Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 16
NENEK Wa Wa
Lo-bo memandang marah lantas menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui
Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu sudah menyebabkan kematian Ong-ya serta
isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimana pun juga aku
tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan
tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo
menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui
Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap siaga dan dengan mudahnya ia mengelak.
"Lo-bo,
jangan...!" Sun Hok berseru dengan khawatir.
Akan tetapi
nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat
itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, sekarang menusuk ke arah
leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak lalu dari samping tangan kirinya
menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan
tangan ini, sungguh pun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis,
tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.
"Lo-bo,
jangan berkelahi...!" kembali Sun Hok berseru.
Mendengar
ini, Wa Wa Lo-bo menjadi makin marah. "Engkau adalah murid murtad, anak
terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang
ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
"Ahhh...!"
Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya
sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan
tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang dia menangkis tongkat itu dengan
kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tubuh Kui
Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun
Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.
Nenek Wa Wa
Lo-bo terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis
itu lihai sekali, dan dia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang
tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini,
puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis
serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau
terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat
kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun dia
tidak akan mampu menang!
"Lo-bo,
harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada
nenek itu dengan suara membujuk.
"Wa Wa
Lo-bo…," kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di
antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi
melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu tidak akan lama lagi, haruskah
sekarang engkau nekat menyerangku secara mati-matian hanya untuk menurutkan
hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis bersama semua kawan dan anak
buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."
"Tutup
mulutmu! Jika aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu maka
lebih baik aku mampus saja!" Dan dengan kemarahan meluap-luap, terutama
sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, sekarang nenek itu
mempergunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah
menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan
nekat.
"Hemm,
engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin.
Cepat dia
pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tak
membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di
dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari
pada tingkat lawannya sehingga seluruh serangan yang dilakukan nenek itu hanya
mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan sepasang
tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung
ke belakang
Tiba-tiba
nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan bagai seekor binatang buas,
tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan
serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah
banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau
hanya dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang
bertubi-tubi. Melihat kenekatan nenek itu, maka dia pun menjadi marah.
"Haiiiitttttt...!"
teriaknya.
Tiba-tiba
dia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan
tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang
yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.
"Krakkkk...!"
Tongkat itu
bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya
dua jengkal kayu yang meruncing ujungnya saja, sedangkan tubuh nenek itu
terpental ke belakang. Dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak
terbanting, namun ketika dia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal
dua jengkal, tampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Ternyata
pertemuan tenaga dahsyat tadi sudah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat
darah mengalir keluar dari mulutnya.
Melihat ini,
Sun Hok berseru kaget, "Lo-bo...!"
Teriakan
pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling
menyakitkan hatinya. Dia maklum bahwa melawan Sui Cin sudah tak mungkin lagi.
Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa dia telah menderita luka
dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu sudah memihak musuh.
Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,
"Ong-ya
berdua dan Siocia, jangan salahkan saya jika anak ini menjadi seorang durhaka
dan murtad!" Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sisa tongkat yang
menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.
"Lo-bo...!"
Sun Hok meloncat kemudian menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan
sisa kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat dia tewas
seketika.
"Lo-bo,
ahhh, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang
bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan para pelayan kini datang
dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang telah menjadi mayat
dalam keadaan amat mengerikan itu.
Sui Cin
memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun
Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh.
Nenek itu, bagaimana pun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti
orang tua dan guru!
"Kui
Hong, mari kita pergi saja," katanya.
Kui Hong
yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo,
mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa
pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan
anak itu lalu pergi meninggalkan rumah besar itu, bahkan pada malam itu juga
mereka langsung meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan,
di atas pohon besar dari pada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan
tidak enak itu.
***************
Pulau
Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di Laut Selatan sebelum Pendekar
Sadis dan isterinya tinggal di sana. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau
yang indah dan subur. Pulau itu tidak berapa besar, panjangnya hanya belasan li
dan lebarnya paling banyak sepuluh li.
Setelah Ceng
Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana, bersama para
pelayan dan para pembantu hingga jumlah mereka beserta keluarganya kurang lebih
tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap sehingga
sekarang pulau itu penuh dengan pohon-pohon, pohon buah mau pun pohon bunga
yang serba indah dan bermacam-macam buah-buahan yang lezat dapat pula tumbuh di
situ.
Di
tengah-tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok
para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah
danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tidak kunjung
kering walau pun di musim panas sekali pun. Air itulah yang dipergunakan para
penghuni itu untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lain.
Suasana di
pulau itu sungguh tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk
pada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di
situ tidak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali dalam sebulan, Toan Kim
Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke
daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka.
Para
pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan
sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap
ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selain untuk
dimakan sendiri, selebihnya dapat mereka jual kepada orang-orang di daratan
besar sehingga para pelayan ini memperoleh penghasilan yang lumayan untuk
ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.
Ceng Thian
Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga
tahun. Di waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang
di waktu itu sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para
penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat,
bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang
jahat begitu mendengar namanya langsung menjadi pucat ketakutan.
Dalam usia
enam puluh tahun lebih dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah
karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka
berlatih silat dan melakukan semedhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat
karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua
ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan.
Ilmu-ilmu
silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak lagi
ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari
seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw.
Walau pun
sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw
dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang letaknya terpencil di
tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang
dari kalangan kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak
terjangnya.
Isteri pendekar
itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Akan tetapi
usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik
serta bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang
membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.
Toan Kim
Hong ini bukan wanita sembarangan. Dulu namanya pun pernah menggetarkan dunia
kang-ouw, bahkan pada waktu masih gadis dia pernah menyamar menjadi seorang
nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum
sesat di daerah selatan!
Ilmu
kepandaiannya sangat tinggi, hanya sedikit dibawah tingkat suaminya walau pun
dia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya di dalam hal
ginkang (ilmu meringankan tubuh). Suami isteri yang sangat lihai ini merupakan
pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka
mengundurkan diri ke pulau itu.
Anak mereka
hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin. Setelah puteri mereka ini menikah, menjadi
mantu ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan
tetapi, sekitar enam tahun yang silam terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus
terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.
Perubahan
itu terjadi ketika pada suatu pagi beberapa orang penghuni pulau itu pulang
membawa seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan,
bergantung pada perahu kecilnya yang terbalik sesudah tadi malam dihempaskan
badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepat
mendarat dan tidak berani mencari ikan.
Ketika pada
pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka
ke tengah lautan, mereka melihat ada seorang anak laki-laki berusia empat belas
tahunan dalam keadaan setengah pingsan tengah bergantung di perahunya yang
terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu
jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu
cepat-cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.
Ceng Thian
Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan
pemeriksaan dan hati mereka merasa lega setelah mendapatkan kenyataan bahwa
anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan
mengalami pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika semalam
diombang-ambingkan laut membadai. Sesudah menotok dan mengurut beberapa jalan
darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian
menangis.
Suami isteri
pendekar itu saling pandang. Segera keduanya merasa suka kepada anak ini,
seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika
mereka tadi mengurut dan menotok, jari-jari tangan mereka yang terlatih itu
meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.
Setelah
tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam,
dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah
namamu?"
Anak
laki-laki itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu,
lantas memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia pun menjawab pertanyaan
itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah
kalian berdua yang telah menyelamatkan aku dari tengah lautan?"
Ceng Thian
Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu
kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."
"Kau
ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini," kata Toan Kim
Hong sambil menerima pakaian yang dimintanya dari seorang pelayan yang meminjam
pakaian dari keluarga nelayan yang memiliki anak sebaya dengan anak itu.
Dia lalu
meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaian
tanpa perasaan sungkan dan malu. Setelah dia kembali lagi, anak ini sudah
mengenakan pakaian kering.
"Nah,
sekarang katakan siapa namamu," kata nenek itu.
Akan tetapi,
sebagai jawaban anak itu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan
nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan
Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata
berlinang.
Toan Kim
Hong tersenyum, mengangkat bangun anak itu. "Sudahlah, kau duduklah dan
kini ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."
Anak itu tak
berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas
lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan
ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan,
saya lalu ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya.
Dengan bekerja keras akhirnya saya bisa membeli sebuah perahu kecil kemudian
saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris
saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."
Suami isteri
itu kembali saling pandang. Anak ini telah yatim piatu! Tidak memiliki tempat
tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekali pun
suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari
pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian
dekatnya hubungan batin di antara keduanya dan sekarang, melalui sinar mata
mereka, keduanya sudah saling setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih
dekat dengan mereka.
"Ki
Liong, engkau terserang badai hingga nyaris saja tewas, akan tetapi akhirnya
berhasil diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang
berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau untuk selanjutnya engkau hidup saja di
sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin.
Ki Liong
bersoja kembali memberi hormat. "Saya akan menjadi seorang yang paling
tidak tahu diri dan tidak mengenal budi jika saya menolak. Akan tetapi, selama
ini saya sudah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai,
Locianpwe...!"
Kembali
suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan
apa maksudmu?"
"Mengajarkan
ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."
"Ahh?
Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak
memandang penuh perhatian.
Memang
semenjak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai
murid. Akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia
ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.
"Semenjak
hidup seorang diri, sudah banyak saya mengalami gangguan dan penghinaan dari
mana-mana, bahkan pernah hasil kerja saya berbulan-bulan dirampas orang dengan
kekerasan. Di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan dan saya ingin membela
diri dari gangguan dan penghinaan, juga kelak hendak menentang orang-orang
jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."
Suami isteri
itu mendengarkan dengan perasaan kagum dan hati mereka merasa gembira sekali.
Sungguh tak mereka duga bahwa mereka akan menemukan seorang anak laki-laki yang
selain berbakat amat baik, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga
memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!
"Ki
Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu
silat."
Sambil tetap
berlutut anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu
bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, namun... saya
ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena jika hanya ilmu silat biasa
saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang lihai
itu?"
Suami isteri
itu saling pandang sambil tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan
siapa engkau kini berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang
sanggup menangkap burung terbang itu?"
"Tidak
mungkin, Locianpwe," kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Bila
mana tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin
menangkap burung terbang?"
"Kau
lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan setelah nenek itu berkata
demikian, tiba-tiba dia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju
ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke
sana-sini.
Anak itu
terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan sekejap kemudian
bayangan itu sudah berada kembali di hadapannya. Nenek itu kini memperlihatkan
seekor burung gereja yang telah digenggam oleh tangan kirinya.
"Ahh...
ohhh...!" Mata Ki Liong terbelalak dan tak mampu mengeluarkan kata-kata
saking kagum dan herannya, hanya ber-ah-uh-ah-oh seperti mendadak menjadi bodoh
sekali.
"Lihat
caraku yang lain lagi dalam hal menangkap burung terbang," kata Ceng Thian
Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada isterinya.
Toan Kim
Hong melepaskan burung itu yang lantas bercicitan terbang keluar, akan tetapi
tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke
arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba tubuh burung itu seperti
ditarik ke belakang dan tahu-tahu sudah tersedot dan kini menempel di telapak
tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!
Melihat ini,
Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di
lantai. "Ah, saya mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja, tidak
melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian
mukjijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur,
berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi
Locianpwe..."
Ceng Thian
Sin tertawa lantas melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat
itu pula Ciang Ki Liong sudah menjadi murid mereka.
Anak ini
memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini, dalam perantauannya dia
pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat. Selain berbakat baik, juga dia
cerdik bukan main, dapat dengan cepat mengingat setiap jurus yang diajarkan.
Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang sangat baik, penuh sopan
santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang.
Kakek dan
nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, apa lagi perempuan, yaitu Ceng Sui Cin.
Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan
main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya
seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!
Ki Liong
bukan hanya disuka oleh suhu dan subo-nya, yang memandang dia seperti anak
sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para
penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Ki Liong adalah seorang pemuda yang
selalu bersikap ramah terhadap siapa pun juga, sehingga tak ada alasan bagi
orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan dia pun bersikap baik, sopan dan
alim terhadap beberapa orang anak gadis keluarga para penghuni pulau.
Melihat
sikap ini, tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka,
maka kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama
enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu
mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.
Demikianlah,
tanpa diketahui oleh Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah
berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda
yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan
murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu
mereka yang dahsyat.
Ketika
perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong tiba mendarat di pulau itu, mereka
disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.
"Siocia
datang...!"
"Nona
Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"
"Siocia
masih saja nampak muda biar pun anaknya sudah demikian besarnya!"
Ketika Ceng
Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka beserta cucu
mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar,
diikuti Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang
gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).
"Sui
Cin...!" Toan Kim Hong berlari sambil berseru girang, dan sejenak kemudian
ibu dan anak ini sudah saling berangkulan.
Ketika nenek
ini melihat puterinya mencucurkan air mata, dia terkejut bukan main. Belum
pernah puterinya ini menangis hanya karena keharuan pertemuan antara mereka.
Walau pun anaknya adalah seorang wanita, namun memiliki kegagahan dan pantang
menangis hanya untuk urusan kecil. Kini dia mengucurkan air mata, itu berarti
telah terjadi hal yang amat hebat.
"Sui
Cin ada apakah?" dia bertanya, suaranya tegas.
Sui Cin
melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang ikut mengantar mereka masuk
sesudah tadi menyambut kedatangan mereka, juga melihat kehadiran seorang pemuda
di belakang ayah ibunya. Dia memandang ragu dan ibunya segera maklum. Toan Kim
Hong lalu mengalihkan percakapan dan kini dia memegang kedua pundak Kui Hong.
"Haiii,
ini... benarkah dia Kui Hong si kecil itu?"
"Nenek...!"
kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.
"Aihhh,
cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong
langsung merangkulnya.
Wajah Ceng
Thian Sin yang bersikap tenang itu juga kelihatan cerah gembira, sepasang
matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walau pun perasaannya
tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang amat
hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.
"Oya,
perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia
berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin,
dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."
Ki Liong
cepat melangkah maju kemudian menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil
berkata dengan nada halus dan sopan, "Suci (Kakak seperguruan), harap sudi
menerima hormatku."
Mata Sui Cin
terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa
pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya begitu sederhana dan
sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.
"Ahh,
aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah
ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini
paman gurumu, hayo beri hormat kepadanya."
Walau pun di
dalam hatinya merasa segan untuk memberi hormat seorang pemuda yang usianya tak
terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai
paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak
berani membantah.
"Susiok
(Paman Guru)...!" katanya sambil memberi hormat.
"Ahh,
Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan
ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan
dalam.
Melihat
sikap pemuda ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang
tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan dia tidak menyalahkan mereka.
Memang seorang pemuda yang amat baik.
"Mari
kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya.
Akan tetapi
dia melihat Sui Cin memandang kepadanya lantas melirik ke arah Ki Liong.
Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang
lain, maka dia lalu berkata kepada Ki Liong,
"Ki
Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi di
lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu dengan Suci-mu."
"Baik,
Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.
"Aku
mau melihat Susiok berlatih silat!" tiba-tiba Kui Hong berkata.
Ibunya
mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya
kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke
lian-bu-thia melalui ruangan samping, ada pun kakek dan nenek itu masuk ke
dalam rumah bersama puteri mereka.
Setelah
berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya.
Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.
"Anakku,
apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti
ini?"
Setelah
dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk
berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan menatap
dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tak
ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar
Sadis ini.
"Ibu
dan Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan
Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."
Suami isteri
itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan
percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri
adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri
mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan
kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat dari pada sekedar cekcok saja.
"Engkau
cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya hati-hati.
Ia dan
suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka
bijaksana, maklum bahwa biar pun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak
berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguh pun isteri itu adalah
anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin
keruh.
Betapa
banyaknya hubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi perceraian
akibat pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang
tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak
akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu
disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang sedang retak itu.
Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul
perceraian dan permusuhan.
Bukan tak
mungkin suami dan isteri yang hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada
keesokan harinya telah saling berkasih-kasihan lagi. Akan tetapi, orang tua dan
keluarga hanyalah orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri,
sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan bisa akur kembali!
Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.
Ditanya oleh
ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa
menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan
alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentulah cekcok dengan keluarga
suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong
Liang yang keras.
"Apakah
cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.
Sui Cin
mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.
Dengan
bijaksana Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri, dengan niat mengingatkan,
"Anakku, ayah mertuamu tak ada bedanya dengan ayahmu sendiri, oleh karena
itu semua kehendaknya harus ditaati dan jangan sekali-kali dibantah."
"Ibu!"
Sui Cin berkata penuh semangat perlawanan sebab hatinya diliputi rasa
penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak
baik sekali pun ?"
"Sui
Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan
bijaksana itu memiliki kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin,
biar pun berlawanan dengan perasaannya sendiri karena seperti isterinya, dia
pun hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.
"Sebenarnya
apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun
ingin sekali tahu.
"Dia
memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"
"Apa?!"
Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini
karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu.
"Tapi... tapi mengapa? Bukankah dia sudah menjadi suamimu, dan bukankah
kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini
mulai merasa penasaran.
"Kami
hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan di antara kami.
Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki,
katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk
mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai
seorang keturunan laki-laki!"
"Ahhh...!"
Kembali kakek dan nenek itu saling pandang.
Mereka
menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja
mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman
itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat
sama, yaitu mereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak
mempunyai keturunan laki-laki.
Jika Ceng
Thian Sin sendiri tak bersikap seperti itu adalah karena dia lain dari pada
yang lain, dan dia sangat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat
menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat
menyalahkan Cia Kong Liang.
Karena sebab
percekcokan itu adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu
laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa
kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai
keturunan laki-laki. Andai kata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu
tak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.
"Bagaimana
dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.
Sui Cin
menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya
untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi
bersama keluarganya tetapi tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan
mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada
dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong
akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di
sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."
Sui Cin lalu
menuturkan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan
oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka
tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat ayah
dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu
menyalahkannya, maka dia pun kemudian bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu?
Apakah tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi
itu keliru?"
Ayahnya
menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimana pun juga, Ayah dan Ibumu tidak
mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat
setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan..."
"Tapi
Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.
Ayahnya
hanya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin
karena dia adalah lain dari pada yang lain. Kami cukup puas walau pun tidak
memiliki anak laki-laki, dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid
laki-laki yang sangat baik, yaitu sute-mu Ki Liong. Kami tidak dapat
menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Kini terserah kepada
Hui Song karena dialah yang harus mengambil keputusan."
"Kasihan
Hui Song, dialah yang harus menanggung paling berat," kata Ceng Thian Sin.
"Dia yang menjadi serba salah."
"Kalau
menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya
kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya tapi kehilangan ayah? Harap Ayah
menjawab dengan jujur."
Pendekar itu
menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang sangat keras,
sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang
wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tak akan mau dimadu dengan alasan apa
pun juga.
"Ah,
aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang
dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak
menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada
ayahnya. Sebaliknya jika dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga
kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka
baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."
Sui Cin
mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Biarlah kalau dia
memang mau menikah lagi, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"
Ceng Thian
Sin dan Toan Kim Hong menarik napas panjang. Mereka tahu pasti, apa bila
puterinya telah berkata demikian maka tak ada satu orang atau satu sebab pun
yang bisa mengubah keputusan itu.
***************
Sementara
itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Walau pun pemuda itu
terhitung paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui
Hong merasa cocok dengannya, apa lagi karena pemuda itu bersikap sopan dan
ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biar pun sebagai susiok (paman guru)
tidak akan salah bila dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong
menyebutnya Nona!
Hal ini
menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi
saat harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apa lagi
melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sukar,
diam-diam Kui Hong mentertawakannya.
Dia merasa
lebih unggul dalam bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu
saja, karena sejak berusia lima enam tahun dia telah digembleng oleh ayah
ibunya, sudah sepuluh tahun lamanya dia berlatih ilmu silat keluarganya, ada pun
Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.
Saat Ki
Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong Hong-i
(Delapan Penjuru Angin Hujan), pemuda itu terlihat agak bingung, terutama
sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan harus
memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing
dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya
mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali namun
belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran,
tertawa.
"Kalau
dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"
Agaknya
pemuda itu baru teringat bahwa di sana terdapat orang lain yang menonton dia
berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli
silat keluarga itu, yaitu suci-nya.
"Ah,
aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui
Hong!" kata Ki Liong yang segera menghentikan gerakannya. "Aku
mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa
lagi bagaimana harus mengatur kaki walau pun tadi sudah dijelaskan dengan
teliti oleh Suhu."
"Hi-hi-hik,
mana ada seorang paman guru yang bertanya tentang ilmu silat kepada murid
keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta
petunjukmu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti
ibunya di waktu mulda.
"Aih,
Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja.
Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak
kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah
agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."
Melihat
sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid
keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi jurus
Pat-hong Hong-i ini memang sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat
baik-baik, namun gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu
segera memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing,
nampak indah dan cekatan seolah-olah dia sedang menari-nari saja.
Ki Liong
memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dia pun langsung dapat melihat
kekeliruannya tadi. Seharusnya dia mempergunakan ujung jari-jari kaki untuk
berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk
berpusing.
Akan tetapi
Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini
tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang
tangan pemuda itu sambil memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu,
mengatur pula kedua kakinya.
Agaknya
gerakan Ki Liong menjadi semakin kacau. Akan tetapi akhirnya, sesudah diajak
untuk melakukan gerakan itu bersama-sama, barulah pemuda itu mulai dapat
melakukan gerakan jurus Pat-hong Hong-i dengan benar.
"Nah,
sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."
Kini Ki
Liong menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lantas
menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh
seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku
beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."
Kui Hong
merasa aneh saat mendengar dirinya dipuji cantik jelita. Warna merah menjalar
perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji
orang!" katanya.
Dan
tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu ber-pibu
(mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba
semua orang yang dijumpainya, apa lagi melihat betapa orang muda ini adalah
paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat
memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat
menang melawan orang yang dipanggil paman guru.
"Susiok,
mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di
hadapan pemuda itu.
"Ehh,
main-main bagaimana maksudmu, Nona?"
"Apa
lagi permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pibu?"
"Wah!
Engkau mengajak aku untuk pibu? Mana aku berani, Nona?"
"Susiok,
namanya saja pibu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka
yang kunamakan pibu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan
pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri masing-masing
sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"
"Ahh,
begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri-seri.
"Kalau latihan bersama, tentu saja aku mau. Harap engkau suka banyak
memberi petunjuk apabila ada gerakanku yang keliru, Nona."
"Baik,
nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong Sin-kun yang kau latih
tadi!" Gadis remaja itu lantas bergerak, gesit dan cepat bukan main,
menyerang dengan kedua tangannya.
Ki Liong
mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, lalu membalas dengan jurus
lain dari ilmu silat Pat-hong Sin-kun. Dengan mudah Kui Hong juga dapat
mengelak dan membalas. Mereka kemudian saling serang menyerang dalam ilmu silat
itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa paman gurunya itu mampu mengelak dan
menangkis semua serangannya dengan baik!
"Awas,
aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata
gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya.
Dan kembali
dia merasa kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika
menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang
ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian
kuatnya hingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga
sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang
di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja
Kui Hong
terkejut sekali, lalu teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya
dan menurut ibunya, neneknya mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Bian-kun
(Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Dia merasa kalah karena pemuda itu
menguasai ilmu yang tak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya.
Bahkan ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat
sulit dipelajari.
Memang
sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat milik ayah
ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walau pun sudah hampir semua dipelajari,
namun tidak dikuasainya secara sempurna benar. Hal ini dapat terjadi karena
ketika muda Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara
Delapan Dewa.
Berbeda
dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng
oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Dia yang memiliki bakat amat baiknya itu
secara diam-diam telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam
untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia dibawa ke Pulau Teratai
Merah!
Tadi pun
ketika berlatih Pat-hong Hong-i dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong
sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu
silat, walau pun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun
jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini dapat selalu merahasiakan
kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih
sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!
KUI HONG
menjadi sangat penasaran. Dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu dengan
Thai-kek Sin-kun yang dibantu oleh tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dia cepat
mengubah gerakan silatnya, sekarang memainkan San-in Kun-hoat yang amat lihai.
Namun ternyata pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan
dapat mengimbanginya.
Kui Hong
lalu menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan
semacam uap putih, akan tetapi pada waktu pemuda itu menangkisnya dengan ilmu
yang sama, Kui Hong segera terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari
telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa sinkang-nya
masih kalah pula dalam hal mengerahkan tenaga pukulan ini!
Pada saat
itu muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah.
"Eh, apa yang kau lakukan itu, Kui Hong? Berhenti!" teriak Sui Cin
melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan
tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya.
Melihat
munculnya mereka bertiga, Ki Liong langsung meloncat ke belakang dan menjura
dengan hormat. "Nona Hong, ilmu kepandaianmu betul-betul hebat, membuat
aku kagum sekali."
"Ibu,
aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!" kata Kui Hong kepada
ibunya.
Namun Ceng
Sui Cin mengerti akan watak puterinya yang senang ber-pibu, dan tadi dia
melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam dia
sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum sanggup
menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya tadi, pemuda itu
baru enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki
bakat yang baik sekali.
Sesudah
memberi hormat, Ki Liong kemudian mengundurkan diri dengan alasan hendak
membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong
berkata kepada puterinya.
"Dia
seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun berada di sini dia
tidak pernah mengecewakan kami, baik mengenai ketekunannya dalam berlatih silat
mau pun kerajinannya dalam membantu pekerjaan di ladang atau mencari
ikan."
"Benar,
memang dia adalah seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan,"
kata pula Pendekar Sadis. "Bagaimana, Kui Hong, ketika engkau latihan
bersama dia?"
Kui Hong
mengerutkan alisnya. "Ada yang aneh, Kongkong (Kakek)."
"Aneh?
Apanya yang aneh?" kakek itu bertanya.
"Pada
saat berlatih Pat-hong Hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh
gerakan itu yang benar sebab nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi
ketika kami latihan bersama, tahu-tahu dia mampu mengimbangi semua seranganku
dan ternyata dia pandai sekali, juga tenaga sinkang-nya pun amat kuat, bahkan
dia mampu menggunakan Bian-ciang."
"Tentu
saja dia sangat hebat karena dia langsung digembleng oleh kakek dan
nenekmu," kata Sui Cin, tidak terbebas sama sekali dari perasaan iri.
Ayahnya
tertawa. "Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya
kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan
memperoleh kemajuan pesat."
Sementara
itu, Ki Liong yang pergi ke ladang ternyata tidak mencangkul atau bekerja lain,
melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya
mengeluarkan sinar mencorong aneh. Dia membayangkan semua yang sudah dialaminya
tadi, di lian-bu-thia.
Masih
terbayang wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir
yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang
keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara
merdunya ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan
lengannya kehangatan lengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka
bersentuhan.
Ahhh, semua
itu membangkitkan birahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri suci-nya,
kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus
berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menuruti hasrat hatinya, tentu akan
diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu. Kini dia tahu bahwa dia
telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini
dirasakan.
Dia hanya
mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria
dan wanita, namun belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh
hati, dan jika ada kalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau
itu, maka perasaan ini cepat ditahan dan ditekannya, karena dia harus
memperlihatkan sikap yang paling baik di situ.
Akan tetapi
sekarang, setelah bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tak mampu lagi
menahan perasaan hatinya itu, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam
dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata
gelap, mendekati Kui Hong kemudian gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu
dan subo-nya, tentu dia akan mengalami celaka.
Sejak lama
dia sudah melakukan persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Selama ini
suhu dan subo-nya tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sebenarnya.
Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu sudah berhasil baik. dia telah
berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan sudah
menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian
suami isteri yang sakti itu!
Ada beberapa
macam ilmu yang sudah dihafalnya benar dan hanya tinggal mematangkan dalam
latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu
semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang sangat dahsyat karena ilmu ini
merupakan penyedotan sinkang (tenaga sakti) dari tubuh lawan! Dia hanya tahu
akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat
menguasai ilmu ini dibutuhkan latihan yang cukup lama dan berat.
Secara
diam-diam dia telah mengumpulkan benda-benda berharga yang terdapat di dalam
gudang pusaka suhu dan subo-nya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan
dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya!
Sungguh
pandai sekali pemuda ini, dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis
dan isterinya. Padahal sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat
lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu haus akan anak atau murid laki-laki
itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai
seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri,
Siapakah Ki
Liong ini sesungguhnya? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya dia mengaku she
Ciang, namun sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi
sesungguhnya dia she Sim. Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si.
Ketika masih
gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek.
Karena rayuan maut pemuda itu, akhirnya Ciang Si pun menyerahkan diri kepada
pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian
Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci
Kang, putera Si Iblis Buta.
Sim Thian Bu
merupakan murid yang pandai dan lihai sekali, di samping kecerdikannya yang
membuat dia sempat mengangkat namanya menjadi terkenal di kalangan kang-ouw.
Seperti dapat diikuti di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan sudah
diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga
menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa.
Dulu pernah
terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang bekerja sama
dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka. Dalam bentrokan yang
terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para
pendekar yang membantu pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu dirobohkan
oleh Siangkoan Ci Kang, suheng-nya sendiri, kemudian tewas di bawah hujan
senjata para prajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li yang tewas
setelah roboh oleh Ceng Sui Cin.
Hubungan
kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tak berlangsung lama. Setelah Ciang Si
mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkannya begitu saja. Ciang Si tetap
mencinta Sim Thian Bu, biar pun pria itu sudah meninggalkannya, bahkan
mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak
itu dia beri nama Sim Ki Liong, dan sambil merana dalam pencariannya terhadap
pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu.
Akhirnya
dari anggota pemberontak yang dijumpainya dia mendengar akan kematian Sim Thian
Bu. Dia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para
pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya
hancur lebur oleh hujan senjata para prajurit.
Tentu saja
berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, namun di samping kedukaannya wanita
ini pun menaruh dendam yang amat mendalam terhadap para pendekar, terutama
Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya.
Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya kelak
akan bisa dilakukan oleh Ki Liong kalau anak itu sudah dewasa.
Maka
mulailah dia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya. Akan tetapi,
setelah mengenal ilmu silat, Ki Liong merasa tak puas dengan latihan-latihan
yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apa lagi ketika dari para guru
silat itu dia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia
persilatan yang sakti.
Di antara
nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, yaitu
majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai
pendekar silat yang paling lihai di dunia! Maka mulailah Ki Liong bercita-cita
untuk menjadi murid Pendekar Sadis!
Ki Liong
sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para
pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas
kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia
berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau
Teratai Merah.
"Aku
sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau
akan dapat diterima menjadi muridnya? Apa lagi kalau keluarga itu tahu bahwa
ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi
musuh para pendekar..."
"Aku
tidak akan mengaku sebagai putera Sim Thian Bu, Ibu. Kalau ada yang menanyakan
ayahku, maka aku akan mencari nama lain dan aku akan menggunakan nama keturunan
Ibu, yaitu she Ciang."
"Hal
itu memang bisa diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar
besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya
sebagai murid?"
"Percayalah,
Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau
sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit
hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang."
Ibunya
merangkulnya, dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirnya melepaskan anaknya
untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah,
dengan mempertaruhkan nyawanya dalam serangan badai yang amat dahsyat, akhirnya
Ki Liong yang cerdik itu berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya,
kemudian berhasil diambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi.
Sebelum
membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, tentu saja dia sudah
menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa
kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan
berhasil.
Pertemuan Ki
Liong dengan Kui Hong telah menggerakkan nafsu birahinya, bahkan telah
menggugah semua nafsu yang selama ini terus ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk
mengelabui suhu dan subo-nya. Sekarang dia merasa tak dapat bertahan lebih lama
lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu.
Selama enam
tahun ini segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya selalu ditekan dan
dirahasiakannya. Dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia
kemudian dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan
tidak pernah melakukan pelanggaran, di samping selalu tekun dan rajin berlatih
dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan
tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan serta keuletan seperti
itu akhirnya dapat berhasil memiliki kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi
bendungan itu kini jebol! Begitu bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap,
bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu, pertahanannya untuk mengekang
diri dari semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya langsung retak-retak.
Malam itu Ki
Liong gelisah tak dapat tidur. Akhirnya, setelah memutar otak dan membuat
perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat
tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan
tetapi sekali ini dia bukan berlatih semedhi seperti biasa.
Gurunya Ceng
Thian Sin pernah mengajarkan kepadanya cara bersemedhi jungkir balik untuk
melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun. Dengan
bersemedhi cara jungkir balik ini gurunya mengenal tenaga-tenaga dalam yang
mukjijat, juga gurunya memberi tahu bahwa tenaga-tenaga yang tak nampak itu menjadi
dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya
juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini.
Sebagai
seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong juga pernah melakukan
percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak-gerak di dalam pusarnya
itu. Pernah dia mencoba memusatkan perhatiannya, mempergunakan tenaga sakti itu
untuk memperkuat perasaan hatinya, lantas dengan dorongan tenaga ini dia
menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di
depannya, menengok padanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang
dikehendakinya pada saat itu.
Beberapa
kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong
kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa saja
yang diperintahnya secara diam-diam, dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia
tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau
menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri.
Kini, baru
pertama kali dalam hidupnya dia melakukan semedhi mengumpulkan kekuatan itu
dengan suatu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya,
yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia
tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini maka tak ada lain jalan kecuali
melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.
Sementara
itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak
dapat tidur. Dia mendapat sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya,
ada pun kamar kakek dan neneknya, kamar terbesar, berada di seberang kamarnya.
Dia tidak
dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susiok-nya itu!
Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi.
Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa dia tidak
tahu. Ada sesuatu yang membuat dia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tak
enak menyelinap di dalam hatinya.
Dia sendiri
merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal
susiok-nya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan.
Apakah dia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat?
Ahh, kenapa harus iri? Bukankah bagaimana pun juga pemuda itu adalah paman
gurunya? Seharusnya dia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai!
Wajah pemuda
itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan di dalam
hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakan pengap itu, untuk mencari
hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu sangat
indah, dan di situ terdapat segala macam bunga. Tadi pun, ketika memasuki
kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman.
Kui Hong
membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek
neneknya yang telah masuk ke kamar masing-masing. Dia lalu melangkah menuju ke
taman, melewati beberapa kamar. Tidak nampak seorang pun pelayan yang berada di
luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang
berada di dalam kamarnya yang hangat.
Memang hawa
di dalam taman itu sejuk dan segar sekali. Bulan sepotong sudah keluar dan biar
pun sinarnya masih redup, tetapi cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang
remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu.
Kui Hong
kemudian duduk di atas bangku, setelah berjalan-jalan mengelilingi taman itu,
di antara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi
baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar demikian indahnya. Memang
berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana
kembang-kembang mekar agak terlambat, menunggu hingga musim semi benar-benar
sudah masuk dan sisa musim salju telah pergi jauh. Di selatan ini matahari
bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan terlihat lebih segar.
"Nona,
engkau berada di sini juga?" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kui Hong
yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susiok-nya sudah berada di situ.
Ihh, pemuda ini munculnya seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi,
tahu-tahu telah berada di situ.
"Susiok,
mau apa malam-malam begini engkau meninggalkan kamarmu?" tanya Kui Hong
sambil memandang tajam melalui keremangan cuaca malam.
Pemuda itu
tersenyum dan sejenak nampak gigi putih berkilat. "Ahh, agaknya tak banyak
bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku
merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini.
Hal ini sudah biasa kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kuduga malam ini aku
akan berjumpa denganmu di sini, hal yang amat menggembirakan."
Kui Hong
adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Ketika
masih tinggal di Cin-ling-san, baginya biasa saja bercakap-cakap dengan siapa
pun, baik dengan wanita mau pun dengan pria. Maka, kini berduaan saja dengan
seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung.
"Duduklah,
Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan
bunga-bunganya demikian harum."
Bukan main
girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya memanggil Kui Hong melalui
semedhinya tadi sudah berhasil. Tadi dia mendengar langkah kaki halus gadis itu
ketika menuju ke taman bunga, maka dia pun langsung turun dari pembaringan
untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga
tegang pada waktu dia melihat Kui Hong melangkah menuju ke taman, tepat seperti
yang diinginkannya!
Dan kini,
setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis
itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk
berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka
padanya. Dia tahu bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu,
malam-malam berdua saja di dalam taman bersama seorang laki-laki, tentu akan
segera pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini
menyambutnya dengan baik bahkan mempersilakan dia duduk.
"Memang
taman ini sangat indah. Banyak bunga di sini yang kutanam sendiri, akan tetapi
malam ini nampak jauh lebih indah dari pada biasanya karena engkau berada
disini, Nona Hong."
Walau pun
ucapan itu dilakukan dengan suara halus dan penuh kesopanan, namun isinya
membuat Kui Hong segera mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata tajam
penuh selidik.
"Susiok,
kenapa sikap dan kata-katamu seperti itu? Sungguh aneh kedengarannya. Tadi
engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kau sangka ini sangat
menggembirakan, dan kini kau katakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak
jauh lebih indah dari pada biasanya!"
Dia
memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Dia sudah tahu dan dia senang bukan
main dengan pujianku, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan
memancing-mancing! Tak perlu lagi kusembunyikan, dia pasti akan menerima
pernyataan cintaku! Sesudah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara
cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus,
"Aih,
Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila
padamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita
tadi, aku sudah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlampau
cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini..."
Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.
"Susiok...!"
Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular
setelah tadi untuk beberapa detik lamanya dia bagai terpukau di tempat
duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susiok-nya itu. Kini mukanya menjadi
merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong
yang belum berpengalaman itu diterima dengan keliru pula.
"Nona
Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi. Di taman ini tiada
orang lain kecuali kita berdua..." Dan dia pun mengulur tangan hendak
menangkap lengan gadis itu, untuk ditarik ke atas pangkuannya dan didekapnya,
diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibir yang demikian
manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.
"Plakkk!"
Baru Ki
Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui
Hong. Wajah Ki Liong berubah menjadi pucat sekali lantas diam-diam dia memaki
dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah sekali ditipu oleh harapan dan khayalan
sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran
tangannya untuk bermain cinta!
"Susiok,
apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku?
Mentang-mentang engkau menjadi murid kakek dan nenekku, ya? Keparat kau!"
Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap.
Ki Liong
cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. "Ehhh, ahhh, maaf, Nona...
aku... aku tidak bermaksud buruk...," katanya dengan muka pucat.
Akan tetapi
Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini
berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, dia menyerang dengan
sungguh-sungguh, seperti sedang menyerang seorang musuh yang harus dia
robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya.
Sebetulnya
tadinya Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong.
Bahkan dia harus mengakui bahwa dia tertarik dan kagum kepada susiok-nya yang
masih muda, tampan gagah serta memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta
dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukanlah merupakan suatu hal yang dapat
mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu
tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi
marah sekali.
Pertama,
hari itu Ki Liong baru saja diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru
beberapa jam mereka saling berkenalan. Dan ke tiga, pernyataan Ki Liong
demikian terus terang dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali sehingga
menimbulkan rasa malu.
Memang harus
diakui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum
mempunyai pengalaman sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya
saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu.
Kini begitu dia bertemu dengan Kui Hong nafsunya langsung bergolak dan pertahanannya
bobol, maka dia pun bertindak tanpa berpikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan
sekarang barulah dia sadar alangkah gegabah dan ceroboh tindakannya itu,
memancing keributan yang hanya akan merugikan dirinya sendiri saja.
"Maafkan,
aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku..." Demikian dia
berkata sambil mengelak dan menangkis.
Akan tetapi
ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah.
Serangan-serangannya menjadi makin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan
tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling.
Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.
"Plakkk!"
Tendangannya
itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan
selain ibunya, di situ hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat
betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran sekali. Akan
tetapi Ki Liong yang melihat kehadiran suhu dan subo-nya, menjadi gelisah bukan
kepalang dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya.
"Suhu,
teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekali pun
dari Suhu dan Subo!"
Tentu saja
Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan
murid mereka itu. Tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar suara
ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari arah taman, maka mereka cepat
keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga sedang berlari keluar menuju
ke taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim
tendangan, Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya cepat menangkis.
"Kui
Hong, apa lagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?" tanya Sui
Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu sudah
keterlaluan terhadap susiok-nya yang sepatutnya dihormati.
"Ibu,
dia itu... kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina
aku!" bentak Kui Hong marah.
Mendengar
ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi terkejut bukan main, terutama sekali
Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai
seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah,
juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam
sesudah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan
menghinanya?
Sui Cin juga
merasa heran. Puterinya itu tak pernah berbohong dan jika puterinya sudah marah
seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi dia juga meragukan kata-kata
Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sute-nya yang demikian sopan itu
tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.
"Apakah
yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui
Hong?"
Wajah Kui
Hong menjadi merah sekali dan dia pun baru menyadari alangkah memalukan keadaan
itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu dia akan malu untuk
menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa dia harus
mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.
"Ibu,
dia itu... dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani
merayuku!"
Sui Cin
terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis
berkerut dan perasaan aneh. "Ki Liong, apakah yang telah kau lakukan
sehingga cucu kami marah kepadamu?" tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang
sekali.
"Suhu
dan Subo, teecu sudah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Sungguh
teecu tidak tahu diri karena tadi teecu sudah mengaku cinta kepada Nona Hong
sehingga dia menjadi marah dan menyerang teecu."
Hampir saja
Ceng Thian Sin tertawa. Kiranya hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat
menyalahkan pemuda muridnya itu apa bila melihat betapa cantik manisnya cucunya
itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan
setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum bukanlah perbuatan aneh,
apa lagi bagi Ki Liong yang belum memiliki pengalaman sehingga desakan hati
mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi.
Akan tetapi,
demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap
marah. "Hemmm, Ki Liong, bagaimana kau berani menyatakan cinta kepada
murid keponakanmu sendiri? Perbuatanmu itu sungguh lancang sekali. Apa yang
mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"
"Ampun,
Suhu. Teecu... teecu... sudah jatuh hati begitu melihat Nona Hong..., dan teecu
berterus terang kepadanya... kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa
disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang
sejuk segar sudah membuat teecu lupa diri... dan... dan... teecu mengaku salah
dan telah siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."
"Kui
Hong," sekarang nenek itu berkata kepada cucunya. "Selain pengakuan
cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong
kepadamu?"
Ditanya
demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadi bingung. Apa lagi yang dilakukan Ki
Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya
memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.
