Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 18
Hay Hay
berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik
napas panjang. Mengapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh
ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila?
Walau pun
pikirannya sangat kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari
tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila lantas menguruk tubuhnya
dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.
Mula-mula
terasa hangat dan nyaman sehingga dia bisa memusatkan pikiran mengulang kalimat
itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama
kemudian dia mulai merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi
geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak
itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali,
timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan
mengamati diri sendiri.
"Yang
merasa dirinya pintar adalah tolol…!"
Tentu saja!
Perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan saja,
merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri sampai setinggi-tingginya,
sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak bisa lenyap, yang abadi dan
banyak macam ‘yang ter’ lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan
lain adalah si aku sendiri.
Orang yang
merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap tinggi hati,
sombong, congkak, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain.
Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali.
Kemudian
kalimat lanjutannya yang merupakan kebalikannya,
"Yang
merasa dirinya bodoh adalah waspada…!"
Bukan
pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, apa bila orang mengamati diri
sendiri lantas merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya
hanyalah makhluk-makhluk yang banyak sekali kekurangan serta kelemahannya, maka
dia adalah orang yang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan
perubahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk
keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang akan
melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia
merasa pintar, berarti dia terjeblos ke dalam kebodohan yang akan membuatnya
tolol!
'Merasa' di
dalam hal ini berbeda dengan 'mengaku'. Hanya mengaku diri bodoh saja tak ada
artinya. Pengakuan itu malah menjadi selubung untuk menyembunyikan pamrih yang
sebenarnya, yaitu agar dianggap orang yang 'waspada', agar dianggap orang yang
tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang
ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan
terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat
sendiri kebodohannya.
Itu adalah
batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan
mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang
seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam
tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya.
Sebaliknya,
orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus dengan pelajaran,
selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengar pendapat dan
buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak
bodoh bila mana sudah mau belajar setiap saat!
Hay Hay
tenggelam di dalam hening ketika menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam
telah larut. Tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan
halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi
lebih peka lagi.
Dicobanya
untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, namun tidak berhasil. Gelap
pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin
jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat
kepalanya!
Celaka!
Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul
keluar dan bagaimana jika nanti tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya
atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggota
badan itu!
Tikus-tikus
itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apek
menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu,
geli dan jijik rasanya
“Phuhhhhh...!"
Hay Hay menggunakan sinkang-nya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu.
Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu
yang segera lari mencicit ketakutan.
"Amaaaann...!"
Hay Hay bernapas lega.
Tidak ada
lagi tikus yang datang, akan tetapi mendadak dia merasa ada benda bergerak yang
menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau
binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang
sekarang juga mulai ikut mengganggunya dari bawah! Dan dia tak mampu bergerak
untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggota tubuhnya yang
terpendam digerogoti?
Ihhh…, dia
merasa ngeri bukan main dan bila menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau
rasanya sekali meloncat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia
harus dapat mempertahankan diri.
Memang ini
merupakan ujian, pikirnya. Kini dia pun tahu bahwa selain dilatih untuk siulian
(semedhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu sengaja ingin menguji
dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang makin
lama semakin berat! Dia harus sanggup mempertahankan diri dan mengatasi semua
godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya.
Maka dia
lalu mengerahkan sinkang-nya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil
pada tubuhnya, dia segera mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi
panas. Apa yang dilakukannya ini ternyata menolong. Karena tubuhnya sudah
dilindungi oleh sinkang panas dan kekebalan, meski pun masih ada
gigitan-gigitan, namun yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan
rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka
perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.
Menjelang
pagi terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka kalau yang datang itu
adalah anjing liar atau serigala! Cuaca yang remang-remang membuat dia dapat
melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor
anjing liar datang ke tempat itu!
Jantungnya
berdebar tegang. Tidak mungkin dia menggunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing
itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus tadi malam.
Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, maka dia tidak akan mampu
mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!
Lima ekor
arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memamerkan gigi
mereka yang besar serta runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan
panik dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh
mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi mengapa dia
tidak mau mempergunakan akal?
Sebagai
seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang
telah terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di
depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat.
Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!
Agaknya lima
ekor anjing itu merasa ragu-ragu dan agak jeri juga melihat sebuah kepala
manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup
lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium
dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin
kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apek, amis dan busuk.
Namun Hay
Hay tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan
mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apa bila anjing-anjing itu
menyerang. Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja salah
seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan
moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain hanya
menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban
mereka itu.
Biar pun
kepalanya tak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya,
namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan
menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay
langsung menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.
"Prakkk!"
Belakang
kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu secara keras sekali. Anjing
itu menguik keras dan terpelanting, kemudian berteriak kesakitan. Ujung
hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu pula anjing ke dua sudah menerkam dari
depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.
"Desss...!"
Anjing ke
dua ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong
berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri
untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya yang menyerang dari samping. Dua
ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang moncongnya
bertemu lagi dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras.
Lima ekor
anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan, lantas mereka pun lari
tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandangan mata Hay Hay yang
berseri-seri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini
benar-benar menegangkan dan lebih berbahaya dari pada latihan pertama di dalam
air itu.
Pada
keesokan harinya tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti
membakar dirinya. Matahari membakar pasir, sementara itu dari bawah juga
membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah
oleh keringat. Namun Hay Hay masih mampu bertahan dan bahkan dia tidak pernah
lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya.
Malam itu
pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat
Hay Hay hampir kehilangan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak
mengganggunya dan pergi lagi tanpa sedikit pun menyerangnya! Pada keesokan
harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di
depannya.
"Bagus,
engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."
Dengan
semangat lebih besar dari kemarin dulu walau pun dengan perut lebih lapar lagi,
Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan
girang. Begitu suhu-nya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari
situ, tiba-tiba sudah timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol
dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan
tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan suhu-nya dalam keadaan telanjang bulat itu.
"Bagus,
engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti
aku, taati semua petunjukku."
Dengan penuh
semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke goa dan mengenakan kembali pakaiannya,
kemudian mencari buah-buahan untuk dia beserta gurunya. Dia masih harus
mengikuti cara berlatih yang aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang
sebenarnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan
penuh semangat dan pantang mundur.
Tiga hari
tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon
yang tinggi, dengan dua kaki terikat yang bergantung dan kepala di bawah!
Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang
amat kuat saja dapat bertahan. Peredaran darah menjadi tidak seperti biasanya,
terlampau banyak darah mengalir di dalam kepala, maka pada hari pertama terasa
amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan.
Tapi Hay Hay
amat teguh sehingga berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil
menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya: ‘Langit di bawah
kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan
kebenaran nyata!’
Ada pula
latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersemedhi di dalam kegelapan.
Di dalam goa terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan
bawah tanah yang sangat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam
sama saja gelap pekat hitam legam.
Di tempat
inilah Hay Hay harus duduk bersemedhi dan bertapa dalam keadaan telanjang
bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara
kalimat lain yang pernah diajarkan kepadanya. ‘Tiada cahaya, tiada bentuk tiada
warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"
Dan ternyata
latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu,
tak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak
meraba apa-apa. Seluruh anggota tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan
apa pun. Akan tetapi anehnya, dalam keadaan tanpa gerak itu pikirannya menjadi
semakin liar, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar,
memberontak hendak keluar.
Ketika dia
dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa
seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang dan pergi dengan cepatnya.
Teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang
olehnya seorang lelaki yang menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi
ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah lelaki yang menjadi ayah kandungnya
itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan birahi ke
dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang
segala hal yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu birahi
dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan.
Dan
akhirnya, yang paling hebat dan berat dari segala godaan ini, di dalam
kegelapan itu tiba-tiba saja muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya.
Wanita yang mempunyai seluruh unsur kecantikan yang dapat digambarkan oleh
otaknya!
Dengan suara
merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita, ia menghampiri Hay Hay, membelai
serta merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat
lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah
menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang sangat seru antara keinginan
untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.
"Kosong
hampa hening... kosong hampa hening...!" hanya tiga kata ini yang dapat
diingat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu
keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dan dengan seluruh perhatiannya,
dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.
Hay Hay
merasa betapa seluruh tubuhnya basah dengan keringatnya sendiri dan betapa
napasnya terengah-engah. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah baru saja
menggunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik sesudah teringat betapa hampir
saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali
dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan
berakhir dengan kemunculan seorang laki-laki yang gila.
Dia tentu
akan menjadi gila apa bila tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca
kalimat yang telah diajarkan suhu-nya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada
warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"
Memang
sekarang bisa dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu merupakan hasil dari
pada pendapat pikiran sendiri dan disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan
diri sendiri, dengan kebutuhan badan serta keinginan batin untuk menyenangkan
diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalau pun ada maka kita sendirilah
yang mengadakan.
Susah,
senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikan
itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran. Kalau pikiran kosong, hampa dan
hening, maka sebetulnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanya permainan pikiran
yang merasakan adanya suatu keadaan. Jika pikiran tidak mengada-ada maka yang
ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur
pulas tanpa mimpi!
Sampai
kurang lebih satu bulan Hay Hay selalu melaksanakan perintah Kakek Song dan
melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Akan tetapi
semua itu, bahkan yang terberat sekali pun, yaitu bertapa di tempat gelap
selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik.
Setelah
bertapa di tempat gelap, Hay Hay pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari
terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
orang itu. Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay
sambil mengangguk-angguk.
"Bagaimana,
Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai orang yang gila?"
akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang kala
parau namun kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.
Hay Hay
mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah
menyangka jika kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang
yang berotak miring. Sekarang, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tak
lagi beranggapan demikian. Malah sebaliknya, dia tahu bahwa kakek ini adalah
seorang yang sangat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia
yang telah bersatu dengan alam hingga tak lagi menghiraukan segala kesibukan
lahiriah dan selalu bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya
akan nampak aneh dan gila.
"Teecu
telah menerima banyak petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung
sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu bisa
mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri
sendiri."
"Heh-heh-heh,
latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih
berhasil dari pada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."
"Teecu
menyadari hal itu, Suhu, dan teecu mengharapkan petunjuk selanjutnya."
"Ha-ha-ha,
tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan
lahiriah bahkan lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan
perjalananmu dan jangan kau ingat lagi kepadaku."
"Betapa
mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang sudah melimpahkan begitu banyak kasih
sayang kepada teecu?"
"Ha-ha-ha,
aku tak pernah memberi sesuatu, dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada
jerih payahmu sendiri. Boleh saja engkau ingat kepada manusia lain bernama
Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu.
Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang sangat
tekun dan tahan uji. Nah, untuk selanjutnya tentukan langkahmu sendiri. Hanya
ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di
sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air
terjun itu terdapat sebuah goa. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau
engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala
dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, maka engkau akan memperoleh kematangan
yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!"
Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.
Hay Hay
maklum akan keanehan gurunya, karena itu tidak berani mengejar, hanya tetap
berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhu-nya. Tidak lama kemudian dia
pun bangkit dan pergi meninggalkan bukit itu menuju ke gunung yang tampak biru,
di sebelah selatan bukit itu.
Ada sesuatu
di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu.
Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantapnya, tanpa
ragu-ragu, dan senyum di bibirnya itu kini terlihat penuh pengertian, sepasang
mata yang mencorong mengandung kelembutan.
Benarkah
bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil dari pada gemblengan
bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat
atau ilmu apa pun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu
membuat semua ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.
***************
Sebelum kita
mengikuti perjalanan Hay Hay, mari lebih dulu kita menengok ke belakang
beberapa tahun yang silam untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su
Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat
adalah bekas murid Cin-ling-pai yang lengan kirinya buntung sebatas siku,
bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras.
Telah
diceritakan pula betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok
Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri
olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari
San-hai-koan.
Kemudian,
dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun
dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang
amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, tetapi Ciang
Su Kiat segera menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan
Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam
jurang yang amat curam itu.
Akan tetapi
keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua
orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The Kok dan mendiang
In Liong Nio-nio. Dua orang itu kemudian hidup di tebing jurang, di dalam
sebuah goa dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu
peninggalan dua orang sakti itu.
Juga mereka
berdua terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil. Akan
tetapi makanan ini malah membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena memakan
makanan aneh ini selama sepuluh tahun, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang
harum seperti bunga!
Setelah
mendapat ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su
Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing
jurang yang sangat curam. Mereka sudah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh
tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat sudah berusia
empat puluh empat tahun ada pun Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa
berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan
keringat berbau harum.
Tentu saja
mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo sehingga mulailah mereka
mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Akhirnya mereka berhasil
menemukan Lam-hai Giam-lo kemudian menyerangnya hingga hampir berhasil
membunuhnya, namun iblis itu cepat-cepat melarikan diri. Mereka terus
memburunya dan berkali-kali menyerang tokoh sesat itu, tetapi lawannya selalu
dapat menyelamatkan diri.
Lam-hai
Giam-Io menjadi ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu
sehingga akhirnya dia pun mencukur gundul rambut kepalanya lantas menyamar
menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai. Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui
pada bagian depan cerita ini.
Meski pun
terus mengejar tanpa mengenal lelah, akhirnya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian
kehilangan musuhnya itu. Sesudah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu
menghentikan pencarian mereka.
"Sudahlah,
tak perlu lagi kita mencari lebih jauh," kata Su Kiat kepada Hui Lian.
"Dia tentu sedang bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai,
tidak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia muncul lagi
di dunia ramai. Tentu kita akan mendengar tentang sepak terjangnya dan belum
terlambat membunuhnya kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."
"Baiklah,
Suheng. Lalu sekarang kita akan pergi ke mana?" tanya Hui Lian.
Sejak
bersama-sama mempelajari dua kitab yang mereka temukan di dalam goa di tebing
yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian supaya gadis ini tak lagi
menganggapnya sebagai guru. Secara kebetulan mereka berdua telah menerima
peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi
murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng
dan sumoi.
Mula-mula
Hui Lian tidak setuju karena dia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga
gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat.
Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua
belas tahun akhirnya mau menurut dan demikianlah, mereka lalu belajar bersama
dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan.
Memang ada
keanehan dalam hubungan antara mereka. Walau pun di tempat terasing itu Hui
Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu
dapat menguasai dirinya dan tidak sampai memiliki keinginan yang bukan-bukan
terhadap gadis itu. Biar pun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik
seperguruan, namun Su Kiat tetap memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri,
dan di dalam hatinya hanya ada kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang
ayah terhadap anaknya. Pandangan inilah yang menjauhkan nafsu birahinya,
sungguh pun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya
pikat yang amat kuat.
Ketika Hui
Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia
memang hidup sebatang kara. Ketika masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah
hidup sebatang kara, tanpa keluarga.
Gadis yang
menjadi sumoi-nya itu juga hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, yaitu
keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, sudah terbasmi
habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis.
Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali
kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu.
Tetapi dia
pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat
tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa,
yang sudah sepantasnya bila dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia
harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.
"Sumoi,
kini kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita.
Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, memiliki rumah dan sawah yang
memadai..."
"Akan
tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng? Tidakkah
sebaiknya bila kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya
membuka perguruan silat?"
Su Kiat
mengangguk-angguk. Memang tak keliru pendapat sumoi-nya itu. Bagaimana dia
dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah? Dia tidak
mempunyai modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena
itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya
kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.
Akhirnya
mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling di luar kota
Kong-goan untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan
dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk mengangkut
rempah-rempah dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun itu
mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar.
Mereka
membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, lalu
membangun sebuah pondok sederhana. Sesudah memiliki rumah tinggal, barulah Su
Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan.
"Suheng,
apakah engkau tidak mempunyai pikiran untuk pergi mengunjungi
Cin-ling-pai?" Kedua mata yang bening itu menatap tajam wajah suheng-nya.
"Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"
Su Kiat
menghela napas panjang. Pertanyaan sumoi-nya itu mengingatkan dia akan masa
mudanya di Cin-ling-pai, kemudian tanpa sengaja dia melirik ke arah lengan
kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia
sendiri yang membuntungi lengan kirinya, sungguh pun dia didesak oleh ketua
Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia telah keluar dari
Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana?
Dia tahu
bahwa sumoi-nya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah
mendengar ceritanya tentang penyebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam
ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoi-nya membentak, tidak patut menjadi ketua
perkumpulan orang-orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!
Dia
menggelengkan kepala dan memandang wajah sumoi-nya. "Tidak, Sumoi. Antara
aku dan Cin-ling-pai kini sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Untuk apa aku
berkunjung ke sana? Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."
Pada suatu
hari mereka berdua pergi memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota ini
terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah
timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh
dari pedalaman Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai
besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat
kota ini menjadi makin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.
Karena
mereka belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk
memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang akan membuka perguruan silat, Su
Kiat lalu mengajak sumoi-nya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang
ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lantas memilih tempat di
sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi
dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon
dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan
huruf-huruf besar.
KAMI MEMBUKA
PERGURUAN SILAT DI DUSUN HEK-BUN DENGAN BIAYA PANTAS DAN ANDA DAPAT BELAJAR
ILMU BELA DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI. SILAKAN MENDAFTARKAN DIRI DI SINI.
CIA-LING
BU-KOAN.
Sebentar
saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria
yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan
Hui Lian!
"Ehh,
apakah gurunya berlengan buntung itu?"
"Wah,
mana mungkin melatih silat dengan baik?"
"Kalau
Si Cantik itu yang menjadi guru, berapa mahal pun akan kubayar!"
"Cia-ling
Bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"
Berbagai
macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik sekali.
Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat
lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya
di depan dada.
"Cu-wi
yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru
dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin
bekerja mencari nafkah sedangkan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami
memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami memakai nama
Cia-ling Bu-koan sebab dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Apa bila di
antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami
mencari nafkah secara halal, silakan mendaftar di sini!"
"Tetapi
bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan
seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak
orang.
Su Kiat
tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau
Cu-wi kurang percaya terhadap kami karena memang kita belum saling berkenalan.
Kami baru satu bulan tinggal di dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar
untuk mengenalkan diri kepada mereka!"
Hui Lian
mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan
memberi ruang untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi
tontonan yang amat mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apa lagi
karena dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang
lelaki yang lengan kirinya buntung.
Mereka
menduga bahwa ilmu silat dua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan
tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang
bukan ahlinya benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang
besar dan kuat, dan biar pun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar
dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula
di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit
biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apa lagi dilatih
silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!
"Haiiiiittttttt...!"
Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suheng-nya bahwa dia
mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan
mencengkeram ke arah kepala dan yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari
tangan terbuka.
Akan tetapi
dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan
langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat
sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini kedua
orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi
itu saling serang dengan sungguh-sungguh!
Mereka sudah
sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan
dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dulu oleh kedua pesilat. Akan
tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan
begitu cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan
Si Buntung itu, biar pun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan
lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan
bahkan menotok!
Demonstrasi
itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya
memang mempunyai gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak
seorang pun di antara para penonton, termasuk yang sudah pernah belajar silat
sekali pun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.
"Hyaatt!"
Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan
kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan
totokan-totokan ke arah jalan darah pada leher dan pundak, tangan kanannya
mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan
bertubi-tubi.
Gadis itu
melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terpaksa harus terus-menerus
berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan diri dari hujan serangan itu.
Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati
semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Hui Lian dan
Su Kiat cepat-cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat
munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jeri, kemudian mundur
menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa
khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa
adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang
tadi membentak.
Su Kiat dan
Hui Lian berdiri memandang. Rombongan yang datang itu terdiri dari delapan
orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar
harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang
yang berasal dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar.
Semua
penonton telah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat
Harimau Hitam) itu, yakni sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang
paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada
Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang tingkatnya
paling tinggi dan mahal. Bahkan setiap bulan perguruan lain selalu mengirim
hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan
paling tua dan paling lihai.
Tentu saja
tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan
karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di sana, maka
tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya
ditakuti dan disegani orang, terlebih lagi murid dari golongan yang tingkatnya
sudah tinggi, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau
hitam di dada mereka!
Kini delapan
orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang biar
pun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentu
bukanlah orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang
yang suka bertindak sewenang-wenang.
"Toako,
Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tak memandang mata kepada kita!"
kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
"Toako,
Nona ini sungguh mulus!" kata orang ke dua yang berperut gendut dan
mukanya menyeringai kurang ajar.
Raksasa muka
hitam yang disebut Toako itu lantas melangkah maju, melotot kepada Su Kiat.
Betapa pun marahnya, dia tak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang
gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat
seorang.
"Heh,
buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras
dan memandang rendah.
Wajah Hui
Lian berubah merah dan kalau saja suheng-nya tak berkedip kepadanya, tentu dia
sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suheng-nya itu. Akan
tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoi-nya hendak mencari nafkah di
kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan
dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam
itu, lantas dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang
dilontarkan kepadanya.
"Namaku
Ciang Su Kiat dan dia adalah sumoi-ku bernama Kok Hui Lian. Kami baru lebih
kurang satu bulan ini tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan, di
pinggir Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu
dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"
"Orang
she Ciang yang sombong! Siapa yang memberikan ijin kepadamu untuk membuka
perguruan silat? Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"
"Ehh?
Maaf, peraturan apakah yang sudah kulanggar? Apa kesalahanku dengan rencana
membuka perguruan silat?"
"Engkau
telah membuat dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena
membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan
ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan
semua perguruan silat harus mendapatkan restu dari kami. Akan tetapi engkau
berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau sudah berani
melakukan penipuan di kota kami!"
"Penipuan?
Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu tentang adanya
peraturan seperti itu. Namun hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi
menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk meminta persetujuan. Akan tetapi
penipuan? Aku tak merasa menipu siapa pun juga."
"Sombong!
Engkau ini berlengan buntung, jadi mana mungkin akan mampu mengajar silat
dengan baik? Bukankah itu artinya kalian mengelabui dan menipu para peminat,
hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi
sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"
"Toako,
hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata
laki-laki yang berperut gendut.
Dia pun
melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di
atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang
berminat. Kini tinta dan kertas terlempar sehingga berserakan, meja itu pun
ringsek. Delapan orang itu tertawa.
Bukan main
marahnya Hui Lian. Dia tidak mampu menahan dirinya lagi dan dia pun cepat
meloncat ke depan suheng-nya.
"Suheng,
aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biarlah aku mewakili Suheng menghadapi
tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian
telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, jari tangannya lalu
menuding ke arah muka yang hitam itu.
"Kamu
ini manusia ataukah iblis? Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau
pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa
kesalahan kami? Untuk membuka perguruan silat tidak perlu meminta persetujuan
binatang macam kamu, dan kalau kami tetap melanjutkan usaha kami, kamu mau apa?
Majulah jika ingin mengenal kelihaian nonamu!"
Si Perut
Gendut segera melangkah maju. "Toako, harap tahan kemarahanmu. Serahkan
saja kuda betina liar ini kepadaku. Aku akan menangkapnya, barulah engkau
menghajar Si Buntung itu!"
Tanpa
menunggu jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh
Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia
menyerang, dia menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis
itu! Sungguh serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui
Lian.
"Sumoi,
jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga amat marah
melihat serangan yang kurang ajar itu.
"Plakk!
Plakk!"
Sepasang
tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu yang tentu saja
menjadi girang maka segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari
tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja.
Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.
"Wah,
untung besar Si Gendut kali ini!"
"Wah,
main remas jari tangan!"
"Halusnya!"
"Hangatnya,
heh-heh!"
Si Perut
Gendut yang mencengkeram tangan Hui Lian berusaha menarik gadis itu untuk
mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, dua
matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali
ada pun seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya.
Kiranya,
jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja
dan panas seperti api membara! Biar pun jari-jari tangannya lebih panjang dan
besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu
pisau! Jari tangan Hui Lian lalu mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan
ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!
"Aduhhh...
aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhhh...!" Si Gendut
menjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia
berjongkok dengan kedua lengannya bergantung.
Hui Lian
mendengus jijik, lantas kakinya menendang sambil membentak. "Anjing buduk,
pergilah!"
"Bukkk!"
Kaki Hui
Lian menendang perut yang gendut itu sambil dia melepaskan cengkeramannya.
Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih dengan
bingung, menggunakan kedua tangan yang tulang-tulang jarinya telah remuk itu
untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali.
Agaknya usus buntunya sudah terkena tendangan yang cukup keras itu
Gegerlah
semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu.
Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri.
Walau pun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, akan tetapi
mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati sambil saling
pandang dengan senyum di bibir.
Sebaliknya
tujuh orang teman Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah,
terutama Si Raksasa bermuka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka
dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling
kuat.
"Perempuan
jahat, berani engkau memukul orang?!" bentak Si Raksasa muka hitam.
"Huh,
matamu kamu taruh di mana? Jelas dialah yang memukul orang, bukan aku. Kalau
kamu ingin memukulku juga boleh. Majulah!"
"Perempuan
sombong, engkau ingin merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan? Nah,
sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan
tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar
dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat.
Karena
melihat Si Raksasa ini tidak menyerang secara ganas, hanya menampar pundak,
tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tak mau bertindak
kejam. Dengan mudah saja dia mengelak, lalu kakinya menotok ke depan dan tubuh
Si Raksasa itu pun segera terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja
menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!
Kembali
suasana menjadi geger. Gadis itu sudah merobohkan toako mereka hanya dalam satu
gebrakan saja! Para penonton juga gempar, dan sekali ini meski pun tidak
bersorak, tetapi ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan
mudah gadis itu.
Enam orang
murid Hek-houw Bu-koan kini menjadi marah sekali. Pemimpin mereka telah
dirobohkan seorang gadis dengan sedemikian mudahnya, hal ini merupakan
penghinaan bagi mereka.
"Bunuh
siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke
depan dengan golok tipis di tangan.
Melihat
berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang
masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tiada
artinya bagi sumoi-nya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benar.
Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, menggunakan golok,
Hui Lian tersenyum mengejek.
"Kalian
memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!"
Dan
tiba-tiba saja enam orang yang telah menyerang dengan golok, menjadi terkejut
dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan ke sana sini lalu satu demi satu mereka pun
mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana
sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada
bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang
melakukannya.
Hui Lian
berdiri tegak sambil bertolak pinggang memandang delapan orang yang sekarang
saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu.
"Nonamu
masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan
berani mengganggu orang lagi."
Si Raksasa
muka hitam hanya mampu mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi
dari situ sambil terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang
masih juga belum berani bersorak. Sesudah delapan orang itu lenyap, para
penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang di antara
mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.
"Sebaiknya
jika Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini.
Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan
berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan yang menjadi muridnya,
dan Hek-houw Bu-koan memiliki banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi baru
menghajar delapan orang murid rendahan saja, jika sampai murid-murid utama atau
bahkan pimpinan mereka yang datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"
Su Kiat
memandang kepada orang itu sambil tetap tersenyum tenang. "Terima kasih
atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang
sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan
merajalela. Kami tidak tidak bersalah, maka siapa pun yang mengganggu kami,
akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri
menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"
Hui Lian
sudah memungut lagi kertas dan alat-alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk
mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda
maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya,
"Jika
sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, apakah kami pun akan memiliki kepandaian
sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"
Cu Kiat
tersenyum dan mengangkat tangan untuk minta perhatian semua orang. Suasana
menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap
Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukan alat untuk berkelahi atau
mengikat permusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir
batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu
merupakan ilmu bela diri pula, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari
ancaman mara bahaya. Cu-wi tadi telah melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu
silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari
ancaman orang-orang kasar tadi. Jika sumoi menggunakan untuk bermusuhan, tentu
delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."
Semua orang
mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah penduduk yang mendaftarkan
diri. Untuk tahap pertama, karena baru pertama membuka perguruan silat, tentu
saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian,
melainkan menerima saja mereka semua. Kelak kalau keadaan mereka sudah baik,
tentu saja tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih
dahulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan
kesehatan tubuhnya.
"Semua
orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang langsung menengok.
Ketika
melihat munculnya dua orang itu, orang yang tadi memberi peringatan kepada Su
Kiat segera berbisik kepada Su Kiat. "Celaka, dua orang pelatih mereka
datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari
ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!"
Sesudah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat
menjauhkan diri.
Sekarang Su
Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah
menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka
ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka
cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat
lalu memperhatikan mereka.
Dua orang
itu adalah lelaki yang berusia empat puluh tahun dan dari gerak-gerik mereka
saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan
pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat laksana batu karang.
Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam, ada
pun orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya
kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.
Su Kiat dan
Hui Lian bersikap tenang saja, bahkan Hui Lian menghadapi mereka dengan senyum
mengejek. Dua orang itu agak tertegun ketika melihat seorang gadis cantik manis
menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal biasanya orang-orang
selalu merasa takut dan sungkan terhadap mereka yang terkenal sebagai jagoan di
Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot
muka hitam lantas memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya
yang parau dan bengis.
"Engkaukah
guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid
kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama
Cu Kat.
Orang ke dua
itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di
Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan
ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid
perguruan silat Harimau Hitam itu.
Sebelum Su
Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat
bersama aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan
di dusun Hek-bun! Aku yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi, bukan
Suheng. Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang
tak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"
Sepasang
Harimau Kong-goan itu saling pandang, sangat terkejut dan hampir tidak dapat
percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi ternyata dikalahkan oleh seorang
gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suheng-nya hanyalah orang-orang
yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal
orang sedusun itu semuanya sudah mengenal nama mereka berdua, apa lagi nama
perguruan silat Harimau Hitam.
"Nona,
bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tak tahu aturan.
Setiap orang yang hendak membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini
setidaknya harus melapor dahulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan
paling besar di Kong-goan. Tanpa memberi tahu kepada kami, berarti memandang
rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.
"Kami
hendak membuka perguruan silat, lalu apa hubungannya dengan kalian? Dan kami
tidak memandang rendah apa lagi menghina siapa juga. Bagaimana kami dapat
menghina kalian yang tidak pernah kami kenal? Kami hanya ingin mencari sesuap
nasi secara halal, kenapa kalian dari Hek-houw Bu-koan hendak mengganggu dan
menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.
"Bukan
menghalangi melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian telah
melanggar peraturan dan sopan santun!" sekarang Si Muka Kuning berkata.
Bagaimana pun juga mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka
mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka
tadi.
"Boleh
saja kalian menganggap demikian, tetapi kami juga punya pendapat sendiri. Habis,
kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang.
Su Kiat
membiarkan saja karena dia juga merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu.
Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan tahu akan
aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika dahulu dia masih menjadi murid
Cin-ling-pai, tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini memang sungguh congkak.
Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.
"Hemm,
kalian adalah dua pendatang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam.
"Baiklah, jika kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dulu kalian
harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua beserta guru
kami!"
Hui Lian
menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak
takut terhadap kalian! Akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja,
bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, maka
kami juga tak akan peduli dengan kalian!"
"Kami
tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami supaya Suhu kami melihat
apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan
wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati.
Dia bukan
seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini mampu mengalahkan
pengeroyokan delapan orang muridnya, dia pun bisa menduga bahwa gadis ini tentu
lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apa lagi suheng-nya. Dia sudah
memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah pada
seorang yang buntung sebelah lengannya.
Gurunya yang
bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah
memperingatkan dia agar berhati-hati bila menghadapi lawan yang nampak lemah,
seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta serta orang-orang yang
nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu
mempunyai sesuatu yang bisa diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi
lawan yang amat berbahaya.
Hui Lian
hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tak enak bila
menolak terus, apa lagi dia memang tahu tentang peraturan seperti itu di dunia
kang-ouw, segera melangkah maju.
"Baiklah,
sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan semua pemimpin Hek-houw Bu-koan
sekarang juga."
"Suheng...!"
"Biarlah,
Sumoi. Biar urusan ini cepat selesai sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita
lagi."
Hui Lian
tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke
Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas
untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu
gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan
tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan,
mereka melihat paling sedikit tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat
dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang
memberi aba-aba.
Melihat
sepintas saja, Sui Kiat dapat mengenali dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan
tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tak
keliru pandangannya yang tajam, karena Bouw Kwa Teng pemimpin Bu-koan
(Perguruan Silat) itu, sebenarnya adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya
bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai.
Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini lalu digabung, maka muncullah ilmu
silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.
Kong-goan
Siang-houw, dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani
memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani
memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap begini tenang,
jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.
Sementara
itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini
bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan
terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka mengenai jatuhnya delapan orang
murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang lelaki
berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.
Akan tetapi
dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"
Sute-nya
yang kurus, yang tadi sedang memimpin latihan, menjadi ketakutan maka cepat
meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan
tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan keringat
membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot
itu.
Kong-goan
Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat segera masuk
ke dalam untuk mengundang gurunya, sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu
itu. Ruangan tamu itu berupa ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak
sebuah rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat
tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.
Tak lama
kemudian terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang
lelaki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum.
Lelaki itu usianya sekitar enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih kokoh
kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah
melihat betapa muka tuan rumah ini hitam seperti arang!
Bukan
mukanya saja yang hitam, tapi agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit
kedua tangannya, juga kulit lehernya, semua menghitam! Hitam arang mengkilap
dan sepasang matanya begitu lebar dan tajam. Pantaslah kalau perguruan itu
dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan
mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak!
Sejenak
mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh
keheranan. Tak disangkanya bahwa kedua orang guru silat yang oleh dua orang
muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya,
ternyata hanya lelaki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!
Su Kiat
cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu.
"Apakah kami sedang mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin
Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.
Hemm, sama
sekali bukan orang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa
Teng. Sebenarnya ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik,
akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan
biar pun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu
mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid
perguruannya itu sering kali bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang
terhadap rakyat yang lemah.
Dia segera
membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin
Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"
"Nama
saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang
dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."
Kakek
berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam
mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan
silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"
"Maaf,
Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi,
akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini,
tiba-tiba muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."
Kembali guru
silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang
hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah
terhadap kami sebanyak dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa
memberi tahukan kepada kami sebagai rekan, yang ke dua, andai kata ada murid
kami yang keliru, maka sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih
sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun
tangan menghajar mereka."
"Maaf,
karena benar-benar tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah
lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan," kata pula Su Kiat.
Sementara
itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan kedua alis
berkerut. Diam-diam dia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa
suheng-nya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.
"Baiklah,
tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di
antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang-orang yang
memiliki kepandaian hingga tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka
bu-koan. Hal ini kita lakukan untuk mencegah munculnya orang-orang yang
melakukan penipuan terhadap para muda di kota Kong-goan dengan membuka
perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki
kepandaian atau tingkat mereka masih terlampau rendah untuk menjadi guru
silat."
"Bagus!"
Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam
itu, lalu siapa yang harus menentukan tinggi rendahnya serta tingkat kepandaian
mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"
Tantangan
berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu dengan tenang. "Biasanya kami
tentukan bahwa mereka yang dibenarkan untuk menjadi guru silat harus memiliki
tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami.
Siapa saja yang mampu menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini,
dua orang murid kepala yang sekarang menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan,
selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."
"Bagus!
Telah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian. Su Kiat membiarkan saja
sumoi-nya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Agaknya
Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon
guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi
jangan hanya seorang yang maju. Biarlah kedua Kong-goan Siang-houw itu maju
bersama-sama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau
Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!"
Sesudah
berkata demikian, Hui Lian langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu,
yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga digunakan untuk tempat
berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.
Kakek muka
hitam arang itu nampak amat tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang
dengan bingung. Sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang sangat disegani,
tentu saja mereka merasa sungkan dan malu apa bila harus maju bersama
mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang
dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.
Bouw Kwa
Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid
kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah
mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang
gadis muda.
"Di
sini ada dua orang muridku yang menjadi penguji, sedangkan kalian juga dua
orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil," katanya. "Harap
Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat selama lima puluh jurus!"
"Tak
perlu Suheng sampai maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh
tantangan. "Biar kalian maju berdua, atau boleh juga bersama guru kalian.
Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"
"Sumoi...!"
Su Kiat terkejut dan menegur sumoi-nya yang dianggapnya terlalu lancang dan
takabur.
"Biarlah,
Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana
kelihaian Hek-houw Bu-koan!"
Kong-goan
Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga
marah bukan main. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka
merah. Mereka merasa amat marah karena menganggap tantangan gadis yang
ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru
mereka.
"Bocah
sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka
Hui Lian. "Baru bisa mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau
sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang
bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama?
Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"
"Huhh!"
Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan
aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw
Bu-koan!"
"Bagus!"
kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini nanti akan menjadi
muridnya. Kalau memang begitu, dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya.
"Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"
Sebenarnya
masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala
mengeroyok seorang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi sangat penasaran
setelah mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan pada dua orang
murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri.
Gadis itu
sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tak memandang rendah kepada
Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis itu
dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang lengannya buntung sebelah.
Oleh karena itu dia pun segera mengangguk begitu mendengar permintaan Cu Hoat.
Melihat suhu
mereka telah memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian
dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda
dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.
"Sumoi,
kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" kata Su Kiat
memperingatkan.
Ia tidak
menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam
bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di daerah itu. Hal
ini sama saja dengan mencari penyakit! Biar pun berhati keras, namun Hui Lian
juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suheng-nya,
maka dia pun mengangguk sambil tersenyum.
Sebagai
penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih
dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera
menyerang!"
"Majulah.
kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua
orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.
Melihat
kedua lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, maka
tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau
yang tangguh, sebab ilmu silat yang bersumber dari Siauw-lim-pai ini
mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau. Kedua lengan
itu sangat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit
daging lawan, bahkan mampu pula mencengkeram tulang hingga remuk!
Memang kedua
orang itu tidak mau main-main. Begitu menyerang langsung saja mereka memainkan
Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka
dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan mirip suara
harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang menggunakan auman harimau
untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.
Namun gadis
muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan dia lalu tersenyum manis.
"Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Dia bahkan berkata
demikian yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seakan ingin
melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya!
Yang lebih
menantang lagi, gadis itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan
berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan dua tangannya. Sebenarnya,
bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda,
karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis mau pun untuk
menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung
kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang mau pun untuk
melompat dan bergeser.
"Haiiittttt...!"
Tiba-tiba Cu
Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah
menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian.
Pada waktu yang hampir berbarengan, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan
cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada.
Serangan itu
cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia
menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah
secara berlawanan, maka muncul angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman
kedua orang itu.
"Plakk!
Plakk!"
Tubuh Cu Kat
dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang
sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam.
Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju
lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu
lainnya dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat.
Kembali ada
angin keras menyambar yang sangat mengejutkan kedua orang pengeroyok itu
sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis
itu.
"Aihh,
bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.
"Apakah
Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkanlah kami yang tidak tahu
diri...!"
Su Kiat
tersenyum. Ternyata Cin-ling-pai masih memiliki nama besar sehingga membikin
gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan
Thian-te Sin-ciang.
Seperti
diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah
cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, salah satu
di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya
menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu
kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian
memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka
pelajari bersama di dalam goa di tebing jurang.
"Bouw-kauwsu,
di antara kami berdua dengan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun."
Kemudian dia berseru kepada sumoi-nya, "Sumoi, harap kau jangan
main-main!"
Hui Lian
tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, tapi sekali ini aku
tak akan main-main!"
Dua orang
kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua
gebrakan tadi saja gadis itu sudah memperlihatkan kehebatannya, dan itu baru
main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang amat hebat
dan kini mereka tak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka bisa
jatuh hanya dalam satu gebrakan saja ketika menghadapi gadis ini!
Kembali
keduanya menerkam dari kanan kiri. Sekarang mereka tidak lagi mengendalikan
atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang
dengan sungguh-sungguh!
Akan tetapi
tiba-tiba tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka,
dan tahu-tahu tubuh itu menyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda!
Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan agar tidak
menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!
Kong-goan
Siang-houw telah meloncat bangun kembali dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai,
mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu
mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun kembali Hui Lian mengelak dan
tahu-tahu tubuhnya berkelebat sehingga lenyaplah tubuh itu, yang tampak oleh
dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, bagaikan
burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, tubuh itu sudah
menyambar-nyambar lagi dari atas, sekarang dengan kepala di bawah sambil kedua
tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.
Selama
hidupnya dua orang harimau Kong-goan ini belum pernah mendapat lawan yang
sepertipandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka telah berusaha untuk
mengelak dan menangkis, tetapi tetap saja kalah cepat karena tubuh itu telah
menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas
lantas robohlah mereka seperti sehelai kain.
Ternyata
dengan kecepatan yang tak terhindarkan oleh mereka, gadis itu sudah menotok
pundak mereka sehingga membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya
namun cukup membuat mereka roboh. Biar pun begitu roboh mereka sudah pulih
kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah
kalah. Meski pun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah
ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.
"Cukup,
jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup
untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Namun aku belum melihat
kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada
kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan
itu.
Melihat ini
Hui Lian berkata kepada suheng-nya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu untuk
menghadapi Bouw-kauwsu!"
Akan tetapi
Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap engkau suka mundur, engkau
sudah lulus ujian. Sekarang Bouw-kauwsu ingin mengujiku, maka biarlah aku yang
bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.
Legalah hati
Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum
bukan main. Gadis itu mempunyai keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya
sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan demikian
cepatnya seperti gadis itu, seakan-akan pandai terbang atau tubuhnya memiliki
keringanan seperti kapas saja.
Dia mengakui
bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal
dia sendiri belum tentu menang dengan mudah bila menghadapi pengeroyokan dua
orang murid itu!
Sungguh pun
Ciang Su Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai dari pada
gadis itu, namun bagaimana pun juga laki-laki itu hanya memiliki sebuah lengan
saja dan agaknya tak mungkin memiliki kecepatan gerakan seperti sumoi-nya.
Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andai kata dia kalah, tidaklah
begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!
"Ciang-sicu,
aku sudah tua, tenagaku pun telah banyak berkurang, maka marilah sebentar kita
bermain-main dengan senjata, jadi tidak hanya mengandalkan tenaga serta
kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh."
Berkata
demikian, kakek berkulit hitam itu lantas mengeluarkan sebatang pedang pendek
dari balik jubahnya. Begitu pedang tercabut dan digerakkan, segera nampaklah
gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukanlah pedang biasa, tetapi
sebatang senjata pusaka yang ampuh.
Namun Su
Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak
mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tak ada
permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah
aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Bouw Kwa
Teng mengira sudah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan
kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang mempunyai kecepatan
jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat betapa hebatnya
tenaga gadis itu, maka dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang
diandalkan. Dengan senjatanya ini dia akan dapat menghadapi kecepatan dan
tenaga lawan.
Akan tetapi
sungguh tak dikiranya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak
menggunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan
kosong, dia jeri, tapi menggunakan senjata, apakah tidak memalukan. Dia yang
menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biar pun jauh lebih tua namun tubuhnya
masih lengkap, sekarang akan melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong
dengan mempergunakan pedang?
Selagi dia
masih ragu-ragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah
membuat dia merasa suka sekali pada ketua ini, berkata dengan suara halus,
"Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah
tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."
"Sebenarnya
aku merasa sungkan sekali, akan tetapi karena engkau berkata demikian,
Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main
sebentar!"
Berkata
demikian, ketua Hek-houw Bu-koan ini telah memutar pedang pendeknya hingga
bentuk pedang itu pun lenyap, berubah menjadi gulungan cahaya hijau yang
menyilaukan mata. Tidak mungkin dia sanggup menandingi kecepatan pedangku,
pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia
menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat
ke arah pinggang lawan.
Su Kiat
dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar
karena seperti juga Hui Lian, laki-laki yang lengan kirinya buntung ini merasa
yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang
luar biasa itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan
terutama sekali mereka dapatkan karena selama bertahun-tahun tubuh mereka
selalu menerima makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia.
Makanan
berupa jamur, sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama
bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata telah membuat tubuh
mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu
yang mereka dapatkan di dalam goa rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan
gerakan yang sulit dilawan oleh siapa pun juga di dunia persilatan.
Kini Su Kiat
menghadapi lawannya yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan
ginkang-nya. Seperti yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya
berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan.
Hal ini
membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung. Namun guru silat yang sejak tadi
telah menduga akan kehebatan ginkang lawan ini, cepat memutar pedangnya, di
samping melindungi seluruh tubuhnya juga untuk menyerang lawan secara ngawur,
terutama sekali ditujukannya ke atas.
Ketika Hui
Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw tadi, tubuh gadis itu dapat melesat ke
udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya
itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu
karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.
Baik Hui
Lian mau pun Su Kiat sudah memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di
antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa, peninggalan dari Sian-eng-cu The
Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di goa itu. Sesuai dengan nama
ilmu itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat
ini mengandalkan ginkang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan
dari udara.
Akan tetapi
karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah
bisa menyentuh ujung baju lawan, apa lagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata
lawan itu dapat mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan
gerakan tubuhnya saja. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya terus
menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.
"Ciang-sicu,
balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia
merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus
tanpa balas menyerang.
"Baiklah,
Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya karena bergerak amat cepat
itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.
"Trakkk...!"
dan pedang di tangannya terdorong ke belakang.
Bouw Kwa
Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis
pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung
itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual pada waktu mengatakan
bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang
istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang
memegang pedang ketika menangkis.
"Sambutlah
seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi.
Tiba-tiba
saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang-kunang dan kabur karena dia
melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh
tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seakan-akan dia berhadapan dengan puluhan
orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu.
Inilah Ilmu
Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara
Delapan Dewa. Kalau Hui Lian sudah mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu
pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat menggunakan ujung lengan baju sebelah
kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!
Bouw Kwa
Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, tetapi dia merasa ada
sesuatu yang menyentuh leher serta dadanya, lantas lenyaplah bayangan puluhan
ujung lengan baju itu karena kini Su Kiat sudah meloncat jauh ke belakang dan
menjura sambil berkata,
"Maafkan
aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"
Dari ujung
lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing
tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya sambil meraba ke
lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang
hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.
"Aih,
aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti
mencela diri sendiri sesudah mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher
dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa jika lawan menghendaki, betapa mudahnya
lawan membunuh dirinya atau setidaknya melukai dengan berat.
"Ciang-taihiap,
maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang
dimiliki oleh Taihiap dan Lihiap berhak membuka perguruan silat di mana pun
juga."
Melihat sikap
guru mereka ini, mendengar pula guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar)
dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, dan juga mendengar
ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi
mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka
sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun segera maklum
betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.
Ciang Su
Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar
oleh mereka bertiga, dan sikap mereka sangat menghormat sehingga para murid
lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh
guru mereka.
Demikianlah,
berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu mampu keluar dari perguruan
Hek-houw Bu-koan dengan selamat, malah dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar
itu, membuat banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling
Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu.
Suheng dan
sumoi itu pun mulai bekerja. Tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan
dasar-dasar ilmu silat serta beberapa macam pukulan yang kiranya cukup untuk
menjadi bekal membela diri.
***************
"Sumoi,
percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan
masih menunggu apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita
dalam kehidupan ini adalah bila dia telah berumah tangga, menjadi isteri dan
kemudian menjadi ibu," kata Su Kiat kepada sumoi-nya dengan sikap serius,
pada suatu senja saat mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain
karena semua murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang
sekarang menjadi besar karena ditambah bangunan baru.
Hui Lian
yang duduk berhadapan dengan suheng-nya langsung menunduk dengan muka
kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan
dia merasa malu serta canggung sekali. Betapa pun juga urusan perjodohan itu
merupakan hal yang asing baginya.
Dia pun
mengerti bahwa pada jaman itu setiap orang gadis menikah dalam usia belasan
tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah ketika berusia paling banyak dua
puluh tahun. Dan dia telah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah
kalau suheng-nya, yang juga merupakan pengganti guru dan orang tuanya, mendesak
dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara begitu banyak pemuda
yang sudah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, dia
selalu menolak dengan halus.
"Akan
tetapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan
mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."
"Aku
mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar.
Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya
bagi seorang pria jika dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita.
Aku adalah Suheng-mu, karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah
pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang apa bila
mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan
nama baikku, kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak
pinangan begitu banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun
yang datang dari kota Kong-goan. Segera jatuhkan pilihanmu, Sumoi. Rasanya
tidak enak juga kalau harus menolak terus semua pinangan yang membanjir itu,
seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"
Mendengar
suara suheng-nya yang bersungguh-sungguh serta sikapnya yang serius itu, Hui Lian
mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini Su
Kiat cepat menghiburnya.
"Sumoi,
kenapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang amat menggembirakan.
Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga peristiwa terpenting dalam
kehidupan yang kita alami. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa
pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu
lagi yang sangat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau akan menghadapi
peristiwa pernikahan, kenapa harus berduka? Apa lagi kalau pernikahan ini bukan
merupakan pemaksaan dan engkau diberi hak untuk memilih sendiri calon
suamimu."
"Tidak,
Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja padamu, karena aku yakin bahwa
pilihanmu adalah yang terbaik."
Wajah Su
Kiat berseri. "Ahh, jadi engkau telah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang
baik sudah meminangmu, akan tetapi bagiku yang paling baik adalah Tee Sun,
putera kepala dusun Hek-bun itu. Kini usianya telah dua puluh lima tahun,
wajahnya cukup tampan dan wataknya sangat baik, halus dan sopan. Juga dia sudah
lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan
berbahagia kalau menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"
Di lubuk
hatinya Hui Lian agak kecewa sebab pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai
ilmu silat, seorang pemuda yang lemah sungguh pun harus diakuinya bahwa pemuda
itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tak seperti kebanyakan pemuda yang
ceriwis dan genit. Juga, sebagai putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.
"Terserah
kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal itu yang kau kehendaki."
"Akan
tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."
"Aku
mengerti, Suheng, engkau aturlah saja. Aku akan mentaati karena aku yakin bahwa
segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."
Setelah
berkata demikian Hui Lian pergi meninggalkan suheng-nya, kemudian memasuki
kamar untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoi-nya
dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sebagai seorang gadis, tentu sumoi-nya
merasa malu membicarakan urusan perjodohan itu.
Demikianlah,
tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat kemudian membicarakan urusan perjodohan itu dengan
keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan
penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang sangat dikagumi, karena bukan
saja dia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan
tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga
selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi
kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling
Bu-koan itu.
Dua bulan
kemudian setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah
pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui
Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang
berusia dua puluh lima tahun.
Pernikahan
itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walau pun dia
menjadi isteri tanpa cinta kasih. Suaminya yang pernah lulus di kota raja itu
lebih suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada
suaminya yang bekerja di sawah ladang.
Kehidupan
mereka nampak rukun dan bahagia, walau pun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian
juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi apa yang tampak indah dari luar
belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Antara Hui Lian dengan Tee
Sun terdapat perbedaan cara dan selera hidup.
Sebagai
seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat, Hui
Lian telah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya
Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman. Perbedaan selera hidup inilah
yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak
antara keduanya.
Sebagai
seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup yang penuh
kekerasan, Hui Lian sering kali turut pergi berburu binatang buas di
hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh
tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan ada kalanya Hui Lian rindu dengan
keadaan hidup seperti ini. Makin sering dia ikut pergi berburu, makin tak
senanglah rasa hati Tee Sun.
Pada dasamya
Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa
isterinya itu sebenarnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam yang
dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya
mengeluarkan keringat yang beraroma harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria
di dusun Hek-bun mau pun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.
Rasa cemburu
ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa
seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga
puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini
bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng biar pun agak kurus dan
jalannya agak pincang sedikit karena kakinya pernah terluka oleh terkaman
harimau buas.
Pemburu
tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan sebenarnya memang dia
sudah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri adalah seorang pemburu yang
gagah berani, tapi melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan
kecantikannya, dia telah jatuh cinta.
Tanpa peduli
bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia
memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum
berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat
seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan
dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu memang tidak segan-segan
untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan
cintanya kepada Hui Lian!
Tentu saja
mula-mula Hui Lian menolak keras, bahkan marah-marah dan menegur teman
seperburuan itu, mengingatkannya bahwa dia telah mempunyai suami. Akan tetapi
Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal
malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa
kasihan kepadanya.
Wanita ini
menyangka bahwa Su Ta Touw sungguh-sungguh cinta kepadanya, cinta yang
mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta
suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Akan tetapi dia tetap menjaga
diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.
Akan tetapi
berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke
telinga Tee Sun, maka marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu pada waktu
engkau jauh dariku dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau sudah
berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"
Hui Lian
memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau dia tidak
ingat bahwa penuduhnya itu adalah suaminya dan laki-laki itu bertubuh lemah,
tentu Tee Sun sudah ditamparnya.
"Laki-laki
bodoh dan buta! Engkau menuduh isterimu secara membabi-buta! Dialah yang
merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan,
datangi dia kemudian hajarlah dia yang sudah berani merayu isterimu!" Hui
Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.
Akan tetapi
tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apa lagi menghajar Su Ta
Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Namun sikapnya
terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu
pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya
kepada Su Kiat!
Ciang Su
Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoi-nya dapat
melakukan perbuatan serendah itu. Berjinah dengan pria lain!
"Tee
Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjinah dengan orang lain?" dia
bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoi-nya itu.
Tee Sun
menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan.
"Memang belum ada buktinya, namun banyak pemburu yang menceritakan betapa
orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka.
Orang she Su itu secara terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia
tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan
bukti yang cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan
ia!"
"Bagus!"
Tiba-tiba saja muncul Hui Lian yang agaknya semenjak tadi telah mengikuti dan
ikut mendengarkan pada waktu suaminya mengadu kepada suheng-nya. "Engkau
hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi
isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"
"Bolehl
Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.
Su Kiat
berusaha melerai dan mendamaikan, akan tetapi sia-sia belaka. Keduanya sudah
merasa terlampau panas sehingga percekcokan itu pun harus berakhir dengan
perceraian. Atas desakan sumoi-nya, maka terpaksa Su Kiat kemudian pergi
mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.
"Sumoi,
apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.
"Tidak,
Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami
pencemburu yang setiap waktu marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Apa bila
dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, dan
perceraian adalah jalan yang terbaik."
Akhirnya Hui
Lian dan Tee Sun bercerai. Hui Lian kembali tinggal bersama suheng-nya dan
membantu suheng-nya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu,
melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani,
mendapat hati, lantas dengan nekat dia pun melakukan pendekatan sambil
melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.
Hui Lian
yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Dia tidak cinta kepada Su Ta
Touw, seperti juga dia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi dia merasa
iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan
menangis mohon agar cintanya diterima. Dia mengira bahwa sekali ini dia
benar-benar bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan
murni. Maka dia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!
Ketika dia
minta persetujuan suheng-nya, Su Kiat memandang kepada sumoi-nya dengan alis berkerut.
"Dia? Ahh, Sumoi, apakah telah kau pikir baik-baik kalau engkau menerima
pinangan Su Ta Touw? Jangan lupa bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga
rumah tanggamu rusak, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak
engkau tak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik dari pada Tee
Sun, karena dia begitu kasar dan terlalu pandai bermanis muka."
"Tidak,
Suheng. Justru karena dia yang menjadi penyebab aku bercerai, maka sebaiknya
bila sekarang aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu aku tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan
tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan
hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang,
lagi pula sekali ini aku yakin bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku,
Suheng."
Su Kiat
hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau
tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau
mencegah sumoi-nya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw.
Karena
suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan,
kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti
suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suheng-nya.
Pada
bulan-bulan pertama Hui Lian merasa amat bahagia karena suaminya yang baru ini
selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan
tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada
sikap Su Ta Touw!
Baru nampak
belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau
dahulu dia mau begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena
tergoda oleh nafsu birahi yang membadai. Kini, sesudah Hui Lian menjadi
isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!
Laki-laki
semacam ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja
mencinta mati-matian kalau belum mendapatkan yang diinginkan, akan tetapi mudah
merasa bosan. Kini sikap Su Ta Touw mulai berubah dan mulailah nampak oleh Hui
Lian betapa suaminya ini seorang leIaki hidung belang yang selalu mengejar
wanita muda dan cantik.
Hui Lian
merasa hatinya bagai disayat-sayat. Dia mempertahankan kedudukannya karena merasa
malu jika harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suheng-nya. Betapa
tepat peringatan suheng-nya dahulu. Akan tetapi segalanya telah terlanjur.
Dia berusaha
memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya
nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau telah
berada di luar rumah, suaminya itu segera berubah menjadi binal dan
bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya
Hui Lian
mempertahankan rumah tangganya sampai satu tahun lagi. Sudah dua tahun dia
menjadi isteri Su Ta Touw ketika dia mendengar bahwa suaminya itu kembali
bermain gila dengan seorang wanita tetangganya, dan wanita itu sudah mempunyai
tiga orang anak!
Ketegangan
memuncak saat dia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana
sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi
itu sudah berjinah dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan
tidak pernah mendekatinya sama sekali. Suami itu menuduh bahwa isterinya bisa
mengandung sebagai hasil perjinahannya dengan Su Ta Touw!
"Benarkah
semua keributan di sebelah itu?" Dia bertanya kepada suaminya.
Su Ta Touw
bersumpah-sumpah menyangkal. Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia
bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sulit
mencari makan, biar aku mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal
itu!" katanya.
Karena
suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam dia
memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment