Wednesday, September 26, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 25



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 25


MELIHAT mereka berlagak dan memandang rendah padanya, sepasang alis Pek Eng lantas berkerut dan dia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang berwatak ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.

"Ha-ha-ha-ha!" Pelatih itu tertawa lebar. "Nona manis, benarkah engkau adalah seorang pendekar pedang seperti kata dia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memamerkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"

Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tak mau melayani kekurang ajaran mereka langsung saja bertanya. "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"

Sebenarnya pelatih itu dan para anak buahnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng tadi, namun pura-pura sudah mengenalnya. "Aahh, kiranya engkau mencari mereka?"

Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak diduganya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay. "Benar, tahukah engku di mana mereka?"

Pelatih itu mengangguk-angguk. "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberi tahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."

Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. "Syarat? Syarat apa itu?"

Pelatih itu tertawa. "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Jika engkau menang, tentu akan segera kuberi tahukan di mana mereka, akan tetapi jika engkau kalah, maka engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?"

Semua lelaki yang tadi berlatih silat tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang pada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini dia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang sedang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah.

Akan tetapi dia tetap tersenyum, bahkan mengangguk-angguk. Andai kata kalah pun, dia masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurang ajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar jika harus menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih amat rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.

"Baik, akan tetapi jika engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!" katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.

"Toako, biarlah aku menangkap gadis ini untukmu!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, segera melompat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu.

Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, ada pun tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!

Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga terlalu lambat dan lemah baginya itu. Dia cepat menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, ada pun tangan kanannya sendiri cepat bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang akan merangkulnya, kemudian cepat sekali dia menekuk lengan kanannya dan akhirnya dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.

"Crotttt...!"

Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, Pek Eng mengangkat kakinya dan lututnya sudah menghantam perut lawan.

"Ngekkkk...!"

Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung serta perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri antara hidung yang remuk dengan perut yang mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk.

Pelatih itu marah bukan main. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.

"Plakkk!"

Tubuh tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah baru saja disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat bagai monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh.

Kini belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak sangat cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting, roboh sambil mengaduh-aduh!

Pada saat itu pula dari pintu tengah muncul seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang gadis muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lantas memutar tubuhnya dan berseru ke arah dalam rumah.

"Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"

Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, kedua matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang amat terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya.

Hampir tidak ada orang yang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain lihai, dia mempunyai banyak anak buah dan seluruh jagoan serta tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya. Semua orang juga mengetahui bahwa dia mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Ia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.

Ketika terjadi peristiwa keributan di pekarangan luar, saat itu Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya sangat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam. Mereka bertiga lalu bicara dalam ruangan tertutup, bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa dipanggil. Tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!

Tentu saja Ciok Cun menjadi terkejut dan marah bukan kepalang melihat betapa belasan orang muridnya dihajar orang, apa lagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid dari tingkat atas, agaknya sudah tak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!

"Heiiii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?"

Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa meski pun gadis ini masih muda, tentu mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang muridnya itu roboh semua sedangkan pakaian gadis itu agaknya kusut pun tidak!

Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng lalu memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay Hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka dia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.

"Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah menyangka akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk kemudian kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Orang tinggi besar ini memberi tahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberi tahukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami lalu bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan... beginilah jadinya." Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.

Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar kedua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan, kemudian bertanya, "Benarkah engkau mengenal dua orang yang dicari Nona ini?"

Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku. "Sebetulnya kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja..."

Mendengar ini, Pek Eng merasa dongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian dia mengomel. "Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, maka keributan ini tidak perlu terjadi. Sudahlah, jika kalian tidak mengenal mereka, barang kali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu, dan aku sungguh akan berterima kasih sekali kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka."

Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya dara muda ini, dia pun bertanya. "Siapakah mereka?"

"Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay."

Ciok Cun mengerutkan sepasang alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal mereka."

Pek Eng kecewa sekali. "Kalau begitu biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!" Setelah berkata demikian, Pek Eng segera membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.

"Nona, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan orang sehingga Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini dia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. Melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Sekarang dia memperhatikan mereka.

Kakek itu usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, tetapi masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua, Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.

"Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?" tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.

"Benarkah yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?" tanya kakek itu.

"Benar, apakah engkau mengenal mereka?"

Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru. "Mengenal mereka? Ahh, mengenal baik sekali!"

Pek Eng memandang dengan penuh curiga. "Sekarang aku tak akan mudah percaya lagi kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohongi orang," katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.

"Akan tetapi aku tidak membohong!" kata pula kakek itu. "Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun, wataknya lincah gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, bibirnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, yang dahulu ketika kecil disebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"

Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan ditujukan kepada orang tua itu. "Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"

"Bagus!" tiba-tiba saja nenek yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian itu kini membentak. "Nah, sekarang engkau katakan di mana adanya Pek Han Siong itu!"

Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Tadi dia sudah sangat kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa sangka mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!

"Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu di mana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang.

Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya dipalangkan seakan-akan hendak melarang dan mencegah dia keluar!

Diam-diam Pek Eng terkejut juga. Dari gerakan itu tadi saja dia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Dia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Dia telah dikepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.

Pek Eng cepat mengambil keputusan. Dia harus keluar dari situ sebelum dikepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Sepasang tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu ke samping agar dia dapat menerobos keluar!

Akan tetapi nenek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dorongan sepasang tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.

"Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!" kata kakek itu.

Tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi, kemudian dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar laksana seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Maka terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kiri sambil membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.

"Dukkk!"

Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras bagaikan baja, tetapi cengkeraman tangan kakek itu juga berhasil menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu pun lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata kakek itu tadi telah mencengkeram jalan darahnya dan dia pun tidak mampu bangkit lagi.

Walau pun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.

Dengan sekali loncat nenek itu sudah berdiri di dekat Pek Eng. "Hayo cepat katakan, di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tak mau mengaku, maka terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"

Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak-anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja kakek dan nenek itu telah mampu menangkap gadis gadis yang amat lihai itu!

"Hebat... hebat sekali... kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!" Dia memuji. "Ahhh, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"

Nenek itu mendengus tak menjawab, tapi kakek itu berkata, "Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu, dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."

"Kami taat... tentu saja kami taat, apa lagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."

Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya lalu memamerkan kepada Pek Eng. "Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga bisa mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu kepada kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!"

Pada saat itu kebetulan seekor anjing lewat tidak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan sebelah kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam, dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang sangat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan.

Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga ketika melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Dia maklum bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan dia tak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau dia nekat melawan pun tidak akan ada gunanya. Diam-diam dia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi disebut berjuluk Lam-hai Giam-lo.

Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu dia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek sakti itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenal mereka sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai.

Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena bayi keluarga Pek yang mereka culik itu ternyata bukanlah Sin-tong. Kini pasangan suami isteri ini telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, seorang kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.

Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo telah mengutus beberapa orang pembantunya untuk mempengaruhi kalangan sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk ikut bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka sedang membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan kota itu agar mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.

"Nah, bagaimana, Nona?" Ma Kim Li bertanya sambil tersenyum dingin. "Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, ataukah engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?"

"Hemmm, nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tidak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua."

Girang sekali hati suami isteri itu ketika mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong lantas menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan bersedia menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.

Tentu saja Siangkoan Leng tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan sanggup melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia telah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri sambil memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.

"Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"

"Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Di kalangan kang-ouw kami berdua dikenal sebagai Lam-hai Siang-mo," kata Siangkoan Leng.

Diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka, gadis itu masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.

"Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!" Ma Kim Li kembali mendesak.

Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan dia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Dia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih,

"Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"

Suami isteri itu sadar bahwa mereka masih berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng sambil berkata kepada suaminya. "Mari kita berangkat!"

Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah. Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta, sedangkan Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.

Kereta akhirnya berhenti di sebuah tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng. "Hayo, sekarang katakan di mana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!"

Sambil tersenyum Pek Eng memandang kepada mereka. "Kalian adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jika melihat usia juga kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang begitu bodoh?"

"Apa kau bilang?!" Siangkoan Leng membentak, merasa heran sekali melihat keberanian anak dara itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!

"Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!" nenek itu pun mengancam.

Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia telah memperhitungkan betul semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang yang dulu ikut memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering didengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, tetapi mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.

"Lam-hai Siang-mo," katanya dengan sikap seperti sedang berbicara dengan orang-orang yang setingkat saja. "Aku tidak bermaksud untuk menghina kalian, akan tetapi tadi kalian melihat sendiri bahwa aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk bertanya kepada mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelaslah bahwa aku datang untuk mencari kakakku, namun sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Jika aku mencari-cari kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana dia berada saat ini."

Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak. "Hemmm, kini ceritakan bagaimana engkau berpisah dari kakakmu itu supaya kami dapat membantumu mencarinya!" kata Siangkoan Leng.

Semenjak tadi Pek Eng memang telah mempersiapkan diri. "Aku dan kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap kakakku. Oleh karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lantas berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka sudah menghilang semuanya. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan." Dia berhenti sebentar kemudian bertanya. "Apakah kalian mengenal kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"

Suami isteri itu saling pandang. "Apakah tiga pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?" tanya Siangkoan Leng.

"Benar sekali!" jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang dulu pernah menyerbu rumah keluarganya.

Kembali suami isteri itu saling pandang. "Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!" kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau dia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. "Apakah kakakmu itu kalah lalu ditangkap dan dibawa pergi?"

"Tidak mungkin kakakku kalah!" Pek Eng langsung berteriak seperti orang marah. "Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh dan kehilangan mereka." Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. "Akan tetapi aku yakin bahwa kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat."

"Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?" Ma Kim Li bertanya.

"Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, jika kalian mengenal dia, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."

"Kami tidak mengganggumu," kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. "Sudah lama kami ingin bertemu dengan kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia."

"Wah, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja ke mana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu urusan yang mudah sekali?" Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka.

Dia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu pula dia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, dia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya bila melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.

Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang merupakan tempat yang telah dijanjikan untuk menunggu datangnya dua orang kawan mereka!

Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiba dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu melompat ke luar dari dalam kereta! Dia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian serba hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar dia dapat melarikan diri dengan menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja dia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda itu.

"Tangkap gadis itu!" terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.

Mendengar ini, dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, tetapi keadaan mereka membuat dia merasa terkejut dan ngeri.

Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan sungguh pun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya juga seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka jadi makin nyata.

Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi karena dia tahu bahwa dia tak akan menang melawan dua orang kakek nenek yang ada di dalam kereta, maka dia lalu bertindak nekat dan cepat dia menubruk ke depan lantas menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau dia dapat merampas seekor kuda, maka dia akan melarikan diri, pikirnya dan di antara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, dia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan dia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.

Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau dia mengenal mereka tentu dia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan Lam-hai Siang-mo!

Melihat serangan gadis itu serta mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu langsung menyambutnya. Dia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya yang digerakkan memutar hingga akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa dia mundur kembali sambil terhuyung sebab dia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh!

Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak dia memandang kepada kakek dan nenek yang kini berdiri di depannya itu. Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.

Pek Eng cepat membalikkan tubuhnya, namun dia melihat Lam-hai Siang-mo telah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Dia sudah dikepung oleh dua pasangan kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat, lantas dia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.

"Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Semuanya telah kuceritakan dengan terus terang dan kau tidak tahu di mana adanya kakakku Pek Han Siong, tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena ada urusan penting. Mengapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"

Mendengar nama Pek Han Siong disebut, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu sangat terkejut, dan juga girang sekali.

"Ahh, Nona kecil. Kakakmu yang bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera ketua Pek-sim-pang?" tanya Kwee Siong.

Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun amat tertarik mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?

Dia lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki. "Benar," katanya, "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?"

"Orang she Kwee!" terdengar Siangkoan Leng berseru. "Ingat, dia adalah tawanan kami!"

Mendengar ucapan itu Pek Eng mendapat akal, maka dia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang. "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak boleh dia bertemu dengan orang sembarangan. Siapa di antara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan kakakku!"

Perlu diingat bahwa semenjak belasan tahun yang lalu dua pasang suami isteri ini pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biar pun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.

"Hemm, Lam-hai Siang-mo memang tamak!" kata Tong Ci Ki marah. "Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kami berdualah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!"

"Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?" bentak Ma Kim Li dengan marah. "Gadis itu kami yang tangkap, dia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"

"Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa di antara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu."

"Benar begitu!" Pek Eng berseru, "Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!"

Lam-hai Siang-mo menjadi marah sekali mendengar ucapan itu. Mereka berdua langsung mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, lalu mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat melompat lantas menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki, dan pada saat yang bersamaan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!

"Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!" kata Kwee Siong.

"Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami?!" bentak Siangkoan Leng.

Dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka di tempat itu segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.

Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Dia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di sana masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda.

Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li dia melarikan diri, tiba-tiba saja empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak dia memandang mereka, lalu berkata gagap,

"Ehh... lalu bagaimana hasilnya? Siapa di antara kalian yang... menang...?"

Empat orang itu cemberut! Untung mereka tadi langsung menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!

"Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!" bentak Ma Kim Li marah sekali.

Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini dia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang sangat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi kalianlah yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"

"Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja dia menghadap Lam-hai Giam-lo!" kata Tong Ci Ki.

"Menghadap Lam-hai Giam-lo?" Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan perasaan girang. "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali berjumpa dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan kakakku!" Dia segera melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata, "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"

Empat orang itu saling pandang, tanpa tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka telah membunuh gadis ini. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi jika mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu bahkan akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.

Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan serta perlakuan kasar karena sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Dia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek yang berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka.


                ***************


Sungai Yang-ce adalah sungai ke dua setelah Huang-ho yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce menjadi daerah yang subur sekali, apa lagi pada bagian timur. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan di sisinya sehingga merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.

Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit dan gunung yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, mengalir melalui celah-celah antara bukit, kadang kala melalui jurang-jurang yang amat curam.

Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai salah seorang di antara datuk-datuk besar golongan sesat. Seperti yang sudah kita ketahui di bagian depan kisah ini, Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar oleh dua orang musuhnya yang amat ditakutinya, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian.

Dua orang yang pernah nyaris dibunuhnya ini kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan hingga beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.

Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang telah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan mempunyai banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia.

Sesudah mengumpulkan banyak harta dari hasil pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah gedung besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.

Banyak orang-orang dari golongan sesat yang memiliki kepandaian tinggi telah bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang sangat lihai itu sudah menjadi pembantunya pula. Kemudian Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, juga dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw.

Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan sebab kakek ini memiliki cita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan setelah menjadi seorang yang disebut 'pengcu' (pemimpin rakyat)!

Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya, menambah kemuliaan serta kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tidak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih dari pada keadaan sekarang merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus.

Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan mendapatkan apa yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita dapat melihat kenyataan diri sendiri, maka kesadaran ini secara seketika akan membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu.

Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosan hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri dan menempatkan diri sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, sebab kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.

Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini bisa saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau mendapatkan sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan dari pada yang ada sekarang ini!

Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, pada akhirnya dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka bisa menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinahan dan sebagainya.

Gejala yang kelihatan pada orang yang dihinggapi penyakit itu adalah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya bagaikan angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi diburu penyakit yang ingin mengejar lebih lagi.

Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan dapat menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, namun selalu menerawang ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.

Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong, yaitu seorang di antara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya direbut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis.

Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru. Dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru.

Untuk memperluas kekuasaan serta pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantu-pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak merasa sayang menghamburkan hartanya untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang sudah dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.

Para utusan lainnya belum pulang kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Secara diam-diam Pek Eng memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya.

Rumah itu berdiri di lereng bukit. Walau pun terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang, rumah itu dalam keadaan aman karena berada jauh di atas permukaan sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah sebuah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah.

Ketika dengan halus tapi bernada memerintah para penawannya menyuruh dia turun dan mengikuti mereka masuk ke beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, dia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik.

DIAM-DIAM Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang mewah, serta para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya raya!

"Ngo-wi, (Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu," kata seorang di antara lima gadis pelayan itu.

Lam-hai Giam-lo memang cerdik. Dia menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya supaya sebutan ini melekat pada dirinya sehingga setiap orang akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak tentu saja pantas untuk menjadi kaisar apa bila gerakannya berhasil.

Dua pasang suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu, akan tetapi Pek Eng merasa kagum sekali. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima.

Dia tidak tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, kedatangan mereka telah diketahui para penyelidik yang langsung melaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.

Ruangan tamu itu luas sekali. Terdapat banyak kursi di situ, mepet di dinding yang dihiasi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Pada sudut ruangan itu terdapat pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung ratusan orang tamu.

Dua orang pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja di depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yang cekatan dan gesit, Pek Eng bisa menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Tanpa kata mereka menghidangkan minuman, lalu pergi lagi meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian muncul seorang gadis pelayan lainnya di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang halus.

"Bengcu datang!" Kemudian dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping sambil membungkuk.

Dua pasang suami isteri bangkit berdiri dan melihat ini, tanpa disuruh lagi Pek Eng juga bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat penting dan berkuasa itu.

Pada waktu Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian dan dia tak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli bukan main seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang amat ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami isteri iblis ini, dan memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata hanyalah seorang kakek yang lucu sekali.

Usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun. Mukanya sangat lucu seperti muka kuda, dan matanya sipit hingga seperti terpejam, telinganya berdaun lebar dan tubuhnya tinggi kurus, ditambah lagi saat melangkah, kakinya agak terpincang!

Melihat bentuk wajah dan tubuhnya orang ini, dia lebih pantas menjadi seorang pengemis yang cacat tubuhnya. Akan tetapi pakaiannya sangat mewah, berkembang-kembang, dan kepalanya yang hanya ditumbuhi sedikit rambut itu mengenakan sebuah topi sutera yang berhias bulu burung amat indahnya.

Melihat gadis yang tak dikenalnya itu tertawa biar pun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang sudah berjalan menghampiri itu mendadak menggerakkan tangan kanannya dan... lengan itu mulur lalu sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas!

Pek Eng yang tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!

"Mengapa engkau tertawa?"

Terdengar suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau!

Pek Eng memang cerdik. Walau pun dia terkejut setengah mati dan merasa ngeri ketika tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga dia bisa memandang wajah aneh itu dari jarak dekat, namun dia dapat menekan rasa takutnya dan dia malah tesenyum.

"Kakek yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang suami isteri iblis itu membawaku ke sini dan mendengar namamu, aku merasa ketakutan setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali. Akan tetapi apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak terlihat kejam, bahkan nampak baik hati walau pun berbeda dengan orang-orang biasa. Aku tertawa karena hatiku lega."

Mendengar ini Lam-hai Giam-lo tersenyum, dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya. Kalau saja Pek Eng keliru berbicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali, kemudian Pek Eng mendapatkan dirinya diturunkan di tempat tadi, di antara dua pasang suami istri yang masih berdiri dengan sikap hormat itu.

"Siapa yang membawa gadis ini ke sini dan siapa dia?" Suaranya yang parau dan pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan.

Kini Siangkoan Leng yang menjawab dan terdengar sungguh aneh oleh Pek Eng karena suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti orang yang ketakutan.

"Kami berdua yang membawanya ke sini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong dan dia bernama Pek Eng..."

"Aku tidak mengenal dan tidak peduli akan nama-nama itu!"

Lam-hai Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang beberapa tahun yang lampau dia adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wanita muda dan cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia mempunyai ambisi yang lebih tinggi dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik, yang setiap waktu siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik kepada Pek Eng biar pun gadis ini masih muda dan cukup cantik manis.

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang, Siangkoan Leng menjadi semakin gelisah. Isterinya, Ma Kim Li cepat menyambung untuk membantu suaminya. "Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Goa Iblis, dan mereka menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu."

Dengan matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar cahaya mencorong laksana mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini memandang kepada suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanya pun sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari mereka.

Tong Ci Ki mewakili suaminya berkata, "Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim Li yang ingin menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walau pun yang menangkapnya adalah Lam-hai Siang-mo. Kami menduga bahwa Bengcu tentu akan tertarik, mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai Sin-tong dan dulu pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di Tibet."

Lam-hai Giam-lo mengerutkan alis dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin nampaklah biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu, "Kita bukan anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita mempunyai cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam Sin-tong!"

"Bagus sekali!" Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah orang yang amat bijaksana, pintar dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana bisa disebut Sin-tong? Sin-tong atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk menjadi lain dari pada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam bentuknya. Akan tetapi kakakku orang biasa saja, pemuda biasa yang tiada bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu, misalnya. Bengcu telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, karena itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekali pun!"

Gadis ini memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang amat mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Dia pun kagum sekali dengan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Meski pun dia belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi menangkapnya saja, akan tetapi sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja dia dapat menjadi murid kakek sakti ini!


cerita silat online karya kho ping hoo


Ucapan yang hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!


"Nona kecil, siapakah namamu tadi?" Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak marah lagi.

"Bengcu, namaku adalah Pek Eng."

ek Eng, keberanianmu sangat menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah berada di sini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi dari sini, kau dapat mengajukan satu permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi."

Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega, akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo begini ramah dan pemurah terhadap seseorang yang sama sekali asing, kecuali terhadap para pembantunya.

Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menjawab, "Bengcu, aku percaya sepenuh hatiku bahwa seorang yang hebat seperti engkau ini, seorang Bengcu yang berkedudukan tinggi..."

"...juga seorang calon kaisar...," kata bengcu itu dengan gembira.

Tanpa memperlihatkan keheranannya karena kini dia pun mengerti bahwa kebaikan sikap bengcu itu adalah karena kata-katanya tadi, maka dia lalu melanjutkan,

"...ya, sebagai seorang calon kaisar, tentu engkau akan memegang teguh kata-kata yang sudah dikeluarkan. Bengcu, ada sebuah permintaan yang kuajukan kepadamu, yaitu aku minta agar engkau menerima aku menjadi muridmu!"

Kembali dua pasang suami isteri iblis itu terkejut melihat keberanian anak perempuan itu. Anak ini sudah beruntung sekali diberi kebebasan, pikir mereka. Masa masih minta agar diterima sebagai murid? Mereka tahu bahwa bengcu itu tidak pernah menerima murid.

Kini sepasang mata yang sipit itu membuka, dan mulut yang bentuknya maju ke depan seperti mulut kuda itu pun mengeluarkan suara ketawa yang mirip bunyi ringkik seekor kuda. "Hieeh-he-he! Engkau memang anak yang pintar sekali, Eng Eng! Mulai sekarang, engkau adalah muridku dan engkau tidak akan kecewa karena akan kuturunkan ilmu-ilmu pilihan untuk kau pelajari, bahkan engkau kuanggap sebagai puteriku sendiri!"

"Terima kasih atas kemurahan hati Bengcu!" kata Pek Eng dan dia pun segera memberi hormat.

"Ha-ha-ha, peruntungan bagus sekali, Nona!" kata Siangkoan Leng, gembira juga karena pemimpin itu tidak jadi marah kepadanya.

"Engkau membuat kami merasa iri, Nona," kata pula Kwee Siong. "Akan tetapi mengapa engkau tidak menyebut suhu atau ayah kepada Bengcu?"

Dengan sikap bersungguh-sungguh Pek Eng berkata, "Bengcu akan merasa lebih senang kalau dipanggil Bengcu, karena memang dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak akan menjadi kaisar. Kalau kupanggil ayah, aku sendiri masih mempunyai seorang ayah kandung, jadi seolah-olah membandingkan dia sederajat dengan orang lain. Kalau suhu, kiranya tidak patut seorang calon kaisar disebut suhu! Bukankah begitu, Bengcu?"

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk dan kembali dia berkata kepada dua pasang suami isteri itu. "Sekarang kalian berempat boleh memberi laporan. Dan engkau, Eng Eng, kau duduk di sini di samping Ayah!"

Dua pasang suami isteri iblis itu lalu membari laporan mengenai hasil tugas mereka dan Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk gembira ketika mendengar betapa mereka berhasil membujuk banyak orang kang-ouw untuk mengakuinya sebagai bengcu. Sesudah mereka selesai dengan laporan mereka, dia pun berkata,

"Kalian tunggu di sini, yang lainnya belum pulang dari tugas. Dan pada pertengahan bulan nanti, di waktu bulan purnama, akan berkunjung orang-orang penting. Buatlah persiapan untuk sebuah pesta besar karena kalau mereka datang semua, sedikitnya akan hadir lima belas orang. Mari, Eng Eng, mari kau ikut aku ke kebun belakang, aku sudah ingin sekali menguji kepandaianmu agar aku tahu sampai di mana tingkatmu."

Gadis itu lalu mengikuti kakek itu dengan hati girang. Tidak disangkanya bahwa nasibnya bisa berubah demikian baiknya. Setelah menjadi tawanan Lam-hai Siang-mo yang nyaris membunuhnya dan dibawa kepada datuk besar pemimpin para tokoh sesat yang sangat lihai, dia tidak diganggu, tidak dibunuh bahkan diangkat menjadi murid dan anak angkat!

Kebun itu luas sekali, ditanami pohon-pohon buah, sayur-sayuran, dan sebagian dijadikan taman bunga. Di tengah kebun itu terdapat petak rumput yang cukup luas dan memang enak sekali dipakai untuk berlatih silat. Setelah tiba di situ, Lam-hai Giam-lo duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya seperti piring, lalu berkata,

"Nah, sekarang perlihatkan kepandaianmu!"

"Bengcu, aku hanya mempelajari ilmu silat yang dangkal saja, harap jangan ditertawakan dan suka memberi petunjuk!" kata Pek Eng, sikapnya lincah tetapi tetap menghormat tak berlebihan. Sikapnya tampak akrab seolah-olah memang telah bertahun-tahun dia menjadi murid dan anak angkat iblis itu.

Pek Eng lalu bersilat. Ia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga tubuhnya berkelebatan cepat sekali, pukulan dan tendangan kakinya mengeluarkan suara angin menyambar-nyambar. Setelah selesai bersilat tangan kosong, dia lalu mengambil ranting dan menggunakannya sebagai pedang untuk bersilat pedang.

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. "Hemm, ilmu silatmu sudah lumayan, akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat para pembantuku. Aku akan menurunkan beberapa ilmu silat pilihanku saja, tapi jika engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya para pembantuku sendiri akan sukar untuk mengalahkanmu."

"Bengcu, menghadapi salah seorang di antara dua pasang suami isteri itu saja aku tidak mampu berbuat banyak!"

"He-heh-heh, tentu saja dalam keadaanmu sekarang. Akan tetapi tunggu paling lama satu tahun lagi, engkau sudah akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka. Eng Eng, sekarang ceritakan, mengapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu sampai engkau tertawan oleh Lam-hai Siang-mo?"

Ditanya demikian secara tiba-tiba, Pek Eng terkejut. Akan tetapi dia tidak mejadi gugup, bahkan tiba-tiba saja dia dapat memaksa perasaannya sehingga kedua matanya menjadi basah dengan air mata! Tidak sukar baginya untuk membuat hatinya berduka. Begitu dia mengingat keputusan orang tuanya bahwa dia dijodohkan dengan Song Bu Hok, hatinya seperti ditusuk dan air mata pun amat mudah keluar membasahi matanya.

"Ehh, engkau menangis?" tanya Lam-hai Giam-lo.

Pertanyaan ini mendorong air mata Pek Eng keluar semakin banyak lagi dan sekali ini dia benar-benar menangis, bukan bersandiwara lagi. Dia teringat betapa usahanya mencari Pek Han Siong dan Hay Hay mengalami kegagalan, juga dia teringat tentang pertunangan yang tidak disetujuinya itu sehingga dia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya.

"Bengcu," katanya sesudah dia dapat menahan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata agak kemerahan dan kedua pipi basah oleh air mata. Kini, sesudah merasa menjadi murid kakek itu, wajah yang bentuknya aneh dan menakutkan itu baginya tak lagi kelihatan menyeramkan.

"Sesungguhnya aku meninggalkan rumah orang tuaku tanpa pamit."

Kakek itu tertawa bergelak, agaknya senang sekali mendengar ulah muridnya. Bagi dia, sikap ugal-ugalan itu malah menarik dan menyenangkan!

"Kenapa engkau minggat?"

"Aku dipaksa untuk dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusukai, orang tuaku telah menerima lamaran keluarga Song. Aku lalu lari meninggalkan rumah untuk mencari kakak kandungku yang bernama Pek Han Siong."

"Di mana adanya kakakmu itu?"

Pek Eng langsung merasa menyesal menyebut nama kakaknya. Kalau sampai gurunya ini tertarik pula kepada Sing-tong, jangan-jangan kakaknya malah akan terancam bahaya. "Aku tidak tahu, Bengcu. Aku mencarinya dengan ngawur saja. Akan tetapi..." Ia teringat akan sebuah kesempatan yang baik dan juga untuk mengalihkan percakapan, "...maukah Bengcu mendatangi keluarga Song untuk membatalkan perjodohan itu? Sebagai guru dan ayah angkatku, tentu Bengcu barhak mengurus diriku dan membatalkan ikatan jodoh itu!"

"Di mana tinggalnya keluarga Song itu?"

"Ayah pemuda itu adalah ketua Kang-jiu-pang di kota Cin-an, bernama Song Un Tek dan pemuda itu bernama Song Bu Hok. Bengcu, marilah kita ke sana dan kau batalkan ikatan jodoh itu!"

Lam-hai Giam-lo tersenyum menyeringai dan suara ringkik kuda itu menunjukkan bahwa dia tertawa. "Tidak perlu aku sendiri yang ke sana. Cin-an tidak dekat dan kalau aku yang pergi ke sana, akan makan waktu lama sehingga pekerjaan di sini dapat terbengkalai..."

"Aihh, kalau begitu Bengcu hanya pura-pura saja suka kepadaku, mengangkatku sebagai murid dan bahkan anak!" Pek Eng berkata sambil cemberut dan memperlihatkan muka kecewa.

"Heh-heh, bukan begitu, muridku yang baik! Aku sendiri tidak dapat pergi ke Cin-an, akan tetapi apa sukarnya membatalkan ikatan perdojohan yang tak kau sukai itu? Pembantuku cukup banyak, dan kalau mau selamat, Kang-jiu-pang harus mentaati perintahku. Jangan khawatir, muridku, anakku, ikatan perjodohan itu batal sudah, heh-heh-heh!"

Ucapan Lam-hai Giam-lo ini bukan sekedar membual belaka sebab pada hari itu juga dia mengutus Lam-hai Siang-mo, suami isteri yang menjadi orang-orang kepercayaannya itu untuk pergi ke Cian-an, berkunjng ke perkumpulan Kang-jiu-pang dan menemui ketuanya untuk membatalkan ikatan jodoh antara Pek Eng dan Song Bu Hok.

Giranglah hati Pek Eng karena dia yakin bahwa suami isteri iblis yang amat lihai itu tentu akan dapat memaksa keluarga Song untuk membatalkan atau memutuskan ikatan jodoh yang tidak dikehendakinya itu. Dia pun semakin suka kepada gurunya maka mulailah dia melatih diri dengan tekun di bawah bimbingan Lam-hai Giam-lo. Gadis ini memang pandai sekali membawa diri sehingga Lam-hai Giam-lo yang tidak pernah mempunyai isteri atau anak itu menjadi semakin sayang dan menganggap Pek Eng seperti anaknya sendiri.


                ***************


Pertengahan bulan tiba dengan cepatnya, dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang bertugas jaga di luar segera melihat munculnya para rekannya, yaitu tokoh-tokoh yang membantu gerakan Lam-hai Giam-lo. Berturut-turut datang Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang kini selalu berdua dengan Ji Sun Bi, serta beberapa orang tosu Pek-lian-kauw. Kemudian bermunculan pula para tamu yang sudah dinanti-nanti oleh Lam-hai Giam-lo.

Oleh karena waktu yang ditentukan masih kurang satu hari lagi, maka ramailah keadaan di tempat itu. Para tamu memperoleh kamar-kamar tamu yang banyak terdapat di rumah besar itu dan dalam hal melayani para tamu itu, Lam-hai Giam-lo bersikap royal sekali. Bukan hanya hidangan lezat yang dikirim kepada mereka di kamar masing-masing, akan tetapi segala kebutuhan para tamu dipenuhi, dan mereka itu dilayani laksana tamu-tamu agung saja sehingga para tamu itu merasa puas dan gembira. Malam harinya disediakan hiburan berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang berlangsung sampai jauh malam.

Pek Eng yang kini sudah menjadi murid, bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo, tidak ikut menyambut para tamu, bahkan tidak mencampuri kesibukan para pembantu gurunya itu. Dia bersembunyi saja di kamarnya karena merasa tak suka melihat sikap para pembantu gurunya.

Pada saat dia diperkenalkan kepada semua pembantu gurunya, dan ketika diperkenalkan kepada Sim Ki Liong, diam-diam dia terkejut dan merasa heran sekali bagaimana seorang pemuda yang kelihatan begitu tampan, halus dan sama sekali tidak mencerminkan watak jahat, dapat menjadi pembantu gurunya yang mengepalai para tokoh sesat.

Pek Eng tahu bahwa dia hidup di antara para datuk sesat, bahwa gurunya adalah seorang tokoh besar golongan hitam. Akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini. Dia berada di situ hanya karena ingin mempelajari ilmu silat tinggi dari Lam-hai Giam-lo dan dia tidak akan mau mencampuri urusan persekutuan yang sedang dikerjakan oleh gurunya beserta para pembantunya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncul Lam-hai Siang-mo yang disambut oleh Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, berempat saja. Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itu lalu menuturkan pelaksanaan tugas mereka pergi berkunjung ke Cin-an, mencari perkumpulan Kang-jiu-pang yang diketuai oleh Song Un Tek untuk membatalkan ikatan tali perjodohan antara Pek Eng dan puteranya, Song Bu Hok.

Kedatangan Lam-hai Siang-mo disambut keluarga itu dengan rasa heran karena mereka belum pernah berjumpa dengan suami isteri iblis itu walau pun tentu saja mereka pernah mendengar nama besar mereka. Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang itu keluar bersama adiknya, Song Un Sui dan puteranya Song Bu Hok, diikuti pula oleh dua puluh orang lebih anggota Kang-jiu-pang. Dengan heran Song Un Tek menyambut suami isteri itu yang tadi memperkenalkan diri kepada penjaga dan minta supaya Ketua Kang-jiu-pang keluar untuk bicara dengan mereka.

Biar pun dia adalah seorang ketua perkumpulan yang cukup terkenal, Song Un Tek yang sudah mendengar bahwa yang datang adalah suami isteri yang sangat terkenal di dunia kang-ouw, segera memberi hormat kepada mereka.

"Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Ji-wi yang nama besarnya telah kami dengar. Akan tetapi, mari silakan masuk ke dalam dan duduk di ruangan tamu agar kita dapat bicara dengan enak."

Suami isteri itu tidak membalas penghormatan tuan rumah, lalu dengan sikap angkuh dan dingin Singkoan Leng berkata. "Tidak usah masuk, di sini pun kita dapat bicara!"

Melihat sikap ini, keluarga Song sudah merasa tak suka, juga para anggota Kang-jiu-pang menganggap bahwa dua orang tamu ini sangat kasar dan tidak menghargai sopan santun sebagai tamu. Akan tetapi, Song-pangcu masih bersabar hati.

"Terserah kepada Ji-wi kalau hendak bicara di sini saja. Nah, keperluan apakah yang Ji-wi bawa sehingga memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?"

"Song-pangcu," kata pula Songkoan Leng sambil memandang tajam. "Benarkah engkau mempunyai seorang putera yang bernama Song Bu Hok, dan jika benar demikian, mana dia?"

Melihat sikap kedua orang tamu ini yang sama sekali tidak menghormati ayahnya, Song Bu Hok berseru galak, "Akulah Song Bu Hok, kalian mau apa mencariku?!"

Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menoleh, dan kini Siangkoan Leng tersenyum mengejek. "Ahh, kiranya engkau! Song-pangcu, apakah engkau masih sayang kepada puteramu?"

Kembali dia menghadapi ketua Kang-jiu-pang yang mengerutkan alisnya dengan perasaan heran, akan tetapi juga khawatir karena melihat sikap dua orang tamunya, jelas bahwa mereka datang tidak membawa niat yang baik.

"Sebenarnya, apakah yang Ji-wi maksudkan ini? Kami tidak merasa mempunyai urusan dengan Ji-wi. Harap memberi tahukan apa keperluan Jiwi datang berkunjung ke sini," kata Song-pangcu, masih bersikap hormat walau pun dia juga waspada terhadap kedua orang tamunya.

"Song-pangcu tidak merasa mempunyai urusan dengan kami, akan tetapi kami memiliki urusan dengan keluargamu. Kami datang untuk bicara tentang ikatan perjodohan antara puteramu Song Bu Hok dengan Nona Pek Eng. Benarkah ada ikatan perjodohan itu?"

"Benar, akan tetapi ada apakah?" Song Un Tek bertanya heran.

Singkoan Leng tersenyum. "Bagus! Kami datang untuk minta kepada keluarga Song agar membatalkan atau memutuskan tali perjodohan itu!"

"Ahhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut keluarga Song, juga dari beberapa orang anggota Kang-jiu-pang yang merasa terkejut sekali. Wajah Song Un Tek, menjadi merah karena rasa amarah membakar hati mereka. Keraguan memenuhi hati Song-pangcu pada waktu dia bertanya.

"Apakah Ji-wi menjadi utusan dari keluarga Pek?"

Siangkoan Leng menggelengkan kepalanya. "Kami adalah utusan dari Bengcu kami, yaitu Lam-hai Giam-lo!"

Makin kagetlah Song Un Tek dan Song Un Sui mendengar ini karena mereka juga sudah mendengar akan nama Lam-hai Giam-lo yang akhir-akhir ini telah menggemparkan dunia persilatan di bagian selatan.

"Apakah hubungan antara Lam-hai Giam-lo dengan perjodohan putera kami?" kini Song Un Sui yang galak bertanya dengan nada suara yang keras.

"Memang tidak ada hubungannya dengan perjodohan anakmu, namun Bengcu kami tidak menghendaki Nona Pek Eng berjodoh dengan Song Bu Hok!"

"Akan tetapi, kami sudah menjalin ikatan perjodohan itu dengan keluarga Pek...!"

"Tidak peduli! Sekarang Nona Pek telah menjadi murid dan juga anak angkat Bengcu, dan Bengcu menghendaki agar pertalian ini batalkan dan diputuskan!"

Marahlah Song Un Sui. "Hemm, Ji-wi sungguh terlalu. Bagaimana kalau kami tidak mau membatalkan?"

"Uuhhh! Siapa yang berani menentang perintah Bengcu akan kuhajar!"

Mendadak Ma Kim Li sudah meloncat dan menerjang Song Un Sui dengan gerakan yang amat cepat. Song Un Sui yang bertubuh gendut itu, menangkis kedua tangan lawan yang mencengkeram ke arah kepala dan dadanya, sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

"Dukkk!"

Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh yang bulat seperti bola itu terjengkang dan bergulingan. Melihat ini, Song Un Tek menjadi marah maka dia pun maju menyerang Siangkoan Leng, ada pun Song Bu Hok menyerang Ma Kim Li. Tanpa diperintah lagi para anggota Kang Jiu-pang juga sudah mencabut senjata mereka dan maju mengeroyok.

Suami isteri itu mengamuk, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan tangan kosong saja suami isteri itu berani menangkis senjata tajam, menampar, ada pun kedua kaki mereka bergerak cepat menendang, dan akibatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua murid Kang-jiu-pang terlempar ke kanan kiri dan hanya mengaduh-ngaduh, tidak mampu bangkit kembali! Kini tinggal Song Un Tek yang melawan Singkoan Leng, sedangkan Ma Kim Li dikeroyok oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok.

Sesuai nama perkumpulan yang dipimpinnya, yakni Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja), tiga orang keluarga Song ini hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan mereka saja untuk menghadapi dua orang suami isteri yang amat lihai itu. Namun hanya Ma Kim Li yang dapat ditahan oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok. Dengan pengeroyokan paman dan keponakan ini, Ma Kim Li bahkan agak terdesak. Akan tetapi di lain pihak Song Un Tek terdesak hebat oleh Singkoan Leng karena tingkat kepandaiannya memang masih kalah jauh.

Tiba-tiba Ma Kim Li mengeluarkan lengking panjang lantas ada sinar hitam kecil meluncur dari tangannya, disusul teriakan Song Bu Hok yang terpelanting roboh. Ternyata, sesudah merasa terdesak wanita ini lalu menggunakan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu jarum beracun! Memang hebat dan berbahaya sekali jarum beracun ini dan sekali lepas, sebatang jarum sudah menembus baju pemuda itu dan mengenai pundaknya, membuat dia seketika roboh dan pingsan!

Song Un Sui terkejut sekali dan kesempatan selagi dia menengok ke arah keponakannya yang roboh digunakan oleh Ma Kim Li untuk menghantam dadanya sehingga Si Gendut bulat ini pun terpelanting roboh. Hampir pada saat itu juga, Song Un Tek juga roboh oleh tendangan kaki Singkoan Leng!

Kini tidak seorang pun dari Kang-jiu-pang dapat melawan lagi. Song Un Tek dan Song Un Sui hanya dapat bangkit duduk lantas mereka berdua memandang dengan mata melotot kepada Lam-hai Siang-mo. Kemudian Ma Kim Li mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Song Un Tek sambil berkata,

"Hanya obatku ini yang mampu mengembalikan nyawa anakmu, Pangcu. Sekali ini kami hanya memberi peringatan, kalau kalian masih membangkang terhadap perintah Bengcu kami dan tidak memutuskan ikatan perdojohan itu, lain kali aku datang mengambil nyawa kalian sekeluarga!" Setelah berkata demikian, suami isteri itu segera pergi meninggalkan tempat itu.

Demikianlah laporan Lam-hai Siang-mo kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan hati gembira. Dia yakin bahwa keluarga Song itu tentu segera membatalkan pertalian jodoh itu.

Kalau saja dia tidak memesan kepada gurunya yang kemudian melanjutkan pesanan itu melalui perintahnya kepada Lam-hai Siang-mo, tentu keluarga Song sudah dibunuh dan dibasmi oleh suami isteri iblis itu! Dia memang telah memesan kepada gurunya bahwa dia hanya menginginkan supaya pertalian jodoh itu dibatalkan, dan tidak menghendaki terjadi pembunuhan atas diri keluarga Song.


                   ***************

Ruangan yang luas itu menampung para tamu yang sejak kemarin sudah berdatangan. Ada empat belas orang jumlah tamu yang datang memenuhi undangan Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah para tokoh kang-ouw dan datuk-datuk golongan hitam yang telah terkenal di dunia persilatan.

Kecuali empat belas orang tamu ini, di sana hadir pula para pembantu Lam-hai Giam-lo yang diandalkan, yaitu Lam-hai Song-mo, sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan tidak ketinggalan pula Sim Ki Liong yang sekarang bahkan telah dianggap pembantu terpandai oleh Lam-hai Giam-lo. Tentu saja di antara para tamu itu terdapat tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang sudah lebih dulu bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo.

Setelah membuka rapat dan mengucapkan selamat datang, lebih dahulu Lam-hai Giam-lo minta pendapat para tamunya yang dihormati itu apakah mereka setuju kalau dia menjadi bengcu dan memimpin mereka semua dalam suatu kelompok yang kuat. Sebagian besar yang sudah mengenai dan tahu akan kelihaian Lam-hai Giam-lo menyatakan setuju, akan tetapi ada beberapa orang yang merasa sangsi.

Seorang di antara mereka segera bangkit berdiri. "Nanti dulu, Lam-hai Giam-lo, sebelum kami bisa menerimamu sebagai Bengcu, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui mengapa engkau mempersatukan kita semua dan mengangkat dirimu menjadi pemimpin."

Beberapa orang yang tadi masih merasa sangsi mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan ini dan Lam-hai Giam-lo melihat pula hal ini. Meski pun hatinya merasa tidak senang, namun ketika melihat bahwa ada beberapa orang tokoh yang masih sangsi, dia pun bersikap ramah. Dia memandang kepada orang yang mengajukan pertanyaan tadi.

Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh tinggai kurus. Akan tetapi yang sangat mencolok adalah pakaiannya karena pakaian itu putih polos seperti pakaian orang yang sedang berkabung. Akan tetapi semua orang yang hadir tahu belaka bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dia bernama Kim San, Ketua dari Kui-kok-pang.

Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) adalah perkumpulan golongan hitam yang amat terkenal dan berada di Kui-san-kok, yaitu Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san. Kim San hendak melanjutkan pekerjaan yang dulu dilakukan kedua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek Kui-kok Siang-mo (Sepasang Iblis dari Kui-kok) yang mendirikan Kui-kok-pang, dua orang tokoh yang termasuk dalam kelompok Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis). Seperti yang diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, kakek dan nenek iblis ini tewas di tangan Ratu Iblis.

Seperti juga mendiang kedua orang gurunya, selain berpakaian serba putih, Kim San atau Kui-kok-pangcu (Ketua Kui-kok-pang) ini juga mempunyai wajah yang putih pucat laksana wajah mayat. Tetapi hal ini bukan menjadi tanda bahwa dia mengidap penyakit, melainkan karena dia telah menguasai ilmu sinkang yang luar biasa dan membuat mukanya menjadi pucat dan putih.

"Keraguan Kui-kok-pangcu dan pertanyaan tadi memang pantas karena agaknya engkau belum mengerti akan maksud kami. Para saudara yang juga masih bersangsi hendaknya suka mendengarkan baik-baik. Kini keadaan pemerintah sangat kuat dan para pendekar menyembunyikan diri semua. Hal ini hanya menunjukkan bahwa kini golongan kita dalam keadaan amat lemah sehingga dianggap tidak ada saja oleh para pendekar sombong itu. Bukankah hal ini amat merendahkan martabat kita yang dikenal sebagai golongan hitam? Dahulu kita pernah mengalami masa jaya, pada saat Empat Setan memimpin dunia hitam dibantu oleh Tiga Belas Iblis. Kemudian muncul Raja dan Ratu Iblis yang mengambil alih kekuasaan, akan tetapi malah membawa kita ke dalam kehancuran."

Kui-kok-pangcu mengangguk-angguk. Kedua orang gurunya itu pun tewas di tangan Ratu Iblis.

"Kalian semua tentu tahu bahwa Empat Setan terdiri dari mendiang Guruku Lam Kwi Ong, mendiang Susiok (Paman Guru) See Kwi Ong dan masih ada dua orang lagi, yaitu Susiok Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang susiok ini sekarang entah berada di mana, namun kalau pun belum meninggal dunia tentu juga sudah amat tua sehingga tidak dapat diharapkan lagi. Nah, sekarang tinggal aku seorang diri yang menjadi penerus dari Empat Setan! Kini murid-murid Tiga Belas Iblis mulai banyak disebut orang, di antaranya bahkan engkau sendiri, Kui-kok-pangcu, yang merupakan murid dari mendiang Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dua orang tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis). Sekarang kalau bukan aku yang memimpin, habis mau siapa lagi? Dan kalau bukan kita bersama yang bangkit untuk memperoleh kembali kejayaan masa dulu, siapa lagi?"

Pek Eng juga hadir di situ. Sejak tadi dia hanya duduk di belakang kursi Lam-hai Giam-lo dan tidak bicara, hanya mendengarkan saja dan dia merasa kagum kepada gurunya yang demikian berwibawa dan ditakuti para tokoh yang aneh-aneh ini.

Hatinya lega dan gembira bukan main mendengar laporan Lam-hai Siang-mo tadi bahwa ikatan jodoh antara dia dan Song Bu Hok sudah dibikin putus! Dia tahu bahwa tentu orang tuanya akan marah sekali, akan tetapi hal itu akan dihadapinya kelak. yang penting, pihak keluarga Song sudah menerima pembatalan itu. Kini dia telah bebas!

Kui-kok-pangcu Kim San mengangguk-angguk setuju setelah mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi segera bangkit berdiri seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh cebol, hanya setinggi leher Pek Eng, kepalanya kecil tapi tubuhnya besar dan nampak kokoh kuat,. Suaranya juga kecil seperti kepalanya ketika dia berkata lantang seperti tikus menjerit-jerit.

"Tetapi apa maksudnya diadakan persekutuan ini? Apakah semua pekerjaan kita, baik itu perampokan, pencurian, pembajakan, penguasaan tempat judi dan pelacuran, semua itu harus dilakukan beramai-ramai? Kalau tidak ada tujuan yang jelas, tentu saja aku merasa ragu-ragu untuk menggabungkan diri. Harus dilihat lebih dahulu apakah penggabungan ini akan menguntungkan kita ataukah sebaliknya."

"Tentu saja menguntungkan!" kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang orang cebol itu.

Si Cebol ini pun bukan orang sembarangan karena dia terkenal dengan nama julukannya yang menyeramkan, Hek-hiat Mo-ko (Iblis Berdarah Hitam)! Belasan tahun yang lampau orang mengenal nama besar Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, cucu keponakan murid dari iblis betina Hek-hiat Mo-li yang juga pernah menggemparkan dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu.

Dan sekarang keturunan terakhir yang mewarisi ilmu kepandaian mereka adalah Hek-hiat Mo-ko inilah. Akan tetapi jangan menganggap ringan tubuhnya yang cebol, karena orang ini telah mampu menguasai ilmu mukjijat sehingga mengakibatkan darahnya benar-benar berwarna hitam, sesuai dengan julukannya.

"Tentu saja menguntungkan, Hek-hiat Mo-ko," Lam-hai Giam-lo mengulang kata-katanya kembali. "Kita masing-masing masih tetap mengurus pekerjaan sendiri tanpa boleh saling mengganggu, bahkan dengan adanya penggabungan ini maka kita dapat saling bantu bila mana menghadapi kesulitan. Kita juga dapat menampung dana yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan untuk membantu saudara kita yang sedang dilanda kekurangan. Kalau kita bersatu dan memperlihatkan sikap tegas, memiliki kekuatan besar, tentu pemerintah tidak akan berani menekan kita, dan para pendekar pun tidak akan mampu berbuat seenaknya terhadap kita."

"He-he-heh-heh!" Hek-hiat Mo-ko terkekeh. "Tentu semua orang akan selalu mengatakan kekurangan. Apakah kekayaanmu akan cukup untuk membantu mereka semua, Lam-hai Giam-lo? Dana yang dibutuhkan akan amat besar untuk membantu saudara-saudara kita yang kekurangan!"

"Tidak usah khawatir!" kata Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti ringkik kuda, "Sumbangan akan mengalir dari mereka yang merasa diuntungkan oleh persekutuan ini, lagi pula di sini sudah hadir seorang tamu agung yang mempunyai kekayaan cukup besar untuk menjadi tulang punggung kita dalam hal menghimpun dana. Perkenalkan, saudara sekalian, inilah Saudara Kulana, tamu agung kita itu!"

Seorang di antara para tamu yang sejak tadi hanya duduk diam saja, kini bangkit berdiri. Dia adalah seorang lelaki yang usianya empat puluh tahun lebih, pakaiannya aneh namun indah, dengan kepala dibungkus kain kepala warna-warni dan dihiasi emas permata yang berbentuk burung merak indah sekali. Tubuhnya sedang saja, tetapi sikapnya berwibawa seperti sikap seorang bangsawan tinggi dan wajahnya cukup anggun.

Dia memang seorang bangsawan tinggi dari Birma. Karena kepandaiannya yang sangat tinggi, dia pernah berjasa besar dan berkat kemampuannyalah maka berkali-kali tentara dari Tiongkok dapat dicegah menguasai Birma. Akan tetapi, akhirnya Kulana yang masih berpangkat pangeran mempunyai ambisi untuk merebut tahta kerajaan. Dia ketahuan dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negerinya membawa harta kekayaan berupa emas permata yang tak ternilai saking banyaknya.

Sejak tadi Kulana hanya mendengarkan saja, akan tetapi matanya sering kali menyambar ke arah gadis manis yang duduk di belakang Lam-hai Giam-lo dengan pandangan mata penuh kagum dan gairah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang Kulana bangkit dan membungkuk ke kanan kiri, lalu bekata dengan suara agak asing namun cukup jelas,

"Aku sudah mendengar semuanya dan apa yang dikatakan oleh Bengcu Lam-hai Giam-lo memang benar. dia patut menjadi Bengcu kita dan aku sanggup membantu. Bukan hanya bersekutu agar kedudukan kita menjadi kuat. Bahkan lebih dari itu. Kita dapat mendirikan sebuah pemerintahan tandingan untuk menentang pemerintah yang selalu menekan kita. Kalau perlu, ketika saatnya sudah masak kita rebut tahta kerajaan. Kita, semua anggota persekutuan kita, yang akan duduk di kursi-kursi pemerintahan, menguasai seluruh negeri dan mengadakan peraturan-peraturan baru! Akan tetapi aku harus lebih dulu melihat bukti kesetiaan kalian, baru aku mau membantu."

Semua orang terkejut sekali, terbelalak memandang kepada orang asing itu. Begitu tinggi dan besar cita-citanya! Merampas tahta kerajaan lalu mereka semua menjadi pembesar-pembesar tinggi!

Macam-macam bayangan memasuki pikiran mereka. Ada yang membayangkan dia kelak menjadi menteri pajak, ada yang ingin menjadi menteri keuangan, tentu saja dengan harta yang belimpahan, ada yang ingin menjadi menteri pengadilan agar dia dapat sesuka hati menghukum mereka yang tak disukainya. Pendeknya ucapan Kulana tadi telah membuat mereka mengkhayal yang muluk-muluk, maka otomatis mereka mengangguk-angguk dan merasa tertarik. Akan tetapi Kim San, Ketua Kui-kok-pang, masih merasa penasaran dan dia pun bangkit berdiri.

"Saudara Kulana boleh jadi seorang yang berpengetahuan luas dan kaya raya, akan tetapi kami semua hanyalah orang-orang kasar yang selalu mengandalkan kekuatan dan ilmu silat. Bagaimana mungkin dapat terjalin kerja sama antara engkau dan kami?" Ucapan ini jelas menyatakan keraguan Ketua Kui-kok-pang itu terhadap diri Kulana yang hanya kaya saja akan tetapi kelihatan seperti orang yang lemah.

Mendengar ucapan ini, Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara ketawanya yang terdengar menyeramkan, persis suara kuda meringkik, "Hyeh-heh-hehh! Kim-pangcu, engkau belum mengenal siapa adanya Saudara Kulana..."

Tiba-tiba dia menghentikan ucapannya sebab pada saat itu pula terjadi kegaduhan di pintu masuk. Terdengar seruan-seruan dan tampak dua orang anggota keamanan yang berjaga di depan pintu terlempar masuk ke kanan kiri kemudian seorang gadis melangkah masuk dengan tenangnya.

Kiranya dua orang penjaga itu tadi hendak mencegah dia masuk, tetapi sekali mendorong gadis itu telah membuat mereka terpental lalu bangkit dan memandang dengan kaget dan heran. Lam-hai Giam-lo sendiri mengerutkan alisnya dan memandang marah melihat ada seorang gadis muda begitu berani untuk menggangu rapat penting itu.

"Bengcu... lapor... Dia... dia tetap memaksa untuk masuk biar pun sudah kami cegah dan halangi," kata seorang di antara dua penjaga yang didorong roboh tadi.

"Hemm, Nona yang lancang, siapakah engkau?!" bentak Lam-hai Giam-lo, akan tetapi dia masih merasa sungkan untuk turun tangan mengingat bahwa dia adalah seorang bengcu ada pun pengganggu itu hanya seorang gadis muda yang usianya belum ada dua puluh tahun.

"Bengcu, biar aku yang menghajarnya!"

Pek Eng merasa marah juga melihat pengacau itu sama sekali tak menghormati gurunya, maka sekali bergerak dia sudah meloncat ke depan gadis itu. Gadis itu hanya melirik saja kepada Pek Eng, akan tetapi agaknya merasa heran menemukan seorang gadis seperti Pek Eng berada di antara para datuk sesat itu.

"Hemm, anak kecil, siapa engkau? Jangan mencampuri urusan ini dan pergilah," gadis itu berkata, sikapnya sangat tenang dan memandang rendah. Pek Eng yang berwatak galak itu menjadi semakin penasaran karena disebut anak kecil.

"Namaku Pek Eng dan aku adalah murid Bengcu Lam-hai Giam-lo! Engkaulah yang harus minggat dari sini dan jangan coba-coba membikin kacau. Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu menerobos masuk seperti ini!"

Dara itu pun masih muda, nyaris sebaya Pek Eng. Kulitnya putih mulus, rambutnya yang panjang itu digelung menjadi dua, dan tubuhnya ramping. Wajahnya cantik sekali, dengan muka bulat telur, mata tajam, hidung kecil mancung, bibirnya merah membasah dan ada setitik tahi lalat pada dagunya yang menambah kemanisannya.

"Hemm, siapa adanya aku tidak perlu diketahui orang! Ada pun kedatanganku ini tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Aku hanya minta supaya suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang bernama Kwee Siong dan Tong Ci Ki, juga suami Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, cepat maju ke ini!"

Mendengar nama mereka disebut, dua pasang suami isteri iblis itu menjadi marah. Maka mereka pun segera bangkit dari tempat duduk mereka.

"Kami adalah Lam-hai Siang-mo!" bentak Ma Kim Li.

"Kami sepasang suami iteri Goa Iblis Pantai Selatan, engkau mau apa menyebut nama kami?!" bentak pula Tong Ci Ki.

Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian, atau seperti yang dianggapnya sendiri, Cu Bi Lian karena sejak kecil dia dijadikan anak angkat oleh suami isteri Cu Pak Sin. Seperti telah diceritakan pada bagian depan, ketika terjadi perkelahian antara dua kakek Iblis Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi melawan dua pasang suami isteri iblis yang dibantu banyak anak buahnya, dua orang kakek itu mengamuk dan karena orang kampung dapat diajak oleh dua pasang suami isteri iblis itu untuk mengeroyok, maka banyak orang kampung termasuk pula Cu Pak Sin dan isterinya, tewas di tangan dua orang kakek itu.

Mereka mengatakan bahwa Cu Pak Sin dan isterinya terpaksa dibunuh karena orang itu sudah berpihak kepada dua pasang suami isteri iblis. Dengan demikian, kematian Cu Pak Sin beserta isterinya adalah akibat dari ulah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan.

Inilah sebabnya kenapa Bi Lian mencari dua pasang suami isteri iblis ini untuk membalas kematian ayah ibunya, yang sebenarnya bukanlah ayah ibu kandungnya. Pada waktu dia bertemu dengan Hay Hay, dari pemuda itu dia mendengar bahwa dua pasang suami isteri yang dianggapnya musuh besar itu berada di daerah selatan, maka dia pun mencari-cari dan akhirnya mendapat keterangan bahwa dia dapat menemukan mereka di tempat ini.

Saat tadi dia tiba di depan pintu gerbang dan melihat banyak orang berjaga dengan ketat, dia tidak mau menimbulkan keributan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melompati pagar tembok tanpa diketahui penjaga. Akan tetapi ketika dia sampai di depan pintu tempat diadakannya rapat dan hendak masuk, dua orang penjaga menghadangnya maka terpaksa dia mendorong mereka sampai terpelanting ke dalam ruangan itu.

Ketika dua pasang suami isteri itu bangkit memperkenalkan diri, Bi Lian memandang pada mereka dengan sinar mata tajam. "Bagus, akhirnya kalian dapat juga kutemukan!"

"Hemm, sesudah bertemu, engkau mau apakah?!" bentak Siangkoan Leng marah karena dia melihat betapa gadis muda itu sama sekali tidak menghormati mereka, bahkan terlihat memandang rendah.

"Kau masih bertanya lagi mau apa? Mau membunuh kalian berempat tentu saja!" jawab Bi Lian.

"Bocah lancang mulut!" Ma Kim Li membentak kemudian dia pun meloncat ke depan dan langsung menyerang Bi Lian.

Si Jarum Beracun ini meloncat ke atas dan menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar. Suaminya dan pasangan suami iseri yang lain hanya menonton saja sebab mereka percaya bahwa Ma Kim Li tentu cukup tangguh untuk menghajar gadis muda itu. Agaknya amat memalukan kalau mereka harus maju mengeroyok seorang anak yang sepantasnya menjadi anak, bahkan cucu mereka.

Tetapi Bi Lian menghadapi serangan dahsyat ini dengan tenang saja. Dia hanya kelihatan mengangkat tangan kirinya dengan jari tangan terbuka, mendorong sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

"Haiiikk!" Dan akibatnya, tubuh Ma Kim Li yang masih terapung di udara itu terdorong ke belakang lalu terbanting ke atas lantai!

Tentu saja Siangkoan Leng kaget bukan main dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia menubruk ke arah kepala Bi Lian dengan serangan dahsyat dan mematikan karena yang diserangnya adalah ubun-ubun kepala gadis itu.

Menghadapi serangan dahsyat yang jauh lebih berbahaya dari pada serangan Ma Kim Li ini, Bi Lian menggeser kakinya ke kiri, kemudian tubuhnya membalik ke kanan dan kedua tangannya mendorong. Dari posisi diserang, dia kini bahkan berbalik menjadi penyerang dari samping.

Siangkoan Leng masih mencoba menangkis ke arah kanannya, dari mana dorongan itu datang. Akan tetapi seperti juga apa yang dialami Ma Kim Li tadi, tubuhnya terdorong ke kiri lantas terbanting jatuh ke atas lantai!

Melihat ini, Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang tadinya sudah siap menyerang, kini menjadi terkejut dan meragu. Tak diduga oleh mereka bahwa gadis muda yang mendadak muncul dan menyatakan hendak membunuh mereka berempat itu demikian lihainya!

"Biar aku yang menghadapi gadis ini!" Tiba-tiba saja terdengar suara Kim San dan Ketua Kui-kok-pang ini sudah meloncat ke depan Bi Lian.

"Akan tetapi kamilah yang dia cari, Kim-pangcu!" kata Kwee Siong.

"Sudahlah, kalian berempat adalah pihak tuan rumah, tidak enak kalau aku sebagai tamu mendiamkan saja ada orang membikin kacau di sini. Hei, Nona Muda, siapa engkau dan mengapa pula engkau datang-datang hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?"

Sebagai Ketua Kui-kok-pang, Kim San telah mempunyai banyak pengalaman. Akan tetapi dia merasa heran melihat gerakan gadis itu tadi ketika demikian mudahnya merobohkan Lam-hai Siang-mo walau pun suami isteri itu tidak sampai terluka parah. Akan tetapi dia juga maklum bahwa kini di dunia para pendekar banyak bermunculan pendekar-pendekar muda yang tidak dikenalnya.

Bi Lian memandang orang tinggi kurus yang mukanya pucat seperti mayat hidup itu, lalu tersenyum mengejek dan menjawab. "Mayat hidup, aku tidak mempunyai urusan dengan kamu, karena itu aku tidak mau memperkenalkan namaku. Sebaliknya, siapakah engkau ini yang begini lancang berani mencampuri urusan pribadiku?"

Ketua Kui-kok-pang itu memiliki watak yang tinggi hati, maka melihat seorang gadis muda seperti Bi Lian tentu saja dia memandang rendah. Biar pun dara itu tadi telah merobohkan Lam-hai Siang-mo, dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena suami isteri itu kurang hati-hati dan terburu nafsu, juga karena tingkat kepandaian mereka memang masih belum mencapai tingkat tinggi seperti dia. Kini, mendengar pertanyaan Bi Lian, dia pun berkata dengan mulut menyeringai.

"Ha-ha, engkau ini gadis muda agaknya baru saja keluar dari sarang dan belum banyak mengenal tokoh dunia! Aku bernama Kim San dan akulah Ketua Kui-kok-pang! Sebaiknya engkau batalkan saja niatmu itu dan ikut bersamaku ke Hong-san untuk menjadi anggota Kui-kok-pang dan engkau akan hidup senang."

"Kui-kok-pangcu, kalau boleh aku menasehatimu, jangan engkau ikut mencampuri urusan pribadiku dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Lekaslah minggir dan biarkan mereka berempat maju, atau engkau akan menyesal nanti!" kata Bi Lian dengan sinar mata tajam seperti kilat menyambar.

"Ha-ha-ha, engkau memang anak bandel dan sombong. Nah, rasakanlah tanganku!" Kim San yang maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat ditundukkan dengan halus, sudah menerjang ke depan. Gerakannya aneh sekali, kaku seperti gerakan mayat dan setiap kali menggerakkan kaki tangan, ada hawa panas menyambar.

Melihat lawan menggunakan tangan kanan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah leher sedangkan tangan kirinya sudah siap di atas kepala, Bi Lian lalu menggeser kakinya ke belakang. Akan tetapi cepat sekali tangan kiri yang tadi mengancam di atas kepala itu menyambar turun, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Bi Lian. Gerakan itu cepat sekali dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser ke depan mengejarnya.

Melihat keanehan serta kecepatan gerakan lawan, tahulah Bi Lian bahwa lawan memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Lam-hai Siang-mo. Dia pun lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengangkat tangan untuk menangkis ke atas. Dari telapak tangannya nampak uap mengepul!

"Dukkk!"

Dua telapak tangan itu bertemu, keduanya mengandung hawa panas dan mereka berdua terdorong mundur dua langkah. Kiranya tenaga mereka seimbang dan melihat kenyataan ini, tentu saja Ketua Ku-kok-pang terkejut dan heran bukan main.

Dia mempunyai sinkang yang sangat kuat, bagaimana mungkin seorang gadis semuda itu sanggup menahan tenaganya itu, bahkan dalam adu tenaga tadi sempat membuat dirinya terdorong sampai dua langkah? Dengan hati-hati dia pun kini menerjang lagi, lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada tadi.

Bi Lian sudah mengukur tenaga lawan, maka kini dia tahu bahwa dengan mengandalkan tenaga, maka sukarlah baginya untuk menang. Dia pun cepat mengerahkan ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya dari Pak-kwi-ong. Begitu dia mengelak dan bergerak cepat, lawannya mengeluarkan seruan kaget.

Tentu saja Kim San kaget setengah mati ketika melihat betapa gadis itu tiba-tiba lenyap dari depannya kemudian hanya terlihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah membalas serangannya dari arah kirinya. Dia pun menangkis lantas berusaha mendesak lawan dengan serangan bertubi-tubi. Namun Bi Lian dapat pula mengelak dengan mudah, lalu menggunakan kegesitannya untuk menyelinap dan membalas dari berbagai jurusan.

Kim San merasa bingung juga menghadapi kecepatan gerakan gadis itu,. Dia kemudian mengeluarkan suara menggereng dan mengamuk, akan tetapi serangan-serangannya itu hampir dapat dikatakan ngawur saja karena yang diserang hanyalah tempat kosong.

Memang sulit bagi Ketua Kui-kok-pang itu menghadapi lawan yang memiliki gerakan jauh lebih cepat darinya. Dia hanya melihat bayangan berkelebatan lalu menyerang bayangan itu dengan ngawur. Sebaliknya, setiap kali Bi Lian menyerang dari sudut yang sama sekali tidak diduganya, Kim San menjadi repot dan terdesak hebat.

Sesudah lewat tiga puluh jurus, Ketua Kui-kok-pang itu mulai menjadi pening juga. Gadis itu bergerak amat lincahnya, berputar-putar sekeliling dirinya, membuat Kim San terpaksa turut berputaran dan hal ini membuatnya menjadi pusing. Pada waktu ujung kaki Bi Lian menyentuh sambungan lututnya, disusul tamparan pada pundak, Ketua Kui-kok-pang itu tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan dia pun roboh!

Khawatir jika lawannya terus menyerang sehingga akan membahayakan nyawanya, maka terpaksa Ketua Kui-kok-pang ini menggulingkan tubuhnya, lalu bergulingan terus sampai ke tempat duduk para tamu baru dia meloncat berdiri, akan tetapi roboh lagi karena kaki yang tertendang itu masih setengah lumpuh! Tapi ternyata gadis itu hanya berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengejarnya.

"Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki, kalian berempat majulah untuk menerima kematian, dan tidak perlu melibatkan orang lain yang tidak mempunyai urusan denganku," kata Bi Lian menantang empat orang itu......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12