergi ke sini. Makin
lama perutku terasa semakin nyeri dan akhirnya saya tidak ingat apa-apa
lagi."
"Hemm,
engkau keracunan, tentu dalam makanan itu terdapat racunnya," kata Hui
Lian.
"Ahh,
kalau begitu semua temanku tentu keracunan pula! Saya harus segera kembali ke sana
untuk melihatnya!" Kiao Yi meloncat bangun, akan tetapi segera terguling
roboh lagi dan dia mengeluh. Kepalanya pening dan tubuhnya lemah sekali.
"Engkau
sudah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi masih lemah dan sedikitnya harus
beristirahat sampai seminggu barulah kesehatanmu akan pulih kembali."
"Ahh,
mana bisa begitu?" Kiao Yi berteriak kaget. "Saya harus mengikuti
sayembara itu! Tidak mungkin saya tidak ikut dan membiarkan saja kekasih saya
jatuh ke tangan orang lain!"
Anak gembala
itu lalu menerangkan kepada Hui Lian. "Kakak Kiao Yi ini adalah kekasih
Nian Ci, puteri kepala suku kami, dan juga dia paling gagah di antara para
pemuda kami. Sudah dapat dipastikan bahwa dia tentu akan menang dalam sayembara
itu, apa lagi dia memperoleh dukungan puteri kepala suku kami. Akan tetapi
sekarang dia sakit..."
Kiao Yi
mencoba untuk bangkit lagi, tetapi dia harus terduduk kembali sambil memegangi
kepala dengan kedua tangannya karena kepalanya terasa seperti melayang dan
pandang matanya terputar.
"Jangan
dipaksa berdiri dulu, engkau harus beristirahat. Jelas bahwa engkau tak mungkin
dapat mengikuti sayembara itu, apa lagi jika sayembara itu dilakukan besok
pagi. Apakah tidak bisa ditunda dan diundurkan sampai seminggu lagi agar engkau
sembuh lebih dulu?"
"Tidak
mungkin." jawab Kiao Yi. "Waktu telah diputuskan oleh kepala suku
sehingga tidak mungkin dirubah atau diundurkan, semua persiapan sudah
dilakukan. Ahh, Nian Ci... Nian Ci... agaknya Langit dan Bumi tidak menghendaki
kita menjadi suami isteri!" Pemuda itu nampak berduka sekali.
Pada saat
itu terdengar suara gaduh dan ketika Hui Lian menoleh, ternyata ada belasan
orang pemuda berlari-larian naik ke bukit itu. Melihat mereka, anak penggembala
itu cepat mengangkat tongkatnya kemudian berteriak-teriak memanggil. Mereka
berlarian naik dan nampak oleh Hui Lian bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang
bertubuh sehat dan kuat, juga sikap mereka gembira.
Akan tetapi,
saat mereka tiba di situ melihat adanya seorang asing, mereka memandang heran
dan sibuklah anak penggembala itu menceritakan betapa domba-dombanya hampir
dirampok orang, namun dia ditolong oleh pemuda bangsa Han. Selain itu
diceritakannya pula betapa ketika pemuda Han itu sedang mengantar dia pulang,
di puncak itu mereka menemukan Kiao Yi dalam keadaan pingsan dan pemuda itu
pula yang sudah menolong dan mengobatinya.
"Dan
aku harus beristirahat satu minggu baru kesehatanku akan pulih kembali!"
Kiao Yi mengeluh kepada teman-temannya. "Dan aku tidak bisa ikut sayembara
itu... ahh, betapa sial nasibku...!"
Hui Lian
memandang kepada belasan orang muda itu, kemudian bertanya kepada Kiao Yi.
"Mereka inikah yang makan-makan bersamamu tadi?"
Kiao Yi
mengangguk. "Untung di antara mereka agaknya tidak ada seorang pun yang
keracunan seperti aku."
Para pemuda
itu lalu menggotong Kiao Yi yang lemah turun dari bukit, diikuti oleh anak
penggembala domba dengan domba-dombanya, dan Hui Lian yang semakin tertarik
juga mengikuti mereka. Sesudah tiba di perkampungan itu, para pemuda membawa
Kiao Yi ke dalam rumahnya, disambut oleh ibu pemuda itu dengan bingung.
Kiao Yi
sudah tidak berayah lagi, ada pun ibunya menjadi khawatir sekali melihat
keadaan puteranya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Hui Lian adalah pemuda
Han yang telah menolong puteranya, dia segera mempersilakan Hui Lian masuk ke
dalam rumah sebagai seorang tamu yang dihormati.
Setelah anak
penggembala pergi bersama para pemuda itu, Hui Lian yang duduk di dekat
pembaringan Kiao Yi lantas bertanya. "Namamu Kiao Yi, bukan? Aku tadi
mendengarnya dari anak penggembala itu."
"Benar
sekali," jawab pemuda yang lemah itu.
"Namaku
Hui Lian. Kiao Yi, apa saja yang harus dilakukan dalam sayembara yang akan
diadakan besok itu?"
"Ada
lima macam. Pertama diadu kemahiran menunggang kuda dan mempergunakan anak
panah sambil berkuda. Ke dua diadu kecepatan menangkap seekor rusa muda. Ke
tiga diharuskan melawan seekor kerbau. Ke empat, diserang tiga kali dengan anak
panah dalam jarak seratus meter, dan ke lima siapa yang bisa lulus dalam ujian
sampai empat macam itu diharuskan mengadu ilmu berkelahi. Sebagai ujian
saringan bagi para pengikut harus membawa sebuah batu besar meloncat ke atas
panggung."
Hui Lian
mengangguk-angguk. "Hemm, berat juga. Dan tadinya engkau yakin akan dapat
menang?"
Kiao Yi lalu
menarik napas panjang. "Semenjak kecil saya telah mempelajari semua ilmu
ketangkasan suku kami, dan apa bila melihat kemampuan teman-teman yang memasuki
sayembara besok, saya dapat mengharapkan untuk menang. Akan tetapi sekarang...
ahh, tak mungkin lagi..." Wajahnya nampak sedih sekali.
"Sudahlah,
Anakku, tidak perlu berduka. Agaknya Nian Ci memang bukan jodohmu. Lebih baik
engkau menjaga dirimu agar cepat sembuh, dan aku akan mencarikan gantinya Nian
Ci. Puteri Bibimu Mang juga cantik dan..."
"Tidak,
Ibu! Kalau tidak dengan Nian Ci, aku tidak mau menikah!"
"Anakku...!"
lbu itu menangis.
Melihat ini,
tergerak hati Hui Lian. Pemuda ini sudah saling mencinta dengan Nian Ci, apa
bila perjodohan mereka sampai gagal tentu akan mendukakan hati kedua orang muda
itu. Dan lebih lagi, dia merasa curiga sekali.
Kiao Yi
makan-makan bersama belasan orang pemuda temannya yang juga akan menjadi
saingannya besok. Dia keracunan, akan tetapi kenapa pemuda-pemuda yang lain
tidak? Agaknya tentu ada permainan kotor di sini! Hal inilah yang membuat dia
penasaran sekali.
"Kiao
Yi, karena engkau sedang sakit, biarlah aku saja yang akan mewakilimu maju
dalam sayembara itu. Aku akan berusaha sampai menang supaya engkau bisa menikah
dengan Nian Ci," katanya.
Kedua mata
pemuda itu terbelalak dan pandang matanya menatap wajah Hui Lian penuh selidik.
"Kak Hui Lian, apakah engkau pernah melihat Nian Ci?"
Hui Lian
menggeleng kepala. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan penggembala
domba itu dan ikut ke sini."
Pemuda itu
nampaknya semakin heran. Tadinya dia mengira bahwa tentu pemuda Han ini melihat
Nian Ci dan tertarik oleh kecantikan gadis kepala suku itu.
"Kalau
begitu, mengapa engkau hendak ikut sayembara?"
"Aku
ingin mencegah agar Nian Ci tidak menikah dengan orang lain, kecuali
denganmu."
"Kakak
Hui Lian, engkau sudah menolong saya, sekarang hendak melakukan hal itu lagi?
Tidak, besok engkau boleh memasuki sayembara, akan tetapi kalau menang, biarlah
Nian Ci menjadi isterimu. Ia cantik jelita dan menarik, juga pandai sekali.
Dari pada dia terjatuh ke tangan pemuda lain, saya rela kalau dia menjadi
isterimu!"
"Tidak,
Kiao Yi, aku melakukannya untukmu."
"Mana
bisa? Sayembara itu bukan tidak berbahaya, terutama sekali ujian diserang anak
panah dan adu ilmu berkelahi itu. Bisa terluka, bahkan bisa tewas!"
"Akan
tetapi aku yakin akan dapat menangkan mereka, Kiao Yi."
"Tapi...
tapi... Kak Hui Lian, mengapa engkau tidak mau menerima hadiahnya? Mengapa
engkau tidak mau menikah dengan Nian Ci jika menang, melainkan hendak
memberikan gadis itu kepadaku? Mengapa?" Melihat betapa pemuda ini
berkeras dan agaknya akan menolak kalau dia tidak berterus terang, Hui Lian
tersenyum.
"Kiao
Yi, memang ada rahasianya mengapa aku tidak mau menikah dengan Nian Ci atau
gadis mana saja di dunia ini. Akan tetapi, kalau aku membuka rahasia ini
kepadamu agar engkau tak merasa penasaran, dapatkah engkau menjaga supaya
rahasia ini tidak bocor dan diketahui orang lain?"
"Saya
bersumpah tidak akan membocorkannya!" kata Kiao Yi kemudian pemuda ini
minta kepada ibunya agar meninggalkan mereka berdua. Ibu yang tahu diri itu pun
cepat keluar dan setelah tinggal berdua saja, Hui Lian berkata lirih.
"Kiao
Yi, ketahuilah mengapa aku tidak bisa menikah dengan Nian Ci, karena sebenarnya
aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria."
Kiao Yi
terkejut sekali. Kalau saja tubuhnya tak selemah itu, tentu dia langsung
meloncat turun dari pembaringannya. Dia memandang dengan mata terbelalak dan
sejenak dia tak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia bicara, suaranya
berat dan gemetar.
"Kalau
begitu, sungguh... lebih tidak mungkin lagi. Sebagai seorang wanita,
bagaimana... bagaimana engkau dapat melakukan semua ujian dalam
sayembara...?"
Kembali Hui
Lian tersenyum. "Jangan khawatir, percayalah kepadaku, Kiao Yi. Kalau aku
tidak merasa mampu, tentu aku tidak menawarkan diri mewakilimu."
Kiao Yi
segera teringat akan cerita yang pernah didengarnya, yang dianggapnya sebagai
dongeng, tentang wanita-wanita pendekar di antara bangsa Han.
"Apakah...
apakah... engkau seorang pendekar wanita?"
Untuk
meyakinkan hati pemuda itu, Hui Lian segera mengangguk. "Nah, cukuplah,
jangan dibicarakan lagi hal itu. Bersikaplah seakan-akan aku masih seperti
tadi, seorang sahabat laki-laki. Dan namaku tetap Hui Lian, karena memang
itulah namaku."
Kiao Yi
girang sekali. Kalau seorang pendekar wanita yang menolongnya, tentu dia akan
berhasil menikah dengan gadis kekasihnya itu! Dia lalu berteriak memanggil
ibunya yang tergopoh-gopoh memasuki kamar.
"Ibu,
kakak Hui Lian ini akan mewakili aku di dalam sayembara dan aku yakin dia pasti
dapat menang. Ibu persiapkan saja segala keperluan untuk pernikahanku dengan
Nian Ci. Dan berikan kamar tidur besar kepada Kakak Hui Lian. Ibu tidur di sini
bersamaku."
Ibunya
memandang puteranya dengan perasaan heran. Kenapa tamu muda itu tidak tidur
saja bersama Kiao Yi? Bukankah hal itu lebih tepat, pemuda tidur dengan pemuda?
Akan tetapi karena tamu itu merupakan orang terhormat, dia pun tidak membantah
dan cepat meninggalkan kamar itu untuk membersihkan kamar besar.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment