Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 21
SEKARANG,
ketika Jaksa Kwan mendapat cuti, keluarga itu mengadakan pelesir di Telaga
Tung-ting yang indah. Apa bila berpelesir di telaga ini, keluarga pembesar lain
tentu akan berpesta pora dalam perahu besar, mengundang gadis-gadis penyanyi
dan tukang-tukang musiknya, bahkan banyak pula yang membawa gadis-gadis
pelacur. Akan tetapi Jaksa Kwan menikmati masa liburnya dengan memancing ikan
di telaga, atau minum arak dan membuat sajak memuji keindahan tamasya alam di
telaga itu.
Pada sore
hari itu Jaksa Kwan duduk seorang diri di kepala perahu, menghadapi guci dan
cawan arak, juga kertas dan alat tulis karena dia sedang minum arak dan menulis
sajak. Keluarganya yang tidak besar, hanya seorang isteri dengan dua orang
anak, mengaso di dalam bilik perahu besar.
Jaksa Kwan
tidak bergerak bagai sebuah patung, termenung sambil menikmati keindahan dan
kesunyian telaga yang amat luas itu. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang
lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar sederhana, kumis dan jenggotnya
terpelihara baik. Sepasang mata yang lebar itu amat berwibawa, dan di lehernya
tergantung sebuah batu giok yang warnanya belang-belang merah dan hijau, indah
sekali.
Dia
memperoleh batu giok ini sebagai hadiah dari seorang tokoh pendekar yang merasa
kagum kepadanya, dan batu giok ini merupakan sebuah pusaka yang amat langka.
Kalau dipakai sebagai kalung, dapat menolak datangnya penyakit, juga batu giok
itu pun dapat memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun. Di
samping itu, air yang merendam batu itu semalam suntuk juga dapat merupakan
obat kuat yang manjur.
Beberapa
buah perahu kecil berseliweran di permukaan telaga, ada pula beberapa buah yang
bergerak di dekat perahu besar Kwan-taijin. Akan tetapi pembesar ini agaknya
tidak memperhatikan perahu-perahu itu, dan sama sekali tidak tahu bahwa di
antara perahu-perahu itu terdapat beberapa buah perahu yang ditumpangi
penjahat-penjahat besar yang sejak tadi membayanginya!
Sebuah
perahu kecil yang ditumpangi tiga orang yang memegang joran pancing meluncur mendekat
dan tiba-tiba dari atas perahu kecil itu melayang sesosok tubuh ke atas perahu
besar. Tanpa menimbulkan guncangan, tubuh itu kini hinggap di atas dek perahu
besar, di dekat Kwan-taijin yang masih duduk termenung dan sebelum Kwan-taijin
sempat bergerak atau berteriak, tiba-tiba saja tubuhnya tertotok lemas dan di
lain saat, tubuh pembesar itu telah dipondong oleh kakek kurus itu dan dibawa
melompat ke atas perahu kecil di mana dua orang kawannya telah menanti.
Seorang
pengawal yang kebetulan melihat peristiwa itu berteriak. Maka gegerlah pasukan
pengawal yang hanya terdiri dari selosin orang dan menumpang di atas perahu
lain yang berada di belakang perahu besar.
Akan tetapi
Min-san Mo-ko yang menawan Kwan-taijin tidak peduli akan pengejaran para pengawal.
Dua orang pembantunya sudah mendayung perahu kecil itu dengan cepatnya,
meluncur pergi ke tengah telaga! Ketika perahu pengawal melakukan pengejaran,
mereka itu dihadang oleh perahu-perahu kecil yang ditumpangi oleh Ji Sun Bi,
Lam-hai Siang-mo, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka.
Terjadilah
pertempuran yang berat sebelah karena dua belas orang pengawal itu sama sekali
bukan merupakan lawan berat bagi tokoh-tokoh sesat itu sehingga sebentar saja
perahu kecil yang membawa Kwan-taijin lenyap tidak ada yang mengejar! Para
pengawal itu pun satu demi satu terlempar ke dalam air dan melihat betapa
Min-san Mo-ko berhasil melarikan Kwan-taijin, para penjahat itu pun segera
melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, tidak mau menunggu datangnya
pasukan bala bantuan yang tentu akan tiba di tempat itu.
Sementara
itu, setelah merasa aman dari pengejaran para pengawal, Min-san Mo-ko dan dua
orang anak buahnya mendarat di tepian yang sunyi. Akan tetapi tiba-tiba saja
sebuah perahu nelayan kecil meluncur dari samping, kemudian dari dalam perahu
itu berkelebat bayangan orang yang meloncat naik pula ke darat, dan tahu-tahu
seorang pemuda telah berdiri di depan Min-san Mo-ko. Pemuda ini bukan lain
adalah Hay Hay!
Ketika dia
melakukan pengejaran dan tiba di tepi telaga, Hay Hay lalu menyamar sebagai
seorang nelayan karena dia melihat ada beberapa orang penjahat yang pernah
dilihatnya menyerbu perkampungan suku Miao, nampak sedang berkeliaran di sana,
ada pula yang menunggang perahu! Dia dapat menduga bahwa gerombolan itu tentu
hendak melakukan sesuatu di tempat itu, entah apa dia tidak dapat menduga.
Maka, dia pun lalu menyamar sebagai nelayan dan menyewa sebuah perahu,
mendayung perahunya berkeliling sampai akhirnya dia mengenal Min-san Mo-ko
bersama dua orang anak buahnya dalam sebuah perahu.
Ia tertarik
sekali dan terus membayangi, melindungi mukanya dengan caping lebar. Ketika dia
melihat Min-san Mo-ko meloncat ke perahu besar dan menculik seorang laki-laki
yang tidak dikenalnya, dan melihat betapa pasukan pengawal dihadapi oleh anak
buah Min-san Mo-ko, tahulah dia bahwa tentu pria yang diculiknya itu seorang
pembesar penting. Dia pun cepat mengikuti dari jauh dengan perahunya dan ketika
Min-san Mo-ko membawa Kwan-taijin melompat ke darat, dia pun cepat ikut
melompat dan kini berhadapan dengan Min-san Mo-ko sambil menyeringai.
"Eh,
kiranya Si Dukun Lepus Min-san Mo-ko yang kembali membuat ulah! Hayo lepaskan
orang yang kau cilik itu!" bentak Hay Hay.
Melihat
munculnya pemuda yang kini amat lihai itu, yang bahkan pandai ilmu sihir hingga
dia tidak mungkin lagi menguasainya dengan sihir, Min-san Mo-ko terkejut bukan
main.
"Mundur
engkau bocah setan!" bentaknya. "Atau... akan kubunuh dahulu Jaksa
Kwan ini!" Dan dia pun menempelkan pedangnya pada leher Jaksa Kwan yang
masih belum mampu bergerak karena tertotok. "Mundur dan jangan mengikuti
kami!"
Hay Hay yang
cerdik maklum bahwa setelah susah payah menculik orang, tidak mungkin Min-san
Mo-ko akan membunuhnya begitu saja. Dia tak mau digertak, karena itu dia pun
tertawa.
"Ha-ha-ha,
Min-san Mo-ko dukun cabul! Aku sama sekali tidak mengenal orang yang kau culik
itu. Mau kau bunuh atau tidak, tak ada hubungannya dengan aku, dan aku tak akan
rugi. Kalau engkau mau membunuhnya, silakan, akan tetapi jangan harap aku akan
dapat melepaskan engkau lagi!"
Gertakan
dibalas dengan gertakan hingga Min-san Mo-ko menjadi agak bingung. Hatinya
sudah khawatir sekali bertemu dengan Hay Hay dan sekarang dia bahkan digertak
oleh pemuda remaja yang lihai itu. Dia tidak tahu betapa diam-diam Hay Hay
merasa tegang karena pemuda ini melihat bayangan putih berkelebat yang sudah
dapat diduganya siapa orangnya.
"Penjahat
busuk, terimalah kematianmu!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring
dan bagai seekor garuda menyambar, Hui Lian telah meloncat dan menerkam ke arah
tengkuk Min-san Mo-ko dengan totokan maut!
"Ihhhhh...!"
Min-san Mo-ko cepat mengelak sambil membabatkan pedangnya ke belakang untuk
menyambut serangan Hui Lian.
Kesempatan
ini memang ditunggu-tunggu oleh Hay Hay. Dia menubruk ke depan dan di lain
saat, tubuh Kwan-taijin sudah pindah ke dalam pondongannya! Min-san Mo-ko
sangat terkejut, apa lagi ketika dua orang pembantunya yang maju hendak
membantunya segera dirobohkan oleh Hui Lian dengan sebuah tendangan dan
tamparan!
Dia pun
langsung meloncat jauh dan melarikan diri tanpa menoleh lagi! Menghadapi Hay
Hay seorang saja dia merasa jeri, apa lagi di situ masih muncul pemuda
berpakaian putih yang juga sudah diketahui kelihaiannya.
"Terima
kasih... Kok-toako," kata Hay Hay yang tidak mau menyebut enci karena di
situ terdapat Kwan-taijin dan dua orang anggota gerombolan yang masih
mengaduh-aduh dan memijit-mijit pundak serta kaki yang patah tulangnya.
Hui Lian
tidak menjawab, melainkan bertanya tentang Kwan-taijin. "Siapakah orang
ini dan mengapa dia diculik?"
Hay Hay
membebaskan totokan Kwan-taijin dan setelah mampu bergerak lagi, pembesar ini
segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada dua orang
muda itu.
"Saya
adalah Jaksa Kwan dari kota Siang-tan. Memang banyak penjahat yang memusuhi
saya, mungkin untuk membalaskan sakit hati rekan-rekan mereka yang saya tangkap
dan tuntut hingga dihukum berat. Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Pendekar
Besar Berdua) yang sudah menyelamatkan saya sehingga saya tidak sampai
terbunuh, melainkan hanya kehilangan pusaka saya."
"Pusaka?
Pusaka apa yang hilang?" tanya Hay Hay.
"Pusaka
batu giok penawar segala racun yang tadi saya pakai sebagai kalung. Sayang
sekali kalau pusaka yang amat langka itu terjatuh ke tangan penjahat. Dia tadi
merenggut kalung itu dan disimpannya ke dalam saku. Ahh, kalau mereka
mempergunakan pusaka itu untuk kejahatan, sungguh sayang sekali."
Hui Lian
berkata kepada Hay Hay, "Hay-te, kau antarkan Kwan-taijin ini kembali
kepada keluarganya, aku akan mengejar mereka!" Tanpa menanti jawaban lagi,
sekali berkelebat tampak bayangan putih lantas lenyaplah tubuhnya, membuat
Kwan-taijin menghela napas kagum.
"Marilah,
Taijin, saya antar kembali ke sana," kata Hay Hay, merasa girang bukan
main mendengar suara Hui Lian tadi yang nampaknya sudah tidak marah lagi
kepadanya dan sebutan Hay-te (Adik Hay) tadi terdengar demikian akrab.
Keluarga
Kwan-taijin merasa gembira sekali melihat pembesar itu kembali dalam keadaan
selamat, kehilangan pusaka batu giok itu tidak begitu besar artinya bagi
mereka. Setelah menghaturkan terima kasih kepada Hay Hay, keluarga itu
cepat-cepat pulang kembali ke Siang-tan, diikuti para pengawal yang juga merasa
terkejut dan cemas dengan adanya peristiwa tadi.
***************
Hay Hay
segera meninggalkan tempat itu, mempergunakan ilmu berlari cepat untuk turut
melakukan pengejaran pula ke arah larinya Min-san Mo-ko yang dikejar oleh Hui
Lian tadi. Dia merasa sangat khawatir terhadap keselamatan Hui Lian karena dia
maklum betapa berbahayanya Min-san Mo-ko, apa lagi ilmu sihirnya yang akan
sukar dilawan oleh Hui Lian. Dia khawatir, lebih-lebih setelah kini dia tahu
bahwa Hui Lian adalah seorang wanita! Seorang gadis yang cantik jelita dan...
harum bau keringatnya!
Kekhawatirannya
bertambah ketika dia tiba di luar sebuah hutan dan masih belum juga dapat
menemukan jejak mereka, baik jejak Min-san Mo-ko dan teman-temannya mau pun
jejak Hui Lian. Dia teringat akan dua orang yang tadi terluka oleh Hui Lian,
maka cepat dia berlari seperti terbang menuju ke tepi telaga yang tadi. Di
tengah perjalanan dia bertemu dengan mereka yang hanya bisa berjalan
perlahan-lahan karena salah seorang di antara mereka menderita patah tulang
kaki kirinya sehingga hanya mampu berjalan terpincang-pincang. Ketika melihat
Hay Hay yang tiba-tiba muncul, mereka terkejut bukan main dan langsung
menggigil ketakutan!
Hay Hay tak
mau membuang waktu lagi. Segera dia mengerahkan ilmu sihirnya, menatap tajam
dan berkata dengan suara yang sangat berwibawa, "Aku ingin kalian
mengatakan di mana sarang Min-san Mo-ko. Apa bila kalian berbohong, awas!
Lihat, aku dapat menjadi seorang raksasa yang akan mengganyang habis kalian!"
Dua orang
itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat, tubuh mereka menggigil dan mereka
berdua jatuh berlutut ketika melihat betapa pemuda yang berada di depan mereka
itu benar-benar telah berubah menjadi seorang raksasa yang mukanya amat
mengerikan, mulutnya lebar terbuka dan penuh dengan taring yang runcing!
"Ampun...
ampunkan kami... kini Min-san Mo-ko pasti berada di dalam kuil Pek-lian-kauw
yang terdapat di dalam hutan... di lereng bukit sana..."
Tanpa
menanti keterangan lebih lanjut karena sudah cukup baginya, Hay hay berkelebat
lenyap dari depan kedua orang itu yang terjungkal pingsan saking takutnya. Kini
Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit itu dan ketika dia memasuki hutan yang
berada di lereng bukit itu, sore telah larut dan cuaca di dalam hutan mulai
remang-remang.
Tiba-tiba
dia mendengar suara beradunya senjata dari tengah hutan. Jantungnya segera
berdebar tegang dan dia pun langsung berlompatan ke arah datangnya suara
berkelahi itu. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sebuah kuil tua dan di
situ dia melihat Hui Lian yang memegang pedang sedang dikeroyok oleh banyak
orang!
Tentu saja
Hui Lian terdesak hebat karena pengeroyoknya adalah Min-san Mo-ko, kedua
pasangan suami isteri iblis, dan masih ada pula beberapa orang tosu Pek-lian-kauw
yang lihai! Tidak nampak iblis betina Ji Sun Bi di situ.
Diam-diam
Hay Hay merasa lega bahwa Hui Lian belum terluka walau pun dia terdesak hebat.
Agaknya gadis ini sudah melindungi dirinya dengan sinkang dan khikang sehingga
tak akan mudah dipengaruhi sihir Min-san Mo-ko dan dengan gigihnya dia masih
mampu membuat perlawanan.
"Toako,
aku datang membantumu!" teriak Hay Hay dan dia pun mencabut sebuah suling
dari pinggangnya, lalu terjun ke dalam perkelahian itu dengan suling di tangan.
"Hay-te,
cepat ke sini, kita saling melindungi!" kata Hui Lian sambil memutar
pedangnya.
Hay Hay yang
maklum betapa bahayanya musuh-musuh itu, segera membuka kepungan dengan putaran
sulingnya. Terdengar suara senjata beradu, lantas dua orang anak buah
gerombolan itu terjengkang. Hay Hay melompat masuk dan sekarang telah berdiri
beradu punggung dengan Hui Lian, memutar suling dan menangkis senjata-senjata
yang datang menyambar, juga dia menggunakan tangan kiri mendorong ke kanan kiri
dan pihak lawan yang kurang kuat tentu langsung terdorong mundur sehingga
mereka merasa kaget dan jeri terhadap pemuda yang baru muncul ini.
Kini legalah
hati Hui Lian karena tadi dia sudah kewalahan dan kalau Hay Hay terlambat
datang, bukan tak mungkin dia akan segera roboh, tertawan atau tewas. Hatinya
merasa gembira dan jantungnya berdebar aneh setiap kali pinggulnya menyentuh
Hay Hay dalam gerakan mereka yang saling melindungi.
Mereka
berdua segera mengamuk dan setelah banyak anak buah gerombolan roboh oleh
pedang Hui Lian dan suling di tangan Hay Hay, mereka menjadi jeri dan kini yang
masih mengeroyok hanya tinggal Min-san Mo-ko, dua pasang suami isteri dari
selatan, ditambah lima orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan bersenjata
tongkat panjang.
Beberapa
kali tosu dan juga Min-san Mo-ko mencoba ilmu sihir mereka, namun berkat
kekuatan sihir Hay Hay, semua serangan mereka tidak mempan. Juga Hay Hay tidak
mau mencoba ilmu sihirnya, maklum bahwa dia takkan berhasil karena selain
Min-san Mo-ko, di situ terdapat lima orang tosu yang kesemuanya memiliki ilmu
sihir yang cukup kuat!
Walau pun
kedua orang muda itu dikeroyok sepuluh orang pandai, namun mereka sama sekali
tidak merasa gentar, juga tidak terdesak, walau pun bagi mereka berdua pun
tidak mudah untuk dapat melukai para pengeroyok yang lihai itu. Selagi Hay Hay
berniat untuk mengajak kawannya melarikan diri, tiba-tiba muncul dua orang di
pihak para pengeroyok. Mereka itu bukan lain adalah Ji Sun Bi, wanita cabul
itu, beserta seorang pemuda yang tampan dan sikapnya gagah.
Ji Sun Bi
segera membantu para pengeroyok, menyerang Hui Lian, sedangkan pemuda gagah itu
menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya perak mengeroyok Hay Hay.
Ketika menangkis cahaya perak itu dengan sulingnya, dia kaget bukan main.
Pemuda yang
baru datang ini memiliki sinkang yang amat kuat, dan pedang iu pun sangat
bebrahaya karena ujung sulingnya terbabat putus! Kiranya pemuda itu seorang
yang amat lihai dan memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh. Secara
diam-diam Hay Hay mengeluh. Dengan munculnya pemuda ini dan Ji Sun Bi, jelas
bahwa kedudukan dia dan Hui Lian terhimpit dan berat sekali.
Di lain pihak,
dengan munculnya Ji Sun Bi yang meyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang),
Hui Lian juga merasa berat dan repot. Wanita cabul itu memang lihai, lebih
lihai kalau dibandingkan suami isteri iblis atau para tosu Pek-lian-kauw. Maka
kemunculannya membuat Hui Lian terdesak dan hanya mampu menangkis saja, sedikit
sekali mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Kini dia dan Hay Hay
dikeroyok dua belas orang dan pada waktu dia melirik melalui sudut matanya, dia
melihat betapa pemuda yang datang bersama Ji Sun Bi itu pun ternyata lihai
bukan main.
"Toako,
mari kita pergi!" tiba-tiba terdengar Hay Hay berseru.
Dan
tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergelak. Suara tawanya sampai menimbulkan gema,
demikian dalam penuh wibawa. Para pengeroyok terkejut sekali dan tanpa mereka
sadari, mereka pun kini tertawa semua, terseret oleh arus yang sangat kuat dari
getaran suara ketawa Hay Hay. Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk
menyambar lengan Hui Lian lantas diajaknya meloncat keluar dari kepungan!
Pada saat
para lawan terpengaruh sihirnya dan tertawa, Hay Hay yang memegang lengan Hui
Lian melompat keluar. Akan tetapi hanya sebentar saja Min-san Mo-ko
terpengaruh, demikian pula lima orang tosu Pek-lian-kauw. Min-san Mo-ko sudah
menubruk ke depan dengan pedangnya yang menyambar ke arah leher belakang Hay
Hay.
Pemuda ini
mengelak dengan memutar tubuhnya. Dia melihat benda mencorong di dada Min-san
Mo-ko. Batu giok milik Kwan-taijin! Hay Hay lalu menusukkan sulingnya ke arah
mata Min-san Mo-ko, akan tetapi tangan kirinya menyambar dan dia berhasil
merampas batu giok yang dikalungkan pada leher Min-san Mo-ko. Pada saat itu
pula lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah menubruknya!
Hui Lian
segera membantunya dengan putaran pedang sehingga tongkat para tosu dapat ditangkis.
Akan tetapi pada saat itu ada sinar hitam menyambar, dan Hui Lian mengeluh
lantas terhuyung. Dia telah diserang dari belakang dengan jarum beracun oleh
Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, iblis betina dari Goa Iblis Pantai
Selatan. Tiga batang jarum kecil memasuki pinggul kanan tanpa dapat
ditangkisnya sama sekali sehingga tubuhnya terhuyung dan sebelah kakinya
seperti lumpuh.
Pada saat
itu pula Hay Hay cepat menyambar tubuh Hui Lian dengan tangan kiri, ada pun
sulingnya diputar cepat. Dua orang tosu Pek-lian-kauw terjungkal roboh, akan
tetapi ujung pedang di tangan Min-san Mo-ko juga menyerempet dada Hay Hay,
merobek baju berikut kulit dan daging di dada kanannya.
"Kami
tidak ada waktu melayani kalian. Kami pergi, kami menghilang dan kalian tak
dapat melihat kami lagi!" terdengar Hay Hay berseru, kini mengerahkan
seluruh tenaga sihirnya.
Sekali ini
dia berhasil baik karena semua musuhnya tiba-tiba menjadi bingung ketika Hay
Hay dan Hui Lian lenyap. Beberapa kali Min-san Mo-ko beserta para tosu
Pek-lian-kauw mengeluarkan bentakan-bentakan untuk memunahkan pengaruh sihir
itu, hingga akhirnya mereka berhasil juga menyingkirkan pengaruh itu.
Akan tetapi,
ketika semua orang sudah sadar dan mengejar keluar ruangan depan, yang terlihat
hanya bayangan kedua orang musuh itu memasuki hutan yang telah menjadi amat
gelap. Mengingat akan lihainya dua orang itu, mereka tidak berani melakukan
pengejaran di dalam gelap karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Min-san
Mo-ko membanting-banting kakinya. "Keparat jahanam! Mereka dapat
lolos!" Dia mengutuk.
"Jangan
khawatir, Mo-ko," kata Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. "Pemuda berpakaian
putih itu telah kuhadiahi tiga batang jarum beracunku, tentu dia tidak akan
mampu berlari jauh dan akan mampus juga."
"Dan
aku melihat tadi pedangmu juga telah melukai dada Hay Hay," kata Ji Sun Bi
kepada suhu-nya dengan suara menghibur. "Tentu dia tidak akan terlepas
dari maut pula karena pedangmu yang beracun."
Akan tetapi
ucapan kedua orang wanita itu agaknya bahkan menambah kejengkelan hati Min-san
Mo-ko. "Semoga semua iblis mengutuk mereka!" katanya dengan muka
merah dan mata melotot. "Apa artinya luka-luka oleh jarum dan pedang
beracun apa bila mereka memiliki batu giok mustika itu?"
"Apa?
Jadi batu giok itu terampas oleh mereka?"
"Hay
Hay keparat itu yang merampasnya dari leherku. Besok sesudah terang tanah kita
harus melakukan pengejaran. Pemuda itu memang harus dibunuh, jika tidak, kelak
hanya akan mendatangkan gangguan saja bagi kita. Ahh, bagaimana kita akan bisa
menghadap Giam-lo kalau begini? Jaksa Kwan lolos, dan sekarang mustika batu
giok juga terampas orang." Min-san Mo-ko kelihatan marah dan juga bingung,
takut akan kemarahan Lam-hai Giam-lo yang menjadi pimpinan mereka.
Pemuda
tampan yang tadi muncul bersama Ji Sun Bi kini melangkah maju dan berkata
kepada Min-san Mo-ko, "Mo-ko, kenapa susah amat? Sungguh memalukan jika
kita yang begini banyak sampai tidak mampu membekuk bocah itu. Biarlah aku yang
akan mencari dan membekuk mereka, atau setidaknya merampas kembali mustika batu
giok itu."
Min-san
Mo-ko memandang pada pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya juga masih muda,
sebaya dengan Hay Hay, dan pemuda ini pun mempunyai ilmu kepandaian yang hebat!
Dia sendiri sudah mengujinya dan memang pemuda ini patut menjadi sekutunya yang
boleh diandalkan, biar pun pemuda ini tidak memiliki ilmu sihir. Dalam hal ilmu
silat, agaknya dia sendiri pun belum tentu akan mampu mengalahkannya!
"Besok
pagi kita beramai-ramai akan mencari mereka!" Dia hanya dapat berkata
demikian karena dia juga tidak berani bersikap kasar atau keras terhadap pemuda
yang baru saja menjadi sekutu mereka ini,.
"Tentang
mustika batu giok itu, agaknya Giam-lo juga tidak akan terlalu menyesal karena
sebagai gantinya, dia mendapatkan Sim-kongcu sebagai sahabat, dan Sim-kongcu
sudah berjanji akan menghadiahkan kepada Lam-hai Giam-lo sebuah benda mustika
yang tidak kalah langkanya kalau dibandingkan dengan mustika batu giok
itu," kata Ji Sun Bi sambil menggandeng tangan pemuda itu dan mengerling
dengan sikap manja.
Pemuda yang
disebut Sim-kongcu (Tuan Muda Sim) itu hanya tersenyum, lantas berkata dengan
suara yang jelas membayangkan kebanggaan dirinya. "Batu giok penawar racun
seperti itu saja kiranya tak perlu diperebutkan. Aku memiliki sebuah cawan arak
yang bisa dipakai mengenal minuman atau makanan beracun. Cawan itu akan
kuhadiahkan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai tanda persahabatan, dan kelak dapat
dipakai sebagai pengganti mustika batu giok yang tak berhasil lita rampas
itu"
Hati Min-san
Mo-ko menjadi agak lega ketika mendengar janji ini. Setidaknya kemarahan
Lam-hai Giam-lo akan berkurang jika dia mendapat seorang pembantu selihai
pemuda ini sebagai pengganti mustika batu giok itu, apa lagi ditambah dengan
sebuah cawan pusaka yang langka.
Oleh karena
itu, ketika pada keesokan harinya mereka tak berhasil menemukan jejak Hay Hay
dan Hui Lian, Min-san Mo-ko mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dan
pergi menghadap Lam-hai Giam-lo untuk memberi laporan.
Siapakah
pemuda lihai yang sekarang agaknya baru saja bersekutu dengan gerombolan itu?
Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, atau tadinya memakai she Ciang ketika
berguru kepada Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah.
Seperti
sudah kita ketahui, dengan siasat yang sangat cerdik, ketika berusia empat
belas tahun Sim Ki Liong berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya
karena dia amat pandai membawa diri, memperlihatkan diri sebagai seorang pemuda
yang sopan santun, berbakti dan juga sangat berbakat. Suami isteri pendekar
yang biasanya amat cerdik itu dapat dikelabui dan dia pun mendapat pelajaran
ilmu silat yang hebat dari suami isteri itu selama enam tahun.
Suami isteri
itu tak pernah melihat kelakuan buruk Ki Liong selama menjadi murid mereka dan
tinggal di pulau itu, sampai kemudian datang puteri serta cucu perempuan
mereka, yaitu Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong. Berkobarlah nafsu birahi dalam
diri Ki Liong ketika dia melihat Kui Hong dan hampir tak tertahankan lagi
sehingga dia pun bersikap ceriwis dan kurang ajar terhadap Kui Hong sehingga
terjadi keributan.
Agaknya
karena memang sudah merasa pandai dan tidak betah lagi tinggal di pulau itu,
setelah terjadi keributan dengan Kui Hong yang menolak keinginannya untuk
bermesraan, Ki Liong lalu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa
beberapa buah benda pusaka dan juga harta dari pulau itu, milik Pendekar Sadis
dan isterinya!
Di antara
benda-benda pusaka itu, dia juga membawa pergi Gin-hwa-kiam milik Pendekar
Sadis dan sebuah cawan pusaka yang amat langka karena minuman atau makanan apa
saja yang mengandung racun, bila mana ditaruh di dalam cawan, lalu akan nampak
tanda hijau pada cawan perak itu!
Demikianlah,
setelah meninggalkan pulau secara minggat, Ki Liong mencari ibunya yang tinggal
di sebuah dusun. Hanya beberapa hari saja dia tinggal di situ. Sesudah rasa
rindu pada ibunya terobati, maka mulailah dia merantau untuk mencari musuh
besarnya, yaitu pembunuh ayahnya.
Menurut
ibunya, pembunuh ayahnya itu bernama Siangkoan Ci Kang yang dahulu masih
terhitung saudara seperguruan dengan ayahnya yang bernama Sim Thian Bu. Menurut
cerita ibunya, Siangkoan Ci Kang adalah seorang laki-laki yang berkepandaian
tinggi dan lengan kirinya buntung sebatas siku.
Tidak sukar
mencari orang yang buntung lengan kirinya, apa lagi kalau orang itu seorang
ahli silat yang lihai. Tentu akan mudah dia mencari keterangan di dunia
kang-ouw, karena Si Lengan Buntung yang lihai itu tentu dikenal oleh banyak
orang kang-ouw.
Akan tetapi
ternyata harapannya sia-sia belaka dan dugaannya meleset. Memang banyak orang
mendengar nama Siangkoan Ci Kang, putera dari mendiang Siangkoang Lojin yang
berjuluk Si Iblis Buta, akan tetapi semenjak belasan tahun sampai dua puluh
tahun yang lalu, nama Siangkoan Ci Kang tidak pernah muncul lagi di dunia
kang-ouw dan tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang tahu di mana adanya
jagoan itu.
Hal ini
tidaklah aneh karena waktu itu Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu memang
bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi orang-orang hukuman sehingga
mereka berdua itu seolah-oleh lenyap dari dunia kang-ouw, bahkan dunia ramai.
Ki Liong
tidak putus asa dan terus mencari sehingga akhirnya dia tiba di daerah Propinsi
Hu-nan dekat Telaga Tung-ting di mana dia berjumpa dengan Ji Sun Bi. Dan
seperti kita ketahui, setelah tak mampu mengalahkan Hay Hay dan Hui Lian, Ji
Sun Bi juga melarikan diri bersama teman-temannya.
Seperti yang
telah mereka rencanakan, mereka lalu berkumpul di dalam kuil tua di mana
terdapat para tosu Pek-lian-kauw yang menjadikan kuil itu sebagai tempat
persembunyian mereka untuk sementara waktu. Memang di antara para anggota
gerombolan itu dengan Pek-lian-kauw sudah terjalin hubungan baik, apa lagi
kalau diingat bahwa Min-san Mo-ko sendiri adalah bekas seorang tokoh
Pek-lian-kauw.
Ji Sun Bi
tidak betah tinggal di kuil tua yang buruk itu, sebab itu dia pun berkeliaran
keluar kuil dan mendaki bukit itu, keluar dari dalam hutan. Dan di puncak bukit
inilah dia melihat seorang pemuda yang amat menarik hatinya.
Seperti
biasanya, setiap kali berjumpa dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah,
maka tergeraklah hati Ji Sun Bi dan gairahnya pun timbul. Melihat pemuda itu
melangkah seorang diri dari atas puncak bukit menuju turun, Ji Sun Bi
cepat-cepat mencubit pahanya sendiri sampai kain celananya robek dan kulit
pahanya membiru, kemudian dia rebah di atas tanah di dekat jalan setapak sambil
merintih-rintih.
Ketika
berjalan seenaknya menuruni bukit itu, tentu saja Ki Liong dapat melihat
seorang wanita yang rebah miring di atas tanah sambil merintih-rintih itu. Dia
terkejut sekali, lantas dengan beberapa lompatan saja dia sudah menghampiri
wanita itu.
Wanita itu
sangat cantik manis. Mukanya bulat dan kulitnya putih mulus, tubuhnya padat dan
menggairahkan. Sepasang pedang yang melintang pada punggungnya menunjukkan
bahwa wanita itu bukan wanita sembarangan.
"Aduhh...
aughh... aduuhh...," Ji Sun Bi merintih-rintih, pura-pura tidak melihat
orang yang datang menghampirinya.
"Toanio,
siapakah engkau dan apakah yang telah terjadi?" tanya Ki Liong kepada
wanita yang dia takisr usianya tentu beberapa tahun lebih tua darinya biar pun
masih cantik dan menarik sekali.
Ji Sun Bi
menoleh dan seolah-olah baru melihat Ki Liong. Tiba-tiba saja dia bangkit duduk
kemudian meloncat berdiri dengan kaki terpincang, memasang kuda-kuda dan
memegang gagang pedangnya.
"Engkau
siapa...?!" bentaknya seperti orang khawatir yang sedang menghadapi
seorang musuh dalam keadaan terluka.
Ki Liong
tersenyum hingga Ji Sun Bi yang mata keranjang itu merasa jantungnya jungkir
balik melihat betapa tampannya pemuda ini kalau tersenyum.
"Toanio,
jangan salah duga. Aku bukan musuhmu, tadi aku hanya kebetulan saja melihat
engkau rebah di sini sambil merintih kesakitan. Apakah engkau sakit, Toanio?
Barang kali aku dapat menolongmu...?"
"Tidak!
Engkau tentu seorang musuh!" kata Ji Sun Bi.
Dan
tiba-tiba saja dia menyerang dengan kedua tangannya, menggunakan jurus pukulan
yang sangat ampuh. Tangan kirinya menotok ke arah leher sedangkan tangan
kanannya mencengkeram ke arah lambung.
Serangan
yang hebat ini dilakukan Ji Sun Bi bukan untuk mencelakakan orang, melainkan
untuk menguji apakah pemuda ini seorang yang mempunyai kepandaian silat seperti
yang diduganya, melihat cara pemuda itu tadi berlompatan menghampirinya. Kalau
pemuda ini tidak pandai silat, atau tak begitu pandai sehingga jurusnya ini
terlalu berbahaya baginya, tentu dia akan menarik kembali tangannya.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ji Sun Bi ketika melihat pemuda itu
sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan membuat gerakan aneh
dengan dua tangannya dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya telah dipegang
oleh pemuda itu! Sepasang lengan pemuda itu tadi bergerak sedemikian cepatnya
seperti dua ekor ular saja, mendahului serangannya. Serangannya disambut oleh
serangan pula dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah di pegang dan dia
tidak berdaya!
Ki Liong
memperlebar senyumnya. "Aku bukan musuhmu! Tidak mungkin pula aku mau
bermusuhan dengan orang secantik engkau. Aku lebih suka kalau bersahabat
denganmu, Toanio," kata Ki Liong, baru kemudian dia melepaskan
pegangannya.
Ji Sun Bi
yang merasa terkejut, heran dan juga girang sekali mendapat kenyataan bahwa
pemuda ini ternyata lihai bukan main dan juga ingin bersahabat, lalu sengaja
terhuyung dan terpincang kemudian rebah pula, seolah-olah kaki kanannya menjadi
lumpuh.
"Aduuuhhh...!"
Kembali Ki
Liong sudah berlutut di dekatnya. "Engkau kenapakah, Toanio? Apanya yang
sakit?"
Ji Sun Bi
berlagak menahan sakit dan menggigit bibirnya, kemudian berkata dengan alis
berkerut, "Aku dan kawan-kawan... baru saja berkelahi dengan musuh, dan
aku terluka... pada paha kananku, aduuhh...!" Dan dia pun memijit paha
kananya.
Ki Liong
merasa kasihan. "Bolehkah aku memeriksa lukamu, Toanio? Mungkin aku dapat
menolongmu sebab aku membawa obat yang amat manjur untuk menyembuhkan
luka..."
Ji Sun Bi
mengangguk dan Ki Liong lalu memeriksa paha kanan itu. Dia membuka kain celana
yang terobek cukup lebar sehingga nampaklah paha yang mulus karena kulitnya
putih mulus, akan tetapi ada nampak biru kemerahan bekas cubitan. Setelah
memeriksa dengan teliti, Ki Liong hampir tertawa, akan tetapi dia cukup cerdik
untuk menahannya.
Paha itu
tidak apa-apa, hanya kulit paha yang halus hangat itu saja yang membiru bekas
cubitan. Akan tetapi dia lalu mengelus paha itu dan jantungnya berdebar penuh
gairah. Wanita ini cantik sekali, tubuhnya padat dan pahanya demikian mulus!
"Lukanya
tidak parah, Toanio, akan segera sembuh sesudah kuurut dan kupijit," kata
Ki Liong sambil mengelus-elus kulit paha yang membiru itu.
Diam-diam Ji
Sun Bi merasa girang bukan main. Jelas ada tanda-tanda bahwa pemuda ini
menyambut dan suka kepadanya, seorang pemuda yang tampan dan gagah, bahkan dia
menduga pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi! Ketika pahanya
dielus seperti itu, ingin dia langsung saja merangkul pemuda itu, akan tetapi
ditahannya karena dia tidak mau gagal, seperti yang pernah terjadi dengan Hay
Hay.
"Terima
kasih, ahhh... terasa nyaman sekarang..."
Ki Liong
tersenyum, elusan tangannya semakin berani. "Enak...?"
"Enak
sekali, terima kasih, nyerinya sudah hampir hilang... ahh, sobat yang baik,
engkau tadi begitu mudah menangkap kedua pergelangan tanganku. Engkau yang
lihai dan baik hati ini, siapakah engkau?"
Tanpa
melepas jari-jari tangannya yang mengelus dan membelai, Ki Liong menatap wajah
manis itu sambil menjawab. "Namaku Sim Ki Long, aku seorang perantau yang
kebetulan lewat di sini dan bertemu denganmu, Toanio..." Dia memandang
paha itu dan melihat kulit paha yang demikian putih mulus, demikian hangat
terasa di tangannya, Ki Liong lantas menunduk dan mencium paha itu.
Makin keras
jantung Ji Sun Bi berdegup dan mukanya menajdi kemerahan, tanda bahwa nafsunya
sudah naik ke kepala. Sungguh beruntung, pikirnya, sekali ini dia menemukan
seorang pemuda yang begini hebat dan menyenangkan!
"Sim-kongcu...
engkau tentu seorang pemuda bangsawan atau hartawan. Engkau jangan menyebut
Toanio kepadaku karena aku belum... belum menikah, ehh, namaku Sun Bi, Ji Sun
Bi..." Suara Sun Bi sudah tidak karuan karena napasnya semakin memburu.
"Baiklah,
Enci Sun Bi. Wah, engkau cantik sekali..."
Sun Bi tidak
dapat menahan dirinya lagi lalu tiba-tiba dia memeluk dan mencium pemuda itu.
Hati Sun Bi semakin gembira ketika pemuda itu membalas ciumannya. Dia mendapat
kenyataan betapa canggung pemuda ini melakukan hal itu, menandakan bahwa pemuda
yang menarik hatinya ini adalah seorang pemuda yang belum memiliki pengalaman
sama sekali.
Dia segera
menarik pemuda itu rebah di atas rumput, dan kegembiraannya makin besar saat
dia mendapat kenyataan bahwa dia bertemu dengan seorang perjaka tulen! Dengan
penuh gairah dan kesukaan hati dia pun lalu mengajar dan membimbing pemuda itu
untuk memuaskan birahi dan gairah mereka. Dan di dalam hal ini, tentu saja Sun
Bi merupakan seorang guru yang amat pandai dan berpengalaman bagi Ki Liong!
Tak lama
kemudian, dengan hati yang girang sekali, seperti menemukan sebuah mustika yang
amat hebat, Ji Sun Bi sudah menggandeng tangan Ki Liong dan diajaknya pemuda
ini menemui Min-san Mo-ko serta yang lain-lainnya, memperkenalkan pemuda itu
sebagai sahabat barunya, sebagai kekasihnya!
"Suhu,
Sim Ki Liong adalah sahabat baikku yang boleh dipercaya dan jangan dipandang
rendah karena dia amat lihai. Ilmu kepandaiannya tidak kalah dibandingkan
dengan siapa pun juga, dan andai kata dia membantu kita dalam menghadapi dua
orang musuh itu, tentu pihak kita tidak akan kalah!"
Ji Sun Bi
adalah murid merangkap kekasih Min-san Mo-ko, akan tetapi Iblis dari Min-san
ini tidak merasa cemburu melihat Sun Bi yang gila lelaki itu mendapatkan
kekasih baru. Namun diam-diam dia merasa tidak senang mendengar ucapan Sun Bi
yang memuji-muji Ki Liong dan mengatakan bahwa pemuda ini tidak akan kalah
dibandingkan dengan siapa pun juga. Ucapan itu seperti merendahkan dirinya,
seolah-olah dia sendiri pun tentu kalah oleh pemuda yang menjadi kekasih Sun Bi
ini. Dia merasa penasaran dan ingin menguji sampai di mana kebenaran pujian Sun
Bi.
"Benarkah
demikian? Jika memang Sim-kongcu benar-benar lihai dan dapat menahanku sampai
sepuluh jurus, sungguh aku merasa girang sekali karena kita telah mendapatkan
seorang sekutu baru yang boleh diandalkan."
Ki Liong
memiliki watak yang tinggi hati. Merasa bahwa dia adalah murid Pendekar Sadis
dan isterinya, dia merasa seakan-akan kepandaian silatnya sudah paling tinggi
dan tidak ada lawannya! Oleh karena itu, kini dia pun memandang rendah kepada
orang tua yang diperkenalkan oleh Sun Bi sebagai gurunya dan yang bernama
Min-san Mo-ko itu.
Kini semua
orang sudah berkumpul di situ, ingin sekali melihat pimpinan mereka menguji
kepandaian pemuda yang baru tiba itu, juga anak buah gerombolan itu berkumpul
di situ dengan hati tegang. Setelah memandang ke sekelilingnya, Ki Liong
menghampiri Min-san Mo-ko dan dengan lantang berkata,
"Mo-ko,
aku pun ingin sekali mengetahui apakah engkau mampu mengalahkan aku dalam
sepuluh jurus, karena kalau begitu halnya, engkau bukan hanya pantas menjadi
pimpinan kelompok ini, bahkan pantas menjadi guruku!"
"Bagus!"
Min-san Mo-ko menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu dia telah berdiri di depan Ki
Liong. "Orang muda, sambutlah seranganku!" Dan dia pun segera
menyerang dengan amat ganasnya, menyambung suaranya yang melengking tadi.
Tangannya bergerak cepat sekali mencengkeram ke arah kepala Ki Liong, disusul
tendangan ke arah pusar.
"Hemmm...!"
Ki Liong masih tenang saja dan dengan sangat mudah dia miringkan tubuh
mengelak, sedangkan tendangan itu ditangkisnya dengan tangan terbuka. Tendangan
itu mental dan kedua pihak kini maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang amat
kuat!
Jurus
pertama gagal, lalu disusul jurus kedua dan makin lama serangan Min-san Mo-ko
menjadi semakin dahsyat dan berbahaya. Namun bukan saja Ki Liong mampu mengelak
dan menangkis, bahkan tiga kali dia mampu membalas dengan serangan yang tentu
akan mencelakakan diri Min-san Mo-ko jika saja Ki Liong tidak menahan dan menarik
kembali serangannya sambil tersenyum.
Jurus ke
sepuluh merupakan serangan paling hebat. Tubuh Min-san Mo-ko melayang ke depan,
tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah pelipis kanan lawan, ada pun
tangan kanannya mencengkeram ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling lemah
dan berbahaya bagi seorang pria. Ji Sun Bi sampai mengeluarkan jerit tertahan
ketika melihat kekasihnya terancam demikian hebatnya!
Namun Ki
Liong masih tetap tersenyum saja, kakinya bergeser dan lutut kirinya terangkat
melindungi bawah pusar, tangan kanannya meluncur bagaikan ular mematuk
menyambut totokan ke pelipisnya, dan tangan kirinya sudah menyelinap masuk dan
tahu-tahu sudah menyentuh ulu hati di dada Min-san Mo-ko!
Tentu saja
Min-san Mo-ko terkejut bukan main dan dia pun sudah cepat meloncat jauh ke
belakang, mukanya agak pucat karena dia maklum bahwa jika pemuda itu
menghendaki, sekarang dia sudah menjadi mayat atau setidaknya akan terluka
parah. Tak disangkanya bahwa bukan saja pemuda itu menahan sepuluh jurus serangannya,
bahkan berkali-kali mampu membalas dan yang terakhir kalinya malah
memperlihatkan keunggulannya!
Dia lantas
mengangguk-angguk. "Sim-kongcu memang hebat! Sun Bi tidak salah memilih
kawan dan kami merasa girang sekali mendapatkan seorang sekutu seperti
Sim-kongcu. Lam-hai Giam-lo tentu akan girang pula menerimamu,
Sim-kongcu."
Tentu saja
Ji Sun Bi girang dan bangga sekali. Wanita ini segera merangkul dan mencium
mulut Ki Liong begitu saja di depan demikian banyak orang! Tentu saja Ki Liong
menjadi gelagapan dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Sun Bi langsung
menarik tangannya dan diajak keluar dari kuil, diikuti suara ketawa para
anggota gerombolan itu.
Seperti
sedang mendapatkan barang mainan baru yang sangat menarik hatinya, Ji Sun Bi
mengajak Ki Liong menjauhi kuil dan bersenang-senang sepuas hatinya dengan
pemuda itu. Di lain pihak, Ki Liong baru saja terjun ke dalam dunia yang baru
ini, merasa senang sekali mendapatkan seorang kawan, kekasih dan juga guru
dalam permainan cinta yang demikian pandai dan berpengalaman seperti Ji Sun Bi.
Ketika senja
itu Hay Hay beserta Hui Lian menyerbu kuil dan Hay Hay berhasil merampas
mustika batu giok, barulah Ji Sun Bi dan Ki Liong muncul dan mereka segera
membantu sehingga dua orang lawan itu akhirnya melarikan diri.
Ki Liong
lalu berjanji akan memberikan hadiah cawan arak pusaka untuk diberikan kepada
Lam-hai Giam-lo sebagai pengganti mustika batu giok yang telah lenyap dirampas
lawan. Memang pemuda ini memiliki beberapa benda pusaka yang langka, yaitu yang
dicurinya dari Pulau Teratai Merah.
Dengan
munculnya Sim Ki Liong maka pihak gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh
Lam-hai Giam-lo menjadi semakin kuat, dan hal ini merupakan ancaman bagi
keamanan, juga bagi para pendekar. Sim Ki Liong sendiri mengharapkan untuk
memperoleh bantuan kawan-kawan barunya dalam mencari musuh besarnya, yaitu
Siangkoan Ci Kang.
***************
Goa itu
lebar sekali, lebar mulutnya tak kurang dari sepuluh tombak dan dalamnya empat
tombak, walau pun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke
dalam goa itu hanya sebesar tubuh orang saja, itu pun masih tertutup
semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik
semak-semak itu terdapat sebuah goa yang demikian lebarnya. Juga goa itu tidak
gelap karena di bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari
dapat masuk. Maka tidak mengherankan apa bila gerombolan Min-san Mo-ko tak
dapat menemukan dua orang buronan yang bersembunyi di dalam goa itu.
Sebelum
terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, di dalam perantauannya dulu secara kebetulan
Hay Hay pernah menemukan goa ini. Oleh karena itu ketika mereka melarikan diri
membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian
memasuki goa itu dan bersembunyi.
Tentu saja
malam itu di dalam goa amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka,
dan sesudah masuk ke dalam serta membetulkan lagi semak-semak dari sebelah
dalam agar menutupi lubang goa, Hay Hay segera bertanya,
"Bagaimana,
Enci Hui Lian, parahkah luka yang kau derita ini?" Di dalam suara Hay Hay terkandung
kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak
pucat dan larinya kadang terhuyung.
Di dalam
kegelapan goa itu Hui Lian lantas meraba pinggul kanannya, dan dia menahan
rintihannya. Pinggul kanan itu sekarang membengkak dan rasanya panas, gatal dan
sakit bukan main.
"Pinggul
kananku... agaknya terkena jarum-jarum berbisa," katanya. Akan tetapi dia
pun lalu teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya.
"Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?"
Hay Hay
merasa betapa luka di dadanya juga sangat parah, walau pun ujung pedang itu
hanya menggores serta merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga
dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya sudah
membengkak dan rasanya panas bukan main hingga menembus ke seluruh tubuhnya!
Akan tetapi temannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir
pula.
"Ahh,
kulit dadaku hanya tergores sedikit, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka
pada pinggulmu itu... ahh, apakah jarum-jarum itu sudah kau cabut?"
"Mana
bisa mencabutnya? Jarum-jarum itu masuk ke dalam!" kata Hui Lian agak
khawatir juga karena saat meraba dengan jari-jari tangannya, dia tidak
merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. "Agaknya ada
tiga batang yang menembus kulit..."
"Ingatkah
engkau siapa di antara mereka yang melepas jarum-jarum itu?"
"Ketika
aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam
itulah..."
"Ahhh...
celaka!" seru Hay Hay. "Dia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti!
Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya
dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu
mengeluarkan jarum-jarum itu!"
"Tapi...
begini gelap, biarlah kulawan dengan semedhi dan mengerahkan sinkang. Besok
kalau sudah terang baru kita..."
"Besok
bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun dahulu!" kata Hay Hay lalu
membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan
dalam goa dan mereka dapat saling pandang. Keduanya langsung terkejut setelah
melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun
mulai menguasai mereka!
"Bagaimana
kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?" tanya Hui Lian.
"Mereka
tidak akan melihatnya, cahaya api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu
kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum
itu..."
"Tapi...
tapi..." tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin
dia bisa membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya?
Tentu saja
tak mungkin mengeluarkannya sendiri karena kedua tangannya hanya mampu
menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja namun dia
tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti
membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat saja, bahkan meraba
dan menyentuhnya pula! Bagaimana mungkin ini?
"Kenapa
engkau masih ragu-ragu, Enci? Bukankah berbahaya sekali bila dibiarkan saja?
Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!" Hay Hay lantas mendekati Hui
Lian yang duduk bersandar dinding goa dan dia pun berlutut, tangannya diulur ke
arah pinggul.
"Tidak...!
Jangan...!" Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan
dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, ternyata Hui Lian juga sedang
memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah!
"Ehh,
kenapa Enci Lian?"
"Bagaimana...
bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?"
Hay Hay pun
melongo. "Wah, kurang ajar? Apa maksudmu, Enci Lian? Aku tidak pernah
kurang ajar kepadamu."
"Engkau
hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa sambil merabanya, dan engkau
bilang tidak kurang ajar?" Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia
menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidak melihat betapa wajah pemuda itu
pun pucat dan nampak kesakitan.
Hay Hay
tersenyum karena mendadak dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan
mereka itu. "Wah, Enci Lian, pikirkan dulu baik-baik sebelum engkau
menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu sudah terluka oleh jarum beracun,
bukan? Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau aku hendak
menolongmu dan memeriksa pinggul itu? Dalam keadaan seperti ini, di waktu
engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci? Baiklah,
sekarang biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurang
ajaranku, dan nanti sesudah aku berhasil mengeluarkan jarum-jarum itu dan
mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurang ajaranku. Aku
tidak akan melawan. Bagaimana, akur?"
Lega hati
Hui Lian. Bagaimana pun juga dia akan dapat membalas kekurang ajaran itu nanti.
"Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji."
"Aku
tidak pernah berbohong."
"Hemm,
laki-laki memang paling pandai berjanji akan tetapi paling pandai pula
melanggar janji sendiri!"
"Namun
aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian, tetapi sekarang
biarkan aku memeriksa lukamu."
Dan kini Hui
Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas dua
lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya
meremang saat dia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar
celana.
"Enci
Lian, celanamu harus dilepas... ehh, maksudku, harus diturunkan supaya aku
dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu..."
"Kurang
ajar kau...!" Hui Lian membentak dan dia merasa malu bukan main, akan
tetapi jari-jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati dia
menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu kelihatan.
Dia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu.
Akan tetapi
pada saat itu seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka.
Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan ada tiga
titik hitam berjajar di situ. Dia meraba dengan sangat hati-hati, akan tetapi
jari-jari tangannya tidak merasakan satu pun ujung gagang jarum, maka tahulah
dia bahwa jarum-jarum itu sudah terbenam ke dalam daging pinggul!
"Enci
Lian, tahanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk
mengeluarkan jarum hanya begini..." Dan tiba-tiba, tanpa memberi
kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu
tentu akan keberatan, dia cepat-cepat menundukkan mukanya dan menempelkan
mulutnya di atas tiga titik hitam itu!
"Aihhh...
kau... kau... keparat...!" Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang
luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay sudah mengerahkan tenaga
khikang untuk menyedot dengan mulutnya.
Hui Lian
mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu sedang
menempel di pinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga
batang jarum kecil hitam ke atas tanah.
"Jarum-jarum
itu telah keluar, akan tetapi racunnya harus dikeluarkan sampai bersih, Enci
Lian," katanya.
Dan kembali
dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum. Nyeri bukan
kepalang rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa
nyeri sehingga dia mampu menahan keduanya!
Setelah
beberapa kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat
darah merah keluar dari tiga lubang kecil itu, dan dia pun menghentikan
penyedotannya.
"Semoga
racunnya sudah keluar semua, Enci. Kini tinggal memberi obat luka."
Hay Hay
mengambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang
dikeringkan dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, kemudian
memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya.
"Nah,
selesailah sudah, Enci Lian." katanya.
Ketika Hay
Hay hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian segera merenggutnya dan
menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit
duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali.
"Plak!
Plak! Plak!"
Dua kali
tangan kanannya menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi
kanan pemuda itu. Begitu tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring
dan tubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh!
Melihat
wajah pemuda itu, Hui Lian yang merasa malu dan marah menjadi terkejut sekali.
Pemuda ini seperti orang pingsan atau setengah pingsan, nampak lemah sekali.
Mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah.
"Hay-te...!"
Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu.
Namun Hay
Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah
tamparannya tadi demikian kuatnya? Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini
tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan?
"Hay-te,
maafkan aku... ahh, engkau sadarlah...!" katanya lagi.
Kini dia
cepat-cepat melakukan pemeriksaan. Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan
napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda ini pun terluka parah.
Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampaklah betapa
pada dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh,
membengkak dan kehitaman! Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah
dan berbahaya sekali! Dia harus cepat menolongnya.
Dengan amat
cekatan jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan
maksud membuka baju supaya lebih mudah dia berusaha mengobati. Ketika dia
hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba saja ada sebuah benda terjatuh keluar
dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay,
tepat di atas luka di dadanya.
Hui Lian
hendak mengambil benda itu, namun dia mengeluarkan seruan kaget, menahan
tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan
hijau dan sekarang benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itu
perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu
perlahan-lahan menghilang! Teringatlah Hui Lian tentang mustika batu giok milik
Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya
kembali. Dia pun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu
merupakan benda langka penawar racun!
Dengan hati
girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan
perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan,
benda itu berubah semakin menghitam, sementara luka itu pun dengan cepat sekali
mengempis dan kehilangan warna hitamnya.
Hay Hay
bergerak dan mengeluh. "Wah, benda apa yang dingin sekali di atas dadaku
itu, Enci Lian?"
Hui Lian
merasa lega bukan main melihat keadaan Hay Hay yang sudah sembuh secara cepat
itu dan dia pun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum.
Bukan main cantiknya gadis ini kalau sedang tersenyum, senyum wajar yang
pertama kali dilihatnya.
"Enci
Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum," kata Hay Hay dan kembali
berkerut alis Hui Lian. Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari
pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya!
"Hay-te,
engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun
dari dadamu, kenapa tidak kau pergunakan ketika engkau menolong aku?"
Hay Hay
bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu
giok itu yang kini oleh Hui Lian sudah diletakkan di atas lantai goa. Dari batu
giok itu perlahan-lahan menetes cairan hitam, kemudian perlahan-lahan batu giok
itu memperoleh kembali cahayanya. Warna hitam makin lenyap bersama cairan yang
keluar, lalu berganti dengan warna merah hijau. Benar-benar benda mustika yang
langka dan mukjijat!
"Ahh,
sungguh... tadi aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku...
ahh..." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena
kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa
diri melanjutkan, "Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh,
pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu
harum sekali, Enci..."
"Gila...!"
Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba dia melihat
pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut.
"Hay-te,
ada apakah...?" Dia cepat mendekat dan lebih kaget lagi setelah dia
menyentuh dahi pemuda itu yang terasa panas bukan main.
Ternyata
racun dari pedang Min-san Mo-ko amat jahat sehingga tadi sudah menimbulkan hawa
beracun di dalam tubuh Hay Hay. Biar pun racunnya telah tersedot oleh batu
giok, akan tetapi kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay.
Hal ini terjadi karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun
dan jarum dari pinggul Hui Lian, dan pengerahan khikang ini membuat hawa
beracun terdorong semakin dalam ke dadanya.
Maklum bahwa
Hay Hay terserang demam, Hui Lian segera menempelkan kedua telapak tangannya
pada dada Hay Hay, lantas dia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu
dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya. Lambat laun terjadi perubahan pada
diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, wajahnya menjadi agak kemerahan dan
panasnya menurun.
Hui Lian
melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama sekali dia
terus mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang
kembali di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa
cantiknya kalau dia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi masih sempat memuji
bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum!
Hui Lian pun
tersenyum ketika teringat tentang hal ini,. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil
tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh
sangat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap
Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan
menarik hati walau pun sikapnya agak nakal dan kurang ajar.
Tanpa
disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda
itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun
pada pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah akibat ditamparnya. Dia telah
menamparnya dengan keras sesudah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan sesudah
pemuda itu tanpa rasa jijik sedikit pun menyedot luka beracun di pinggulnya.
Dia merasa terharu dan kedua matanya basah.
"Hay
Hay, kau maafkan aku...," bisiknya.
Hay Hay
membuka matanya, berkejap-kejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia
rebah di atas lantai goa dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya.
"Enci
Lian, apakah aku tertidur? Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau berbicara
kepadaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kau katakan, Enci Lian?"
Hui Lian
tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan dia merasa
seperti berbicara dengan adiknya sendiri, apa lagi mendengar pemuda itu
menyebutnya Enci Lian secara demikian akrabnya.
"Tidak
apa-apa, Hay-te. Tidurlah, biar aku menjagamu...!"
"Tidak,
Enci Lian. Aku tidur enak-enakan sedangkan engkau yang hendak berjaga kalau ada
musuh yang datang? Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan
dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga."
"Akan
tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biar pun perempuan aku lebih
tua, engkau kanak-kanak."
Hay Hay yang
kesehatannya sudah pulih kembali lalu memandang wajah Hui Lian sambil
tersenyum. "Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah
cukup dewasa untuk berpacaran sekali pun!"
"Ihhh,
engkau memang ceriwis, mata keranjang, kata-katamu tak senonoh!"
Hay Hay
membelalakkan matanya. "Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di
bagian manakah kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat,
alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemmm... tadi aku
memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu
indah..."
"Nah,
itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!"
"Eihhh?
Kenapa, Enci? Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan patut
dipuji? Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura? Memang
mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?"
"Tapi
bukan... ehh, pinggul! Tidak sopan itu, menyebut-nyebutnya juga sudah tidak
sopan dan harus malu!"
Hay Hay
menggaruk-garuk belakang telinganya. "Lho! Kenapa tidak sopan? Apa
salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah kita manusia
ini semua memang berpinggul? Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan
matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?"
"Cukup!
Jangan membuatku marah! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua dari pada
engkau, maka tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis serta
pujian-pujian muluk dan kotor!"
"Aku
jadi makin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau
memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali
tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun
dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku
sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan tadi aku memujimu dengan jujur, sama
sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut
penglihatanku!"
Melihat
pemuda itu berbicara keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi
geli. "Hemm, jika menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya,
tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment