Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 05
HAN SIONG
terbelalak karena laki-laki itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia
menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari
ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita
cantik yang berada di sana.
Akan tetapi,
ketika dia sampai di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan
tiba-tiba saja berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Begitu
cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka
saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung bersama
wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat
terjadinya pertempuran tadi.
Ternyata
Ceng Hok Hwesio bersama para muridnya amat kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai
Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, makin lama semakin beringas dan ganas
sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi
marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang langsung
diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil
mengeluarkan bentakan nyaring.
Akan tetapi
lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu hanya dengan dua tangan
kosong saja. Dengan dua lengan tangannya dia berani menangkis hantaman toya
kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.
"Dukk!
Wuuuttt...!"
Ceng Hok
Hwesio kaget bukan kapalang dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat
ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar
sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya,
bahkan tak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang
menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tak mengenal bahaya sehingga
dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut.
Kembali yang
diserang hanya tertawa dan sekali ini sama sekali tak mengelak, juga tidak
menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan
perutnya.
"Cusss!"
Ujung toya
kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sesungguhnya bukan
menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja
mengempis. Ketika ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya
melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo telah
bergerak, yang satu menotok pundak dan yang lain mencengkeram jubah di tengkuk
Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena
dicengkeram!
Melihat
betapa guru mereka sudah tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan
marah. Kini mereka sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.
"Saudara
sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!"
tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa, diikuti berkelebatnya
dua sosok bayangan dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang.
Semua hwesio
mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri
buntung dan seorang wanita cantik. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni
kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang
datang belum ada sepuluh tahun, tak pernah melihat dua orang itu dan kini
mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua
berbisik-bisik memberi tahu bahwa lelaki dan perempuan itu adalah dua orang
hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.
Laki-laki
berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang
masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo,
lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"
Sambil
berkata demikian, tiba-tiba lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu
bergerak lantas ujung lengan baju itu menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika
ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah
yang menyambar itu adalah sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!
Lam-hai
Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut
dan tak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik
kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan lain berkelebat dan
wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya amat hebat sebab
sepasang tangan wanita itu secara bertubi-tubi mengirim totokan-totokan ke arah
sembilan jalan darah yang ada pada bagian depan tubuhnya.
Lam-hai Giam-lo
dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa harus melepaskan
cengkeraman di tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua
kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya sangat kuat
sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke
arah laki-laki itu.
Akan tetapi,
Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali
tangan itu menyambar, dia pun sudah bisa mencengkeram punggung jubah hwesio itu
sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio
sudah dapat bergerak lagi kemudian diturunkan.
Dengan muka
merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para
penonton. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya
menonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya.
Diam-diam
hatinya merasa heran sekali sebab selama ini dia memandang rendah kepada dua
orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di
Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu sangat
lihai, karena kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari
cengkeraman Si Muka Kuda dengan sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang
saja!
Kini Lam-hai
Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku.
Memang aku adalah Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat
ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi
karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku
berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman.
Siapa sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu
menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.
Laki-laki
yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, kemudian menjawab singkat,
"Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang
dan dia adalah Toan Hui Cu."
Para pembaca
cerita Asmara Berdarah tentu masih ingat dengan kedua nama ini. Seperti yang
sudah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera
mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk
sesat yang lihai sekali.
Akan tetapi
puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya malah
sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tak disukanya.
Kemudian, secara beruntung dia bisa menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti
yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang.
Akan tetapi,
dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada
Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang sudah mencinta pria lain, yaitu
Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan dia masih bersikap amat
bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum
ayahnya sendiri karena fitnah.
Dengan
jantan Ci Kang melindungi, bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang
sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku.
Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak
berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!
Pada malam
hari itu, sesudah Hui Song menikah dengan Sui Cin, Ci Kang yang hatinya merasa
duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih di kebun. Dia
tahu mengapa Hui Cu menangis, sebab keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia.
Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta
Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya
Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih
dari Ketua Cin-ling-pai.
Dia dan Hui
Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu saja, akan tetapi juga asal-usul
mereka hampir sama. Dia sendiri adalah putera seorang datuk sesat yang amat
tersohor, dan Toan Hui Cu bahkan lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah
Raja Iblis dan Ratu Iblis, raja dan ratunya para datuk sesat!
Karena
persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, sesudah mereka saling berjumpa dan
mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan
mereka pun bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang
kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Sebagai puteri Raja dan Ratu
Iblis yang sangat sakti, tentu saja Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat
dahsyat!
Akan tetapi
agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua
orang ini masih sangat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu
kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi mereka yang patah hati itu lalu
masuk menjadi hwesio dan nikouw, kemudian mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan
kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para
hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua
orang muda yang amat lihai!
"Bagus,
kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, sesudah aku berada di
sini dan melihat kalian berdua berlatih, hatiku merasa tertarik sekali.
Sekarang berikan kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa
mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.
Ci Kang dan
Hui Cu saling pandang, lalu keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk
memenuhi permintaan Si Muka Kuda.
"Enak
saja kau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau segera
pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"
Lam-hai
Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, tetapi karena matanya memang sipit
sekali, biar sudah dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak
menakutkan, melainkan merubah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi
tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur
panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.
Jarak antara
kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat
terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu
tak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi
mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah
dilolos dari pinggangnya.
Ujung sabuk sutera
putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit
nyaring itu bukan menangkis lengan, namun menyambut lengan yang meluncur dan
hendak mencengkeram ke arah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di
pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dahulu
mengenai jalan darah pada pergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu
sempat mencengkeram dadanya.
"Uhhhhh...!"
Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur
dan dilepas, kini cepat sekali telah kembali menjadi normal sehingga totokan
sabuk sutera itu pun luput.
"Heh-heh-heh,
baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini
dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo
lantas menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.
Tubuh itu
kini hanya nampak bagai bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari
pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur
dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!
Ci Kang
telah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki.
Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya
seperti orang bermain pedang, tapi kadang-kadang dipegang di bagian tengah
kemudian diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.
Ayah Ci
Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga
biar pun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. Setelah menjadi
murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli dalam permainan tongkat,
tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.
Menghadapi
permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, dan ditambah
lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini juga sudah mengeluarkan
sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi
terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun masih terasa kurang kuat untuk
menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!
Memang ilmu
silat kedua orang hukuman itu amat hebat. Jika gerakan Siangkoan Ci Kang amat
tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main,
bagai seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang
dengan cepatnya dari atas seperti burung garuda menyambar-nyambar, ada pun Ci
Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat,
seperti serangan seekor ular.
Betapa pun
hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo
adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan yang
memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari
mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini
menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya.
Maka, biar
pun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi kecepatan dua orang
pengeroyoknya dan setelah diputar-putar sehingga mengeluarkan bunyi
berkerotokan dan kini menjadi kebal, kedua lengan itu mampu menahan tongkat
dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang
mengenai dua lengannya tidak berpengaruh apa-apa!
Semenjak
tadi Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua mata terbelalak dan
hwesio ketua kuil ini lantas tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia
menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh.
Ternyata kakek itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu
dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang
yang menyerangnya.
Ceng Hok
Hwesio juga merasa kagum. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman
itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi dari pada
tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ.
Seorang
pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang berlutut menangis dan
memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus semua
dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka berdua begitu lembut dan biar pun
mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini
hingga mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?
Diam-diam Ci
Kang dan Hui Cu juga amat kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka.
Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali inilah mereka
berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian
lihainya.
Biar pun
mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu
mendesak lawan, malah beberapa kali tubuh mereka terdorong mundur oleh angin
pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau
dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba
Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.
"Kwan
Im Hud-couw...!"
Mendengar
teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur lalu mereka
berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian mereka
berdiri tegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang
hanya dapat memiringkan tangan kanan saja di depan dada. Mereka mengambil sikap
seperti sedang menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.
Lam-hai
Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang
yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa
kedua lawannya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun
langsung dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.
"Ha-ha-ha,
akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah
ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"
Tetapi kedua
orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki
secara lembut dan halus sekali, laksana seorang puteri yang melangkahkan
kakinya, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan.
Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena
sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapa pun lihainya dua orang
pengeroyoknya, tetapi dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat
mengalahkan mereka.
"Biarlah
aku yang akan memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke
arah Hui Cu.
Seperti
tadi, serangannya ini mengandung keceriwisan sebab dia sengaja mencengkeram
dengan dua tangan, satu ke dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan
gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya dan melangkah aneh sekali sambil
memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!
Kakek muka
kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil
karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara
tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara
kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak,
langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman
kedua tangannya yang dahsyat itu luput!
Dan
tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah 'mengusap' ke
arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan
tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi
tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan
kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan
halus itu!
"Celaka!"
teriaknya.
Cepat
Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari
totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini segera memutar lagi
tubuhnya sehingga berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan
hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.
"Jurus
ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru.
Secara
otomatis Hui Cu bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri
memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang amat aneh itu. Ci Kang
merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua
tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan
dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke
atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan
gerakan seperti orang memetik sesuatu.....
Jurus ke
tiga itu adalah jurus Kwan-im Khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu), ada pun
jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai.
Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya amat lembut dan perlahan,
seperti tidak mengandung tenaga.
Akan tetapi
dengan hati kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar
dari empat buah lengan itu, juga terdengar suara mendesis seperti benda tajam
mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berputar itu,
ada pun kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh
lebih cepat.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang
pengeroyoknya itu mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya lantas tangan
Ci Kang tahu-tahu sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur dari
atas ke bawah, mengancam pelipis kepalanya!
"Iihhhh...!"
Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas
lantai.
Akan tetapi
dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyok itu telah mengejarnya lantas
empat buah lengan bertubi-tubi melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan
adalah hawa dingin dari serangan mereka.
Tapi kakek
bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biar pun dia sedang bergulingan dan
dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan sepasang
tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk menangkis. Ia merasa betapa hawa
dingin menyergap ke dada melalui kedua tangannya yang menangkis, juga menyergap
ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.
Betapa pun
juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah
tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.
"Plakk...!"
Lam-hai
Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah
segar. Suara teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh
karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut bukan
main, cepat melompat mundur sambil melindungi dada dan telinga dengan
pengerahan sinkang.
Akan tetapi
kesempatan itu segera digunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri.
Dengan satu lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang
lawannya mengejar, ia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak
melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng
Hok Hwesio serta para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.
"Wah,
Lam-hai Giam-lo sungguh berbahaya sekali...," kata Ci Kang sambil
menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Semenjak dia
dulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang
luar biasa lihainya. Andai kata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang
sedang mereka latih berdua, meski pun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan
Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!
Ceng Hok
Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih
dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kedua orang
hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
"Omitohud,
kalian sudah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang
Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke
dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."
Ci Kang dan
Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati
terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap
kedua tangan di depan dada dan berkata,
"Baiklah,
Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."
Akan tetapi
Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata,
"Suhu, kami hendak mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu,
yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."
Mendengar
ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya
berseri-seri, dan dia segera memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata
penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia
mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang kereng dan penuh wibawa.
"Sayang,
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang
tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang
calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Karena itu, mana mungkin
dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat
Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."
Selama
hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat,
dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih dari pada kecerdikan
anak-anak seusianya, maka ucapan suhu-nya itu membuat dia mengerutkan alisnya.
Dari sikap
dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu sangat merendahkan
dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang
berdosa yang kotor, dan sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih
dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan
filsafat.
Bukankah
anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di sana
tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan
dengan pelajaran agama!
Memang
begitulah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama
selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan
baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi
memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh
dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan
jelas bukan pandangan yang bersih.
Kekuasaan
Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara
manusia, baik dari bangsa atau golongan atau agama apa pun juga! Kasih Tuhan
nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang sebetulnya
tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.
Lihatlah
sinar matahari yang hangat, menghidupkan, terasa nyaman dan menjadi sumber
kehidupan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari
itu salah satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar
matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan?
Sama sekali
tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, mau pun dia seorang yang
dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya,
orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar
dirinya, akan bisa menikmati seutuhnya bila matahari pagi yang hangat dan sehat
memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian dan kesadaran
ketika matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya
selalu keruh dan sibuk, akan lengah sehingga tidak mampu menikmati keindahan
serta kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau
matahari terlalu terik.
Jelaslah,
bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di
sana tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan,
karena penilaian ini selalu didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau
dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan
jika dirugikan, maka akan dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada
keakuan yang selalu mengejar kesenangan.
"Suhu!
Paman dan Bibi ini dengan gagah berani sudah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya
bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai
Giam-lo dan kuil kita dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"
Mendengar
ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apa
lagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan
pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.
"Hemm,
Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka sudah melakukan dosa besar, dan
setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil,"
demikian ketua kuil itu berkata dengan suara dan sikap kereng.
"Akan
tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong
berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk
melarang teecu menjadi murid mereka."
"Omitohud,
bicaramu lancang sekali, Han Siong. Pada waktu kakek buyutmu, Susiok Pek Khun,
menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau bisa menjadi
murid di sini. Kini sesudah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau
menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid
Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!"
"Teecu
ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap sebagai
murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"
Ucapan Han
Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi Ceng
Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh
perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi
meninggalkan ruangan itu.
"Pinceng
tak akan merubah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja
engkau tak boleh berguru kepada siapa pun juga kecuali kepada pinceng. Akan
tetapi jika engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak
menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada
mereka."
"Kalau
begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak.
"Biarlah teecu di sini hanya bekerja sebagai kacung saja, membersihkan
kebun dan melakukan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang
Paman dan Bibi, tetapi teecu menjadi murid mereka!"
Sebelum Ceng
Hok Hwesio menjawab, Ci Kang telah berkata. "Kami kira permintaan Han
Siong itu sangat patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat
betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun ini merenungkan dosa di
kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan
kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Sekali lagi kami mengharapkan
kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar
menjadi murid kami."
Didesak oleh
Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa sangat kewalahan
dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi
kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus
memikulnya."
"Biarlah
teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.
"Omitohud...
pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau
kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung
atau pembantu suka rela, tiada bedanya dengan mereka yang dibayar kuil atau
bekerja suka rela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman,
kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil."
Sesudah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke
kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan
hatinya.
Han Siong
merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua
orang itu.
"Suhu...!
Subo...!" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.
"Han
Siong, bangkitlah dan mari engkau ikut bersamaku ke dalam kamarku," kata
Ci Kang dan Han Siong menurut.
Mereka
bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur,
ada pun Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung
barat.
Ketika Han
Siong turut memasuki kamar itu, dia merasa sangat terharu. Sebuah kamar kosong,
sama sekali tak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun
orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa
beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali.
Dia diajak
duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup sejuk karena terdapat
banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di
sudut kamar, tergantung di langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio
pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu
itu, pikir Han Siong.
"Han
Siong, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang
keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa kakekmu
bernama Pek Khun, siapakah dia?"
"Dia
adalah kakek buyut teecu yang bernama Pek Khun. Kakek buyut teecu itu bertapa
di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."
Sepasang
mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Mengapa begitu? Di manakah ayah
ibumu dan siapakah mereka?"
"Teecu
tidak pernah mengenal ayah mau pun ibu. Menurut cerita kakek buyut teecu, ayah
adalah cucunya dan ayah bernama Pek Kong. Karena dulu teecu hendak dirampas
oleh orang-orang jahat, demikian kata kakek buyut teecu, maka sejak bayi teecu
dibawa pergi oleh kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini
untuk mempelajari ilmu. Menurut kakek Pek Khun, kakek dan juga ayah teecu
secara berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh
kakek buyut Pek Khun."
"Pek-sim-pang
(Perkumpulan Hati Putih)? Hemmm, aku belum pernah mendengar nama itu. Ceritamu
menarik dan aku yakin engkau adalah keturunan orang-orang gagah."
"Teecu
tidak banyak tahu tentang keluarga teecu sendiri, dan kini teecu ingin sekali
tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu
mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu supaya
teecu tidak menjadi penasaran lagi?"
Mendengar
pertanyaan anak itu, Ci Kang lalu termenung. Semua peristiwa yang pernah
terjadi pada dirinya dan Hui Cu sekarang terbayang semua olehnya. Ketika dia
berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang
yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa
senasib sependeritaan dan merasa saling kasihan. Lalu keduanya pergi bersama,
tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi
sisa hidup ini bersama-sama.
Mereka
berdua kemudian pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati
nelangsa dan prihatin. Sesudah lewat beberapa pekan, barulah masing-masing
mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu
ikatan istimewa di dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan
senasib.
Kemudian,
pada suatu malam yang diterangi bulan purnama, di dalam sebuah hutan yang amat
sunyi dengan hawa yang sejuk, terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan
birahi membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra
itu dengan suka rela.
Pada
keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa
yang sudah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk.
Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul
keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang
tua mereka.
Dalam
keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke
kuil Siauw-lim-si di pinggir Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang
sunyi itu. Dan mereka segera pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon
untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan
serta kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.
Ceng Hok
Hwesio sangat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang kelihatan
gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apa lagi melihat Hui Cu yang cantik
jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin
menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan
hati rela sehingga mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun
menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian
calon pendeta, siang malam selalu mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil,
dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.
Karena itu,
Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, biar pun
mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat
ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan
dengan tekun.
Yang sering
kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan
yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri.
Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang
selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.
Selain
pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan
kesenangan yang khayal. Dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu
yang tidak patut!
Keinginan
untuk mencapai dan mendapat hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang
menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh
kesenangan ini besar sekali kemungkinannya bisa melahirkan cara-cara pengejaran
yang jahat.
Pengejaran
kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan,
pencurian, pemerasan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan
dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling
bunuh bahkan dapat pula menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa
sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjinah, memperkosa dan sebagainya
lagi.
Sejak
pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang
lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Semenjak kecil
hwesio ini sudah hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan
wanita. Kini, sebagai muridnya Hui Cu sering berada dalam satu ruangan dengan
dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok
Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin
Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.
Hui Cu, biar
pun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun dia adalah seorang
gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat
melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat
mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya
ini dia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru
agama itu.
Ceng Hok
Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi
pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu birahi, hanya
ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang telah dinyatakan
dengan pandangan matanya. Namun gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata
gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!
Kemudian
terjadilah sesuatu yang amat menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama
sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan!
Selama ini dia masih dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw
yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja dia tidak mampu
menyembunyikannya lagi.
Bagaikan
seekor harimau kelaparan Ceng Hok Hwesio lalu menyerbu kamar muridnya itu.
Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.
"Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.
Pada saat
itu pula Ci Kang cepat maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan
tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya teecu yang bersalah. Akan tetapi semua ini
terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak
pernah melakukan hal itu, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui
Hui Cu."
"Keparat!
Jadi engkaukah bapaknya?!" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang
terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhu-nya yang
biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.
"Benar,
Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami sudah... sudah... akan
tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mengandung."
"Hemm,
apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"
Ci Kang
menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang
dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan.
Kami bukan suami isteri..."
"Omitohud...
semoga kuil ini diampuni dari dosa-dosa yang sangat besar ini. Bukan suami
isteri namun kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan
seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan
Siauw-lim-si...!"
"Ampun,
Suhu, kami tak sengaja. Andai kata kami tahu bahwa Hui Cu telah mengandung
tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."
"Andai
kata... andai kata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian
telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama serta kehormatan, juga kesucian
kuil kami. Untuk itu sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng
adalah seorang suci yang tak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Maka,
sebagai gantinya kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar
kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertobat. Sanggupkah kalian
menerima hukuman merenungkan dosa itu?"
Ci Kang dan
Hui Cu yang juga berlutut, mendengarkan dengan hati pilu. Apa lagi pada saat
itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.
"Bagaimana
pun juga, kalian harus menerima hukuman yang telah pinceng jatuhkan tadi,
karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman
mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.
"Teecu...
sanggup...," kata Hui Cu.
Ci Kang
terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan namun Hui Cu sudah menyatakan
kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah menyanggupi, maka tidak ada pilihan
lain baginya kecuali menyatakan kesanggupannya juga.
"Teecu
sanggup."
"Omitohud,
semoga Sang Buddha mengampuni dosa kalian berdua. Pinceng menjatuhkan hukuman
bertapa di dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh
tahun!"
Semua hwesio
yang berada di sana terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi
ketika dia melihat pandangan mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia
hanya bisa menarik napas panjang. Tadi mereka berdua telah menyatakan
kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa
beratnya itu.
Semua
peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam
benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya mengenai sebab
hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya
karena Han Siong masih terlampau kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya
baru dua belas tahun, belum dewasa.
"Han
Siong, dulu Suhu dan Subo-mu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil.
Kami berdua sudah menjadi suami isteri kemudian Subo-mu melahirkan seorang
anak, karena itu kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar
Renungan Dosa..."
"Tapi
itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
"Di
kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apa lagi ketika itu kami telah menjadi
pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid
kuil, Subo-mu sudah mengandung. Andai kata kami tahu, tentu kami tidak menjadi
hwesio dan nikouw sehingga tidak melakukan pelanggaran dan dosa."
"Tapi,
dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali
Han Siong berseru.
Ci Kang
tersenyum. "Ssttt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah
menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek
moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa. Kamar-kamar kami amat baik, juga
kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."
Han Siong
mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan
Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apa lagi kalau
malam tiba..."
"Ehh,
kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran.
"Pernah
teecu melihat ada dua bayangan berkelebat masuk lantas dikejar oleh bayangan
Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo sering
keluar dari kamar secara rahasia?"
Kembali
gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, memang ada kalanya kami perlu
keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh ikut
tinggal di sini sehingga kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu
di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak, maka mereka
menerimanya dengan senang hati. Nah, kadang-kadang kami pergi untuk menjenguk
anak kami itu, atau ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami
kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi kami akan tetap memenuhi masa
hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Namun
hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak
perempuan kami itu telah lenyap."
"Lenyap...?"
Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhu-nya. "Bagaimana bisa
lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"
Ci Kang
menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu
menjalani hukuman, pada waktu malam keduanya sering kali keluar dari tempat
tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka
yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lian, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di
kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana.
Sejak mereka
tahu bahwa Hui Cu mengandung, tentu saja mereka melanjutkan hubungan mereka
sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apa lagi setelah mereka tidak
menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan
hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak menganggap
mereka sebagai anggota Siauw-lim-pai lagi.
Mereka
berdua bukan hanya menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan
sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada
Bi Lian, semenjak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali,
ketika Siangkoan Ci Kang sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan,
dia menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat
di bawah lantai. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain adalah ilmu
silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti
hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata
merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama
Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata ilmu-ilmu silat itu sangat aneh
dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh
tahun, mereka sudah mulai dapat menguasainya.
Dapat
dibayangkan betapa sukarnya ilmu-ilmu itu dipelajari kalau dua orang yang
memiliki kepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai
ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak
ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui
Cu lalu memberi nama Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im
Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa
Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka gunakan dengan baik sehingga dapat
mengalahkan Lam-hai Giam-lo.
DEMIKIANLAH,
dengan adanya Bi Lian yang cerdik dan lincah jenaka, juga dengan adanya dua
buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat
menjalani hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka. Apa lagi mereka saling
memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan
tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersemedhi.
Akan tetapi,
kurang lebih satu tahun yang silam, ketika pada suatu malam mereka pergi
berkunjung ke dusun hendak menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu
porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang
yang selamat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang sangat mengejutkan,
yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi
dengan hebat.
Banyak di
antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara
mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun beserta isterinya. Sementara itu, Bi Lian
lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Tentu saja
Ci Kang dan Hui Cu langsung melakukan penyelidikan. Mereka terkejut sekali
melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena
peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas
akibat pukulan-pukulan sakti!
Mereka
berusaha mencari ke sana sini, namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa
meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu
menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur
dan dibujuk oleh Ci Kang.
"Tidak
ada gunanya." demikian antara lain Ci Kang menghibur. "Kita tidak
tahu ke mana perginya Bi Lian dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi.
Ke mana kita harus mencari? Kita pun tak mungkin meninggalkan hukuman yang
telah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja
hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini
bukan tidak ada gunanya dan Bi Lian tentu akan selamat sehingga kelak bisa
berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin
melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya tidak
bermaksud membunuhnya."
Akhirnya Hui
Cu berhasil dibujuk dan dia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka
tertarik kepada Han Siong yang setiap hari menyapu halaman dan lantai di depan
kamar tahanan. Mereka berdua melihat bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat
baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lian. Timbul niat
di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid.
Mereka lalu
melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu
malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong
untuk memanggil dua orang tahanan itu agar menghadap dan itulah pertama kalinya
Han Siong bertemu muka dengan mereka.
"Demikianlah,
muridku. Kami sedang kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami
untuk mengambil engkau sebagai murid juga ditolak. Kemudian terjadilah
peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi
murid kami walau pun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah
engkau menduga, apa sebabnya kami ingin sekali mengangkatmu menjadi murid
selain melihat bahwa engkau amat berbakat?"
Han Siong
adalah seorang anak yang sangat cerdik. Mendengar penuturan suhu-nya dia dapat
menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu
lagi dia menjawab, "Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga
teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari adik Bi Lian sampai dapat!"
Mendengar
ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di
hadapannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum. "Ahh, sudah kuduga
bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan!
Sesudah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta supaya engkau pergi
mencari Bi Lian sampai dapat dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami
kepadanya, kemudian juga membimbing dia untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan
Im itu. Kami sendiri baru bisa mempelajarinya dengan susah payah karena kami belajar
tanpa ada pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih
cepat lagi."
Demikianlah,
mulai hari itu Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, memakai pakaian
biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan
membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan
kebun, memikul air dan pekerjaan lain. Dia tidak boleh lagi mempelajari
kitab-kitab agama walau pun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang
berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan.
Setiap malam
dengan amat giatnya dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan
subo-nya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang
ini mengharapkan agar Han Siong bisa cepat menguasai ilmu silat yang tinggi
agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang.
Tentu saja
Ci Kang dan Hui Cu tidak langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan
Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan
ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat
menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu.
***************
Kakek itu
sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang
kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya
kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang
seakan-akan sudah menjadi bagian dari tangannya karena tidak pernah dilepasnya.
Biar pun dia
sudah tua sekali, akan tetapi pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan
sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Semenjak tadi
kakek itu duduk bersila di atas sebuah batu besar di bawah pohon raksasa,
tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang terus
memutar-mutar tasbeh. Agaknya dia sedang berdoa.
Setelah
selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka sepasang matanya kemudian
memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari. Karena tidak melihat apa yang
dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut
dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.
Anak itu
suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya dia
pun melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang
duduk termenung di pinggir sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta
itu mengintai dari balik semak-semak.
Anak
laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya bersinar tajam,
bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu,
dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, di antara daun-daun
yang lebat dan seperti terpesona.
Kakek itu
menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandangan matanya dan
ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia lalu tersenyum
lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh
anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan
bermain cinta. Paruh mereka saling bersentuhan seperti biasanya orang bercumbu
dan berciuman, dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas
punggung burung betina yang mendekam pasrah.
Dan agaknya
anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu.
Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti
sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya.
Alam menjadi
guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak
itu memandang ke arah tepi sungai hingga dia sendiri pun tertarik. Kebetulan
sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa
sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih.
Mereka minum
dengan lahap, kemudian nampaknya si Jantan timbul gairah dan mereka pun
berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri,
akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu saja, di mana tumbuh
rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya
dia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai.
Kakek tua
renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, lalu memandang dengan
muka menjadi kemerahan dan mulut sedikit terbuka, napasnya agak terengah-engah.
Dia pun mengerti bahwa alam sedang memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda
peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak
pada diri anak laki-laki itu.
Kakek itu
pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari
alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan sepasang
matanya sehingga semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya.
Akhirnya
sepasang kijang itu pergi dari situ dan anak itu pun lalu duduk kembali dengan
dahi dan leher basah oleh keringat. Ia masih tenggelam dalam renungan,
membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika terdengar suara halus
memanggilnya.
"Hay
Hay...!"
Anak itu
terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya
sebentar saja karena wajahnya langsung berubah cerah ketika dia menoleh dan
melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya.
"Suhu!"
serunya gembira. Dia cepat meloncat bangun dan berlari menghampiri kakek itu,
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sepagi ini Suhu sudah
berada di sini!"
Biasanya
kakek itu tentu masih duduk bersemedhi di depan pondok sambil mandi cahaya
matahari. Setiap pagi kakek itu memang selalu bersila dengan dada telanjang
menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu amat
mengherankan hatinya.
Anak itu
adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti sudah
diceritakan di bagian depan. Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua
yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu
sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua
orang tuanya yang asli, yaitu keluarga Pek.
Akan tetapi
hal ini pun masih meragukannya karena sesudah dia menjadi murid See-thian Lama,
yaitu kakek gundul itu, dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari
gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga
Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung.
Akan tetapi
dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biar pun Siangkoan Leng dan Ma Kim
Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa mereka menculiknya
dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan
apakah dia benar-benar putera keluarga Pek.
"Sebab
itulah pinceng nasehatkan agar engkau jangan tergesa-gesa menggunakan nama
keturunan Pek, Hay Hay. Kelak kalau engkau sudah besar dan mempunyai
kepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu."
Selama lima
tahun Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di
tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan
Himalaya. Setiap hari kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat tinggi sambil mengajarkan ilmu baca tulis pula.
Karena kakek
itu adalah salah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi,
maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar
biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biar pun usianya
baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun,
kepandaiannya sudah sangat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa
yang belajar ilmu silat selama belasan tahun.
Akan tetapi,
waktu selama lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar sehingga
tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari
See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori
gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay
Hay.
"Semua
ilmu ini membutuhkan latihan yang matang, Hay Hay. Akan tetapi pinceng kalah
cerdik dari Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan
memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu
akan menerimamu dalam keadaan telah siap untuk menerima segala macam ilmu silat
tinggi. Sedangkan kini engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku.
Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih
ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal di luar kepala ini."
Hay Hay
dapat mengerti apa yang dikemukakan suhu-nya, maka dia pun lalu mentaatinya dan
menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama,
terutama sekali dia mendapat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali,
yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan), juga ilmu langkah yang luar
biasa bernama Jiauw-pouw Poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar).
Ketika
See-thian Lama mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu
dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia lalu tertawa.
"Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita
mengenangkan masa-masa lalu kita, seakan-akan baru terjadi kemarin saja. Tanpa
terasa pinceng pun kini sudah begini tua! Dan tahukah engkau bahwa kita telah
berada di sini selama hampir lima tahun?"
Mendengar
ucapan itu, Hay Hay tak dapat menyembunyikan kagetnya. "Tetapi...
tetapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!"
Kakek itu
tertawa. Anak ini memang cerdik bukan main, jika bicara langsung saja kepada
sasarannya.
"Hay
Hay, satu di antara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang
harus bisa dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan mempertahankan dan
memenuhinya dengan taruhan apa pun juga. Dulu pinceng telah berjanji kepada
Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun saja, kemudian
akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya."
Hay Hay
bukannya tak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga
sangat lihai itu, namun dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini.
Tetapi dia tahu pula bahwa orang-orang gagah seperti gurunya ini tentu tak akan
mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya.
"Akan
tetapi, Suhu. Di manakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Ke mana kita
harus mencarinya?"
"Ha-ha-ha,
kau kira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa
nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya
raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya raya, juga memiliki banyak anak
buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti
akan muncul untuk menjemput engkau."
Secara
diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah diduganya.
Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang
menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau
setidaknya tentu memiliki kuil yang besar di mana dia menjadi ketuanya. Akan
tetapi kenyataannya sama sekali tak begitu. Pendeta ini membawanya ke tempat
sunyi itu dan mereka hanya tinggal pada sebuah pondok darurat yang mereka
bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu,
Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau.
Akan tetapi
sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba saja See-thian Lama memegang
lengannya sambil berbisik, " Ada orang-orang datang ke sini!"
Baru saja
dia selesai bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu di situ
sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka kereng akan tetapi mereka
tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka langsung merangkap kedua
tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut,
"Susiok!"
See-thian
Lama menatap wajah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia
lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap serta bentuk tubuh mereka,
dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. See-thian
lama tidak mengenal semua pendeta Lama di Tibet, akan tetapi dari sebutan
mereka tadi, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di
Tibet, satu generasi lebih muda darinya.
"Kalian
berlima dari manakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?"
tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut.
Salah
seorang di antara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus
berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini
bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras.
"Susiok,
maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas
yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong." Dia
menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan
dengan hati tertarik, apa lagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang
mempunyai hubungan erat dengan dirinya.
See-thian
Lama tetap tersenyum walau pun sinar matanya kini menjadi berkilat.
"Mencari Sin-tong kenapa datang ke sini?"
"Karena
kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan
kami harus mengajaknya kembali ke Tibet."
"Hemmm,
apa alasanmu mengatakan bahwa muridku ini Sin-tong?"
"Kami
merasa sangat yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun
lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada
para suhu bahwa Pak-kwi-ong bersama Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat
Setan, telah merampas Sin-tong dari tangan mereka. Para suhu lantas mengutus kami
bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami
merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu,
mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh
Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok di
sini dan melihat anak ini..."
See-thian
Lama tersenyum. Ternyata dua pasang iblis itu sudah mencari jalan lain untuk
membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di
Tibet!
"Akan
tetapi, muridku ini sama sekali bukan Sin-tong!" katanya.
"Maaf,
Susiok. Bukankah dia ini adalah anak yang dahulu pernah diperebutkan di antara
Lam-hai Siang-mo, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi? Bukankah anak ini yang tadinya
telah dibawa oleh sepasang suami isteri itu untuk diserahkan ke Tibet?"
See-thian
Lama mengerti bahwa tentu saja suami isteri iblis itu berbohong dan memutar
balikkan kenyataan tentang diri Hay Hay, dan mengatakan bahwa mereka berdua
tadinya berniat menyerahkan Hay Hay ke Tibet! Akan tetapi yang diperebutkan itu
memang Hay Hay, maka dia pun mengangguk.
"Benar,
memang anak ini yang diperebutkan, akan tetapi dia bukan Sin-tong."
Sejenak tiga
orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian Si Jangkung berjenggot itu
berkata, "Harap Susiok maafkan. Bukan maksud kami ingin berbantah dengan
Susiok, akan tetapi telah bertahun-tahun kami mencari dengan susah payah dan
setelah sekarang bertemu, terpaksa kami tidak akan membiarkannya terlepas
begitu saja."
"Maksud
kalian?"
"Dengan
atau tanpa perkenan Susiok, kami harus membawa anak ini ke Tibet kemudian
menghaturkannya kepada Suhu di Tibet"
"See-thian
Lama tertawa. "Omitohud, kau mendengar itu, Hay Hay? Nah, sekarang tiba
saatnya pinceng menguji latihan-latihanmu selama ini. Coba pinceng ingin
melihat apakah engkau sanggup menghindarkan diri dari tangkapan tiga orang
pendeta Lama ini selama sepuluh jurus!" Dan kepada tiga orang murid
keponakan itu, dia pun berkata, "Nah, kalian kuberi kesempatan untuk
menangkapnya, tapi hanya selama sepuluh jurus."
Tiga orang
pendeta itu kembali saling pandang. Tentu saja mereka sudah tahu kelihaian
See-thian Lama yang amat terkenal di Tibet, karena itu mereka memperlihatkan
sikap jeri. Akan tetapi, tentu saja mereka memandang ringan bocah yang usianya
baru dua belas tahun itu. Mereka bertiga menangkap selama sepuluh jurus? Dalam
satu dua jurus saja tentu seorang di antara mereka akan berhasil menangkapnya,
apa lagi maju bertiga!
"Baik,
Susiok, kami hendak mencobanya!" Dan mereka bertiga lalu menghampiri Hay
Hay yang tidak beranjak dari tempatnya.
Anak ini memang
cerdik. Melihat betapa di kanan kirinya terdapat banyak pohon-pohon besar, dia
menganggap bahwa tempat itu sangat baik untuk dipakai kucing-kucingan dan
menghindarkan diri dari penangkapan tiga orang pendeta itu.
Meski pun
dia sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in, akan tetapi
sungguh berbahaya kalau membiarkan dirinya disergap di tempat terbuka oleh tiga
orang pendeta yang tentunya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Kalau berada
di antara pohon-pohon, maka dia dapat memanfaatkan batang-batang pohon itu
untuk membantunya.
Sekarang
tiga orang pendeta Lama itu sudah tiba dekat, lantas tiba-tiba saja Si Jangkung
berjenggot panjang menubruk ke arah Hay Hay tanpa banyak cakap lagi. Tangan
kirinya menyambar ke arah tengkuk dan tangan kanan menyambar lengan kiri Hay
Hay.
Sambaran itu
amat cepatnya akan tetapi bagi Hay Hay nampak lambat sehingga dengan mudah saja
dia mendahului mengelak dengan satu lompatan ke belakang dan miringkan
tubuhnya. Melihat ini, dua orang pendeta lainnya menyergapnya dari kanan kiri.
Gerakan
mereka juga cepat sekali. Bagaikan dua ekor beruang mereka menubruk dengan
kedua lengan terpentang lebar dan dua tangan membentuk cakar untuk
mencengkeram. Namun, dengan menggerakkan kedua kakinya secara aneh dan lincah
sekali, miringkan tubuh ke sana sini, Hay Hay sudah menyelinap di antara
batang-batang pohon sehingga tubrukan dua orang pendeta itu pun luput!
Tiga orang
pendeta Lama itu terkejut. Sungguh tak mereka sangka bahwa anak itu dapat
demikian mudahnya menghindarkan diri dari tubrukan-tubrukan mereka. Padahal
mereka adalah pendeta-pendeta Tibet tingkat dua yang tentu saja telah memiliki
ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang dan khikang yang kuat, juga memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sudah hebat.
Tentu saja
mereka merasa penasaran dan mulailah mereka melakukan penyergapan dari kanan
kiri, mengejar ke mana saja anak itu bergerak dan mengelak. Akan tetapi, untuk
ke sekian kalinya mereka hanya menangkap angin dan menubruk tempat kosong saja.
Makin cepat
mereka bergerak, makin cepat pula Hay Hay mengelak sambil menyelinap di antara
pohon-pohon sehingga ketika hwesio Lama yang agak gendut menubruknya terlalu
cepat dan telah begitu yakin akan berhasil, tahu-tahu yang ditangkapnya adalah
sebatang pohon sehingga hidungnya membentur batang pohon dan berdarah!
Kini barulah
tiga orang pendeta itu sadar bahwa anak itu benar-benar tak boleh dipandang
ringan! Mereka sudah berusaha menangkap selama lima jurus, namun tanpa hasil
sedikit pun juga. Jangan kata menangkap, bahkan menyentuh lengan atau baju anak
itu pun tak pernah dapat mereka lakukan!
Melihat
betapa muridnya main kucing-kucingan di antara pohon-pohon besar, See-thian
Lama merasa tidak puas. Dia ingin menguji kepandaian muridnya, bukan kecerdikan
dan akalnya. Kini tinggal tersisa lima jurus lagi untuk mengujinya.
"Hay
Hay, engkau bukan kucing. Keluarlah ke tempat terbuka!" teriaknya.
Hay Hay terkejut
setengah mati. Suhu-nya malah menyuruh dia keluar ke tempat terbuka, padahal
dia tahu benar betapa lihainya tiga orang itu. Gerakan mereka sangat cepat dan
dari gerakan tangan mereka itu keluar angin yang kuat sekali. Bagaimana kalau
mereka menyerangnya dan dia roboh terluka? Tentu akan mudah dapat tertangkap!
Akan tetapi
dia tidak berani membantah perintah suhu-nya dan sekali meloncat, tubuhnya
sudah mencelat keluar dari balik pohon dan kini dia berdiri tegak di
tengah-tengah bagian yang terbuka, di atas padang rumput, siap untuk mainkan
Jiauw-pouw Poan-soan karena itulah satu-satunya ilmu yang dapat dipergunakannya
untuk mengelak dari semua usaha penangkapan. Juga dia siap mengerahkan ilmu
meringankan tubuh Yan-cu Coan-in agar mudah meloncat dengan ringan kalau-kalau
terancam oleh tangan tiga orang itu.
Melihat
betapa anak itu sekarang sudah berdiri di tempat terbuka, tiga orang pendeta
itu menjadi girang sekali. Kini kesempatan bagi mereka terbuka untuk dapat
menyergap dan menangkap anak itu. Mereka lalu berloncatan mengepung anak itu di
tempat terbuka. Kini tidak lagi terdapat batang pohon di mana anak itu dapat
menyelinap dan berlindung dari penyergapan.
Hampir saja
mereka tertawa saking girang rasa hati mereka. Telah bertahun-tahun mereka melakukan
perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan baru sekarang mereka memperoleh
harapan besar untuk akhirnya berhasil membawa Sin-tong ke Tibet dan menerima
berkah dan anugerah dari para pimpinan Lama di Tibet.
Hay Hay lalu
menggerakkan kakinya, digeser sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tiga orang
pengepungnya, mencari posisi yang baik dan menguntungkan sesuai dengan ilmu
langkah Jiauw-pouw Poan-soan. Tubuhnya ikut terbawa gerakan kaki, berputar
perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga.
Tiba-tiba
pendeta Lama jangkung berjenggot panjang mengeluarkan bentakan nyaring dan
tubuhnya sudah menubruk ke depan, disusul dua orang temannya yang menubruk pula
dari kanan kiri. Tidak ada tempat bagi Hay Hay untuk mengelak, demikian perkiraan
tiga orang pendeta itu.
Akan tetapi,
sungguh luar biasa sekali. Tubuh anak itu bergerak ke sana-sini, dekat sekali
dengan jangkauan tangan mereka, akan tetapi buktinya, tubrukan mereka itu
sedikit pun tidak berhasil! Sambaran tangan mereka hanya meluncur di dekat
tubuh anak itu! Gerakan tangan mereka yang mendorong tubuh anak itu seolah-olah
nampak seperti orang hendak menangkap bulu sutera halus yang amat ringan.
Tentu saja
mereka hampir tidak dapat percaya dengan apa yang mereka alami. Dengan
penasaran mereka berusaha menangkap lagi dan memperketat pengepungan. Melihat
ini, Hay Hay maklum bahwa amatlah berbahaya kalau mengandalkan Jiauw-pouw
Poan-soan saja, maka dia pun mulai menambah langkah-langkah ajaibnya dengan
loncatan-loncatan menggunakan ilmu Yan-cu Coan-in.
Ilmu ini
meniru gerakan burung walet yang amat gesit, yang dalam keadaan terbang dapat
membalik ke sana-sini, bahkan dalam keadaan terbang berkelompok dan
bersimpang-siur, mereka tidak pernah saling bertabrakan.
Dan kini
tiga orang pendeta Lama itu kembali dibikin tertegun sebab ke mana pun mereka
menubruk dan mengulur tangan, sama sekali mereka tidak mampu menyentuh tubuh
Hay Hay. Tanpa terasa, sepuluh jurus telah lewat.
Mereka tidak
menghitung jurus lagi dan kini dengan penasaran, mereka mulai menyerang dengan
tamparan-tamparan. Mereka telah memperhitungkan bahwa sekali anak itu roboh
tertampar, biar pun dalam keadaan terluka, tentu akan dapat mereka tangkap dan
mereka bawa ke Tibet.
"Omitohud,
kalian tidak boleh bertindak curang!"
Tiba-tiba
See-thian Lama berkelebat dan tahu-tahu tiga orang pendeta itu merasa tubuh
mereka lemas ketika ada bayangan berkelebatan di atas kepala mereka. Kiranya
dengan ujung jubahnya yang panjang dan lebar itu, See-thian Lama telah berhasil
menotok jalan darah di pundak mereka, tidak terlalu keras untuk merobohkan
mereka, akan tetapi cukup untuk membuat mereka lemas hingga mereka terpaksa
melangkah mundur menghentikan serangan mereka terhadap Hay Hay.
"Susiok,
kami adalah utusan dari Tibet! Apakah Susiok berniat hendak mengkhianati Tibet
dan para Suhu di sana?" pendeta jangkung berjenggot kini bertanya,
suaranya tegas dan penuh teguran.
"Omitohud,
percuma saja kalian berlatih puluhan tahun lamanya kalau tetap tidak mampu
menguasai perasaan sendiri. Pinceng tidak ingin berbantahan dengan kalian, akan
tetapi apa bila para pimpinan dari Tibet datang sendiri, baru pinceng akan
membuktikan bahwa murid pinceng ini bukan Sin-tong!"
Melihat
sikap See-thian Lama dan mendengar ucapan itu, tiga orang pendeta Lama saling
pandang dengan hati kecewa sekali. Segala susah payah mereka selama
bertahun-tahun ini hanya akan membawa hasil laporan bahwa mereka menemukan
Sin-tong akan tetapi tidak mampu membawanya ke Tibet!
Akan tetapi
karena maklum bahwa tidak ada gunanya mempergunakan kekerasan kalau menghadapi
See-thian Lama, karena mereka akan kalah, tiga orang pendeta itu terpaksa
memberi hormat dan Si Jangkung berjenggot lantas berkata, nada suaranya
mengandung rasa penasaran dan ancaman.
"Apa
yang terjadi pagi ini di sini tentu akan kami laporkan kepada para suhu di
Tibet!" Setelah berkata demikian, tiga orang itu menjura lantas
membalikkan tubuh dan berjalan pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Sesudah
mereka pergi jauh, barulah See-thian Lama menarik napas panjang.
"Omitohud, dirimu dikepung rahasia dan bahaya, Hay Hay. Pinceng tidak
dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan Sin-tong yang sesungguhnya dan
di mana sekarang dia berada. Ataukah... memang benar engkau ini putera keluarga
Pek akan tetapi terlahir tanpa tanda merah di punggung sehingga ramalan para
pimpinan Lama itu sekali ini meleset?"
Akan tetapi
Hay Hay tidak mempedulikan semua itu. Dia masih merasa tegang dan girang karena
tadi mendapatkan kesempatan untuk memainkan ilmu yang selama ini dilatihnya
secara tekun. "Suhu, bagaimana dengan semua gerakan teecu tadi? Apakah
masih ada yang keliru dan mengecewakan?"
See-thian
Lama tersenyum. "Sudah cukup baik, akan tetapi kalau besok atau lusa
datang rombongan Lama yang lain, engkau sama sekali tidak boleh menunjukkan
kepandaianmu lagi. Yang akan datang ke sini adalah orang-orang yang amat lihai,
dan biarkan pinceng yang akan menghadapi mereka."
"Suhu,
siapakah yang akan datang lagi ke sini?" tanya Hay Hay, terkejut juga mendengar
bahwa akan datang lagi rombongan Lama yang lebih lihai.
"Guru-guru
mereka atau pimpinan Lama yang tingkatnya sama dengan pinceng."
"Akan
tetapi, bukankah kini mereka berada di Tibet? Jaraknya tentu jauh dan bagaimana
mereka akan dapat datang demikian cepat, besok atau lusa?"
"He-he-heh,
engkau masih belum tahu, Hay Hay. Para pendeta Lama memiliki ilmu yang luar
biasa, bukan hanya ilmu silat dan ilmu sihir. Mereka juga dapat melakukan
hubungan batin dari jarak jauh. Tiga orang pendeta tadi akan mampu mengundang
guru-guru mereka melalui kekuatan batin saja sehingga yang berada di Tibet akan
mengetahui dan cepat datang ke sini. Dan mereka yang akan datang itu rata-rata
mempunyai ilmu berlari cepat yang hebat, biar pun mungkin belum dapat
menandingi Yan-cu Coan-in, akan tetapi sudah amat cepat sehingga dalam waktu
satu dua hari saja akan dapat tiba di sini."
Hay Hay
tertegun. Demikian banyaknya orang sakti di dunia ini, pikirnya. Hal ini
semakin menebalkan keyakinannya bahwa dia harus belajar penuh semangat dan sama
sekali tak boleh menilai kepandaian sendiri terlalu tinggi sehingga menjadi
besar kepala dan tinggi hati karena di dunia ini banyak sekali orang pandai
yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya.
Apa yang
dikatakan See-thian Lama memang terbukti. Dua hari kemudian, pada suatu pagi,
selagi Hay Hay dan See-thian Lama berlatih semedhi di dalam pondok seperti yang
diajarkan oleh pendeta itu, terdengar suara di luar pondok itu.
"See-thian
Lama, keluarlah! Kami ingin bicara!"
See-thian
Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay. "Nah, mereka sudah tiba.
Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja
kepada pinceng." Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak
keluar dari pondok.
Pada saat
mereka tiba di luar pondok, di situ telah berdiri dua orang pendeta Lama yang
sudah tua sekali. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang
bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa,
sedangkan orang ke dua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu
tersenyum lebar.
Melihat
bahwa yang muncul adalah dua orang pimpinan Lama yang kekuasaannya cukup besar
di Tibet, yaitu Bai Long Lama, pendeta kecil pendek yang masih terhitung
sebagai suheng-nya sendiri, bersama Bai Hang Lama, Si Gendut yang masih
terhitung sute-nya, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat.
"Selamat
datang di gubukku, Suheng dan Sute!" katanya.
"Omitohud...
engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute,"
kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap
saja kereng berwibawa. Sebaliknya, Bai Hang Lama yang memang selalu tersenyum
lebar itu kini tertawa.
"Ha-ha-ha,
engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!"
"Terima
kasih, Sute. Engkau pun semakin gendut."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Si Gendut itu tertawa bergelak sehingga perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang
seperti hidup.
"Suheng
dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan
lain yang penting?" See-thian Lama bertanya. Sementara itu, dua orang
pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian.
"Sute
See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil
anak ini!" Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu berubah
penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung
tantangan.
Tentu saja
See-thian Lama sudah tahu akan maksud kedatangan mereka, karena itu dia pun
tersenyum ramah penuh kesabaran. "Suheng, dengan alasan apakah Suheng
hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?"
"Karena
dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di
biara untuk dididik," kata pula Bai Long Lama.
"Kalau
dia adalah Sin-tong, memang benarlah apa yang kau katakan tadi, Suheng. Akan
tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa
dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong."
"Hemm,
hal itu harus kami selidiki dahulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong?
Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang sebelumnya
merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?"
"Benar,
tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong.
Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!" Berkata demikian, See-thian Lama
segera menarik baju Hay Hay hingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya
yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah di situ. "Bukankah
Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak
memiliki tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu
kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng."
Melihat
punggung yang kulitnya putih halus dan di situ sama sekali tak nampak ada tanda
merahnya itu, Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa
terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya
semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama
adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tak mungkin dengan satu dan lain cara,
See-thian Lama sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong!
"Omitohud...
pinceng sungguh merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan
tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa
ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong
yang kami cari ataukah bukan."
Mendengar
ucapan ini, maka terkejutlah hati See-thian Lama. Dikiranya bahwa kenyataan
tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay sudah cukup membuktikan bahwa anak
itu bukan Sin-tong.
Pada saat
itu pula terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga
terdengar sayup sampai saja, akan tetapi makin lama suara ketawa itu menjadi
semakin keras dan jelas. Semua orang merasa amat terkejut karena maklum bahwa
suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.
Akan tetapi
See-thian Lama dapat mengenal suara itu setelah terdengar dekat, maka dia pun
cepat mengerahkan khikang-nya sambil berkata. "Omitohud, Ciu-sian Sin-kai,
jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng
bercakap-cakap?"
Kembali
terdengar suara ketawa dan tiba-tiba saja muncullah seorang kakek yang masih
tertawa bergelak. Kakek ini usianya sebaya dengan mereka, sudah mendekati
delapan puluh tahun juga.
Tubuhnya
agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang-kembang akan
tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang
sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya
bersinar tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggang
kirinya terselip sebatang suling yang panjangnya tiga kaki.
"Ha-ha-ha-ha,
sungguh lucu sekali. Justru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang
pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali.
Ha-ha-ha!"
Mendengar
ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau
setidak-tidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan
ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, salah seorang di
antara Delapan Dewa, rekan dari sute-nya, See-thian Lama.
"Siancai...
Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada
orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kau anggap
lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Meski pun suaranya masih lunak, namun
mengandung kekerasan dan tantangan.
"Ha-ha-ha-ha!"
kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia
berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih
sehat tertawa dari pada menangis, jauh lebih baik bergembira dari pada berduka!
Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu.
Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah
salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci Dalai Lama di Tibet, pernah
bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"
"Tentu
saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah.
"Heh-heh-heh-heh,
pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng
tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan
yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semuanya pasti benar
dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang bertubuh
gendut.
"Nah,
nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku
mendengar sendiri berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang akan
datang adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah
pada kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih
bersih, sedikit pun tak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak
percaya! Bukankah ini lucu sekali? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak
mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"
Wajah kedua
orang pendeta Lama itu menjadi agak merah. "Bukan tidak percaya, engkau
salah sangka, Sin-kai. Sudah pasti di punggung calon itu ada tanda merahnya.
Yang kami kurang percaya adalah, Sin-tong ini memang tidak mempunyai tanda itu,
tetapi siapa tahu tanda itu hilang atau bahkan sengaja dihilangkan. Karena itu
kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan
menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"
"Ha-ha-ha,
itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di
antara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula
yang tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Meski pengemis, aku selamanya tidak
pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang
memeriksa lantas mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti
yang dikabarkan orang. Kalau dia memang Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya
sebagai murid? Tentu telah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga.
Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena semenjak kecil tidak boleh
berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja
pria! Benarkah hal itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan
semacam itu, See-thian Lama!"
Ucapan
terakhir ini betul-betul menyentuh kelemahan dua orang pendeta Lama itu. Muka
mereka lantas menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk
para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih
mereka dengan berkedok sebagai kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan
yang amat memalukan seperti itu.
"Sudahlah,
mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini
sejak awal memang tidak memiliki tanda merah di punggung, berarti dia bukan
Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal
ini kepada para pimpinan dan terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat
tinggal," kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.
"Suheng,
selamat tinggal. Mari, Sin-kai!" kata pula pendeta ke dua, Bai Hang Lama
yang gendut dan suka tertawa.
"Selamat
jalan, Suheng dan Sute," balas See-thian Lama.
"Terima
kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana,
ha-ha-ha!" Ciu-sian Sin-kai juga berkata.
Dua orang
pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan
mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh
sekali sehingga sebentar saja mereka hanya nampak sebagai titik-titik hitam
yang cepat sekali menghilang.
Setelah
mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum
simpul. "Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau serang
aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu sesudah lima tahun
digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!"
Ciu-sian
Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang
berjiwa sebagai 'pemakan rumput'. Bukannya mengejek untuk mencemooh atau
mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah
dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah makhluk-makhluk yang paling besar dan
kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah
yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya.
Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau,
serigala dan sebagainya.
Tentu saja
Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia
memang masih ingat pada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun
tidak jumpa, tentu saja dia merasa sungkan kalau datang-datang disuruh
menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.
"Hay
Hay, gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberikan petunjuk, mengapa
engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"
Mendengar
perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak
kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun segera melompat
ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat
remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu.
Sebaliknya,
Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan
kebahagiaan hidup, selalu gembira. Bertolak belakang dengan sikap See-thian
Lama yang selalu lembut dan tenang bagai air danau yang dalam, sebaliknya sikap
kakek jembel ini bagai anak sungai yang airnya selalu berdendang dan gemericik
terus menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Mendadak timbul
niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul di antara kedua orang kakek itu
dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.
"Suhu
Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!" bentaknya.
Dan dia pun
segera menerjang dengan pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah
ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw Poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in
yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main.
Kakek jembel
itu terkekeh sesudah melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya.
Pukulan ke arah perutnya itu cepat dielakkan kemudian dari samping dia mengulur
tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi ternyata tangkapannya
mengenai angin kosong belaka karena pada waktu yang tepat, pundak itu lenyap
ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung.
"Ehhh...?"
Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan lantas membalikkan
tubuhnya.
Tanpa
ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay
Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung
kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut.
Cepat sekali. Akan tetapi dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay bisa
menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu.
"Bagus!
Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw Poan-soan dengan baik!" Sin-kai memuji.
Dia terus
menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari
segala arah. Namun, dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, memang anak
ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga sangat menguasainya. Dengan
langkah-langkahnya itu dia bahkan sanggup menghindarkan diri dari sergapan tiga
orang pendeta Lama.
"Suhu,
coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu
menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan dan Yan-cu Coan-in!" tiba-tiba saja Hay
Hay berseru gembira.
Hampir saja
See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali.
Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya.
"Kau
kira aku tak mampu?" sambil berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu
merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya secara bergantian membuat gerakan
menyapu dari kanan dan kiri.
Dibabat dari
kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan
ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu Coan-in untuk berloncatan
menghindar, tahu-tahu ujung kaki Sin-kai sudah mencium belakang lutut kirinya
sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut!
Memang Hay
Hay sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia
segera menghadap See-thian Lama.. "Harap suhu ampunkan teecu bila teecu
kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah... memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai
yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?"
"Husshhh...!
Hay Hay, jangan bicara begitu!" Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan
tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu sudah membakar dan
menyentuh harga diri See-thian Lama.
"Hay
Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar,
menghadapi segala macam serampangan seperti tadi tentu engkau berbalik akan
berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan."
Hay Hay
merasa mendapat jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian
Sin-kai, "Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan dua
kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu
tidak berdaya."
Ciu-sian
Sin-kai tertawa. "Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian
kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik.
Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendangan Soan-hong-twi
(Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua
kakimu." Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan
pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja
dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu.
"Nah,
Suhu, marilah kita berlatih. Suhu menggunakan Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan
teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!" kata Hay Hay dengan gembira
sekali sambil menghampiri See-thian Lama.
Kakek ini
tersenyum dengan pandang mata mengejek. "Hemm, jurus kaki gunting tumpul
seperti itu saja, apa artinya? Nah, kau boleh menyerangku!"
Karena
memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu
dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, agak
merendahkan tubuhnya lalu dua kakinya membuat gerakan menyapu seperti
menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang kala
berbareng sambil menahan tubuh menggunakan kedua tangan.
Akan tetapi
sambil tersenyum-senyum See-thian Lama menggerakkan sepasang kakinya melakukan
langkah-langkah mundur, dan kedua tangannya bergerak melakukan totokan-totokan
atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu
selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu
tidak pernah mengenai sasaran, sebaliknya serangan ke arah bagian atas tubuh
itu membuat Hay Hay menjadi amat kerepotan.
Hay Hay
mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya
digunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya pundaknya
terkena totokan. Walau pun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun
tetap saja Hay Hay terduduk lemas untuk beberapa detik lamanya.
"Selama
ini suhu tidak pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!" kata Hay Hay
kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri.
"Itulah
Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi."
"Harap
Suhu suka mengajarkan kepada teecu."
See-thian
Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena secara tidak langsung sudah dapat
membalas Ciu-sian Sin-kai, mengalahkan jurus Kaki Gunting itu, tentu saja
dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Hanya
sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan
Jiauw-pouw Poan-soan melangkah mundur sambil dua tangannya mematuk-matuk ke
depan dari atas ke bawah. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap
Ciu-sian Sin-kai.
"Suhu,
sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting."
"Ha-ha-ha,
akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan," kata
Ciu-sian Sin-kai.
Kakek ini
lantas mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung
Mematuk Ular itu. Sesudah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran
jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai.
Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil 'mengadu' kedua orang gurunya
itu.
Dua orang
kakek sakti itu 'saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan' secara
tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling
mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin
tinggi dan pilihan! Maka semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap
jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tak langsung ini
telah berlangsung lebih dari tiga bulan!
Nampaknya
saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi
sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan
ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Walau pun tentu saja
dia tidak atau belum bisa menguasai semua jurus itu secara sempurna karena
kurang latihan, akan tetapi setidaknya dia telah mengenal dan menguasai
teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan. Lambat laun
kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua sudah diadu oleh murid mereka.
Secara diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan
kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka juga maklum betapa pentingnya cara
mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay. Mereka melanjutkan 'adu ilmu' ini
sampai seratus hari lamanya. "Omitohud, sudah cukuplah, Hay Hay. Hari ini
pinceng merasa kalah dan harus mengaku kelebihan Ciu-sian Sin-kai. Engkau
ikutlah dengan dia dan belajarlah secara rajin selama lima tahun," kata
See-thian Lama setelah Hay Hay memperlihatkan jurus baru dari kakek pengemis
itu. "Ha-ha-ha, See-thian Lama terlampau merendah. Ketahuilah, Hay Hay.
Bagi orang-orang yang sudah betul-betul menguasai ilmu silat, tidak ada jurus
yang tak akan dapat dihadapi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, seperti juga
tidak ada benda yang paling besar atau tempat yang paling tinggi di alam ini,
tidak ada pula orang yang tidak dapat terkalahkan. Sepandai-pandainya orang,
tetap takkan mampu menandingi serangan usia sendiri yang menggerogoti dari
dalam. Karena itu, belajarlah yang giat dan lenyapkan sikap takabur. Selama
masih hidup, engkau juga masih sempat mempelajari hal-hal yang baru."
Hay Hay
berlutut di depan kedua orang gurunya itu sambil menghaturkan ucapan terima
kasihnya. Dan pada hari itu juga, Hay Hay pergi meninggalkan See-thian Lama,
mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai yang membawanya pulang ke Pulau
Hiu.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment