Wednesday, September 26, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 16



























                Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 16


NENEK Wa Wa Lo-bo memandang marah lantas menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu sudah menyebabkan kematian Ong-ya serta isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimana pun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap siaga dan dengan mudahnya ia mengelak.

"Lo-bo, jangan...!" Sun Hok berseru dengan khawatir.

Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, sekarang menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak lalu dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, sungguh pun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.

"Lo-bo, jangan berkelahi...!" kembali Sun Hok berseru.

Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi makin marah. "Engkau adalah murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.

"Ahhh...!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang dia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.

"Dukkk!"

Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.

Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan dia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun dia tidak akan mampu menang!

"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.

"Wa Wa Lo-bo…," kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu tidak akan lama lagi, haruskah sekarang engkau nekat menyerangku secara mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis bersama semua kawan dan anak buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."

"Tutup mulutmu! Jika aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu maka lebih baik aku mampus saja!" Dan dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, sekarang nenek itu mempergunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.

"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin.

Cepat dia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari pada tingkat lawannya sehingga seluruh serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan sepasang tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang

Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan bagai seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau hanya dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Melihat kenekatan nenek itu, maka dia pun menjadi marah.

"Haiiiitttttt...!" teriaknya.

Tiba-tiba dia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.

"Krakkkk...!"

Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal kayu yang meruncing ujungnya saja, sedangkan tubuh nenek itu terpental ke belakang. Dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting, namun ketika dia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, tampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Ternyata pertemuan tenaga dahsyat tadi sudah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya.

Melihat ini, Sun Hok berseru kaget, "Lo-bo...!"

Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Dia maklum bahwa melawan Sui Cin sudah tak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu sudah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,

"Ong-ya berdua dan Siocia, jangan salahkan saya jika anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.

"Lo-bo...!" Sun Hok meloncat kemudian menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan sisa kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat dia tewas seketika.

"Lo-bo, ahhh, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan para pelayan kini datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang telah menjadi mayat dalam keadaan amat mengerikan itu.

Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimana pun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!

"Kui Hong, mari kita pergi saja," katanya.

Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu pergi meninggalkan rumah besar itu, bahkan pada malam itu juga mereka langsung meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar dari pada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.


                ***************


Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di Laut Selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dan subur. Pulau itu tidak berapa besar, panjangnya hanya belasan li dan lebarnya paling banyak sepuluh li.

Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sana, bersama para pelayan dan para pembantu hingga jumlah mereka beserta keluarganya kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap sehingga sekarang pulau itu penuh dengan pohon-pohon, pohon buah mau pun pohon bunga yang serba indah dan bermacam-macam buah-buahan yang lezat dapat pula tumbuh di situ.

Di tengah-tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tidak kunjung kering walau pun di musim panas sekali pun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lain.

Suasana di pulau itu sungguh tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk pada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tidak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali dalam sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka.

Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selain untuk dimakan sendiri, selebihnya dapat mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga para pelayan ini memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.

Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat begitu mendengar namanya langsung menjadi pucat ketakutan.

Dalam usia enam puluh tahun lebih dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan semedhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan.

Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak lagi ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw.

Walau pun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang letaknya terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang dari kalangan kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya.

Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Akan tetapi usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik serta bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.

Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Dulu namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan pada waktu masih gadis dia pernah menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan!

Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, hanya sedikit dibawah tingkat suaminya walau pun dia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya di dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh). Suami isteri yang sangat lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu.

Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin. Setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, sekitar enam tahun yang silam terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.

Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi beberapa orang penghuni pulau itu pulang membawa seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya yang terbalik sesudah tadi malam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepat mendarat dan tidak berani mencari ikan.

Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat ada seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan tengah bergantung di perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat-cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega setelah mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mengalami pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika semalam diombang-ambingkan laut membadai. Sesudah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis.

Suami isteri pendekar itu saling pandang. Segera keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok, jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.

Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah namamu?"

Anak laki-laki itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, lantas memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia pun menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian berdua yang telah menyelamatkan aku dari tengah lautan?"

Ceng Thian Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini," kata Toan Kim Hong sambil menerima pakaian yang dimintanya dari seorang pelayan yang meminjam pakaian dari keluarga nelayan yang memiliki anak sebaya dengan anak itu.

Dia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaian tanpa perasaan sungkan dan malu. Setelah dia kembali lagi, anak ini sudah mengenakan pakaian kering.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu," kata nenek itu.

Akan tetapi, sebagai jawaban anak itu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang.

Toan Kim Hong tersenyum, mengangkat bangun anak itu. "Sudahlah, kau duduklah dan kini ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."

Anak itu tak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya lalu ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan bekerja keras akhirnya saya bisa membeli sebuah perahu kecil kemudian saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."

Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini telah yatim piatu! Tidak memiliki tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekali pun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin di antara keduanya dan sekarang, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah saling setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.

"Ki Liong, engkau terserang badai hingga nyaris saja tewas, akan tetapi akhirnya berhasil diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau untuk selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin.

Ki Liong bersoja kembali memberi hormat. "Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi jika saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya sudah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe...!"

Kembali suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"

"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."

"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian.

Memang semenjak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid. Akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.

"Semenjak hidup seorang diri, sudah banyak saya mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil kerja saya berbulan-bulan dirampas orang dengan kekerasan. Di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga kelak hendak menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."

Suami isteri itu mendengarkan dengan perasaan kagum dan hati mereka merasa gembira sekali. Sungguh tak mereka duga bahwa mereka akan menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat amat baik, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!

"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."

Sambil tetap berlutut anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, namun... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena jika hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang lihai itu?"

Suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau kini berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang sanggup menangkap burung terbang itu?"

"Tidak mungkin, Locianpwe," kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Bila mana tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"

"Kau lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan setelah nenek itu berkata demikian, tiba-tiba dia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini.

Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan sekejap kemudian bayangan itu sudah berada kembali di hadapannya. Nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam oleh tangan kirinya.

"Ahh... ohhh...!" Mata Ki Liong terbelalak dan tak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya ber-ah-uh-ah-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.

"Lihat caraku yang lain lagi dalam hal menangkap burung terbang," kata Ceng Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada isterinya.

Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang lantas bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu sudah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!

Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai. "Ah, saya mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mukjijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe..."

Ceng Thian Sin tertawa lantas melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu pula Ciang Ki Liong sudah menjadi murid mereka.

Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini, dalam perantauannya dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat dengan cepat mengingat setiap jurus yang diajarkan. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang sangat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang.

Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, apa lagi perempuan, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!

Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subo-nya, yang memandang dia seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Ki Liong adalah seorang pemuda yang selalu bersikap ramah terhadap siapa pun juga, sehingga tak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan dia pun bersikap baik, sopan dan alim terhadap beberapa orang anak gadis keluarga para penghuni pulau.

Melihat sikap ini, tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka, maka kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.

Demikianlah, tanpa diketahui oleh Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka yang dahsyat.

Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong tiba mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.

"Siocia datang...!"

"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

"Siocia masih saja nampak muda biar pun anaknya sudah demikian besarnya!"

Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka beserta cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Sui Cin...!" Toan Kim Hong berlari sambil berseru girang, dan sejenak kemudian ibu dan anak ini sudah saling berangkulan.

Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, dia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Walau pun anaknya adalah seorang wanita, namun memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini dia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang amat hebat.

"Sui Cin ada apakah?" dia bertanya, suaranya tegas.

Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang ikut mengantar mereka masuk sesudah tadi menyambut kedatangan mereka, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya. Dia memandang ragu dan ibunya segera maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkan percakapan dan kini dia memegang kedua pundak Kui Hong.

"Haiii, ini... benarkah dia Kui Hong si kecil itu?"

"Nenek...!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong langsung merangkulnya.

Wajah Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga kelihatan cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walau pun perasaannya tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang amat hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.

"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."

Ki Liong cepat melangkah maju kemudian menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan nada halus dan sopan, "Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."

Mata Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya begitu sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.

"Ahh, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini paman gurumu, hayo beri hormat kepadanya."

Walau pun di dalam hatinya merasa segan untuk memberi hormat seorang pemuda yang usianya tak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.

"Susiok (Paman Guru)...!" katanya sambil memberi hormat.

"Ahh, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam.

Melihat sikap pemuda ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan dia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang amat baik.

"Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya.

Akan tetapi dia melihat Sui Cin memandang kepadanya lantas melirik ke arah Ki Liong. Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka dia lalu berkata kepada Ki Liong,

"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu dengan Suci-mu."

"Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.

"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!" tiba-tiba Kui Hong berkata.

Ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, ada pun kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka.

Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.

"Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"

Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.

"Ibu dan Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."

Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat dari pada sekedar cekcok saja.

"Engkau cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya hati-hati.

Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biar pun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguh pun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh.

Betapa banyaknya hubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi perceraian akibat pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang sedang retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan.

Bukan tak mungkin suami dan isteri yang hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya telah saling berkasih-kasihan lagi. Akan tetapi, orang tua dan keluarga hanyalah orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan bisa akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.

Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentulah cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.

"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.

Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

Dengan bijaksana Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri, dengan niat mengingatkan, "Anakku, ayah mertuamu tak ada bedanya dengan ayahmu sendiri, oleh karena itu semua kehendaknya harus ditaati dan jangan sekali-kali dibantah."

"Ibu!" Sui Cin berkata penuh semangat perlawanan sebab hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekali pun ?"

"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu memiliki kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, biar pun berlawanan dengan perasaannya sendiri karena seperti isterinya, dia pun hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.

"Sebenarnya apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu.

"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"

"Apa?!" Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi mengapa? Bukankah dia sudah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.

"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan di antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"

"Ahhh...!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang.

Mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu mereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Jika Ceng Thian Sin sendiri tak bersikap seperti itu adalah karena dia lain dari pada yang lain, dan dia sangat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang.

Karena sebab percekcokan itu adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andai kata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.

"Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.

Sui Cin menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya tetapi tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."

Sui Cin lalu menuturkan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka dia pun kemudian bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi itu keliru?"

Ayahnya menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimana pun juga, Ayah dan Ibumu tidak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan..."

"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.

Ayahnya hanya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain dari pada yang lain. Kami cukup puas walau pun tidak memiliki anak laki-laki, dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang sangat baik, yaitu sute-mu Ki Liong. Kami tidak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Kini terserah kepada Hui Song karena dialah yang harus mengambil keputusan."

"Kasihan Hui Song, dialah yang harus menanggung paling berat," kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah."

"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya tapi kehilangan ayah? Harap Ayah menjawab dengan jujur."

Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang sangat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tak akan mau dimadu dengan alasan apa pun juga.

"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya jika dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Biarlah kalau dia memang mau menikah lagi, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menarik napas panjang. Mereka tahu pasti, apa bila puterinya telah berkata demikian maka tak ada satu orang atau satu sebab pun yang bisa mengubah keputusan itu.


                  ***************

Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Walau pun pemuda itu terhitung paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apa lagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biar pun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah bila dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona!

Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi saat harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apa lagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sukar, diam-diam Kui Hong mentertawakannya.

Dia merasa lebih unggul dalam bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena sejak berusia lima enam tahun dia telah digembleng oleh ayah ibunya, sudah sepuluh tahun lamanya dia berlatih ilmu silat keluarganya, ada pun Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.

Saat Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong Hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), pemuda itu terlihat agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan harus memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali namun belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.

"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"

Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di sana terdapat orang lain yang menonton dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu suci-nya.

"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" kata Ki Liong yang segera menghentikan gerakannya. "Aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walau pun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."

"Hi-hi-hik, mana ada seorang paman guru yang bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjukmu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda.

"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."

Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi jurus Pat-hong Hong-i ini memang sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat baik-baik, namun gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu segera memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah dia sedang menari-nari saja.

Ki Liong memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dia pun langsung dapat melihat kekeliruannya tadi. Seharusnya dia mempergunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing.

Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu sambil memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya.

Agaknya gerakan Ki Liong menjadi semakin kacau. Akan tetapi akhirnya, sesudah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama-sama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong Hong-i dengan benar.

"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."

Kini Ki Liong menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lantas menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."

Kui Hong merasa aneh saat mendengar dirinya dipuji cantik jelita. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya.

Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu ber-pibu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apa lagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.

"Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di hadapan pemuda itu.

"Ehh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"

"Apa lagi permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pibu?"

"Wah! Engkau mengajak aku untuk pibu? Mana aku berani, Nona?"

"Susiok, namanya saja pibu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pibu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"

"Ahh, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri-seri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku mau. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk apabila ada gerakanku yang keliru, Nona."

"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong Sin-kun yang kau latih tadi!" Gadis remaja itu lantas bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya.

Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, lalu membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong Sin-kun. Dengan mudah Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka kemudian saling serang menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa paman gurunya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!

"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya.

Dan kembali dia merasa kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya hingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja

Kui Hong terkejut sekali, lalu teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Dia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Bahkan ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.

Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat milik ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walau pun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya secara sempurna benar. Hal ini dapat terjadi karena ketika muda Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Dia yang memiliki bakat amat baiknya itu secara diam-diam telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia dibawa ke Pulau Teratai Merah!

Tadi pun ketika berlatih Pat-hong Hong-i dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walau pun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini dapat selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!

KUI HONG menjadi sangat penasaran. Dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun yang dibantu oleh tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dia cepat mengubah gerakan silatnya, sekarang memainkan San-in Kun-hoat yang amat lihai. Namun ternyata pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya.

Kui Hong lalu menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi pada waktu pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong segera terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa sinkang-nya masih kalah pula dalam hal mengerahkan tenaga pukulan ini!

Pada saat itu muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah. "Eh, apa yang kau lakukan itu, Kui Hong? Berhenti!" teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya.

Melihat munculnya mereka bertiga, Ki Liong langsung meloncat ke belakang dan menjura dengan hormat. "Nona Hong, ilmu kepandaianmu betul-betul hebat, membuat aku kagum sekali."

"Ibu, aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!" kata Kui Hong kepada ibunya.

Namun Ceng Sui Cin mengerti akan watak puterinya yang senang ber-pibu, dan tadi dia melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam dia sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum sanggup menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya tadi, pemuda itu baru enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki bakat yang baik sekali.

Sesudah memberi hormat, Ki Liong kemudian mengundurkan diri dengan alasan hendak membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong berkata kepada puterinya.

"Dia seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun berada di sini dia tidak pernah mengecewakan kami, baik mengenai ketekunannya dalam berlatih silat mau pun kerajinannya dalam membantu pekerjaan di ladang atau mencari ikan."

"Benar, memang dia adalah seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan," kata pula Pendekar Sadis. "Bagaimana, Kui Hong, ketika engkau latihan bersama dia?"

Kui Hong mengerutkan alisnya. "Ada yang aneh, Kongkong (Kakek)."

"Aneh? Apanya yang aneh?" kakek itu bertanya.

"Pada saat berlatih Pat-hong Hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh gerakan itu yang benar sebab nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi ketika kami latihan bersama, tahu-tahu dia mampu mengimbangi semua seranganku dan ternyata dia pandai sekali, juga tenaga sinkang-nya pun amat kuat, bahkan dia mampu menggunakan Bian-ciang."

"Tentu saja dia sangat hebat karena dia langsung digembleng oleh kakek dan nenekmu," kata Sui Cin, tidak terbebas sama sekali dari perasaan iri.

Ayahnya tertawa. "Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat."

Sementara itu, Ki Liong yang pergi ke ladang ternyata tidak mencangkul atau bekerja lain, melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar mencorong aneh. Dia membayangkan semua yang sudah dialaminya tadi, di lian-bu-thia.

Masih terbayang wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara merdunya ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan lengannya kehangatan lengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka bersentuhan.

Ahhh, semua itu membangkitkan birahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri suci-nya, kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menuruti hasrat hatinya, tentu akan diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu. Kini dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini dirasakan.

Dia hanya mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria dan wanita, namun belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh hati, dan jika ada kalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau itu, maka perasaan ini cepat ditahan dan ditekannya, karena dia harus memperlihatkan sikap yang paling baik di situ.

Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tak mampu lagi menahan perasaan hatinya itu, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata gelap, mendekati Kui Hong kemudian gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu dan subo-nya, tentu dia akan mengalami celaka.

Sejak lama dia sudah melakukan persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Selama ini suhu dan subo-nya tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sebenarnya. Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu sudah berhasil baik. dia telah berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan sudah menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian suami isteri yang sakti itu!

Ada beberapa macam ilmu yang sudah dihafalnya benar dan hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang sangat dahsyat karena ilmu ini merupakan penyedotan sinkang (tenaga sakti) dari tubuh lawan! Dia hanya tahu akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat menguasai ilmu ini dibutuhkan latihan yang cukup lama dan berat.

Secara diam-diam dia telah mengumpulkan benda-benda berharga yang terdapat di dalam gudang pusaka suhu dan subo-nya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya!

Sungguh pandai sekali pemuda ini, dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis dan isterinya. Padahal sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu haus akan anak atau murid laki-laki itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri,

Siapakah Ki Liong ini sesungguhnya? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya dia mengaku she Ciang, namun sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi sesungguhnya dia she Sim. Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si.

Ketika masih gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek. Karena rayuan maut pemuda itu, akhirnya Ciang Si pun menyerahkan diri kepada pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci Kang, putera Si Iblis Buta.

Sim Thian Bu merupakan murid yang pandai dan lihai sekali, di samping kecerdikannya yang membuat dia sempat mengangkat namanya menjadi terkenal di kalangan kang-ouw. Seperti dapat diikuti di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan sudah diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa.

Dulu pernah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang bekerja sama dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka. Dalam bentrokan yang terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para pendekar yang membantu pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu dirobohkan oleh Siangkoan Ci Kang, suheng-nya sendiri, kemudian tewas di bawah hujan senjata para prajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li yang tewas setelah roboh oleh Ceng Sui Cin.

Hubungan kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tak berlangsung lama. Setelah Ciang Si mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkannya begitu saja. Ciang Si tetap mencinta Sim Thian Bu, biar pun pria itu sudah meninggalkannya, bahkan mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak itu dia beri nama Sim Ki Liong, dan sambil merana dalam pencariannya terhadap pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu.

Akhirnya dari anggota pemberontak yang dijumpainya dia mendengar akan kematian Sim Thian Bu. Dia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya hancur lebur oleh hujan senjata para prajurit.

Tentu saja berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, namun di samping kedukaannya wanita ini pun menaruh dendam yang amat mendalam terhadap para pendekar, terutama Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya. Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya kelak akan bisa dilakukan oleh Ki Liong kalau anak itu sudah dewasa.

Maka mulailah dia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya. Akan tetapi, setelah mengenal ilmu silat, Ki Liong merasa tak puas dengan latihan-latihan yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apa lagi ketika dari para guru silat itu dia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang sakti.


cerita silat online karya kho ping hoo


Di antara nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, yaitu majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai pendekar silat yang paling lihai di dunia! Maka mulailah Ki Liong bercita-cita untuk menjadi murid Pendekar Sadis!


Ki Liong sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah.

"Aku sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau akan dapat diterima menjadi muridnya? Apa lagi kalau keluarga itu tahu bahwa ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi musuh para pendekar..."

"Aku tidak akan mengaku sebagai putera Sim Thian Bu, Ibu. Kalau ada yang menanyakan ayahku, maka aku akan mencari nama lain dan aku akan menggunakan nama keturunan Ibu, yaitu she Ciang."

"Hal itu memang bisa diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya sebagai murid?"

"Percayalah, Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang."

Ibunya merangkulnya, dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirnya melepaskan anaknya untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah, dengan mempertaruhkan nyawanya dalam serangan badai yang amat dahsyat, akhirnya Ki Liong yang cerdik itu berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya, kemudian berhasil diambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi.

Sebelum membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, tentu saja dia sudah menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan berhasil.

Pertemuan Ki Liong dengan Kui Hong telah menggerakkan nafsu birahinya, bahkan telah menggugah semua nafsu yang selama ini terus ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk mengelabui suhu dan subo-nya. Sekarang dia merasa tak dapat bertahan lebih lama lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu.

Selama enam tahun ini segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya selalu ditekan dan dirahasiakannya. Dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia kemudian dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan tidak pernah melakukan pelanggaran, di samping selalu tekun dan rajin berlatih dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan serta keuletan seperti itu akhirnya dapat berhasil memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi bendungan itu kini jebol! Begitu bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap, bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu, pertahanannya untuk mengekang diri dari semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya langsung retak-retak.

Malam itu Ki Liong gelisah tak dapat tidur. Akhirnya, setelah memutar otak dan membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan tetapi sekali ini dia bukan berlatih semedhi seperti biasa.

Gurunya Ceng Thian Sin pernah mengajarkan kepadanya cara bersemedhi jungkir balik untuk melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun. Dengan bersemedhi cara jungkir balik ini gurunya mengenal tenaga-tenaga dalam yang mukjijat, juga gurunya memberi tahu bahwa tenaga-tenaga yang tak nampak itu menjadi dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini.

Sebagai seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong juga pernah melakukan percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak-gerak di dalam pusarnya itu. Pernah dia mencoba memusatkan perhatiannya, mempergunakan tenaga sakti itu untuk memperkuat perasaan hatinya, lantas dengan dorongan tenaga ini dia menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di depannya, menengok padanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang dikehendakinya pada saat itu.

Beberapa kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa saja yang diperintahnya secara diam-diam, dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri.

Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan semedhi mengumpulkan kekuatan itu dengan suatu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini maka tak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.

Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Dia mendapat sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, ada pun kamar kakek dan neneknya, kamar terbesar, berada di seberang kamarnya.

Dia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susiok-nya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa dia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat dia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tak enak menyelinap di dalam hatinya.

Dia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal susiok-nya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah dia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ahh, kenapa harus iri? Bukankah bagaimana pun juga pemuda itu adalah paman gurunya? Seharusnya dia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai!

Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan di dalam hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakan pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu sangat indah, dan di situ terdapat segala macam bunga. Tadi pun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman.

Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang telah masuk ke kamar masing-masing. Dia lalu melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tidak nampak seorang pun pelayan yang berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat.

Memang hawa di dalam taman itu sejuk dan segar sekali. Bulan sepotong sudah keluar dan biar pun sinarnya masih redup, tetapi cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu.

Kui Hong kemudian duduk di atas bangku, setelah berjalan-jalan mengelilingi taman itu, di antara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar demikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana kembang-kembang mekar agak terlambat, menunggu hingga musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju telah pergi jauh. Di selatan ini matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan terlihat lebih segar.

"Nona, engkau berada di sini juga?" tiba-tiba terdengar suara orang.

Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susiok-nya sudah berada di situ. Ihh, pemuda ini munculnya seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu telah berada di situ.

"Susiok, mau apa malam-malam begini engkau meninggalkan kamarmu?" tanya Kui Hong sambil memandang tajam melalui keremangan cuaca malam.

Pemuda itu tersenyum dan sejenak nampak gigi putih berkilat. "Ahh, agaknya tak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini. Hal ini sudah biasa kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kuduga malam ini aku akan berjumpa denganmu di sini, hal yang amat menggembirakan."

Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Ketika masih tinggal di Cin-ling-san, baginya biasa saja bercakap-cakap dengan siapa pun, baik dengan wanita mau pun dengan pria. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung.

"Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan bunga-bunganya demikian harum."

Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya memanggil Kui Hong melalui semedhinya tadi sudah berhasil. Tadi dia mendengar langkah kaki halus gadis itu ketika menuju ke taman bunga, maka dia pun langsung turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang pada waktu dia melihat Kui Hong melangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya!

Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka padanya. Dia tahu bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, malam-malam berdua saja di dalam taman bersama seorang laki-laki, tentu akan segera pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik bahkan mempersilakan dia duduk.

"Memang taman ini sangat indah. Banyak bunga di sini yang kutanam sendiri, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah dari pada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong."

Walau pun ucapan itu dilakukan dengan suara halus dan penuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong segera mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Susiok, kenapa sikap dan kata-katamu seperti itu? Sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kau sangka ini sangat menggembirakan, dan kini kau katakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah dari pada biasanya!"

Dia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Dia sudah tahu dan dia senang bukan main dengan pujianku, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tak perlu lagi kusembunyikan, dia pasti akan menerima pernyataan cintaku! Sesudah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus,

"Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila padamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku sudah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlampau cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini..." Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.

"Susiok...!" Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya dia bagai terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susiok-nya itu. Kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang belum berpengalaman itu diterima dengan keliru pula.

"Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi. Di taman ini tiada orang lain kecuali kita berdua..." Dan dia pun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditarik ke atas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibir yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.

"Plakkk!"

Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong. Wajah Ki Liong berubah menjadi pucat sekali lantas diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah sekali ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta!

"Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid kakek dan nenekku, ya? Keparat kau!" Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap.

Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. "Ehhh, ahhh, maaf, Nona... aku... aku tidak bermaksud buruk...," katanya dengan muka pucat.

Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, dia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti sedang menyerang seorang musuh yang harus dia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya.

Sebetulnya tadinya Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong. Bahkan dia harus mengakui bahwa dia tertarik dan kagum kepada susiok-nya yang masih muda, tampan gagah serta memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukanlah merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali.

Pertama, hari itu Ki Liong baru saja diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Dan ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali sehingga menimbulkan rasa malu.

Memang harus diakui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum mempunyai pengalaman sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini begitu dia bertemu dengan Kui Hong nafsunya langsung bergolak dan pertahanannya bobol, maka dia pun bertindak tanpa berpikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar alangkah gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang hanya akan merugikan dirinya sendiri saja.

"Maafkan, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku..." Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis.

Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi makin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.

"Plakkk!"

Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, di situ hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran sekali. Akan tetapi Ki Liong yang melihat kehadiran suhu dan subo-nya, menjadi gelisah bukan kepalang dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya.

"Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekali pun dari Suhu dan Subo!"

Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. Tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar suara ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari arah taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga sedang berlari keluar menuju ke taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan, Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya cepat menangkis.

"Kui Hong, apa lagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?" tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu sudah keterlaluan terhadap susiok-nya yang sepatutnya dihormati.

"Ibu, dia itu... kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!" bentak Kui Hong marah.

Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi terkejut bukan main, terutama sekali Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam sesudah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya?

Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tak pernah berbohong dan jika puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi dia juga meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sute-nya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.

"Apakah yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?"

Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan dia pun baru menyadari alangkah memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu dia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa dia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.

"Ibu, dia itu... dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!"

Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh. "Ki Liong, apakah yang telah kau lakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?" tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.

"Suhu dan Subo, teecu sudah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Sungguh teecu tidak tahu diri karena tadi teecu sudah mengaku cinta kepada Nona Hong sehingga dia menjadi marah dan menyerang teecu."

Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Kiranya hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu apa bila melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum bukanlah perbuatan aneh, apa lagi bagi Ki Liong yang belum memiliki pengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi.

Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah. "Hemmm, Ki Liong, bagaimana kau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Perbuatanmu itu sungguh lancang sekali. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"

"Ampun, Suhu. Teecu... teecu... sudah jatuh hati begitu melihat Nona Hong..., dan teecu berterus terang kepadanya... kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar sudah membuat teecu lupa diri... dan... dan... teecu mengaku salah dan telah siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."

"Kui Hong," sekarang nenek itu berkata kepada cucunya. "Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?"

Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadi bingung. Apa lagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.

"Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu telah membuat aku merasa malu dan marah, juga merasa terhina, maka aku menyerangnya!" katanya nekat.

Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau memang pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja atau meninggalkan pergi.

"Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Apa bila engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya."

Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya sehingga dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh.

"Ki Liong, perbuatanmu tadi sungguh lancang dan menyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau bisa melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"

Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya! "Teecu merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman apa pun atas kelancangan dan kebodohan teecu."

Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi mengapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata? "Sudahlah, penyesalan tidak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu."

Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subo-nya, bahkan sesudah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, "Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku." Sesudah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda itu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya

"Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu," kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya.

Baru saja dia bersama puterinya pulang ke rumah ayah bundanya, membawa berita yang amat buruk mengenai hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing. Dan sekarang, baru setengah malam saja berada di situ, puterinya telah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tak enak. Sungguh dia merasa sebagai beban kedua orang tuanya saja yang tentu hidup di dalam keadaan aman tenteram sebelum dia datang dan kini menjadi kacau begitu dia pulang!

"Ah, Kui Hong memang seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja dia marah-marah lantas turun tangan. Sungguh tidak baik sekali," katanya sambil menarik napas duka. Jika saja di situ ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat.

Toan Kim Hong merangkul puterinya. "Tidak mengapa, tidak perlu khawatir. Dia memang agak keras hati, tetapi gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Namun Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuat anak itu merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya akibat dia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aihh, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka."

"Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong," kata Ceng Thian Sin. "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang sangat alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"

"Seperti kukatakan tadi, orang muda yang sedang terlibat cinta memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidak terlampau besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa yang tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan merasa rendah dan menjadi pemalu."

Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. "Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasehati Kui Hong agar dia juga melupakan urusan itu."

Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, sebenarnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali jika keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.

Mereka semua lalu kembali ke kamar masing-masing dan mereka pun dapat tidur nyenak karena urusan yang timbul tadi memang tak seberapa penting. Namun dapat dibayangkan betapa kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit!

Pemuda itu sudah pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa ada beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari dalam gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang bisa memasuki gudang pusaka itu!

"Ahh, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja sudah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan sudah memasuki batinnya hingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?" kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. "Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!"

"Sabarlah," kata Toan Kim Hong. "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam sudah membuat dia merasa malu sehingga tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Sedangkan benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal kemudian kembali. Dan andai kata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."

Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dalam usahanya untuk menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya terhadap muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. Walau pun murid itu sudah pergi meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.

"Ahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia memiliki bakat yang baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."

Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. "Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Tetapi ketika melawan Kui Hong tadi..."

"Ahhh, engkau tidak tahu, Sui Cin!" kata Toan Kim Hong. "Seperti yang dikatakan ayahmu tadi, anak itu memiliki bakat yang sangat besar, bahkan lebih besar dari pada bakat yang ada padamu! Jangankan Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."

Sui Cin terkejut bukan main. Dia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka dia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa dia kalah oleh sute-nya yang masih muda itu.

"Ahh, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat," katanya lirih.

"Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Selama berada di sini biarlah kami berdua akan menggembleng dia dan mengajarkan kunci-kunci pemunah dari semua ilmu berbahaya yang sudah dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak dia akan mampu menandinginya."

Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang bukan kepalang dan mulai hari itu juga, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan, dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat.

Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu dari Bu-beng Hud-couw, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu menempel di tanah, dan juga cara bersemedhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan semedhi cara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.

Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walau pun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun dia gemas sekali kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apa lagi mendengar batapa pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka milik kakek dan neneknya, diam-diam dia merasa semakin gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak dia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga hendak menghajar murid murtad itu!

Di samping pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Dia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya kedua cita-cita ini, Kui Hong makin giat dan rajin belajar, hampir tak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.


                   ***************


Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan dengan muka yang berbentuk bulat dan berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan tampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Dua matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan sangat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam.

Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini baru saja sampai di luar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan. Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun.

Seperti yang sudah kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang telah mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai.

Sesudah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup biar pun sudah tua renta. Pada saat melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, kakek ini langsung mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam goa untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.

Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin. Setelah pemuda ini berhasil menguasai ilmu yang dipelajarinya, gurunya yang baru itu menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Han Siong segera menjatuhkan diri dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.

"Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?" Han Siong bertanya.

Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Mengapa mesti rindu, Han Siong? Setiap kali engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlampau tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Manusia harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan perannya yang penting namun pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, tapi bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, sekarang pergilah, muridku."

Setelah memberi penghormatan terakhir, Han Siong lalu pergi meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan goa. Sesudah melakukan perjalanan yang cukup jauh, pada senja hari itu akhirnya sampailah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya!

Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dia dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi.

Saat menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai, kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka.

Ayah dan ibu kandung. Akan tetapi betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua ini gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan.

Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Para pendeta Lama itu sungguh terlalu, pikirnya.

Menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkan dirinya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar.

Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita akibat mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.

Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan hal ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, sepasang mata Han Siong menjadi basah dan dia lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu.

Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadinya menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya sudah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta.

Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si. Pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu.

Mereka rata-rata berusia enam puluh tahun. Tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong pun dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, akan tetapi dapat juga dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh.

Melihat betapa lima orang pendeta itu berjajar memenuhi jalan di depannya, seperti orang yang sengaja menghadang, dia lalu memberi hormat dengan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.

"Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan supaya saya dapat lewat," katanya penuh hormat.

Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan menatap kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil dari pada yang sebelah kanan, dan biji-biji tasbeh pada tangannya itu lebih besar dari pada orang ke dua yang juga memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.

"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar.

"Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-sim-pang."

"Hemm, ada keperluan apakah?"

Biar pun wajahnya tetap senyum dan hormat, akan tetapi di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang hendak mencampuri urusan orang lain, seakan-akan mereka yang berkuasa di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab,

"Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."

"Hemm, siapakah namamu, orang muda?"

Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.

"Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."

Benar saja dugaannya! Kelima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, segera menggelinding ke belakangnya.

"Perlihatkan punggungmu!" bentak pendeta gendut itu.

Han Siong merasa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu satu detik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya secara diam-diam mengerahkan tenaga dan melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap.

"Brettttt...!"

Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!

"Omitohud...! Benar dia... dia Sin-tong...!" teriak Si Gendut yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong.

Dengan gerakan yang cepat dan ringan, empat orang pendeta lainnya telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, seperti Si Gendut tadi mereka pun menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.

"Ampunkan saya... yang sudah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong...!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.

Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi hatinya juga terasa geli melihat betapa ada lima orang pendeta yang usianya telah enam puluh tahun sekarang berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.

"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas sebab aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua," katanya.

Pendeta tinggi kurus yang matanya sipit sebelah itu, yang nampaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan sepasang tangan menyembah di depan dada.

"Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf. Karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima sudah bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menunggu kedatangan Anda."

Han Siong pura-pura tidak mengerti. "Menunggu kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."

"Aihh, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."

"Hemm, aku tetap tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."

"Sin-tong, pimpinan kami sudah lama menanti-nanti kedatangan Anda. Sekarang marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberi tahu lebih lanjut kepada Anda apa yang harus dilakukan."

"Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"

"Benar, Sin-tong."

"Tidak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap ayah dan ibu kandungku."

"Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda yang sejati, hanya secara kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama beserta seluruh umat Buddha di dunia. Marilah, Sin-tong."

"Tidak, aku harus bertemu dengan orang tuaku."

"Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet."

"Harus? Kalian memaksaku?"

"Ahh, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Namun kami sudah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Betapa pun juga, kami harus pulang membawa Sin-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."

"Kalau aku tidak mau?"

"Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar, namun kami harus mentaati perintah pimpinan kami," kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik lantas terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya sangat lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!"

Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu mempunyai ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya dia telah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja.

Baik, pikirnya, apa bila kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin.

"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku pun berada di tempat sendiri, tak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tetap tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."

Lima orang pendeta itu saling pandang dengan perasaan heran sekali. Pimpinan mereka tadi telah mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tak terpengaruh, bahkan seolah-olah tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!

Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan dari pada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan sekedar Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin!

Tiba-tiba saja pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang melengking lebih nyaring dan bergelombang kuat. "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"

Han Siong merasa alangkah dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!

"Engkau harus ikut kami!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras.

"Engkau harus taat!"

"Harus ikut!"

"Harus taat!"

Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetapi pemuda itu berdiri biasa saja, bibirnya tetap tersenyum dan sikapnya masih penuh hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12