Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 29
KETIKA dua
orang muda itu tiba diluar perkampungan, tiba-tiba nampak api besar bernyala di
belakang mereka dan sayup-sayup terdengarlah suara tangisan serta teriakan
Mulana memanggil-manggil nama isterinya. Agaknya Mulana sudah menjadi gila dan
pria ini telah membakar istananya sendiri! Pria itu sesungguhnya sangat
mencinta isterinya akan tetapi dibikin gila oleh cemburu!
"Kasihan...!"
Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh.
"Siapa
yang kasihan?" Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dan
tadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut.
"Kedua-duanya...,"
jawab Han Siong.
Mereka
melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu.
"Engkau
benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya
patut dikasihani sebab nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak disangka jika
orang-orang seperti mereka...," kata Bi Lian, kemudian disambungnya lirih.
"Cinta memang aneh..."
"Ya,
cinta memang aneh...," Han Siong juga menggumam.
Keduanya
lalu tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka seperti berdengung di telinga
mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka telah mengerti atau
setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung,
saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya.
"Saudara
Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Han Siong
terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. "Belum, dan
engkau?"
"Aku
juga belum pernah."
"Kalau
begitu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?"
"Dan engkau
pun tadi membenarkan begitu saja." Keduanya saling pandang, lalu tertawa
geli.
"Lihat
saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang
gila karena cinta? Itulah yang membuat aku tadi mengatakan bahwa cinta memang
aneh," kata Bi Lian membela diri.
"Tetapi
itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya,
atau cintanya berlandaskan kebanggaan karena dia sudah berhasil memenangkan
puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka,
dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Ada pun cinta
Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan cinta
itu baru terasa setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya
sedangkan Yasmina lebih mementingkan nafsu birahinya, dan keduanya
merana..."
"Aih,
agaknya engkau adalah seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!"
kata Bi Lian.
Wajah Han
Siong berubah merah. "Sama sekali bukan begitu, hanya aku melihat hal-hal
yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tak kalah anehnya,
juga amat mengharukan antara dua orang yang benar-benar saling mencinta. Akan
tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu."
"Siapakah
mereka?" Bi Lian tertarik.
"Mereka...
adalah kedua orang guruku, suhu dan subo-ku..."
"Ihhh,
tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek."
"Lain
kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah,
di sana ada sungai kecil, bagaimana kalau kita melewatkan malam di tepi sungai
itu?"
Mereka lalu
mencari tepian sungai yang landai dan di sana terdapat banyak batu kali yang
besar dan bersih. Mereka kemudian mengumpulkan kayu kering dan membuat api
unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Memang tempat
itu nyaman sekali. Sebelum pergi, mereka tadi telah memasuki kamar
masing-masing dan membawa perbekalan mereka tanpa ada yang mengganggu mereka.
"Sekarang
mengaso dan tidurlah, Nona. Biarlah aku yang berjaga di sini," kata Pek
Han Siong.
"Aku
belum mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara
kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja pada waktu aku terancam
bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang sangat lihai. Lalu kita
bertemu dengan Mulana dan isterinya yang bahkan lebih aneh lagi. Apa lagi
sesudah mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja
kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah sangat lama
kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan
dirimu, keluargamu. Begitu bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa
suka sekali padanya."
Han Siong
menghela napas panjang. "Tidak ada sesuatu yang menarik mengenai diriku,
Nona, akan tetapi justru ada suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang
dirimu, Nona. Ketahuilah, pada saat engkau memperkenalkan namamu, sesungguhnya
aku... aku telah menjadi terkejut bukan main karena aku sudah mengenal namamu
dengan sangat baik, Nona Cu."
Bi Lian
memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Pantas saja saat
mendengar namaku engkau terlihat kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku,
Saudara Pek Han Siong?"
Han Siong
mengambil keputusan untuk berterus terang. Jika sekarang dia tidak mengaku,
kelak gadis ini tentu akan merasa tersinggung dan marah karena menganggap dia
sudah pura-pura tak mengenalnya. Padahal dialah yang mendapat tugas dari suhu
dan subo-nya untuk mencari puteri mereka ini.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak mungkin berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan
agaknya tidak bijaksana kalau sekarang dia membuka rahasia bahwa gadis ini
bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab.
"Sebelumnya
aku hendak mendengar pengakuanmu. Bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah
dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tidak jauh dari sebuah
kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"
Bi Lian
memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa
tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama
kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah mala petaka di dusun itu. Terjadi
pertempuran antara para tokoh sesat sehingga banyak orang dusun tewas di dalam
pertempuran itu, termasuk juga kedua orang tuaku! Ayah ibuku tewas dan aku
terjatuh ke dalam tangan kedua orang guruku itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan
Tung Hek Kwi! Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, dan mulai saat itu aku
menjadi murid mereka lalu diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi sekali lagi,
bagaimana engkau bisa mengetahui tentang keadaan diriku di dusun itu?"
"Ada
satu hal lagi, Nona, harap kau suka menjawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau
ikut dengan dua orang gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi,
dan sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu sehingga
mengakibatkan kematian ayah bundamu, sebelum itu pernahkan engkau belajar ilmu
silat?"
