Wednesday, September 26, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 20



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 20


SIAPAKAH pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong anak penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia bukan lain adalah Hay Hay!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Kakek itu tidak lama melatih Hay Hay, hanya kurang lebih selama satu bulan, tapi gemblengan yang diberikan itu betul-betul membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dengan empat orang manusia iblis itu. Apa lagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu benar akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan.

Akan tetapi pemuda tampan yang dikeroyok oleh empat orang datuk sesat yang amat lihai itu tampak demikian lincah, gerakannya begitu ringan dan tampak tidak sungguh-sungguh pada saat menghadapi pengeroyokan mereka! Akan tetapi tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jeri dan melarikan diri.

Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia segera mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walau pun dia tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran.

Dia mengajak penggembala itu pergi. Pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka, terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai berusia tujuh tahun.

Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan berbicara dengan Hui Lian, dia merasa sangat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan sikapnya sedikit kewanitaan, terutama sekali aroma harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang senang memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan.

Setelah mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan dan lewat dekat sebuah dusun, dia pun mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan!

Sebagai seorang pemuda, apa lagi yang suka dengan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali. Maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!

Ketika dia sampai di perkampungan itu, di sana telah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri mau pun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berbondong datang untuk turut menonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan sudah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat pada sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat.

Saat itu pula nampak seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang serta kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya. Dan keadaan pakaian yang berbeda dari para laki-laki lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dia adalah kepala suku.

Lelaki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberi tahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlombaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi menantunya, menikah dengan Nian Ci.

Akan tetapi, walau pun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal, maka dia pun menjadi lega karena pidato itu ternyata hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu supaya cukup luas, ia pun lalu mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama.

Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang sangat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah pada saat dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka.

Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya kini hadir di sana dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.

Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlombaan. Dia sengaja menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga nampaklah lengannya itu penuh dengan otot yang melingkar-lingkar.

Pemuda itu menghampiri batu hitam itu, tubuhnya membungkuk lalu sepasang lengannya yang besar memeluk batu hitam, setiap gerakannya diikuti pandang mata para penonton. Kemudian, sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu sudah diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang turut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu.

Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan berlari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang sehingga tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah.

Terdengar keluhan para penonton yang turut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujian saringan sehingga tak diperkenankan ikut sayembara.

Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa batu itu meloncat ke atas panggung, lantas disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang peserta yang ketika meloncat, terjatuh kembali namun dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu lantas menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati.

Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum tenang.

Ketika datang giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh, bahkan ada pula yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini adalah orang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apa lagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping jika dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang segera memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung.

Tentu saja yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu. Mengingat bahwa dia adalah seorang wanita, yang harus mengangkat batu seberat itu kemudian membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana jika penolongnya itu sampai celaka? Hampir Kiao Yi tak berani membuka mata dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya ketika Hui Lian mulai menghampiri batu itu.

Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri-seri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian sudah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan!

Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa dia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras dari pada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak sambil bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula menemukan peserta sayembara yang amat hebat itu!

Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu?

Dengan langkah sangat tenang, Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu kini menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung, amat mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton sekali ini dibandingkan dengan sambutan untuk peserta lain yang juga berhasil tadi.

Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta yang terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada seorang peserta lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, melangkah menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas!

Tentu saja semua orang menjadi terkejut hingga sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apa lagi setelah pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas lantas menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai serta tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini.

Dengan batu di atas kepala, Hay Hay lalu meloncat ke atas panggung! Batu itu bagaikan menempel di kepalanya, sedikit pun tak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika ia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.

"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"

Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat ada orang luar yang namanya tak terdaftar ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apa lagi sesudah mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!"

Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlomba untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara! Dengan gerakan yang sangat ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu. Ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya lalu perlahan-lahan diletakkan kembali ke atas tanah tanpa menimbulkan suara apa pun.

Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlombaan ini!

Hui Lian mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat ulah Hay Hay. Diam-diam dia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ternyata ikut pula dalam sayembara dan agaknya mempunyai kepandaian yang demikian hebat!

Dia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tak ada artinya. Dia sendiri juga sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi dia segera tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Dia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci!

Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan itu. Perlombaan pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang sudah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon.

Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya berhasil lulus dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, lantas dengan berbagai gaya mereka berhasil memanah lingkaran secara tepat sekali.

Tibalah giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena dia mempunyai ilmu ginkang yang sangat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, meski pun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal.

Hui Lian lalu menggunakan ginkang-nya ketika tiba saatnya dia harus melepaskan anak panah. Kalau tadi empat peserta yang lainnya melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan berhasil tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.

Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tentu tadi tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggapnya pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kuda, Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia pun mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya.

Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang merasa terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kuda tunggangan bagi peserta keahlian memanah ini sebab masih liar dan belum jinak benar.

Akan tetapi, Hay Hay mana mengerti semua ucapannya? Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam!

Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu lantas mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan bagai kemasukan setan! Hay Hay terkejut sekali, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkang-nya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam.

Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat dari pada Hui Lian. Dengan sepasang kakinya dia menjepit perut kuda sambil mengerahkan sinkang sehingga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan sekarang empat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.

"Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda.

Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan sekarang tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apa lagi karena Hay Hay menggunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari secara lurus dan indah.

Hay Hay juga merubah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia tetap enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu.

Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya dia harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada tali busurnya, kemudian sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai, namun juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian.

Ujian yang pertama itu dilewati dengan baik oleh enam orang yang mengikuti sayembara. Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini bersiap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak belukar, keenam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran.

Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biar pun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat-cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa.

Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa sekarang tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, maka dia pun enak-enak saja dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan.

Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan di antara mereka ada juga yang bertaruh siapa yang akan lebih dahulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya, yaitu para pemuda suku Miao.

Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian telah nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton.


Wajah Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tidak disangkanya bahwa gerakannya yang amat cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini tersenyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya.

Juga diam-diam dia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang, seorang pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja memperebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar diperisterinya karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik dari pada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main!

Dia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita, maka dia yang akan menentangnya! Berbahaya apa bila seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi.

Lama setelah kedua orang peserta ini kembali di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka.

Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay. Dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran setelah melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah mendahului mereka, malah masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka!

Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena kini para peserta akan diuji kegagahan serta kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka masing-masing harus mampu merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya hingga tidak mampu bangkit kembali.

Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan meski pun jinak, apa bila dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor

Seorang peserta, pemuda Miao bertubuh jangkung dengan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari kandang lalu membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.

Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan membuat kerbau tidak berdaya adalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi.

Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu sangat kuat dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau saja orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, maka akan berbahayalah keadaannya.

Pemuda Miao jangkung berkumis itu tampaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Sesudah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia menunggu saat kerbau itu lengah, lalu tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya telah dipuntir sehingga dia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling.

Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan.

Menurut peraturan, jika hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tetap tidak terlepas, maka berarti menanglah peserta sayembara itu. Jika sebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, maka dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang mulai dari satu sampai lima puluh!

Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha terus meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampai lima puluh. Dengan tubuh penuh peluh dan napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya lalu kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya.

Peserta ke dua maju sambil menuntun keluar seekor kerbau lainnya. Seperti juga peserta pertama, dia lalu merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan baru mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya sehingga orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya.

Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan sehingga orang itu terlempar dengan lengan berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang langsung mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah!

Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka yang lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, dada orang ke tiga ini terkena seruduk sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal.

Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walau pun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, tibalah giliran Hui Lian.

Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali mereka yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi justru memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang menggunakan tenaga besar, ada pun wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan yang lebih celaka lagi, bagaimana jika sampai terluka? Ngeri dia kalau membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!

Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka sesudah melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai yang gaduh, kerbau itu telah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan dia telah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika dituntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok.

Akhirnya Hui Lian pun tiba di tengah lapangan dengan kerbaunya. Dia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku beserta keluarganya, termasuk juga puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua penonton, kini sedang mencurahkan perhatian mereka kepadanya.

Ketika dia mengerling ke kiri, dia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu sangat kagum dan tertarik kepadanya, dan diam-diam ada perasaan penasaran juga keinginan keras di dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya.

Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, biar pun tidak sulit baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya kalau dia mau melakukan hal itu! Tidak, dia tidak akan merangkul dan memuntir leher kerbau itu, namun dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan ke arah lutut keempat kaki binatang itu, tidak terlalu keras namun cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh!

Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi. Setiap kali dia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian langsung menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak mampu bangkit kembali karena Hui Lian selalu menyusulkan tendangan.

Orang-orang bersorak sungguh pun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walau pun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya biar pun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu.

Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera, hanya agak terpincang-pincang sedikit. Maka legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.

Tibalah giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Semua orang tertegun ketika dia memilih seekor kerbau yang terbesar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi segera meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya.

Kerbau paling liar yang sengaja dipilihnya itu terkejut lantas hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kakinya menendang perut dan menggunakan kedua tangannya memegang leher, kerbau itu langsung menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju tengah lapangan, ke tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya.

Dan tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"

Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, lalu beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu pun menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam di luar kemauannya!

Para petugas mulai menghitung dan sesudah dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Setelah hitungan habis dan Hay Hay melompat turun, baru kerbau itu mendengus kemudian meloncat marah dan hendak lari mengamuk.

Akan tetapi dengan cekatan Hay Hay cepat menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini.

Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah ada dua orang yang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat sangat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya!

Sungguh berbahaya sehingga orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun biar pun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apa lagi kalau sampai mengenai mata!

Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apa lagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang dikenal di antara para pemburu sebagai orang yang tak pernah luput menggunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, juga sudah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju.

Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asalkan tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Pada punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing.

Semua penonton yang berada di belakang peserta diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama telah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat.

Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah bersiap. Kakek tinggi besar itu segera memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya. Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali.

Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi lantas meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu.

Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah datang menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dia membuang diri ke kanan dan seperti anak panah yang pertama, anak panah ke dua ini pun luput walau pun sudah menyerempet ujung bajunya.

Akan tetapi kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biar pun dia masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran anak panah ke tiga. Dia mengeluh kemudian roboh, pundaknya tampak berdarah. Dia pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal!

Peserta ke dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun maklum alangkah sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan, kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun, cepat sekali.

Peserta ke dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi sehingga anak panah itu meluncur di bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar lantas mengenai betisnya, membuat dia roboh pula sehingga harus dipapah terpincang-pincang keluar dari tempat itu. Gagal!

Hui Lian maju dan kembali peserta ini disambut oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao Yi juga memandang dengan wajah berseri-seri. Wakilnya itu tentu akan mampu lolos dari serangan anak panah. Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping itu, yang ternyata juga lihai bukan main!

Sesudah Hui Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, Si Pemanah kembali meluncurkan anak panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama sekali tak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya itu hanya disambut dengan tubuh dimiringkan saja dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya cepat menangkap anak panah itu, kemudian dia melontarkan anak panah itu ke depan hingga menyambar anak panah ke dua.

"Trakkk!"

Dua batang anak panah bertemu dan keduanya runtuh ke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong!

Tentu saja keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan gemuruh, terutama sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Dengan sikap dingin Hui Lian menoleh ke arah Hay Hay dan dara ini melihat betapa pemuda bercaping ini juga ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan tetapi, baginya senyum itu seperti mengandung ejekan!

Ketika Hay Hay maju, dia pun disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton yang menjagoinya. Kini penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka yang menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus hanyalah tinggal dua orang peserta ini.

Hay Hay melangkah maju dan dengan sikap seenaknya berdiri di tengah lingkaran yang telah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang juga telah mempersiapkan anak panahnya. Tadi pemanah ini terbelalak saat menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya. Jika tidak melihat dengan matanya sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh pemuda itu.

Tadi dia sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan nampak sinar anak panah meluncur ke arah pusar Hay Hay.

Seperti Hui Lian tadi, pemuda ini pun seperti mendiamkan saja anak panah itu meluncur ke arah dirinya. Setelah anak panah itu dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Anak panah itu tahu-tahu telah dicepitnya antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang mencabut rumput saja!

Anak panah ke dua menyambar ke arah dadanya. Hay Hay hanya miringkan tubuh, lalu tangan yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit!

Pada saat itu pula anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat di dekat lehernya, di bawah dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan!

Tentu saja demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Sekarang Hay Hay menggunakan dua batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk ke dalam tanah sampai ke bulu pada gagangnya. Luar biasa!

Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian dalam bela diri! Mereka berdua lalu dipanggil naik panggung.

Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke atas panggung ketika dia melihat Hui Lian sudah meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku.

Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.

Hay Hay memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan gadis itu bagian depannya terbuka agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas dengan ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya terlampau besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri-seri ketika gadis Miao itu mendekat.

SIKAP Hay Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan dia pun memandang kepada Hay Hay dengan tersenyum pula. Dia lebih suka kepada Hay Hay yang kelihatan ramah dari pada Hui Lian yang bersikap dingin saja, biar pun Hui Lian tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay,

"Mudah-mudahan engkau menang."

Hay Hay hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!"

Melihat sikap mereka dan mendengar pula ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi mendongkol sekali. Hemm, tak diduganya bahwa pemuda bercaping ini ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita!

Tadi Si Kepala Suku sendiri sudah menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu bukan dimaksudkan untuk saling melukai apa lagi membunuh, tetapi hanya untuk menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan atau totolan kepada tubuh lawan selama bernyalanya sebatang hio. Setelah itu akan dihitung, siapa yang lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit, dialah yang kalah.

Kini keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir. Hay Hay masih belum mengerti kenapa dia diberi mouw-pit dan tinta bak. Dengan mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh, lalu dia memandang Hui Lian.

"Eh, Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat tulisan indah? Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih mahir."

Hui Lian maklum bahwa orang ini sama sekali tak mengerti bahasa Miao, akan tetapi dia tidak tersenyum, bahkan merasa semakin mendongkol. Jika sudah memasuki sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya.

"Huh, kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya.

Hui Lian pun sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay tidak menghindar sehingga nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya. Dia pun terbelalak kaget dan kagum karena ternyata coretan itu bukan sembarangan saja, namun membentuk huruf ‘Mata Keranjang’!

"Ehhh...!" Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas makian lewat coretan, Hay Hay lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan.

Hui Lian terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya sekali. Pada saat dia mengelak ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung bajunya yang putih. Ketika memandang, dia melihat coretan itu pun berbentuk huruf makian yang berbunyi ‘Lancang Mulut’!

Hui Lian marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf makian ‘Goblok’ dan ‘Gila’ pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya dicoret-coret, akan tetapi sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya.

Ketika membaca ‘Goblok’ dan ‘Gila’, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga ingin tahu jawaban lawannya. Marahlah dia sesudah membaca huruf ‘Tolol’ dan ‘Sinting’ yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Dia pun segera balas menyerang kalang kabut, dan keduanya pun kini bertanding mempergunakan mouw-pit.

Setelah keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing maka sulitlah bagi keduanya untuk membuat satu totolan atau coretan saja di baju lawan! Sekarang keduanya terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa pihak lawan sedemikian lihainya!

Hay Hay memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini. Sebaliknya Hui Lian juga sangat terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga!

"Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras tapi hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!"

Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila!" dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"

"Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya tersenyum dan memuji dia manis!"

"Memang dia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"

"Engkau tolol, kalau tidak tergila-gila, kenapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.

"Aku ikut karena merasa tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya ingin mengurangi kesombonganmu berlagak dan memamerkan kepandaian!"

"Aihh, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu kalau sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya."

Hay Hay terkejut sekali sehingga dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang padanya dan tersenyum. Karena menoleh Hay Hay menjadi lengah, maka Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.

"Apa? Gadis beranting-anting besar itu? Jadi... jadi isteri pemenang...?"

"Benar, tolol! Dan kau tidak tahu mengenai itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi tetapi kali ini dia merasa terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.

"Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!"

Kini sambil bersilat Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena jika menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, maka dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula!

Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoreti pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam dia tertawa. Betapa pun juga pemuda ini bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali!

Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan segera memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh dengan coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek.

Sebagai pemenang Hui Lian lalu dihadapkan kepada kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa ‘pemuda’ itu telah diterima menjadi mantu ayahnya.

Akan tetapi Hui Lian melangkah mundur dan memberi isyarat penolakan dengan tangan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini?

"Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Mengapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara tadi sehingga berhak menjadi mantuku!"

"Aku mengikuti sayembara bukan untuk diriku sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan dia pun menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang tubuhnya masih lemah itu segera naik ke atas panggung kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku.

"Kiao Yi...!" Nian Ci berseru. Pemuda itu membalas pandangan mata kekasihnya lantas mengangguk tersenyum.

Semua orang mendengar ini merasa penasaran, maka mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung tinggi kegagahan serta kejujuran. Mereka tak setuju bila kini hadiah puteri kepala suku itu diberikan kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu.

Hay Hay juga merasa sangat penasaran. "Heiiii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu? Engkau sudah menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak? Dia cantik jelita dan manis, pantas sekali menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian.


cerita silat online karya kho ping hoo


Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin cinta dan saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku.


"Kiao Yi, apa artinya ini? Mengapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"

Kiao Yi menjawab dengan lantang sehingga didengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya saya sendiri yang hendak maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir saja mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dengan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini."

Sekarang para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di tempat itu menjadi sangat gaduh dan bising karena mereka saling berbantahan sendiri. Ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada pula yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.

Selagi keadaan mulai menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan tampaklah orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya sangat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap sungguh menyeramkan. Apa lagi ketika nampak beberapa orang Miao sudah roboh mandi darah akibat diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.

Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao pada hari kemarin. Dia tahu alangkah lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain yang keadaannya juga aneh-aneh namun menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.

Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya, Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya.

Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan telah bersekutu, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat, dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.

Ketika itu golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang selalu menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi.

Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini, maka oleh kalangan sesat dia pun dianggap sebagai tokoh musuh. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka.

Benda mustika itu berupa sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat pula menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka dapat menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung pada dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.

Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasangan suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka. Kemarin mereka telah gagal merampas domba, kemudian pada hari ini, bersama dengan gerombolan teman-teman mereka, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.

Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat-cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu."

Mereka telah menceritakan kepada rekan yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu.

Begitu melihat Hui Lian, Ji Sun Bi yang mata keranjang segera jatuh hati. Tidak dikiranya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang lelaki yang demikian tampan. Maka dia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi telah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.

"Orang muda yang ganteng, engkau ikut saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!" katanya sambil melepas senyum manis serta lirikan mata memikat.

Hui Lian mengerutkan alisnya ketika melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita cabul dan mata keranjang, maka dia pun membentak marah.

"Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"

Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, sesudah melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan berbalik menjadi kebencian.

"Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya, kemudian sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian.

Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian pun maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh, maka dia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba tampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan.

Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suheng-nya di dalam goa berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.

Ji Sun Bi yang sudah marah sekali melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.

"Cringgg…! Tranggg...!"

Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu dia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan dia pun sudah mendesak hebat!

Melihat ini, Min-san Mo-ko segera melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian.

Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu. Akan tetapi, melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, dia lalu bersikap hati-hati.

Dengan suara melengking tinggi Min-san Mo-ko menudingkan jari telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"

Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu laksana menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, begitu menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang di tangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dia masih mampu bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya yang semakin tinggi melengking.

"Orang muda, engkau tidak mampu menahan lagi, harus berlutut di hadapanku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian.

Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan biar pun hatinya menolak, akan tetapi kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut. Mendadak terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.

"Ha-ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tiada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!"

Ucapan ini langsung membuyarkan pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga dia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat dia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Dia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu.

Mukanya berubah merah karena tadi dia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang dia sadar bahwa dia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, dia tentu akan dapat mempertahankan dirinya!

"Terima kasih," katanya kepada Hay Hay.

"Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako, dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.

Hui Lian melihat betapa dua pasangan suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka kini mulai menyerbu sehingga terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban dari keganasan gerombolan itu. Melihat ini, dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Sementara itu sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Ji Sun Bi segera mengenalnya, maka giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang dahulu pernah membuat dirinya tergila-gila itu. Teringatlah dia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini telah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya.

"Hay Hay! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena dia sudah mengenal kelihaian Hay Hay.

Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan dia bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!

"Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko.

Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi sangat marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi dia tidak mengenal Hay Hay ketika pemuda ini muncul dan baru dia teringat sesudah Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Dia lantas teringat bahwa pemuda ini yang dahulu pernah dijatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos.

"Bagus! Dulu kebetulan saja engkau dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lantas menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan dua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi.

"Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena kini engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat

Tentu saja Hay Hay sudah siap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kembali kekuatan yang menyerangnya itu kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang sangat kuatnya.

"Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"

Min-san Mo-ko sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat dari pada ilmu sihirnya sendiri.

Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi sudah ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah dengan kekuatan pemuda itu sendiri. Kini tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan kepalang, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah dan tidur mendengkur!

Terkejutlah Ji Sun Bi melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya gurunya sangat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Barusan gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi kenapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur? Dia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sinkang dan berseru,

"Suhu, bangunlah! Bangunlah!"

Sebagai seorang ahli sihir yang amat berpengalaman tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Sekarang gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun lantas dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu.

Dia langsung teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air mata dan dia pun menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay.

"Hu-uhu-hu-huuu...!" Ia menangis dan mengeluh, "Hidup begini sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu...!"

Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain agar ikut menangis, apa lagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kekuatan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang meski pun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!

Hay Hay merasakan getaran yang sangat kuat, yang seolah-olah menerkam dirinya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun lalu membayangkan keadaan dirinya yang sebatang kara dan tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian.

Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menetes ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.

"Sudahlah, Kakek yang malang, janganlah terlampau berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu."

Kalau mendengar kata-kata hiburan, orang yang sedang bersedih biasanya kedukaannya menjadi penuh keharuan sehingga membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, sekarang sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis makin hebat, tidak hanya mengguguk lagi, malah kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!

Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi dia pun tidak berdaya karena dia juga menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, hingga keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam.

Hay Hay menggunakan dua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap. Akan tetapi sesudah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw! Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran.

Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi permainan pedang pemuda berpakaian putih itu demikian hebat sehingga meski pun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu!

Melihat ini, Hay Hay menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, kemudian orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena di dalam pandangan mereka, masing-masing adalah musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama terhadap dua orang pengeroyok lain dan tidak lama kemudian para pengeroyok Hui Lian itu sudah saling hantam sendiri di antara teman mereka!

Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung melihat ulah para pengeroyoknya itu, begitu pula dengan orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam sendiri itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka cepat berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu.

Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya dapat lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena di antara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas.

Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay sebab jelas bahwa dua orang inilah yang sudah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku.

"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat supaya Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?"

Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju, maka Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Hanya dengan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo.

"Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap.

Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul merasa yakin bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja datang hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi.

Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin betul, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekali pun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai sebuah rahasia keramat.


                ***************


"Heiiiii, sobat, tunggu dulu!" beberapa kali Hay Hay berteriak-teriak memanggil bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar teriakan ini, namun dia bahkan mempercepat larinya karena dia ingin menguji sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu.

Melihat betapa orang yang sedang dikejarnya itu malah semakin ngebut, Hay Hay segera mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan sangat cepatnya. Apa bila dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, sebetulnya dalam hal ginkang Hay Hay masih menang satu tingkat karena pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari See-thian Lama atau Go-bi San-jin yang memang mengandalkan ginkang, yaitu terutama sekali Ilmu Yan-cu Coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat tubuhnya sangat ringan dan dia dapat berlari secepat kijang.

Akan tetapi, di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun di dalam goa terasing. Inilah sebabnya kenapa kekalahannya dalam hal ilmu meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di antara keduanya tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh. Melihat kenyataan ini, kembali keduanya terkejut dan kagum.

Karena Hui Lian hanya hendak menguji, dan dia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan pemuda bercaping yang menarik itu, akhirnya dia berhenti di lereng sebuah bukit sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah dapat menyusulnya.

"Wah, sobat, larimu seperti kijang saja, cepat bukan main," Hay Hay memuji saat mereka sudah berdiri saling berhadapan.

Hui Lian tak menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum-senyum penuh daya tarik. Hidungnya yang mancung itu seperti orang yang selalu mengejek.

Pakaiannya sederhana saja, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning pada tepinya. Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar sekarang tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya. Seorang pemuda yang masih muda sekali, baru kurang lebih dua puluh tahun saja! Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay masih remaja!

Karena merasa dirinya sedang diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping, pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu memancarkan sinar. Akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan bentuknya indah, serta dagu yang meruncing itu, jelas terbayang kekerasan hati!

Sesudah beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?"

Hay Hay memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini, yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, namun sikap pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi dia telah melihat sepak terjang orang ini, dan biar pun sikapnya keras dan galak, namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar sejati.

Bukankah dia telah membela penggembala domba dan dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan dua pasang suami isteri iblis itu? Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan jahat itu untuk membela orang-orang Miao!

"Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Toako (Kakak)," kata Hay Hay dan ketika melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan, "bukankah sebenarnya sudah lama kita saling berkenalan? Kita bekerja sama menolong anak penggembala, malah kita sudah sama-sama menjadi rekan peserta sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau aku ingin mengenalmu lebih dekat?"

Sebenarnya, di dalam hati kecilnya Hui Lian juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, terlebih lagi sebagai seorang wanita, tentu saja dia merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya ini. Maka, untuk menyembunyikan perasaannya dia lalu menjawab ketus,

"Aku tidak punya waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, karena aku harus mengejar orang-orang tadi!"

Hay Hay melebarkan matanya. "Ahh, kebetulan sekali! Aku pun memiliki niat yang sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu, tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!"

"Kau mengenal mereka ?"

Hay Hay mengangguk. Maklum bahwa hal itu akan menarik perhatian pemuda galak dan angkuh ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui Lian merasa penasaran, apa lagi teringat betapa tadi hampir saja dia celaka oleh ilmu sihir kakek kurus itu.

"Siapakah mereka?"

"Bukankah akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu cepat disambungnya sesudah teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana kalau kita sekarang melanjutkan pengejaran dan nanti saja bercakap-cakap kalau kita telah berhasil menyusul mereka?"

Hui Lian mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya kemudian melanjutkan lari mereka mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu. Mereka berlari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu.

Dia masih mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini berwatak pesolek dan suka memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun!

Karena kedua orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang bertingkat tinggi, tubuh mereka berkelebatan cepat sehingga tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul gerombolan yang melarikan diri tadi. Sesudah sampai di balik bukit, gerombolan itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka tadi sudah dikejar dan kini sedang dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu.

"Apakah kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka berdua mengintai dari balik pohon-pohon dan melihat gerombolan itu berhenti mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki bukit sebelah sana.

"Tidak, aku ingin melihat dulu apa yang akan dilakukan gerombolan itu? Mereka memiliki kepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu adalah gerombolan perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin."

Hay Hay mengangguk-angguk. "Agaknya dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka itu bukan perampok-perampok biasa, apa lagi kalau melihat dua pasang suami isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu."

Sekarang tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka? Siapakah mereka itu?"

Hay Hay memandang Hui Lian sambil tersenyum lalu berkata, "Toako yang baik, sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih dulu? Kita telah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan gaya yang lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja kepada Hui Lian. "Toako, namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui namamu..."

Hui Lian segera membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?"

"Namaku hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku tidak punya. Engkau memiliki nama yang indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok), nama yang membayangkan kelembutan, cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan ini."

Hui Lian menatap wajah Hay Hay, secara diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini sudah dapat menduga bahwa dia seorang wanita. Akan tetapi karena dia tidak melihat tanda-tanda itu, dia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini apa bila tersenyum. Sayang jarang tersenyum, sebaliknya wajahnya lebih sering membayangkan kedinginan dan kekerasan hati.

"Berapa usiamu?" tanya Hui Lian.

"Dua puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun dari pada aku, Toako."

Hui Lian hanya mengangguk-angguk, secara diam-diam merasa girang bahwa dia terlihat jauh lebih muda dari pada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay Hay ini mengira bahwa dia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun! Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda dari pada usia sebenarnya?

"Sekarang ceritakan siapa mereka itu," katanya mengalihkan percakapan karena dia tidak ingin mereka bicara tentang dirinya.

"Lihat baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang wajahnya tampan dingin seperti memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang cantik akan tetapi mukanya pucat bagai mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Mereka berdua dikenal sebagai suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan dan sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo. Di daerah selatan nama mereka berempat sudah terkenal sekali."

"Aku pernah mendengar nama mereka," kata Hui Lian. "Dan siapakah wanita cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu? Siapa pula kakek kurus pucat yang lihai itu?"

Hay Hay memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dia pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbu dari wanita yang sangat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang dibangkitkan oleh wanita itu namun masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk mengatasi gelora nafsu birahinya sendiri.

"Wanita itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tak salah julukannya adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu bahkan lebih lihai dan berbahaya lagi karena selain ilmu silatnya tinggi, ia pun seorang ahli sihir dan nama julukannya Min-san Mo-ko."

Hui Lian memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih sangat muda, akan tetapi ternyata pengalamannya sudah luas sehingga mengenal banyak tokoh kang-ouw.

"Hay-te (Adik Hay), kiranya engkau telah mengenal banyak tokoh dari kalangan kang-ouw. Engkau begini muda tapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas!"

Hay Hay tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku belum apa-apa."

"Jangan merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku celaka oleh sihirnya." Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu. "Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir itu?"

"Kebetulan sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Di dalam hal ilmu silat sudah jelas kalau guru dan murid itu bukan tandinganmu sama sekali. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui, siapakah gurumu, Toako? Dari perguruan manakah?"

Hui Lian menghela napas panjang dan teringat akan suheng-nya. "Aku tidak punya guru, aku bersama suheng-ku menemukan kitab-kitab ilmu silat kemudian kami mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperoleh ilmu kepandaian begini tinggi?"

"Wah, guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku semacam cap-jai saja, campuran bermacam-macam aliran. Dasar aku yang tolol, semakin banyak diberi pelajaran, semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ahh, mereka sudah bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka."

"Tidak perlu!" tiba-tiba saja Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin bercakap-cakap denganmu dulu!"

Hay Hay terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus? "Kenapa? Bukankah kita bermaksud hendak membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi beristirahat.

"Nanti dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu penolak kekuatan sihir. Aku harus tahu lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan."

Hay Hay tersenyum sambil memandang wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh aneh. Apa engkau masih juga sangsi terhadap diriku yang telah bekerja sama denganmu menghadapi gerombolan tadi? Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak bekerja sama."

"Akan tetapi aku ingin tahu siapa gurumu!" Hui Lian mendesak.

"Kok-toako, sudah kukatakan bahwa guruku banyak sekali sampai aku tak ingat lagi, dan perlu apa mengenal guru-guru kita? Aku pun tidak bertanya siapa gurumu."

Hui Lian mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan meski pun tadi telah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan tetapi dia belum mengenal benar siapa dia sesungguhnya. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil hati.

Masih ada perasaan curiga bahwa pemuda ini memang seorang laki-laki mata keranjang, mengingat betapa dia tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang dara Miao yang cantik. Selain itu juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan sesungguhnya.

Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali. Bagaimana pun lihainya, pemuda ini baru berusia dua puluh satu tahun, masih tergolong seorang remaja, dan tak mungkin dia tidak mampu mengalahkannya!

"Kalau engkau tidak mau memberi tahu siapa gurumu pun tidak mengapa karena dengan bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Marilah kita main-main sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan pertandingan kita dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu."

Melihat Hui Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini? Mengapa engkau menantang aku? Apa lagi yang akan kita perebutkan sekarang?” Dia lalu menoleh ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan sekarang!"

Wajah Hui Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Kali ini kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya dengan gerakan cepat dan mantap.

Hay Hay terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah pada sisi lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian segera menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di tubuh Hay Hay.

"Ahh... ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget.

Dia repot mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau lengah.

Akan tetapi, melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Sesudah serangkaian totokannya tadi gagal, Hui Lian juga menjadi terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat hebat untuk mendesak lawan.

Di lain pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Di dalam pertandingan sayembara tadi, ketika mereka hanya saling totol dengan mouw-pit, dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akan tetapi sekarang barulah dia melihat betapa ilmu silat Kok Hui Lian memang hebat bukan main. Gerakannya begitu ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi sesosok bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya.

Oleh karena itu dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama!

Dan sekarang Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini mampu mengimbangi kecepatan gerakan tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya!

Memang, kalau dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga mau pun kelihaian ilmu silat kedua orang ini tak banyak selisihnya. Jika saja Hay Hay mau menggunakan kekuatan sihirnya, tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau melakukan hal ini.

Dia bisa menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh dan tidak mau dikalahkan. Maka dalam pertandingan itu pun dia hanya berusaha mengimbangi saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan lawan yang memang tidak mudah dilakukannya.

Setelah lewat dari seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin kagumlah dia, dan semakin suka karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian menarik.

"Haiiiittttttt...!" Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan, ke ubun-ubun dan leher!

Hay Hay terkejut bukan kepalang. Dia segera mengelak, tapi masih kurang cepat karena tangan kiri Hui Lian telah mencengkeram pundaknya. Hay Hay cepat-cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan keras.

"Brettttt...!"

Baju di bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Hampir saja pemuda ini berteriak saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda berpakaian putih itu!

Mata Hay Hay terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa kembali menyengat hidungnya.

Wanita ini basah oleh keringat, mulai dari dahi sampai ke lehernya penuh keringat, akan tetapi mengapa kini keharuman itu semakin semerbak? Apakah keringatnya yang berbau harum itu? Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh takjub.

"Maaf... maafkan aku... tidak sengaja...," katanya gagap teringat betapa tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh payudara wanita itu!

Wajah Hui Lian berubah kemerahan. Dia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan tetapi bagaimana pun juga kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Tadinya dia hendak marah sekali dan ingin menyerang lagi sebab pemuda itu berani menyentuh dadanya. Akan tetapi dia pun tahu diri, maklum bahwa jika pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan!

Ternyata sejak tadi Hay Hay sudah mengalah pada dirinya. Maka kemarahannya berubah menjadi perasaan malu sehingga sesudah mereka saling pandang sejenak, tanpa banyak cakap lagi Hui Lian cepat membalikkan tubuhnya kemudian meloncat pergi, melarikan diri dengan amat cepatnya.

"Toako...! Ehh... Enci yang baik...!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah lari jauh. Hay Hay tidak berani mengejar, karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah.

Dia pun berdiri termenung, kemudian bibirnya tersenyum-senyum nakal sambil mencium tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya berbau harum!

Dia pun segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia telah mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu.


                 ***************

Perahu itu sangat besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di tengah Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat sengaja menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan pelesir di telaga ini bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk dan takut terhadap Jaksa Kwan, seorang pembesar yang sangat keras dan selalu memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok.

Memang Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sebagai seorang jaksa yang menentang kejahatan dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan.

Pada masa itu jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir semua pejabat, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, pada waktu itu menjadi koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang sukar ditemukan keduanya.

Kejujuran dan keadilannya membuat dia sangat ditakuti oleh para penjahat dan disegani para pendekar, tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia dibenci oleh golongan hitam! Namun, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka dia pun tidak pernah merasa takut atau terancam.

Karena tidak mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tak mau berkorupsi, maka tidaklah aneh kalau sebagai seorang pejabat Kwan-taijin hidup sederhana sungguh pun juga tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia menerima gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang tingkatnya lebih rendah dari pada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan dan bergelimang kemewahan, maka keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup secara sederhana....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12