Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 17
KEMBALI para
pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan
dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga
serangan mereka tadi, yang dilakukan susul-menyusul dengan tenaga gabungan
mereka, sedikit pun tidak berbekas!
"Sudahlah,
Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Kalau dipaksakan, segala sesuatu di dunia ini
akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."
"Baik,
pinceng pergi...," kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.
"Kami
pergi..."
"Kami
pergi..."
Lima orang
itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi
meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka lantas sadar
bahwa mereka sudah kehilangan kemauan sehingga tanpa mereka kehendaki mulut
mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kaki mereka hendak membawa mereka
pergi.
"Omitohud...!"
Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh.
Kini
menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah
mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong sudah mempergunakan
kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!
"Pek
Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biar pun
engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar terhadapmu, akan
tetapi saat ini engkau adalah seorang yang diharuskan oleh pimpinan kami untuk
turut ke Tibet. Oleh karena itu terpaksa kami akan menggunakan kekerasan
membawamu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka
yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siong dari belakang.
Han Siong
tidak mengelak sehingga dua buah lengan yang besar dan panjang itu sudah
memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular
melibat tubuhnya, membuat Han Siong tidak mampu bergerak lagi. Pimpinan para
Lama itu cepat melangkah maju lantas sekali menotok dengan jari tangannya ke
arah pundak, tubuh Han Siong segera menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik
lagi.
Lima orang
pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tak
menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu
hanya pandai ilmu sihir saja namun sama sekali tidak pandai ilmu silat!
"Bagus,
mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu.
Si Raksasa
segera memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat
meninggalkan tempat itu, khawatir kalau-kalau sampai diketahui oleh orang-orang
Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.
Akan tetapi,
baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya
heran. "Ehh, mana Lung Ti Lama?"
Mendengar
ini, teman-temannya berhenti kemudian menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek
Lung Ti Lama, seorang di antara mereka, tidak kelihatan dan mereka kini hanya
berempat! Berlima dengan tawanan mereka. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan
cepat memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi
besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Celaka,
yang kau panggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya.
Si Tinggi
Besar terkejut sekali, lalu menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja,
ternyata yang ditawan dan ditotok tadi adalah salah seorang teman mereka
sendiri, yaitu pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta
itu menjadi terkejut bukan main dan pimpnan Lama cepat membebaskan totokan dari
tubuh Si Pendek. Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa
kaku sambil mengomel panjang pendek.
"Bagaimana
bisa tahu-tahu engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap
Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.
"Sin-tong
apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian bahkan mengeroyok aku dan menangkap
aku."
Semua
pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong mempergunakan sihir yang sangat kuat
sehingga mereka berlima dapat dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka
melihat pemuda itu telah melangkah lagi akan melanjutkan perjalanan memasuki
perkampungan.
"Tangkap
dia!" bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun segera berloncatan dan
mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.
"Kalian
adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri." Han Siong menegur.
"Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."
Akan tetapi
lima orang pendeta itu tak lagi memberi kesempatan kepada Han Siong untuk
banyak cakap dan mereka pun langsung menerjang dan menyerang. Tiga orang
memakai tongkat hitamnya dan dua orang lagi mempergunakan tasbeh yang menyambar
dengan dahsyat.
Melihat
permainan senjata mereka yang begitu kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal
ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang
ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga sambil menggunakan ginkang-nya
mengelak ke sana sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang
menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat
lawan.
Han Siong
tak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan
mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang
melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan dia pun tak
ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subo-nya.
Maka, dalam
menghadapi pengeroyokan itu dia hanya mainkan ilmu-ilmu silat dari
Siauw-lim-pai yang dipelajarinya di kuil Siauw-lim-si. Biar pun demikian,
karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya
ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata
itu.
Han Siong
melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan
jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia mendengar suara seorang
laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. "Benarkah dia itu?
Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali...?"
Dia tidak
tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah
berada di situ dan menonton perkelahian.
Tiba-tiba
saja Han Siong merubah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan
dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya.
Dahulu, Pek Khun kakek buyutnya itu sudah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun
menjadi tiga belas jurus saja yang amat ampuh, yang mencakup bagian-bagian
paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab
pelajaran ilmu silat yang cukup sukar.
Setelah
digembleng oleh suhu dan subo-nya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang
cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir
benar. Kini, melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan
ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya.
Terdengar
seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang baru keluar dari
perkampungan itu.
"Mirip
Pek-sim-kun!"
"Dasar
gerakan kakinya sama!"
"Tapi
demikian aneh dan cepat!"
Terdengar
berbagai macam komentar para penonton. Dengan hati bangga Han Siong lalu
mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar suara tongkat patah yang
disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang
tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya!
Lima orang
pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang ilmu sihir
dan ilmu silatnya amat lihai itu, dan mereka juga maklum bahwa Sin-tong sejak
tadi selalu mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang
pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, semenjak tadi mereka
berlima telah roboh dan mungkin tewas di tangan pemuda tangguh itu.
"Mari
kita pergi!" kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti
empat orang kawannya.
Yang keluar
dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama
murid-murid mereka. Mereka sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan
mungkin semenjak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para
pendeta Lama, di luar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama
berkeliaran.
Mereka dapat
menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk
mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah
mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat
melarang mereka.
Maka, pada
saat mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta
Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa
pemuda gagah itu telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi
dengan ilmu mirip Pek-sim-kun.
Pek Kong dan
Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri
ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua masih
ragu-ragu. Semenjak bayi mereka sudah berpisah dari anak mereka, maka kini
tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan
tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti
ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka.
"Apakah
engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan
dan harapan.
Han Siong
memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia
kurang lebih empat puluh satu tahun, serta seorang wanita yang usianya beberapa
tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak
guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin.
Ketika
ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat
menduga bahwa dua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya,
akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, karena itu dengan suara lembut dan
hormat dia pun bertanya,
"Bolehkah
saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"
Dengan suara
gemetar Pek Kong berkata, "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku..."
"Ayah!
Ibu...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah
Pek Han Siong..."
"Han
Siong...!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan
puteranya!
Dengan sikap
tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong lalu memondong tubuh
ibunya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, marilah kita masuk ke dalam
karena ibu perlu dirawat. Dia telah menderita guncangan batin."
Pek Kong
memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya
begitu tenang, juga tadi dia sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya
sehingga dapat demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang
berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan, dia bersikap dewasa dan
tenang sekali.
"Baik,"
katanya dan mereka semua memasuki perkampungan.
Sesudah
merebahkan ibunya di atas pembaringan, lantas mengurut beberapa jalan darah
sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.
"Ibu,
tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."
"Han Siong...
ahh, Han Siong...!" Wanita itu menangis. "Engkau sudah datang,
Anakku... ehh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji!
Pulanglah, Nak..."
Melihat
ibunya amat berduka, Han Siong mengelus-elus dahi ibunya sambil mengerahkan tenaga
batinnya sehingga tidak lama kemudian ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit,
lalu menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat semuanya itu dengan hati
terharu.
"Ayah,
siapakah Eng-ji yang disebut-sebut ibu tadi?"
"Mari
kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggota keluarga
kita," kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam
di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.
"Anakku,
ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu," kata Pek Kong mengenalkan.
"Ahh,
Kongkong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kongkong, juga Ayah."
Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu,
kakek yang sekarang berusia enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh
pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.
"Aku
merasa berbahagia sekali melihat engkau kini pulang sebagai seorang gagah yang
berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."
Han Siong
segera diperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka
bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.
"Eng-ji
adalah adik kandungmu, Han Siong," ayahnya menerangkan. "Engkau
mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas
tahun."
"Ahh!
Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah adikku itu,
Ayah?"
Wajah ketua
Pek-sim-pang itu berubah menjadi muram. "Itulah yang menyebabkan ibumu
menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya dia pergi meninggalkan rumah
tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan
selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong.
Pemuda ini
mengerutkan alis. Hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja,
minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apakah yang menjadi adiknya itu,
pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata
saja.
'Ayah dan
Ibu yang tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku mau pergi
mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu.'
"Dia
meninggalkan surat itu di atas meja dalam kamarnya," kata Pek Kong.
Rasa kecewa
yang tadi sudah menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, kini
terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan
agaknya keras hati bukan main.
"Maaf,
Ayah. Apakah dia memang dipaksa untuk menikah?" dia bertanya, menatap
wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu.
Ayahnya
menarik napas panjang. "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang
di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk
putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas
menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, tapi dia
menangis ketika kami memberi tahukan kepada Eng-ji,. Dan pada keesokan harinya,
dia sudah pergi meninggalkan surat ini."
Han Siong
mengangguk-angguk, "Hemmm, alangkah keras hatinya adikku itu. Biarlah aku
akan mencarinya, Ayah. Setelah ibu sehat kembali, aku akan pergi mencari adik
Eng."
"Kami
merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergian adikmu justru saat
Hay Hay tiba di sini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong mengangguk-angguk.
Memang Pek
Kong dan isterinya merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang
pemuda mata keranjang yang pandai silat dan ilmu sihir, dan bukankah terdapat
hubungan akrab antara Pek Eng dan Hay Hay?
"Siapakah
Hay Hay itu, Ayah?"
"Dia
adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong
mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Apa
maksud Ayah?"
"Aih,
engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang
terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."
Pek Kong dan
Pek Ki Bu lantas menceritakan segala riwayat Han Siong sejak dia masih dalam
kandungan, yang telah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han
Siong sendiri hanya mengetahui dari kakek buyutnya serta dari Ceng Hok Hwesio
ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para
pendeta Lama, juga diperebutkan pula oleh para datuk sesat. Baru sekarang dia
mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya.
Betapa
semenjak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai
gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya.
Betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula dengan
bayi yang telah mati! Betapa kemudian bayi yang pernah menggantikannya itu,
yang kini sudah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek bernama Hay Hay dan
sangat lihai pula, tiba-tiba saja muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin
gempar.
Betapa Hay
Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay
disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah
Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.
"Nah,
demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia
seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak
haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat
menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka
kami menjadi curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja?"
Han Siong
masih tertegun mendengar cerita tadi. Begitu banyak hal aneh dan mengerikan
yang terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.
"Ayah,
aku akan pergi mencari adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay
Hay itu, walau pun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan
kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju dengan perjodohan
itulah."
Setelah Han
Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan
perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi
mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan
puterinya.
Dia tidak
merasa khawatir apa bila puteranya yang pergi, apa lagi puteranya telah menjadi
seorang yang amat lihai. Walau pun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, akan
tetapi bagaimana juga dia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan
menghadapi banyak gangguan.
Kepergian
Pek Eng terjadi kurang lebih lima enam bulan yang lalu, maka tidaklah mudah
bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi hanya secara untung-untungan
saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun
menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si.
Tentu
adiknya pergi ke situ. Segera dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakek
buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu
telah meninggal dunia karena usia tua.
***************
Hari mulai
menjelang senja. Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas
itu. Wajahnya terlihat tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, bibir
yang selalu dihiasi senyum, dan hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan
lenggang lepas. Dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang berukuran
sedang namun tegap seolah seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan.
Pakaiannya
sederhana berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna
kesukaannya. Di punggungnya terlihat sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya
yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di hadapan matanya, barisan
rumput hijau segar yang bergerak-gerak akibat tertiup angin, tampak seperti air
berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai.
Bukit kecil
di depannya nampak demikian tenang, tak terikat waktu, begitu tenang, indah dan
hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan
terganggu oleh kesibukan, maka keindahan pun membuyar lenyap.
Ketika
berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika
pikirannya tak terganggu oleh apa pun, maka batinnya menjadi hening dan
keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari telah condong jauh ke
barat, telah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari atas puncak
bukit itu pasti pemandangannya amat indah, keindahan matahari terbenam di kaki
langit sebelah barat.
Ketika telah
melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak
jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang
paling hina dan rendah, bahkan juga dipandang hina oleh para penjahat lainnya.
Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak
haram lagi!
Biasanya,
kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan
keheningan pun lenyap. Keindahan pun tak tampak lagi, yang ada hanya rasa
penasaran, kekecewaan dan kemarahan.
Kemarahan
datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan aku-nya, pikiran yang
melihat betapa aku-nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku
pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran
mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah
mengganggu Hay Hay.
Kemarahan
tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang
pikiran sendiri. Semua ini dapat dilihat oleh mereka yang mau mengamati pikiran
sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan
timbul suatu perubahan pada pikiran itu sendiri, seperti ombak samudera yang
tadinya membadai lalu menjadi tenang dengan sendirinya.
Pengamatan
bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada
yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Bila ada
yang mengamati berarti pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini
merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi,
namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin.
Sekarang Hay
Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua
kesibukan pikiran yang tadi pun segera lenyap. Indah bukan main di puncak bukit
itu. Ada sebidang padang rumput yang rata dan di sana-sini nampak pohon tua
yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia,
laksana raksasa-raksasa.
Nun jauh di
sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan
kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena
siapakah yang dapat melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa
yang dapat mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan
bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk
menceritakannya.
Dengan hati
terasa lega, seolah-olah segala beban batin yang menindih hatinya pada saat itu
sudah diangkat terlepas, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang
lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang
sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu.
Ia lupa akan
diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun di balik warna
merah, awan yang menciptakan beribu-ribu macam bentuk yang indah-indah,
aneh-aneh, malang melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya,
kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis!
Lihat
rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada
yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang
kering layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka.
Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan
membentuk sebuah keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan
perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya akibat terbawa oleh suasana
dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.
"Matahari
timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala
senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih
berganti yang pernah hidup berakhir mati. Apa artinya duka nestapa kalau memang
sudah demikian keadaannya? Selagi hidup kenapa layu dan mati? Lebih baik
bergembira hari ini!"
Hay Hay
tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh
sesuatu di saku bajunya. Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah
perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas
muda dan dihias permata merah.
Ang-hong-cu,
Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya! Akan tetapi
sekarang Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum.
Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, merupakan jembatan baginya untuk
muncul ke muka bumi ini. Bisa jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan
tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali
tak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawanya sendiri-sendiri, pikirannya
sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh,
tiada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan
orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana!
Tidak, dia
tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek
yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama
keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja? Wanita
yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi
bila lautan menerima ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan
menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya!
Tidak, tak
mungkin dia dapat menerima laki-laki yang begitu kejam terhadap wanita yang
menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang
bagaimana pun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua
terhadap dirinya, dibandingkan jai-hwa-cat she Tang itu.
Dan dia pun
tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa
marga, tanpa she. Biarlah namanya hanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja
dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan.
"Hemmm...,
Ang-hong-cu...," bisiknya sambil memutar-mutar perhiasan kecil itu di
antara jari-jari tangannya.
Matahari
semakin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang
kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tak nampak lagi
merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua
orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi
diperkosa.
Gadis-gadis
yang demikian manisnya, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan
gadis-gadis manis itu serta nasib mereka yang tertimpa mala petaka dengan
kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu, tanpa disadarinya, sambil mempermainkan
benda perhiasan itu di antara jari-jari tangannya, dia pun bersajak.
"Gadis
yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan sekuntum bunga indah
semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan
hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu
meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila...!"
Hay Hay
mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu terucap dari mulutnya
seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.
"Ang-hong-cu
memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!" Bentakan itu ditutup
dengan datangnya serangan yang sangat hebat. Anginnya menyambar dahsyat ke arah
tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tak kalah hebatnya yang
datang dari kanan kiri.
Dia sudah
diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam sudah menghampirinya dari
arah belakang. Karena angin menerpa dari depan, sedangkan dia sedang melamun
dan tenggelam di dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada
tiga orang datang menghampirinya. Apa lagi karena gerakan mereka memang sangat
ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi.
Ketika
merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay
Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya
dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin
serangan.
Demikian
cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut
karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu
kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!
Hay Hay yang
merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerang itu dan
menjadi makin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apa lagi
berkenalan dengan tiga orang ini!
Mereka
bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biar pun cuaca telah
mulai remang-remang, dia masih bisa melihat wajah mereka yang membayangkan
kemarahan. Wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas
seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce
merah.
Melihat
sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang
gagah, bukan dengan penjahat atau perampok. Maka dia pun mendahului mereka,
bersoja dengan dua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan
bersungguh-sungguh, walau pun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias
tersenyum.
"Harap
Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa
penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum
kukenal maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?"
Tiga orang
itu kelihatan marah. Seorang di antara mereka, yang bermuka penuh brewok yang
terpelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng
Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka
Hay Hay, dia pun memaki.
"Jai-hwa-cat
laknat! Biar pun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami
mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia
ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang
hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan
bumi!"
"Akan
tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat...!"
"Hemm,
sudah jahat pengecut pula!" teriak orang ke dua yang tinggi besar dan
mukanya kemerahan.
"Suheng,
kiranya tidak perlu banyak cakap. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu
dilayani. Hantam saja!" teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya
kuning.
"Sungguh
mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay
Hay penasaran.
Kembali Si
Brewok yang bicara. "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi
menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang
berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, kau tak perlu menyangkal lagi, mari
hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai
sekali?"
"Sungguh,
aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian
kira..."
"Hemmm,
percuma saja engkau menyangkal. Kami sudah melihat benda yang berada di
tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"
"Benar,
akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian
belum pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu?
Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?"
"Hemmm...,
tidak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan,
dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang.
Engkau pun tampan bertubuh tegap, juga membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi
kalau bukan engkau?"
"Bukan,
aku bukan Ang-hong-cu..."
Tiga orang
itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di
antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata,
"Ketahuilah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang sedang
bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"
"Mengapa
engkau hendak membunuhnya?" tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal
tentu saja dia ingin mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah
kandungnya itu.
"Dia
telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai hingga sumoi kami itu membunuh diri
di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahu karena engkaulah orangnya yang
melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu, mengaku saja!"
"Aku
bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?"
"Kalau
bukan, bagaimana engkau bisa mempunyai lambang hiasan tawon merah itu? Dari
mana kau dapatkan itu? Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?"
Hay Hay
tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera
Ang-hong-cu! "Itu... itu adalah urusanku sendiri, tidak perlu kuberi
tahukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah
engkau?"
"Tidak,
memang aku tidak percaya!" Sekarang yang bermuka kuning dan bertubuh kurus
membentak. "Engkau bohong, engkau seorang pengecut! Tadi pun engkau telah
bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan perhiasan
tawon merah itu. Engkau adalah Ang-hong-cu!"
Hay Hay
merasa mendongkol sekali. Si Muka Kuning ini tidak kelihatan gagah seperti dua
orang yang lain dan tampak sombong ketika memaki-makinya. Timbul kemarahannya
dan sepasang matanya mencorong menatap mata Si Muka Kuning.
"Kalau
begitu engkau hanyalah seekor anjing yang tolol!" dia balas memaki.
Mendadak
terjadi keanehan karena tiba-tiba Si Muka Kuning itu menjatuhkan diri berlutut,
kedua tangannya menapak tanah, lalu dia merangkak dan dari mulutnya keluarlah
suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing marah! Melihat ini, dua orang
suheng-nya terkejut bukan main. Si Brewok cepat menepuk pundak Si Muka Kuning
sambil membentak,
"Sute,
apa yang kau lakukan ini?! Sadarlah!"
Ditepuk
pundaknya, pria muka kuning itu seperti orang terkejut dan seperti baru sadar
dari mimpi buruk. Dia terbelalak heran melihat dirinya merangkak, dan dia pun
cepat meloncat bangun sambil mencabut pedangnya. Dua orang suheng-nya juga
mencabut pedang dan mereka bertiga segera mengepung Hay Hay dari tiga jurusan.
"Ang-hong-cu,
menyerahlah untuk kami belenggu kemudian kami bawa menghadap para pimpinan
Bu-tong-pai supaya engkau dapat mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Si
Brewok membentak nyaring sambil menodongkan pedangnya. "Atau terpaksa kami
akan menggunakan kekerasan membunuhmu lalu membawa kepalamu kembali ke
Bu-tong-san untuk dipakai menyembahyangi arwah sumoi kami!"
"Baiklah,
aku menyerah. Nah, kalian tangkaplah aku dan bawalah ke mana kalian suka,"
kata Hay Hay dengan tenang dan dia lalu duduk di atas sebongkah batu besar yang
ada di situ.
Tentu saja
tiga orang murid Bu-tong-pai merasa girang sekali walau pun mereka masih agak
meragukan apakah benar Ang-hong-cu mau menyerahkan diri demikian mudahnya.
Mereka memang sudah siap siaga dan Si Brewok lalu mengeluarkan sehelai tali
terbuat dari pada kulit kerbau yang sangat kuat. Dibantu oleh dua orang
sute-nya, dia menubruk Hay Hay dan cepat mereka membelenggu kaki tangan pemuda
itu yang sama sekali tidak melakukan perlawanan.
Akan tetapi
mereka mengalami kesukaran ketika hendak menyeret pemuda yang sudah dibelenggu
karena ternyata pemuda itu berat sekali. Mereka bertiga mengerahkan tenaga
menyeret dan... ketiganya lantas jatuh tunggang langgang ketika akhirnya tubuh
pemuda itu dapat mereka seret.
Akan tetapi
mereka meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada batu besar yang
mereka tarik dan telah terikat kuat. Kiranya yang mereka belenggu tadi adalah
sebongkah batu besar yang tadi diduduki oleh Hay Hay, tentu saja mereka merasa
berat sekali karena sebagian dari batu itu tertanam di dalam tanah. Ketika akhirnya
batu dapat dijebol, mereka langsung berjatuhan dan baru mereka melihat bahwa
yang mereka ikat dan seret-seret bukanlah tubuh Ang-hong-cu melainkan sebongkah
batu.
Ketika
mereka mengangkat muka dan memandang, mereka melihat pemuda itu sekarang sudah
duduk dan membuat api unggun yang mulai menyala terang, tidak jauh dari tempat
itu, sama sekali tak peduli terhadap mereka seolah-olah mereka bertiga hanya
bayangan-bayangan belaka.
Tiga orang
murid Bu-tong-pai itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka merasa
terkejut, heran dan juga seram. Manusiakah Ang-hong-cu itu, ataukah dia iblis?
Jika saja mereka tidak datang bertiga melainkan sendirian saja, tentu mereka
akan lari ketakutan. Akan tetapi karena mereka bertiga, hati mereka menjadi
besar dan dengan penasaran kini kembali menghampiri Hay Hay.
Dengan sikap
seolah-olah baru melihat mereka, Hay Hay lantas menoleh. Wajahnya yang tampan
tampak kemerahan tertimpa sinar api unggun dan sepasang matanya mencorong,
membuat tiga orang murid Bu-tong-pay menjadi jeri juga sehingga mereka
menghentikan langkah dan memandang kepada Hay Hay dengan ragu-ragu.
"Ahh,
kalian masih belum pergi juga? Mau tunggu apa lagi?"
Si Brewok
terpaksa memberanikan diri. "Ang-hong-cu, kami menerima tugas dari suhu di
Bu-tong-pai. Kami akan pulang ke Bu-tong-pai kalau membawa dirimu atau
kepalamu."
"Iihh,
sungguh repot. Kalau kalian menginginkan kepalaku, nah, ambillah. Ini
kusediakan untuk kalian. Ambillah!" Hay Hay lantas menjulurkan kepalanya,
seolah-olah menawarkan kepalanya untuk dipenggal.
Tentu saja
tiga orang murid Bu-tong-pai itu terkejut dan terheran-heran. Gilakah orang
ini? Mereka sudah memegang pedang masing-masing di tangan, akan tetapi tak ada
seorang pun yang bergerak. Siapa orangnya yang tidak akan meragu dan menjadi
ngeri bila orang menyodorkan kepalanya begitu saja dan menawarkan kepalanya itu
untuk dipenggal?
"Hayo,
kenapa kalian bengong saja?!" Hay Hay berseru. "Aku bisa kelelahan
kalau harus mengulurkan kepala begini terus."
"Tapi...
tapi kami bukan orang-orang yang suka membunuh lawan tanpa ada perlawanan
darinya. Kami bukan pembunuh berdarah dingin!" kata Si Brewok dengan suara
nyaring. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berjiwa pendekar gagah
perkasa!"
"Hemm,
siapakah yang mau membunuh? Kalian tak akan dapat membunuhku. Aku bukan minta
dibunuh, hanya memberikan kepala yang kalian butuhkan. Bukankah kalian minta
kepalaku untuk dibawa ke Bu-tong-pai? Nah, ambillah!"
Kembali Hay
Hay menyodorkan kepalanya hingga lehernya nampak panjang putih keluar dari
leher bajunya. Melihat ini gatal-gatal rasa tangan Si Brewok yang memegang
pedang. Dengan sekali penggal saja dia akan memperoleh kepala itu untuk
dijadikan bukti kepada para suhu-nya dan dijadikan bahan sembahyang bagi abu
sumoi-nya.
"Kau...
kau tidak akan mati penasaran?" tanyanya sambil melangkah mendekat, namun
masih ragu-ragu apakah perbuatannya itu tidak akan melanggar pantangan
pendekar.
"Aku
tidak akan mati. Kalau perlu kepalaku, ambillah dan jangan banyak cakap
lagi," kata Hay Hay dengan suara dongkol seperti orang yang merasa gemas
akibat ketenangannya telah diganggu orang.
"Baik,
engkau yang memberikan sendiri. Awas, kupenggal lehermu!" kata Si Brewok
dan pedang di tangannya lalu berkelebat, mengeluarkan sinar kilat ketika pedang
menyambar ke arah leher yang pucat itu.
"Cratttt...!"
Sekali
tebas, kepala itu pun terpisah dari tubuhnya. Akan tetapi sama sekali tak ada
darah yang keluar.
Si Brewok
segera menyambar rambut kepala itu dan mengangkat ke atas dengan wajah girang,
dipandang oleh kedua orang sute-nya. Mereka melihat bahwa memang kepala itu
adalah kepala pemuda tadi, dengan wajah masih tersenyum. Akan tetapi ketika
mereka memandang ke arah tubuh di depan api unggun, mereka langsung terkejut
dan merasa betapa tengkuk mereka meremang. Pemuda itu masih duduk dan kepalanya
masih utuh. Bahkan kini pemuda itu menjulurkan kepalanya lagi ke arah Si Tinggi
Besar muka merah.
"Apakah
engkau juga butuh kepalaku? Nah, ambillah!"
Murid
Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya berdiri
bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya,
lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri
suheng-nya. Dia bergidik, akan tetapi kemudian dia mengeluarkan lengking
panjang dan dia melompat ke depan, sekuat tenaga menggerakkan pedang di tangan
kanannya membacok ke arah leher yang disodorkan itu.
"Crattttt...!"
Kembali
pedang menebas buntung leher itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka
Merah. Akan tetapi, meski pun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya
dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini
pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih memiliki kepala yang utuh
menempel pada lehernya. Malah pemuda itu kini menyodorkan lagi kepalanya dan melirik
ke arah Si Muka Kuning.
"Engkau
juga mau kepalaku? Nah, amblllah supaya kalian bertiga bisa pulang membawa
masing-masing sebuah kepala!"
Seperti juga
kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan
mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang pada dua buah
kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas terlihat
jeri dan ketakutan, bahkan bergidik hingga kedua pundaknya menggigil seperti
orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suheng-nya telah
memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak.
"Biar
pun engkau siluman atau iblis, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!"
Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika
pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan menyambar ke arah leher itu.
"Crattttt...!"
Untuk ke
tiga kalinya leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka
Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di
dekat api dengan kepala masih tetap utuh. Tiga kali kepalanya dipenggal, dan
tiga buah kepala kini sudah berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai
itu dan mereka berloncatan menjauh.
Sesudah
mereka melihat lebih teliti, ke arah wajah dari kepala yang rambutnya dijambak,
ketiganya menjerit penuh kengerian karena wajah dari kepala yang dipenggal dan
berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi wajah mereka sendiri! Seperti
memegang ular berbisa mereka cepat-cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke
atas tanah kemudian lenyap begitu saja!
Tiga orang
jagoan Bu-tong-pai itu sekarang terbelalak pucat. Jelas nampak betapa tubuh
mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke
arah pemuda yang masih saja duduk bersila di dekat api unggun. Meski pun dia
takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak
lantang,
"Ang-hong-cu,
biar pun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami
tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!"
Setelah
berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring Si Brewok sudah berlari
menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sute-nya yang juga sudah
menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan
pakaiannya.
"Sialan,
mengganggu orang saja!" katanya, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap
dari depan tiga orang itu yang menjadi bengong terlongong.
Mereka tidak
tahu harus mengejar ke mana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau
bukan, orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang sungguh sangat hebat, bukan
hanya pandai ilmu sihir yang sudah berkali-kali membuat mereka kecelik, akan
tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu demikian
cepatnya seperti pandai menghilang saja.
Mereka
terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan mereka tidak
pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu. Ada kesangsian di dalam
hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau dia benar si
penjahat cabul, tentu mereka takkan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan
sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, biar pun pemuda itu
tampan dan membawa hiasan tawon merah.
Sementara
itu, sambil bersungut-sungut dengan hati yang mengkal bukan main, Hay Hay
terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia
tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat
yang nampak gelap sekali. Lebih baik di tempat tersembunyi itu agar tidak
terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat
sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit
di antara tiga cabang pohon yang saling melintang.
***************
Bunyi suling
itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa,
bermain-main dengan awan yang bergerak menuju timur, kemudian di lain saat
menukik turun seolah bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama
riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian
menyelam dan bersatu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk
pada lain saat muncul kembali kemudian berdendang mengiringi angin yang
bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, dan akhirnya
menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.
Sukma Hay
Hay melayang-layang, hanyut oleh suara suling itu. Ia ikut melayang di antara
awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi, turun hingga ke permukaan
sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dan riak air di antara
batu-batuan, turut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi.
Tiba-tiba
suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan
bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tiga cabang pohon
besar. Sinar matahari sudah mulai menyusup di antara celah-celah cabang,
ranting serta daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata,
mengusir kabut yang mulai naik membubung dari permukaan tanah dan dari daun-daun
pohon di mana semalam mereka berkumpul.
Burung-burung
berkicau sambil beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang
bukan main seakan-akan semua makhluk hidup, baik yang bergerak mau pun yang
tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Memang cahaya
matahari pagi merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang
membuat semua makhluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seakan-akan
menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati selama satu malam.
Kini Hay Hay
terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam di
sekelilingnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang tadi didengarnya, dan
dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main.
Buntalan
pakaian yang tadi malam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke
punggungnya, lalu dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat
karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara
semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut
mereka.
KEGEMBIRAAN
di sekitarnya menular kepada Hay Hay. Ia merasa gembira, hatinya ringan,
pikirannya bebas tanpa beban, dan semua ini membuat seluruh anggota tubuhnya
bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah
wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang dia tidak pernah makan sedikit
pun. Sekarang terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya.
Dia harus
mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya terdapat banyak kelinci
di dalam hutan ini, daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi
perutnya. Daging kelinci panggang, dengan diberi garam dan bumbu yang berada di
dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan kepalang. Mengingat akan ini,
perut Hay Hay semakin meronta dan menjerit.
Dia memungut
dua buah batu sebesar ibu jari kaki. Cukup untuk menjatuhkan seekor atau dua
ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu di tangannya, Hay Hay kemudian mencari
kelinci.
Tak lama
kemudian dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkejaran dan
mereka itu terlihat bergembira. Agaknya satu keluarga, pikir Hay-Hay. Dua ekor
yang kecil diikuti dua ekor yang besar. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya.
Maka dia
lalu memilih salah satu di antara dua ekor yang besar. Cukup besar dan gemuk,
seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Dipilihnya yang bulunya putih
bersih dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang
dengan sangat cepatnya ke arah leher kelinci itu.
"Takkk…!"
batu itu runtuh di tengah jalan!
Hay Hay
terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke
arah kepala kelinci putih itu. Menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi
hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.
"Takkk…!"
kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak.
Akan tetapi
pandangan mata Hay Hay yang tajam melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari
samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apakah
itu, tapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat
menangkap kelinci sebelum keempat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak
belukar penuh duri. Maka dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan
seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk
menangkapnya.
“Wuuutttt...!"
Tiba-tiba
saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap begitu cepatnya
sehingga dia hanya menangkap angin saja! Pada saat dia mengangkat muka
memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa
dengan tubuh gemetar empat ekor kelinci itu berada di atas pangkuan seorang
kakek yang sedang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak kelihatan karena
tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan,
mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hdiupnya belum pernah dia
melihat seorang kakek seaneh ini.
Dua orang
gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga
merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa
di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai
manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan
bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak
lumrah manusia.
Kakek ini
sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali jika melihat mukanya
yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar,
nampak tidak normal karena bagian belakangnya seperti membengkak, dan kepala
itu gundul bukannya akibat dicukur tetapi botak dan tidak ditumbuhi rambut.
Akan tetapi kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat wajah
yang sempit itu nampak bagaikan monyet atau manusia hutan yang liar. Pendeknya,
lebih mendekati monyet dari pada manusia!
Tubuhnya
nampak kecil pendek, bukan karena ukurannya memang pendek tetapi karena tubuh
itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu
kecil bundar bagaikan mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay
merasa silau ketika bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil
itu bagaikan dua titik api membara! Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet,
mulutnya kecil dan seolah selalu tersenyum mengejek.
Yang lebih
mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada
semacam cawat terbuat dari kulit pohon yang tergantung di pinggang,. Kakinya
telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya
tidak pernah mengenal peradaban!
Akan tetapi
Hay Hay langsung tertegun ketika mendengar suaranya! Bukan manusia liar, juga
bukan setengah binatang, tapi seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata
penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu!
Hanya
sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lantas sibuk
mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara
dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.
"Jangan
takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak akan ada
seorang pun manusia jahat yang mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana
bermain-main. Akan tetapi hati-hati selalu apabila melihat ada manusia,
bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari pada ular, lebih keji dari
iblis. Pergilah, sayang...!" Kakek itu mengelus punggung empat ekor
kelinci lalu mendorong mereka agar masuk ke dalam semak-semak.
Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek.
Melihat
sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, hati Hay Hay merasa tidak enak sekali.
Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.
"Maafkan
aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?"
Kakek itu
bangkit hingga tubuhnya nampak makin bongkok, matanya mengeluarkan sinar yang
menyambar ke arah muka Hay Hay, lantas dia menudingkan sebatang telunjuk yang
bengkok. "Manusia jahat, kau masih muda tetapi sudah jahat, tahunya hanya
menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam
dan jahat sekali! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tak
mengenal apa itu peliharaan. Dan awas kau, kalau kau mengganggu seekor binatang
terkecil pun, akan kubunuh kau!"
"Tapi,
Kek..."
"Huh,
tidak ada tapi! Lihat, pagi demikian indah, alam demikian elok dan suasana
begini suci dan penuh bahagia..." Mendadak Hay Hay melihat betapa wajah
itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah
seperti sajak. "Dan engkau manusia jahat lalu datang, tanpa mempedulikan
semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!"
"Tetapi,
Kakek yang baik, hatiku tidak dipenuhi kebencian, tidak penuh nafsu membunuh.
Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit akibat lapar!"
"Gila
kau! Masa perut lapar saja hendak membunuh kelinci?" bentak kakek itu.
"Kau lebih jahat dari pada segala makhluk. Binatang jauh lebih baik dari
pada manusia macam kau!"
Hay Hay
merasa amat penasaran. Dia melihat ke atas dan tampak seekor burung sedang
makan ulat. "Kakek yang baik, jangan kau sembarangan memaki orang. Lihat,
binatang-binatang pun memakan sesama makhluk hidup bila mereka lapar. Burung
itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikus dan cecak. Harimau
dan singa memakan kijang, kambing dan kelinci!"
"Tentu
saja, tolol! Karena memang itu makanannya! Harimau tidak suka makan rumput,
kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya maka dia akan
mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah
rumput, jika tidak ada rumput dia akan mampus kelaparan! Akan tetapi engkau
adalah manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena
lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan
harimau!" Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.
"Kakek
yang baik, sekarang ini perutku sedang lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh
menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati
kelaparan."
"Bohong,
begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan
rumput pun dapat kau makan."
Hay Hay
tertegun. "Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek?
Hanya makan rumput, daun dan buah?"
"Tentu
saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang
karena mereka itu jauh lebih suci dari pada manusia yang berhati palsu, curang,
kejam dan munafik, ha-ha-ha!" Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa.
Hay Hay
merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi
agaknya otaknya juga sudah miring, sudah gila! Suara tawanya itu tidak wajar
dan muka yang dapat berubah-ubah itu menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak
waras.
Agaknya
untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lantas mencabut rumput hijau muda
lantas memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput,
kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula.
Melihat ini
Hay Hay tersenyum. "Kakek yang baik, apa kau sangka karena makan rumput
dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itu pun telah kau bunuh
saat engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang
kecil yang tak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula
kau kunyah dan kau telan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang
kau makan bersama rumput dan daun itu!"
Kakek
bongkok itu memandang dengan sepasang mata mencorong. Mulutnya yang tadi sedang
mengunyah daun menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak
menelan rumput dan daun di mulutnya, nampaknya agak sukar. Setelah semua sayur
itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah,
"Engkau
gila! Sudah, aku tak sudi berbicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah
lantas membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor
binatang, akan kubunuh kau, manusia jahat!" Sebelum Hay Hay menjawab,
sekali berkelebat kakek itu pun lenyap.
Hay Hay
tertegun. Tidak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan yang sedemikian
cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukannya
sembarang orang. Tadi saat menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian
menghindarkan kelinci dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu
memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Siapakah
kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang otaknya miring, seperti orang
gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang
binatang, hal ini jelas sekali, dan menganggap orang yang makan daging binatang
amatlah biadab.
Siapakah
yang gila, kakek itu ataukah dia? Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil
yang tak bisa dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar
daun-daun dan sayur-sayuran sehingga jika makan sayur mentah pun tanpa
disengaja sudah membunuh banyak binatang!
Ahh, di
sinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, biar pun
tadi mengancamnya akan membunuh bila mana dia berani mengganggu binatang. Kakek
itu pantang membunuh, apa lagi membunuh untuk makan!
Membunuh
sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan
dagingnya memupuk kekejaman serta memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui
makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tingkah yang
aneh dari kakek tadi.
Ahh, peduli
amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri namun tidak nampak
bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa
kakek itu tentu sudah jauh dari situ. Dia pun kembali mulai mencari binatang
buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya.
Tiba-tiba
matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat
ada seekor ular sedang merayap turun dari atas sebuah pohon melalui sebatang
cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tak mengeluarkan
suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak tapi tubuhnya semakin maju dan
lidahnya bergerak keluar masuk moncongnya dengan amat cepat seperti tusukan
pedang di tangan seorang ahli.
Ketika Hay
Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai
ayam hutan. Begitu asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam hingga
agaknya dia lupa akan segala. Walau pun matanya selalu bergerak ke kanan kiri
dengan waspada, akan tetapi dia tak melihat benda bergerak yang hidup dan
mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk
calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay.
Hatinya
tertarik sekali maka dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan
mengejutkan pemburu di atas pohon berikut buruannya yang berada di dekat semak
di bawah cabang pohon itu. Sebagai seorang ahli silat, perasaannya sangat peka
terhadap setiap gerakan dan dia seakan-akan dapat merasakan ketegangan dan
kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu yang
mengintai dan mengejar calon korban!
Hay Hay yang
mengikuti gerakan ular itu, diam-diam ikut pula merasakan kegembiraan itu dan
dia malah membuat ancang-ancang, seolah-olah dialah yang hendak menerkam tikus
itu. Saat melihat posisi ular yang telah tiba di dekat ujung cabang yang mulai
melengkung akibat bobot ular itu, dia sudah merasakan bahwa kini tibalah
waktunya untuk menerkam. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali, binatang itu
pun menjatuhkan diri ke bawah!
Karena
kehilangan beban berat, maka cabang pohon itu melenting ke atas dan daunnya
mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi
terkejut ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman
bahaya.
Akan tetapi
tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka
ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu harus terhenti di udara
karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya.
Tikus itu segera meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan
menyedihkan.
Sejenak Hay
Hay memejamkan mata hingga suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi,
nampak betapa ular itu perlahan-lahan mulai menelan tubuh tikus yang tak
bernyawa lagi itu, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu
lebih besar dari pada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan
kelihatan betapa dia amat menikmati santapannya!
Hay Hay
menghela napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul
keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang
beginilah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan
binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat.
Ular tidak
akan dapat hidup dari makan rumput, daun atau pun buah. Makanannya adalah
bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang
mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi.
Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan
hidupnya. Akan tetapi manusia?
Tiba-tiba terdengar
suara lengkingan bening. Hay Hay cepat meloncat ke arah dari mana datangnya
suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak,
lebih lezat dan gurih dari pada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan
kakek gila itu beserta filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting
dia amat lapar dan kini dia sedang membutuhkan daging rusa yang enak!
Dengan ilmu
lari cepatnya, sebentar saja Hay Hay sudah dapat melihat rusa betina yang
mengeluarkan lengkingan tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan,
di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya
dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap
menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya.
Sejenak
mereka berdua itu mendengus-dengus. Si jantan hendak mendekati tapi si betina
marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas
lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi.
Rusa betina
itu agak kurus, maklum karena sedang menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil
untuk dimakan dagingnya. Hay Hay telah siap untuk meloncat dan menangkap rusa
betina itu. Walau pun rusa itu amat gesit dan dapat berlari cepat, dia yakin
akan mampu menangkapnya. Apa lagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu
dia tidak akan mau meninggalkan anaknya melainkan mengajaknya melarikan diri,
akan tetapi rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.
Akan tetapi
tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular
tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu
akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui
oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh.
Sekaligus
dia akan menukar beberapa potong daging rusa kurus yang belum tentu enak itu
dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tak ada bedanya
dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang kejam yang
membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa itu mati kelaparan, dan yang ke
tiga, mungkin dia akan dibenci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.
Selagi dia
hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap
sama sekali, terdengarlah auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan,
menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik
semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa
cepat-cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya
gemetar, akan tetapi dengan gagah dia melindungi anaknya sambil memasang
kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi
anaknya sampai saat terakhir!
Melihat ini,
Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong pihak yang lemah terancam
membuat dia melompat bersamaan dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua
tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka
menghantam ke arah kepala harimau itu.
"Dukkk!"
Pukulan
tangan miring itu begitu kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau.
Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu
berkelojotan dan akhirnya mati. Dari mulut, hidung serta telinganya mengalir
darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah ke mana, dan entah
muncul dari mana pula, kini di tempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila
dan aneh tadi.
Tentu saja
Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan sekarang berdiri
memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu
telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu.
Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
"Locianpwe
(Orang Tua Gagah), harap maafkan. Tadi bukan aku sengaja membunuh dan
mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendak
membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku
lupa diri dan membela mereka."
"Huh!
Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan terhadap harimau
itu! Entah telah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia memperoleh calon
penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan
kelaparan!"
Hay Hay
terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis
dia lalu memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak
mati dengan mulut, hidung serta telinga berdarah, dengan perut yang kempis,
tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.
"Maaf,
Locianpwe. Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa
yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu
terancam..."
"Perlukah
harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja jika engkau
mengusir tanpa harus membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya
sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!"
"Maaf,
Locianpwe," kata pula Hay Hay, merasa khawatir kalau-kalau peristiwa itu
nantinya akan menimbulkan kebencian di dalam hati kakek itu terhadap dirinya
sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.
"Huh,
kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kau kira
aku hanya akan tinggal diam saja? Engkau terlampau mengandalkan kepandaianmu,
nah, sekarang aku ingin mencoba sampai di mana kelihaianmu itu.
Bersiaplah!" tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi,
kakek itu segera menerjang kalang kabut kepada pemuda itu!
Hay Hay
kaget bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti
ngawur saja, dan di dalam semua serangannya terkandung sifat gerakan segala
macam binatang, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan
berbahaya bukan main. Agaknya semua gerakannya itu sepenuhnya berdasarkan naluri
saja dan tidak terkendali oleh pikiran, seperti yang dilakukan binatang apa
bila sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang mempunyai kekuatan terbatas
sesuai dengan sifat serta keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga
terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar
biasa kuatnya.
Karena repot
kalau harus mengelak terus ke sana sini, sedangkan ke mana pun tubuhnya
mengelak selalu dibayangi oleh dua tangan kakek itu yang bergerak otomatis
melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya
menangkis.
"Dukkk!"
Keduanya
terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya
kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan
tenaga itu telah membuat isi perutnya terguncang hebat.
"Eh,
kau boleh juga!" kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih
hebat dan lebih aneh dari pada tadi karena sekarang dia menyerang dengan jalan
menyerudukkan kepalanya ke depan seperti tingkah seekor binatang buas yang
bertanduk jika melakukan penyerangan.
Akan tetapi
kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak serta
membendol besar, dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung maka ketika
menyeruduk seperti itu, dia tiada bedanya laksana seekor kerbau yang menyerang
lawan. Tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam
serangan, kakek ini di samping menggunakan kepalanya, juga dibantu oleh kedua
tangannya yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan
tendangan!
Hay Hay
menjadi amat sibuk mengelak ke sana sini, akan tetapi karena serangan kakek itu
memang aneh bukan kepalang, sulit diduga kemana perkembangan gerakan serangan
itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja
Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting!
Namun pemuda
yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu segera melompat kembali begitu tubuhnya
menyentuh tanah, dan sekarang dia pun mulai menjadi marah. Gila atau pun tidak,
kakek ini sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai
membalas! Melihat ini, kakek itu cepat mengelak sambil mengibaskan lengan
menangkis dan terkekeh.
"He-he-he,
bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam,
jangan kira bahwa engkau akan bisa merobohkan aku seperti engkau merobohkan
harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" katanya sambil berdiri
tegak.
Setegak-tegaknya
kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar sedang
berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api
membara di dalamnya, bibirnya yang tersenyum menyeringai itu malah terlihat
seperti orang cemberut atau mengejek.
Aneh sekali,
melihat kakek ini tiba-tiba timbul perasaan iba di dalam hati Hay Hay. Kakek
yang amat tua, tidak seperti manusia lumrah, wajahnya begitu buruk seperti
monyet saja, terlantar tanpa baju dan tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal
memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega
untuk menyerang kakek ini, karena itu secara diam-diam dia mengerahkan tenaga
batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini dan membuat dia
tidak marah sehingga tidak menyerangnya lagi.
"Kakek
yang baik, lihatlah kepadaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu!
Lihatlah, kita adalah dua sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu maka tak
seharusnya kita berkelahi atau bermusuhan!" Di dalam setiap kata-katanya
itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat.
Kakek itu
tampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah dan membentak,
"Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!"
Hay Hay
terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia sudah
mengerahkan tenaga batin. Biar pun kakek ini memiliki pertahanan batin yang
bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi kakek itu kelihatan
tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!
"Locianpwe,
lihat baik-baik, siapakah aku ini?"
"Engkau
seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!"
"Engkau
keliru, aku adalah cucumu sendiri!"
"Bohong,
aku tidak punya cucu!"
"Aku
adalah puteramu!"
"Omong
kosong, aku tidak punya anak!"
Sungguh
celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja apa bila dihadapinya dengan
sihir ini, tentu akan takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi
kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu
sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya.
Demikian
kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia
teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia tetapi pencinta binatang,
maka kini dia menambah kekuatan pada pandangan mata dan suaranya, lantas
berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.
"Locianpwe,
lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!" Dia teringat betapa kakek itu
amat melindungi kelinci-kelinci dan nampak sayang sekali kepada binatang itu.
"Ha-ha-ha-ha,
engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis
dan mungil? Jangan mengacau!"
"Kakek,
aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!"
"Ho-ho-ho,
tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah
perkasa?"
Sial betul,
pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan
sihirnya yang telah melempem. Sekarang tidak ada jalan lain kecuali lari
secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus
berkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini.
Dia memilih
yang pertama maka cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil
mengerahkan ilmu sihirnya. Di mata orang lain tentu dia akan lenyap menjadi
asap, tetapi dia pun tak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila,
melainkan cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan ilmu berlari
cepat untuk meninggalkan tempat itu.
Pada waktu
itu Hay Hay sudah mempunyai ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia sudah
mewarisi bermacam ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh
ketekunan di samping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang
yang akan mampu mengejarnya, maka sesudah berlari cepat kurang lebih seperempat
jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan.
Karena sejak
tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat. Maka,
pada saat melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar
yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan
diri.
"Aaaahhhh...!"
Dia menghela napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat
teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi.
Akan tetapi
betapa kagetnya ketika batu yang diduduki itu tiba-tiba saja bergerak lantas
terdengar suara dari batu itu, "Hemm, engkau baru tiba. Sampai mengantuk
aku menanti kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!"
Hay Hay
meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang,
ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ!
Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia
begini sakti!
Sekarang dia
mengerti bahwa dia kalah jauh dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat.
Bukan saja kakek itu sudah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah
diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabui. Ini juga merupakan semacam
sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang pernah
mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!
"Locianpwe,
maafkan aku. Aku tak ingin berkelahi dengan Locianpwe," katanya merendah
sambil menjura.
"Heh-heh-heh,
aku tidak peduli apakah engkau ingin atau tidak, akan tetapi engkau sudah
memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa di hadapanku,
maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana
hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!"
Kakek itu
menerjang lagi seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan
ilmu silat, maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau bisa menduga
gerakan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia
merasa sangat penasaran.
Bagaimana
pun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah
memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan
kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.
"Baiklah,
kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!" teriaknya.
Dia pun
langsung membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat. Kakinya bergerak
dengan Jiau-poa Poan-soan, ilmu langkah ajaib yang pernah dipelajarinya dari
See-thian Lama, sedangkan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi,
tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua
jari, bahkan tiga jari, semua mengancam jalan darah terpenting di seluruh
bagian tubuh lawan! Hebat bukan kepalang serangkaian serangannya itu sehingga
berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.
"Wah,
hebat kau! Hei, bukankah ini Jiau-poa Poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi
ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan
semua!"
Hay Hay semakin
heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan
tinggi walau pun nampak terlantar dan gila, tetapi buktinya mengenal ilmu dari
suhu-nya yang kedudukannya amat tinggi sebagai seorang di antara Delapan
Dewa.....
Setelah lebih
dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan telah
mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merubah gerakannya dan kini dia memainkan
Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, yang diciptakan Ciu-sian Sin-kai
khusus untuk dirinya. Begitu dia memainkan ilmu silat yang membuat daun-daun
pohon di sekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin
pukulannya, berkali-kali kakek itu harus kembali berseru kaget sambil terus
mengelak dan kadang-kadang menangkis.
"Wah-wah,
engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung,
mewarisi pula ilmu-ilmu milik Si Jembel dari Delapan Dewa itu!" Akan
tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay.
Diam-diam
pemuda ini semakin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling
dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini panjangnya hanya tiga
kaki, bisa dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang.
Dengan senjata ini kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh
kepandaiannya.
Sambil terus
memuji-muji kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay hanya dengan
elakan-elakan dan tangkisan, dan tiba-tiba dia membentak, "Cukup!"
Tiba-tiba
tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang sangat kuat dan biar
pun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia
terhuyung meski pun tidak sampai jatuh.
"Bagus,
engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!" kakek itu memuji.
Sekarang
sikapnya tidak seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh
wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya berlangsung sebentar saja karena
begitu Hay Hay menjatuhkan diri dan berlutut di depannya, dia sudah
tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan yang tidak normal!
"Heh-heh-ha-ha-ha,
engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, tapi masih mentah!
Dan orang mentah seperti engkau ini berani memamerkan kepandaian di depan Song
Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!"
Hay Hay
mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang nama Song Lojin
di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan tiga orang gurunya belum pernah ada
yang bercerita tentang seorang tokoh tua yang bernama Kakek Song. Dia merasa
yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang
gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi
hormat sambil berlutut dan berkata, "Locianpwe, saya yang bodoh bernama
Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia."
"Siapa
yang mulia? Ha-ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku
karena aku tidak pernah membutuhkannya." Dia terkekeh. "Akan tetapi
aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu
silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Ehh, namamu Hay Hay, tetapi
siapa she-mu?"
"Maaf,
Locianpwe, saya sangat membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau
mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she."
"Wah-wah...
ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci.
Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kau
miliki?"
Tentu saja
Hay Hay merasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya
menyentuh tanah. "Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan
berterima kasih dan selamanya tak akan melupakan budi Suhu."
"Wah-wah-wah!
Aku tidak butuh diingat, juga tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau
harus mentaati semua perintahku. Berani?"
"Teecu
berani."
"Selama
berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!"
"Teecu
selamanya tidak pernah makan bangkai!" kata Hay Hay memprotes.
"Huh,
siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kau makan itu?
Daging binatang yang sudah mati, apakah itu bukan bangkai?"
Hay Hay
tertegun dan tidak mau membantah. "Baik, teecu akan mentaati semua
perintah itu."
"Latihan-latihannya
sangat berat, kalau tidak kuat engkau dapat menjadi gila atau bahkan mati.
Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan latihan apa saja tanpa membantah.
Sekali engkau membangkang, maka terpaksa aku harus membunuhmu karena engkau
akan menjadi makhluk yang amat berbahaya. Sanggup?"
Hay Hay
merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini sudah menjadi gila karena latihan-latihan
yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan
gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut.
"Teecu
sanggup!"
"Engkau
tidak boleh meninggalkan latihanmu sebelum aku menyuruhmu, tetapi kalau aku
sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, di mana saja dan
kapan saja. Sanggup?"
"Sanggup,
Suhu."
"Nah,
sekarang engkau harus melakukan latihan yang pertama. Ingat baik-baik kalimat
ini lantas hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali
ke Tiada. Nah, coba hafalkan!"
Hay Hay
menahan ketawanya. Tentu saja amat mudah baginya untuk menghafal kalimat itu,
apa lagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama
Buddha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat
Agama To.
"Baik,
Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."
"Bagus,
engkau pintar sekali," kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca
kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan. Sudah banyak dia membaca
sajak maka pandai berdeklamasi. "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku,
juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."
Hay Hay
tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan
pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan
mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka
berdua, Hay Hay tidak membantah. Dia menanggalkan semua pakaiannya, lantas
pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu
yang memandang sambil menyeringai.
"Kau
tidak khawatir kalau aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"
Hay Hay
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka
berpakaian."
"Nah,
mari ikuti aku!"
Kakek itu
berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu
Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk bisa mengimbangi kecepatan
langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan
pertama di mana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama
Kakek Song ini. Setibanya di pinggir sebuah anak sungai, di antara pohon-pohon
yang besar, kakek itu baru berhenti.
"Nah,
sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam hingga setinggi leher sambil
duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan pernah engkau tinggalkan tempat ini
sampai aku datang menyuruhmu keluar."
Hay Hay
langsung bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan?
Sementara perutnya lapar bukan main dan hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak
berani membantah, hanya bertanya.
"Bagaimana
kalau perut saya lapar sekali, Suhu?" Hay Hay mulai memancing,
"Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat lantas memakannya kalau
perut saya sudah lapar sekali?"
Pancingannya
berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi
kemerahan. "Apa kau bilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan
bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau
begitu!"
Habis,
bagaimana kalau saya lapar?"
"Apakah
engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat di sekitarmu,
begitu banyak makanan lezat dan segar, lihatlah ke atasmu. Akan tetapi awas,
sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan
itu, dan seluruh perhatianmu harus kau curahkan kepada kalimat yang kau
hafalkan tadi. Mengerti?"
"Mengerti,
Suhu."
"Kalau
begitu, lekas kau lakukan!"
Hay Hay
tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji
dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, ia pun menurut saja, memasuki
air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di
atas batu yang bundar dan rata. Ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai
di atas dadanya dekat leher.
"Bagus,
dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi engkau dapat meninggalkan tempat
bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal
dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!" Setelah berkata
demikian, kakek itu lalu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay
Hay.
Pemuda itu
celingukan memandang ke kanan kiri, tiba-tiba merasa seperti sudah menjadi
seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa laksana
menjadi bulan-bulanan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa
yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak
boleh meninggalkan tempat itu padahal perutnya amat lapar?
Dia lalu
memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu.
Ternyata tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang
lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantungan buah
apel merah yang besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambil buah
itu? Dia tidak boleh meninggalkan tempat duduknya itu!
Perut yang
lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Dia lalu mengambil batu-batu kecil
dari dasar sungai. Disambitnya apel yang bergantung di hadapannya. Dua buah
butir apel runtuh ke atas air lalu terbawa arus sungai itu menghampirinya sebab
dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air.
Dengan
gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main.
Setelah menghabiskan tujuh butir apel besar perutnya menjadi kenyang dan
mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu.
Dia duduk
dengan tenang dan karena dia sambil bersemedhi, maka mudah saja baginya untuk
mengheningkan cipta sehingga yang teringat hanya kalimat itu saja yang
dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang kala bibirnya ikut
bergerak-gerak karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu.
Kesadarannya
bekerja bersama pengamatannya karena dia mulai mengamati isi atau arti dari
kalimat itu. Agama To mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah
Kosong, dan Kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan
itu tak bisa diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari
ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lampau, yang hanya dapat dicatat oleh
pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu
mencatatnya.
Segala
sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab.
Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan
selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang
pasti bisa melihat sebab-sebabnya.
Akan tetapi
sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tak mungkin
dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini,
maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak
dilihatnya, tidak dimengertinya.
Oleh karena
itulah otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata
'Nasib', menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tak mau tahu karena tidak
melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya sambil mencari kesalahan kepada
siapa saja secara membabi-buta!
Begitu malam
tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Maka terpaksa
Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan hawa dingin ini.
Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tak nampak, musuh yang
berupa hawa dingin dan yang lebih dari pada itu, perasaan ngeri.
Gerakan air
yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, semua ini
mendatangkan bayang-bayangan yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia
akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuang
keras melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan dirinya terseret hanyut
oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya di bawah
dagu itu!
Semalam
suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai
matahari pagi menimbulkan kabut di permukaan air anak sungai itu, dan
burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi,
sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay
mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya.
Makin siang
makin kecewa hatinya dan ketika diam-diam dia merenung kembali kalimat yang
harus selalu diingatnya itu, dia mendapat kenyataan baru dalam hidup,
sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan
timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi
biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang
dilakukannya sejak semalam.
Ia
mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitaannya pada keesokan harinya,
dan kini dia merasa kecewa bukan main karena kenyataannya kakek itu tidak
muncul! Andai kata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa
kecewa itu.
Ketika
perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya
untuk meloncat ke darat, ia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh
perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak
seperti membaca mantera.
"Ada
datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada,"
demikian berkali-kali dia mengulang membaca kalimat itu. Memang segalanya pasti
akan kembali ke tiada, termasuk juga dirinya.
Sesudah
matahari condong ke langit barat, perut kosongnya mulai menagih lagi. Kembali
dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di hadapannya, dan buah-buahan itu
terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai
kenyang, lalu duduk terpekur pula.
Hatinya
terasa tenang sesudah dia mengulang kalimat itu dan sesudah perutnya kenyang
sehingga dia tak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tak lagi ada rasa kecewa
setelah semuanya hening dan kosong. Dia kini mulai tenggelam ke dalam
keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya,
akan tetapi tak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi, tidak
melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanya kesadarannya yang masuk ke dalam dirinya
sendiri, tak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya.
Dan rasanya
seperti melayang-layang ke dalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam
warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tak dapat
diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia
masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun dia merasa
seperti berada di dunia lain!
Tiba-tiba
terdengar suara menggelegar yang sangat keras dibarengi dengan cahaya yang
menyilaukan mata, yang menyeret Hay Hay kembali ke alam kenyataan. Ia pun membuka
mata, segera terbelalak heran karena ternyata sudah turun hujan dan suara
menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar.
Kiranya
hujan sudah turun agak lama apa bila melihat dari rambut kepalanya yang sudah
basah kuyup. Dan cuaca telah remang-remang, agaknya sudah senja atau karena
cahaya matahari terhalang oleh mendung dan hujan. Seingatnya hari amat cerah
sebelum dia tadi tenggelam ke dalam alam semedhi, maka tak disangkanya sekarang
turun hujan.
Ia lalu
merenungkan kembali kalimat yang harus selalu diingatnya, matanya memandang
permukaan air sungai yang selama ini tidak pernah berhenti bergerak, dan kini
ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat
permukaan air bagaikan tertimpa ribuan batu-batu kecil.
Hidup
seperti air sungai mengalir, renungnya. Setiap gerakan air, setiap tetes air
bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong di belakangnya. Juga air hujan yang
berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu.
Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tak pernah sama,
selalu berubah. Biar pun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada
permukaan air sungai, tidak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati.
Karena itu,
mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik
demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran karena kehidupan akan
lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.
Malam pun
tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay
Hay mengambil sebuah batu lagi untuk mengganjal pantatnya sehingga dia dapat
duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam.
Timbul kekhawatiran
di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang
lain? Akan tetapi dia segera melenyapkan rasa takut itu. Dia sudah pasrah dan
bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya
keluar. Apa pun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.
Hay Hay
pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam,
angkasa penuh dengan sejuta bintang. Indah bukan main. Kalimat yang harus
diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang di angkasa itu pun terjadi
dan tercipta bukan tanpa sebab.
Alangkah
banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan alangkah besar kekuasaan Sang
Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tidak mungkin dapat dibuka oleh pikiran
manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga
membuatnya menjadi kotor.
Ketika dia
melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum
pernah dilihatnya, juga merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh
batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat
melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang
seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan yang begitu mudah dinikmati,
tinggal membuka mata memandang, tinggal membuka hidung mencium untuk menikmati
keharuman, tinggal membuka telinga mendengar untuk menikmati kemerduan.
Betapa
bahagianya hidup ini. Hidup adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah
anugerah, hidup adalah cinta kasih. Tapi mengapa kita tidak dapat melihatnya?
Mengapa kita tak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan
demikian ruwet, penuh sesak dan tak henti-hentinya dikuasai keinginan mengejar
kesenangan-kesenangan yang sebetulnya hanya merupakan gelembung-gelembung
kosong yang mudah pecah belaka?
Jutaan
bintang mendatangkan cahaya remang-remang, tapi cukup terang bagi mata Hay Hay
yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di
depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang
itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampiri dirinya, meluncur dengan
berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya.
Buaya! Apa
lagi kalau bukan buaya? Dan sekarang memang nampak garis bentuk tubuh buaya
itu, mulai dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi
itu. Celaka, pikirnya.
Apa bila dia
berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, di samping mudah
menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang
buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau
berada di atas tanah, walau pun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang
kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula
berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani!
Dengan
jantung berdebar saking tegang dan takutnya, Hay Hay memandang benda hitam yang
bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apa pun yang terjadi, dia
harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu.
Kini ada dua
pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu,
atau meloncat ke darat lantas menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya
dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh
kakek itu!
Dan dia
memilih yang pertama. Apa bila buaya itu memang akan menyerangku, sampai
bagaimana pun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji,
tidak akan meninggalkan tempat ini, demikianlah tekadnya dan kembali dia
membaca kalimat yang harus selalu diingatnya.
"Ada
datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang
dari Tiada!" Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam
itu penuh kewaspadaan. “Ada datang dari Tiada…!”
Dan...
sesudah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat
memandang lebih jelas, hampir saja dia tertawa bergelak mentertawakan dirinya
sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi keningnya,
padahal hawanya amat dingin. Benda yang berbentuk buaya dan berenang
menghampirinya itu kini ternyata hanya sepotong kayu hitam panjang! Potongan
batang pohon yang hanyut di sungai itu!
Malam itu
bukan hanya ‘buaya’ itu yang nampak oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah
ular-ular, ikan-ikan aneh serta lintah-lintah besar yang merubung dan mengancam
dirinya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting.
Tahulah dia
bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan
takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan
menggodanya!
Menjelang
pagi tiba-tiba saja tampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah
berdiri di atas batu yang tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu
menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu telah berada di situ, mengulurkan
tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu.
Hay Hay
menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu
pun lenyap. Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah
dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa
betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh.
Dia pun
menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas
itu berputar-putaran di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa yang sangat nyaman
sehingga hampir saja membuat dia tertidur pulas! Untung dia masih sadar dan
kesadaran ini, disertai kewaspadaan mencurahkan perhatian pada kalimat yang
harus dihafalkannya, membuat kantuk itu lenyap.
Pada
keesokan harinya barulah kakek Song muncul. "Bagus, engkau bisa
menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya.
Keluarlah dulu dari situ dan kenakan pakaianmu."
Bukan main
leganya rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu
See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia
mendapatkan latihan seaneh ini. Namun latihan pertama yang berlangsung selama
dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang tak akan terlupakan olehnya.
Mengerikan, menakutkan sekaligus juga sangat menegangkan, di mana orang harus
berjuang melawan perasaan, khayal serta penderitaan yang dibuat oleh pikirannya
sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.
"Terima
kasih, Suhu!" katanya.
Dan ketika
dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya
tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu,
bahkan terasa segar dan ringan sekali walau pun perutnya kembali terasa lapar.
Dengan cepat Hay Hay segera mengenakan pakaian dari buntalan yang telah dibawa
ke situ oleh Kakek Song.
"Nah,
sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan
bangkai! Mulai sore nanti engkau harus melakukan latihan kedua yang lebih
berat. Datang saja ke goa di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tidak jauh
dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!" Kembali kakek
itu berkelebat dan lenyap.
Hay Hay
tidak mau mengejar walau pun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan
keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lantas
memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan
tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu
bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya
diserang binatang buas. Sebelum tidur dia menanam dalam ingatannya bahwa
sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun
Hay Hay
tidur pulas sekali. Sekarang terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan
menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang
tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari goa itu, di
dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhu-nya.
Kakek itu
nampak duduk bersila di mulut goa. Goa itu sendiri bermulut kecil, hanya satu
meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.
"Engkau
sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu di dalam goa dan seperti kemarin
dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"
Hay Hay
mengerutkan alis. Celaka, kiranya kakek gila ini memang suka mempermainkan
orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa di dalam air, maka bertelanjang
pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam di
dalam air lagi?
Dia tidak
berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia lalu menanggalkan semua
pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga
hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini Hay
Hay tak merasa canggung. Kakek ini membawanya ke sebuah lereng bukit yang
gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak
ditumbuhi pohon sama sekali.
"Nah,
sekarang engkau harus menghafalkan kalimat yang lain lagi. Dengarkan baik-baik:
Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah
waspada. Tirukan!"
Kembali Hay
Hay merasakan keanehan pada kalimat ini. Mudah dimengerti dan sangat sederhana,
apa lagi kalimat yang sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal,
kenapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan
suara lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa
dirinya bodoh adalah waspada!"
"Bagus,
sekarang kau galilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila dalam lubang
itu dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak
hanyalah kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa
dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi
kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment