Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 20
SIAPAKAH
pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini
menolong anak penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia
bukan lain adalah Hay Hay!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan
seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid
dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Kakek itu tidak lama melatih Hay
Hay, hanya kurang lebih selama satu bulan, tapi gemblengan yang diberikan itu
betul-betul membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!
Sebagai
seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika
dia melihat perkelahian antara Hui Lian dengan empat orang manusia iblis itu.
Apa lagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu
benar akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Goa Iblis Pantai
Selatan.
Akan tetapi
pemuda tampan yang dikeroyok oleh empat orang datuk sesat yang amat lihai itu
tampak demikian lincah, gerakannya begitu ringan dan tampak tidak
sungguh-sungguh pada saat menghadapi pengeroyokan mereka! Akan tetapi tetap
saja empat orang ilbis itu menjadi jeri dan melarikan diri.
Tadinya Hay
Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin
bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia segera mengajak anak penggembala untuk
meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walau pun
dia tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan
dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu
menemaninya pergi dari tempat pertempuran.
Dia mengajak
penggembala itu pergi. Pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama
domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan
mereka, terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir
tujuh tahun, sejak dia bayi sampai berusia tujuh tahun.
Ketika Hui
Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan berbicara dengan Hui Lian, dia
merasa sangat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang
pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang
sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan sikapnya sedikit
kewanitaan, terutama sekali aroma harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang
pemuda yang senang memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya
karena hal itu amat kewanitaan.
Setelah mereka
berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan
tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan dan lewat dekat sebuah dusun, dia pun
mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku
bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan!
Sebagai
seorang pemuda, apa lagi yang suka dengan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik
sekali. Maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah
padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke
perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!
Ketika dia
sampai di perkampungan itu, di sana telah berkumpul banyak orang, baik suku
bangsa itu sendiri mau pun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang
berbondong datang untuk turut menonton keramaian yang menarik itu. Dan di
sebuah lapangan sudah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para
peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat pada sudut lapangan
itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam
yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat.
Saat itu
pula nampak seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak
gelang serta kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias
sorbannya. Dan keadaan pakaian yang berbeda dari para laki-laki lainnya dari
suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dia adalah kepala suku.
Lelaki
tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberi tahukan tentang
syarat-syarat dan macamnya perlombaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan
berhak untuk menjadi menantunya, menikah dengan Nian Ci.
Akan tetapi,
walau pun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun dia tidak
mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat
dia merasa kesal, maka dia pun menjadi lega karena pidato itu ternyata hanya
pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung
itu supaya cukup luas, ia pun lalu mendekat, maklum bahwa di panggung itulah
akan diadakan pertunjukan pertama.
Ada belasan
orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada
juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih
kuning. Yang sangat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton
adalah pada saat dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat
tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai
pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan
mengalahkan mereka.
Heran
sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya
kini hadir di sana dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir
dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan
kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.
Peserta
pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka
hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas
perlombaan. Dia sengaja menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga nampaklah
lengannya itu penuh dengan otot yang melingkar-lingkar.
Pemuda itu
menghampiri batu hitam itu, tubuhnya membungkuk lalu sepasang lengannya yang
besar memeluk batu hitam, setiap gerakannya diikuti pandang mata para penonton.
Kemudian, sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu sudah diangkatnya ke atas
kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang
turut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang
kuat itu.
Pemuda
bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan berlari meloncat ke atas
panggung, akan tetapi loncatannya kurang sehingga tidak mencapai panggung.
Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas
tanah.
Terdengar
keluhan para penonton yang turut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun
memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian
mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujian saringan sehingga tak
diperkenankan ikut sayembara.
Seorang demi
seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa batu
itu meloncat ke atas panggung, lantas disambut sorak-sorai dan tepuk tangan
para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil
mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke
atas panggung. Bahkan ada seorang peserta yang ketika meloncat, terjatuh
kembali namun dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu lantas menimpa
kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar
dari tempat itu untuk diobati.
Melihat
betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir
dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat
kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Akan tetapi pemuda itu
hanya tersenyum tenang.
Ketika
datang giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan
sikap mencemooh, bahkan ada pula yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di
antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki
kalau pemenang sayembara ini adalah orang Han sehingga puteri kepala suku
mereka akan menjadi isteri orang Han! Apa lagi melihat pemuda Han yang bertubuh
kecil ramping jika dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang segera
memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan
dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung.
Tentu saja
yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi. Dia belum tahu sampai
di mana kelihaian penolongnya itu. Mengingat bahwa dia adalah seorang wanita,
yang harus mengangkat batu seberat itu kemudian membawanya loncat, sungguh
ngeri dia membayangkan. Bagaimana jika penolongnya itu sampai celaka? Hampir
Kiao Yi tak berani membuka mata dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya ketika
Hui Lian mulai menghampiri batu itu.
Tepuk tangan
yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera
berseri-seri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh
kekaguman juga keheranan. Hampir dia tak dapat mempercayai pandang matanya
sendiri melihat betapa Hui Lian sudah mengangkat batu besar itu di atas kepala,
hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan!
Teringatlah
dia akan pengakuan Hui Lian bahwa dia adalah seorang pendekar wanita dan kini
timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras dari pada
yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak sambil
bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang
mula-mula menemukan peserta sayembara yang amat hebat itu!
Sambutan
orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi
cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya
sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu?
Dengan
langkah sangat tenang, Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke
atas kepala itu kini menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi
tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung, amat mudah dan
enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton
sekali ini dibandingkan dengan sambutan untuk peserta lain yang juga berhasil
tadi.
Hanya lima
orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah
peserta yang terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya,
ada seorang peserta lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba
putih, melangkah menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri
ke atas!
Tentu saja
semua orang menjadi terkejut hingga sejenak tidak ada yang bersuara saking
heran dan kagumnya, apa lagi setelah pemuda baju putih itu melemparkan batu ke
atas lantas menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai serta tepuk tangan
menyambut kehebatan pemuda baru ini.
Dengan batu
di atas kepala, Hay Hay lalu meloncat ke atas panggung! Batu itu bagaikan
menempel di kepalanya, sedikit pun tak pernah bergoyang dan dia masih membawa
batu itu di atas kepalanya ketika ia memberi hormat kepada kepala suku yang
duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil
berkata nyaring.
"Saya
ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"
Kepala suku
itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat ada
orang luar yang namanya tak terdaftar ikut pula memasuki ujian saringan, akan
tetapi melihat kehebatan orang ini, apa lagi sesudah mendengar kata-kata Si
Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang
dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!"
Tentu saja
ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para
pemenang yang lain berlomba untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara!
Dengan gerakan yang sangat ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa
batu besar itu. Ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya
sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya lalu
perlahan-lahan diletakkan kembali ke atas tanah tanpa menimbulkan suara apa
pun.
Semua orang
kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini
memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlombaan ini!
Hui Lian
mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat ulah Hay Hay. Diam-diam dia pun
terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu
ternyata ikut pula dalam sayembara dan agaknya mempunyai kepandaian yang
demikian hebat!
Dia tidak
merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tak ada
artinya. Dia sendiri juga sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya
pamer saja! Akan tetapi dia segera tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang
akan menjadi lawan utamanya. Dia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan
Nian Ci!
Hanya enam
orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan itu.
Perlombaan pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah
sasaran yang sudah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati
rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon.
Para peserta
suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli
mempergunakan anak panah, keempatnya berhasil lulus dengan baik. Kuda mereka
melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, lantas dengan berbagai gaya
mereka berhasil memanah lingkaran secara tepat sekali.
Tibalah
giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda,
akan tetapi karena dia mempunyai ilmu ginkang yang sangat hebat sehingga kuda
yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, meski pun
dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan
tidak pernah gagal.
Hui Lian
lalu menggunakan ginkang-nya ketika tiba saatnya dia harus melepaskan anak
panah. Kalau tadi empat peserta yang lainnya melepas anak panah sambil duduk dengan
berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu
membidikkan anak panahnya dan berhasil tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara
memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian
kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.
Tiba giliran
Hay Hay. Pemuda ini tentu tadi tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja
tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi
pemuda itu saja yang dianggapnya pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian
memanah sambil berdiri di atas punggung kuda, Hay Hay tersenyum dan ketika
dipersilakan maju, dia pun mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang
segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya.
Hay Hay
sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang merasa
terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat
untuk digunakan sebagai kuda tunggangan bagi peserta keahlian memanah ini sebab
masih liar dan belum jinak benar.
Akan tetapi,
Hay Hay mana mengerti semua ucapannya? Hay Hay mengira bahwa orang itu
mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun
hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda
hitam!
Begitu
merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu lantas mengeluarkan suara
meringkik keras dan segera berloncatan bagai kemasukan setan! Hay Hay terkejut
sekali, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu
berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkang-nya, tentu saja dia mampu duduk di
atas punggung kuda hitam.
Memang dia
hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat dari pada Hui Lian. Dengan
sepasang kakinya dia menjepit perut kuda sambil mengerahkan sinkang sehingga
tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan sekarang empat
kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.
"Kuda
yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah,
terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda.
Kuda itu
agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih
kuat darinya dan sekarang tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apa lagi karena Hay
Hay menggunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini
berlari secara lurus dan indah.
Hay Hay juga
merubah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas
punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati
rintangan-rintangan, dia tetap enak-enak tidur telentang di punggung kuda
seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan
sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu.
Hay Hay
masih tidur telentang ketika tiba saatnya dia harus memanah sasaran lingkaran
yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada
tali busurnya, kemudian sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke
atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga
papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini
disambut sorak-sorai, namun juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh
Hui Lian.
Ujian yang
pertama itu dilewati dengan baik oleh enam orang yang mengikuti sayembara.
Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini bersiap untuk melakukan ujian ke dua.
Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit.
Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak
belukar, keenam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan
pengejaran.
Empat orang
peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi
ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali
tidak kelihatan tergesa-gesa biar pun orang-orang yang menjagoinya dan ingin
melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat-cepat masuk ke
hutan menangkap seekor rusa.
Hay Hay
tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tak
mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya
karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain
melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa sekarang tiba ujian menangkap
seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, maka dia pun enak-enak
saja dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki
hutan.
Semua orang
yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan di antara mereka
ada juga yang bertaruh siapa yang akan lebih dahulu mendapatkan seekor rusa.
Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan
Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil
menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu
lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya, yaitu para pemuda suku
Miao.
Dugaan
mereka benar karena tak lama kemudian telah nampak berkelebat dua bayangan
orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka
adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa
muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para
penonton.
Wajah Hui
Lian menjadi merah karena penasaran. Tidak disangkanya bahwa gerakannya yang
amat cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini tersenyum-senyum
kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda
bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya.
Juga
diam-diam dia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang, seorang pemuda yang
begitu tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau
saja memperebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar
diperisterinya karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis
yang jauh lebih cantik dari pada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk
main-main!
Dia pun
memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang lelaki
yang suka mempermainkan wanita, maka dia yang akan menentangnya! Berbahaya apa
bila seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian
begitu tinggi.
Lama setelah
kedua orang peserta ini kembali di situ membawa rusa tangkapan mereka,
bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa
seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak
panah mereka.
Tentu saja
hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa
tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay. Dan
mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran setelah melihat betapa
dua orang pemuda Han itu telah mendahului mereka, malah masing-masing telah
menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka!
Ujian ketiga
lebih menegangkan hati karena kini para peserta akan diuji kegagahan serta
kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka masing-masing harus mampu
merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya hingga tidak
mampu bangkit kembali.
Kerbau
adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan
meski pun jinak, apa bila dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat
berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang
peserta boleh memilih seekor
Seorang
peserta, pemuda Miao bertubuh jangkung dengan kumis melengkung, mendapat
giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari
kandang lalu membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang memandang
dengan penuh perhatian.
Menurut
kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan membuat kerbau
tidak berdaya adalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk
dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling.
Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan
dapat bangun lagi.
Akan tetapi
hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu sangat kuat dan tentu akan
memberontak dan marah. Kalau saja orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai
dapat melepaskan diri, maka akan berbahayalah keadaannya.
Pemuda Miao
jangkung berkumis itu tampaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai
kerbaunya. Sesudah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia menunggu saat
kerbau itu lengah, lalu tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk
kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak
melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya telah dipuntir sehingga dia
kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling.
Orang-orang
bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling
berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba
untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya
pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan.
Menurut
peraturan, jika hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tetap tidak
terlepas, maka berarti menanglah peserta sayembara itu. Jika sebelum lima puluh
kerbau itu dapat bangkit berdiri, maka dia harus merobohkannya kembali dan
hitungan pun diulang mulai dari satu sampai lima puluh!
Kerbau yang
ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha terus
meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampai lima
puluh. Dengan tubuh penuh peluh dan napas agak memburu, peserta jangkung itu
melepaskan jepitan lengannya lalu kerbau itu pun digiring pergi, disambut
sorak-sorai penonton yang memujinya.
Peserta ke
dua maju sambil menuntun keluar seekor kerbau lainnya. Seperti juga peserta
pertama, dia lalu merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi
kedua tanduknya. Akan tetapi agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu
yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan
baru mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan
kepalanya sedemikian kuatnya sehingga orang itu pun tidak lagi dapat
menguasainya.
Kerbau itu
bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan sehingga orang itu terlempar dengan
lengan berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul
beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang langsung mengikat kerbau
dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang
mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus
mengundurkan diri, dinyatakan kalah!
Peserta ke
tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau
kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih
dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka yang lebih parah karena
kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, dada orang ke tiga
ini terkena seruduk sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal.
Peserta ke
empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walau pun
seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah
peserta ke empat, tibalah giliran Hui Lian.
Penonton
menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali mereka yang menjagoinya dalam
taruhan. Akan tetapi Kiao Yi justru memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian
ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang menggunakan tenaga besar, ada
pun wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan yang lebih
celaka lagi, bagaimana jika sampai terluka? Ngeri dia kalau membayangkan kerbau
itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!
Semua orang
menghentikan sorak sambutan mereka sesudah melihat Hui Lian menuntun keluar
seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar
sorak-sorai yang gaduh, kerbau itu telah kelihatan panik dan matanya liar
memandang ke kanan kiri, dan dia telah kelihatan curiga kepada Hui Lian
sehingga ketika dituntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan
hendak mogok.
Akhirnya Hui
Lian pun tiba di tengah lapangan dengan kerbaunya. Dia menengok ke atas
panggung dan melihat betapa kepala suku beserta keluarganya, termasuk juga
puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua penonton, kini sedang
mencurahkan perhatian mereka kepadanya.
Ketika dia
mengerling ke kiri, dia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup
caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri
dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia
tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu sangat kagum dan tertarik kepadanya, dan
diam-diam ada perasaan penasaran juga keinginan keras di dalam hati pemuda
bercaping itu untuk menguji kepandaiannya.
Tidak
seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya
dengan puntiran batang lehernya, biar pun tidak sulit baginya untuk memutar
leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya kalau dia mau melakukan hal itu!
Tidak, dia tidak akan merangkul dan memuntir leher kerbau itu, namun dengan
cepat sekali kakinya mengirim tendangan ke arah lutut keempat kaki binatang
itu, tidak terlalu keras namun cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun
roboh!
Empat batang
kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi.
Setiap kali dia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian langsung menyusulkan
tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan
kerbau itu pun tak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu
sama sekali tidak mampu bangkit kembali karena Hui Lian selalu menyusulkan
tendangan.
Orang-orang
bersorak sungguh pun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walau pun
lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya
biar pun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan
mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu.
Ketika
kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera, hanya agak
terpincang-pincang sedikit. Maka legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum
saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.
Tibalah
giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Semua orang tertegun ketika dia
memilih seekor kerbau yang terbesar dan paling galak di antara belasan ekor
kerbau di kandang, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi
segera meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun
kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan
menungganginya.
Kerbau
paling liar yang sengaja dipilihnya itu terkejut lantas hendak meronta,
mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kakinya
menendang perut dan menggunakan kedua tangannya memegang leher, kerbau itu
langsung menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju tengah
lapangan, ke tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan
kekuatannya.
Dan
tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"
Kerbau itu
tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara
pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi mereka terbelalak
memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi
kedua tangan Hay Hay menekan leher, lalu beberapa kali menepuk punggung dan ke
empat kaki kerbau itu pun menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan
kerbau itu mendekam di luar kemauannya!
Para petugas
mulai menghitung dan sesudah dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap
saja mendekam. Setelah hitungan habis dan Hay Hay melompat turun, baru kerbau
itu mendengus kemudian meloncat marah dan hendak lari mengamuk.
Akan tetapi
dengan cekatan Hay Hay cepat menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu
lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke
kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay
pun lulus dalam ujian ini.
Kini sisa
peserta tinggal empat orang lagi setelah ada dua orang yang gagal dalam ujian
merobohkan kerbau. Ujian ke empat sangat berbahaya, yaitu menghadapi serangan
anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh
pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya!
Sungguh
berbahaya sehingga orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari
tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan
itu ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun biar pun tidak
runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apa lagi kalau
sampai mengenai mata!
Dua orang
peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian
anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran
tiga batang anak panah itu, apa lagi karena mereka tahu bahwa ujian ini
dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang dikenal di antara para pemburu
sebagai orang yang tak pernah luput menggunakan anak panahnya! Akan tetapi
karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, juga sudah berhasil
melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu
maju.
Dia
diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis
tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asalkan tidak keluar dari
lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri
seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan
busurnya yang besar. Pada punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan
batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing.
Semua
penonton yang berada di belakang peserta diharuskan pindah, takut kalau-kalau
anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat
yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta
pertama telah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat.
Pengatur ujian
memberi isyarat agar peserta dan pemanah bersiap. Kakek tinggi besar itu segera
memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya.
Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali.
Dan pemanah
itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah
mencabut sebatang anak panah lagi lantas meluncurkan anak panah ke dua dengan
luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah
yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga
kali secepat itu.
Tiga batang
anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya
melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan
tetapi anak panah ke dua sudah datang menyambar ke arah tubuhnya mengelak.
Kembali dia membuang diri ke kanan dan seperti anak panah yang pertama, anak
panah ke dua ini pun luput walau pun sudah menyerempet ujung bajunya.
Akan tetapi
kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biar pun dia
masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran
anak panah ke tiga. Dia mengeluh kemudian roboh, pundaknya tampak berdarah. Dia
pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal!
Peserta ke
dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun
maklum alangkah sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan,
kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun,
cepat sekali.
Peserta ke
dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan
ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi
sehingga anak panah itu meluncur di bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak
panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar lantas mengenai
betisnya, membuat dia roboh pula sehingga harus dipapah terpincang-pincang
keluar dari tempat itu. Gagal!
Hui Lian
maju dan kembali peserta ini disambut oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao
Yi juga memandang dengan wajah berseri-seri. Wakilnya itu tentu akan mampu
lolos dari serangan anak panah. Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping
itu, yang ternyata juga lihai bukan main!
Sesudah Hui
Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, Si Pemanah kembali meluncurkan anak
panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama
sekali tak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya itu hanya
disambut dengan tubuh dimiringkan saja dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya
cepat menangkap anak panah itu, kemudian dia melontarkan anak panah itu ke
depan hingga menyambar anak panah ke dua.
"Trakkk!"
Dua batang
anak panah bertemu dan keduanya runtuh ke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga
datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak
panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong!
Tentu saja
keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan gemuruh, terutama
sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Dengan sikap dingin Hui Lian
menoleh ke arah Hay Hay dan dara ini melihat betapa pemuda bercaping ini juga
ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan
tetapi, baginya senyum itu seperti mengandung ejekan!
Ketika Hay
Hay maju, dia pun disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton yang
menjagoinya. Kini penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka yang
menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus
hanyalah tinggal dua orang peserta ini.
Hay Hay
melangkah maju dan dengan sikap seenaknya berdiri di tengah lingkaran yang
telah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang
juga telah mempersiapkan anak panahnya. Tadi pemanah ini terbelalak saat
menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya. Jika tidak melihat
dengan matanya sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi
tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh pemuda itu.
Tadi dia
sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun
membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur
pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan nampak sinar anak panah
meluncur ke arah pusar Hay Hay.
Seperti Hui
Lian tadi, pemuda ini pun seperti mendiamkan saja anak panah itu meluncur ke
arah dirinya. Setelah anak panah itu dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri
dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Anak panah itu tahu-tahu telah dicepitnya
antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang
mencabut rumput saja!
Anak panah
ke dua menyambar ke arah dadanya. Hay Hay hanya miringkan tubuh, lalu tangan
yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua
itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah
itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit!
Pada saat
itu pula anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan
kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat di dekat lehernya, di bawah
dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan!
Tentu saja
demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya
pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Sekarang Hay Hay menggunakan dua
batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan
sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan
jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk
ke dalam tanah sampai ke bulu pada gagangnya. Luar biasa!
Hui Lian dan
Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus
melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian dalam bela diri! Mereka
berdua lalu dipanggil naik panggung.
Hay Hay yang
tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke atas
panggung ketika dia melihat Hui Lian sudah meloncat naik. Mereka berdiri
berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka
berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa
di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku.
Kemudian
kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu,
membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang
lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua
orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.
Hay Hay
memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam
manis dan baju yang dikenakan gadis itu bagian depannya terbuka agak rendah
sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung,
dihiasi oleh kalung-kalung emas dengan ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting
yang dipakainya terlampau besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung
mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang
dengan sinar mata berseri-seri ketika gadis Miao itu mendekat.
SIKAP Hay
Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan dia pun memandang
kepada Hay Hay dengan tersenyum pula. Dia lebih suka kepada Hay Hay yang
kelihatan ramah dari pada Hui Lian yang bersikap dingin saja, biar pun Hui Lian
tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan
mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay,
"Mudah-mudahan
engkau menang."
Hay Hay
hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa
yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!"
Melihat
sikap mereka dan mendengar pula ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi
mendongkol sekali. Hemm, tak diduganya bahwa pemuda bercaping ini ternyata
seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita!
Tadi Si
Kepala Suku sendiri sudah menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu
bukan dimaksudkan untuk saling melukai apa lagi membunuh, tetapi hanya untuk
menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi
mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan
atau totolan kepada tubuh lawan selama bernyalanya sebatang hio. Setelah itu
akan dihitung, siapa yang lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit,
dialah yang kalah.
Kini
keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir.
Hay Hay masih belum mengerti kenapa dia diberi mouw-pit dan tinta bak. Dengan
mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh,
lalu dia memandang Hui Lian.
"Eh,
Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat
tulisan indah? Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih
mahir."
Hui Lian
maklum bahwa orang ini sama sekali tak mengerti bahasa Miao, akan tetapi dia
tidak tersenyum, bahkan merasa semakin mendongkol. Jika sudah memasuki
sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya
yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya.
"Huh,
kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya.
Hui Lian pun
sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam
bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay
tidak menghindar sehingga nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya. Dia pun
terbelalak kaget dan kagum karena ternyata coretan itu bukan sembarangan saja,
namun membentuk huruf ‘Mata Keranjang’!
"Ehhh...!"
Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh
mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas makian lewat coretan, Hay Hay
lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan.
Hui Lian
terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya sekali. Pada saat dia mengelak
ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung
bajunya yang putih. Ketika memandang, dia melihat coretan itu pun berbentuk
huruf makian yang berbunyi ‘Lancang Mulut’!
Hui Lian
marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf
makian ‘Goblok’ dan ‘Gila’ pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay
Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya dicoret-coret, akan tetapi
sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan
maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya.
Ketika
membaca ‘Goblok’ dan ‘Gila’, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga
ingin tahu jawaban lawannya. Marahlah dia sesudah membaca huruf ‘Tolol’ dan
‘Sinting’ yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Dia pun
segera balas menyerang kalang kabut, dan keduanya pun kini bertanding
mempergunakan mouw-pit.
Setelah
keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing maka sulitlah bagi keduanya
untuk membuat satu totolan atau coretan saja di baju lawan! Sekarang keduanya
terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa pihak lawan sedemikian
lihainya!
Hay Hay
memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini.
Sebaliknya Hui Lian juga sangat terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda
bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas
serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga!
"Engkau
manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras
tapi hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika mereka saling serang dan
belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi.
"Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan
kawin dengan gadis Miao itu!"
Tentu saja
Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila!" dia pun berbisik.
"Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"
"Engkau
tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya tersenyum dan
memuji dia manis!"
"Memang
dia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"
"Engkau
tolol, kalau tidak tergila-gila, kenapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian
menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin
tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.
"Aku
ikut karena merasa tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku
hanya ingin mengurangi kesombonganmu berlagak dan memamerkan kepandaian!"
"Aihh,
engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu kalau sayembara ini diadakan untuk
memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi
suaminya."
Hay Hay
terkejut sekali sehingga dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu
di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang padanya
dan tersenyum. Karena menoleh Hay Hay menjadi lengah, maka Hui Lian berhasil
membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.
"Apa?
Gadis beranting-anting besar itu? Jadi... jadi isteri pemenang...?"
"Benar,
tolol! Dan kau tidak tahu mengenai itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng
saja?" Hui Lian menyerang lagi tetapi kali ini dia merasa terkejut karena
kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.
"Wah,
kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!"
Kini sambil
bersilat Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan
tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya melainkan pakaiannya
sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka
karena jika menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, maka dia
mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula!
Saking cepat
gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu
mencoreti pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam
dia tertawa. Betapa pun juga pemuda ini bukan orang jahat dan bukan mata
keranjang, bahkan lucu sekali!
Setelah hio
yang membara itu padam, pengatur pertandingan segera memberi tanda agar mereka
berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay
telah kalah! Bajunya penuh dengan coretan, bahkan leher dan mukanya juga
berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka
yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil
mengomel panjang pendek.
Sebagai
pemenang Hui Lian lalu dihadapkan kepada kepala suku. Kepala suku mencabut
golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala
suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke
leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa ‘pemuda’ itu telah
diterima menjadi mantu ayahnya.
Akan tetapi
Hui Lian melangkah mundur dan memberi isyarat penolakan dengan tangan. Melihat
ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak
menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini?
"Orang
muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran.
"Mengapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara tadi sehingga
berhak menjadi mantuku!"
"Aku
mengikuti sayembara bukan untuk diriku sendiri, akan tetapi mewakili dia!"
Dan dia pun menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya
Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang tubuhnya masih lemah itu
segera naik ke atas panggung kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kepala
suku.
"Kiao
Yi...!" Nian Ci berseru. Pemuda itu membalas pandangan mata kekasihnya
lantas mengangguk tersenyum.
Semua orang
mendengar ini merasa penasaran, maka mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka
adalah suku bangsa yang menjunjung tinggi kegagahan serta kejujuran. Mereka tak
setuju bila kini hadiah puteri kepala suku itu diberikan kepada Kiao Yi yang
dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda
berpakaian putih itu.
Hay Hay juga
merasa sangat penasaran. "Heiiii, sobat!" teriaknya dari bawah
panggung. "Apa-apaan itu? Engkau sudah menang dan engkau berhak mengawini
gadis itu, kenapa menolak? Dia cantik jelita dan manis, pantas sekali menjadi
teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay
mentertawakan Hui Lian.
Kepala suku
Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada
Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin
cinta dan saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan
kegagahannya sebagai kepala suku.
"Kiao
Yi, apa artinya ini? Mengapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah
dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"
Kiao Yi
menjawab dengan lantang sehingga didengar oleh semua orang. "Harap maafkan
saya. Sesungguhnya saya sendiri yang hendak maju memasuki sayembara. Akan
tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir saja mati kalau tidak ditolong
oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak
menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dengan Nian Ci
sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili
saya dalam pertandingan sayembara ini."
Sekarang
para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra
sehingga keadaan di tempat itu menjadi sangat gaduh dan bising karena mereka
saling berbantahan sendiri. Ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah
dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah
perkasa. Ada pula yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan
pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.
Selagi
keadaan mulai menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan
dan tampaklah orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang
keadaannya sangat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang
berwajah dan bersikap sungguh menyeramkan. Apa lagi ketika nampak beberapa
orang Miao sudah roboh mandi darah akibat diserang oleh beberapa orang itu.
Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.
Hui Lian
sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di
antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya
ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao pada
hari kemarin. Dia tahu alangkah lihainya mereka, dan kini mereka berempat
datang bersama belasan orang lain yang keadaannya juga aneh-aneh namun
menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.
Hay Hay juga
terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di
antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim
Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya,
Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay
mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia
terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan
dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah
mengajarkan ilmu sihir kepadanya.
Bagaimanakah
dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li
Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara
Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami
isteri Goa Iblis Pantai Selatan telah bersekutu, setelah tadinya bermusuhan
karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal.
Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid
mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang
setingkat, dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.
Ketika itu
golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi
Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting.
Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar
yang selalu menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi.
Banyak sudah
tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini,
maka oleh kalangan sesat dia pun dianggap sebagai tokoh musuh. Banyak orang
dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai
seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali
karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka.
Benda
mustika itu berupa sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya,
berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam
luka beracun, dapat pula menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air
rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka
dapat menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung pada
dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.
Berita
tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga
Tung-ting. Dua pasangan suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari
gerombolan mereka. Kemarin mereka telah gagal merampas domba, kemudian pada
hari ini, bersama dengan gerombolan teman-teman mereka, mereka menyerbu
perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.
Ketika Hui
Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Goa Iblis
Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat-cepat berkata,
"Itulah pemuda yang amat lihai itu."
Mereka telah
menceritakan kepada rekan yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka itu
tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian
putih itu.
Begitu melihat
Hui Lian, Ji Sun Bi yang mata keranjang segera jatuh hati. Tidak dikiranya
bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami
isteri itu adalah seorang lelaki yang demikian tampan. Maka dia pun cepat
meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah
mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi telah mencabut
sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.
"Orang
muda yang ganteng, engkau ikut saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan
kita hidup bersenang-senang!" katanya sambil melepas senyum manis serta
lirikan mata memikat.
Hui Lian
mengerutkan alisnya ketika melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu. Dia
tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita cabul dan mata keranjang, maka
dia pun membentak marah.
"Perempuan
tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"
Ji Sun Bi
adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu
tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena
itu, sesudah melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya
segera berubah dan berbalik menjadi kebencian.
"Kalau
begitu, mampuslah!" bentaknya, kemudian sepasang pedangnya berubah menjadi
gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian.
Melihat
betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian pun
maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh, maka dia meloncat ke
belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba tampak sinar
putih kemerahan berkelebat ketika dia telah mencabut sebatang pedang yang
berkilauan.
Itulah
Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suheng-nya di dalam goa berikut
kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara
delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.
Ji Sun Bi
yang sudah marah sekali melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar
pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.
"Cringgg…!
Tranggg...!"
Ji Sun Bi
menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu
dia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga
lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan
sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan
gerakan tenang saja, tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya
menekan sepasang pedang lawan dan dia pun sudah mendesak hebat!
Melihat ini,
Min-san Mo-ko segera melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya
dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi
Hui Lian.
Gadis ini
memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu. Akan
tetapi, melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau,
dia lalu bersikap hati-hati.
Dengan suara
melengking tinggi Min-san Mo-ko menudingkan jari telunjuknya ke arah Hui Lian
sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda,
lepaskan pedangmu dan berlututlah!"
Hui Lian
terkejut bukan main karena suara itu laksana menembus otaknya dan menusuk ke
arah jantungnya, begitu menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi
pedang di tangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dia masih
mampu bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini Min-san Mo-ko
mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya yang semakin tinggi
melengking.
"Orang
muda, engkau tidak mampu menahan lagi, harus berlutut di hadapanku!"
Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian.
Kembali Hui
Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan biar pun hatinya
menolak, akan tetapi kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja dia
menjatuhkan diri berlutut. Mendadak terdengar suara ketawa dan anehnya, suara
ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.
"Ha-ha-ha-ha,
Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu.
Omongannya tiada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut
kotor!"
Ucapan ini
langsung membuyarkan pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga dia
terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat dia
membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Dia menoleh dan melihat bahwa yang
muncul adalah pemuda bercaping itu.
Mukanya
berubah merah karena tadi dia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan
baru sekarang dia sadar bahwa dia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau
tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, dia tentu akan dapat
mempertahankan dirinya!
"Terima
kasih," katanya kepada Hay Hay.
"Lebih
baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako, dan biarlah aku yang menghadapi
Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.
Hui Lian
melihat betapa dua pasangan suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin,
bersama teman-teman mereka kini mulai menyerbu sehingga terjadi pertempuran
antara mereka dengan orang-orang Miao yang tentu saja tidak mampu menghadapi
orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi
korban dari keganasan gerombolan itu. Melihat ini, dengan pedang di tangan Hui
Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan
bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.
Sementara
itu sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Ji
Sun Bi segera mengenalnya, maka giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang
dahulu pernah membuat dirinya tergila-gila itu. Teringatlah dia betapa bagaikan
segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini telah berada dalam cengkeramannya
dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda
ini darinya.
"Hay
Hay! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis
dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena dia sudah mengenal kelihaian
Hay Hay.
Hay Hay juga
tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan
dia bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena
hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!
"Ji Sun
Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan
keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke
arah Min-san Mo-ko.
Tentu saja
Min-san Mo-ko menjadi sangat marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul
oleh Hay Hay. Tadi dia tidak mengenal Hay Hay ketika pemuda ini muncul dan baru
dia teringat sesudah Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Dia lantas
teringat bahwa pemuda ini yang dahulu pernah dijatuhkannya dengan sihir dan
sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian
muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat
lolos.
"Bagus!
Dulu kebetulan saja engkau dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi,
orang muda!" Kakek itu lantas menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya
berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia
mengembangkan dua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan
terdengar suaranya melengking tinggi.
"Orang
muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena kini engkau merasa lelah dan mengantuk
sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat
Tentu saja
Hay Hay sudah siap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan
tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kembali kekuatan yang
menyerangnya itu kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang
bergelombang sangat kuatnya.
"Bagus,
kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"
Min-san
Mo-ko sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda di depannya itu sama sekali
berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia sedang
berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh
lebih kuat dari pada ilmu sihirnya sendiri.
Dia tidak
tahu betapa kekuatan sihirnya tadi sudah ditangkis dan dikembalikan oleh Hay
Hay kepadanya, bahkan ditambah dengan kekuatan pemuda itu sendiri. Kini
tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan kepalang, menguap dan tubuhnya terkulai,
terus rebah di atas tanah dan tidur mendengkur!
Terkejutlah
Ji Sun Bi melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya. Hampir dia
tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya gurunya sangat lihai dalam
ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Barusan gurunya
memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi kenapa hasilnya bahkan gurunya
sendiri yang tidur mendengkur? Dia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san
Mo-ko, mengerahkan sinkang dan berseru,
"Suhu,
bangunlah! Bangunlah!"
Sebagai
seorang ahli sihir yang amat berpengalaman tentu saja Min-san Mo-ko menyadari
bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia
menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Sekarang gugahan
Ji Sun Bi membuat dia terbangun lantas dengan muka merah dia meloncat berdiri,
memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu.
Dia langsung
teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan
seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air mata
dan dia pun menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh
sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran
sambil memandang kepada Hay Hay.
"Hu-uhu-hu-huuu...!"
Ia menangis dan mengeluh, "Hidup begini sengsara... penuh duka...
uhu-hu-huuuu...!"
Tangis biasa
saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain agar ikut
menangis, apa lagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kekuatan
sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang meski pun sudah tahu bahwa gurunya
melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!
Hay Hay
merasakan getaran yang sangat kuat, yang seolah-olah menerkam dirinya dan
menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji
Sun Bi. Bahkan ingatannya pun lalu membayangkan keadaan dirinya yang sebatang
kara dan tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya
hidup, betapa dia menderita kesepian.
Mau rasanya
dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Tetapi kesadarannya membuat dia
waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan!
Dia membiarkan air matanya jatuh menetes ke atas pipinya, kemudian dia
mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.
"Sudahlah,
Kakek yang malang, janganlah terlampau berduka, hal itu dapat mengganggu
kesehatanmu."
Kalau
mendengar kata-kata hiburan, orang yang sedang bersedih biasanya kedukaannya
menjadi penuh keharuan sehingga membuatnya menangis semakin sedih. Demikian
pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tak cukup kuat untuk
mengalahkan Hay Hay, sekarang sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir
yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis makin hebat,
tidak hanya mengguguk lagi, malah kini melolong-lolong dan tak lama kemudian
dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!
Melihat
keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi dia pun tidak
berdaya karena dia juga menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh
sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat
sedihnya, hingga keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh
tangis sendiri.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat
gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang
pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu,
terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam.
Hay Hay
menggunakan dua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap. Akan tetapi sesudah
asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ.
Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari
Pek-lian-kauw! Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam
pertempuran.
Hui Lian
yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi permainan pedang
pemuda berpakaian putih itu demikian hebat sehingga meski pun ada belasan orang
lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang
itu!
Melihat ini,
Hay Hay menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, kemudian orang ke dua.
Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena di
dalam pandangan mereka, masing-masing adalah musuh yang harus dihantam, bukan
kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama terhadap dua orang pengeroyok lain
dan tidak lama kemudian para pengeroyok Hui Lian itu sudah saling hantam
sendiri di antara teman mereka!
Tentu saja
Hui Lian sendiri menjadi bingung melihat ulah para pengeroyoknya itu, begitu
pula dengan orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu
yang saling hantam sendiri itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan
isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi
terkejut dan gentar. Mereka cepat berloncatan dan melarikan diri dari tempat
itu.
Sisa anak
buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya dapat lolos
melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada
tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang
lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang
sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah
menjadi suasana berkabung karena di antara suku Miao ada beberapa orang pula
yang tewas.
Kepala suku
menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay sebab jelas bahwa dua
orang inilah yang sudah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku.
"Saya
hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini.
Akan tetapi saya minta dengan sangat supaya Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi
karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku
itu?"
Kepala suku
dan keluarganya menyatakan setuju, maka Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat
itu dengan cepat. Hanya dengan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari
situ, membuat orang-orang Miao melongo.
"Ha-ha,
aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan
orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap.
Muncul dan
lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di
perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul merasa yakin bahwa
kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja datang hendak
menolong mereka dari serbuan para perampok tadi.
Kiao Yi juga
tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang
wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin
betul, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya
sendiri sekali pun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai sebuah rahasia keramat.
***************
"Heiiiii,
sobat, tunggu dulu!" beberapa kali Hay Hay berteriak-teriak memanggil
bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar
teriakan ini, namun dia bahkan mempercepat larinya karena dia ingin menguji
sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu.
Melihat
betapa orang yang sedang dikejarnya itu malah semakin ngebut, Hay Hay segera
mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan sangat cepatnya. Apa bila
dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, sebetulnya dalam hal ginkang Hay
Hay masih menang satu tingkat karena pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari
See-thian Lama atau Go-bi San-jin yang memang mengandalkan ginkang, yaitu
terutama sekali Ilmu Yan-cu Coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat
tubuhnya sangat ringan dan dia dapat berlari secepat kijang.
Akan tetapi,
di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari
Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang
di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah
akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun di
dalam goa terasing. Inilah sebabnya kenapa kekalahannya dalam hal ilmu
meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di
antara keduanya tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh. Melihat kenyataan
ini, kembali keduanya terkejut dan kagum.
Karena Hui
Lian hanya hendak menguji, dan dia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan
pemuda bercaping yang menarik itu, akhirnya dia berhenti di lereng sebuah bukit
sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah dapat menyusulnya.
"Wah,
sobat, larimu seperti kijang saja, cepat bukan main," Hay Hay memuji saat
mereka sudah berdiri saling berhadapan.
Hui Lian tak
menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh
perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya
bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga
kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan bibirnya
tersenyum-senyum penuh daya tarik. Hidungnya yang mancung itu seperti orang
yang selalu mengejek.
Pakaiannya
sederhana saja, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning pada tepinya.
Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar sekarang
tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya.
Seorang pemuda yang masih muda sekali, baru kurang lebih dua puluh tahun saja!
Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay
masih remaja!
Karena
merasa dirinya sedang diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu
untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping,
pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus
kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu
memancarkan sinar. Akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil
yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan bentuknya
indah, serta dagu yang meruncing itu, jelas terbayang kekerasan hati!
Sesudah
beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu
bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?"
Hay Hay
memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini,
yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, namun sikap
pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi dia
telah melihat sepak terjang orang ini, dan biar pun sikapnya keras dan galak,
namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar
sejati.
Bukankah dia
telah membela penggembala domba dan dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan
dua pasang suami isteri iblis itu? Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda
Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang
saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan
jahat itu untuk membela orang-orang Miao!
"Aku
ingin mengenalmu lebih dekat, Toako (Kakak)," kata Hay Hay dan ketika
melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan,
"bukankah sebenarnya sudah lama kita saling berkenalan? Kita bekerja sama
menolong anak penggembala, malah kita sudah sama-sama menjadi rekan peserta
sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau
aku ingin mengenalmu lebih dekat?"
Sebenarnya,
di dalam hati kecilnya Hui Lian juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda
bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, terlebih lagi
sebagai seorang wanita, tentu saja dia merasa malu untuk menyatakan perasaan
hatinya ini. Maka, untuk menyembunyikan perasaannya dia lalu menjawab ketus,
"Aku
tidak punya waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, karena aku harus mengejar
orang-orang tadi!"
Hay Hay
melebarkan matanya. "Ahh, kebetulan sekali! Aku pun memiliki niat yang
sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu,
tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!"
"Kau
mengenal mereka ?"
Hay Hay
mengangguk. Maklum bahwa hal itu akan menarik perhatian pemuda galak dan angkuh
ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui
Lian merasa penasaran, apa lagi teringat betapa tadi hampir saja dia celaka
oleh ilmu sihir kakek kurus itu.
"Siapakah
mereka?"
"Bukankah
akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu
cepat disambungnya sesudah teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana
kalau kita sekarang melanjutkan pengejaran dan nanti saja bercakap-cakap kalau
kita telah berhasil menyusul mereka?"
Hui Lian
mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya kemudian melanjutkan lari mereka
mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu.
Mereka berlari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di
belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu.
Dia masih
mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini berwatak pesolek dan suka
memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu
tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian
mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun!
Karena kedua
orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang bertingkat tinggi, tubuh mereka
berkelebatan cepat sehingga tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul
gerombolan yang melarikan diri tadi. Sesudah sampai di balik bukit, gerombolan
itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka tadi sudah dikejar dan kini
sedang dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu.
"Apakah
kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka
berdua mengintai dari balik pohon-pohon dan melihat gerombolan itu berhenti
mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki
bukit sebelah sana.
"Tidak,
aku ingin melihat dulu apa yang akan dilakukan gerombolan itu? Mereka memiliki
kepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu adalah gerombolan
perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin."
Hay Hay
mengangguk-angguk. "Agaknya dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka
itu bukan perampok-perampok biasa, apa lagi kalau melihat dua pasang suami
isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu."
Sekarang
tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui
Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka? Siapakah mereka
itu?"
Hay Hay
memandang Hui Lian sambil tersenyum lalu berkata, "Toako yang baik,
sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih
dulu? Kita telah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan
gaya yang lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja
kepada Hui Lian. "Toako, namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui
namamu..."
Hui Lian
segera membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui
Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?"
"Namaku
hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku
tidak punya. Engkau memiliki nama yang indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok),
nama yang membayangkan kelembutan, cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan
ini."
Hui Lian
menatap wajah Hay Hay, secara diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini
sudah dapat menduga bahwa dia seorang wanita. Akan tetapi karena dia tidak
melihat tanda-tanda itu, dia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang
pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini
apa bila tersenyum. Sayang jarang tersenyum, sebaliknya wajahnya lebih sering
membayangkan kedinginan dan kekerasan hati.
"Berapa
usiamu?" tanya Hui Lian.
"Dua
puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun dari pada aku,
Toako."
Hui Lian
hanya mengangguk-angguk, secara diam-diam merasa girang bahwa dia terlihat jauh
lebih muda dari pada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay
Hay ini mengira bahwa dia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun!
Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda dari pada
usia sebenarnya?
"Sekarang
ceritakan siapa mereka itu," katanya mengalihkan percakapan karena dia
tidak ingin mereka bicara tentang dirinya.
"Lihat
baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih
nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami
isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut
Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah
jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang wajahnya tampan dingin seperti
memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang
cantik akan tetapi mukanya pucat bagai mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci
Ki. Mereka berdua dikenal sebagai suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan dan
sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo. Di daerah selatan nama mereka berempat
sudah terkenal sekali."
"Aku
pernah mendengar nama mereka," kata Hui Lian. "Dan siapakah wanita
cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu? Siapa pula kakek
kurus pucat yang lihai itu?"
Hay Hay
memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan
wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dia
pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbu dari wanita yang
sangat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang
dibangkitkan oleh wanita itu namun masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk
mengatasi gelora nafsu birahinya sendiri.
"Wanita
itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tak salah julukannya
adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu bahkan lebih lihai dan berbahaya
lagi karena selain ilmu silatnya tinggi, ia pun seorang ahli sihir dan nama
julukannya Min-san Mo-ko."
Hui Lian
memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih sangat muda, akan
tetapi ternyata pengalamannya sudah luas sehingga mengenal banyak tokoh kang-ouw.
"Hay-te
(Adik Hay), kiranya engkau telah mengenal banyak tokoh dari kalangan kang-ouw.
Engkau begini muda tapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman
luas!"
Hay Hay
tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku
belum apa-apa."
"Jangan
merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku
celaka oleh sihirnya." Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu.
"Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir
itu?"
"Kebetulan
sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Di
dalam hal ilmu silat sudah jelas kalau guru dan murid itu bukan tandinganmu
sama sekali. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui,
siapakah gurumu, Toako? Dari perguruan manakah?"
Hui Lian
menghela napas panjang dan teringat akan suheng-nya. "Aku tidak punya
guru, aku bersama suheng-ku menemukan kitab-kitab ilmu silat kemudian kami
mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau
sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperoleh ilmu kepandaian
begini tinggi?"
"Wah,
guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku semacam cap-jai saja, campuran
bermacam-macam aliran. Dasar aku yang tolol, semakin banyak diberi pelajaran,
semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ahh, mereka sudah
bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka."
"Tidak
perlu!" tiba-tiba saja Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin
bercakap-cakap denganmu dulu!"
Hay Hay
terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus? "Kenapa? Bukankah
kita bermaksud hendak membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke
arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi
beristirahat.
"Nanti
dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu
tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu penolak kekuatan sihir. Aku harus tahu
lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan."
Hay Hay
tersenyum sambil memandang wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh
aneh. Apa engkau masih juga sangsi terhadap diriku yang telah bekerja sama
denganmu menghadapi gerombolan tadi? Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak
bekerja sama."
"Akan
tetapi aku ingin tahu siapa gurumu!" Hui Lian mendesak.
"Kok-toako,
sudah kukatakan bahwa guruku banyak sekali sampai aku tak ingat lagi, dan perlu
apa mengenal guru-guru kita? Aku pun tidak bertanya siapa gurumu."
Hui Lian
mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan meski pun tadi
telah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan tetapi dia belum mengenal
benar siapa dia sesungguhnya. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil
hati.
Masih ada
perasaan curiga bahwa pemuda ini memang seorang laki-laki mata keranjang,
mengingat betapa dia tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang dara Miao
yang cantik. Selain itu juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk
menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding
dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan
sesungguhnya.
Hal ini
membuat dia merasa penasaran sekali. Bagaimana pun lihainya, pemuda ini baru
berusia dua puluh satu tahun, masih tergolong seorang remaja, dan tak mungkin
dia tidak mampu mengalahkannya!
"Kalau
engkau tidak mau memberi tahu siapa gurumu pun tidak mengapa karena dengan
bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Marilah kita main-main
sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan
pertandingan kita dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu."
Melihat Hui
Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay
terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat
sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini? Mengapa engkau
menantang aku? Apa lagi yang akan kita perebutkan sekarang?” Dia lalu menoleh
ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan
sekarang!"
Wajah Hui
Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang
dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Kali ini kita
bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa
banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya
dengan gerakan cepat dan mantap.
Hay Hay
terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat
meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah
pada sisi lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian segera
menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah
utama di tubuh Hay Hay.
"Ahh...
ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget.
Dia repot
mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat
berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut
dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau
lengah.
Akan tetapi,
melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian
menjadi semakin penasaran dan marah. Sesudah serangkaian totokannya tadi gagal,
Hui Lian juga menjadi terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali,
maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat
hebat untuk mendesak lawan.
Di lain
pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Di dalam
pertandingan sayembara tadi, ketika mereka hanya saling totol dengan mouw-pit,
dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Akan tetapi
sekarang barulah dia melihat betapa ilmu silat Kok Hui Lian memang hebat bukan
main. Gerakannya begitu ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi
sesosok bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat
yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya.
Oleh karena
itu dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang
dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang
dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama!
Dan sekarang
Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini mampu mengimbangi
kecepatan gerakan tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya
betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki
tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya!
Memang, kalau
dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga mau pun kelihaian ilmu silat kedua orang
ini tak banyak selisihnya. Jika saja Hay Hay mau menggunakan kekuatan sihirnya,
tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau
melakukan hal ini.
Dia bisa
menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh
dan tidak mau dikalahkan. Maka dalam pertandingan itu pun dia hanya berusaha
mengimbangi saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan
lawan yang memang tidak mudah dilakukannya.
Setelah
lewat dari seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini
memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin
kagumlah dia, dan semakin suka karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang
pemuda yang demikian menarik.
"Haiiiittttttt...!"
Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya
melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan,
ke ubun-ubun dan leher!
Hay Hay
terkejut bukan kepalang. Dia segera mengelak, tapi masih kurang cepat karena
tangan kiri Hui Lian telah mencengkeram pundaknya. Hay Hay cepat-cepat
mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan
keras.
"Brettttt...!"
Baju di
bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan
Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Hampir saja pemuda ini berteriak
saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda
berpakaian putih itu!
Mata Hay Hay
terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian
putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian
tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa kembali
menyengat hidungnya.
Wanita ini
basah oleh keringat, mulai dari dahi sampai ke lehernya penuh keringat, akan
tetapi mengapa kini keharuman itu semakin semerbak? Apakah keringatnya yang
berbau harum itu? Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh
takjub.
"Maaf...
maafkan aku... tidak sengaja...," katanya gagap teringat betapa tanpa
disengaja dia tadi telah menyentuh payudara wanita itu!
Wajah Hui
Lian berubah kemerahan. Dia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan
tetapi bagaimana pun juga kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu
bahwa dia adalah seorang wanita. Tadinya dia hendak marah sekali dan ingin
menyerang lagi sebab pemuda itu berani menyentuh dadanya. Akan tetapi dia pun
tahu diri, maklum bahwa jika pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada
dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan!
Ternyata
sejak tadi Hay Hay sudah mengalah pada dirinya. Maka kemarahannya berubah
menjadi perasaan malu sehingga sesudah mereka saling pandang sejenak, tanpa
banyak cakap lagi Hui Lian cepat membalikkan tubuhnya kemudian meloncat pergi,
melarikan diri dengan amat cepatnya.
"Toako...!
Ehh... Enci yang baik...!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah
lari jauh. Hay Hay tidak berani mengejar, karena takut kalau-kalau gadis itu
akan menjadi semakin marah.
Dia pun
berdiri termenung, kemudian bibirnya tersenyum-senyum nakal sambil mencium
tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis
yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya
berbau harum!
Dia pun
segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia telah
mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan
oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu.
***************
Perahu itu
sangat besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di tengah
Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat
sengaja menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan
pelesir di telaga ini bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk
dan takut terhadap Jaksa Kwan, seorang pembesar yang sangat keras dan selalu
memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok.
Memang
Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sebagai seorang jaksa yang menentang
kejahatan dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum
penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia
amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan
keadilan.
Pada masa
itu jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir
semua pejabat, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, pada
waktu itu menjadi koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala
macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk
menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang
sukar ditemukan keduanya.
Kejujuran
dan keadilannya membuat dia sangat ditakuti oleh para penjahat dan disegani
para pendekar, tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia
dibenci oleh golongan hitam! Namun, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan
sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia
bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka dia
pun tidak pernah merasa takut atau terancam.
Karena tidak
mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tak mau berkorupsi, maka
tidaklah aneh kalau sebagai seorang pejabat Kwan-taijin hidup sederhana sungguh
pun juga tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia menerima
gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang
tingkatnya lebih rendah dari pada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan
dan bergelimang kemewahan, maka keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup
secara sederhana....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment