Wednesday, September 26, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 17



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 17


KEMBALI para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang dilakukan susul-menyusul dengan tenaga gabungan mereka, sedikit pun tidak berbekas!

"Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Kalau dipaksakan, segala sesuatu di dunia ini akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."

"Baik, pinceng pergi...," kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.

"Kami pergi..."

"Kami pergi..."

Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka lantas sadar bahwa mereka sudah kehilangan kemauan sehingga tanpa mereka kehendaki mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kaki mereka hendak membawa mereka pergi.

"Omitohud...!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh.

Kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong sudah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!

"Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biar pun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar terhadapmu, akan tetapi saat ini engkau adalah seorang yang diharuskan oleh pimpinan kami untuk turut ke Tibet. Oleh karena itu terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawamu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siong dari belakang.

Han Siong tidak mengelak sehingga dua buah lengan yang besar dan panjang itu sudah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tidak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu cepat melangkah maju lantas sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong segera menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi.

Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja namun sama sekali tidak pandai ilmu silat!

"Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu.

Si Raksasa segera memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau-kalau sampai diketahui oleh orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.

Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. "Ehh, mana Lung Ti Lama?"

Mendengar ini, teman-temannya berhenti kemudian menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang di antara mereka, tidak kelihatan dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan cepat memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.

"Celaka, yang kau panggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya.

Si Tinggi Besar terkejut sekali, lalu menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, ternyata yang ditawan dan ditotok tadi adalah salah seorang teman mereka sendiri, yaitu pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu menjadi terkejut bukan main dan pimpnan Lama cepat membebaskan totokan dari tubuh Si Pendek. Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.

"Bagaimana bisa tahu-tahu engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.

"Sin-tong apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian bahkan mengeroyok aku dan menangkap aku."

Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong mempergunakan sihir yang sangat kuat sehingga mereka berlima dapat dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu telah melangkah lagi akan melanjutkan perjalanan memasuki perkampungan.

"Tangkap dia!" bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun segera berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.

"Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri." Han Siong menegur. "Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."

Akan tetapi lima orang pendeta itu tak lagi memberi kesempatan kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun langsung menerjang dan menyerang. Tiga orang memakai tongkat hitamnya dan dua orang lagi mempergunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat.

Melihat permainan senjata mereka yang begitu kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga sambil menggunakan ginkang-nya mengelak ke sana sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan.

Han Siong tak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan dia pun tak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subo-nya.

Maka, dalam menghadapi pengeroyokan itu dia hanya mainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajarinya di kuil Siauw-lim-si. Biar pun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu.

Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia mendengar suara seorang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. "Benarkah dia itu? Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali...?"

Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan menonton perkelahian.

Tiba-tiba saja Han Siong merubah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya. Dahulu, Pek Khun kakek buyutnya itu sudah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun menjadi tiga belas jurus saja yang amat ampuh, yang mencakup bagian-bagian paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang cukup sukar.

Setelah digembleng oleh suhu dan subo-nya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir benar. Kini, melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya.

Terdengar seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang baru keluar dari perkampungan itu.

"Mirip Pek-sim-kun!"

"Dasar gerakan kakinya sama!"

"Tapi demikian aneh dan cepat!"

Terdengar berbagai macam komentar para penonton. Dengan hati bangga Han Siong lalu mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar suara tongkat patah yang disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya!

Lima orang pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang ilmu sihir dan ilmu silatnya amat lihai itu, dan mereka juga maklum bahwa Sin-tong sejak tadi selalu mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, semenjak tadi mereka berlima telah roboh dan mungkin tewas di tangan pemuda tangguh itu.

"Mari kita pergi!" kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti empat orang kawannya.

Yang keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama murid-murid mereka. Mereka sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan mungkin semenjak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para pendeta Lama, di luar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama berkeliaran.

Mereka dapat menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat melarang mereka.

Maka, pada saat mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa pemuda gagah itu telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi dengan ilmu mirip Pek-sim-kun.

Pek Kong dan Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua masih ragu-ragu. Semenjak bayi mereka sudah berpisah dari anak mereka, maka kini tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka.

"Apakah engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan.

Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, serta seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin.

Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa dua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, karena itu dengan suara lembut dan hormat dia pun bertanya,

"Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"

Dengan suara gemetar Pek Kong berkata, "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku..."

"Ayah! Ibu...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah Pek Han Siong..."

"Han Siong...!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan puteranya!

Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong lalu memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, marilah kita masuk ke dalam karena ibu perlu dirawat. Dia telah menderita guncangan batin."

Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya begitu tenang, juga tadi dia sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga dapat demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan, dia bersikap dewasa dan tenang sekali.

"Baik," katanya dan mereka semua memasuki perkampungan.

Sesudah merebahkan ibunya di atas pembaringan, lantas mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.

"Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."

"Han Siong... ahh, Han Siong...!" Wanita itu menangis. "Engkau sudah datang, Anakku... ehh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah, Nak..."

Melihat ibunya amat berduka, Han Siong mengelus-elus dahi ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya sehingga tidak lama kemudian ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit, lalu menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat semuanya itu dengan hati terharu.

"Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut ibu tadi?"

"Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggota keluarga kita," kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.

"Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu," kata Pek Kong mengenalkan.

"Ahh, Kongkong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kongkong, juga Ayah." Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang sekarang berusia enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.

"Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau kini pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."

Han Siong segera diperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.

"Eng-ji adalah adik kandungmu, Han Siong," ayahnya menerangkan. "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun."

"Ahh! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah adikku itu, Ayah?"

Wajah ketua Pek-sim-pang itu berubah menjadi muram. "Itulah yang menyebabkan ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya dia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong.

Pemuda ini mengerutkan alis. Hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apakah yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja.

'Ayah dan Ibu yang tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu.'

"Dia meninggalkan surat itu di atas meja dalam kamarnya," kata Pek Kong.

Rasa kecewa yang tadi sudah menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, kini terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main.

"Maaf, Ayah. Apakah dia memang dipaksa untuk menikah?" dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu.

Ayahnya menarik napas panjang. "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, tapi dia menangis ketika kami memberi tahukan kepada Eng-ji,. Dan pada keesokan harinya, dia sudah pergi meninggalkan surat ini."

Han Siong mengangguk-angguk, "Hemmm, alangkah keras hatinya adikku itu. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah ibu sehat kembali, aku akan pergi mencari adik Eng."

"Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergian adikmu justru saat Hay Hay tiba di sini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong mengangguk-angguk.

Memang Pek Kong dan isterinya merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan ilmu sihir, dan bukankah terdapat hubungan akrab antara Pek Eng dan Hay Hay?

"Siapakah Hay Hay itu, Ayah?"

"Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran.

"Apa maksud Ayah?"

"Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."

Pek Kong dan Pek Ki Bu lantas menceritakan segala riwayat Han Siong sejak dia masih dalam kandungan, yang telah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya mengetahui dari kakek buyutnya serta dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama, juga diperebutkan pula oleh para datuk sesat. Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya.

Betapa semenjak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya. Betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula dengan bayi yang telah mati! Betapa kemudian bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini sudah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek bernama Hay Hay dan sangat lihai pula, tiba-tiba saja muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar.

Betapa Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.

"Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami menjadi curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja?"

Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Begitu banyak hal aneh dan mengerikan yang terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.

"Ayah, aku akan pergi mencari adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walau pun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju dengan perjodohan itulah."

Setelah Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya.

Dia tidak merasa khawatir apa bila puteranya yang pergi, apa lagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Walau pun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, akan tetapi bagaimana juga dia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan.

Kepergian Pek Eng terjadi kurang lebih lima enam bulan yang lalu, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi hanya secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si.

Tentu adiknya pergi ke situ. Segera dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua.


                  ***************


Hari mulai menjelang senja. Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya terlihat tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, bibir yang selalu dihiasi senyum, dan hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas. Dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang berukuran sedang namun tegap seolah seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan.

Pakaiannya sederhana berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Di punggungnya terlihat sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di hadapan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak akibat tertiup angin, tampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai.

Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tak terikat waktu, begitu tenang, indah dan hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu oleh kesibukan, maka keindahan pun membuyar lenyap.

Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tak terganggu oleh apa pun, maka batinnya menjadi hening dan keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari telah condong jauh ke barat, telah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari atas puncak bukit itu pasti pemandangannya amat indah, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat.

Ketika telah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling hina dan rendah, bahkan juga dipandang hina oleh para penjahat lainnya. Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi!

Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tak tampak lagi, yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan.

Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan aku-nya, pikiran yang melihat betapa aku-nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay.

Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang pikiran sendiri. Semua ini dapat dilihat oleh mereka yang mau mengamati pikiran sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan timbul suatu perubahan pada pikiran itu sendiri, seperti ombak samudera yang tadinya membadai lalu menjadi tenang dengan sendirinya.

Pengamatan bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Bila ada yang mengamati berarti pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi, namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin.

Sekarang Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadi pun segera lenyap. Indah bukan main di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata dan di sana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, laksana raksasa-raksasa.

Nun jauh di sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena siapakah yang dapat melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa yang dapat mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya.

Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin yang menindih hatinya pada saat itu sudah diangkat terlepas, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu.

Ia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun di balik warna merah, awan yang menciptakan beribu-ribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis!

Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kering layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka. Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk sebuah keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya akibat terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.

"Matahari timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati. Apa artinya duka nestapa kalau memang sudah demikian keadaannya? Selagi hidup kenapa layu dan mati? Lebih baik bergembira hari ini!"

Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu di saku bajunya. Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan dihias permata merah.

Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya! Akan tetapi sekarang Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, merupakan jembatan baginya untuk muncul ke muka bumi ini. Bisa jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawanya sendiri-sendiri, pikirannya sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tiada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana!

Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja? Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi bila lautan menerima ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya!

Tidak, tak mungkin dia dapat menerima laki-laki yang begitu kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimana pun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, dibandingkan jai-hwa-cat she Tang itu.

Dan dia pun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah namanya hanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan.

"Hemmm..., Ang-hong-cu...," bisiknya sambil memutar-mutar perhiasan kecil itu di antara jari-jari tangannya.

Matahari semakin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tak nampak lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa.

Gadis-gadis yang demikian manisnya, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu serta nasib mereka yang tertimpa mala petaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu, tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu di antara jari-jari tangannya, dia pun bersajak.

"Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan sekuntum bunga indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila...!"

Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu terucap dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.

"Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!" Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang sangat hebat. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri.

Dia sudah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam sudah menghampirinya dari arah belakang. Karena angin menerpa dari depan, sedangkan dia sedang melamun dan tenggelam di dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apa lagi karena gerakan mereka memang sangat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi.

Ketika merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan.

Demikian cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!

Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerang itu dan menjadi makin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apa lagi berkenalan dengan tiga orang ini!

Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biar pun cuaca telah mulai remang-remang, dia masih bisa melihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan. Wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah.

Melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau perampok. Maka dia pun mendahului mereka, bersoja dengan dua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walau pun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum.

"Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?"

Tiga orang itu kelihatan marah. Seorang di antara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terpelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, dia pun memaki.

"Jai-hwa-cat laknat! Biar pun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!"

"Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat...!"

"Hemm, sudah jahat pengecut pula!" teriak orang ke dua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan.

"Suheng, kiranya tidak perlu banyak cakap. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam saja!" teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya kuning.

"Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay Hay penasaran.

Kembali Si Brewok yang bicara. "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, kau tak perlu menyangkal lagi, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?"

"Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira..."

"Hemmm, percuma saja engkau menyangkal. Kami sudah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"

"Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian belum pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?"

"Hemmm..., tidak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkau pun tampan bertubuh tegap, juga membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?"

"Bukan, aku bukan Ang-hong-cu..."

Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata, "Ketahuilah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang sedang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"

"Mengapa engkau hendak membunuhnya?" tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal tentu saja dia ingin mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah kandungnya itu.

"Dia telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai hingga sumoi kami itu membunuh diri di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahu karena engkaulah orangnya yang melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu, mengaku saja!"

"Aku bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?"

"Kalau bukan, bagaimana engkau bisa mempunyai lambang hiasan tawon merah itu? Dari mana kau dapatkan itu? Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?"

Hay Hay tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera Ang-hong-cu! "Itu... itu adalah urusanku sendiri, tidak perlu kuberi tahukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah engkau?"

"Tidak, memang aku tidak percaya!" Sekarang yang bermuka kuning dan bertubuh kurus membentak. "Engkau bohong, engkau seorang pengecut! Tadi pun engkau telah bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan perhiasan tawon merah itu. Engkau adalah Ang-hong-cu!"

Hay Hay merasa mendongkol sekali. Si Muka Kuning ini tidak kelihatan gagah seperti dua orang yang lain dan tampak sombong ketika memaki-makinya. Timbul kemarahannya dan sepasang matanya mencorong menatap mata Si Muka Kuning.

"Kalau begitu engkau hanyalah seekor anjing yang tolol!" dia balas memaki.

Mendadak terjadi keanehan karena tiba-tiba Si Muka Kuning itu menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya menapak tanah, lalu dia merangkak dan dari mulutnya keluarlah suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing marah! Melihat ini, dua orang suheng-nya terkejut bukan main. Si Brewok cepat menepuk pundak Si Muka Kuning sambil membentak,

"Sute, apa yang kau lakukan ini?! Sadarlah!"

Ditepuk pundaknya, pria muka kuning itu seperti orang terkejut dan seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia terbelalak heran melihat dirinya merangkak, dan dia pun cepat meloncat bangun sambil mencabut pedangnya. Dua orang suheng-nya juga mencabut pedang dan mereka bertiga segera mengepung Hay Hay dari tiga jurusan.

"Ang-hong-cu, menyerahlah untuk kami belenggu kemudian kami bawa menghadap para pimpinan Bu-tong-pai supaya engkau dapat mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Si Brewok membentak nyaring sambil menodongkan pedangnya. "Atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membunuhmu lalu membawa kepalamu kembali ke Bu-tong-san untuk dipakai menyembahyangi arwah sumoi kami!"

"Baiklah, aku menyerah. Nah, kalian tangkaplah aku dan bawalah ke mana kalian suka," kata Hay Hay dengan tenang dan dia lalu duduk di atas sebongkah batu besar yang ada di situ.

Tentu saja tiga orang murid Bu-tong-pai merasa girang sekali walau pun mereka masih agak meragukan apakah benar Ang-hong-cu mau menyerahkan diri demikian mudahnya. Mereka memang sudah siap siaga dan Si Brewok lalu mengeluarkan sehelai tali terbuat dari pada kulit kerbau yang sangat kuat. Dibantu oleh dua orang sute-nya, dia menubruk Hay Hay dan cepat mereka membelenggu kaki tangan pemuda itu yang sama sekali tidak melakukan perlawanan.

Akan tetapi mereka mengalami kesukaran ketika hendak menyeret pemuda yang sudah dibelenggu karena ternyata pemuda itu berat sekali. Mereka bertiga mengerahkan tenaga menyeret dan... ketiganya lantas jatuh tunggang langgang ketika akhirnya tubuh pemuda itu dapat mereka seret.

Akan tetapi mereka meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada batu besar yang mereka tarik dan telah terikat kuat. Kiranya yang mereka belenggu tadi adalah sebongkah batu besar yang tadi diduduki oleh Hay Hay, tentu saja mereka merasa berat sekali karena sebagian dari batu itu tertanam di dalam tanah. Ketika akhirnya batu dapat dijebol, mereka langsung berjatuhan dan baru mereka melihat bahwa yang mereka ikat dan seret-seret bukanlah tubuh Ang-hong-cu melainkan sebongkah batu.

Ketika mereka mengangkat muka dan memandang, mereka melihat pemuda itu sekarang sudah duduk dan membuat api unggun yang mulai menyala terang, tidak jauh dari tempat itu, sama sekali tak peduli terhadap mereka seolah-olah mereka bertiga hanya bayangan-bayangan belaka.

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka merasa terkejut, heran dan juga seram. Manusiakah Ang-hong-cu itu, ataukah dia iblis? Jika saja mereka tidak datang bertiga melainkan sendirian saja, tentu mereka akan lari ketakutan. Akan tetapi karena mereka bertiga, hati mereka menjadi besar dan dengan penasaran kini kembali menghampiri Hay Hay.

Dengan sikap seolah-olah baru melihat mereka, Hay Hay lantas menoleh. Wajahnya yang tampan tampak kemerahan tertimpa sinar api unggun dan sepasang matanya mencorong, membuat tiga orang murid Bu-tong-pay menjadi jeri juga sehingga mereka menghentikan langkah dan memandang kepada Hay Hay dengan ragu-ragu.

"Ahh, kalian masih belum pergi juga? Mau tunggu apa lagi?"

Si Brewok terpaksa memberanikan diri. "Ang-hong-cu, kami menerima tugas dari suhu di Bu-tong-pai. Kami akan pulang ke Bu-tong-pai kalau membawa dirimu atau kepalamu."

"Iihh, sungguh repot. Kalau kalian menginginkan kepalaku, nah, ambillah. Ini kusediakan untuk kalian. Ambillah!" Hay Hay lantas menjulurkan kepalanya, seolah-olah menawarkan kepalanya untuk dipenggal.

Tentu saja tiga orang murid Bu-tong-pai itu terkejut dan terheran-heran. Gilakah orang ini? Mereka sudah memegang pedang masing-masing di tangan, akan tetapi tak ada seorang pun yang bergerak. Siapa orangnya yang tidak akan meragu dan menjadi ngeri bila orang menyodorkan kepalanya begitu saja dan menawarkan kepalanya itu untuk dipenggal?

"Hayo, kenapa kalian bengong saja?!" Hay Hay berseru. "Aku bisa kelelahan kalau harus mengulurkan kepala begini terus."

"Tapi... tapi kami bukan orang-orang yang suka membunuh lawan tanpa ada perlawanan darinya. Kami bukan pembunuh berdarah dingin!" kata Si Brewok dengan suara nyaring. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berjiwa pendekar gagah perkasa!"

"Hemm, siapakah yang mau membunuh? Kalian tak akan dapat membunuhku. Aku bukan minta dibunuh, hanya memberikan kepala yang kalian butuhkan. Bukankah kalian minta kepalaku untuk dibawa ke Bu-tong-pai? Nah, ambillah!"

Kembali Hay Hay menyodorkan kepalanya hingga lehernya nampak panjang putih keluar dari leher bajunya. Melihat ini gatal-gatal rasa tangan Si Brewok yang memegang pedang. Dengan sekali penggal saja dia akan memperoleh kepala itu untuk dijadikan bukti kepada para suhu-nya dan dijadikan bahan sembahyang bagi abu sumoi-nya.

"Kau... kau tidak akan mati penasaran?" tanyanya sambil melangkah mendekat, namun masih ragu-ragu apakah perbuatannya itu tidak akan melanggar pantangan pendekar.

"Aku tidak akan mati. Kalau perlu kepalaku, ambillah dan jangan banyak cakap lagi," kata Hay Hay dengan suara dongkol seperti orang yang merasa gemas akibat ketenangannya telah diganggu orang.

"Baik, engkau yang memberikan sendiri. Awas, kupenggal lehermu!" kata Si Brewok dan pedang di tangannya lalu berkelebat, mengeluarkan sinar kilat ketika pedang menyambar ke arah leher yang pucat itu.

"Cratttt...!"

Sekali tebas, kepala itu pun terpisah dari tubuhnya. Akan tetapi sama sekali tak ada darah yang keluar.

Si Brewok segera menyambar rambut kepala itu dan mengangkat ke atas dengan wajah girang, dipandang oleh kedua orang sute-nya. Mereka melihat bahwa memang kepala itu adalah kepala pemuda tadi, dengan wajah masih tersenyum. Akan tetapi ketika mereka memandang ke arah tubuh di depan api unggun, mereka langsung terkejut dan merasa betapa tengkuk mereka meremang. Pemuda itu masih duduk dan kepalanya masih utuh. Bahkan kini pemuda itu menjulurkan kepalanya lagi ke arah Si Tinggi Besar muka merah.

"Apakah engkau juga butuh kepalaku? Nah, ambillah!"

Murid Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya berdiri bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya, lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri suheng-nya. Dia bergidik, akan tetapi kemudian dia mengeluarkan lengking panjang dan dia melompat ke depan, sekuat tenaga menggerakkan pedang di tangan kanannya membacok ke arah leher yang disodorkan itu.

"Crattttt...!"

Kembali pedang menebas buntung leher itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka Merah. Akan tetapi, meski pun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih memiliki kepala yang utuh menempel pada lehernya. Malah pemuda itu kini menyodorkan lagi kepalanya dan melirik ke arah Si Muka Kuning.

"Engkau juga mau kepalaku? Nah, amblllah supaya kalian bertiga bisa pulang membawa masing-masing sebuah kepala!"

Seperti juga kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang pada dua buah kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas terlihat jeri dan ketakutan, bahkan bergidik hingga kedua pundaknya menggigil seperti orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suheng-nya telah memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak.

"Biar pun engkau siluman atau iblis, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!" Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan menyambar ke arah leher itu.

"Crattttt...!"

Untuk ke tiga kalinya leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di dekat api dengan kepala masih tetap utuh. Tiga kali kepalanya dipenggal, dan tiga buah kepala kini sudah berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan mereka berloncatan menjauh.

Sesudah mereka melihat lebih teliti, ke arah wajah dari kepala yang rambutnya dijambak, ketiganya menjerit penuh kengerian karena wajah dari kepala yang dipenggal dan berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi wajah mereka sendiri! Seperti memegang ular berbisa mereka cepat-cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke atas tanah kemudian lenyap begitu saja!

Tiga orang jagoan Bu-tong-pai itu sekarang terbelalak pucat. Jelas nampak betapa tubuh mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke arah pemuda yang masih saja duduk bersila di dekat api unggun. Meski pun dia takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak lantang,

"Ang-hong-cu, biar pun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!"

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring Si Brewok sudah berlari menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sute-nya yang juga sudah menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan pakaiannya.

"Sialan, mengganggu orang saja!" katanya, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap dari depan tiga orang itu yang menjadi bengong terlongong.

Mereka tidak tahu harus mengejar ke mana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau bukan, orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang sungguh sangat hebat, bukan hanya pandai ilmu sihir yang sudah berkali-kali membuat mereka kecelik, akan tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu demikian cepatnya seperti pandai menghilang saja.

Mereka terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan mereka tidak pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu. Ada kesangsian di dalam hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau dia benar si penjahat cabul, tentu mereka takkan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, biar pun pemuda itu tampan dan membawa hiasan tawon merah.

Sementara itu, sambil bersungut-sungut dengan hati yang mengkal bukan main, Hay Hay terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat yang nampak gelap sekali. Lebih baik di tempat tersembunyi itu agar tidak terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit di antara tiga cabang pohon yang saling melintang.


                  ***************

Bunyi suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju timur, kemudian di lain saat menukik turun seolah bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan bersatu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk pada lain saat muncul kembali kemudian berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, dan akhirnya menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.

Sukma Hay Hay melayang-layang, hanyut oleh suara suling itu. Ia ikut melayang di antara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi, turun hingga ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dan riak air di antara batu-batuan, turut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi.

Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tiga cabang pohon besar. Sinar matahari sudah mulai menyusup di antara celah-celah cabang, ranting serta daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai naik membubung dari permukaan tanah dan dari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul.

Burung-burung berkicau sambil beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seakan-akan semua makhluk hidup, baik yang bergerak mau pun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Memang cahaya matahari pagi merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang membuat semua makhluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seakan-akan menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati selama satu malam.

Kini Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam di sekelilingnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang tadi didengarnya, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main.

Buntalan pakaian yang tadi malam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, lalu dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka.

KEGEMBIRAAN di sekitarnya menular kepada Hay Hay. Ia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan semua ini membuat seluruh anggota tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang dia tidak pernah makan sedikit pun. Sekarang terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya.

Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya terdapat banyak kelinci di dalam hutan ini, daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya. Daging kelinci panggang, dengan diberi garam dan bumbu yang berada di dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan kepalang. Mengingat akan ini, perut Hay Hay semakin meronta dan menjerit.

Dia memungut dua buah batu sebesar ibu jari kaki. Cukup untuk menjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu di tangannya, Hay Hay kemudian mencari kelinci.

Tak lama kemudian dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkejaran dan mereka itu terlihat bergembira. Agaknya satu keluarga, pikir Hay-Hay. Dua ekor yang kecil diikuti dua ekor yang besar. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya.

Maka dia lalu memilih salah satu di antara dua ekor yang besar. Cukup besar dan gemuk, seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Dipilihnya yang bulunya putih bersih dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan sangat cepatnya ke arah leher kelinci itu.

"Takkk…!" batu itu runtuh di tengah jalan!

Hay Hay terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke arah kepala kelinci putih itu. Menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.

"Takkk…!" kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak.

Akan tetapi pandangan mata Hay Hay yang tajam melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apakah itu, tapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum keempat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak belukar penuh duri. Maka dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk menangkapnya.

“Wuuutttt...!"

Tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap begitu cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja! Pada saat dia mengangkat muka memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa dengan tubuh gemetar empat ekor kelinci itu berada di atas pangkuan seorang kakek yang sedang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak kelihatan karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hdiupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini.

Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia.

Kakek ini sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali jika melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, nampak tidak normal karena bagian belakangnya seperti membengkak, dan kepala itu gundul bukannya akibat dicukur tetapi botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat wajah yang sempit itu nampak bagaikan monyet atau manusia hutan yang liar. Pendeknya, lebih mendekati monyet dari pada manusia!

Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan karena ukurannya memang pendek tetapi karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar bagaikan mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau ketika bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara! Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan seolah selalu tersenyum mengejek.

Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat terbuat dari kulit pohon yang tergantung di pinggang,. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tidak pernah mengenal peradaban!

Akan tetapi Hay Hay langsung tertegun ketika mendengar suaranya! Bukan manusia liar, juga bukan setengah binatang, tapi seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu!

Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lantas sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.

"Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak akan ada seorang pun manusia jahat yang mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi hati-hati selalu apabila melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari pada ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang...!" Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci lalu mendorong mereka agar masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek.


cerita silat online karya kho ping hoo


Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, hati Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.


"Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?"

Kakek itu bangkit hingga tubuhnya nampak makin bongkok, matanya mengeluarkan sinar yang menyambar ke arah muka Hay Hay, lantas dia menudingkan sebatang telunjuk yang bengkok. "Manusia jahat, kau masih muda tetapi sudah jahat, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat sekali! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tak mengenal apa itu peliharaan. Dan awas kau, kalau kau mengganggu seekor binatang terkecil pun, akan kubunuh kau!"

"Tapi, Kek..."

"Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi demikian indah, alam demikian elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia..." Mendadak Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak. "Dan engkau manusia jahat lalu datang, tanpa mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!"

"Tetapi, Kakek yang baik, hatiku tidak dipenuhi kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit akibat lapar!"

"Gila kau! Masa perut lapar saja hendak membunuh kelinci?" bentak kakek itu. "Kau lebih jahat dari pada segala makhluk. Binatang jauh lebih baik dari pada manusia macam kau!"

Hay Hay merasa amat penasaran. Dia melihat ke atas dan tampak seekor burung sedang makan ulat. "Kakek yang baik, jangan kau sembarangan memaki orang. Lihat, binatang-binatang pun memakan sesama makhluk hidup bila mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikus dan cecak. Harimau dan singa memakan kijang, kambing dan kelinci!"

"Tentu saja, tolol! Karena memang itu makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya maka dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, jika tidak ada rumput dia akan mampus kelaparan! Akan tetapi engkau adalah manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!" Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.

"Kakek yang baik, sekarang ini perutku sedang lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati kelaparan."

"Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput pun dapat kau makan."

Hay Hay tertegun. "Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek? Hanya makan rumput, daun dan buah?"

"Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci dari pada manusia yang berhati palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!" Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa.

Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi agaknya otaknya juga sudah miring, sudah gila! Suara tawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras.

Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lantas mencabut rumput hijau muda lantas memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula.

Melihat ini Hay Hay tersenyum. "Kakek yang baik, apa kau sangka karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itu pun telah kau bunuh saat engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kau kunyah dan kau telan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kau makan bersama rumput dan daun itu!"

Kakek bongkok itu memandang dengan sepasang mata mencorong. Mulutnya yang tadi sedang mengunyah daun menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan rumput dan daun di mulutnya, nampaknya agak sukar. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah,

"Engkau gila! Sudah, aku tak sudi berbicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah lantas membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, akan kubunuh kau, manusia jahat!" Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap.

Hay Hay tertegun. Tidak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukannya sembarang orang. Tadi saat menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Siapakah kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang otaknya miring, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas sekali, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab.

Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia? Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak bisa dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga jika makan sayur mentah pun tanpa disengaja sudah membunuh banyak binatang!

Ahh, di sinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, biar pun tadi mengancamnya akan membunuh bila mana dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apa lagi membunuh untuk makan!

Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman serta memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tingkah yang aneh dari kakek tadi.

Ahh, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri namun tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu sudah jauh dari situ. Dia pun kembali mulai mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya.

Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat ada seekor ular sedang merayap turun dari atas sebuah pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak tapi tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk moncongnya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli.

Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan. Begitu asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam hingga agaknya dia lupa akan segala. Walau pun matanya selalu bergerak ke kanan kiri dengan waspada, akan tetapi dia tak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay.

Hatinya tertarik sekali maka dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu di atas pohon berikut buruannya yang berada di dekat semak di bawah cabang pohon itu. Sebagai seorang ahli silat, perasaannya sangat peka terhadap setiap gerakan dan dia seakan-akan dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu yang mengintai dan mengejar calon korban!

Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, diam-diam ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia malah membuat ancang-ancang, seolah-olah dialah yang hendak menerkam tikus itu. Saat melihat posisi ular yang telah tiba di dekat ujung cabang yang mulai melengkung akibat bobot ular itu, dia sudah merasakan bahwa kini tibalah waktunya untuk menerkam. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali, binatang itu pun menjatuhkan diri ke bawah!

Karena kehilangan beban berat, maka cabang pohon itu melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi terkejut ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya.

Akan tetapi tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu harus terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya. Tikus itu segera meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan.

Sejenak Hay Hay memejamkan mata hingga suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu perlahan-lahan mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar dari pada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa dia amat menikmati santapannya!

Hay Hay menghela napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang beginilah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat.

Ular tidak akan dapat hidup dari makan rumput, daun atau pun buah. Makanannya adalah bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia?

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay cepat meloncat ke arah dari mana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih dari pada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu beserta filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia amat lapar dan kini dia sedang membutuhkan daging rusa yang enak!

Dengan ilmu lari cepatnya, sebentar saja Hay Hay sudah dapat melihat rusa betina yang mengeluarkan lengkingan tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan, di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya.

Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus. Si jantan hendak mendekati tapi si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi.

Rusa betina itu agak kurus, maklum karena sedang menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk dimakan dagingnya. Hay Hay telah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Walau pun rusa itu amat gesit dan dapat berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apa lagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu dia tidak akan mau meninggalkan anaknya melainkan mengajaknya melarikan diri, akan tetapi rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.

Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh.

Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa kurus yang belum tentu enak itu dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tak ada bedanya dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa itu mati kelaparan, dan yang ke tiga, mungkin dia akan dibenci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.

Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengarlah auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan, menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat-cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah dia melindungi anaknya sambil memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir!

Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong pihak yang lemah terancam membuat dia melompat bersamaan dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu.

"Dukkk!"

Pukulan tangan miring itu begitu kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan dan akhirnya mati. Dari mulut, hidung serta telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah ke mana, dan entah muncul dari mana pula, kini di tempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi.

Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan sekarang berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

"Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Tadi bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendak membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka."

"Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan terhadap harimau itu! Entah telah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia memperoleh calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!"

Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia lalu memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung serta telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.

"Maaf, Locianpwe. Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam..."

"Perlukah harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja jika engkau mengusir tanpa harus membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!"

"Maaf, Locianpwe," kata pula Hay Hay, merasa khawatir kalau-kalau peristiwa itu nantinya akan menimbulkan kebencian di dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.

"Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kau kira aku hanya akan tinggal diam saja? Engkau terlampau mengandalkan kepandaianmu, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai di mana kelihaianmu itu. Bersiaplah!" tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu segera menerjang kalang kabut kepada pemuda itu!

Hay Hay kaget bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, dan di dalam semua serangannya terkandung sifat gerakan segala macam binatang, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main. Agaknya semua gerakannya itu sepenuhnya berdasarkan naluri saja dan tidak terkendali oleh pikiran, seperti yang dilakukan binatang apa bila sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang mempunyai kekuatan terbatas sesuai dengan sifat serta keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.

Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana sini, sedangkan ke mana pun tubuhnya mengelak selalu dibayangi oleh dua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis.

"Dukkk!"

Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan tenaga itu telah membuat isi perutnya terguncang hebat.

"Eh, kau boleh juga!" kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dan lebih aneh dari pada tadi karena sekarang dia menyerang dengan jalan menyerudukkan kepalanya ke depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk jika melakukan penyerangan.

Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak serta membendol besar, dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung maka ketika menyeruduk seperti itu, dia tiada bedanya laksana seekor kerbau yang menyerang lawan. Tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan, kakek ini di samping menggunakan kepalanya, juga dibantu oleh kedua tangannya yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan!

Hay Hay menjadi amat sibuk mengelak ke sana sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan kepalang, sulit diduga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting!

Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu segera melompat kembali begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan sekarang dia pun mulai menjadi marah. Gila atau pun tidak, kakek ini sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu cepat mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh.

"He-he-he, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira bahwa engkau akan bisa merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" katanya sambil berdiri tegak.

Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar sedang berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, bibirnya yang tersenyum menyeringai itu malah terlihat seperti orang cemberut atau mengejek.

Aneh sekali, melihat kakek ini tiba-tiba timbul perasaan iba di dalam hati Hay Hay. Kakek yang amat tua, tidak seperti manusia lumrah, wajahnya begitu buruk seperti monyet saja, terlantar tanpa baju dan tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, karena itu secara diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini dan membuat dia tidak marah sehingga tidak menyerangnya lagi.

"Kakek yang baik, lihatlah kepadaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah dua sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu maka tak seharusnya kita berkelahi atau bermusuhan!" Di dalam setiap kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat.

Kakek itu tampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah dan membentak, "Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!"

Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia sudah mengerahkan tenaga batin. Biar pun kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!

"Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?"

"Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!"

"Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!"

"Bohong, aku tidak punya cucu!"

"Aku adalah puteramu!"

"Omong kosong, aku tidak punya anak!"

Sungguh celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja apa bila dihadapinya dengan sihir ini, tentu akan takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya.

Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia tetapi pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandangan mata dan suaranya, lantas berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.

"Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!" Dia teringat betapa kakek itu amat melindungi kelinci-kelinci dan nampak sayang sekali kepada binatang itu.

"Ha-ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil? Jangan mengacau!"

"Kakek, aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!"

"Ho-ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?"

Sial betul, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang telah melempem. Sekarang tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus berkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini.

Dia memilih yang pertama maka cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnya. Di mata orang lain tentu dia akan lenyap menjadi asap, tetapi dia pun tak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu.


Pada waktu itu Hay Hay sudah mempunyai ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia sudah mewarisi bermacam ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan di samping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang yang akan mampu mengejarnya, maka sesudah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan.

Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat. Maka, pada saat melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri.

"Aaaahhhh...!" Dia menghela napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika batu yang diduduki itu tiba-tiba saja bergerak lantas terdengar suara dari batu itu, "Hemm, engkau baru tiba. Sampai mengantuk aku menanti kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!"

Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti!

Sekarang dia mengerti bahwa dia kalah jauh dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat. Bukan saja kakek itu sudah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabui. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!

"Locianpwe, maafkan aku. Aku tak ingin berkelahi dengan Locianpwe," katanya merendah sambil menjura.

"Heh-heh-heh, aku tidak peduli apakah engkau ingin atau tidak, akan tetapi engkau sudah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa di hadapanku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!"

Kakek itu menerjang lagi seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat, maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau bisa menduga gerakan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa sangat penasaran.

Bagaimana pun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.

"Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!" teriaknya.

Dia pun langsung membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat. Kakinya bergerak dengan Jiau-poa Poan-soan, ilmu langkah ajaib yang pernah dipelajarinya dari See-thian Lama, sedangkan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, semua mengancam jalan darah terpenting di seluruh bagian tubuh lawan! Hebat bukan kepalang serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.

"Wah, hebat kau! Hei, bukankah ini Jiau-poa Poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan semua!"

Hay Hay semakin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walau pun nampak terlantar dan gila, tetapi buktinya mengenal ilmu dari suhu-nya yang kedudukannya amat tinggi sebagai seorang di antara Delapan Dewa.....

Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan telah mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merubah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, yang diciptakan Ciu-sian Sin-kai khusus untuk dirinya. Begitu dia memainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon di sekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin pukulannya, berkali-kali kakek itu harus kembali berseru kaget sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis.

"Wah-wah, engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu-ilmu milik Si Jembel dari Delapan Dewa itu!" Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay.

Diam-diam pemuda ini semakin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini panjangnya hanya tiga kaki, bisa dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Sambil terus memuji-muji kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay hanya dengan elakan-elakan dan tangkisan, dan tiba-tiba dia membentak, "Cukup!"

Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang sangat kuat dan biar pun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung meski pun tidak sampai jatuh.

"Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!" kakek itu memuji.

Sekarang sikapnya tidak seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya berlangsung sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri dan berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan yang tidak normal!

"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, tapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engkau ini berani memamerkan kepandaian di depan Song Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!"

Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang nama Song Lojin di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan tiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua yang bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata, "Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia."

"Siapa yang mulia? Ha-ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya." Dia terkekeh. "Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Ehh, namamu Hay Hay, tetapi siapa she-mu?"

"Maaf, Locianpwe, saya sangat membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she."

"Wah-wah... ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kau miliki?"

Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. "Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya tak akan melupakan budi Suhu."

"Wah-wah-wah! Aku tidak butuh diingat, juga tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?"

"Teecu berani."

"Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!"

"Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!" kata Hay Hay memprotes.

"Huh, siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kau makan itu? Daging binatang yang sudah mati, apakah itu bukan bangkai?"

Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah. "Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu."

"Latihan-latihannya sangat berat, kalau tidak kuat engkau dapat menjadi gila atau bahkan mati. Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, maka terpaksa aku harus membunuhmu karena engkau akan menjadi makhluk yang amat berbahaya. Sanggup?"

Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini sudah menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut.

"Teecu sanggup!"

"Engkau tidak boleh meninggalkan latihanmu sebelum aku menyuruhmu, tetapi kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, di mana saja dan kapan saja. Sanggup?"

"Sanggup, Suhu."

"Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan yang pertama. Ingat baik-baik kalimat ini lantas hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hafalkan!"

Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja amat mudah baginya untuk menghafal kalimat itu, apa lagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Buddha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.

"Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."

"Bagus, engkau pintar sekali," kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan. Sudah banyak dia membaca sajak maka pandai berdeklamasi. "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."

Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Dia menanggalkan semua pakaiannya, lantas pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.

"Kau tidak khawatir kalau aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"

Hay Hay menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian."

"Nah, mari ikuti aku!"

Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk bisa mengimbangi kecepatan langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama di mana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di pinggir sebuah anak sungai, di antara pohon-pohon yang besar, kakek itu baru berhenti.

"Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam hingga setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan pernah engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar."

Hay Hay langsung bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan? Sementara perutnya lapar bukan main dan hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya.

"Bagaimana kalau perut saya lapar sekali, Suhu?" Hay Hay mulai memancing, "Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat lantas memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?"

Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan. "Apa kau bilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!"

Habis, bagaimana kalau saya lapar?"

"Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat di sekitarmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihatlah ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kau curahkan kepada kalimat yang kau hafalkan tadi. Mengerti?"

"Mengerti, Suhu."

"Kalau begitu, lekas kau lakukan!"

Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, ia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata. Ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher.

"Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay.

Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, tiba-tiba merasa seperti sudah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa laksana menjadi bulan-bulanan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak boleh meninggalkan tempat itu padahal perutnya amat lapar?

Dia lalu memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Ternyata tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantungan buah apel merah yang besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambil buah itu? Dia tidak boleh meninggalkan tempat duduknya itu!

Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Dia lalu mengambil batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya apel yang bergantung di hadapannya. Dua buah butir apel runtuh ke atas air lalu terbawa arus sungai itu menghampirinya sebab dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air.

Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir apel besar perutnya menjadi kenyang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu.

Dia duduk dengan tenang dan karena dia sambil bersemedhi, maka mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta sehingga yang teringat hanya kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang kala bibirnya ikut bergerak-gerak karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu.

Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mulai mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, dan Kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tak bisa diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lampau, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.

Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang pasti bisa melihat sebab-sebabnya.

Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya.

Oleh karena itulah otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata 'Nasib', menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya sambil mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!

Begitu malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Maka terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih dari pada itu, perasaan ngeri.

Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, semua ini mendatangkan bayang-bayangan yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuang keras melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan dirinya terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya di bawah dagu itu!

Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut di permukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya.

Makin siang makin kecewa hatinya dan ketika diam-diam dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia mendapat kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam.

Ia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitaannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan main karena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andai kata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu.

Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat ke darat, ia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera.

"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada," demikian berkali-kali dia mengulang membaca kalimat itu. Memang segalanya pasti akan kembali ke tiada, termasuk juga dirinya.

Sesudah matahari condong ke langit barat, perut kosongnya mulai menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di hadapannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk terpekur pula.

Hatinya terasa tenang sesudah dia mengulang kalimat itu dan sesudah perutnya kenyang sehingga dia tak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tak lagi ada rasa kecewa setelah semuanya hening dan kosong. Dia kini mulai tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, akan tetapi tak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanya kesadarannya yang masuk ke dalam dirinya sendiri, tak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya.

Dan rasanya seperti melayang-layang ke dalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun dia merasa seperti berada di dunia lain!

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang sangat keras dibarengi dengan cahaya yang menyilaukan mata, yang menyeret Hay Hay kembali ke alam kenyataan. Ia pun membuka mata, segera terbelalak heran karena ternyata sudah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar.

Kiranya hujan sudah turun agak lama apa bila melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca telah remang-remang, agaknya sudah senja atau karena cahaya matahari terhalang oleh mendung dan hujan. Seingatnya hari amat cerah sebelum dia tadi tenggelam ke dalam alam semedhi, maka tak disangkanya sekarang turun hujan.

Ia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus selalu diingatnya, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tidak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air bagaikan tertimpa ribuan batu-batu kecil.

Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong di belakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tak pernah sama, selalu berubah. Biar pun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tidak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati.

Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.

Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay mengambil sebuah batu lagi untuk mengganjal pantatnya sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam.

Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain? Akan tetapi dia segera melenyapkan rasa takut itu. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apa pun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.

Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan sejuta bintang. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang di angkasa itu pun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab.

Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan alangkah besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tidak mungkin dapat dibuka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor.

Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, juga merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan yang begitu mudah dinikmati, tinggal membuka mata memandang, tinggal membuka hidung mencium untuk menikmati keharuman, tinggal membuka telinga mendengar untuk menikmati kemerduan.

Betapa bahagianya hidup ini. Hidup adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Tapi mengapa kita tidak dapat melihatnya? Mengapa kita tak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tak henti-hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sebetulnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka?

Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, tapi cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampiri dirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya.

Buaya! Apa lagi kalau bukan buaya? Dan sekarang memang nampak garis bentuk tubuh buaya itu, mulai dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya.

Apa bila dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, di samping mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walau pun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani!

Dengan jantung berdebar saking tegang dan takutnya, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apa pun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu.

Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat ke darat lantas menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu!

Dan dia memilih yang pertama. Apa bila buaya itu memang akan menyerangku, sampai bagaimana pun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikianlah tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus selalu diingatnya.

"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!" Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. “Ada datang dari Tiada…!”

Dan... sesudah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir saja dia tertawa bergelak mentertawakan dirinya sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi keningnya, padahal hawanya amat dingin. Benda yang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya itu kini ternyata hanya sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut di sungai itu!

Malam itu bukan hanya ‘buaya’ itu yang nampak oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh serta lintah-lintah besar yang merubung dan mengancam dirinya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting.

Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya!

Menjelang pagi tiba-tiba saja tampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu yang tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu telah berada di situ, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu.

Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap. Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh.

Dia pun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putaran di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa yang sangat nyaman sehingga hampir saja membuat dia tertidur pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan mencurahkan perhatian pada kalimat yang harus dihafalkannya, membuat kantuk itu lenyap.

Pada keesokan harinya barulah kakek Song muncul. "Bagus, engkau bisa menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dulu dari situ dan kenakan pakaianmu."

Bukan main leganya rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia mendapatkan latihan seaneh ini. Namun latihan pertama yang berlangsung selama dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang tak akan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan sekaligus juga sangat menegangkan, di mana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal serta penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.

"Terima kasih, Suhu!" katanya.

Dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walau pun perutnya kembali terasa lapar. Dengan cepat Hay Hay segera mengenakan pakaian dari buntalan yang telah dibawa ke situ oleh Kakek Song.

"Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti engkau harus melakukan latihan kedua yang lebih berat. Datang saja ke goa di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tidak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!" Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap.

Hay Hay tidak mau mengejar walau pun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lantas memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun

Hay Hay tidur pulas sekali. Sekarang terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari goa itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhu-nya.

Kakek itu nampak duduk bersila di mulut goa. Goa itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.

"Engkau sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu di dalam goa dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"

Hay Hay mengerutkan alis. Celaka, kiranya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa di dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi?

Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini Hay Hay tak merasa canggung. Kakek ini membawanya ke sebuah lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon sama sekali.

"Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat yang lain lagi. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"

Kembali Hay Hay merasakan keanehan pada kalimat ini. Mudah dimengerti dan sangat sederhana, apa lagi kalimat yang sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, kenapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan suara lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"

"Bagus, sekarang kau galilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila dalam lubang itu dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanyalah kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12