Tuesday, September 25, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 05



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 05


HAN SIONG terbelalak karena laki-laki itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana.

Akan tetapi, ketika dia sampai di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Begitu cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung bersama wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi.

Ternyata Ceng Hok Hwesio bersama para muridnya amat kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, makin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang langsung diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

Akan tetapi lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu hanya dengan dua tangan kosong saja. Dengan dua lengan tangannya dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.

"Dukk! Wuuuttt...!"

Ceng Hok Hwesio kaget bukan kapalang dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tak mengenal bahaya sehingga dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut.

Kembali yang diserang hanya tertawa dan sekali ini sama sekali tak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.

"Cusss!"

Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sesungguhnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo telah bergerak, yang satu menotok pundak dan yang lain mencengkeram jubah di tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram!

Melihat betapa guru mereka sudah tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Kini mereka sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.

"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa, diikuti berkelebatnya dua sosok bayangan dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang.

Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa lelaki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.

Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak lantas ujung lengan baju itu menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu adalah sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!

Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan lain berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya amat hebat sebab sepasang tangan wanita itu secara bertubi-tubi mengirim totokan-totokan ke arah sembilan jalan darah yang ada pada bagian depan tubuhnya.

Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa harus melepaskan cengkeraman di tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya sangat kuat sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu.

Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah bisa mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio sudah dapat bergerak lagi kemudian diturunkan.

Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya menonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya.

Diam-diam hatinya merasa heran sekali sebab selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu sangat lihai, karena kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda dengan sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja!

Kini Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku adalah Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapa sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.

Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, kemudian menjawab singkat, "Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan dia adalah Toan Hui Cu."

Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih ingat dengan kedua nama ini. Seperti yang sudah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali.

Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya malah sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tak disukanya. Kemudian, secara beruntung dia bisa menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang.

Akan tetapi, dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang sudah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan dia masih bersikap amat bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah.

Dengan jantan Ci Kang melindungi, bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!

Pada malam hari itu, sesudah Hui Song menikah dengan Sui Cin, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih di kebun. Dia tahu mengapa Hui Cu menangis, sebab keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai.

Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu saja, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri adalah putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, dan Toan Hui Cu bahkan lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis, raja dan ratunya para datuk sesat!

Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, sesudah mereka saling berjumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang sangat sakti, tentu saja Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat!

Akan tetapi agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih sangat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw, kemudian mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!

"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, sesudah aku berada di sini dan melihat kalian berdua berlatih, hatiku merasa tertarik sekali. Sekarang berikan kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, lalu keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.

"Enak saja kau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau segera pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"

Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, tetapi karena matanya memang sipit sekali, biar sudah dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merubah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.

Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya.

Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu bukan menangkis lengan, namun menyambut lengan yang meluncur dan hendak mencengkeram ke arah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dahulu mengenai jalan darah pada pergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.

"Uhhhhh...!" Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, kini cepat sekali telah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.

"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lantas menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.

Tubuh itu kini hanya nampak bagai bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!

Ci Kang telah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, tapi kadang-kadang dipegang di bagian tengah kemudian diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.

Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biar pun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. Setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli dalam permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.

Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, dan ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun masih terasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!

Memang ilmu silat kedua orang hukuman itu amat hebat. Jika gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, bagai seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari atas seperti burung garuda menyambar-nyambar, ada pun Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.

Betapa pun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya.

Maka, biar pun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi kecepatan dua orang pengeroyoknya dan setelah diputar-putar sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, kedua lengan itu mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai dua lengannya tidak berpengaruh apa-apa!

Semenjak tadi Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua mata terbelalak dan hwesio ketua kuil ini lantas tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Ternyata kakek itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya.

Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ.

Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang berlutut menangis dan memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus semua dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka berdua begitu lembut dan biar pun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini hingga mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?

Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga amat kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali inilah mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya.

Biar pun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, malah beberapa kali tubuh mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.

"Kwan Im Hud-couw...!"

Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur lalu mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian mereka berdiri tegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja di depan dada. Mereka mengambil sikap seperti sedang menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.

Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa kedua lawannya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun langsung dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.

"Ha-ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"

Tetapi kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, laksana seorang puteri yang melangkahkan kakinya, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapa pun lihainya dua orang pengeroyoknya, tetapi dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.

"Biarlah aku yang akan memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu.

Seperti tadi, serangannya ini mengandung keceriwisan sebab dia sengaja mencengkeram dengan dua tangan, satu ke dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya dan melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!

Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput!

Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah 'mengusap' ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!

"Celaka!" teriaknya.

Cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini segera memutar lagi tubuhnya sehingga berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.

"Jurus ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru.

Secara otomatis Hui Cu bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang amat aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.....

Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im Khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu), ada pun jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya amat lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga.

Akan tetapi dengan hati kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu, juga terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berputar itu, ada pun kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya itu mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya lantas tangan Ci Kang tahu-tahu sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur dari atas ke bawah, mengancam pelipis kepalanya!

"Iihhhh...!" Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai.

Akan tetapi dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyok itu telah mengejarnya lantas empat buah lengan bertubi-tubi melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka.

Tapi kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biar pun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan sepasang tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk menangkis. Ia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui kedua tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.

Betapa pun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.

"Plakk...!"

Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Suara teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut bukan main, cepat melompat mundur sambil melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang.

Akan tetapi kesempatan itu segera digunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan satu lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, ia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio serta para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.

"Wah, Lam-hai Giam-lo sungguh berbahaya sekali...," kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

Semenjak dia dulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andai kata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, meski pun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!

Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kedua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

"Omitohud, kalian sudah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata,

"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."

Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata, "Suhu, kami hendak mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."

Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri, dan dia segera memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang kereng dan penuh wibawa.

"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Karena itu, mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih dari pada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhu-nya itu membuat dia mengerutkan alisnya.

Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu sangat merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, dan sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat.

Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di sana tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!

Memang begitulah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.

Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, baik dari bangsa atau golongan atau agama apa pun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang sebetulnya tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.

Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, terasa nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu salah satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan?

Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, mau pun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan bisa menikmati seutuhnya bila matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian dan kesadaran ketika matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah sehingga tidak mampu menikmati keindahan serta kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik.

Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di sana tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini selalu didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan jika dirugikan, maka akan dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan.


"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani sudah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"

Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apa lagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.

"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka sudah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil," demikian ketua kuil itu berkata dengan suara dan sikap kereng.

"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."

"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Pada waktu kakek buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau bisa menjadi murid di sini. Kini sesudah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!"

"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap sebagai murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"

Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Pinceng tak akan merubah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tak boleh berguru kepada siapa pun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi jika engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."

"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu di sini hanya bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melakukan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, tetapi teecu menjadi murid mereka!"

Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang telah berkata. "Kami kira permintaan Han Siong itu sangat patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun ini merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Sekali lagi kami mengharapkan kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."

Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa sangat kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."

"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.

"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu suka rela, tiada bedanya dengan mereka yang dibayar kuil atau bekerja suka rela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil." Sesudah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya.

Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.

"Suhu...! Subo...!" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.

"Han Siong, bangkitlah dan mari engkau ikut bersamaku ke dalam kamarku," kata Ci Kang dan Han Siong menurut.

Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur, ada pun Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat.

Ketika Han Siong turut memasuki kamar itu, dia merasa sangat terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali.

Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup sejuk karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung di langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, pikir Han Siong.

"Han Siong, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"

"Dia adalah kakek buyut teecu yang bernama Pek Khun. Kakek buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."

Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Mengapa begitu? Di manakah ayah ibumu dan siapakah mereka?"

"Teecu tidak pernah mengenal ayah mau pun ibu. Menurut cerita kakek buyut teecu, ayah adalah cucunya dan ayah bernama Pek Kong. Karena dulu teecu hendak dirampas oleh orang-orang jahat, demikian kata kakek buyut teecu, maka sejak bayi teecu dibawa pergi oleh kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut kakek Pek Khun, kakek dan juga ayah teecu secara berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."

"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemmm, aku belum pernah mendengar nama itu. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau adalah keturunan orang-orang gagah."

"Teecu tidak banyak tahu tentang keluarga teecu sendiri, dan kini teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu supaya teecu tidak menjadi penasaran lagi?"

Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang lalu termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu sekarang terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling kasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.

Mereka berdua kemudian pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Sesudah lewat beberapa pekan, barulah masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa di dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib.

Kemudian, pada suatu malam yang diterangi bulan purnama, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dengan hawa yang sejuk, terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan birahi membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela.

Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang sudah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka.

Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di pinggir Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka segera pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan serta kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.

Ceng Hok Hwesio sangat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang kelihatan gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apa lagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan hati rela sehingga mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam selalu mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.

Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, biar pun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun.

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.

Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal. Dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut!

Keinginan untuk mencapai dan mendapat hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya bisa melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat.

Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh bahkan dapat pula menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjinah, memperkosa dan sebagainya lagi.

Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Semenjak kecil hwesio ini sudah hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini, sebagai muridnya Hui Cu sering berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.

Hui Cu, biar pun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun dia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ini dia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu.

Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu birahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang telah dinyatakan dengan pandangan matanya. Namun gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!

Kemudian terjadilah sesuatu yang amat menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini dia masih dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja dia tidak mampu menyembunyikannya lagi.

Bagaikan seekor harimau kelaparan Ceng Hok Hwesio lalu menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal. "Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.

Pada saat itu pula Ci Kang cepat maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya teecu yang bersalah. Akan tetapi semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukan hal itu, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu."

"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?!" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhu-nya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.

"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami sudah... sudah... akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mengandung."

"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"

Ci Kang menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri..."

"Omitohud... semoga kuil ini diampuni dari dosa-dosa yang sangat besar ini. Bukan suami isteri namun kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si...!"

"Ampun, Suhu, kami tak sengaja. Andai kata kami tahu bahwa Hui Cu telah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."

"Andai kata... andai kata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama serta kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Maka, sebagai gantinya kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertobat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"

Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut, mendengarkan dengan hati pilu. Apa lagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.

"Bagaimana pun juga, kalian harus menerima hukuman yang telah pinceng jatuhkan tadi, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.

"Teecu... sanggup...," kata Hui Cu.

Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan namun Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah menyanggupi, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyatakan kesanggupannya juga.

"Teecu sanggup."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni dosa kalian berdua. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa di dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"

Semua hwesio yang berada di sana terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandangan mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya bisa menarik napas panjang. Tadi mereka berdua telah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu.

Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya mengenai sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlampau kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa.

"Han Siong, dulu Suhu dan Subo-mu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua sudah menjadi suami isteri kemudian Subo-mu melahirkan seorang anak, karena itu kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa..."

"Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

"Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apa lagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subo-mu sudah mengandung. Andai kata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw sehingga tidak melakukan pelanggaran dan dosa."

"Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali Han Siong berseru.

Ci Kang tersenyum. "Ssttt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa. Kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apa lagi kalau malam tiba..."

"Ehh, kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran.

"Pernah teecu melihat ada dua bayangan berkelebat masuk lantas dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo sering keluar dari kamar secara rahasia?"

Kembali gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, memang ada kalanya kami perlu keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh ikut tinggal di sini sehingga kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak, maka mereka menerimanya dengan senang hati. Nah, kadang-kadang kami pergi untuk menjenguk anak kami itu, atau ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Namun hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap."

"Lenyap...?" Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhu-nya. "Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"

Ci Kang menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, pada waktu malam keduanya sering kali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lian, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana.

Sejak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, tentu saja mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apa lagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak menganggap mereka sebagai anggota Siauw-lim-pai lagi.

Mereka berdua bukan hanya menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lian, semenjak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika Siangkoan Ci Kang sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, dia menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat di bawah lantai. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain adalah ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.

Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata ilmu-ilmu silat itu sangat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasainya.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya ilmu-ilmu itu dipelajari kalau dua orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka gunakan dengan baik sehingga dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo.

DEMIKIANLAH, dengan adanya Bi Lian yang cerdik dan lincah jenaka, juga dengan adanya dua buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat menjalani hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka. Apa lagi mereka saling memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersemedhi.

Akan tetapi, kurang lebih satu tahun yang silam, ketika pada suatu malam mereka pergi berkunjung ke dusun hendak menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang yang selamat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi dengan hebat.

Banyak di antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun beserta isterinya. Sementara itu, Bi Lian lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu langsung melakukan penyelidikan. Mereka terkejut sekali melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas akibat pukulan-pukulan sakti!

Mereka berusaha mencari ke sana sini, namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur dan dibujuk oleh Ci Kang.

"Tidak ada gunanya." demikian antara lain Ci Kang menghibur. "Kita tidak tahu ke mana perginya Bi Lian dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi. Ke mana kita harus mencari? Kita pun tak mungkin meninggalkan hukuman yang telah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini bukan tidak ada gunanya dan Bi Lian tentu akan selamat sehingga kelak bisa berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya tidak bermaksud membunuhnya."

Akhirnya Hui Cu berhasil dibujuk dan dia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka tertarik kepada Han Siong yang setiap hari menyapu halaman dan lantai di depan kamar tahanan. Mereka berdua melihat bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lian. Timbul niat di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid.

Mereka lalu melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong untuk memanggil dua orang tahanan itu agar menghadap dan itulah pertama kalinya Han Siong bertemu muka dengan mereka.

"Demikianlah, muridku. Kami sedang kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami untuk mengambil engkau sebagai murid juga ditolak. Kemudian terjadilah peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi murid kami walau pun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah engkau menduga, apa sebabnya kami ingin sekali mengangkatmu menjadi murid selain melihat bahwa engkau amat berbakat?"

Han Siong adalah seorang anak yang sangat cerdik. Mendengar penuturan suhu-nya dia dapat menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari adik Bi Lian sampai dapat!"

Mendengar ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di hadapannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum. "Ahh, sudah kuduga bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan! Sesudah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta supaya engkau pergi mencari Bi Lian sampai dapat dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami kepadanya, kemudian juga membimbing dia untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan Im itu. Kami sendiri baru bisa mempelajarinya dengan susah payah karena kami belajar tanpa ada pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih cepat lagi."

Demikianlah, mulai hari itu Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, memakai pakaian biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan kebun, memikul air dan pekerjaan lain. Dia tidak boleh lagi mempelajari kitab-kitab agama walau pun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan.

Setiap malam dengan amat giatnya dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan subo-nya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang ini mengharapkan agar Han Siong bisa cepat menguasai ilmu silat yang tinggi agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang.

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu tidak langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu.


                 ***************


Kakek itu sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang seakan-akan sudah menjadi bagian dari tangannya karena tidak pernah dilepasnya.

Biar pun dia sudah tua sekali, akan tetapi pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Semenjak tadi kakek itu duduk bersila di atas sebuah batu besar di bawah pohon raksasa, tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang terus memutar-mutar tasbeh. Agaknya dia sedang berdoa.

Setelah selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka sepasang matanya kemudian memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari. Karena tidak melihat apa yang dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Anak itu suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya dia pun melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang duduk termenung di pinggir sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta itu mengintai dari balik semak-semak.

Anak laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya bersinar tajam, bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu, dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, di antara daun-daun yang lebat dan seperti terpesona.

Kakek itu menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandangan matanya dan ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia lalu tersenyum lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan bermain cinta. Paruh mereka saling bersentuhan seperti biasanya orang bercumbu dan berciuman, dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas punggung burung betina yang mendekam pasrah.

Dan agaknya anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu. Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya.


cerita silat online karya kho ping hoo


Alam menjadi guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak itu memandang ke arah tepi sungai hingga dia sendiri pun tertarik. Kebetulan sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih.


Mereka minum dengan lahap, kemudian nampaknya si Jantan timbul gairah dan mereka pun berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri, akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu saja, di mana tumbuh rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya dia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai.

Kakek tua renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, lalu memandang dengan muka menjadi kemerahan dan mulut sedikit terbuka, napasnya agak terengah-engah. Dia pun mengerti bahwa alam sedang memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak pada diri anak laki-laki itu.

Kakek itu pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan sepasang matanya sehingga semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya.

Akhirnya sepasang kijang itu pergi dari situ dan anak itu pun lalu duduk kembali dengan dahi dan leher basah oleh keringat. Ia masih tenggelam dalam renungan, membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika terdengar suara halus memanggilnya.

"Hay Hay...!"

Anak itu terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya sebentar saja karena wajahnya langsung berubah cerah ketika dia menoleh dan melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya.

"Suhu!" serunya gembira. Dia cepat meloncat bangun dan berlari menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sepagi ini Suhu sudah berada di sini!"

Biasanya kakek itu tentu masih duduk bersemedhi di depan pondok sambil mandi cahaya matahari. Setiap pagi kakek itu memang selalu bersila dengan dada telanjang menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu amat mengherankan hatinya.

Anak itu adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti sudah diceritakan di bagian depan. Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua orang tuanya yang asli, yaitu keluarga Pek.

Akan tetapi hal ini pun masih meragukannya karena sesudah dia menjadi murid See-thian Lama, yaitu kakek gundul itu, dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung.

Akan tetapi dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biar pun Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa mereka menculiknya dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan apakah dia benar-benar putera keluarga Pek.

"Sebab itulah pinceng nasehatkan agar engkau jangan tergesa-gesa menggunakan nama keturunan Pek, Hay Hay. Kelak kalau engkau sudah besar dan mempunyai kepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu."

Selama lima tahun Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan Himalaya. Setiap hari kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi sambil mengajarkan ilmu baca tulis pula.

Karena kakek itu adalah salah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi, maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biar pun usianya baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun, kepandaiannya sudah sangat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa yang belajar ilmu silat selama belasan tahun.

Akan tetapi, waktu selama lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar sehingga tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay Hay.

"Semua ilmu ini membutuhkan latihan yang matang, Hay Hay. Akan tetapi pinceng kalah cerdik dari Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu akan menerimamu dalam keadaan telah siap untuk menerima segala macam ilmu silat tinggi. Sedangkan kini engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku. Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal di luar kepala ini."

Hay Hay dapat mengerti apa yang dikemukakan suhu-nya, maka dia pun lalu mentaatinya dan menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama, terutama sekali dia mendapat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan), juga ilmu langkah yang luar biasa bernama Jiauw-pouw Poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar).

Ketika See-thian Lama mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia lalu tertawa. "Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita mengenangkan masa-masa lalu kita, seakan-akan baru terjadi kemarin saja. Tanpa terasa pinceng pun kini sudah begini tua! Dan tahukah engkau bahwa kita telah berada di sini selama hampir lima tahun?"

Mendengar ucapan itu, Hay Hay tak dapat menyembunyikan kagetnya. "Tetapi... tetapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!"

Kakek itu tertawa. Anak ini memang cerdik bukan main, jika bicara langsung saja kepada sasarannya.

"Hay Hay, satu di antara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang harus bisa dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan mempertahankan dan memenuhinya dengan taruhan apa pun juga. Dulu pinceng telah berjanji kepada Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun saja, kemudian akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya."

Hay Hay bukannya tak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga sangat lihai itu, namun dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini. Tetapi dia tahu pula bahwa orang-orang gagah seperti gurunya ini tentu tak akan mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya.

"Akan tetapi, Suhu. Di manakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Ke mana kita harus mencarinya?"

"Ha-ha-ha, kau kira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya raya, juga memiliki banyak anak buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti akan muncul untuk menjemput engkau."

Secara diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah diduganya. Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau setidaknya tentu memiliki kuil yang besar di mana dia menjadi ketuanya. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tak begitu. Pendeta ini membawanya ke tempat sunyi itu dan mereka hanya tinggal pada sebuah pondok darurat yang mereka bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu, Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau.

Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba saja See-thian Lama memegang lengannya sambil berbisik, " Ada orang-orang datang ke sini!"

Baru saja dia selesai bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka kereng akan tetapi mereka tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka langsung merangkap kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut, "Susiok!"

See-thian Lama menatap wajah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap serta bentuk tubuh mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. See-thian lama tidak mengenal semua pendeta Lama di Tibet, akan tetapi dari sebutan mereka tadi, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di Tibet, satu generasi lebih muda darinya.

"Kalian berlima dari manakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?" tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut.

Salah seorang di antara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras.

"Susiok, maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong." Dia menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan dengan hati tertarik, apa lagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya.

See-thian Lama tetap tersenyum walau pun sinar matanya kini menjadi berkilat. "Mencari Sin-tong kenapa datang ke sini?"

"Karena kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan kami harus mengajaknya kembali ke Tibet."

"Hemmm, apa alasanmu mengatakan bahwa muridku ini Sin-tong?"

"Kami merasa sangat yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada para suhu bahwa Pak-kwi-ong bersama Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan, telah merampas Sin-tong dari tangan mereka. Para suhu lantas mengutus kami bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu, mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok di sini dan melihat anak ini..."

See-thian Lama tersenyum. Ternyata dua pasang iblis itu sudah mencari jalan lain untuk membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di Tibet!

"Akan tetapi, muridku ini sama sekali bukan Sin-tong!" katanya.

"Maaf, Susiok. Bukankah dia ini adalah anak yang dahulu pernah diperebutkan di antara Lam-hai Siang-mo, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi? Bukankah anak ini yang tadinya telah dibawa oleh sepasang suami isteri itu untuk diserahkan ke Tibet?"

See-thian Lama mengerti bahwa tentu saja suami isteri iblis itu berbohong dan memutar balikkan kenyataan tentang diri Hay Hay, dan mengatakan bahwa mereka berdua tadinya berniat menyerahkan Hay Hay ke Tibet! Akan tetapi yang diperebutkan itu memang Hay Hay, maka dia pun mengangguk.

"Benar, memang anak ini yang diperebutkan, akan tetapi dia bukan Sin-tong."

Sejenak tiga orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian Si Jangkung berjenggot itu berkata, "Harap Susiok maafkan. Bukan maksud kami ingin berbantah dengan Susiok, akan tetapi telah bertahun-tahun kami mencari dengan susah payah dan setelah sekarang bertemu, terpaksa kami tidak akan membiarkannya terlepas begitu saja."

"Maksud kalian?"

"Dengan atau tanpa perkenan Susiok, kami harus membawa anak ini ke Tibet kemudian menghaturkannya kepada Suhu di Tibet"

"See-thian Lama tertawa. "Omitohud, kau mendengar itu, Hay Hay? Nah, sekarang tiba saatnya pinceng menguji latihan-latihanmu selama ini. Coba pinceng ingin melihat apakah engkau sanggup menghindarkan diri dari tangkapan tiga orang pendeta Lama ini selama sepuluh jurus!" Dan kepada tiga orang murid keponakan itu, dia pun berkata, "Nah, kalian kuberi kesempatan untuk menangkapnya, tapi hanya selama sepuluh jurus."

Tiga orang pendeta itu kembali saling pandang. Tentu saja mereka sudah tahu kelihaian See-thian Lama yang amat terkenal di Tibet, karena itu mereka memperlihatkan sikap jeri. Akan tetapi, tentu saja mereka memandang ringan bocah yang usianya baru dua belas tahun itu. Mereka bertiga menangkap selama sepuluh jurus? Dalam satu dua jurus saja tentu seorang di antara mereka akan berhasil menangkapnya, apa lagi maju bertiga!

"Baik, Susiok, kami hendak mencobanya!" Dan mereka bertiga lalu menghampiri Hay Hay yang tidak beranjak dari tempatnya.

Anak ini memang cerdik. Melihat betapa di kanan kirinya terdapat banyak pohon-pohon besar, dia menganggap bahwa tempat itu sangat baik untuk dipakai kucing-kucingan dan menghindarkan diri dari penangkapan tiga orang pendeta itu.

Meski pun dia sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in, akan tetapi sungguh berbahaya kalau membiarkan dirinya disergap di tempat terbuka oleh tiga orang pendeta yang tentunya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Kalau berada di antara pohon-pohon, maka dia dapat memanfaatkan batang-batang pohon itu untuk membantunya.

Sekarang tiga orang pendeta Lama itu sudah tiba dekat, lantas tiba-tiba saja Si Jangkung berjenggot panjang menubruk ke arah Hay Hay tanpa banyak cakap lagi. Tangan kirinya menyambar ke arah tengkuk dan tangan kanan menyambar lengan kiri Hay Hay.

Sambaran itu amat cepatnya akan tetapi bagi Hay Hay nampak lambat sehingga dengan mudah saja dia mendahului mengelak dengan satu lompatan ke belakang dan miringkan tubuhnya. Melihat ini, dua orang pendeta lainnya menyergapnya dari kanan kiri.

Gerakan mereka juga cepat sekali. Bagaikan dua ekor beruang mereka menubruk dengan kedua lengan terpentang lebar dan dua tangan membentuk cakar untuk mencengkeram. Namun, dengan menggerakkan kedua kakinya secara aneh dan lincah sekali, miringkan tubuh ke sana sini, Hay Hay sudah menyelinap di antara batang-batang pohon sehingga tubrukan dua orang pendeta itu pun luput!

Tiga orang pendeta Lama itu terkejut. Sungguh tak mereka sangka bahwa anak itu dapat demikian mudahnya menghindarkan diri dari tubrukan-tubrukan mereka. Padahal mereka adalah pendeta-pendeta Tibet tingkat dua yang tentu saja telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang dan khikang yang kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah hebat.

Tentu saja mereka merasa penasaran dan mulailah mereka melakukan penyergapan dari kanan kiri, mengejar ke mana saja anak itu bergerak dan mengelak. Akan tetapi, untuk ke sekian kalinya mereka hanya menangkap angin dan menubruk tempat kosong saja.

Makin cepat mereka bergerak, makin cepat pula Hay Hay mengelak sambil menyelinap di antara pohon-pohon sehingga ketika hwesio Lama yang agak gendut menubruknya terlalu cepat dan telah begitu yakin akan berhasil, tahu-tahu yang ditangkapnya adalah sebatang pohon sehingga hidungnya membentur batang pohon dan berdarah!

Kini barulah tiga orang pendeta itu sadar bahwa anak itu benar-benar tak boleh dipandang ringan! Mereka sudah berusaha menangkap selama lima jurus, namun tanpa hasil sedikit pun juga. Jangan kata menangkap, bahkan menyentuh lengan atau baju anak itu pun tak pernah dapat mereka lakukan!

Melihat betapa muridnya main kucing-kucingan di antara pohon-pohon besar, See-thian Lama merasa tidak puas. Dia ingin menguji kepandaian muridnya, bukan kecerdikan dan akalnya. Kini tinggal tersisa lima jurus lagi untuk mengujinya.

"Hay Hay, engkau bukan kucing. Keluarlah ke tempat terbuka!" teriaknya.

Hay Hay terkejut setengah mati. Suhu-nya malah menyuruh dia keluar ke tempat terbuka, padahal dia tahu benar betapa lihainya tiga orang itu. Gerakan mereka sangat cepat dan dari gerakan tangan mereka itu keluar angin yang kuat sekali. Bagaimana kalau mereka menyerangnya dan dia roboh terluka? Tentu akan mudah dapat tertangkap!

Akan tetapi dia tidak berani membantah perintah suhu-nya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah mencelat keluar dari balik pohon dan kini dia berdiri tegak di tengah-tengah bagian yang terbuka, di atas padang rumput, siap untuk mainkan Jiauw-pouw Poan-soan karena itulah satu-satunya ilmu yang dapat dipergunakannya untuk mengelak dari semua usaha penangkapan. Juga dia siap mengerahkan ilmu meringankan tubuh Yan-cu Coan-in agar mudah meloncat dengan ringan kalau-kalau terancam oleh tangan tiga orang itu.

Melihat betapa anak itu sekarang sudah berdiri di tempat terbuka, tiga orang pendeta itu menjadi girang sekali. Kini kesempatan bagi mereka terbuka untuk dapat menyergap dan menangkap anak itu. Mereka lalu berloncatan mengepung anak itu di tempat terbuka. Kini tidak lagi terdapat batang pohon di mana anak itu dapat menyelinap dan berlindung dari penyergapan.

Hampir saja mereka tertawa saking girang rasa hati mereka. Telah bertahun-tahun mereka melakukan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan baru sekarang mereka memperoleh harapan besar untuk akhirnya berhasil membawa Sin-tong ke Tibet dan menerima berkah dan anugerah dari para pimpinan Lama di Tibet.

Hay Hay lalu menggerakkan kakinya, digeser sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tiga orang pengepungnya, mencari posisi yang baik dan menguntungkan sesuai dengan ilmu langkah Jiauw-pouw Poan-soan. Tubuhnya ikut terbawa gerakan kaki, berputar perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga.

Tiba-tiba pendeta Lama jangkung berjenggot panjang mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menubruk ke depan, disusul dua orang temannya yang menubruk pula dari kanan kiri. Tidak ada tempat bagi Hay Hay untuk mengelak, demikian perkiraan tiga orang pendeta itu.

Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali. Tubuh anak itu bergerak ke sana-sini, dekat sekali dengan jangkauan tangan mereka, akan tetapi buktinya, tubrukan mereka itu sedikit pun tidak berhasil! Sambaran tangan mereka hanya meluncur di dekat tubuh anak itu! Gerakan tangan mereka yang mendorong tubuh anak itu seolah-olah nampak seperti orang hendak menangkap bulu sutera halus yang amat ringan.

Tentu saja mereka hampir tidak dapat percaya dengan apa yang mereka alami. Dengan penasaran mereka berusaha menangkap lagi dan memperketat pengepungan. Melihat ini, Hay Hay maklum bahwa amatlah berbahaya kalau mengandalkan Jiauw-pouw Poan-soan saja, maka dia pun mulai menambah langkah-langkah ajaibnya dengan loncatan-loncatan menggunakan ilmu Yan-cu Coan-in.

Ilmu ini meniru gerakan burung walet yang amat gesit, yang dalam keadaan terbang dapat membalik ke sana-sini, bahkan dalam keadaan terbang berkelompok dan bersimpang-siur, mereka tidak pernah saling bertabrakan.

Dan kini tiga orang pendeta Lama itu kembali dibikin tertegun sebab ke mana pun mereka menubruk dan mengulur tangan, sama sekali mereka tidak mampu menyentuh tubuh Hay Hay. Tanpa terasa, sepuluh jurus telah lewat.

Mereka tidak menghitung jurus lagi dan kini dengan penasaran, mereka mulai menyerang dengan tamparan-tamparan. Mereka telah memperhitungkan bahwa sekali anak itu roboh tertampar, biar pun dalam keadaan terluka, tentu akan dapat mereka tangkap dan mereka bawa ke Tibet.

"Omitohud, kalian tidak boleh bertindak curang!"

Tiba-tiba See-thian Lama berkelebat dan tahu-tahu tiga orang pendeta itu merasa tubuh mereka lemas ketika ada bayangan berkelebatan di atas kepala mereka. Kiranya dengan ujung jubahnya yang panjang dan lebar itu, See-thian Lama telah berhasil menotok jalan darah di pundak mereka, tidak terlalu keras untuk merobohkan mereka, akan tetapi cukup untuk membuat mereka lemas hingga mereka terpaksa melangkah mundur menghentikan serangan mereka terhadap Hay Hay.

"Susiok, kami adalah utusan dari Tibet! Apakah Susiok berniat hendak mengkhianati Tibet dan para Suhu di sana?" pendeta jangkung berjenggot kini bertanya, suaranya tegas dan penuh teguran.

"Omitohud, percuma saja kalian berlatih puluhan tahun lamanya kalau tetap tidak mampu menguasai perasaan sendiri. Pinceng tidak ingin berbantahan dengan kalian, akan tetapi apa bila para pimpinan dari Tibet datang sendiri, baru pinceng akan membuktikan bahwa murid pinceng ini bukan Sin-tong!"

Melihat sikap See-thian Lama dan mendengar ucapan itu, tiga orang pendeta Lama saling pandang dengan hati kecewa sekali. Segala susah payah mereka selama bertahun-tahun ini hanya akan membawa hasil laporan bahwa mereka menemukan Sin-tong akan tetapi tidak mampu membawanya ke Tibet!

Akan tetapi karena maklum bahwa tidak ada gunanya mempergunakan kekerasan kalau menghadapi See-thian Lama, karena mereka akan kalah, tiga orang pendeta itu terpaksa memberi hormat dan Si Jangkung berjenggot lantas berkata, nada suaranya mengandung rasa penasaran dan ancaman.

"Apa yang terjadi pagi ini di sini tentu akan kami laporkan kepada para suhu di Tibet!" Setelah berkata demikian, tiga orang itu menjura lantas membalikkan tubuh dan berjalan pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Sesudah mereka pergi jauh, barulah See-thian Lama menarik napas panjang. "Omitohud, dirimu dikepung rahasia dan bahaya, Hay Hay. Pinceng tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan Sin-tong yang sesungguhnya dan di mana sekarang dia berada. Ataukah... memang benar engkau ini putera keluarga Pek akan tetapi terlahir tanpa tanda merah di punggung sehingga ramalan para pimpinan Lama itu sekali ini meleset?"

Akan tetapi Hay Hay tidak mempedulikan semua itu. Dia masih merasa tegang dan girang karena tadi mendapatkan kesempatan untuk memainkan ilmu yang selama ini dilatihnya secara tekun. "Suhu, bagaimana dengan semua gerakan teecu tadi? Apakah masih ada yang keliru dan mengecewakan?"

See-thian Lama tersenyum. "Sudah cukup baik, akan tetapi kalau besok atau lusa datang rombongan Lama yang lain, engkau sama sekali tidak boleh menunjukkan kepandaianmu lagi. Yang akan datang ke sini adalah orang-orang yang amat lihai, dan biarkan pinceng yang akan menghadapi mereka."

"Suhu, siapakah yang akan datang lagi ke sini?" tanya Hay Hay, terkejut juga mendengar bahwa akan datang lagi rombongan Lama yang lebih lihai.

"Guru-guru mereka atau pimpinan Lama yang tingkatnya sama dengan pinceng."

"Akan tetapi, bukankah kini mereka berada di Tibet? Jaraknya tentu jauh dan bagaimana mereka akan dapat datang demikian cepat, besok atau lusa?"

"He-he-heh, engkau masih belum tahu, Hay Hay. Para pendeta Lama memiliki ilmu yang luar biasa, bukan hanya ilmu silat dan ilmu sihir. Mereka juga dapat melakukan hubungan batin dari jarak jauh. Tiga orang pendeta tadi akan mampu mengundang guru-guru mereka melalui kekuatan batin saja sehingga yang berada di Tibet akan mengetahui dan cepat datang ke sini. Dan mereka yang akan datang itu rata-rata mempunyai ilmu berlari cepat yang hebat, biar pun mungkin belum dapat menandingi Yan-cu Coan-in, akan tetapi sudah amat cepat sehingga dalam waktu satu dua hari saja akan dapat tiba di sini."

Hay Hay tertegun. Demikian banyaknya orang sakti di dunia ini, pikirnya. Hal ini semakin menebalkan keyakinannya bahwa dia harus belajar penuh semangat dan sama sekali tak boleh menilai kepandaian sendiri terlalu tinggi sehingga menjadi besar kepala dan tinggi hati karena di dunia ini banyak sekali orang pandai yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya.

Apa yang dikatakan See-thian Lama memang terbukti. Dua hari kemudian, pada suatu pagi, selagi Hay Hay dan See-thian Lama berlatih semedhi di dalam pondok seperti yang diajarkan oleh pendeta itu, terdengar suara di luar pondok itu.

"See-thian Lama, keluarlah! Kami ingin bicara!"

See-thian Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay. "Nah, mereka sudah tiba. Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja kepada pinceng." Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak keluar dari pondok.

Pada saat mereka tiba di luar pondok, di situ telah berdiri dua orang pendeta Lama yang sudah tua sekali. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa, sedangkan orang ke dua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu tersenyum lebar.

Melihat bahwa yang muncul adalah dua orang pimpinan Lama yang kekuasaannya cukup besar di Tibet, yaitu Bai Long Lama, pendeta kecil pendek yang masih terhitung sebagai suheng-nya sendiri, bersama Bai Hang Lama, Si Gendut yang masih terhitung sute-nya, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat.

"Selamat datang di gubukku, Suheng dan Sute!" katanya.

"Omitohud... engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute," kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap saja kereng berwibawa. Sebaliknya, Bai Hang Lama yang memang selalu tersenyum lebar itu kini tertawa.

"Ha-ha-ha, engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!"

"Terima kasih, Sute. Engkau pun semakin gendut."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Si Gendut itu tertawa bergelak sehingga perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang seperti hidup.

"Suheng dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan lain yang penting?" See-thian Lama bertanya. Sementara itu, dua orang pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian.

"Sute See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil anak ini!" Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu berubah penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung tantangan.

Tentu saja See-thian Lama sudah tahu akan maksud kedatangan mereka, karena itu dia pun tersenyum ramah penuh kesabaran. "Suheng, dengan alasan apakah Suheng hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?"

"Karena dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di biara untuk dididik," kata pula Bai Long Lama.

"Kalau dia adalah Sin-tong, memang benarlah apa yang kau katakan tadi, Suheng. Akan tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong."

"Hemm, hal itu harus kami selidiki dahulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong? Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang sebelumnya merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?"

"Benar, tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong. Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!" Berkata demikian, See-thian Lama segera menarik baju Hay Hay hingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah di situ. "Bukankah Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak memiliki tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng."

Melihat punggung yang kulitnya putih halus dan di situ sama sekali tak nampak ada tanda merahnya itu, Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tak mungkin dengan satu dan lain cara, See-thian Lama sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong!

"Omitohud... pinceng sungguh merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan."

Mendengar ucapan ini, maka terkejutlah hati See-thian Lama. Dikiranya bahwa kenyataan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay sudah cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong.

Pada saat itu pula terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi makin lama suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang merasa amat terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.

Akan tetapi See-thian Lama dapat mengenal suara itu setelah terdengar dekat, maka dia pun cepat mengerahkan khikang-nya sambil berkata. "Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?"

Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba saja muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya sebaya dengan mereka, sudah mendekati delapan puluh tahun juga.

Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang-kembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya bersinar tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggang kirinya terselip sebatang suling yang panjangnya tiga kaki.

"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidak-tidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, salah seorang di antara Delapan Dewa, rekan dari sute-nya, See-thian Lama.

"Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kau anggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Meski pun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan.

"Ha-ha-ha-ha!" kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat tertawa dari pada menangis, jauh lebih baik bergembira dari pada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"

"Tentu saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah.

"Heh-heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semuanya pasti benar dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang bertubuh gendut.

"Nah, nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku mendengar sendiri berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang akan datang adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah pada kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikit pun tak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"

Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah. "Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Sudah pasti di punggung calon itu ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya adalah, Sin-tong ini memang tidak mempunyai tanda itu, tetapi siapa tahu tanda itu hilang atau bahkan sengaja dihilangkan. Karena itu kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"

"Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di antara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula yang tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Meski pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa lantas mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia memang Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid? Tentu telah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena semenjak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah hal itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!"

Ucapan terakhir ini betul-betul menyentuh kelemahan dua orang pendeta Lama itu. Muka mereka lantas menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok sebagai kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu.

"Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini sejak awal memang tidak memiliki tanda merah di punggung, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan dan terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal," kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.

"Suheng, selamat tinggal. Mari, Sin-kai!" kata pula pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka tertawa.

"Selamat jalan, Suheng dan Sute," balas See-thian Lama.

"Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!" Ciu-sian Sin-kai juga berkata.

Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali sehingga sebentar saja mereka hanya nampak sebagai titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang.

Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul. "Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau serang aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu sesudah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!"

Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai 'pemakan rumput'. Bukannya mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah makhluk-makhluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya.

Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat pada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia merasa sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.

"Hay Hay, gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberikan petunjuk, mengapa engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"

Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun segera melompat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu.

Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira. Bertolak belakang dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang bagai air danau yang dalam, sebaliknya sikap kakek jembel ini bagai anak sungai yang airnya selalu berdendang dan gemericik terus menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Mendadak timbul niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul di antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.

"Suhu Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!" bentaknya.

Dan dia pun segera menerjang dengan pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw Poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main.

Kakek jembel itu terkekeh sesudah melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya. Pukulan ke arah perutnya itu cepat dielakkan kemudian dari samping dia mengulur tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi ternyata tangkapannya mengenai angin kosong belaka karena pada waktu yang tepat, pundak itu lenyap ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung.

"Ehhh...?" Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan lantas membalikkan tubuhnya.

Tanpa ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut. Cepat sekali. Akan tetapi dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay bisa menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu.

"Bagus! Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dengan baik!" Sin-kai memuji.

Dia terus menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari segala arah. Namun, dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, memang anak ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga sangat menguasainya. Dengan langkah-langkahnya itu dia bahkan sanggup menghindarkan diri dari sergapan tiga orang pendeta Lama.

"Suhu, coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in!" tiba-tiba saja Hay Hay berseru gembira.

Hampir saja See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali. Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya.

"Kau kira aku tak mampu?" sambil berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya secara bergantian membuat gerakan menyapu dari kanan dan kiri.

Dibabat dari kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu Coan-in untuk berloncatan menghindar, tahu-tahu ujung kaki Sin-kai sudah mencium belakang lutut kirinya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut!

Memang Hay Hay sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia segera menghadap See-thian Lama.. "Harap suhu ampunkan teecu bila teecu kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah... memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?"

"Husshhh...! Hay Hay, jangan bicara begitu!" Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu sudah membakar dan menyentuh harga diri See-thian Lama.

"Hay Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar, menghadapi segala macam serampangan seperti tadi tentu engkau berbalik akan berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan."

Hay Hay merasa mendapat jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian Sin-kai, "Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan dua kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu tidak berdaya."

Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik. Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua kakimu." Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu.

"Nah, Suhu, marilah kita berlatih. Suhu menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!" kata Hay Hay dengan gembira sekali sambil menghampiri See-thian Lama.

Kakek ini tersenyum dengan pandang mata mengejek. "Hemm, jurus kaki gunting tumpul seperti itu saja, apa artinya? Nah, kau boleh menyerangku!"

Karena memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, agak merendahkan tubuhnya lalu dua kakinya membuat gerakan menyapu seperti menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang kala berbareng sambil menahan tubuh menggunakan kedua tangan.

Akan tetapi sambil tersenyum-senyum See-thian Lama menggerakkan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah mundur, dan kedua tangannya bergerak melakukan totokan-totokan atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu tidak pernah mengenai sasaran, sebaliknya serangan ke arah bagian atas tubuh itu membuat Hay Hay menjadi amat kerepotan.

Hay Hay mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya digunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya pundaknya terkena totokan. Walau pun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun tetap saja Hay Hay terduduk lemas untuk beberapa detik lamanya.

"Selama ini suhu tidak pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!" kata Hay Hay kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri.

"Itulah Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi."

"Harap Suhu suka mengajarkan kepada teecu."

See-thian Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena secara tidak langsung sudah dapat membalas Ciu-sian Sin-kai, mengalahkan jurus Kaki Gunting itu, tentu saja dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Hanya sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan melangkah mundur sambil dua tangannya mematuk-matuk ke depan dari atas ke bawah. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap Ciu-sian Sin-kai.

"Suhu, sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting."

"Ha-ha-ha, akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan," kata Ciu-sian Sin-kai.

Kakek ini lantas mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung Mematuk Ular itu. Sesudah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai. Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil 'mengadu' kedua orang gurunya itu.

Dua orang kakek sakti itu 'saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan' secara tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin tinggi dan pilihan! Maka semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tak langsung ini telah berlangsung lebih dari tiga bulan!

Nampaknya saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Walau pun tentu saja dia tidak atau belum bisa menguasai semua jurus itu secara sempurna karena kurang latihan, akan tetapi setidaknya dia telah mengenal dan menguasai teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan. Lambat laun kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua sudah diadu oleh murid mereka. Secara diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka juga maklum betapa pentingnya cara mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay. Mereka melanjutkan 'adu ilmu' ini sampai seratus hari lamanya. "Omitohud, sudah cukuplah, Hay Hay. Hari ini pinceng merasa kalah dan harus mengaku kelebihan Ciu-sian Sin-kai. Engkau ikutlah dengan dia dan belajarlah secara rajin selama lima tahun," kata See-thian Lama setelah Hay Hay memperlihatkan jurus baru dari kakek pengemis itu. "Ha-ha-ha, See-thian Lama terlampau merendah. Ketahuilah, Hay Hay. Bagi orang-orang yang sudah betul-betul menguasai ilmu silat, tidak ada jurus yang tak akan dapat dihadapi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, seperti juga tidak ada benda yang paling besar atau tempat yang paling tinggi di alam ini, tidak ada pula orang yang tidak dapat terkalahkan. Sepandai-pandainya orang, tetap takkan mampu menandingi serangan usia sendiri yang menggerogoti dari dalam. Karena itu, belajarlah yang giat dan lenyapkan sikap takabur. Selama masih hidup, engkau juga masih sempat mempelajari hal-hal yang baru."

Hay Hay berlutut di depan kedua orang gurunya itu sambil menghaturkan ucapan terima kasihnya. Dan pada hari itu juga, Hay Hay pergi meninggalkan See-thian Lama, mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai yang membawanya pulang ke Pulau Hiu.


                  ***************
























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12