Bi Lian
kembali memandang tajam, penuh selidik dan dia mengingat-ingat. Masih teringat
benar olehnya betapa ketika dia masih kecil ada dua orang yang selalu datang di
malam hari dan kedua orang itu, pria dan wanita, secara bergiliran memberi
petunjuk kepadanya tentang dasar ilmu silat.
Dua orang
itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu
demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subo-nya, kadang-kadang subo-nya itu
menunjukkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Dia sering digedong dan
ditimang, bahkan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu.
Subo-nya
seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun
pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Ia masih
ingat betapa subo-nya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya amat
lemah-lembut.
Ada pun
suhu-nya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam tetapi ramah
dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin
dapat dilupakan dari suhu-nya itu adalah bahwa lengan kiri suhu-nya itu buntung
sebatas siku. Lengan baju kirinya kosong sebatas siku. Hanya itulah yang
teringat olehnya tentang suhu dan subo-nya, dan sekarang dia diingatkan dan
ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa
olehnya itu.
"Ya-ya-ya,
tentu saja aku masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik
padaku! Ahh, mereka sering datang secara bergilir pada waktu malam, dan mereka
bilang bahwa mereka tinggal di kuil Siauw-lim-si. Memang mereka telah
membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."
Girang bukan
main rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya
berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"
"Suhu
dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo.
Mereka tidak pernah memperkenalkan nama, juga ayah dan ibu yang agaknya amat
menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh
agar aku selalu patuh dan mentaati mereka sebagai guru-guruku. Eh, Saudara Pek,
apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"
Han Siong
mengangguk. Sejenak dia termenung sambil memandang ke arah api unggun,
sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu
mengalihkan pandang matanya sehingga kedua pasang sinar mata itu saling bertaut
sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.
"Aku
mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah guru-guruku juga!
Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan subo bernama Toan Hui Cu."
Sepasang
mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis
ini demikian mirip subo-nya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau
subo-nya itu pendiam, gadis ini memiliki mata yang tajam, sikapnya lincah,
manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki
pembawaan yang gagah perkasa seperti suhu-nya!
"Aihhh...,
kalau begitu engkau... "
"Aku
adalah... saudara seperguruan denganmu, Sumoi."
"Engkau
suheng-ku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat
saja dari suhu dan subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang
guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"
"Mereka
itu merampasmu dari suhu dan subo."
"Tapi...
tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu,
suhu dan subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang guruku yang
kini sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.
Han Siong
menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang gurumu itu adalah
datuk-datuk persilatan yang ilmunya sudah sangat tinggi, walau pun suhu dan
subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan
tetapi aku tak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau
lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka
engkau hampir celaka."
"Dan
engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, suhu
dan subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu
melawan Kulana?"
Han Siong
menggelengkan kepala. "Tidak, meski pun suhu dan subo sangat lihai, namun
bukan mereka yang mengajarkan ilmu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika
engkau memperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut
mengaku kepadamu. Baru sekarang aku berani mengaku karena sebenarnya suhu dan
subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat
kutemukan!"
Bi Lian
tersenyum memandang. Di bawah cahaya api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan
menarik sekali. Dia merasa betapa jantungnya berdebar, entah karena senang
mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini adalah suheng-nya, atau ada sebab
lainnya, dia sendiri tidak dapat mengerti.
Yang jelas,
diingatkan keadaan masa kecilnya telah mendatangkan kenangan yang aneh, ada
pahitnya dan ada pula manisnya. Dan dia sama sekali tidak mengira bahwa suhu
dan subo-nya yang dulu itu ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus
muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!
"Dan
ternyata engkau berhasil, Suheng. Kita sudah dapat saling bertemu, lalu apa
yang akan kau lakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan
sekarang?"
Han Siong
juga tersenyum. Gadis ini mempunyai pembawaan yang lincah gembira. "Kita
saling bertemu, bahkan secara bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan
lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan
batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan suhu dan subo bahwa... bahwa...
engkau diminta untuk cepat berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu
kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam
dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng,
untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."
"Engkau
benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat
ada seorang gadis seperti Eng-moi berada di antara mereka. Apa lagi dia menjadi
murid bahkan anak angkat dari seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang
mendorong adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya dia tertawan oleh
anak buah Lam-hai Giam-lo, lantas dengan kecerdikannya adikmu itu sudah dapat
menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya, bahkan
mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Yang ke dua, adikmu itu memang
ingin mempelajari ilmu silat tinggi sesudah dia minggat dari rumahnya karena
tak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi, bila mana
bertemu denganmu dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini
dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun
hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana."
"Apakah
dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"
"Pertama,
aku harus membalaskan kematian ayah ibuku, dan ke dua, aku pun tidak akan
tinggal diam karena dua orang guruku sampai tewas di sana. Kulana harus
bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku sudah menjadi penyebab
kematian kedua orang guruku itu."
"Dan
siapakah yang telah menewaskan ayah ibumu di dusun?"
"Ayah
ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."
"Aihhh?!"
Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa..."
"Begini,
Suheng. Pada waktu itu kedua orang guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo
dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan beserta anak buah mereka. Mereka itu
bahkan menghasut orang dusun supaya memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi.
Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang
dusun. Dengan demikian, biar pun orang tuaku tewas di tangan kedua orang guruku
itu, akan tetapi kedua orang guruku itu tidak memiliki permusuhan dengan orang
tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itu yang menghasut penduduk
untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang
telah menjerumuskan ayah ibuku sehingga menjadi korban."
Han Siong
mengerutkan alisnya, teringatlah dia akan semua nasehat suhu dan subo-nya, juga
semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara
Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasehat dan petuah yang
pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya, tanpa dapat ditahan bahkan
seperti di luar kesadarannya sendiri.
"Sumoi,
dendam adalah suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam
timbullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan jahat. Apa lagi dendam karena
kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi, dan
jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang,
biar pun orang itu bisa saja menjadi sebab dari pada kematian orang lain. Kalau
Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal
Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tidak mungkin
orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada
seribu orang Kulana tak akan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu
saling serang hingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh
merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada di tangan Tuhan."
"Suheng...
!" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru kini dia mendengar pendapat
seperti itu.
Han Siong
tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian bisa menggunakan banyak
macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan atau melalui
bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit
bila keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api jika mati karena
api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"
"Akan
tetapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang
melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang
semacam Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan
kehendaknya?"
"Wah,
itu lain lagi, Sumoi. Itu bukan persoalan dendam lagi, tapi sikap seorang
pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau
engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo beserta kawan-kawannya karena engkau
tahu benar bahwa mereka merupakan sekelompok orang sesat yang hanya hendak
mengancam kedamaian hidup orang lain, itu adalah panggilan jiwa kependekaranmu
dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang kita istirahat lebih dulu, besok
pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, harus bebas
dari dendam, Sumoi."
Bi Lian
tersenyum dan mengangguk. "Bebas dari dendam, Suheng."
Dia masih
tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas, sedangkan Pek Han Siong duduk
bersila dekat api unggun, mengumpulkab hawa murni dan berjaga karena dia tahu
bahwa dia tidak boleh lengah di tempat itu.
***************
Kita biarkan
dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di pinggir anak
sungai itu, dan sekarang mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah
terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti
sudah kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian. Hampir saja terjadi
hubungan badan yang terdorong oleh birahi antara pemuda ini dengan janda muda
yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai
ilmu silatnya itu.
Untung bahwa
Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walau pun dia sudah hampir lupa dan buta
oleh gejolak nafsunya. Mereka berdua bisa menguasai diri kembali, tidak terjadi
suaiu pelanggaran walau pun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling
berpisah, Hay Hay tak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang
memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang
wanita.
Sekarang dia
masih memiliki sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik
Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu.
Batu giok mustika itu dirampas dari tangan Jaksa Kwan oleh Min-san Mo-ko ketika
pembesar itu ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian,
para penjahat dapat diusir dan batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan
tanpa sengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat
disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mengembalikan
batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.
Setelah
berpisah dari Hui Lian, memang ada perasaan kehilangan dan kesepian di dalam
hati Hay Hay. Tetapi dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri
sendiri, lalu perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup
angin pagi yang sejuk. Dia tahu betul kenapa ada perasaan kehilangan yang
menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang
selalu menghendaki adanya kesenangan.
Jika ada
sesuatu yang menyenangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain
atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar
kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus
akan kesenangan, selalu ingin mengulang lagi segala hal yang menyenangkan dan
karena itulah terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu.
Dan setelah batin terikat, bila mana saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah
dari kita, maka timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.
Hay Hay
sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuat dirinya waspada dan secara
gamblang dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan ini.
Badan
lahiriah memang boleh mempunyai apa pun, demi kebutuhan badan sendiri, demi
kehidupan badan sebagai anggota masyarakat, memiliki keluarga, para sahabat,
benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandaian dan sebagainya lagi, namun batin
haruslah bebas tanpa memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang
dipunyai oleh badan, maka timbul ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab
timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin haruslah kosong, bebas dan berdiri
sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi.
Pengamatan
penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah merasa gembira kembali ketika
melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih
dahulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok
mustika milik pembesar itu.
Kota
Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di
sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang
tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat,
menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para
penjahat.
Seperti yang
sudah diceritakan di bagian depan kisah ini, pada saat Kwan-taijin bersama
keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas
di tangan para tokoh sesat yang mendendam terhadapnya. Para penyerang itu
adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil
ditangkap.
Tetapi
berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu berhasil diselamatkan
kemudian oleh Hay Hay diantar pulang bersama keluarganya. Batu giok mustika
dirampas oleh penjahat, namun akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya
kembali. Kini, sesudah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, dia harus kembali lagi
ke kota Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada
pemiliknya.
Setelah
melalui penjagaan yang ketat, akhirnya Hay Hay bertemu dengan pembesar itu di
kamar tamu. Kedatangannya disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin.
"Aihh,
ternyata Taihiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu sambil
menyongsong kedatangan Hay Hay.
Pemuda ini
merasa canggung sekali mendengar betapa pembesar yang amat terkenal itu
menyebutnya Taihiap (Pendekar Besar). Dia cepat membalas penghormatan tuan
rumah dan Kwan-taijin lantas menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam
dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruangan yang besar itu terdapat
seorang lain yang sedang duduk. Dia pun memperhatikan.
Orang
laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan
kalau melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang
pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, kedua matanya membayangkan suatu
kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya,
ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk
bercakap-cakap dengan pembesar ini.
"Kebetulan
sekali, kami baru saja menerima kunjungan Yang-taijin, bahkan kami sedang
bicara tentang dirimu,Taihiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada
Yang-taijin!"
Hay Hay
segera melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa orang itu pun tentu
seorang bangsawan tinggi walau pun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan
besar terpancar dari pandang mata orang itu.
Kwan-taijin
membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu, lantas berkata dengan suara
gembira, "Yang-taijin, benar-benar seperti dituntun oleh tangan Thian
sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada
Paduka. Taihiap, beliau adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu
Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini
melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."
Bukan main
kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Di
dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di
bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang
menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama
Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan
sekarang tiba-tiba saja dia telah berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo di
tempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah
disangkanya, dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri
itu.
"Hamba
Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat terhadap Paduka, mohon
Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."
Menteri Yang
Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aihhh, Taihiap, bangkitlah dan mari
duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena
kebiasaan saja aku sering disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa amat
muak dengan semua penghormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar
engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah
dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya,
hanya terhalang meja.
Jaksa Kwan
tertawa, hal yang tak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada
pembesar atasan yang pangkatnya begitu tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa
akrab hubungan di antara keduanya.
"Taihiap,
tidak usah heran dengan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan
hubungan antar manusia dari pada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."
Hay Hay
merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa kini dia berhadapan
dengan seorang pembesar yang lebih patut disebut pemimpin rakyat, karena
pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya
seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin,
tidak pernah merasa dirinya lebih besar. Dia pun menghaturkan terima kasih,
bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk
berdampingan itu.
Jaksa Kwan
memberi isyarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera
meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan mengambil tambahan seguci
arak harum, juga hidangan sekedarnya ditambah. Kemudian Kwan-taijin memberi
isyarat agar semua pelayan serta pengawal meninggalkan ruangan itu dan hanya
berjaga di luar pintu tanpa ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di
dalam ruangan tamu itu.
"Engkau
tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" Menteri
Yang Ting Hoo bertanya dengan sikap ramah.
Hay Hay
tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di dalam hatinya. Tidak
dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia memiliki nama
keluarga Tang, yaitu putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang
penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita)
she Tang! Di dalam hati kecilnya dia malu dan tidak suka menggunakan nama
keluarga itu, akan tetapi jika kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana
lagi?
"Hamba
she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba
lebih senang memakai nama itu saja," jawabannya sederhana.
Menteri itu
tertawa sambil mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk
menilai seseorang bukanlah tergantung dari namanya, kedudukannya, kepintarannya
mau pun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya dalam kehidupan
sehari-hari. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Di dunia ini terdapat
banyak orang yang memiliki nama keluarga Tang, yang baik banyak yang jahat pun
banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."
Hay Hay
terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang
bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seakan-akan sudah berhasil
membuka kedoknya! Dia memang merasa malu menggunakan she Tang karena ayah
kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andai kata
ayahnya itu seorang yang baik? Tentulah dia akan bangga menyandang nama
keluarga itu! Alangkah palsunya sikap ini!
"Terima
kasih atas peringatan Paduka ini. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya
kemudian, namun sekali ini dengan ringan saja lidahnya menyebut nama keluarga
Tang seolah-olah tidak ada apa-apanya.
Kwan-taijin
lantas mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan
hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasa gembira sekaligus juga aneh. Ia
kini duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, malah salah satunya adalah
seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah
diri. Hal ini sudah membuktikan bahwa dua pembesar itu memang merupakan
orang-orang yang bijaksana karena dia merasa seperti duduk semeja dengan dua
orang sahabat saja!
"Nah,
sekarang ceritakanlah keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak
kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami sekeluarga di Telaga
Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada
keperluan lain?"
Mendengar
pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari
saku bajunya. Dia membuka bungkusan sapu tangan, mengambil batu giok itu dan
menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk
menyerahkan kembali batu giok mustika ini kepada Paduka, Kwan-taijin."
Sepasang
mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. "Ahh! Jadi engkau
bahkan berhasil pula merampas kembali mustika ini?" Dia lalu menerima batu
giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin.
"Lihat,
Taijin, pendekar perkasa ini bahkan sudah berhasil merampas kembali mustika
ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay
Hay!
"Apakah
hanya seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan
pendekar lainnya yang juga lihai itu, ehhh, siapa lagi namanya? Sayang sekali
aku tidak sempat berkenalan dengannya."
"Dia
she Kok...," kata Hay Hay dan dia pun teringat, cepat menahan kata-katanya
karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?
"Dia
she Kok? Ahh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan
tahun yang silam, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali dia,
keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak... "
Mendengar
ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay kaget bukan main sehingga dia
mengeluarkan seruan tertahan.
"Ahhh,
ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu
dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu ada pun
Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.
Hay Hay
mengangguk-angguk. "Mungkin sekali... ahhh, dia memang mempunyai banyak
keanehan yang dirahasiakan. Kemungkinan besar dia adalah puteri gubernur yang
Paduka maksudkan itu."
"Puteri?"
Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kau maksudkan dia... dia seorang
wanita?"
Hay Hay
mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini,
tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, dia adalah seorang gadis
bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi."
"Aduh
sayang sekali! Kenapa dia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Taihiap?
Pada saat ini kami membutuhkan banyak orang pandai seperti engkau dan gadis
pendekar itu. Makin banyak semakin baik," kata Kwan-taijin.
"Akan
tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah hingga Taijin membutuhkan
bantuan para pendekar?" tanya Hay Hay, khawatir kalau-kalau para tokoh
sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini.
Kwan-taijin
menoleh kepada Menteri Yang, kemudian berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini
urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau
mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang sedang
menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti
dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu
kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini aku berikan kepadamu,
Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan sering bertemu dengan
para penjahat, maka mustika seperti ini agaknya amat penting bagimu. Sedangkan
aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak
begitu penting bagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus
hatiku."
Tentu saja
Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang sangat berguna, dapat
menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak digunakan orang-orang
golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu,
dibungkusnya dengan sapu tangan lalu disimpannya di dalam saku bajunya.
"Terima
kasih atas budi kebaikan Taijin," katanya singkat, lantas dia memandang
kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang sedang dihadapi
para pejabat tinggi itu.
"Begini,
Tang-taihiap, sebenarnya kami sedang menghadapi usaha pemberontakan yang
berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini,
bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu
mulai.
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu adalah urusan pemerintah,
persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk
menanganinya?"
Melihat
pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum.
"Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan,
maka kami pun tidak perlu membicarakannya dengan para pendekar yang hanya
merupakan bagian dari pada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan
besar untuk menumpas dan membasmi mereka, seperti yang sudah sering kami
lakukan. Akan tetapi, kami sedang menghadapi pemberontakan terselubung,
Taihiap."
"Pemberontakan
terselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti.
"Golongan
yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan
gejala sedang memperkuat diri. Mereka ingin bangkit kembali seperti ketika
dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk
menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para
pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Namun, menurut bukti-bukti yang
didapatkan para penyelidik kami, kebangkitan para tokoh sesat ini agaknya ada
hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang
berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi kami sudah bicarakan dengan Kwan
taijin agar kami dapat menghimpun dan minta bantuan para pendekar, demi
keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri
betapa menderitanya rakyat apa bila sampai terjadi pemberontakan dan perang,
apa lagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang
tentu akan selalu memancing di air keruh."
Hay Hay
mengangguk-angguk. Kalau memang demikian persoalannya, tentu saja dia siap
untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.
"Siapakah
datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?" tanyanya.
"Menurut
hasil penyelidikan kami, pemimpinnya ada beberapa orang, namun di antaranya
yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di
Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali
teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan yang
lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga
kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan
Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu
berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini mereka tengah membangun
pasukan yang kuat."
Mendengar
ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti
itu.
"Dan
banyak di antara sekutu mereka yang sudah kau kenal, Taihiap." kini Jaksa
Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga
Tung-ting..."
"Ahhh,
mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami
isteri iblis yang lihai dan Min-san Mo-ko bersama muridnya, Ji Sun Bi, juga
pemuda tampan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu,
lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang sangat lihai dan curang!
Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"
"Bantuan
Taihiap amat kami harapkan untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka,
seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang bersedia
membantu kami. Dan kami siap untuk menyediakan semua biayanya bagi Taihiap.
Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja
menyiapkan pasukan besar untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para
pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu,
Tang-taihiap?"
"Taijin,
sudah menjadi tugas setiap orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan
untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan
melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, meski tanpa diminta
sekali pun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Saya pun tidak
mengharapkan upah, namun saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin.
Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas
kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri
untuk segera memulai dengan tugas saya."
"Nanti
dulu, Tang-taihiap," tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia
mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat
dari menteri itu. "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa.
Jika engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas
pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau
akan dianggap sebagai utusan pribadiku karena memiliki tanda kuasa. Terimalah
ini."
Hay Hay
menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada
satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang sudah menyanggupi
untuk membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan
sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar
engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat
mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, hal
itu sungguh baik sekali sebab dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian
tinggi. Akan tetapi, karena dia adalah orang kota Siang-tan ini, agaknya
Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan
kepadamu."
Kwan-taijin
mengangguk. "Apa yang dikatakan oleh Yang-taijin itu memang benar sekali,
Tang-taihiap. Di Siang-tan ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut
berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh
dan sukar sekali didekati, bahkan dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan
pemerintah. Ketika diberi tahu mengenai usaha pemberontakan yang hendak
dilakukan kaum sesat, dia pun acuh saja. Kami pernah mempergunakan siasat
memancing harimau keluar dari sarangnya dan sengaja membiarkan seorang gadis
cantik diganggu orang-orang jahat, dan dia kemudian keluar menolong gadis itu.
Agaknya kini dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, namun selanjutnya tetap
saja dia bersikap acuh dan tak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan
agar dia mau membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana jika engkau
berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu serta perkenalannya
denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."
Hay Hay
tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?"
"Sebenarnya
dia adalah keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal
menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua
atau tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberi tahu di mana
tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.
Hay Hay
lantas berpamit. Dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat
dengan penyelidikannya ke Lembah Sungai Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo
bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak.
***************
Yang
disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dengan dua orang pejabat tinggi itu
bukan lain adalah Can Sun Hok, yaitu pendekar muda yang pernah kita kenal saat
terjadi keributan di Telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu
seorang diri sambil memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan
pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu
dan anak ini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can
Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.
Lebih dari
dua puluh tahun yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li
(Dewi Racun Harum) sangat terkenal di dunia sesat karena dia adalah murid
tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya
juga amat kejam dan jahat biar pun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita
itu adalah seorang ahli silat dan ahli menggunakan segala macam racun. Akan
tetapi wataknya cabul dan sudah banyak pria yang terjatuh ke dalam tangannya,
dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.
Di dalam
petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang
pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can
Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran
yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan
terlahirlah Can Sun Hok.
Akan tetapi
wanita seperti Gui Siang Hwa ini bukanlah wanita yang dapat terikat menjadi
seorang ibu rumah tangga. Dia seorang petualang, maka akhirnya dia pun berpisah
dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya,
Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li
Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan dia melanjutkan
petualangannya sampai akhirnya dia tewas dalam pertempuran ketika dia membantu
gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika dia bertanding
melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka lau tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para prajurit.
Sebelum
tewas Gui Siang Hwa sudah menitipkan puteranya, Can Sun Hok, kepada salah
seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, kedua orang guru Gui
Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para
majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti
cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari
Raja dan Ratu Iblis.
Nenek Wa Wa
Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, biar pun kelihaiannya
tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung
menjadi murid terkasih dari Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti sudah
diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini kemudian dapat berhadapan
muka dengan Ceng Sui Cin yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.
Sesudah Wa
Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri, Can Sun
Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu,
nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari
Gui Siang Hwa tak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia tumbuh dewasa dengan
watak yang gagah, walau pun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin.
Namun sikap
ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka
mengganggu siapa pun juga asalkan dia juga tidak diganggu. Dia tidak pernah
pula memamerkan kepandaiannya, malah suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia
pandai ilmu silat.
Karena
ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu membawa pula bekal harta benda yang
amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi
seorang pemuda kaya raya yang tinggal di gedung besar di kota Siang-tan yang
pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo tewas, dia
tinggal sendirian saja di dalam rumah itu dengan hanya beberapa orang pelayan.
Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat
disukanya. Memang dia sangat berbakat dengan pemainan musik ini.
Can Sun Hok
kini sudah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga
tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri sesudah kalah
bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin, dan selama tiga tahun ini Can
Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih.
Ada dua buah
kitab silat peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan oleh neneknya. Dan
akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastera kuno, dia pun dapat
mengerti arti dari pelajaran itu lantas dia berlatih diri dengan tekun. Maka,
dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Walau pun
dia kaya raya namun hidupnya sederhana. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan
sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan
keras pada mata dan dagunya.
Beberapa
bulan yang silam Jaksa Kwan yang dahulu pernah mengenal ayahnya, datang
berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi Can Sun Hok, walau pun dia jarang
sekali mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu sangat mengejutkan hati
Sun Hok, apa lagi sesudah jaksa itu dengan terus terang mengharapkan bantuannya
untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para
tokoh sesat yang kabarnya sedang menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan
membangun pasukan dengan niat hendak memberontak terhadap pemerintah.
"Kami
tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang
berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang ayahmu adalah
seorang pangeran, bahkan mendiang kakekmu juga pernah menjadi seorang gubernur
di Ning-po, maka kami sangat mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti
terhadap nusa dan bangsa."
Mendengar
uluran tangan ini, Can Sun Hok lalu mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak
pernah mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan pemerintah. Tentu saja
penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu belaka bahwa dia pandai ilmu
silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak
menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang
sewenang-wenang. Malah dia pernah seorang diri menghajar kocar-kacir dan
membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok
yang amat lihai.
Akan tetapi
dia tidak pernah minta diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tak ingin
bicara dengan orang lain mengenai apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena
sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang
membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang
hendak memberontak!
"Kwan-taijin...!,"
katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini
Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata
karena dia berani menentang para penjahat serta melindungi keamanan rakyat
dalam kedudukannya sebagai jaksa. "Tak perlu saya sangkal bahwa saya
pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti
saya apa bila menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak
melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima
yang pandai, maka persekutuan itu dapat ditumpas habis."
Kwan-taijin
tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi memang tepat, Can Kongcu. Namun
ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang melawan
pasukan lain dalam suatu pertempuran. Kalau sudah terjadi pemberontakan
bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Tapi sekarang
keadaannya berbeda lagi. Para datuk kaum sesat yang kabarnya dikepalai oleh
seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo telah mengadakan persekutuan,
mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Kini
mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan, dan ini berbahaya
sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang
orang-orang seperti ini, sebab itu saya sengaja datang mengharapkan bantuan
Kongcu."
Can Sun Hok
tersenyum, senyum sinis dan sebentar saja. "Mungkin para pendekar, akan
tetapi saya bukan pendekar, Taijin."
"Ahhh,
tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di Siang-tan ini tahu belaka
siapa adanya Kongcu. Kongcu mempunyai ilmu silat yang sangat lihai, juga sudah
terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat
yang berbahaya dan keji. Sekali ini ada pekerjaan yang lebih penting dan mulia,
maka saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami tadi, atas nama
pemerintah dan atas nama rakyat."
"Harap
Taijin suka bersabar dan memberi waktu bagi saya untuk mengambil keputusan.
Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya senang sekali membantu karena memang
sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, tetapi selama ini saya
belum pernah bekerja secara berkelompok. Sebab itu, bekerja sama dengan para
pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."
Jaksa Kwan
akhirnya pulang sesudah meninggalkan pesan dan permintaannya, dan juga
mendengar jawaban pemuda ini yang hendak berpikir-pikir dahulu tentang hal itu.
Jaksa Kwan
adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian dia menguji sikap dan
watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar
seperti yang diduganya. Lalu didatangkannya seorang gadis cantik manis dari
kota raja.
Gadis ini
sesungguhnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia
digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran
yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu
dijual keluar. Karena kepintarannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis
itu kemudian terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat
disuka oleh para pembesar.
Di dalam
pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu
kadang-kadang tidak dapat menahan diri lagi, dan menjual diri dengan bayaran
yang luar biasa tingginya, kepada para pembesar yang berwatak mata keranjang
dan yang uangnya sudah berlebihan.
Dengan
bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan
gadis ini untuk menjalankan niatnya 'memancing harimau supaya keluar dari
sarangnya', yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.
Demikianlah,
beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, di suatu senja yang
cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk
di atas batu besar di pinggir sungai itu, tempat yang sunyi sepi karena jauh
dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa
iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu memang sedang
musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam sungai di sekitar
tempat itu dan daging ikan ini lezatnya bukan main.
Dia duduk
memegangi tangkai pancingnya, seperti sudah berubah menjadi arca, bersatu
dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya hanya berpusat pada tali
yang ujungnya dipasangi pancing dan umpan. Tali itu terbawa air dan agak
bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau
saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, tentu akan terasa oleh
tangannya.
Penantian
sambaran ikan yang tak nampak inilah yang amat mengasyikkan bagi seorang
pengail. Di situ terdapat suatu kejutan yang sangat menggembirakan, disusul
perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan pada
pancingnya.
Akan tetapi
Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu
bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok
pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang
merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di
sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam
lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan pada pancingnya.
Sun Hok
menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, kemudian ia mencabut
suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini dia tidak membawa
alat musik yang-kim karena terlampau berabe, apa lagi memang kepergiannya
adalah untuk mengail ikan.
Untuk
menghilangkan kekesalan hatinya karena semenjak tadi tidak pernah berhasil,
kini dia pun menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian
terdengarlah bunyi lagu merdu yang keluar dari sulingnya. Suara merdu itu
mengalun naik turun, lirih saja sebab dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan,
bahkan melalui lagu yang ditiup dengan sulingnya itu seolah-olah dia ingin
mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya.
"Tolooonggg...!"
tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita.
Seketika Sun
Hok menghentikan tiupan sulingnya, lantas memandang ke depan. Nampak sebuah
perahu meluncur lewat di tengah dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua
tangannya secara kasar oleh beberapa orang laki-laki. Ada lima orang laki-laki
di perahu itu.
Mendadak
tali pancingnya bergerak. Sun Hok langsung menyambar tangkai pancingnya, lalu
menarik dengan sekali kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar
lengannya tergantung di ujung tali pancingnya!
Kalau saja
tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima
orang laki-laki itu, tentu Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil
tangkapannya itu. Tetapi sekarang ada gangguan, maka dia pun melepaskan gagang
pancing sehingga ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan
mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia
melihat ada sebuah perahu nelayan kecil yang ditumpangi seorang nelayan tua,
dia cepat memanggilnya.
"Paman
Tua tukang perahu...! Bolehkah aku menyewa perahumu sebentar? Engkau akan
kuberi uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya
satu tail.
Tentu saja
nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu terlampau besar untuk menyewa
perahunya, apa lagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan semenjak
tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat
meminggirkan perahunya.
"Ah,
kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang
kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"
Sun Hok
menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil
itu, lalu mendayung perahu dengan amat cepatnya, meluncur dan mengejar perahu
besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu besar itu sudah meluncur agak
jauh, namun masih kelihatan dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima
orang itu tentu sudah membungkam mulut gadis tadi.
Dengan
tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok cepat mendayung
perahunya yang lebih kecil. Perahu itu segera meluncur cepat sekali sehingga
tidak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu.
Kini
nampaklah olehnya bahwa kaki tangan gadis itu memang sudah diikat, dan mulutnya
juga diikat sapu tangan sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan
kelima orang itu agaknya sedang bersuka ria sambil minum arak. Mereka nampak
terkejut ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel pada perahu mereka dan
seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira
seorang nelayan itu.
"Heiii!
Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?!"
Empat orang
kawannya juga marah sekali. Mereka berlima segera menghunus golok dan dengan
sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi pemuda itu tidak
menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat ke atas
kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.
"Hemmm,
kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa
kesalahannya dan apa yang hendak kalian lakukan dengannya?"
"Hei
orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus
oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini
juga!"
Sun Hok
tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"
Seorang di
antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki.
"Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai
Giam-lo..."
"Sudah,
hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan kelima orang itu segera
menerjang dengan golok mereka.
Melihat
gerakan mereka, Sun Hok segera dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang
sembarangan akan tetapi mempunyai ilmu golok yang cukup tangguh, maka ia pun
cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya lantas bergerak cepat sekali, didahului
sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan
kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke
dalam air!
Tanpa banyak
cakap lagi Sun Hok cepat menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam
perahu sewaannya lalu dia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang
masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.
Dengan
sebelah tangannya Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan
gadis itu, juga sekali renggut, sapu tangan yang menutupi mulut berikut
sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat
melihat wajah itu dengan jelas.
Dan Sun Hok
terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang
penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang
mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis
itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.
"Sungguh
saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada
Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku ini, tentu
lebih hebat dari pada kematian. Tidak mungkin aku dapat membalas budi kebaikan
itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu
diberi berkah selama hidupnya, dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang
saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi
ini," kata-kata itu diucapkan dengan suara yang merdu dan halus, menggetar
bercampur tangis tertahan.
Sun Hok
mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus.
"Nona, tak perlu engkau bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa
engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima
orang penjahat itu."
Gadis itu
kini menangis sambil menutupi muka dengan sepasang tangannya, tak mampu
mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan
gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan
tua tadi masih menunggu.
"Kita
turun di sini, Nona, dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus
dikembalikan kepada pemiliknya."
Tukang
perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis
cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya
yang mendiami istana tua dan sering kali mengail di sungai, maka dia pun tidak
banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Ia menghaturkan
terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu
berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang
tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.
"Aih,
engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar, Kongcu!"
gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya.
Melihat ini
Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun
ikut bersenang hati.
"Bagaimana
kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan
tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu..."
"Aku
selalu membawanya," kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam,
bawang dan bumbu yang lain.
"Aih,
bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah
liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu
cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus
dan putih mulus.
"Kongcu,
apakah engkau punya pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini,
membuang isi perutnya..."
Sun Hok
tersenyum dan menggeleng kepala. "Mari kubantu engkau," katanya dan
dia pun mengambil ikan itu. Dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia
membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.
Kemudian dia
memasang umpan cacing di mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh
perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya satu ekor lagi yang agak besar
supaya cukup untuk mereka berdua. Entah kenapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok
dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan
penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan
tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama
sekali tidak sepi lagi.
Tak lama
kemudian umpannya kembali disambar ikan. Sun Hok menariknya dan sekali ini dia
benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari
tadi tergantung di ujung pancingnya.
"Horeeeee...!"
Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan
ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang kini sudah selesai
membersihkan ikan pertama tadi.
Gadis itu
pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira
sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Pada waktu gadis ini tertawa,
nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung
pipit yang manis bukan kepalang
"Wah,
malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu.
Sun Hok lalu
mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya lagi kepada Si Gadis
yang dengan jari-jari tangan cekatan segera membersihkan isi perutnya. Sun Hok
melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan
bumbu-bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya
dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan
seperti itu.
"Kita
butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok
segera mencari kayu kering kemudian membuat api. Sebentar saja tempat itu
menjadi terang dengan api unggun.
Dengan dua
tangkai kayu yang digunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu
memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka
duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan terhalang api unggun, akan
tetapi malah bisa saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api
kemerahan.
Beberapa
kali sinar mata mereka bertaut, akan tetapi selalu Sun Hok yang menundukkan
pandang mata lebih dahulu. Meski pun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini
Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam
ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan
dalam kesepian.
Semenjak Wa
Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang
terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu
kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi bila
mana dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apa lagi kepada puterinya, Cia Kui Hong,
dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui
Cin tak pernah dapat dilupakannya.
Menurut
nasehat Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan
kematian ibunya. Akan tetapi menurut nasehat Ceng Sui Cin, karena ibu kandungnya
dulu pernah melakukan penyelewengan, menjadi seorang tokoh sesat dan turut
memberontak, maka satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah
dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!
Sekarang dia
bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh
perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali belum mengenal
siapa wanita ini dan orang macam apa! Apakah kecantikannya yang khas itu yang
sudah membangkitkan rangsangan di dalam hati mudanya? Ataukah karena sikap
gadis itu yang begitu gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun
demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan
kemampuan diri sendiri?
Tanah liat
yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering tapi tidak tercium bau
gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.
"Kenapa
harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena semenjak
tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya tersenyum-senyum saja,
seakan-akan merasa canggung dan malu untuk bicara, seakan-akan tidak ada
apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang
demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment