Wednesday, September 26, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 18



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 18


Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Mengapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila?

Walau pun pikirannya sangat kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila lantas menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.

Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia bisa memusatkan pikiran mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian dia mulai merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol…!"

Tentu saja! Perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan saja, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri sampai setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak bisa lenyap, yang abadi dan banyak macam ‘yang ter’ lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri.

Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap tinggi hati, sombong, congkak, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali.

Kemudian kalimat lanjutannya yang merupakan kebalikannya,

"Yang merasa dirinya bodoh adalah waspada…!"

Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, apa bila orang mengamati diri sendiri lantas merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah makhluk-makhluk yang banyak sekali kekurangan serta kelemahannya, maka dia adalah orang yang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perubahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang akan melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos ke dalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!

'Merasa' di dalam hal ini berbeda dengan 'mengaku'. Hanya mengaku diri bodoh saja tak ada artinya. Pengakuan itu malah menjadi selubung untuk menyembunyikan pamrih yang sebenarnya, yaitu agar dianggap orang yang 'waspada', agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.

Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya.

Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus dengan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengar pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh bila mana sudah mau belajar setiap saat!

Hay Hay tenggelam di dalam hening ketika menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi.

Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, namun tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya!

Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana jika nanti tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggota badan itu!

Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apek menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya

“Phuhhhhh...!" Hay Hay menggunakan sinkang-nya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.

"Amaaaann...!" Hay Hay bernapas lega.

Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi mendadak dia merasa ada benda bergerak yang menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang sekarang juga mulai ikut mengganggunya dari bawah! Dan dia tak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggota tubuhnya yang terpendam digerogoti?

Ihhh…, dia merasa ngeri bukan main dan bila menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali meloncat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri.

Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia pun tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (semedhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu sengaja ingin menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang makin lama semakin berat! Dia harus sanggup mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya.

Maka dia lalu mengerahkan sinkang-nya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia segera mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Apa yang dilakukannya ini ternyata menolong. Karena tubuhnya sudah dilindungi oleh sinkang panas dan kekebalan, meski pun masih ada gigitan-gigitan, namun yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.

Menjelang pagi terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka kalau yang datang itu adalah anjing liar atau serigala! Cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu!

Jantungnya berdebar tegang. Tidak mungkin dia menggunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus tadi malam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, maka dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!

Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memamerkan gigi mereka yang besar serta runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi mengapa dia tidak mau mempergunakan akal?

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang telah terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!

Agaknya lima ekor anjing itu merasa ragu-ragu dan agak jeri juga melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apek, amis dan busuk.

Namun Hay Hay tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apa bila anjing-anjing itu menyerang. Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja salah seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain hanya menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu.

Biar pun kepalanya tak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay langsung menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.

"Prakkk!"

Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu secara keras sekali. Anjing itu menguik keras dan terpelanting, kemudian berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu pula anjing ke dua sudah menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.

"Desss...!"

Anjing ke dua ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya yang menyerang dari samping. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang moncongnya bertemu lagi dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras.

Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan, lantas mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandangan mata Hay Hay yang berseri-seri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini benar-benar menegangkan dan lebih berbahaya dari pada latihan pertama di dalam air itu.

Pada keesokan harinya tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir, sementara itu dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun Hay Hay masih mampu bertahan dan bahkan dia tidak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya.

Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehilangan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa sedikit pun menyerangnya! Pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.

"Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."

Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walau pun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhu-nya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba sudah timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan suhu-nya dalam keadaan telanjang bulat itu.

"Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."

Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke goa dan mengenakan kembali pakaiannya, kemudian mencari buah-buahan untuk dia beserta gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sebenarnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur.

Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan dua kaki terikat yang bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Peredaran darah menjadi tidak seperti biasanya, terlampau banyak darah mengalir di dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan.

Tapi Hay Hay amat teguh sehingga berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya: ‘Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!’

Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersemedhi di dalam kegelapan. Di dalam goa terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang sangat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam.

Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersemedhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat lain yang pernah diajarkan kepadanya. ‘Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"

Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggota tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Akan tetapi anehnya, dalam keadaan tanpa gerak itu pikirannya menjadi semakin liar, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar.

Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang dan pergi dengan cepatnya. Teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang lelaki yang menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah lelaki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan birahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala hal yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu birahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan.

Dan akhirnya, yang paling hebat dan berat dari segala godaan ini, di dalam kegelapan itu tiba-tiba saja muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Wanita yang mempunyai seluruh unsur kecantikan yang dapat digambarkan oleh otaknya!

Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita, ia menghampiri Hay Hay, membelai serta merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang sangat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.

"Kosong hampa hening... kosong hampa hening...!" hanya tiga kata ini yang dapat diingat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dan dengan seluruh perhatiannya, dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.

Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah dengan keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah baru saja menggunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik sesudah teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan kemunculan seorang laki-laki yang gila.

Dia tentu akan menjadi gila apa bila tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang telah diajarkan suhu-nya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"

Memang sekarang bisa dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu merupakan hasil dari pada pendapat pikiran sendiri dan disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan serta keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalau pun ada maka kita sendirilah yang mengadakan.

Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikan itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran. Kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sebetulnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanya permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Jika pikiran tidak mengada-ada maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi!

Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay selalu melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Akan tetapi semua itu, bahkan yang terberat sekali pun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik.

Setelah bertapa di tempat gelap, Hay Hay pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang itu. Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay sambil mengangguk-angguk.

"Bagaimana, Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai orang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang kala parau namun kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.

Hay Hay mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah menyangka jika kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Sekarang, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tak lagi beranggapan demikian. Malah sebaliknya, dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang sangat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang telah bersatu dengan alam hingga tak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan selalu bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.

"Teecu telah menerima banyak petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu bisa mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."

"Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil dari pada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."

"Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan teecu mengharapkan petunjuk selanjutnya."

"Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah bahkan lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kau ingat lagi kepadaku."

"Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang sudah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada teecu?"

"Ha-ha-ha, aku tak pernah memberi sesuatu, dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh saja engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang sangat tekun dan tahan uji. Nah, untuk selanjutnya tentukan langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah goa. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, maka engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.

Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, karena itu tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhu-nya. Tidak lama kemudian dia pun bangkit dan pergi meninggalkan bukit itu menuju ke gunung yang tampak biru, di sebelah selatan bukit itu.

Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantapnya, tanpa ragu-ragu, dan senyum di bibirnya itu kini terlihat penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan.

Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil dari pada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apa pun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat semua ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.


                ***************


Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, mari lebih dulu kita menengok ke belakang beberapa tahun yang silam untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang lengan kirinya buntung sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras.

Telah diceritakan pula betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan.

Kemudian, dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, tetapi Ciang Su Kiat segera menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu.

Akan tetapi keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The Kok dan mendiang In Liong Nio-nio. Dua orang itu kemudian hidup di tebing jurang, di dalam sebuah goa dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu.

Juga mereka berdua terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil. Akan tetapi makanan ini malah membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena memakan makanan aneh ini selama sepuluh tahun, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga!

Setelah mendapat ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang sangat curam. Mereka sudah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat sudah berusia empat puluh empat tahun ada pun Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum.

Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo sehingga mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Akhirnya mereka berhasil menemukan Lam-hai Giam-lo kemudian menyerangnya hingga hampir berhasil membunuhnya, namun iblis itu cepat-cepat melarikan diri. Mereka terus memburunya dan berkali-kali menyerang tokoh sesat itu, tetapi lawannya selalu dapat menyelamatkan diri.

Lam-hai Giam-Io menjadi ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga akhirnya dia pun mencukur gundul rambut kepalanya lantas menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai. Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui pada bagian depan cerita ini.

Meski pun terus mengejar tanpa mengenal lelah, akhirnya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian kehilangan musuhnya itu. Sesudah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka.

"Sudahlah, tak perlu lagi kita mencari lebih jauh," kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu sedang bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tidak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia muncul lagi di dunia ramai. Tentu kita akan mendengar tentang sepak terjangnya dan belum terlambat membunuhnya kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."

"Baiklah, Suheng. Lalu sekarang kita akan pergi ke mana?" tanya Hui Lian.

Sejak bersama-sama mempelajari dua kitab yang mereka temukan di dalam goa di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian supaya gadis ini tak lagi menganggapnya sebagai guru. Secara kebetulan mereka berdua telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi.

Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena dia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun akhirnya mau menurut dan demikianlah, mereka lalu belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan.

Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walau pun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai memiliki keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biar pun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat tetap memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan di dalam hatinya hanya ada kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan inilah yang menjauhkan nafsu birahinya, sungguh pun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat.

Ketika Hui Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga.

Gadis yang menjadi sumoi-nya itu juga hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, sudah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu.

Tetapi dia pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya bila dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.

"Sumoi, kini kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, memiliki rumah dan sawah yang memadai..."

"Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng? Tidakkah sebaiknya bila kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?"

Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tak keliru pendapat sumoi-nya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah? Dia tidak mempunyai modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.

Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling di luar kota Kong-goan untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk mengangkut rempah-rempah dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun itu mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar.

Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, lalu membangun sebuah pondok sederhana. Sesudah memiliki rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan.

"Suheng, apakah engkau tidak mempunyai pikiran untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Kedua mata yang bening itu menatap tajam wajah suheng-nya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"

Su Kiat menghela napas panjang. Pertanyaan sumoi-nya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai, kemudian tanpa sengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, sungguh pun dia didesak oleh ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia telah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana?

Dia tahu bahwa sumoi-nya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang penyebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoi-nya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang-orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!

Dia menggelengkan kepala dan memandang wajah sumoi-nya. "Tidak, Sumoi. Antara aku dan Cin-ling-pai kini sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Untuk apa aku berkunjung ke sana? Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."

Pada suatu hari mereka berdua pergi memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota ini terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari pedalaman Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi makin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.

Karena mereka belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang akan membuka perguruan silat, Su Kiat lalu mengajak sumoi-nya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lantas memilih tempat di sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar.

KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAT DI DUSUN HEK-BUN DENGAN BIAYA PANTAS DAN ANDA DAPAT BELAJAR ILMU BELA DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI. SILAKAN MENDAFTARKAN DIRI DI SINI.

CIA-LING BU-KOAN.

Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian!

"Ehh, apakah gurunya berlengan buntung itu?"

"Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?"

"Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, berapa mahal pun akan kubayar!"

"Cia-ling Bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"

Berbagai macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik sekali. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya di depan dada.

"Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah sedangkan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami memakai nama Cia-ling Bu-koan sebab dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Apa bila di antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftar di sini!"

"Tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang.

Su Kiat tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya terhadap kami karena memang kita belum saling berkenalan. Kami baru satu bulan tinggal di dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk mengenalkan diri kepada mereka!"

Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruang untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang amat mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apa lagi karena dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang lelaki yang lengan kirinya buntung.

Mereka menduga bahwa ilmu silat dua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahlinya benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biar pun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apa lagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!

"Haiiiiittttttt...!" Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suheng-nya bahwa dia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala dan yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka.

Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini kedua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh!

Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan begitu cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biar pun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok!

Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang mempunyai gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak seorang pun di antara para penonton, termasuk yang sudah pernah belajar silat sekali pun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.

"Hyaatt!" Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah pada leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi.

Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terpaksa harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan diri dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Berhenti...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Hui Lian dan Su Kiat cepat-cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jeri, kemudian mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak.

Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan yang datang itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar.

Semua penonton telah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, yakni sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang tingkatnya paling tinggi dan mahal. Bahkan setiap bulan perguruan lain selalu mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai.

Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di sana, maka tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, terlebih lagi murid dari golongan yang tingkatnya sudah tinggi, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka!

Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang biar pun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentu bukanlah orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang.

"Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tak memandang mata kepada kita!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

"Toako, Nona ini sungguh mulus!" kata orang ke dua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar.

Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu lantas melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapa pun marahnya, dia tak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang.

"Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah.

Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suheng-nya tak berkedip kepadanya, tentu dia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suheng-nya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoi-nya hendak mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, lantas dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Namaku Ciang Su Kiat dan dia adalah sumoi-ku bernama Kok Hui Lian. Kami baru lebih kurang satu bulan ini tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan, di pinggir Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"

"Orang she Ciang yang sombong! Siapa yang memberikan ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat? Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"

"Ehh? Maaf, peraturan apakah yang sudah kulanggar? Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?"

"Engkau telah membuat dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu dari kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau sudah berani melakukan penipuan di kota kami!"

"Penipuan? Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu tentang adanya peraturan seperti itu. Namun hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk meminta persetujuan. Akan tetapi penipuan? Aku tak merasa menipu siapa pun juga."

"Sombong! Engkau ini berlengan buntung, jadi mana mungkin akan mampu mengajar silat dengan baik? Bukankah itu artinya kalian mengelabui dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"

"Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki yang berperut gendut.

Dia pun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar sehingga berserakan, meja itu pun ringsek. Delapan orang itu tertawa.

Bukan main marahnya Hui Lian. Dia tidak mampu menahan dirinya lagi dan dia pun cepat meloncat ke depan suheng-nya.

"Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biarlah aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, jari tangannya lalu menuding ke arah muka yang hitam itu.

"Kamu ini manusia ataukah iblis? Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami? Untuk membuka perguruan silat tidak perlu meminta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami tetap melanjutkan usaha kami, kamu mau apa? Majulah jika ingin mengenal kelihaian nonamu!"

Si Perut Gendut segera melangkah maju. "Toako, harap tahan kemarahanmu. Serahkan saja kuda betina liar ini kepadaku. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!"

Tanpa menunggu jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Sungguh serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian.

"Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga amat marah melihat serangan yang kurang ajar itu.

"Plakk! Plakk!"

Sepasang tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu yang tentu saja menjadi girang maka segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.

"Wah, untung besar Si Gendut kali ini!"

"Wah, main remas jari tangan!"

"Halusnya!"

"Hangatnya, heh-heh!"

Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Lian berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, dua matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali ada pun seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya.

Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biar pun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian lalu mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!

"Aduhhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhhh...!" Si Gendut menjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dengan kedua lengannya bergantung.

Hui Lian mendengus jijik, lantas kakinya menendang sambil membentak. "Anjing buduk, pergilah!"

"Bukkk!"

Kaki Hui Lian menendang perut yang gendut itu sambil dia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih dengan bingung, menggunakan kedua tangan yang tulang-tulang jarinya telah remuk itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya sudah terkena tendangan yang cukup keras itu

Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walau pun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, akan tetapi mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati sambil saling pandang dengan senyum di bibir.

Sebaliknya tujuh orang teman Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa bermuka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat.

"Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?!" bentak Si Raksasa muka hitam.

"Huh, matamu kamu taruh di mana? Jelas dialah yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga boleh. Majulah!"

"Perempuan sombong, engkau ingin merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan? Nah, sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat.

Karena melihat Si Raksasa ini tidak menyerang secara ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tak mau bertindak kejam. Dengan mudah saja dia mengelak, lalu kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itu pun segera terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!

Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu sudah merobohkan toako mereka hanya dalam satu gebrakan saja! Para penonton juga gempar, dan sekali ini meski pun tidak bersorak, tetapi ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu.

Enam orang murid Hek-houw Bu-koan kini menjadi marah sekali. Pemimpin mereka telah dirobohkan seorang gadis dengan sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka.

"Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan.

Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tiada artinya bagi sumoi-nya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benar. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, menggunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek.

"Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!"

Dan tiba-tiba saja enam orang yang telah menyerang dengan golok, menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana sini lalu satu demi satu mereka pun mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya.

Hui Lian berdiri tegak sambil bertolak pinggang memandang delapan orang yang sekarang saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu.

"Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi."

Si Raksasa muka hitam hanya mampu mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ sambil terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Sesudah delapan orang itu lenyap, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.

"Sebaiknya jika Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan yang menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan memiliki banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi baru menghajar delapan orang murid rendahan saja, jika sampai murid-murid utama atau bahkan pimpinan mereka yang datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"

Su Kiat memandang kepada orang itu sambil tetap tersenyum tenang. "Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami tidak tidak bersalah, maka siapa pun yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"

Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat-alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya,

"Jika sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, apakah kami pun akan memiliki kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"

Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan untuk minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukan alat untuk berkelahi atau mengikat permusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan ilmu bela diri pula, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman mara bahaya. Cu-wi tadi telah melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Jika sumoi menggunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."

Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah penduduk yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena baru pertama membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Kelak kalau keadaan mereka sudah baik, tentu saja tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dahulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.

"Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang langsung menengok.

Ketika melihat munculnya dua orang itu, orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat segera berbisik kepada Su Kiat. "Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!" Sesudah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri.

Sekarang Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat lalu memperhatikan mereka.

Dua orang itu adalah lelaki yang berusia empat puluh tahun dan dari gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat laksana batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam, ada pun orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.

Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja, bahkan Hui Lian menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dua orang itu agak tertegun ketika melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal biasanya orang-orang selalu merasa takut dan sungkan terhadap mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lantas memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.

"Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat.

Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.

Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat bersama aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Aku yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi, bukan Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"

Sepasang Harimau Kong-goan itu saling pandang, sangat terkejut dan hampir tidak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi ternyata dikalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suheng-nya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu semuanya sudah mengenal nama mereka berdua, apa lagi nama perguruan silat Harimau Hitam.

"Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tak tahu aturan. Setiap orang yang hendak membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini setidaknya harus melapor dahulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberi tahu kepada kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.

"Kami hendak membuka perguruan silat, lalu apa hubungannya dengan kalian? Dan kami tidak memandang rendah apa lagi menghina siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tidak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, kenapa kalian dari Hek-houw Bu-koan hendak mengganggu dan menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.

"Bukan menghalangi melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian telah melanggar peraturan dan sopan santun!" sekarang Si Muka Kuning berkata. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.

"Boleh saja kalian menganggap demikian, tetapi kami juga punya pendapat sendiri. Habis, kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang.

Su Kiat membiarkan saja karena dia juga merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan tahu akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika dahulu dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini memang sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.

"Hemm, kalian adalah dua pendatang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam. "Baiklah, jika kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua beserta guru kami!"

Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak takut terhadap kalian! Akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, maka kami juga tak akan peduli dengan kalian!"

"Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami supaya Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati.

Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini mampu mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia pun bisa menduga bahwa gadis ini tentu lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apa lagi suheng-nya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah pada seorang yang buntung sebelah lengannya.

Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati bila menghadapi lawan yang nampak lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta serta orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu mempunyai sesuatu yang bisa diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.


cerita silat online karya kho ping hoo


Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tak enak bila menolak terus, apa lagi dia memang tahu tentang peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, segera melangkah maju.


"Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan semua pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga."

"Suheng...!"

"Biarlah, Sumoi. Biar urusan ini cepat selesai sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita lagi."

Hui Lian tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat paling sedikit tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba.

Melihat sepintas saja, Sui Kiat dapat mengenali dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tak keliru pandangannya yang tajam, karena Bouw Kwa Teng pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, sebenarnya adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini lalu digabung, maka muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.

Kong-goan Siang-houw, dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap begini tenang, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.

Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka mengenai jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.

Akan tetapi dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"

Sute-nya yang kurus, yang tadi sedang memimpin latihan, menjadi ketakutan maka cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan keringat membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.

Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat segera masuk ke dalam untuk mengundang gurunya, sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu itu. Ruangan tamu itu berupa ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak sebuah rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.

Tak lama kemudian terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang lelaki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Lelaki itu usianya sekitar enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini hitam seperti arang!

Bukan mukanya saja yang hitam, tapi agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, semua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya begitu lebar dan tajam. Pantaslah kalau perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak!

Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa kedua orang guru silat yang oleh dua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanya lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!

Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami sedang mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.

Hemm, sama sekali bukan orang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biar pun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu sering kali bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.

Dia segera membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"

"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."

Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"

"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, tiba-tiba muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."

Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah terhadap kami sebanyak dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberi tahukan kepada kami sebagai rekan, yang ke dua, andai kata ada murid kami yang keliru, maka sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."

"Maaf, karena benar-benar tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan," kata pula Su Kiat.

Sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan kedua alis berkerut. Diam-diam dia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suheng-nya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.

"Baiklah, tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang-orang yang memiliki kepandaian hingga tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini kita lakukan untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan terhadap para muda di kota Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka masih terlampau rendah untuk menjadi guru silat."

"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang harus menentukan tinggi rendahnya serta tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"

Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu dengan tenang. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang dibenarkan untuk menjadi guru silat harus memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami. Siapa saja yang mampu menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang sekarang menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."

"Bagus! Telah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian. Su Kiat membiarkan saja sumoi-nya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Agaknya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi jangan hanya seorang yang maju. Biarlah kedua Kong-goan Siang-houw itu maju bersama-sama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!"

Sesudah berkata demikian, Hui Lian langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga digunakan untuk tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.

Kakek muka hitam arang itu nampak amat tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang sangat disegani, tentu saja mereka merasa sungkan dan malu apa bila harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.

Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.

"Di sini ada dua orang muridku yang menjadi penguji, sedangkan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil," katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat selama lima puluh jurus!"

"Tak perlu Suheng sampai maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biar kalian maju berdua, atau boleh juga bersama guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"

"Sumoi...!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoi-nya yang dianggapnya terlalu lancang dan takabur.

"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"

Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah bukan main. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa amat marah karena menganggap tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.

"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru bisa mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama? Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"

"Huhh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"

"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini nanti akan menjadi muridnya. Kalau memang begitu, dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"

Sebenarnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok seorang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi sangat penasaran setelah mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan pada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri.

Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang lengannya buntung sebelah. Oleh karena itu dia pun segera mengangguk begitu mendengar permintaan Cu Hoat.

Melihat suhu mereka telah memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.

"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" kata Su Kiat memperingatkan.

Ia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di daerah itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Biar pun berhati keras, namun Hui Lian juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suheng-nya, maka dia pun mengangguk sambil tersenyum.

Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"

"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.

Melihat kedua lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, maka tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, sebab ilmu silat yang bersumber dari Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau. Kedua lengan itu sangat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu pula mencengkeram tulang hingga remuk!

Memang kedua orang itu tidak mau main-main. Begitu menyerang langsung saja mereka memainkan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan mirip suara harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang menggunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.

Namun gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan dia lalu tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Dia bahkan berkata demikian yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seakan ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya!

Yang lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan dua tangannya. Sebenarnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis mau pun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang mau pun untuk melompat dan bergeser.

"Haiiittttt...!"

Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada waktu yang hampir berbarengan, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada.

Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan, maka muncul angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lainnya dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat.

Kembali ada angin keras menyambar yang sangat mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.

"Aihh, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.

"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkanlah kami yang tidak tahu diri...!"

Su Kiat tersenyum. Ternyata Cin-ling-pai masih memiliki nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang.

Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam goa di tebing jurang.

"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dengan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoi-nya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"

Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, tapi sekali ini aku tak akan main-main!"

Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja gadis itu sudah memperlihatkan kehebatannya, dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang amat hebat dan kini mereka tak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka bisa jatuh hanya dalam satu gebrakan saja ketika menghadapi gadis ini!

Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri. Sekarang mereka tidak lagi mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh!

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka, dan tahu-tahu tubuh itu menyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!

Kong-goan Siang-houw telah meloncat bangun kembali dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya berkelebat sehingga lenyaplah tubuh itu, yang tampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, bagaikan burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, sekarang dengan kepala di bawah sambil kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.

Selama hidupnya dua orang harimau Kong-goan ini belum pernah mendapat lawan yang sepertipandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka telah berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetapi tetap saja kalah cepat karena tubuh itu telah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas lantas robohlah mereka seperti sehelai kain.

Ternyata dengan kecepatan yang tak terhindarkan oleh mereka, gadis itu sudah menotok pundak mereka sehingga membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biar pun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Meski pun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.

"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Namun aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu.

Melihat ini Hui Lian berkata kepada suheng-nya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu untuk menghadapi Bouw-kauwsu!"

Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap engkau suka mundur, engkau sudah lulus ujian. Sekarang Bouw-kauwsu ingin mengujiku, maka biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.

Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu mempunyai keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan demikian cepatnya seperti gadis itu, seakan-akan pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja.

Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal dia sendiri belum tentu menang dengan mudah bila menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu!

Sungguh pun Ciang Su Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai dari pada gadis itu, namun bagaimana pun juga laki-laki itu hanya memiliki sebuah lengan saja dan agaknya tak mungkin memiliki kecepatan gerakan seperti sumoi-nya. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andai kata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!

"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku pun telah banyak berkurang, maka marilah sebentar kita bermain-main dengan senjata, jadi tidak hanya mengandalkan tenaga serta kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh."

Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu lantas mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya. Begitu pedang tercabut dan digerakkan, segera nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukanlah pedang biasa, tetapi sebatang senjata pusaka yang ampuh.

Namun Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Bouw Kwa Teng mengira sudah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang mempunyai kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat betapa hebatnya tenaga gadis itu, maka dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan.

Akan tetapi sungguh tak dikiranya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak menggunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jeri, tapi menggunakan senjata, apakah tidak memalukan. Dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biar pun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, sekarang akan melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang?

Selagi dia masih ragu-ragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka sekali pada ketua ini, berkata dengan suara halus, "Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."

"Sebenarnya aku merasa sungkan sekali, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"

Berkata demikian, ketua Hek-houw Bu-koan ini telah memutar pedang pendeknya hingga bentuk pedang itu pun lenyap, berubah menjadi gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata. Tidak mungkin dia sanggup menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.

Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, laki-laki yang lengan kirinya buntung ini merasa yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka dapatkan karena selama bertahun-tahun tubuh mereka selalu menerima makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia.

Makanan berupa jamur, sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata telah membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sulit dilawan oleh siapa pun juga di dunia persilatan.

Kini Su Kiat menghadapi lawannya yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan ginkang-nya. Seperti yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan.

Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung. Namun guru silat yang sejak tadi telah menduga akan kehebatan ginkang lawan ini, cepat memutar pedangnya, di samping melindungi seluruh tubuhnya juga untuk menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas.

Ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw tadi, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.

Baik Hui Lian mau pun Su Kiat sudah memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di goa itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan ginkang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.

Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah bisa menyentuh ujung baju lawan, apa lagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu dapat mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya saja. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya terus menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.

"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.

"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya karena bergerak amat cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.

"Trakkk...!" dan pedang di tangannya terdorong ke belakang.

Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual pada waktu mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.

"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi.

Tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang-kunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seakan-akan dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu.

Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian sudah mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat menggunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!

Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, tetapi dia merasa ada sesuatu yang menyentuh leher serta dadanya, lantas lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena kini Su Kiat sudah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata,

"Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"

Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya sambil meraba ke lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.

"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri sesudah mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa jika lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuh dirinya atau setidaknya melukai dengan berat.

"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiap dan Lihiap berhak membuka perguruan silat di mana pun juga."

Melihat sikap guru mereka ini, mendengar pula guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, dan juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun segera maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.

Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka sangat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka.

Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu mampu keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, malah dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, membuat banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu.

Suheng dan sumoi itu pun mulai bekerja. Tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat serta beberapa macam pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.


                  ***************


"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menunggu apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah bila dia telah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu," kata Su Kiat kepada sumoi-nya dengan sikap serius, pada suatu senja saat mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena semua murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang sekarang menjadi besar karena ditambah bangunan baru.

Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suheng-nya langsung menunduk dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan dia merasa malu serta canggung sekali. Betapa pun juga urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya.

Dia pun mengerti bahwa pada jaman itu setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah ketika berusia paling banyak dua puluh tahun. Dan dia telah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suheng-nya, yang juga merupakan pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara begitu banyak pemuda yang sudah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, dia selalu menolak dengan halus.

"Akan tetapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."

"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria jika dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suheng-mu, karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang apa bila mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku, kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan begitu banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Segera jatuhkan pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus semua pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"

Mendengar suara suheng-nya yang bersungguh-sungguh serta sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini Su Kiat cepat menghiburnya.

"Sumoi, kenapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang amat menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga peristiwa terpenting dalam kehidupan yang kita alami. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang sangat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau akan menghadapi peristiwa pernikahan, kenapa harus berduka? Apa lagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan dan engkau diberi hak untuk memilih sendiri calon suamimu."

"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja padamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."

Wajah Su Kiat berseri. "Ahh, jadi engkau telah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik sudah meminangmu, akan tetapi bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Kini usianya telah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya sangat baik, halus dan sopan. Juga dia sudah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia kalau menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

Di lubuk hatinya Hui Lian agak kecewa sebab pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah sungguh pun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagai putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.

"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal itu yang kau kehendaki."

"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."

"Aku mengerti, Suheng, engkau aturlah saja. Aku akan mentaati karena aku yakin bahwa segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."

Setelah berkata demikian Hui Lian pergi meninggalkan suheng-nya, kemudian memasuki kamar untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoi-nya dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sebagai seorang gadis, tentu sumoi-nya merasa malu membicarakan urusan perjodohan itu.

Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat kemudian membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang sangat dikagumi, karena bukan saja dia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.

Dua bulan kemudian setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.

Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walau pun dia menjadi isteri tanpa cinta kasih. Suaminya yang pernah lulus di kota raja itu lebih suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang.

Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walau pun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi apa yang tampak indah dari luar belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Antara Hui Lian dengan Tee Sun terdapat perbedaan cara dan selera hidup.

Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat, Hui Lian telah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya.

Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup yang penuh kekerasan, Hui Lian sering kali turut pergi berburu binatang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan ada kalanya Hui Lian rindu dengan keadaan hidup seperti ini. Makin sering dia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.

Pada dasamya Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sebenarnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam yang dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang beraroma harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun mau pun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.

Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng biar pun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena kakinya pernah terluka oleh terkaman harimau buas.

Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan sebenarnya memang dia sudah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri adalah seorang pemburu yang gagah berani, tapi melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta.

Tanpa peduli bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu memang tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!

Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak keras, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa dia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya.

Wanita ini menyangka bahwa Su Ta Touw sungguh-sungguh cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Akan tetapi dia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.

Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun, maka marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu pada waktu engkau jauh dariku dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau sudah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"

Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau dia tidak ingat bahwa penuduhnya itu adalah suaminya dan laki-laki itu bertubuh lemah, tentu Tee Sun sudah ditamparnya.

"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh isterimu secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia kemudian hajarlah dia yang sudah berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.

Akan tetapi tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apa lagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Namun sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!

Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoi-nya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjinah dengan pria lain!

"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjinah dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoi-nya itu.

Tee Sun menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, namun banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu secara terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti yang cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"

"Bagus!" Tiba-tiba saja muncul Hui Lian yang agaknya semenjak tadi telah mengikuti dan ikut mendengarkan pada waktu suaminya mengadu kepada suheng-nya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"

"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.

Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, akan tetapi sia-sia belaka. Keduanya sudah merasa terlampau panas sehingga percekcokan itu pun harus berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoi-nya, maka terpaksa Su Kiat kemudian pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.

"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.

"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap waktu marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Apa bila dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, dan perceraian adalah jalan yang terbaik."

Akhirnya Hui Lian dan Tee Sun bercerai. Hui Lian kembali tinggal bersama suheng-nya dan membantu suheng-nya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati, lantas dengan nekat dia pun melakukan pendekatan sambil melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.

Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Dia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga dia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi dia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Dia mengira bahwa sekali ini dia benar-benar bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka dia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!

Ketika dia minta persetujuan suheng-nya, Su Kiat memandang kepada sumoi-nya dengan alis berkerut. "Dia? Ahh, Sumoi, apakah telah kau pikir baik-baik kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Jangan lupa bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rumah tanggamu rusak, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik dari pada Tee Sun, karena dia begitu kasar dan terlalu pandai bermanis muka."

"Tidak, Suheng. Justru karena dia yang menjadi penyebab aku bercerai, maka sebaiknya bila sekarang aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, lagi pula sekali ini aku yakin bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."

Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoi-nya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw.

Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suheng-nya.

Pada bulan-bulan pertama Hui Lian merasa amat bahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw!

Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dahulu dia mau begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu birahi yang membadai. Kini, sesudah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!

Laki-laki semacam ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum mendapatkan yang diinginkan, akan tetapi mudah merasa bosan. Kini sikap Su Ta Touw mulai berubah dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang leIaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik.

Hui Lian merasa hatinya bagai disayat-sayat. Dia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu jika harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suheng-nya. Betapa tepat peringatan suheng-nya dahulu. Akan tetapi segalanya telah terlanjur.

Dia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau telah berada di luar rumah, suaminya itu segera berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya

Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai satu tahun lagi. Sudah dua tahun dia menjadi isteri Su Ta Touw ketika dia mendengar bahwa suaminya itu kembali bermain gila dengan seorang wanita tetangganya, dan wanita itu sudah mempunyai tiga orang anak!

Ketegangan memuncak saat dia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu sudah berjinah dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak pernah mendekatinya sama sekali. Suami itu menuduh bahwa isterinya bisa mengandung sebagai hasil perjinahannya dengan Su Ta Touw!

"Benarkah semua keributan di sebelah itu?" Dia bertanya kepada suaminya.

Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sulit mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya.

Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12