"Dia
tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu
telah membuat aku merasa malu dan marah, juga merasa terhina, maka aku
menyerangnya!" katanya nekat.
Sui Cin
merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau memang pemuda itu hanya
mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu
tidak setuju, cukup mengatakan saja atau meninggalkan pergi.
"Kui
Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Apa bila engkau
tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus
marah-marah dan memukulnya."
Kui Hong
diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini
Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya sehingga dia merasa perlu menegur
Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh.
"Ki
Liong, perbuatanmu tadi sungguh lancang dan menyinggung hati cucu kami. Kuharap
engkau bisa melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tak boleh melakukan
hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"
Tiba-tiba
saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua
pipinya! "Teecu merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima
hukuman apa pun atas kelancangan dan kebodohan teecu."
Ceng Thian
Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi
mengapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata? "Sudahlah, penyesalan
tidak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah,
kembalilah ke kamarmu."
Ki Liong memberi
hormat kepada suhu dan subo-nya, bahkan sesudah bangkit berdiri, dia menjura
dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, "Suci, aku mohon maaf
sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku." Sesudah berkata demikian,
tanpa menunggu jawaban, pemuda itu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali
ke dalam kamarnya
"Kui
Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu," kata Sui Cin, merasa tidak
enak juga kepada ayah dan ibunya.
Baru saja
dia bersama puterinya pulang ke rumah ayah bundanya, membawa berita yang amat
buruk mengenai hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah
dan ibunya ikut merasa pusing. Dan sekarang, baru setengah malam saja berada di
situ, puterinya telah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan
perasaan tak enak. Sungguh dia merasa sebagai beban kedua orang tuanya saja
yang tentu hidup di dalam keadaan aman tenteram sebelum dia datang dan kini
menjadi kacau begitu dia pulang!
"Ah,
Kui Hong memang seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja
dia marah-marah lantas turun tangan. Sungguh tidak baik sekali," katanya
sambil menarik napas duka. Jika saja di situ ada suaminya, tentu suaminya itu
dapat mengambil tindakan yang tepat.
Toan Kim
Hong merangkul puterinya. "Tidak mengapa, tidak perlu khawatir. Dia memang
agak keras hati, tetapi gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak
angkuh dalam soal cinta dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Namun Ki Liong
juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuat anak itu merasa
malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya akibat dia merasa dihina
dengan pernyataan cinta itu. Aihh, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang
muda dengan cinta mereka."
"Yang
membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong," kata Ceng Thian
Sin. "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan
wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang sangat alim. Akan tetapi
kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"
"Seperti
kukatakan tadi, orang muda yang sedang terlibat cinta memang suka melakukan
tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu
menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidak terlampau besar untuk
dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah
hal itu merupakan dosa yang tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan
merasa rendah dan menjadi pemalu."
Mendengar
ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. "Biarlah kita lupakan saja urusan itu
dan aku akan menasehati Kui Hong agar dia juga melupakan urusan itu."
Diam-diam
kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, sebenarnya Ki
Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang
muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali jika
keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi
halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada
Sui Cin.
Mereka semua
lalu kembali ke kamar masing-masing dan mereka pun dapat tidur nyenak karena
urusan yang timbul tadi memang tak seberapa penting. Namun dapat dibayangkan
betapa kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya
mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa
pamit!
Pemuda itu
sudah pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil
dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan
yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat
kenyataan bahwa ada beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka
Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari dalam gudang pusaka! Siapa
lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tak ada orang lain kecuali mereka
bertiga yang bisa memasuki gudang pusaka itu!
"Ahh,
apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja sudah terjadi perubahan yang
demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan sudah memasuki batinnya
hingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?" kata
Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. "Aku akan mengejar dan menghajarnya
kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi
sesat!"
"Sabarlah,"
kata Toan Kim Hong. "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam sudah
membuat dia merasa malu sehingga tidak berani lagi berhadapan dengan kita
sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat
dari sini tanpa pamit. Sedangkan benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang
belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka
dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita
tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal kemudian kembali. Dan andai
kata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia
melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan
keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."
Pendekar
Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dalam usahanya untuk menekan
perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya terhadap muridnya
yang dianggap sebagai putera sendiri itu. Walau pun murid itu sudah pergi
meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang
pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum
ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan
isterinya benar.
"Ahh,
sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai
dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia sudah memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi. Dia memiliki bakat yang baik sekali dan mungkin
sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."
Mendengar
ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. "Benarkah dia demikian hebat, Ayah?
Tetapi ketika melawan Kui Hong tadi..."
"Ahhh,
engkau tidak tahu, Sui Cin!" kata Toan Kim Hong. "Seperti yang
dikatakan ayahmu tadi, anak itu memiliki bakat yang sangat besar, bahkan lebih
besar dari pada bakat yang ada padamu! Jangankan Kui Hong, bahkan engkau
sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."
Sui Cin
terkejut bukan main. Dia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka dia
pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa dia kalah oleh sute-nya yang masih
muda itu.
"Ahh,
kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan
menjadi penjahat," katanya lirih.
"Akan
tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Selama berada di sini
biarlah kami berdua akan menggembleng dia dan mengajarkan kunci-kunci pemunah
dari semua ilmu berbahaya yang sudah dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak
dia akan mampu menandinginya."
Mendengar
ini, Sui Cin menjadi girang bukan kepalang dan mulai hari itu juga, kakek dan
nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka
dengan penuh ketekunan, dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu
saja berlatih dengan giat.
Kakek dan
neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng
Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu dari Bu-beng Hud-couw, yaitu Hok-liong
Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan
silat yang selalu menempel di tanah, dan juga cara bersemedhi berjungkir balik
untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan semedhi cara
ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak
serangan ilmu sihir dan sebagainya.
Diam-diam
Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walau pun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan
masih terhitung paman gurunya sendiri, namun dia gemas sekali kalau mengingat
betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apa lagi mendengar batapa
pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka
milik kakek dan neneknya, diam-diam dia merasa semakin gemas dan marah. Kalau
sudah tamat belajar, kelak dia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas
kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga hendak menghajar murid
murtad itu!
Di samping
pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Dia ingin
mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya kedua
cita-cita ini, Kui Hong makin giat dan rajin belajar, hampir tak ada waktu
lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek
dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.
***************
Pemuda itu
berpakaian sederhana. Wajahnya tampan dengan muka yang berbentuk bulat dan
berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan tampak bagus sekali pada kulit
muka yang putih itu. Dua matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh
pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang
aneh dan sangat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air
telaga yang dalam.
Pemuda yang
berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini baru saja sampai di
luar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan. Dia adalah Pek Han Siong,
Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa
berusia dua puluh satu tahun.
Seperti yang
sudah kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri
pendekar yang telah mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara
Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani
hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai.
Sesudah
meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok
Lo-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup biar pun sudah
tua renta. Pada saat melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, kakek ini
langsung mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam goa untuk dilatih
ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat
betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.
Setahun
lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin. Setelah pemuda
ini berhasil menguasai ilmu yang dipelajarinya, gurunya yang baru itu
menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Han Siong
segera menjatuhkan diri dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada kakek itu
dengan hati terharu.
"Di
mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?" Han Siong
bertanya.
Kakek itu
terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Mengapa mesti rindu,
Han Siong? Setiap kali engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu,
karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku
lagi. Usiaku sudah terlampau tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah
beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau,
dan semua orang yang pernah hidup. Manusia harus memegang dan menjalankan peran
masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran
itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan perannya yang penting namun
pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan
yang penting, tapi bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, sekarang
pergilah, muridku."
Setelah
memberi penghormatan terakhir, Han Siong lalu pergi meninggalkan gurunya yang
duduk bersila di depan goa. Sesudah melakukan perjalanan yang cukup jauh, pada
senja hari itu akhirnya sampailah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat
tinggal orang tuanya!
Berdebar
jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk
mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan
kakeknya. Akan tetapi bagaimana dia dapat menggambarkan wajah orang tuanya
hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa
lagi.
Saat
menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai, kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah
tua sekali dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih
bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah
ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu
kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan
di depan itu! Betapa dekatnya mereka.
Ayah dan ibu
kandung. Akan tetapi betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat
mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua ini
gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan.
Demikian menurut
penuturan Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas
oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di
Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di
kuil Siauw-lim-si itu. Para pendeta Lama itu sungguh terlalu, pikirnya.
Menurut
hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkan dirinya, juga
banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk
dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para
pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar.
Dia mengepal
tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita akibat
mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati
orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi
dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.
Dia akan
segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan hal ini, membayangkan
betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, sepasang mata Han Siong
menjadi basah dan dia lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu.
Tiba-tiba
dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia
yang tadinya menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka,
ternyata di depannya sudah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah
panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta.
Mereka bukan
seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si. Pakaian mereka berbeda karena
jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan
wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin
mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat
menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu.
Mereka
rata-rata berusia enam puluh tahun. Tiga orang di antaranya memegang tongkat
dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan
mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong
pun dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan
sembahyang, akan tetapi dapat juga dipergunakan sebagai senjata karena banyak
pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata
ampuh.
Melihat
betapa lima orang pendeta itu berjajar memenuhi jalan di depannya, seperti
orang yang sengaja menghadang, dia lalu memberi hormat dengan bersoja,
mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.
"Maaf
Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan supaya saya
dapat lewat," katanya penuh hormat.
Lima orang
pendeta Lama itu mengerutkan alis dan menatap kepadanya dengan pandang mata
penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah,
yang sebelah kiri jauh lebih kecil dari pada yang sebelah kanan, dan biji-biji
tasbeh pada tangannya itu lebih besar dari pada orang ke dua yang juga memegang
tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup,
berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.
"Apakah
engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya
parau dan datar.
"Benar,
Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-sim-pang."
"Hemm,
ada keperluan apakah?"
Biar pun
wajahnya tetap senyum dan hormat, akan tetapi di dalam hatinya Pek Han Siong
mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang hendak mencampuri
urusan orang lain, seakan-akan mereka yang berkuasa di situ dan berhak mengurus
orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap
tenang dia menjawab,
"Saya
hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."
"Hemm,
siapakah namamu, orang muda?"
Han Siong
sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang
kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan
tidak mau menyembunyikan dirinya.
"Nama
saya Pek Han Siong, Losuhu."
Benar saja
dugaannya! Kelima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang
dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan gembira sekali. Seorang di antara
mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, segera menggelinding ke
belakangnya.
"Perlihatkan
punggungmu!" bentak pendeta gendut itu.
Han Siong
merasa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu satu detik itu dia
pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun
tidak mengelak, hanya secara diam-diam mengerahkan tenaga dan melindungi tubuh
belakang agar tidak terkena pukulan gelap.
"Brettttt...!"
Punggung
baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih
bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!
"Omitohud...!
Benar dia... dia Sin-tong...!" teriak Si Gendut yang segera menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki Han Siong.
Dengan
gerakan yang cepat dan ringan, empat orang pendeta lainnya telah berlompatan ke
belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, seperti Si Gendut tadi
mereka pun menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.
"Ampunkan
saya... yang sudah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong...!" kata
pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.
Han Siong
berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi hatinya juga terasa geli melihat
betapa ada lima orang pendeta yang usianya telah enam puluh tahun sekarang
berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila,
pikirnya.
"Cu-wi
Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas sebab
aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua," katanya.
Pendeta
tinggi kurus yang matanya sipit sebelah itu, yang nampaknya menjadi pemimpin
mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan
sepasang tangan menyembah di depan dada.
"Sin-tong
yang mulia, pinceng mohon maaf. Karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng
berlima sudah bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima
adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menunggu kedatangan
Anda."
Han Siong
pura-pura tidak mengerti. "Menunggu kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak
pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."
"Aihh,
Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah
beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga
yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan
ini."
"Hemm,
aku tetap tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang,
setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."
"Sin-tong,
pimpinan kami sudah lama menanti-nanti kedatangan Anda. Sekarang marilah ikut
bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberi tahu lebih lanjut
kepada Anda apa yang harus dilakukan."
"Apa?
Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"
"Benar,
Sin-tong."
"Tidak,
aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap ayah dan ibu kandungku."
"Keluarga
Pek bukanlah keluarga Anda yang sejati, hanya secara kebetulan saja mereka
dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan
turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama beserta
seluruh umat Buddha di dunia. Marilah, Sin-tong."
"Tidak,
aku harus bertemu dengan orang tuaku."
"Boleh
bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut
bersama kami ke Tibet."
"Harus?
Kalian memaksaku?"
"Ahh,
mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Namun kami sudah menerima
tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Betapa pun juga, kami harus
pulang membawa Sin-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."
"Kalau
aku tidak mau?"
"Apa
boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar, namun kami harus
mentaati perintah pimpinan kami," kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba
sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya
berkemak-kemik lantas terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya sangat
lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati
kami!"
Pek Han
Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu mempunyai ilmu sihir
untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya dia telah bersiap siaga
sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya,
dia tersenyum saja.
Baik,
pikirnya, apa bila kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku
memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh
Ban Hok Lojin.
"Cu-wi
Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku
tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku pun berada di tempat
sendiri, tak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat
hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tetap tidak
mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."
Lima orang
pendeta itu saling pandang dengan perasaan heran sekali. Pimpinan mereka tadi
telah mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan
tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tak terpengaruh, bahkan seolah-olah tidak
merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seakan-akan tak pernah terjadi
sesuatu!
Akan tetapi
keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi
adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini
memiliki kelebihan dari pada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang
mereka hadapi bukan sekedar Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja
tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa,
yaitu Ban Hok Lo-jin!
Tiba-tiba
saja pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang melengking
lebih nyaring dan bergelombang kuat. "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai
Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"
Han Siong
merasa alangkah dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena
kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti
batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!
"Engkau
harus ikut kami!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah
sambil membentak keras.
"Engkau
harus taat!"
"Harus
ikut!"
"Harus
taat!"
Bergantian
lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk
mempengaruhi Han Siong. Akan tetapi pemuda itu berdiri biasa saja, bibirnya
tetap tersenyum dan sikapnya masih penuh hormat, sedikit pun tidak bergoyang,
sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang
pendeta Lama itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment