Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 25
MELIHAT
mereka berlagak dan memandang rendah padanya, sepasang alis Pek Eng lantas
berkerut dan dia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya
bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di
Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang berwatak ugal-ugalan dan
bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pelatih itu tertawa lebar. "Nona manis, benarkah engkau adalah seorang
pendekar pedang seperti kata dia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak
memamerkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"
Karena sudah
terlanjur masuk, Pek Eng yang tak mau melayani kekurang ajaran mereka langsung
saja bertanya. "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar
dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua
orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"
Sebenarnya
pelatih itu dan para anak buahnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang
disebut Pek Eng tadi, namun pura-pura sudah mengenalnya. "Aahh, kiranya
engkau mencari mereka?"
Bukan main
girangnya hati Pek Eng. Tak diduganya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay
Hay. "Benar, tahukah engku di mana mereka?"
Pelatih itu
mengangguk-angguk. "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberi
tahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."
Pek Eng
mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. "Syarat? Syarat apa
itu?"
Pelatih itu
tertawa. "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku
sebentar. Jika engkau menang, tentu akan segera kuberi tahukan di mana mereka,
akan tetapi jika engkau kalah, maka engkau harus menemani aku pelesir selama
tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka.
Bagaimana?"
Semua lelaki
yang tadi berlatih silat tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata
memandang pada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi
panas dan kini dia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di
mana adanya dua orang pemuda yang sedang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari
alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah.
Akan tetapi
dia tetap tersenyum, bahkan mengangguk-angguk. Andai kata kalah pun, dia masih
mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurang ajaran orang ini,
pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, dia yakin bahwa dia akan
mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar jika harus
menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih amat
rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.
"Baik,
akan tetapi jika engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka,
akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!" katanya, tetap tenang dan
mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.
"Toako,
biarlah aku menangkap gadis ini untukmu!" tiba-tiba terdengar seruan
seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh
lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan,
segera melompat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk
merangkul dan menangkap gadis itu.
Kesempatan
yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini,
bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada
pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, ada pun tangan
kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!
Pek Eng
melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga terlalu lambat dan
lemah baginya itu. Dia cepat menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah
lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, ada pun tangan
kanannya sendiri cepat bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan
lawan yang akan merangkulnya, kemudian cepat sekali dia menekuk lengan kanannya
dan akhirnya dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.
"Crotttt...!"
Ujung siku
tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah,
hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Ketika
pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, Pek Eng mengangkat
kakinya dan lututnya sudah menghantam perut lawan.
"Ngekkkk...!"
Dan pemuda
itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung serta perut karena
dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih
nyeri antara hidung yang remuk dengan perut yang mulas itu. Dengan suara
bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk.
Pelatih itu
marah bukan main. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng
tak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan
tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tubuh tinggi
besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah baru saja disambar petir,
kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat bagai
monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali
gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar
itu pun terpelanting roboh.
Kini belasan
orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka sudah ada yang
membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun mereka itu tidak ada artinya bagi
Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak sangat cepat seperti seekor burung walet
yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun
satu demi satu roboh terpelanting, roboh sambil mengaduh-aduh!
Pada saat
itu pula dari pintu tengah muncul seorang kakek dan seorang nenek. Mereka
terkejut sekali melihat betapa ada seorang gadis muda merobohkan belasan orang
anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lantas memutar tubuhnya dan berseru ke
arah dalam rumah.
"Ciok
Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"
Kini
muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya
gendut dan kepalanya botak, kedua matanya seperti mata burung elang, tajam dan
lincah melirik ke sana sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini
adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang amat
terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya.
Hampir tidak
ada orang yang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain lihai, dia
mempunyai banyak anak buah dan seluruh jagoan serta tukang pukul di daerah itu
tunduk belaka kepadanya. Semua orang juga mengetahui bahwa dia mempunyai
hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Ia pandai mengambil hati
dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah
barang berharga kepada mereka.
Ketika
terjadi peristiwa keributan di pekarangan luar, saat itu Ciok Cun sedang
menerima tamu yang agaknya sangat penting karena tamu kakek dan nenek itu
diterima di ruangan paling dalam. Mereka bertiga lalu bicara dalam ruangan
tertutup, bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa
dipanggil. Tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat
kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh
berserakan oleh seorang gadis muda!
Tentu saja
Ciok Cun menjadi terkejut dan marah bukan kepalang melihat betapa belasan orang
muridnya dihajar orang, apa lagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan
murid dari tingkat atas, agaknya sudah tak mampu bangkit, kedua kakinya seperti
lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!
"Heiiii,
siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun,
Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah
engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?"
Sebagai
seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa meski pun
gadis ini masih muda, tentu mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak demikian,
tak mungkin belasan orang muridnya itu roboh semua sedangkan pakaian gadis itu
agaknya kusut pun tidak!
Mendengar
pengakuan Ciok Cun, Pek Eng lalu memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal
kakaknya dan Hay Hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka dia pun
menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.
"Harap
suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali
tidak pernah menyangka akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku
kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku
lalu masuk kemudian kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda,
apakah mereka mengenalnya. Orang tinggi besar ini memberi tahu bahwa dia
mengenal mereka dan akan memberi tahukan di mana adanya mereka asal aku mampu
mengalahkan dia. Kami lalu bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku
dan... beginilah jadinya." Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah
mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.
Ciok Cun
sendiri belum pernah mendengar kedua nama itu, maka dia pun memandang kepada
muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan, kemudian bertanya,
"Benarkah engkau mengenal dua orang yang dicari Nona ini?"
Si Tinggi
Kurus terpaksa mengaku. "Sebetulnya kami tidak mengenal mereka, kami hanya
membohongi Nona ini untuk main-main saja..."
Mendengar
ini, Pek Eng merasa dongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas
lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian dia mengomel.
"Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian
bilang tidak tahu, maka keributan ini tidak perlu terjadi. Sudahlah, jika
kalian tidak mengenal mereka, barang kali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok
Kauwsu, dan aku sungguh akan berterima kasih sekali kalau engkau dapat
menunjukkan kepadaku di mana mereka."
Ciok Cun
sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi
karena dia maklum betapa lihainya dara muda ini, dia pun bertanya.
"Siapakah mereka?"
"Yang
seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay
Hay."
Ciok Cun
mengerutkan sepasang alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum
pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun
menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal mereka."
Pek Eng
kecewa sekali. "Kalau begitu biar aku pergi saja dan sekali lagi
maafkanlah aku!" Setelah berkata demikian, Pek Eng segera membalikkan
tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.
"Nona,
tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan orang sehingga Pek Eng
membalikkan tubuhnya dan kini dia berhadapan dengan kakek dan nenek itu.
Melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang
mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Sekarang dia memperhatikan
mereka.
Kakek itu
usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang
matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda,
kurang lebih enam puluh tahun, tetapi masih nampak cantik dan pesolek karena
pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya
cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang
tua, Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.
"Engkaukah
yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?" tanyanya
sambil memandang kepada kakek itu.
"Benarkah
yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?" tanya kakek itu.
"Benar,
apakah engkau mengenal mereka?"
Kakek itu
saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu
berseru. "Mengenal mereka? Ahh, mengenal baik sekali!"
Pek Eng
memandang dengan penuh curiga. "Sekarang aku tak akan mudah percaya lagi
kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah
dibohongi orang," katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.
"Akan
tetapi aku tidak membohong!" kata pula kakek itu. "Bukankah yang
bernama Hay Hay itu seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun, wataknya
lincah gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar,
bibirnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga
pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua
Pek-sim-pang, yang dahulu ketika kecil disebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"
Pek Eng
hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar
matanya penuh harapan ditujukan kepada orang tua itu. "Aih, benar sekali,
Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"
"Bagus!"
tiba-tiba saja nenek yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh
perhatian itu kini membentak. "Nah, sekarang engkau katakan di mana adanya
Pek Han Siong itu!"
Nenek itu
bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan
kecewa. Sialan, pikirnya. Tadi dia sudah sangat kegirangan karena kakek dan nenek
itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa sangka mereka malah
bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!
"Hemm,
jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu di mana
dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat
tinggal!" Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi
tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang.
Akan tetapi
tiba-tiba nampak bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu
telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya dipalangkan
seakan-akan hendak melarang dan mencegah dia keluar!
Diam-diam
Pek Eng terkejut juga. Dari gerakan itu tadi saja dia sudah tahu bahwa nenek
itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Dia menoleh dan kakek
itu pun menghampirinya. Dia telah dikepung depan dan belakang oleh kakek dan
nenek itu.
Pek Eng
cepat mengambil keputusan. Dia harus keluar dari situ sebelum dikepung oleh
lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara,
tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang
pintu. Sepasang tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu ke
samping agar dia dapat menerobos keluar!
Akan tetapi
nenek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dorongan sepasang tangan gadis
itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek
Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa
betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.
"Engkau
tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya
Sin-tong!" kata kakek itu.
Tiba-tiba
saja tubuh kakek itu meloncat tinggi, kemudian dari atas dia menubruk dengan
kedua tangan membentuk cakar laksana seekor burung garuda yang menyambar
kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap
untuk membalas, akan tetapi lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari
atas. Maka terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kiri sambil membarengi dengan
pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.
"Dukkk!"
Pukulan itu
mengenai leher yang terasa keras bagaikan baja, tetapi cengkeraman tangan kakek
itu juga berhasil menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu pun lalu roboh dengan
kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata kakek itu tadi telah
mencengkeram jalan darahnya dan dia pun tidak mampu bangkit lagi.
Walau pun
kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh
telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun
tidak memperlihatkan rasa takut.
Dengan
sekali loncat nenek itu sudah berdiri di dekat Pek Eng. "Hayo cepat
katakan, di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tak mau mengaku, maka
terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"
Sementara
itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak-anak buahnya,
terbelalak kagum melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja kakek dan
nenek itu telah mampu menangkap gadis gadis yang amat lihai itu!
"Hebat...
hebat sekali... kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!" Dia memuji.
"Ahhh, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian
Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat!"
Nenek itu
mendengus tak menjawab, tapi kakek itu berkata, "Tingkat kepandaian
Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu jangan engkau main-main,
Ciok-kauwsu, dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."
"Kami
taat... tentu saja kami taat, apa lagi setelah Locianpwe itu demikian royal
memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."
Nenek itu
kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya lalu
memamerkan kepada Pek Eng. "Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah
maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini
bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga bisa mendatangkan siksaan yang
amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya
Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu kepada
kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!"
Pada saat
itu kebetulan seekor anjing lewat tidak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan
tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan
selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki
depan sebelah kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu
membengkak dan menghitam, dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang sangat hebat
melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan.
Diam-diam
Pek Eng merasa ngeri juga ketika melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman
nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Dia maklum bahwa nenek dan kakek itu
lihai bukan main dan dia tak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau dia
nekat melawan pun tidak akan ada gunanya. Diam-diam dia menduga-duga siapa
adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang
tadi disebut berjuluk Lam-hai Giam-lo.
Kalau saja
Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu dia akan menjadi semakin kaget dan
ngeri. Kakek dan nenek sakti itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai
Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenal mereka
sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai.
Kakek itu
bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari
keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai
Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena bayi keluarga Pek yang mereka
culik itu ternyata bukanlah Sin-tong. Kini pasangan suami isteri ini telah
bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang
diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, seorang kakek sakti yang ingin menghimpun para
datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.
Untuk
memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo telah
mengutus beberapa orang pembantunya untuk mempengaruhi kalangan sesat di daerah
selatan, mengajak mereka untuk ikut bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo
dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang
secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka
sedang membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan kota itu agar mengumpulkan
kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.
"Nah,
bagaimana, Nona?" Ma Kim Li bertanya sambil tersenyum dingin. "Engkau
memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, ataukah
engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati
pun tidak?"
"Hemmm,
nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tidak dapat memilih
mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi
sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini dan ingin mengenal
siapa adanya kalian berdua."
Girang
sekali hati suami isteri itu ketika mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka
dapat menguasai Sin-tong lantas menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu
mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih
berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan bersedia
menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia
itu.
Tentu saja
Siangkoan Leng tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah
pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan sanggup melarikan diri. Maka
dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia telah
membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri sambil memijit-mijit pundaknya
yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil
tersenyum.
"Terima
kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku
merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"
"Namaku
Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Di kalangan kang-ouw kami berdua
dikenal sebagai Lam-hai Siang-mo," kata Siangkoan Leng.
Diam-diam
dia merasa kagum sekali. Biar pun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau
tawanan mereka, gadis itu masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit
pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.
"Sekarang
katakanlah di mana kakakmu itu!" Ma Kim Li kembali mendesak.
Sejak tadi
Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan dia lalu
memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Dia lalu
memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih,
"Sudah
tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"
Suami isteri
itu sadar bahwa mereka masih berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim
Li lalu memegang tangan Pek Eng sambil berkata kepada suaminya. "Mari kita
berangkat!"
Dengan
diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar
dan ternyata beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta
berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah. Ma Kim Li lalu mengajak
Pek Eng masuk ke dalam kereta, sedangkan Siangkoan Leng duduk di depan dan
menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar
dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.
Kereta
akhirnya berhenti di sebuah tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami
isteri itu mendesak kepada Pek eng. "Hayo, sekarang katakan di mana adanya
kakakmu Pek Han Siong itu!"
Sambil
tersenyum Pek Eng memandang kepada mereka. "Kalian adalah dua orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, jika melihat usia juga kalian tentu telah
memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan
yang begitu bodoh?"
"Apa
kau bilang?!" Siangkoan Leng membentak, merasa heran sekali melihat
keberanian anak dara itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan
mereka bodoh!
"Hati-hati
dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!" nenek itu pun mengancam.
Akan tetapi
Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia telah
memperhitungkan betul semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang
ini adalah orang-orang yang dulu ikut memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong,
seperti yang sering didengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan
kakaknya, tetapi mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak
tahu di mana kakaknya berada.
"Lam-hai
Siang-mo," katanya dengan sikap seperti sedang berbicara dengan
orang-orang yang setingkat saja. "Aku tidak bermaksud untuk menghina
kalian, akan tetapi tadi kalian melihat sendiri bahwa aku datang ke persilatan
Macan Terbang itu untuk bertanya kepada mereka kalau-kalau mereka melihat
kakakku Pek Han Siong. Jelaslah bahwa aku datang untuk mencari kakakku, namun
sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya kakakku itu. Bukankah itu
pertanyaan yang amat bodoh? Jika aku mencari-cari kakakku, jelas bahwa aku
tidak tahu di mana dia berada saat ini."
Kakek dan
nenek itu saling pandang sejenak. "Hemmm, kini ceritakan bagaimana engkau
berpisah dari kakakmu itu supaya kami dapat membantumu mencarinya!" kata
Siangkoan Leng.
Semenjak
tadi Pek Eng memang telah mempersiapkan diri. "Aku dan kakakku itu sedang
melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang,
muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap kakakku. Oleh
karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, kakakku menyuruh aku menyingkir.
Mereka lantas berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar,
ternyata aku tertinggal jauh dan mereka sudah menghilang semuanya. Aku lalu
mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan."
Dia berhenti sebentar kemudian bertanya. "Apakah kalian mengenal kakakku
itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"
Suami isteri
itu saling pandang. "Apakah tiga pendeta berkepala gundul itu mengenakan
jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?" tanya Siangkoan Leng.
"Benar
sekali!" jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang dulu
pernah menyerbu rumah keluarganya.
Kembali
suami isteri itu saling pandang. "Mereka adalah para pendeta Lama dari
Tibet!" kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau dia dan
suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. "Apakah kakakmu itu kalah lalu
ditangkap dan dibawa pergi?"
"Tidak
mungkin kakakku kalah!" Pek Eng langsung berteriak seperti orang marah.
"Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar kakakku. Sayang
ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh dan kehilangan
mereka." Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. "Akan
tetapi aku yakin bahwa kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan
mencari aku sampai dapat."
"Lihai
sekalikah Pek Han Siong itu?" Ma Kim Li bertanya.
"Kakakku?
Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, jika kalian mengenal dia,
harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."
"Kami
tidak mengganggumu," kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek.
"Sudah lama kami ingin bertemu dengan kakakmu, ada urusan penting yang
ingin kami bicarakan dengan dia."
"Wah,
kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahukan dia kalau kami sudah saling
bertemu. Katakan saja ke mana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu
urusan yang mudah sekali?" Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali
kepada mereka.
Dia sengaja
tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu pula dia
mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan
itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, dia akan mempergunakan
kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu
akan membantunya bila melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan
nenek itu.
Pek Eng sama
sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki
kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa
menengok. Tempat ini memang merupakan tempat yang telah dijanjikan untuk
menunggu datangnya dua orang kawan mereka!
Ketika dua
orang penunggang kuda sudah tiba dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami
isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi,
tiba-tiba gadis itu melompat ke luar dari dalam kereta! Dia melihat bahwa dua
orang penunggang kuda itu berpakaian serba hitam dan ia bermaksud untuk
merampas seekor kuda mereka agar dia dapat melarikan diri dengan menunggang
kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja dia telah tiba dekat dengan dua orang
penunggang kuda itu.
"Tangkap
gadis itu!" terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.
Mendengar
ini, dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek
Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, tetapi keadaan
mereka membuat dia merasa terkejut dan ngeri.
Kakek
berpakaian hitam itu tinggi kurus dan sungguh pun mukanya nampak tampan akan
tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Nenek berpakaian hitam yang cantik itu
mukanya juga seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka
jadi makin nyata.
Pek Eng
merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi karena dia tahu bahwa dia tak akan
menang melawan dua orang kakek nenek yang ada di dalam kereta, maka dia lalu
bertindak nekat dan cepat dia menubruk ke depan lantas menerjang nenek pakaian
hitam itu. Kalau dia dapat merampas seekor kuda, maka dia akan melarikan diri,
pikirnya dan di antara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, dia memilih Si
Nenek. Serangannya cepat sekali dan dia mengerahkan kedua tangannya ke arah
dada nenek itu.
Pek Eng tidak
mengenal kedua orang itu dan kalau dia mengenal mereka tentu dia tidak akan
nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri
Goa Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini
tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan Lam-hai Siang-mo!
Melihat
serangan gadis itu serta mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan
lain adalah Tong Ci Ki itu langsung menyambutnya. Dia pun menangkis dengan
dorongan kedua tangannya yang digerakkan memutar hingga akibatnya, tubuh Pek
Eng terpelanting dan terpaksa dia mundur kembali sambil terhuyung sebab dia
harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh!
Kagetlah Pek
Eng dan dengan mata terbalalak dia memandang kepada kakek dan nenek yang kini
berdiri di depannya itu. Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan
suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.
Pek Eng
cepat membalikkan tubuhnya, namun dia melihat Lam-hai Siang-mo telah keluar
dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Dia sudah dikepung oleh dua
pasangan kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat, lantas
dia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
"Apa
lagi perlunya kalian menahan aku? Semuanya telah kuceritakan dengan terus terang
dan kau tidak tahu di mana adanya kakakku Pek Han Siong, tetapi aku akan
mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena ada
urusan penting. Mengapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula
kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"
Mendengar
nama Pek Han Siong disebut, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu sangat
terkejut, dan juga girang sekali.
"Ahh,
Nona kecil. Kakakmu yang bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera ketua
Pek-sim-pang?" tanya Kwee Siong.
Diam-diam
Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun amat
tertarik mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dulu
pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para
pendeta Lama di Tibet itu?
Dia lalu
membalikkan tubuhnya untuk menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki.
"Benar," katanya, "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak
Pek Han Siong?"
"Orang
she Kwee!" terdengar Siangkoan Leng berseru. "Ingat, dia adalah
tawanan kami!"
Mendengar
ucapan itu Pek Eng mendapat akal, maka dia pun melangkah maju mendekati kakek
dan nenek yang baru datang. "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya
sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa kakakku dapat bertemu.
Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak boleh
dia bertemu dengan orang sembarangan. Siapa di antara kalian yang lebih lihai,
barulah pantas kupertemukan dengan kakakku!"
Perlu
diingat bahwa semenjak belasan tahun yang lalu dua pasang suami isteri ini
pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang
dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biar pun kemudian mereka bersatu
dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.
"Hemm,
Lam-hai Siang-mo memang tamak!" kata Tong Ci Ki marah. "Kalian
mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kami berdualah yang lebih
pantas bertemu dengan kakaknya!"
"Tong
Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan
berani menghina kami?" bentak Ma Kim Li dengan marah. "Gadis itu kami
yang tangkap, dia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"
"Enak
saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa di
antara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan
gadis itu."
"Benar
begitu!" Pek Eng berseru, "Lam-hai Siang-mo memang pengecut,
beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan
dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani
mengandalkan lebarnya mulut saja!"
Lam-hai
Siang-mo menjadi marah sekali mendengar ucapan itu. Mereka berdua langsung
mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, lalu mereka menerjang ke
depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat melompat lantas
menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki, dan pada saat yang bersamaan
suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!
"Lam-hai
Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!" kata Kwee Siong.
"Bagus!
Kalian hendak merampas tawanan kami?!" bentak Siangkoan Leng.
Dan dua
pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya.
Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka di tempat itu
segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi
dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.
Melihat
betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan
melarikan diri. Dia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini
memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di sana masih
terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat
mengejarnya dengan berkuda.
Akan tetapi
perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li dia
melarikan diri, tiba-tiba saja empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu
dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya!
Hal ini mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak dia memandang
mereka, lalu berkata gagap,
"Ehh...
lalu bagaimana hasilnya? Siapa di antara kalian yang... menang...?"
Empat orang
itu cemberut! Untung mereka tadi langsung menyadari bahwa mereka telah diadu
domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka
telah dibodohi oleh seorang gadis muda!
"Bocah
setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau
sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!" bentak Ma Kim Li marah sekali.
Pek Eng
adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali.
Kini dia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka dia pun
tersenyum dan berkata, "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak
menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang sangat lihai, tidak
menjadi penasaran. Akan tetapi kalianlah yang akan menyesal karena tanpa aku,
jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"
"Sudahlah,
Lam-hai Siang-mo, tak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja
dia menghadap Lam-hai Giam-lo!" kata Tong Ci Ki.
"Menghadap
Lam-hai Giam-lo?" Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan perasaan
girang. "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali
berjumpa dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga
untuk bertemu dengan kakakku!" Dia segera melangkah untuk kembali ke
kereta sambil berkata, "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau
tunggu apa lagi?"
Empat orang
itu saling pandang, tanpa tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja
bukan adik Sin-tong, tentu mereka telah membunuh gadis ini. Perlu apa
susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi jika mereka
mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan
girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini tidak
perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan
yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua
itu bahkan akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.
Demikianlah,
Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan serta perlakuan kasar karena
sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Dia duduk di dalam kereta
bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan
nenek yang berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda
mereka.
***************
Sungai
Yang-ce adalah sungai ke dua setelah Huang-ho yang mengalir jauh dari barat ke
timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai
Yang-ce membuat lembah Yang-ce menjadi daerah yang subur sekali, apa lagi pada
bagian timur. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk
dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan di sisinya sehingga merenggut
banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.
Di dataran
tinggi Yunan, di antara bukit-bukit dan gunung yang tak terhitung banyaknya,
Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu
keruh, juga belum terlalu banyak, mengalir melalui celah-celah antara bukit,
kadang kala melalui jurang-jurang yang amat curam.
Di lereng
sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal
sebagai salah seorang di antara datuk-datuk besar golongan sesat. Seperti yang
sudah kita ketahui di bagian depan kisah ini, Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa
harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio dalam
kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar oleh dua orang musuhnya yang amat
ditakutinya, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui
Lian.
Dua orang
yang pernah nyaris dibunuhnya ini kemudian muncul dengan kepandaian yang
mengejutkan hingga beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan
mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.
Lam-hai
Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang telah banyak pengalamannya di dunia
kang-ouw, dan mempunyai banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun
cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia.
Sesudah
mengumpulkan banyak harta dari hasil pencurian-pencurian yang dilakukannya
sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo
lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah gedung
besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.
Banyak
orang-orang dari golongan sesat yang memiliki kepandaian tinggi telah bergabung
dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat
suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan
Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang sangat lihai itu sudah menjadi pembantunya
pula. Kemudian Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar
Sadis, juga dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai
Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain,
termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw.
Pengaruh
Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di
daerah selatan sebab kakek ini memiliki cita-cita untuk menentang kekuasaan
kerajaan setelah menjadi seorang yang disebut 'pengcu' (pemimpin rakyat)!
Keinginan
manusia untuk memperbesar dirinya, menambah kemuliaan serta kesenangan dirinya,
merupakan penyakit yang tidak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan
untuk menjadi lebih dari pada keadaan sekarang merupakan nafsu yang
menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang
kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin
haus.
Sekali
membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan mendapatkan apa yang belum
dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya
sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan
waspada sehingga kita dapat melihat kenyataan diri sendiri, maka kesadaran ini
secara seketika akan membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu.
Bukan
berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi
bosan hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu
tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri dan
menempatkan diri sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan
sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, sebab kita
diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca
indrya kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus mengejar kesenangan itu,
bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan
yang belum kita miliki.
Nafsu
keinginan mengejar kesenangan ini bisa saja bersembunyi di balik kata-kata yang
muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang
dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya
cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun kesemuanya itu tidak
ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau
mendapatkan sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan dari pada yang ada
sekarang ini!
Penyakit
ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, pada akhirnya dapat menimbulkan
penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang,
maka bisa menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya
lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan,
kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau
yang dikejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan,
perjinahan dan sebagainya.
Gejala yang
kelihatan pada orang yang dihinggapi penyakit itu adalah kekecewaan yang terus
menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya
hanyalah sekelumit, selewatnya bagaikan angin lalu saja karena kepuasan
sekelumit itu segera sirna lagi diburu penyakit yang ingin mengejar lebih lagi.
Orang yang
berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak
akan dapat menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan
untuk mengamati keindahan apa yang ada, namun selalu menerawang ke arah
bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh.
Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini dan hidup di saat ini,
menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.
Lam-hai
Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong, yaitu seorang di antara datuk yang
terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan
golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan
Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya direbut oleh Raja
Iblis dan Ratu Iblis.
Dia ingin
mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru.
Dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu
dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk
adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru.
Untuk
memperluas kekuasaan serta pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk
yang menjadi pembantu-pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw
agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya.
Dia tidak merasa sayang menghamburkan hartanya untuk menarik hati para tokoh
itu, seperti yang sudah dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari
selatan dengan hasil baik.
Para utusan
lainnya belum pulang kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami
isteri Goa Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai
Giam-lo. Secara diam-diam Pek Eng memperhatikan keadaan rumah besar itu dan
sekelilingnya.
Rumah itu
berdiri di lereng bukit. Walau pun terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang, rumah
itu dalam keadaan aman karena berada jauh di atas permukaan sungai itu sehingga
tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga,
di tengah sebuah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah.
Ketika
dengan halus tapi bernada memerintah para penawannya menyuruh dia turun dan
mengikuti mereka masuk ke beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu
dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka
memasuki pintu gerbang depan tadi, dia melihat belasan orang penjaga yang
nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua
pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut
oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik.
DIAM-DIAM
Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang
mewah, serta para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo
adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya
raya!
"Ngo-wi,
(Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu," kata seorang
di antara lima gadis pelayan itu.
Lam-hai
Giam-lo memang cerdik. Dia menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk
menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya supaya sebutan ini melekat pada
dirinya sehingga setiap orang akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat
yang kelak tentu saja pantas untuk menjadi kaisar apa bila gerakannya berhasil.
Dua pasang
suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu,
akan tetapi Pek Eng merasa kagum sekali. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan
itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima.
Dia tidak
tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan
penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, kedatangan mereka telah
diketahui para penyelidik yang langsung melaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa
dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang
berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.
Ruangan tamu
itu luas sekali. Terdapat banyak kursi di situ, mepet di dinding yang dihiasi
lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Pada sudut ruangan itu terdapat
pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung
ratusan orang tamu.
Dua orang
pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja di
depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yang cekatan dan
gesit, Pek Eng bisa menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat
yang cukup baik. Tanpa kata mereka menghidangkan minuman, lalu pergi lagi
meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian muncul
seorang gadis pelayan lainnya di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang
halus.
"Bengcu
datang!" Kemudian dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping
sambil membungkuk.
Dua pasang
suami isteri bangkit berdiri dan melihat ini, tanpa disuruh lagi Pek Eng juga
bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali
untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat
penting dan berkuasa itu.
Pada waktu
Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian
dan dia tak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli bukan main
seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang
amat ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami
isteri iblis ini, dan memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata
hanyalah seorang kakek yang lucu sekali.
Usianya
tentu kurang lebih enam puluh tahun. Mukanya sangat lucu seperti muka kuda, dan
matanya sipit hingga seperti terpejam, telinganya berdaun lebar dan tubuhnya
tinggi kurus, ditambah lagi saat melangkah, kakinya agak terpincang!
Melihat
bentuk wajah dan tubuhnya orang ini, dia lebih pantas menjadi seorang pengemis
yang cacat tubuhnya. Akan tetapi pakaiannya sangat mewah, berkembang-kembang,
dan kepalanya yang hanya ditumbuhi sedikit rambut itu mengenakan sebuah topi
sutera yang berhias bulu burung amat indahnya.
Melihat
gadis yang tak dikenalnya itu tertawa biar pun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang
sudah berjalan menghampiri itu mendadak menggerakkan tangan kanannya dan...
lengan itu mulur lalu sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher
baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya
terangkat ke atas!
Pek Eng yang
tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda
itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit
leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam
jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!
"Mengapa
engkau tertawa?"
Terdengar
suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri
mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau!
Pek Eng
memang cerdik. Walau pun dia terkejut setengah mati dan merasa ngeri ketika
tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga dia bisa memandang wajah
aneh itu dari jarak dekat, namun dia dapat menekan rasa takutnya dan dia malah
tesenyum.
"Kakek
yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang
suami isteri iblis itu membawaku ke sini dan mendengar namamu, aku merasa
ketakutan setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah
seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali.
Akan tetapi apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak
terlihat kejam, bahkan nampak baik hati walau pun berbeda dengan orang-orang
biasa. Aku tertawa karena hatiku lega."
Mendengar
ini Lam-hai Giam-lo tersenyum, dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya.
Kalau saja Pek Eng keliru berbicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis
itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali, kemudian Pek Eng mendapatkan
dirinya diturunkan di tempat tadi, di antara dua pasang suami istri yang masih
berdiri dengan sikap hormat itu.
"Siapa
yang membawa gadis ini ke sini dan siapa dia?" Suaranya yang parau dan
pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan.
Kini
Siangkoan Leng yang menjawab dan terdengar sungguh aneh oleh Pek Eng karena
suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti
orang yang ketakutan.
"Kami
berdua yang membawanya ke sini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah
adik dari Pek Han Siong dan dia bernama Pek Eng..."
"Aku
tidak mengenal dan tidak peduli akan nama-nama itu!"
Lam-hai
Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang beberapa tahun yang lampau dia
adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wanita muda dan
cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia mempunyai ambisi yang lebih tinggi
dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik, yang
setiap waktu siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik
kepada Pek Eng biar pun gadis ini masih muda dan cukup cantik manis.
Mendengar
ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang,
Siangkoan Leng menjadi semakin gelisah. Isterinya, Ma Kim Li cepat menyambung
untuk membantu suaminya. "Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis
ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Goa Iblis, dan mereka
menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu."
Dengan
matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar
cahaya mencorong laksana mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini
memandang kepada suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanya pun
sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari mereka.
Tong Ci Ki
mewakili suaminya berkata, "Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim
Li yang ingin menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami
berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walau pun yang menangkapnya
adalah Lam-hai Siang-mo. Kami menduga bahwa Bengcu tentu akan tertarik,
mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai
Sin-tong dan dulu pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di
Tibet."
Lam-hai
Giam-lo mengerutkan alis dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin
nampaklah biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu, "Kita bukan
anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita mempunyai
cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam
Sin-tong!"
"Bagus
sekali!" Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangannya ke
atas. "Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah orang yang amat bijaksana, pintar
dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku
Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana bisa disebut Sin-tong? Sin-tong
atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk
menjadi lain dari pada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam
bentuknya. Akan tetapi kakakku orang biasa saja, pemuda biasa yang tiada
bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu, misalnya. Bengcu telah
diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, karena
itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekali pun!"
Gadis ini
memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang amat
mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Dia pun
kagum sekali dengan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Meski pun dia
belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi
menangkapnya saja, akan tetapi sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti
bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat
ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja
timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja dia dapat menjadi murid
kakek sakti ini!
Ucapan yang
hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat
terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar
biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!
"Nona
kecil, siapakah namamu tadi?" Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya
terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga
merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak marah lagi.
"Bengcu,
namaku adalah Pek Eng."
鈥淧ek Eng, keberanianmu sangat menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah
berada di sini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi dari sini, kau dapat
mengajukan satu permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi."
Mendengar
ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega,
akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo
begini ramah dan pemurah terhadap seseorang yang sama sekali asing, kecuali
terhadap para pembantunya.
Pertanyaan
yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan
heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menjawab,
"Bengcu, aku percaya sepenuh hatiku bahwa seorang yang hebat seperti
engkau ini, seorang Bengcu yang berkedudukan tinggi..."
"...juga
seorang calon kaisar...," kata bengcu itu dengan gembira.
Tanpa
memperlihatkan keheranannya karena kini dia pun mengerti bahwa kebaikan sikap
bengcu itu adalah karena kata-katanya tadi, maka dia lalu melanjutkan,
"...ya,
sebagai seorang calon kaisar, tentu engkau akan memegang teguh kata-kata yang
sudah dikeluarkan. Bengcu, ada sebuah permintaan yang kuajukan kepadamu, yaitu
aku minta agar engkau menerima aku menjadi muridmu!"
Kembali dua
pasang suami isteri iblis itu terkejut melihat keberanian anak perempuan itu.
Anak ini sudah beruntung sekali diberi kebebasan, pikir mereka. Masa masih
minta agar diterima sebagai murid? Mereka tahu bahwa bengcu itu tidak pernah
menerima murid.
Kini
sepasang mata yang sipit itu membuka, dan mulut yang bentuknya maju ke depan
seperti mulut kuda itu pun mengeluarkan suara ketawa yang mirip bunyi ringkik
seekor kuda. "Hieeh-he-he! Engkau memang anak yang pintar sekali, Eng Eng!
Mulai sekarang, engkau adalah muridku dan engkau tidak akan kecewa karena akan
kuturunkan ilmu-ilmu pilihan untuk kau pelajari, bahkan engkau kuanggap sebagai
puteriku sendiri!"
"Terima
kasih atas kemurahan hati Bengcu!" kata Pek Eng dan dia pun segera memberi
hormat.
"Ha-ha-ha,
peruntungan bagus sekali, Nona!" kata Siangkoan Leng, gembira juga karena
pemimpin itu tidak jadi marah kepadanya.
"Engkau
membuat kami merasa iri, Nona," kata pula Kwee Siong. "Akan tetapi
mengapa engkau tidak menyebut suhu atau ayah kepada Bengcu?"
Dengan sikap
bersungguh-sungguh Pek Eng berkata, "Bengcu akan merasa lebih senang kalau
dipanggil Bengcu, karena memang dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak
akan menjadi kaisar. Kalau kupanggil ayah, aku sendiri masih mempunyai seorang
ayah kandung, jadi seolah-olah membandingkan dia sederajat dengan orang lain.
Kalau suhu, kiranya tidak patut seorang calon kaisar disebut suhu! Bukankah
begitu, Bengcu?"
Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk dan kembali dia berkata kepada dua pasang suami
isteri itu. "Sekarang kalian berempat boleh memberi laporan. Dan engkau,
Eng Eng, kau duduk di sini di samping Ayah!"
Dua pasang suami
isteri iblis itu lalu membari laporan mengenai hasil tugas mereka dan Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk gembira ketika mendengar betapa mereka berhasil
membujuk banyak orang kang-ouw untuk mengakuinya sebagai bengcu. Sesudah mereka
selesai dengan laporan mereka, dia pun berkata,
"Kalian
tunggu di sini, yang lainnya belum pulang dari tugas. Dan pada pertengahan
bulan nanti, di waktu bulan purnama, akan berkunjung orang-orang penting.
Buatlah persiapan untuk sebuah pesta besar karena kalau mereka datang semua,
sedikitnya akan hadir lima belas orang. Mari, Eng Eng, mari kau ikut aku ke
kebun belakang, aku sudah ingin sekali menguji kepandaianmu agar aku tahu
sampai di mana tingkatmu."
Gadis itu
lalu mengikuti kakek itu dengan hati girang. Tidak disangkanya bahwa nasibnya
bisa berubah demikian baiknya. Setelah menjadi tawanan Lam-hai Siang-mo yang
nyaris membunuhnya dan dibawa kepada datuk besar pemimpin para tokoh sesat yang
sangat lihai, dia tidak diganggu, tidak dibunuh bahkan diangkat menjadi murid dan
anak angkat!
Kebun itu
luas sekali, ditanami pohon-pohon buah, sayur-sayuran, dan sebagian dijadikan
taman bunga. Di tengah kebun itu terdapat petak rumput yang cukup luas dan
memang enak sekali dipakai untuk berlatih silat. Setelah tiba di situ, Lam-hai
Giam-lo duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya seperti piring, lalu
berkata,
"Nah,
sekarang perlihatkan kepandaianmu!"
"Bengcu,
aku hanya mempelajari ilmu silat yang dangkal saja, harap jangan ditertawakan
dan suka memberi petunjuk!" kata Pek Eng, sikapnya lincah tetapi tetap
menghormat tak berlebihan. Sikapnya tampak akrab seolah-olah memang telah
bertahun-tahun dia menjadi murid dan anak angkat iblis itu.
Pek Eng lalu
bersilat. Ia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya
sehingga tubuhnya berkelebatan cepat sekali, pukulan dan tendangan kakinya
mengeluarkan suara angin menyambar-nyambar. Setelah selesai bersilat tangan
kosong, dia lalu mengambil ranting dan menggunakannya sebagai pedang untuk
bersilat pedang.
Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk. "Hemm, ilmu silatmu sudah lumayan, akan tetapi
masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat para pembantuku. Aku akan
menurunkan beberapa ilmu silat pilihanku saja, tapi jika engkau sudah menguasai
ilmu-ilmu itu, kiranya para pembantuku sendiri akan sukar untuk
mengalahkanmu."
"Bengcu,
menghadapi salah seorang di antara dua pasang suami isteri itu saja aku tidak
mampu berbuat banyak!"
"He-heh-heh,
tentu saja dalam keadaanmu sekarang. Akan tetapi tunggu paling lama satu tahun
lagi, engkau sudah akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka. Eng Eng,
sekarang ceritakan, mengapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu sampai engkau
tertawan oleh Lam-hai Siang-mo?"
Ditanya
demikian secara tiba-tiba, Pek Eng terkejut. Akan tetapi dia tidak mejadi
gugup, bahkan tiba-tiba saja dia dapat memaksa perasaannya sehingga kedua
matanya menjadi basah dengan air mata! Tidak sukar baginya untuk membuat
hatinya berduka. Begitu dia mengingat keputusan orang tuanya bahwa dia
dijodohkan dengan Song Bu Hok, hatinya seperti ditusuk dan air mata pun amat
mudah keluar membasahi matanya.
"Ehh,
engkau menangis?" tanya Lam-hai Giam-lo.
Pertanyaan
ini mendorong air mata Pek Eng keluar semakin banyak lagi dan sekali ini dia
benar-benar menangis, bukan bersandiwara lagi. Dia teringat betapa usahanya
mencari Pek Han Siong dan Hay Hay mengalami kegagalan, juga dia teringat
tentang pertunangan yang tidak disetujuinya itu sehingga dia tidak ingin
kembali ke rumah orang tuanya.
"Bengcu,"
katanya sesudah dia dapat menahan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan
mata agak kemerahan dan kedua pipi basah oleh air mata. Kini, sesudah merasa
menjadi murid kakek itu, wajah yang bentuknya aneh dan menakutkan itu baginya
tak lagi kelihatan menyeramkan.
"Sesungguhnya
aku meninggalkan rumah orang tuaku tanpa pamit."
Kakek itu
tertawa bergelak, agaknya senang sekali mendengar ulah muridnya. Bagi dia,
sikap ugal-ugalan itu malah menarik dan menyenangkan!
"Kenapa
engkau minggat?"
"Aku
dipaksa untuk dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusukai, orang tuaku
telah menerima lamaran keluarga Song. Aku lalu lari meninggalkan rumah untuk
mencari kakak kandungku yang bernama Pek Han Siong."
"Di mana
adanya kakakmu itu?"
Pek Eng
langsung merasa menyesal menyebut nama kakaknya. Kalau sampai gurunya ini
tertarik pula kepada Sing-tong, jangan-jangan kakaknya malah akan terancam
bahaya. "Aku tidak tahu, Bengcu. Aku mencarinya dengan ngawur saja. Akan tetapi..."
Ia teringat akan sebuah kesempatan yang baik dan juga untuk mengalihkan
percakapan, "...maukah Bengcu mendatangi keluarga Song untuk membatalkan
perjodohan itu? Sebagai guru dan ayah angkatku, tentu Bengcu barhak mengurus
diriku dan membatalkan ikatan jodoh itu!"
"Di
mana tinggalnya keluarga Song itu?"
"Ayah
pemuda itu adalah ketua Kang-jiu-pang di kota Cin-an, bernama Song Un Tek dan
pemuda itu bernama Song Bu Hok. Bengcu, marilah kita ke sana dan kau batalkan
ikatan jodoh itu!"
Lam-hai Giam-lo
tersenyum menyeringai dan suara ringkik kuda itu menunjukkan bahwa dia tertawa.
"Tidak perlu aku sendiri yang ke sana. Cin-an tidak dekat dan kalau aku
yang pergi ke sana, akan makan waktu lama sehingga pekerjaan di sini dapat
terbengkalai..."
"Aihh,
kalau begitu Bengcu hanya pura-pura saja suka kepadaku, mengangkatku sebagai
murid dan bahkan anak!" Pek Eng berkata sambil cemberut dan memperlihatkan
muka kecewa.
"Heh-heh,
bukan begitu, muridku yang baik! Aku sendiri tidak dapat pergi ke Cin-an, akan
tetapi apa sukarnya membatalkan ikatan perdojohan yang tak kau sukai itu?
Pembantuku cukup banyak, dan kalau mau selamat, Kang-jiu-pang harus mentaati
perintahku. Jangan khawatir, muridku, anakku, ikatan perjodohan itu batal
sudah, heh-heh-heh!"
Ucapan
Lam-hai Giam-lo ini bukan sekedar membual belaka sebab pada hari itu juga dia
mengutus Lam-hai Siang-mo, suami isteri yang menjadi orang-orang kepercayaannya
itu untuk pergi ke Cian-an, berkunjng ke perkumpulan Kang-jiu-pang dan menemui
ketuanya untuk membatalkan ikatan jodoh antara Pek Eng dan Song Bu Hok.
Giranglah
hati Pek Eng karena dia yakin bahwa suami isteri iblis yang amat lihai itu
tentu akan dapat memaksa keluarga Song untuk membatalkan atau memutuskan ikatan
jodoh yang tidak dikehendakinya itu. Dia pun semakin suka kepada gurunya maka
mulailah dia melatih diri dengan tekun di bawah bimbingan Lam-hai Giam-lo.
Gadis ini memang pandai sekali membawa diri sehingga Lam-hai Giam-lo yang tidak
pernah mempunyai isteri atau anak itu menjadi semakin sayang dan menganggap Pek
Eng seperti anaknya sendiri.
***************
Pertengahan
bulan tiba dengan cepatnya, dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang
bertugas jaga di luar segera melihat munculnya para rekannya, yaitu tokoh-tokoh
yang membantu gerakan Lam-hai Giam-lo. Berturut-turut datang Min-san Mo-ko,
Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang kini selalu berdua dengan Ji Sun Bi,
serta beberapa orang tosu Pek-lian-kauw. Kemudian bermunculan pula para tamu
yang sudah dinanti-nanti oleh Lam-hai Giam-lo.
Oleh karena
waktu yang ditentukan masih kurang satu hari lagi, maka ramailah keadaan di
tempat itu. Para tamu memperoleh kamar-kamar tamu yang banyak terdapat di rumah
besar itu dan dalam hal melayani para tamu itu, Lam-hai Giam-lo bersikap royal
sekali. Bukan hanya hidangan lezat yang dikirim kepada mereka di kamar
masing-masing, akan tetapi segala kebutuhan para tamu dipenuhi, dan mereka itu
dilayani laksana tamu-tamu agung saja sehingga para tamu itu merasa puas dan
gembira. Malam harinya disediakan hiburan berupa pertunjukan tarian dan
nyanyian yang berlangsung sampai jauh malam.
Pek Eng yang
kini sudah menjadi murid, bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo, tidak ikut
menyambut para tamu, bahkan tidak mencampuri kesibukan para pembantu gurunya
itu. Dia bersembunyi saja di kamarnya karena merasa tak suka melihat sikap para
pembantu gurunya.
Pada saat
dia diperkenalkan kepada semua pembantu gurunya, dan ketika diperkenalkan
kepada Sim Ki Liong, diam-diam dia terkejut dan merasa heran sekali bagaimana
seorang pemuda yang kelihatan begitu tampan, halus dan sama sekali tidak
mencerminkan watak jahat, dapat menjadi pembantu gurunya yang mengepalai para
tokoh sesat.
Pek Eng tahu
bahwa dia hidup di antara para datuk sesat, bahwa gurunya adalah seorang tokoh
besar golongan hitam. Akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini. Dia berada di
situ hanya karena ingin mempelajari ilmu silat tinggi dari Lam-hai Giam-lo dan
dia tidak akan mau mencampuri urusan persekutuan yang sedang dikerjakan oleh
gurunya beserta para pembantunya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncul Lam-hai Siang-mo yang disambut oleh
Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu mereka bercakap-cakap di ruangan dalam,
berempat saja. Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itu lalu menuturkan
pelaksanaan tugas mereka pergi berkunjung ke Cin-an, mencari perkumpulan
Kang-jiu-pang yang diketuai oleh Song Un Tek untuk membatalkan ikatan tali
perjodohan antara Pek Eng dan puteranya, Song Bu Hok.
Kedatangan
Lam-hai Siang-mo disambut keluarga itu dengan rasa heran karena mereka belum
pernah berjumpa dengan suami isteri iblis itu walau pun tentu saja mereka
pernah mendengar nama besar mereka. Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang itu keluar
bersama adiknya, Song Un Sui dan puteranya Song Bu Hok, diikuti pula oleh dua
puluh orang lebih anggota Kang-jiu-pang. Dengan heran Song Un Tek menyambut
suami isteri itu yang tadi memperkenalkan diri kepada penjaga dan minta supaya
Ketua Kang-jiu-pang keluar untuk bicara dengan mereka.
Biar pun dia
adalah seorang ketua perkumpulan yang cukup terkenal, Song Un Tek yang sudah
mendengar bahwa yang datang adalah suami isteri yang sangat terkenal di dunia
kang-ouw, segera memberi hormat kepada mereka.
"Kami
merasa terhormat sekali menerima kunjungan Ji-wi yang nama besarnya telah kami
dengar. Akan tetapi, mari silakan masuk ke dalam dan duduk di ruangan tamu agar
kita dapat bicara dengan enak."
Suami isteri
itu tidak membalas penghormatan tuan rumah, lalu dengan sikap angkuh dan dingin
Singkoan Leng berkata. "Tidak usah masuk, di sini pun kita dapat
bicara!"
Melihat
sikap ini, keluarga Song sudah merasa tak suka, juga para anggota Kang-jiu-pang
menganggap bahwa dua orang tamu ini sangat kasar dan tidak menghargai sopan
santun sebagai tamu. Akan tetapi, Song-pangcu masih bersabar hati.
"Terserah
kepada Ji-wi kalau hendak bicara di sini saja. Nah, keperluan apakah yang Ji-wi
bawa sehingga memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?"
"Song-pangcu,"
kata pula Songkoan Leng sambil memandang tajam. "Benarkah engkau mempunyai
seorang putera yang bernama Song Bu Hok, dan jika benar demikian, mana
dia?"
Melihat
sikap kedua orang tamu ini yang sama sekali tidak menghormati ayahnya, Song Bu
Hok berseru galak, "Akulah Song Bu Hok, kalian mau apa mencariku?!"
Siangkoan
Leng dan Ma Kim Li menoleh, dan kini Siangkoan Leng tersenyum mengejek.
"Ahh, kiranya engkau! Song-pangcu, apakah engkau masih sayang kepada
puteramu?"
Kembali dia
menghadapi ketua Kang-jiu-pang yang mengerutkan alisnya dengan perasaan heran,
akan tetapi juga khawatir karena melihat sikap dua orang tamunya, jelas bahwa
mereka datang tidak membawa niat yang baik.
"Sebenarnya,
apakah yang Ji-wi maksudkan ini? Kami tidak merasa mempunyai urusan dengan
Ji-wi. Harap memberi tahukan apa keperluan Jiwi datang berkunjung ke
sini," kata Song-pangcu, masih bersikap hormat walau pun dia juga waspada
terhadap kedua orang tamunya.
"Song-pangcu
tidak merasa mempunyai urusan dengan kami, akan tetapi kami memiliki urusan
dengan keluargamu. Kami datang untuk bicara tentang ikatan perjodohan antara
puteramu Song Bu Hok dengan Nona Pek Eng. Benarkah ada ikatan perjodohan
itu?"
"Benar,
akan tetapi ada apakah?" Song Un Tek bertanya heran.
Singkoan
Leng tersenyum. "Bagus! Kami datang untuk minta kepada keluarga Song agar
membatalkan atau memutuskan tali perjodohan itu!"
"Ahhhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut keluarga Song, juga dari beberapa orang anggota
Kang-jiu-pang yang merasa terkejut sekali. Wajah Song Un Tek, menjadi merah
karena rasa amarah membakar hati mereka. Keraguan memenuhi hati Song-pangcu pada
waktu dia bertanya.
"Apakah
Ji-wi menjadi utusan dari keluarga Pek?"
Siangkoan
Leng menggelengkan kepalanya. "Kami adalah utusan dari Bengcu kami, yaitu
Lam-hai Giam-lo!"
Makin
kagetlah Song Un Tek dan Song Un Sui mendengar ini karena mereka juga sudah
mendengar akan nama Lam-hai Giam-lo yang akhir-akhir ini telah menggemparkan
dunia persilatan di bagian selatan.
"Apakah
hubungan antara Lam-hai Giam-lo dengan perjodohan putera kami?" kini Song
Un Sui yang galak bertanya dengan nada suara yang keras.
"Memang
tidak ada hubungannya dengan perjodohan anakmu, namun Bengcu kami tidak
menghendaki Nona Pek Eng berjodoh dengan Song Bu Hok!"
"Akan
tetapi, kami sudah menjalin ikatan perjodohan itu dengan keluarga Pek...!"
"Tidak
peduli! Sekarang Nona Pek telah menjadi murid dan juga anak angkat Bengcu, dan
Bengcu menghendaki agar pertalian ini batalkan dan diputuskan!"
Marahlah
Song Un Sui. "Hemm, Ji-wi sungguh terlalu. Bagaimana kalau kami tidak mau
membatalkan?"
"Uuhhh!
Siapa yang berani menentang perintah Bengcu akan kuhajar!"
Mendadak Ma
Kim Li sudah meloncat dan menerjang Song Un Sui dengan gerakan yang amat cepat.
Song Un Sui yang bertubuh gendut itu, menangkis kedua tangan lawan yang
mencengkeram ke arah kepala dan dadanya, sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Dukkk!"
Dua pasang
lengan bertemu dan akibatnya, tubuh yang bulat seperti bola itu terjengkang dan
bergulingan. Melihat ini, Song Un Tek menjadi marah maka dia pun maju menyerang
Siangkoan Leng, ada pun Song Bu Hok menyerang Ma Kim Li. Tanpa diperintah lagi
para anggota Kang Jiu-pang juga sudah mencabut senjata mereka dan maju
mengeroyok.
Suami isteri
itu mengamuk, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih, namun mereka sama sekali
tidak menjadi gentar. Dengan tangan kosong saja suami isteri itu berani
menangkis senjata tajam, menampar, ada pun kedua kaki mereka bergerak cepat
menendang, dan akibatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua murid
Kang-jiu-pang terlempar ke kanan kiri dan hanya mengaduh-ngaduh, tidak mampu
bangkit kembali! Kini tinggal Song Un Tek yang melawan Singkoan Leng, sedangkan
Ma Kim Li dikeroyok oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok.
Sesuai nama
perkumpulan yang dipimpinnya, yakni Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja),
tiga orang keluarga Song ini hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan mereka
saja untuk menghadapi dua orang suami isteri yang amat lihai itu. Namun hanya
Ma Kim Li yang dapat ditahan oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok. Dengan
pengeroyokan paman dan keponakan ini, Ma Kim Li bahkan agak terdesak. Akan
tetapi di lain pihak Song Un Tek terdesak hebat oleh Singkoan Leng karena
tingkat kepandaiannya memang masih kalah jauh.
Tiba-tiba Ma
Kim Li mengeluarkan lengking panjang lantas ada sinar hitam kecil meluncur dari
tangannya, disusul teriakan Song Bu Hok yang terpelanting roboh. Ternyata,
sesudah merasa terdesak wanita ini lalu menggunakan senjatanya yang paling dia
andalkan, yaitu jarum beracun! Memang hebat dan berbahaya sekali jarum beracun
ini dan sekali lepas, sebatang jarum sudah menembus baju pemuda itu dan
mengenai pundaknya, membuat dia seketika roboh dan pingsan!
Song Un Sui
terkejut sekali dan kesempatan selagi dia menengok ke arah keponakannya yang
roboh digunakan oleh Ma Kim Li untuk menghantam dadanya sehingga Si Gendut
bulat ini pun terpelanting roboh. Hampir pada saat itu juga, Song Un Tek juga
roboh oleh tendangan kaki Singkoan Leng!
Kini tidak
seorang pun dari Kang-jiu-pang dapat melawan lagi. Song Un Tek dan Song Un Sui
hanya dapat bangkit duduk lantas mereka berdua memandang dengan mata melotot
kepada Lam-hai Siang-mo. Kemudian Ma Kim Li mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
dan melemparkannya kepada Song Un Tek sambil berkata,
"Hanya
obatku ini yang mampu mengembalikan nyawa anakmu, Pangcu. Sekali ini kami hanya
memberi peringatan, kalau kalian masih membangkang terhadap perintah Bengcu
kami dan tidak memutuskan ikatan perdojohan itu, lain kali aku datang mengambil
nyawa kalian sekeluarga!" Setelah berkata demikian, suami isteri itu
segera pergi meninggalkan tempat itu.
Demikianlah
laporan Lam-hai Siang-mo kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sejak tadi
mendengarkan dengan hati gembira. Dia yakin bahwa keluarga Song itu tentu
segera membatalkan pertalian jodoh itu.
Kalau saja
dia tidak memesan kepada gurunya yang kemudian melanjutkan pesanan itu melalui
perintahnya kepada Lam-hai Siang-mo, tentu keluarga Song sudah dibunuh dan
dibasmi oleh suami isteri iblis itu! Dia memang telah memesan kepada gurunya
bahwa dia hanya menginginkan supaya pertalian jodoh itu dibatalkan, dan tidak
menghendaki terjadi pembunuhan atas diri keluarga Song.
***************
Ruangan yang
luas itu menampung para tamu yang sejak kemarin sudah berdatangan. Ada empat
belas orang jumlah tamu yang datang memenuhi undangan Lam-hai Giam-lo. Mereka
adalah para tokoh kang-ouw dan datuk-datuk golongan hitam yang telah terkenal
di dunia persilatan.
Kecuali
empat belas orang tamu ini, di sana hadir pula para pembantu Lam-hai Giam-lo
yang diandalkan, yaitu Lam-hai Song-mo, sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai
Selatan, Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan tidak ketinggalan pula Sim Ki Liong yang
sekarang bahkan telah dianggap pembantu terpandai oleh Lam-hai Giam-lo. Tentu
saja di antara para tamu itu terdapat tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang sudah
lebih dulu bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo.
Setelah
membuka rapat dan mengucapkan selamat datang, lebih dahulu Lam-hai Giam-lo
minta pendapat para tamunya yang dihormati itu apakah mereka setuju kalau dia
menjadi bengcu dan memimpin mereka semua dalam suatu kelompok yang kuat.
Sebagian besar yang sudah mengenai dan tahu akan kelihaian Lam-hai Giam-lo
menyatakan setuju, akan tetapi ada beberapa orang yang merasa sangsi.
Seorang di
antara mereka segera bangkit berdiri. "Nanti dulu, Lam-hai Giam-lo,
sebelum kami bisa menerimamu sebagai Bengcu, lebih dulu aku ingin sekali
mengetahui mengapa engkau mempersatukan kita semua dan mengangkat dirimu
menjadi pemimpin."
Beberapa
orang yang tadi masih merasa sangsi mengangguk-angguk tanda setuju dengan
pernyataan ini dan Lam-hai Giam-lo melihat pula hal ini. Meski pun hatinya
merasa tidak senang, namun ketika melihat bahwa ada beberapa orang tokoh yang
masih sangsi, dia pun bersikap ramah. Dia memandang kepada orang yang
mengajukan pertanyaan tadi.
Orang itu
berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh tinggai kurus. Akan tetapi
yang sangat mencolok adalah pakaiannya karena pakaian itu putih polos seperti
pakaian orang yang sedang berkabung. Akan tetapi semua orang yang hadir tahu
belaka bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dia bernama Kim San, Ketua dari
Kui-kok-pang.
Kui-kok-pang
(Perkumpulan Lembah Iblis) adalah perkumpulan golongan hitam yang amat terkenal
dan berada di Kui-san-kok, yaitu Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san. Kim San
hendak melanjutkan pekerjaan yang dulu dilakukan kedua orang gurunya, yaitu
kakek dan nenek Kui-kok Siang-mo (Sepasang Iblis dari Kui-kok) yang mendirikan
Kui-kok-pang, dua orang tokoh yang termasuk dalam kelompok Cap-sha-kwi (Tiga
Belas Iblis). Seperti yang diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, kakek dan
nenek iblis ini tewas di tangan Ratu Iblis.
Seperti juga
mendiang kedua orang gurunya, selain berpakaian serba putih, Kim San atau
Kui-kok-pangcu (Ketua Kui-kok-pang) ini juga mempunyai wajah yang putih pucat
laksana wajah mayat. Tetapi hal ini bukan menjadi tanda bahwa dia mengidap
penyakit, melainkan karena dia telah menguasai ilmu sinkang yang luar biasa dan
membuat mukanya menjadi pucat dan putih.
"Keraguan
Kui-kok-pangcu dan pertanyaan tadi memang pantas karena agaknya engkau belum
mengerti akan maksud kami. Para saudara yang juga masih bersangsi hendaknya
suka mendengarkan baik-baik. Kini keadaan pemerintah sangat kuat dan para
pendekar menyembunyikan diri semua. Hal ini hanya menunjukkan bahwa kini
golongan kita dalam keadaan amat lemah sehingga dianggap tidak ada saja oleh
para pendekar sombong itu. Bukankah hal ini amat merendahkan martabat kita yang
dikenal sebagai golongan hitam? Dahulu kita pernah mengalami masa jaya, pada
saat Empat Setan memimpin dunia hitam dibantu oleh Tiga Belas Iblis. Kemudian
muncul Raja dan Ratu Iblis yang mengambil alih kekuasaan, akan tetapi malah
membawa kita ke dalam kehancuran."
Kui-kok-pangcu
mengangguk-angguk. Kedua orang gurunya itu pun tewas di tangan Ratu Iblis.
"Kalian
semua tentu tahu bahwa Empat Setan terdiri dari mendiang Guruku Lam Kwi Ong,
mendiang Susiok (Paman Guru) See Kwi Ong dan masih ada dua orang lagi, yaitu
Susiok Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang susiok ini sekarang entah
berada di mana, namun kalau pun belum meninggal dunia tentu juga sudah amat tua
sehingga tidak dapat diharapkan lagi. Nah, sekarang tinggal aku seorang diri
yang menjadi penerus dari Empat Setan! Kini murid-murid Tiga Belas Iblis mulai
banyak disebut orang, di antaranya bahkan engkau sendiri, Kui-kok-pangcu, yang
merupakan murid dari mendiang Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dua orang tokoh
Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis). Sekarang kalau bukan aku yang memimpin, habis
mau siapa lagi? Dan kalau bukan kita bersama yang bangkit untuk memperoleh kembali
kejayaan masa dulu, siapa lagi?"
Pek Eng juga
hadir di situ. Sejak tadi dia hanya duduk di belakang kursi Lam-hai Giam-lo dan
tidak bicara, hanya mendengarkan saja dan dia merasa kagum kepada gurunya yang
demikian berwibawa dan ditakuti para tokoh yang aneh-aneh ini.
Hatinya lega
dan gembira bukan main mendengar laporan Lam-hai Siang-mo tadi bahwa ikatan
jodoh antara dia dan Song Bu Hok sudah dibikin putus! Dia tahu bahwa tentu
orang tuanya akan marah sekali, akan tetapi hal itu akan dihadapinya kelak.
yang penting, pihak keluarga Song sudah menerima pembatalan itu. Kini dia telah
bebas!
Kui-kok-pangcu
Kim San mengangguk-angguk setuju setelah mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo. Akan
tetapi segera bangkit berdiri seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh
tahun yang bertubuh cebol, hanya setinggi leher Pek Eng, kepalanya kecil tapi
tubuhnya besar dan nampak kokoh kuat,. Suaranya juga kecil seperti kepalanya
ketika dia berkata lantang seperti tikus menjerit-jerit.
"Tetapi
apa maksudnya diadakan persekutuan ini? Apakah semua pekerjaan kita, baik itu
perampokan, pencurian, pembajakan, penguasaan tempat judi dan pelacuran, semua
itu harus dilakukan beramai-ramai? Kalau tidak ada tujuan yang jelas, tentu
saja aku merasa ragu-ragu untuk menggabungkan diri. Harus dilihat lebih dahulu
apakah penggabungan ini akan menguntungkan kita ataukah sebaliknya."
"Tentu
saja menguntungkan!" kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang orang cebol
itu.
Si Cebol ini
pun bukan orang sembarangan karena dia terkenal dengan nama julukannya yang
menyeramkan, Hek-hiat Mo-ko (Iblis Berdarah Hitam)! Belasan tahun yang lampau
orang mengenal nama besar Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, cucu keponakan
murid dari iblis betina Hek-hiat Mo-li yang juga pernah menggemparkan dunia
kang-ouw puluhan tahun yang lalu.
Dan sekarang
keturunan terakhir yang mewarisi ilmu kepandaian mereka adalah Hek-hiat Mo-ko
inilah. Akan tetapi jangan menganggap ringan tubuhnya yang cebol, karena orang
ini telah mampu menguasai ilmu mukjijat sehingga mengakibatkan darahnya
benar-benar berwarna hitam, sesuai dengan julukannya.
"Tentu
saja menguntungkan, Hek-hiat Mo-ko," Lam-hai Giam-lo mengulang
kata-katanya kembali. "Kita masing-masing masih tetap mengurus pekerjaan
sendiri tanpa boleh saling mengganggu, bahkan dengan adanya penggabungan ini
maka kita dapat saling bantu bila mana menghadapi kesulitan. Kita juga dapat
menampung dana yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan untuk membantu saudara kita
yang sedang dilanda kekurangan. Kalau kita bersatu dan memperlihatkan sikap
tegas, memiliki kekuatan besar, tentu pemerintah tidak akan berani menekan
kita, dan para pendekar pun tidak akan mampu berbuat seenaknya terhadap
kita."
"He-he-heh-heh!"
Hek-hiat Mo-ko terkekeh. "Tentu semua orang akan selalu mengatakan
kekurangan. Apakah kekayaanmu akan cukup untuk membantu mereka semua, Lam-hai
Giam-lo? Dana yang dibutuhkan akan amat besar untuk membantu saudara-saudara
kita yang kekurangan!"
"Tidak
usah khawatir!" kata Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti ringkik
kuda, "Sumbangan akan mengalir dari mereka yang merasa diuntungkan oleh
persekutuan ini, lagi pula di sini sudah hadir seorang tamu agung yang
mempunyai kekayaan cukup besar untuk menjadi tulang punggung kita dalam hal
menghimpun dana. Perkenalkan, saudara sekalian, inilah Saudara Kulana, tamu
agung kita itu!"
Seorang di
antara para tamu yang sejak tadi hanya duduk diam saja, kini bangkit berdiri.
Dia adalah seorang lelaki yang usianya empat puluh tahun lebih, pakaiannya aneh
namun indah, dengan kepala dibungkus kain kepala warna-warni dan dihiasi emas
permata yang berbentuk burung merak indah sekali. Tubuhnya sedang saja, tetapi
sikapnya berwibawa seperti sikap seorang bangsawan tinggi dan wajahnya cukup
anggun.
Dia memang
seorang bangsawan tinggi dari Birma. Karena kepandaiannya yang sangat tinggi,
dia pernah berjasa besar dan berkat kemampuannyalah maka berkali-kali tentara
dari Tiongkok dapat dicegah menguasai Birma. Akan tetapi, akhirnya Kulana yang
masih berpangkat pangeran mempunyai ambisi untuk merebut tahta kerajaan. Dia
ketahuan dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negerinya membawa harta
kekayaan berupa emas permata yang tak ternilai saking banyaknya.
Sejak tadi
Kulana hanya mendengarkan saja, akan tetapi matanya sering kali menyambar ke
arah gadis manis yang duduk di belakang Lam-hai Giam-lo dengan pandangan mata
penuh kagum dan gairah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang Kulana
bangkit dan membungkuk ke kanan kiri, lalu bekata dengan suara agak asing namun
cukup jelas,
"Aku
sudah mendengar semuanya dan apa yang dikatakan oleh Bengcu Lam-hai Giam-lo
memang benar. dia patut menjadi Bengcu kita dan aku sanggup membantu. Bukan
hanya bersekutu agar kedudukan kita menjadi kuat. Bahkan lebih dari itu. Kita
dapat mendirikan sebuah pemerintahan tandingan untuk menentang pemerintah yang
selalu menekan kita. Kalau perlu, ketika saatnya sudah masak kita rebut tahta
kerajaan. Kita, semua anggota persekutuan kita, yang akan duduk di kursi-kursi
pemerintahan, menguasai seluruh negeri dan mengadakan peraturan-peraturan baru!
Akan tetapi aku harus lebih dulu melihat bukti kesetiaan kalian, baru aku mau
membantu."
Semua orang
terkejut sekali, terbelalak memandang kepada orang asing itu. Begitu tinggi dan
besar cita-citanya! Merampas tahta kerajaan lalu mereka semua menjadi
pembesar-pembesar tinggi!
Macam-macam
bayangan memasuki pikiran mereka. Ada yang membayangkan dia kelak menjadi
menteri pajak, ada yang ingin menjadi menteri keuangan, tentu saja dengan harta
yang belimpahan, ada yang ingin menjadi menteri pengadilan agar dia dapat
sesuka hati menghukum mereka yang tak disukainya. Pendeknya ucapan Kulana tadi
telah membuat mereka mengkhayal yang muluk-muluk, maka otomatis mereka
mengangguk-angguk dan merasa tertarik. Akan tetapi Kim San, Ketua Kui-kok-pang,
masih merasa penasaran dan dia pun bangkit berdiri.
"Saudara
Kulana boleh jadi seorang yang berpengetahuan luas dan kaya raya, akan tetapi
kami semua hanyalah orang-orang kasar yang selalu mengandalkan kekuatan dan
ilmu silat. Bagaimana mungkin dapat terjalin kerja sama antara engkau dan
kami?" Ucapan ini jelas menyatakan keraguan Ketua Kui-kok-pang itu
terhadap diri Kulana yang hanya kaya saja akan tetapi kelihatan seperti orang
yang lemah.
Mendengar
ucapan ini, Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara ketawanya yang terdengar
menyeramkan, persis suara kuda meringkik, "Hyeh-heh-hehh! Kim-pangcu,
engkau belum mengenal siapa adanya Saudara Kulana..."
Tiba-tiba
dia menghentikan ucapannya sebab pada saat itu pula terjadi kegaduhan di pintu
masuk. Terdengar seruan-seruan dan tampak dua orang anggota keamanan yang
berjaga di depan pintu terlempar masuk ke kanan kiri kemudian seorang gadis
melangkah masuk dengan tenangnya.
Kiranya dua
orang penjaga itu tadi hendak mencegah dia masuk, tetapi sekali mendorong gadis
itu telah membuat mereka terpental lalu bangkit dan memandang dengan kaget dan
heran. Lam-hai Giam-lo sendiri mengerutkan alisnya dan memandang marah melihat
ada seorang gadis muda begitu berani untuk menggangu rapat penting itu.
"Bengcu...
lapor... Dia... dia tetap memaksa untuk masuk biar pun sudah kami cegah dan
halangi," kata seorang di antara dua penjaga yang didorong roboh tadi.
"Hemm,
Nona yang lancang, siapakah engkau?!" bentak Lam-hai Giam-lo, akan tetapi
dia masih merasa sungkan untuk turun tangan mengingat bahwa dia adalah seorang
bengcu ada pun pengganggu itu hanya seorang gadis muda yang usianya belum ada
dua puluh tahun.
"Bengcu,
biar aku yang menghajarnya!"
Pek Eng
merasa marah juga melihat pengacau itu sama sekali tak menghormati gurunya,
maka sekali bergerak dia sudah meloncat ke depan gadis itu. Gadis itu hanya
melirik saja kepada Pek Eng, akan tetapi agaknya merasa heran menemukan seorang
gadis seperti Pek Eng berada di antara para datuk sesat itu.
"Hemm,
anak kecil, siapa engkau? Jangan mencampuri urusan ini dan pergilah,"
gadis itu berkata, sikapnya sangat tenang dan memandang rendah. Pek Eng yang
berwatak galak itu menjadi semakin penasaran karena disebut anak kecil.
"Namaku
Pek Eng dan aku adalah murid Bengcu Lam-hai Giam-lo! Engkaulah yang harus
minggat dari sini dan jangan coba-coba membikin kacau. Hayo katakan siapa
engkau dan apa maksudmu menerobos masuk seperti ini!"
Dara itu pun
masih muda, nyaris sebaya Pek Eng. Kulitnya putih mulus, rambutnya yang panjang
itu digelung menjadi dua, dan tubuhnya ramping. Wajahnya cantik sekali, dengan
muka bulat telur, mata tajam, hidung kecil mancung, bibirnya merah membasah dan
ada setitik tahi lalat pada dagunya yang menambah kemanisannya.
"Hemm,
siapa adanya aku tidak perlu diketahui orang! Ada pun kedatanganku ini tak ada
sangkut-pautnya dengan orang lain. Aku hanya minta supaya suami isteri Goa
Iblis Pantai Selatan yang bernama Kwee Siong dan Tong Ci Ki, juga suami
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, cepat maju ke ini!"
Mendengar
nama mereka disebut, dua pasang suami isteri iblis itu menjadi marah. Maka
mereka pun segera bangkit dari tempat duduk mereka.
"Kami
adalah Lam-hai Siang-mo!" bentak Ma Kim Li.
"Kami
sepasang suami iteri Goa Iblis Pantai Selatan, engkau mau apa menyebut nama
kami?!" bentak pula Tong Ci Ki.
Gadis itu
bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian, atau seperti yang dianggapnya sendiri, Cu
Bi Lian karena sejak kecil dia dijadikan anak angkat oleh suami isteri Cu Pak
Sin. Seperti telah diceritakan pada bagian depan, ketika terjadi perkelahian
antara dua kakek Iblis Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi melawan dua pasang suami
isteri iblis yang dibantu banyak anak buahnya, dua orang kakek itu mengamuk dan
karena orang kampung dapat diajak oleh dua pasang suami isteri iblis itu untuk
mengeroyok, maka banyak orang kampung termasuk pula Cu Pak Sin dan isterinya,
tewas di tangan dua orang kakek itu.
Mereka
mengatakan bahwa Cu Pak Sin dan isterinya terpaksa dibunuh karena orang itu
sudah berpihak kepada dua pasang suami isteri iblis. Dengan demikian, kematian
Cu Pak Sin beserta isterinya adalah akibat dari ulah Lam-hai Siang-mo dan suami
isteri Goa Iblis Pantai Selatan.
Inilah
sebabnya kenapa Bi Lian mencari dua pasang suami isteri iblis ini untuk
membalas kematian ayah ibunya, yang sebenarnya bukanlah ayah ibu kandungnya.
Pada waktu dia bertemu dengan Hay Hay, dari pemuda itu dia mendengar bahwa dua
pasang suami isteri yang dianggapnya musuh besar itu berada di daerah selatan,
maka dia pun mencari-cari dan akhirnya mendapat keterangan bahwa dia dapat
menemukan mereka di tempat ini.
Saat tadi
dia tiba di depan pintu gerbang dan melihat banyak orang berjaga dengan ketat,
dia tidak mau menimbulkan keributan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, dia
dapat melompati pagar tembok tanpa diketahui penjaga. Akan tetapi ketika dia
sampai di depan pintu tempat diadakannya rapat dan hendak masuk, dua orang
penjaga menghadangnya maka terpaksa dia mendorong mereka sampai terpelanting ke
dalam ruangan itu.
Ketika dua
pasang suami isteri itu bangkit memperkenalkan diri, Bi Lian memandang pada
mereka dengan sinar mata tajam. "Bagus, akhirnya kalian dapat juga
kutemukan!"
"Hemm,
sesudah bertemu, engkau mau apakah?!" bentak Siangkoan Leng marah karena
dia melihat betapa gadis muda itu sama sekali tidak menghormati mereka, bahkan
terlihat memandang rendah.
"Kau
masih bertanya lagi mau apa? Mau membunuh kalian berempat tentu saja!"
jawab Bi Lian.
"Bocah
lancang mulut!" Ma Kim Li membentak kemudian dia pun meloncat ke depan dan
langsung menyerang Bi Lian.
Si Jarum
Beracun ini meloncat ke atas dan menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar.
Suaminya dan pasangan suami iseri yang lain hanya menonton saja sebab mereka
percaya bahwa Ma Kim Li tentu cukup tangguh untuk menghajar gadis muda itu.
Agaknya amat memalukan kalau mereka harus maju mengeroyok seorang anak yang
sepantasnya menjadi anak, bahkan cucu mereka.
Tetapi Bi
Lian menghadapi serangan dahsyat ini dengan tenang saja. Dia hanya kelihatan
mengangkat tangan kirinya dengan jari tangan terbuka, mendorong sambil
mengeluarkan bentakan nyaring.
"Haiiikk!"
Dan akibatnya, tubuh Ma Kim Li yang masih terapung di udara itu terdorong ke
belakang lalu terbanting ke atas lantai!
Tentu saja
Siangkoan Leng kaget bukan main dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia
menubruk ke arah kepala Bi Lian dengan serangan dahsyat dan mematikan karena
yang diserangnya adalah ubun-ubun kepala gadis itu.
Menghadapi
serangan dahsyat yang jauh lebih berbahaya dari pada serangan Ma Kim Li ini, Bi
Lian menggeser kakinya ke kiri, kemudian tubuhnya membalik ke kanan dan kedua
tangannya mendorong. Dari posisi diserang, dia kini bahkan berbalik menjadi
penyerang dari samping.
Siangkoan
Leng masih mencoba menangkis ke arah kanannya, dari mana dorongan itu datang.
Akan tetapi seperti juga apa yang dialami Ma Kim Li tadi, tubuhnya terdorong ke
kiri lantas terbanting jatuh ke atas lantai!
Melihat ini,
Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang tadinya sudah siap menyerang, kini menjadi
terkejut dan meragu. Tak diduga oleh mereka bahwa gadis muda yang mendadak
muncul dan menyatakan hendak membunuh mereka berempat itu demikian lihainya!
"Biar
aku yang menghadapi gadis ini!" Tiba-tiba saja terdengar suara Kim San dan
Ketua Kui-kok-pang ini sudah meloncat ke depan Bi Lian.
"Akan
tetapi kamilah yang dia cari, Kim-pangcu!" kata Kwee Siong.
"Sudahlah,
kalian berempat adalah pihak tuan rumah, tidak enak kalau aku sebagai tamu
mendiamkan saja ada orang membikin kacau di sini. Hei, Nona Muda, siapa engkau
dan mengapa pula engkau datang-datang hendak membunuh dua pasang suami isteri
itu?"
Sebagai
Ketua Kui-kok-pang, Kim San telah mempunyai banyak pengalaman. Akan tetapi dia
merasa heran melihat gerakan gadis itu tadi ketika demikian mudahnya merobohkan
Lam-hai Siang-mo walau pun suami isteri itu tidak sampai terluka parah. Akan
tetapi dia juga maklum bahwa kini di dunia para pendekar banyak bermunculan
pendekar-pendekar muda yang tidak dikenalnya.
Bi Lian
memandang orang tinggi kurus yang mukanya pucat seperti mayat hidup itu, lalu
tersenyum mengejek dan menjawab. "Mayat hidup, aku tidak mempunyai urusan
dengan kamu, karena itu aku tidak mau memperkenalkan namaku. Sebaliknya,
siapakah engkau ini yang begini lancang berani mencampuri urusan
pribadiku?"
Ketua
Kui-kok-pang itu memiliki watak yang tinggi hati, maka melihat seorang gadis
muda seperti Bi Lian tentu saja dia memandang rendah. Biar pun dara itu tadi
telah merobohkan Lam-hai Siang-mo, dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena
suami isteri itu kurang hati-hati dan terburu nafsu, juga karena tingkat
kepandaian mereka memang masih belum mencapai tingkat tinggi seperti dia. Kini,
mendengar pertanyaan Bi Lian, dia pun berkata dengan mulut menyeringai.
"Ha-ha,
engkau ini gadis muda agaknya baru saja keluar dari sarang dan belum banyak
mengenal tokoh dunia! Aku bernama Kim San dan akulah Ketua Kui-kok-pang!
Sebaiknya engkau batalkan saja niatmu itu dan ikut bersamaku ke Hong-san untuk
menjadi anggota Kui-kok-pang dan engkau akan hidup senang."
"Kui-kok-pangcu,
kalau boleh aku menasehatimu, jangan engkau ikut mencampuri urusan pribadiku
dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Lekaslah minggir dan biarkan mereka
berempat maju, atau engkau akan menyesal nanti!" kata Bi Lian dengan sinar
mata tajam seperti kilat menyambar.
"Ha-ha-ha,
engkau memang anak bandel dan sombong. Nah, rasakanlah tanganku!" Kim San
yang maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat ditundukkan dengan halus, sudah
menerjang ke depan. Gerakannya aneh sekali, kaku seperti gerakan mayat dan
setiap kali menggerakkan kaki tangan, ada hawa panas menyambar.
Melihat
lawan menggunakan tangan kanan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah leher
sedangkan tangan kirinya sudah siap di atas kepala, Bi Lian lalu menggeser
kakinya ke belakang. Akan tetapi cepat sekali tangan kiri yang tadi mengancam
di atas kepala itu menyambar turun, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Bi
Lian. Gerakan itu cepat sekali dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser ke
depan mengejarnya.
Melihat
keanehan serta kecepatan gerakan lawan, tahulah Bi Lian bahwa lawan memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian
Lam-hai Siang-mo. Dia pun lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengangkat
tangan untuk menangkis ke atas. Dari telapak tangannya nampak uap mengepul!
"Dukkk!"
Dua telapak
tangan itu bertemu, keduanya mengandung hawa panas dan mereka berdua terdorong
mundur dua langkah. Kiranya tenaga mereka seimbang dan melihat kenyataan ini,
tentu saja Ketua Ku-kok-pang terkejut dan heran bukan main.
Dia
mempunyai sinkang yang sangat kuat, bagaimana mungkin seorang gadis semuda itu
sanggup menahan tenaganya itu, bahkan dalam adu tenaga tadi sempat membuat
dirinya terdorong sampai dua langkah? Dengan hati-hati dia pun kini menerjang
lagi, lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada tadi.
Bi Lian
sudah mengukur tenaga lawan, maka kini dia tahu bahwa dengan mengandalkan
tenaga, maka sukarlah baginya untuk menang. Dia pun cepat mengerahkan ilmu
ginkang (meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya dari Pak-kwi-ong. Begitu
dia mengelak dan bergerak cepat, lawannya mengeluarkan seruan kaget.
Tentu saja
Kim San kaget setengah mati ketika melihat betapa gadis itu tiba-tiba lenyap
dari depannya kemudian hanya terlihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis
itu telah membalas serangannya dari arah kirinya. Dia pun menangkis lantas
berusaha mendesak lawan dengan serangan bertubi-tubi. Namun Bi Lian dapat pula
mengelak dengan mudah, lalu menggunakan kegesitannya untuk menyelinap dan
membalas dari berbagai jurusan.
Kim San
merasa bingung juga menghadapi kecepatan gerakan gadis itu,. Dia kemudian
mengeluarkan suara menggereng dan mengamuk, akan tetapi serangan-serangannya
itu hampir dapat dikatakan ngawur saja karena yang diserang hanyalah tempat
kosong.
Memang sulit
bagi Ketua Kui-kok-pang itu menghadapi lawan yang memiliki gerakan jauh lebih
cepat darinya. Dia hanya melihat bayangan berkelebatan lalu menyerang bayangan
itu dengan ngawur. Sebaliknya, setiap kali Bi Lian menyerang dari sudut yang
sama sekali tidak diduganya, Kim San menjadi repot dan terdesak hebat.
Sesudah
lewat tiga puluh jurus, Ketua Kui-kok-pang itu mulai menjadi pening juga. Gadis
itu bergerak amat lincahnya, berputar-putar sekeliling dirinya, membuat Kim San
terpaksa turut berputaran dan hal ini membuatnya menjadi pusing. Pada waktu
ujung kaki Bi Lian menyentuh sambungan lututnya, disusul tamparan pada pundak,
Ketua Kui-kok-pang itu tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan dia pun
roboh!
Khawatir
jika lawannya terus menyerang sehingga akan membahayakan nyawanya, maka
terpaksa Ketua Kui-kok-pang ini menggulingkan tubuhnya, lalu bergulingan terus
sampai ke tempat duduk para tamu baru dia meloncat berdiri, akan tetapi roboh
lagi karena kaki yang tertendang itu masih setengah lumpuh! Tapi ternyata gadis
itu hanya berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek, sama sekali
tidak mengejarnya.
"Siangkoan
Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki, kalian berempat majulah untuk
menerima kematian, dan tidak perlu melibatkan orang lain yang tidak mempunyai
urusan denganku," kata Bi Lian menantang empat orang itu......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment