Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 28
GUNUNG itu
sangat tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling
selatan. Sebagian tertutup oleh awan dan puncaknya dipenuhi hutan lebat
sehingga dari jauh tak nampak adanya sebuah bangunan yang sangat indah dengan
atapnya yang meruncing ke atas seperti kuil di Birma.
Atap itu
sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, apa bila hari
sedang cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang
menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari
selatan.
Baru tiba di
lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Ong dan Tung Hek
Kwi telah merasa amat kagum, juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan
indah. Lebih lagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga
buah joli, mempersilakan tiga orang tamu agung itu naik joli untuk digotong
naik seperti orang-orang bangsawan.
Pak Kwi Ong
hendak bertanya kepada salah satu di antara belasan orang penyambut itu. Akan
tetapi, belum juga dia sempat membuka mulut, Tung Hek Kwi sudah naik dan duduk
ke atas sebuah joli. Maka Pak Kwi Ong dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.
Mereka
digotong melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh orang-orang berseragam
dan bersenjata tombak. Kemudian, begitu tiga orang tamu agung itu digotong
memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka.
Tirai joli
disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang
cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringi
tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran
yang serba mewah dan kaki tangan hingga kepalanya terhias emas permata!
"Selamat
datang di istana kami!" kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung
saat mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.
Bi Lian
turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah
taman yang teratur rapi dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah
memenuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.
"Ha-ha-ha,
mimpikah aku? Seperti berada di dalam istana saja!" kata Pak Kwi Ong
ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.
Sebelah
dalam istana itu lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar
tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik terus berkumandang
dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, jumlahnya
belasan orang, lalu mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan
musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan
itu pun amat sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang
terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.
"Selamat
datang di istana kami, semoga para dewa sudah melindungi perjalanan Sam-wi
(Anda Bertiga)," kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang telah
penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh beberapa gadis cantik berpakaian
setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.
Pak Kwi Ong,
Tung Hek Kwi, dan Bi Lian lalu minum anggur itu yang ternyata baru saja
dikeluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.
"Sebelum
kita bicara, mari kita makan dahulu dan kami mengharapkan Sam-wi akan puas
dengan hidangan kami yang seadanya."
Ternyata
‘yang seadanya’ itu sangat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya!
Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari
tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih
beberapa macam masakan yang menarik seleranya saja, dan dia harus mengakui
bahwa selamanya belum pernah dia makan hidangan yang demikian lezatnya!
Setelah
mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat isi
dan keadaan di dalam istananya. Semua ruangan sengaja dibuka satu demi satu.
Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh berisi
senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan diperlihatkan pula kamar
harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata.
Dua orang
kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang
pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan
tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru
untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi
jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, mereka berdua otomatis akan
menjadi orang-orang mulia!
Setelah
mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya
lantas bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa.
"Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami
terhadap Nona Cu Bi Lian. Sesudah melihat sendiri keadaan kami, kami harap
Sam-wi dapat memberi jawaban yang pasti."
Terkejutlah
Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan dia memandang kepada
tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.
Untuk
sejenak dua orang kakek itu saling pandang, kemudian Pak Kwi Ong tertawa lebar
hingga perutnya bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, sungguh merupakan
penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!" Dia menyebut pangeran
begitu saja tanpa ragu-ragu lagi. "Dan tentu saja pinangan itu kami terima
dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"
Tung Hek Kwi
mengerutkan alisnya, kemudian memandang kepada muridnya. "Bagiku sih
terserah kepada Bi Lian."
"Aihh,
sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?" tanya Bi Lian penasaran.
"Begini,
muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan
dia telah mengajukan pinangan melalui Suheng-mu, Lam-hai Giam-lo, hendak
mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya,
karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu
saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"
Bi Lian
mengerutkan kedua alisnya dan teringatlah dia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya
sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi dia tidak sudi menjadi
boneka. Dia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak
mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walau pun dia kagum
dengan kelihaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong
nampaknya setuju benar dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, dia pun tidak
berani menolak begitu sasja.
"Suhu,
bagi seorang wanita pernikahan adalah satu urusan besar yang akan menentukan
keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku
dapat mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah hal ini kupikirkan lebih
dulu dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan
memberikan jawaban." Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini.
Dia tersenyum dan memandang kagum.
"Nona
Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar
tidak menyesal di kemudian hari."
Atas desakan
Bi Lian mereka bertiga lantas meninggalkan istana itu dan setiba mereka di
dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, tiba-tiba Bi Lian
menghentikan langkahnya.
"Suhu
berdua sungguh terlalu!" tiba-tiba dia berkata sambil memandang mereka
dengan muka merah.
"Wah,
apa maksudmu, Bi Lian?" tanya Pak Kwi Ong tertawa.
"Terutama
Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku bukan boneka, aku
seorang manusia yang berhak untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar
orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"
"Bi
Lian, apa katamu itu?!" Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini
membentak Bi Lian. "Engkau adalah muridku, maka engkau harus mentaati aku,
dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"
"Tidak,
Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tak pernah memikirkan
tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."
"Tidak,
engkau harus mau!" bentak Pak Kwi Ong.
"Hemmm,
kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!" Bi Lian berkata nyaring.
"Aku tidak sudi!"
"Aku
akan memaksamu."
"Aku
akan melawan!"
"Murid
murtad!" Pak Kwi Ong marah bukan main dan secepat kilat menyambar dia
sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan
uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan dia pun langsung mengelak.
Ketika Pak Kwi Ong kembali mendesak, tiba-tiba Tung Hek Kwi menggerakkan
tangannya menangkis.
"Dukkk!"
Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.
"Setan
Hitam, engkau berani membelanya?"
"Tentu
saja! Dia muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu
aku!"
"Dia
harus kawin dengan Kulana!"
"Tidak,
dia boleh menentukan pilihannya sendiri!"
"Keparat!"
"Bedebah!"
Dua orang
kakek yang usianya telah delapan puluh tiga tahun itu sekarang saling hantam
dan saling serang dengan sangat hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah
tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi namun tenaga
mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka
merupakan pukulan maut, apa lagi kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang
membuat mereka keduanya seperti buta.
Bi Lian
menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di
antara keduanya dan dia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.
Dua orang
datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, akan tetapi belum sampai tiga
puluh jurus keduanya telah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga
terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.
"Desss...!"
keduanya terjengkang lantas roboh terkulai, tidak mampu bangkit kembali, dan
napas mereka empas-empis!
"Suhu...!"
Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua
orang gurunya itu sama-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu.
Keduanya
telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Sesudah melihat keadaan
kedua orang tua itu, barulah dia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya
selama ini dan tanpa terasa lagi Bi Lian pun menangis!
Pak Kwi Ong
mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walau pun
sudah megap-megap. "Kau... kau harus menjadi isteri Kulana...
ahhh..."
"Tidak...
kau boleh menolak..."
Di dalam
keadaan sekarat kedua orang kakek itu masih saja mempertahankan pendirian
mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan
perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi
karena nyawa mereka telah melayang!
"Suhu...!"
Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.
Bi Lian
mendengar gerakan banyak orang. Dia segera melompat bangun dan berhadapan
dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Di sana sudah berdiri
pula Lam-hai Giam-lo beserta dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!
"Nona
Cu, sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah engkau ikut bersamaku
lalu kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang gurumu,"
kata Kulana dengan suara halus dan sikap ramah sekali.
Mendengar
kata-kata yang demikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.
"Guruku... kedua guruku... mereka telah meninggal dunia..."
"Hal
itu kini sudah tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan
biarkan aku membimbingmu...," kata pula Kulana dengan sikap lembut,
kemudian Bi Lian tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.
Mendadak dia
teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang
ini, maka teringat pulalah dia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Dia
pun meronta dan melepaskan tangannya, lalu cepat-cepat melompat menjauh.
"Tidak,
jangan sentuh aku!" teriaknya.
Di dalam
hatinya memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka terhadap kalangan sesat,
bahkan sering kali dia menyesal mengingat betapa dua orang gurunya adalah
datuk-datuk sesat. Selama ini, biar pun dia selalu bersikap keras dan ganas,
namun belum pernah dia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim
Sian-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya namun karena kekerasan
hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat.
Kalau selama
ini dia masih mau diajak bergaul dengan golongan hitam, hanyalah karena
terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, sesudah kedua orang gurunya
meninggal dunia, dia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu
dia meloncat, kini dia telah berdiri dengan sikap menentang semua orang yang
sedang memandangnya.
"Nona
Cu," kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah
lembut dan sikapnya ramah. "Kedua orang gurumu sudah menerima aku sebagai
calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan
mengurus jenazah kedua orang gurumu, dan aku pula yang akan melindungimu,
membahagiakanmu..."
"Cukup!"
Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khikang-nya untuk melawan
pengaruh suara halus itu. "Justru karena ulahmu itu, justru karena
pinanganmu itu, kedua guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah
yang telah membunuh mereka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan
nyawamu!"
Berkata
demikian, Bi Lian sudah meloncat ke depan dan menyerang Kulana dengan amat
hebatnya. Kedua tangan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena dia
mengerahkan tenaga sinkang yang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya
itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang.
Hampir saja
pelipis kiri Kulana kena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu
tidak cepat melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Pada saat itu pula
Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian, wajahnya nampak
tidak senang dan alisnya berkerut.
"Sumoi,
sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, tetapi kenapa
engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat,
sesudah kedua Susiok-ku meninggal dunia, maka akulah yang menjadi pengganti
mereka sebagai pelindungmu dan akulah yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu
itu dan bersikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"
Akan tetapi
sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena dia dapat menduga bahwa tentu usul
orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Bahkan
kedua orang gurunya juga melarang dia membunuh dua pasang suami isteri yang
sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya.
Sambil
bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata dengan suara
lantang karena dia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dulu pernah
dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana.
Suaranya melengking nyaring.
"Lam-hai
Giam-lo! Sejak dulu tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau
menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan dari kedua orang
guruku. Namun mereka kini sudah tewas di sini, gara-gara ulah orang yang
bernama Kulana ini, sebab itu jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah
bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"
"Bocah
sombong! Aku adalah Bengcu!" bentak Lam-hai Gam-lo, marah bukan main
akibat merasa dipandang rendah.
"Sudahlah,
Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!" kata Kulana dan orang
ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian.
Gadis ini
mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka
sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi
Kulana hanya berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan
Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.
"Akan
kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!" katanya.
Bi Lian
menjadi kerepotan juga dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu. Baru
tingkat kepandaian Kulana seorang saja, agaknya tidak mudah baginya untuk
mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya dengan kekuatan
sihir. Apa lagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, hampir
setingkat dengan kedua gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja dia tidak
akan menang.
Sekarang dua
orang lihai itu mengeroyoknya. Biar pun tidak bermaksud merobohkannya melainkan
hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun
dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, sambil
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya.
Dengan hati
penuh kagum para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo
menonton perkelahian itu. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat
sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahi dan mereka itu sama
sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan
siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang sedang
turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?
"Cu Bi
Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?" tiba-tiba saja Lam-hai
Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing.
Memang ilmu
kepandaian Lam-hai Giam-lo ini hebat sekali. Begitu dia membuat gerakan
berpusing, Bi Lian merasa seakan-akan tubuhnya sedang tersedot dan terseret
oleh arus air berpusing dan dia pun terhuyung, sulit untuk mempertahankan diri
lagi. Pada saat itu pula tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.
"Heiiiittt...!"
Bi Lian
memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Dia
berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan
tentu dia akan dapat ditawan kalau saja pada saat itu tidak terdengar suara
berseru halus.
"Dua
orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tak tahu malu sekali!" Dan
tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi
Lian yang bergulingan itu.
Begitu
pemuda itu mengembangkan sepasang lengannya dan membuat gerakan seperti
mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana langsung
terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan
cepat memandang penuh perhatian.
Pemuda itu
berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya berukuran sedang saja dan
pakaiannya sangat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya
berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, sepasang matanya agak
sipit dan bersinar lembut, sikapnya amat tenang dan di bawah jubahnya yang
panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.
Melihat ada
seorang pemuda asing yang berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja
Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan kepalang. Terutama sekali Lam-hai
Giam-lo yang merasa betapa kekuasaannya di situ sudah ditentang orang asing,
seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.
"Keparat,
apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?" bentak
Lam-hai Giam-lo sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.
Pemuda itu
bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia
berkata, "Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau
dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"
Kulana juga
marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon
isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya, lalu sambil memandang wajah
pemuda itu, mendadak dia maju dan membentak. "Orang muda, aku adalah
junjunganmu! Berlututlah engkau!" Seruan ini berwibawa sekali mengandung
kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua
kakinya gemetar.
Namun pemuda
ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan
Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum lantas menghampiri Bi Lian yang kedua
kakinya masih gemetar.
"Nona,
sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk
ini," suara itu demikian lembut.
Biar pun Bi
Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, tetapi dia telah menyerahkan
seluruh kepercayaan hatinya. Dia mengangguk dan segera menghampiri pemuda ini,
lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!
Untuk
beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan
orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan
pergi, seolah-olah tak percaya. Tetapi Kulana dan Lam-hai Giam-lo segera sadar
dan keduanya bergerak hendak mengejar.
"Jangan
pergi...!" Lam-hai Giam-lo berteriak.
"Berhenti!"
Kulana juga membentak.
Pemuda itu
membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan
mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua
telapak tangannya ke arah mereka yang sedang mengejar sambil mulutnya
mengeluarkan seruan yang menggeledek.
"Diam
kalian!"
Luar biasa
sekali kekuatan yang terkandung di dalam bentakan ini. Kedua orang sakti itu
seketika terhenti dan diam laksana patung, bahkan terbelalak seperti orang
terkejut. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak
bergerak seperti telah menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah
yang mengalir dalam tubuhnya terhenti dan dia pun tidak mampu bergerak akan
tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.
"Nona,
mari kita pergi!" Dan dia pun dapat menggerakkan kaki.
Mereka
kemudian melarikan diri dari tempat itu. Sesudah mereka jauh menuruni lereng,
baru terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu
telah sadar dan agaknya kembali melakukan pengejaran.
Pemuda itu
maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo
dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang
pandai, maka dia pun segera mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka
memasuki hutan yang liar dan gelap di atas sebuah bukit. Sesudah tidak lagi
terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka
berhenti di bawah sebatang pohon besar.
Karena tadi
mereka terus berlarian, apa lagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua
orang lawan tangguh, maka gadis itu merasa lelah sehingga dia pun menjatuhkan
diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan
memulihkan tenaga.
Pemuda itu
pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya
memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang
biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara
gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat
kepandaian yang tinggi.
Akhirnya Bi
Lian membuka matanya dan begitu dia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya
mencari-cari. Dia melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan sedang
memperhatikannya, maka dia pun lalu meloncat berdiri dan teringatlah dia betapa
pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali.
Dia masih
merasa bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari
tangan orang-orang yang demikian lihai seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana serta
anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan
tersenyum lembut.
"Engkau
siapakah? Bagaimana engkau bisa meloloskan aku dari cengkeraman mereka?"
tanya Bi Lian.
"Duduklah,
Nona dan mari kita bicara," jawab pemuda itu.
Bi Lian
lantas duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon
besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada
di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.
Sesudah
gadis itu duduk, pemuda itu lantas berkata dengan halus. "Sesungguhnya
hanya kebetulan saja kita bertemu. Sudah beberapa hari aku melakukan
penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Pada
waktu melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa
penasaran lantas menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena
jika terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang
amat sakti. Tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?"
Bi Lian
mengerutkan alisnya. Apa bila menurutkan wataknya yang keras, dia dapat marah
mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini belum menjawab pertanyaannya tadi, juga
belum memperkenalkan keadaan dirinya, tetapi sudah balas bertanya seolah-olah
tidak percaya kepadanya. Akan tetapi dia menahan diri dan menahan kemarahannya
karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia berhutang budi kepada
pemuda ini.
"Agaknya
karena engkau sudah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri
lebih dulu. Begitukah?" Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya
berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.
Pemuda itu
tersenyum sabar dan menggelengkan kepala. "Maaf, bukan begitu maksudku,
Nona. Aku memang benar-benar merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang
gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena
itulah maka aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku
adalah Pek Han Siong..."
"Aihhh...!"
Bi Lian terbelalak.
Han Siong
tersenyum. "Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?"
"Jadi
engkau inikah Pek Han Siong... engkau... Sing-tong itu? Kakak kandung Pek
Eng?"
Kini pemuda
itu yang terbelalak dan bahkan langsung meloncat turun dari atas batu yang
dudukinya. "Engkau tahu semuanya, Nona?"
Pemuda itu
memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng,
adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena
tidak suka dijodohkan dengan putera keluarga Song dari Kang-jiu-pang. Dia
menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya ditawan oleh kaki
tangan Lam-hai Giam-lo lalu dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia
pun segera melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan
sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai
Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.
Bi Lian
merasa girang bukan kepalang mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng,
gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian
bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong,
kakaknya itu hebat sekali!
"Sungguh
kebetulan sekali!" katanya gembira. "Aku mendengar mengenai dirimu
dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini dia menjadi
murid bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo."
"Hehh...?!"
Tentu saja Han Siong terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu.
"Bagaimana pula ini? Apa saja yang sudah terjadi dan engkau... siapakah
engkau ini, Nona?"
"Aku Cu
Bi Lian..."
Bi Lian
berhenti berbicara karena dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba
berubah, matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat.
"Kau... kau kenapakah?"
"...Cu...
Bi... Lian...?" Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini, ada pun
matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.
"Benar.
memangnya kenapa?" Bi Lian balas bertanya.
Han Siong
menelan ludah dulu sebelum menjawab, "Tidak apa-apa... rasanya aku seperti
pernah mengenal nama itu...," katanya agak gugup.
Tentu saja
dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Siangkoan Bi Lian, adalah puteri dari suhu
dan subo-nya! Inilah gadis yang harus dicarinya itu, bahkan yang oleh suhu dan
subo-nya sudah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah
tunangannya. Siapa orang yang tidak menjadi tegang hatinya kalau dihadapkan
pada kenyataan yang begini tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?
"Ahh,
tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu," jawab Bi Lian.
Han Siong
masih memandang bengong. Bertemu dan berhadapan dengan gadis ini, sadar
sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu
kandung gadis ini sendiri ditunangkan dengannya, membuat jantungnya berdebar
kencang. Dia lalu menatap penuh perhatian.
Harus
diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita dan
gagah perkasa. Tubuhnya begitu padat dan ramping, penuh kekuatan tersembunyi.
Rambutnya panjang dan hitam, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala.
Matanya begitu tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil
mancung, dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya
bulat telur dan tahi lalat pada dagu itu... manis bukan main!
Gadis ini
puteri suhu dan subo-nya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga
gadis itu tidak tahu bahwa dia sebenarnya she Siangkoan. Menurut suhu dan
subo-nya, ketika masih kecil gadis ini pernah memperoleh latihan ilmu dari suhu
dan subo-nya, akan tetapi gadis itu kemudian lenyap. Bagaimana kini Bi Lian
bisa menjadi seorang gadis yang sedemikian lihainya?
"Heii!
Kenapa engkau memandangku seperti itu?" Bi Lian menegur. Ia memang galak
dan paling tidak suka bila melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang
mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurang ajaran.
"Ahh,
tidak, aku... aku teringat kepada adikku..."
"Adik
Eng? Ia masih berada di sama. Tentu dia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul,
bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri."
"Aku
sungguh masih merasa bingung mendengar betapa adikku menjadi murid dan malah
menjadi anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, juga heran melihat engkau
berada di antara mereka, Nona."
"Menurut
cerita adikmu, dia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai
Giam-lo lalu ditawan, namun dia dapat membujuk Giam-lo sehingga dia diterima
menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya
dengan keluarga Kang-jiu-pang. Tentang diriku, ahhh, panjang ceritanya dan baru
saja kedua orang guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara
Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk guruku agar aku mau menjadi
calon isteri Kulana."
Han Siong
terkejut sekali. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri?
Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini?
"Siapakah
guru-gurumu, Nona?" tanyanya, teringat kepada suhu dan subo-nya.
"Guruku
adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."
Kembali Han
Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat
yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang di antara Empat
Setan yang tersohor itu. Pantas saja gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia
membayangkan bahwa puteri suhu dan subo-nya itu, yang telah dijodohkan
dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu.
Melihat
sikap Han Siong yang terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. "Memang aku
murid mereka. Guruku adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat
seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kau kira aku juga lalu menjadi jahat?"
"Ahh,
sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi... kalau aku tidak salah dengar bukankah
ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?"
"Benar,
kedua orang guruku masih susiok dari Lam-hai Giam-lo."
"Kalau
begitu Nona masih sumoi dari Giam-lo."
"Begitu
maunya, akan tetapi aku tidak merasa menjadi sumoi-nya. Apa lagi setelah kedua
orang guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku
harus membalas kematian dua orang guruku terhadap mereka berdua!"
Tiba-tiba
Han Siong memberi isyarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat
berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah cepat menyelinap
kemudian lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai
bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat
seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali
dan dia pun telah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak.
"Kulana
jahanam, engkau datang mengantar nyawa!"
Bi Lian
meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan dua jari tangan kiri ke
arah pelipis lawan, ada pun tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung.
Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan kepalang karena dilakukan dalam
keadaan marah dan penuh dendam.
Han Siong
kaget sekali melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah
kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserang gadis itu pun kiranya
bukan orang sembarangan.
Laki-laki
itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang
seorang gadis yang demikian lihainya, apa lagi serangan itu merupakan serangan
maut. Namun dia bersikap tenang dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang
ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, ada
pun cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan
gerakan memutar.
"Dukkk!"
Dua lengan
bertemu dan akibatnya kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan
mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya mempunyai tenaga
sinkang yang amat kuat dan berimbang.
Bi Lian
semakin marah. Dia memang sudah tahu tentang kelihaian Kulana, maka dia pun
sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengar Han
Siong berseru kepadanya.
"Nona,
tahan dulu, jangan serang dia!"
Bi Lian
mengerutkan alisnya. Dia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi dia
pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. "Hemm, Pek Han Siong, engkau
mau apa sih sebenarnya?!" dia membentak.
"Nona
Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!"
Barulah Bi
Lian terkejut lantas dia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada
apakah? Orang ini jelas Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulana? Bi Lian
lalu mengamati orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang mirip
seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah dengan kain kepala warna-warni
dihiasi burungan merak terbuat dari emas permata, pandang matanya yang lembut
namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan
Kulana?
Pandangan Bi
Lian memang tidak keliru. Walau pun diperhatikan dengan teliti, baik wajah mau
pun bentuk tubuhnya, laki-laki ini memang serupa benar dengan Kulana. Akan
tetapi pandangan Han Siong tidaklah demikian, karena pemuda ini melihat ada
perbedaan yang menyolok pada sinar matanya.
Laki-laki
ini memandang bergantian kepada dua orang muda yang berdiri di hadapannya.
Mula-mula matanya memandang ke arah Bi Lian dengan lembut, kemudian berubah
tajam dan bersinar mencorong ketika menatap wajah Han Siong, namun di dalam
pandangan ini juga terbayang kekaguman. Akhirnya dia tersenyum dan berkata
kepada Han Siong,
“Saudara
yang gagah perkasa sungguh mempunyai mata yang sangat tajam. Bagaimana Saudara
dapat melihat sedemikian cepatnya bahwa aku bukanlah Kulana? Apakah yang
membedakan antara kami menurut penglihatanmu?”

Han Siong
menatap tajam kemudian memberi hormat. “Hampir tidak ada bedanya, seperti
saudara kembar saja. Hanya agaknya bayangan duka membuat sinar matamu sayu dan
rambut di pelipismu agak bercampur uban.”
Orang itu
tersenyum. Kini Bi Lian baru percaya bahwa orang ini memang bukan Kulana, namun
keduanya memang mirip sekali.
“Kalian
bermusuhan dengan Kulana akan tetapi masih hidup, hal ini sudah mengagumkan
sekali. Dan karena kalian dimusuhi oleh Kulana, maka sudah sepatutnya kalau
kusambut sebagai tamuku. Marilah sobat-sobat, aku mengundang Ji-wi untuk datang
ke tempatku, di sana kita dapat bicara dengan leluasa, tentu saja… kalau Ji-wi
tidak merasa takut untuk mengunjungi tempatku,” kata pria yang mirip Kulana
itu.
Laki-laki
itu memang bukan Kulana, pangeran Birma yang melarikan diri itu. Dia bernama
Mulana, merupakan saudara kembar dari Kulana, karena itu tidaklah mengherankan
apa bila keduanya mirip sekali, baik wajah mau pun bentuk tubuhnya. Bahkan
pakaian mereka juga sama-sama mewah dan indah, karena keduanya memang berdarah
bangsawan.
“Siapa
takut?!” bentak Bi Lian menjawab ucapan Mulana yang bernada tantangan tadi.
Han Siong
yang merasa penasaran dan tertarik untuk mengenal pria ini lebih jauh, tidak
ingin terjadi keributan antara Bi Lian dengan pria itu, maka dia cepat
menengahi.
“Katakan
saja tempat Saudara itu, kita akan datang ke sana,” katanya sambil tersenyum.
“Sungguh aku
kagum terhadap Ji-wi yang bersedia memenuhi undanganku. Silakan Ji-wi
mengikutiku,” kata Mulana yang langsung berkelebat pergi dari tempat itu.
Memang
undangan itu aneh. Tuan rumah yang mengundang kini berlari cepat dibayangi oleh
dua orang undangannya. Dilihat sepintas lalu mereka seperti tiga orang yang
sedang berkejaran atau beradu cepat lari seperti tiga ekor kijang.
Diam-diam
Mulana kagum bukan main. Dengan mudahnya gadis itu dapat mengimbangi kecepatan
larinya, akan tetapi yang membuat dia lebih kagum adalah pemuda sederhana itu
yang nampak enak-enak saja mengikuti dari belakang, seolah-olah tidak
mengerahkan tenaga sama sekali.
Mereka
melewati beberapa bukit dan hutan. Akhirnya Mulana berhenti pada kaki sebuah
bukit. Dahi dan lehernya berpeluh, sedangkan napasnya agak memburu. Bi Lian
yang ikut berhenti pula hanya agak terengah-engah dengan sedikit keringat pada
dahinya, ada pun Han Siong tetap biasa saja, seolah-olah dia tadi tidak
melakukan pekerjaan apa pun.
Dari balik
jubahnya Mulana mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah semacam
terompet, kemudian meniup mulut benda itu. Terdengarlah suara melengking tinggi
yang menerobos hutan mengarah ke puncak bukit. Sesudah gema suara lengkingan
itu lenyap, dia pun berkata,
“Harap Ji-wi
suka menanti sebentar.”
Tidak lama
kemudian, dari arah puncak bukit itu nampak turun serombongan orang yang
diikuti oleh sebuah kereta di belakangnya. Mereka berbaris rapi, memberi hormat
kepada Mulana seperti terhadap seorang pembesar tinggi. Kereta berkuda empat
itu dikusiri oleh seorang kusir tua yang pakaiannya juga indah. Dengan gerakan
anggun Mulana kemudian mempersilakan dua orang tamunya memasuki kereta.
Bi Lian dan
Han Siong yang merasa sangat heran dan kagum, tanpa sungkan-sungkan lagi
memasuki kereta bersama Mulana. Kereta lalu digerakkan, mendaki bukit yang
penuh hutan, akan tetapi ternyata di sana sudah dibuat sebuah jalan yang rata
dan cukup lebar sehingga kereta itu dapat berjalan dengan lancar.
Dua orang
muda yang menjadi tamu itu merasa sangat kagum sekaligus heran. Di bukit yang
terasa sunyi dan liar, mereka merasa seolah-olah menjadi tamu agung dari
seorang bangsawan tinggi atau bahkan seorang pangeran. Perasaan mereka ini
tidak terlalu keliru karena dari kejauhan kini tampak sebuah bangunan indah
mirip istana yang membuat hati keduanya merasa kagum bukan main.
Ketika Han
Siong dan Bi Lian turun, mereka berdua menjadi semakin kagum. Sederetan gadis
pelayan yang pakaiannya amat rapi dan indah, rata-rata berwajah cantik dan
berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun, manis-manis seperti dayang
saja, menyambut dengan sembah kepada Mulana serta dua orang tamunya. Juga
beberapa orang laki-laki setengah tua berpakaian pantas sebagai pengurus-pengurus
rumah tangga menyambut pula dengan sikap hormat.
Baru serambi
depan rumah itu saja sudah sangat indah, dengan perabotan rumah yang
mengingatkan Bi Lian akan rumah tempat tinggal Kulana. Agaknya memang ada
banyak persamaan antara Kulana dengan Mulana ini, baik wajah, tubuh, pakaian
mau pun tempat tinggal mereka.
Dengan sikap
anggun Mulana hanya mengangguk untuk menerima penghormatan para pelayannya itu,
kemudian berkata kepada tamunya,
“Silakan
Ji-wi beristirahat lebih dahulu. Tetapi, ahh… maafkan aku, tempat istirahat
untuk tamu wanita dipisahkan dengan tamu pria, karena itu terpaksa Ji-wi harus
terpisah untuk sementara waktu. Maafkan aku…”
Han Siong
mengerutkan alis, lalu memandang kepada Bi Lian seakan-akan menyerahkan
keputusannya kepada gadis itu. Bi Lian yang memiliki hati keras tentu saja
tidak mengenal takut, karena itu dia segera mengangguk tanda setuju.
Melihat
anggukan tanda setuju ini, Han Siong menjadi lega. Dia sudah tahu bahwa Bi Lian
bukanlah wanita lemah, sebab itu dia tidak terlampau khawatir jika mereka harus
terpisah. Maka dia pun menjawab mewakili Bi Lian,
“Terpisah
pun tidak mengapa,” katanya sambil tersenyum.
“Bagus!
Ji-wi masing-masing akan dilayani oleh beberapa pelayan, katakan saja kepada
mereka apa pun yang Ji-wi perlukan. Kita akan berkumpul kembali ketika makan
malam nanti, dan silakan Ji-wi mengikuti para pelayan ke tempat istirahat.
Selamat beristirahat,” setelah berkata demikian, Mulana lalu membalikkan tubuh
dan melangkah pergi.
“Silakan
ikut kami, Nona,” kata seorang pelayan wanita dengan sikap hormat.
Sejenak Han
Siong dan Bi Lian saling pandang, lantas gadis itu membalikkan tubuh untuk
mengikuti dua orang pelayan wanita yang telah berjalan menuju sebuah pintu. Han
Siong terus memandangnya dan setelah bayangan gadis itu lenyap, terdengar suara
halus.
“Silakan
ikut kami, Kongcu.”
Tanpa
menunggu jawaban lagi, dua pelayan wanita sudah berjalan menuju pintu lain yang
arahnya berlawanan dengan pintu yang dimasuki Bi Lian tadi, sedangkan pelayan
lainnya tetap diam tanpa bergerak. Maka Han Siong segera mengikuti dua pelayan
itu memasuki pintu.
Han Siong
tidak dapat beristirahat dengan tenang. Biar pun dia tahu bahwa Bi Lian bukan
seorang gadis yang lemah melainkan seorang dara yang memiliki kepandaian
tinggi, tapi hatinya tetap merasa khawatir. Ia hanya duduk di pinggir
pembaringan, dan waktu terasa berjalan begitu lambat baginya. Karena itu dia
langsung meloncat ke arah pintu kamarnya ketika seorang pelayan memberi tahu
bahwa waktu makan malam telah tiba.
Ternyata
Mulana telah berada di ruangan itu ketika Bi Lian dan Han Siong masuk dari dua
pintu yang berlawanan. Bi Lian dan Han Siong bertukar pandang, kemudian Han
Siong tersenyum, diam-diam merasa lega dan girang melihat gadis itu nampak
sehat dan segar. Bagaimana pun juga dia masih merasa curiga dan meragukan isi
hati tuan rumah.
Bi Lian
adalah seorang gadis yang cantik dan terlampau luar biasa sehingga tidaklah
aneh kalau orang semacam Mulana ini mempunyai niat yang tidak terpuji. Meski
pun rumah itu penuh dengan gadis pelayan yang cantik dan manis, bagaikan sebuah
taman yang penuh dengan bunga-bunga harum, namun kecantikan para gadis itu
kehilangan cahayanya jika dibandingkan dengan Bi Lian. Seperti sebutir mutiara
di antara batu akik, seperti burung Hong di antara burung-burung nuri, atau
setangkai teratai di antara bunga-bunga air.
Ruang tamu
yang sekarang dijadikan ruangan makan atau tempat pesta menjamu tamu agung itu
ternyata sudah dihias dengan indahnya, dengan kain sutera warna-warni, kertas
kembang, juga bunga-bunga hidup dan lukisan indah. Lampu-lampu yang beraneka
warna bergantungan di mana-mana sehingga tempat itu selain nampak terang juga
terlihat indah dan meriah sekali. Sebuah meja besar telah dihiasi dengan taplak
meja warna merah dan bunga-bunga. Juga mangkok, piring, sumpit dan cawan sudah
disusun rapi.
Bi Lian dan
Han Siong dipersilakan duduk berhadapan dengan Mulana, hanya terhalang oleh
sebuah meja. Dua orang muda itu melihat bahwa di samping kursi Mulana masih ada
sebuah kursi kosong yang amat indah, terbuat dari emas dan perak, dengan tilam
beludru hijau dan di depan kursi ini terdapat sebuah pot bunga berisi
bunga-bunga yang segar.
Mereka
berdua saling pandang dan menduga-duga siapa yang akan duduk di samping kiri
Mulana itu. Sejak kedatangan mereka di situ tadi, Mulana tidak pernah
memperkenalkan anggota keluarganya, kecuali para pelayan yang amat banyak
jumlahnya.
“Selamat
malam!” katanya menyambut dengan gembira ketika dua orang muda itu muncul dan
sudah dipersilakan duduk. “Apakah Ji-wi (Anda Berdua) mendapat pelayanan cukup
dan sudah cukup beristirahat pula?”
“Terima
kasih, para pelayan di sini sungguh amat baik,” kata Bi Lian dan Han Siong juga
mengangguk sambil tersenyum.
“Syukurlah,
baru sekarang ini kami mendapatkan tamu-tamu agung dan aku akan merasa menyesal
jika sampai mengecewakan tamu kami. Sekarang, sebelum kita makan malam bersama
dengan akrab dan Ji-wi kuperkenalkan dengan isteriku, kiranya telah sepatutnya
kalau kita berkenalan dengan baik. Bagaimana pendapat Ji-wi?”
Kembali Han
Siong dan Bi Lian bertukar pandang. Tuan rumah ini sungguh aneh. Mereka sama
sekali tidak ingin berkenalan atau menjadi tamu agung tetapi tuan rumah inilah
yang mengundang mereka. Bagaimana pun juga, keadaan tuan rumah yang mewah, kaya
raya serta penuh rahasia itu memang menarik perhatian mereka. Han Siong
mewakili Bi Lian, menjawab sambil memberi hormat.
“Saudara
telah menyambut kami dengan baik sekali, kami merasa terhormat bisa menjadi
tamu di tempat yang indah ini.”
Mulana
tersenyum dan balas menjura. "Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa
aku ini, meski Ji-wi mungkin sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku
bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan
kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua sangat terhormat
sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika
terjadi penyerbuan pasukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang
berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi dia masih belum puas dan dia
melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia lalu melarikan
diri dan sebagai saudara kembarnya aku terpaksa turut pula menjadi buruan.
Karena dalam urusan pemberontakan itu kami berdua tidak cocok, maka kami saling
berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu tinggal di
bukit ini bersama isteriku yang nanti akan aku perkenalkan kepada Ji-wi. Nah,
sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami
hormati!."
Bi Lian
lebih dahulu memperkenalkan diri, "Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu
dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi
isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan." Dia tidak menceritakan
lebih jauh lagi sebab dia sendiri tentu saja masih merasa ragu apakah saudara
kembar dari Kulana ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. "Aku
dikeroyok, lantas mendapat bantuan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil
melarian diri sampai berjumpa denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi
yang dapat kuceritakan."
"Apa
yang diceritakan Nona Cu tadi memang benar adanya, Saudara Mulana. Aku pun
tengah mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tempat tinggal
Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan
Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunya dan kami melarikan diri ke
dalam hutan itu."
Mulana
mengangguk-angguk. "Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali
dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda
kalian sudah berani menentang Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali!
Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau
kuperkenalkan dengan isteriku yang tercinta!"
Sesudah
berkata demikian, Mulana lalu mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan
ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan
suara tiupannya ketika dia memberi tahukan tentang kedatangannya kepada para
pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara laksana seekor binatang yang
mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai
jauh.
Begitu
mendengar suara ini, seluruh pelayan yang sedang sibuk di ruangan itu kelihatan
amat kikuk dan mereka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian nampak ada
orang muncul dari pintu dalam, diiringi oleh lima orang gadis pelayan.
Pada waktu
Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang, keduanya terpesona, bahkan Bi
Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang
keluar dari dalam dengan langkah halus laksana seorang bidadari melayang-layang
saja, diikuti oleh lima orang pelayan.
Wanita itu
sudah berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun memiliki kecantikan
yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna,
cantik dan agung walau pun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan
bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana
kaisar.
Pakaiannya,
gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa dia
bukan seorang wanita biasa, namun seorang wanita bangsawan agung yang memiliki
gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak
kelihatan melangkah sehingga tampak bagaikan melayang ketika dia menghampiri
meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan
dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang
kosong.
Diam-diam
Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang sangat cantik, terlalu
cantik di tempat yang seperti itu. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata
itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti
mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Ia juga melihat sinar duka
yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong
mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menyelidiki rahasia
aneh apa yang ada pada wanita itu.
Sambutan
Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Saat wanita itu tiba dekat, dia pun
bangkit dari tempat duduknya lantas dengan senyum lebar dia menyongsong
kedatangan isterinya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti
oleh kedua orang tamunya.
"Selamat
malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau makin cantik saja. Silakan
duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat."
Sikap Mulana
seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan
kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali.
Wanita itu
pun lalu menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali
ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian dia mengambil tempat duduk di
atas kursi di sisi suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna
menimpa mukanya, diam-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya.
Wanita ini
memang hebat, cantik jelita dan cara dandanannya, dari setiap untaian rambut
hitam yang dilingkar-lingkar sampai pada hiasan kuku dari emas, mau pun setiap
lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan
seorang wanita yang lembut.
Sekarang
para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagai sekelompok kupu-kupu saja
gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperti menari-nari, datang dan pergi
membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap hingga
terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang
sudah sangat lapar itu mengeluarkan bunyi!
Wajah itu
selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit muka
yang demikian halus dan walau pun nampak pucat, namun kehalusannya sungguh
jarang dimiliki oleh perempuan lain. Rambutnya hitam panjang dan tebal,
digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih serta
diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis.
Alisnya
hitam panjang dan melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang
bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup laksana bulan
terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, dan
bibirnya mengandung tantangan birahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh
bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.
Setelah
hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan
berkata halus kepada seorang pengawal. "Ambilkan cawan kehormatan dari
Tuan Puteri!"
Mendengar
ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat
betapa wanita cantik itu dengan terkejut menoleh kepada suaminya, memandang
dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu
tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. "Perlukah...?"
Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak
dimengerti oleh dua orang tamu itu.
Akan tetapi,
dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu
telah mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tak menghiraukannya,
malah memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal
yang tadinya kelihatan ragu-ragu itu kemudian melangkah cepat memasuki ruangan
lain yang tersambung dengan ruangan itu.
Bi Lian dan
Han Siong saling pandang. Mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang.
Keluarga tuan rumah ini memang aneh serta penuh rahasia yang menegangkan.
Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang namun keduanya
harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka setelah melihat kepala
pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak.
Kepala
pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri
yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuah
tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, namun terawat dengan
baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup dengan emas, dan hanya
tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga. Agaknya tengkorak itu
sekarang dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!
"Isi
cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!" Tiba-tiba Mulana
berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya
itu.
Para gadis
pelayan lantas membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, dan dengan
gerak tubuh yang lemah gemulai mereka pun mengisi cawan arak di hadapan Bi
Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan
pelayannya kemudian menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya,
melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Sesudah itu Mulana mengangkat cawan
araknya sambil bangkit berdiri.
"Isteriku,
marilah kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang
menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di
rumah kami!"
Bi Lian dan
Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan
nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti
pandang mata suaminya, lalu bersama suaminya minum anggur dari... mulut
tengkorak.
Bi Lian
bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman dengan
tengkorak itu, beradu mulut. Penglihatan ini sungguh sangat menegangkan dan
mengerikan hatinya. Perasaan Han Siong juga tergetar dan jantungnya masih
berdebar saat mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati
meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu di depannya.
"Mari,
mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, temanilah dua orang tamu kita
makan minum!" dengan sikap gembira sekali Mulana lalu mengajak isterinya
serta kedua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya lalu
makan dengan cara yang sopan sekali, dengan sikap lembut, pandang mata tak
pernah ditujukan kepada tamunya atau pun suaminya, seperti seorang dalam
mimpi,.
"Ha,
makan minum barulah enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan
Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku,
dongeng yang sangat indah dan menarik kepada Ji-wi?"
Bi Lian dan
Han Siong bertukar pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut mereka
Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita), dan kini hendak
mendongeng. Sebagai tamu, tentu saja mereka hanya dapat menyetujui dan
mengangguk.
Biar pun
tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun
pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak sudah membuat
mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu supaya mereka dapat
segera mengundurkan diri, bahkan di dalam hati masing-masing mereka mengambil
keputusan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.
"Di
negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang amat cantik jelita,"
Mulana mulai dengan dongengnya. "Begitu cantiknya puteri itu sehingga
banyak pria yang tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila
dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di
antara banyak sekali saingan, akhirnya pria itu berhasil sehingga bisa
dibayangkan alangkah berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya dia berhasil
memperisteri puteri jelita itu."
Mulana
berhenti sebentar dan menarik napas panjang, lalu menengadah seolah-olah dia
membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu.
Bi Lian dan
Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke
arah nyonya rumah, wanita itu nampak acuh saja, masih melanjutkan makan dengan
mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan
memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, lalu mengunyah
perlahan tanpa membuka bibir.
"Semua
pria di negeri Birma merasa iri hati dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa
iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan
tak perlu diceritakan lagi betapa besarnya perasaan cinta kasih pria itu kepada
isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, ia siap untuk mencium bekas kaki
isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah oleh isterinya itu dan
melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Setiap minum dia
menggunakan sandal isterinya sebagai cawan, setiap hari menulis sajak pujian
baginya dan menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan
cinta yang mungkin dilakukan oleh seorang pria terhadap wanita. Pria itu sangat
memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau
dibutuhkan oleh wanita itu."
Kembali
Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai
tertarik sekali. Memang Mulana sangat pandai bercerita dan dia memiliki daya
tarik yang mempesona.
"Akan
tetapi, ahhh…, sungguh kasihan sekali pria itu! Betapa pun besar cintanya,
segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya,
tak pernah mau melirik wanita lain lagi, menyerahkan seluruh kedudukannya,
hartanya, kesehatannya dan segala-galanya, namun... isteri tercinta itu tetap
saja dingin terhadapnya."
Bi Lian
menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Diam-diam dia
marah sekali. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan
hal seperti itu kepadanya? Kalau cerita yang tidak sepantasnya ini terus
dilanjutkan, tentu dia akan menegurnya! Agaknya Mulana maklum akan isi hatinya.
"Maafkan
aku, Nona Cu. Maaf, bukan maksudku untuk menceritakan hal yang tak pantas! Akan
tetapi semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta serta pengorbanan pria itu
sia-sia belaka. Hebatnya, biar pun puteri yang sudah menjadi isterinya itu
bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia
membujuk, dengan sangat hati-hati, dengan halus sekali untuk membangkitkan
perasaan cinta di hati isterinya, walau pun sedikit dia sudah akan menerimanya
dengan perasaan amat berbahagia. Akan tetapi sia-sia... puteri itu tetap dingin
dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan..."
"Hemm,
cerita itu semakin tidak menarik," kata Bi Lian.
"Dongeng
yang amat menyedihkan," kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan
rumah, untuk menghibur karena dia merasa tak enak melihat sikap Bi Lian yang
demikian jujur mencela dongeng tuan rumah.
Mulana
tersenyum dan wajahnya yang tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali.
"Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, juga bagi
wanita pada umumnya. Akan tetapi sangat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta
kasih seorang pria mendambakan balasan, biar pun sedikit saja, melalui sentuhan
halus, melalui senyuman, melalui pandang mata yang mesra, melalui apa saja.
Pria yang merindukan kasih sayang isterinya itu selama bertahun-tahun hanya
mampu berharap, berharap, dan berharap! Dan pada suatu malam… dunia kiamat
baginya!" Dan tiba-tiba saja Mulana menangis!
Han Siong
dan Bi Lian kaget bukan kepalang. Mereka saling bertukar pandang, kemudian
memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan dua tangannya dan terisak
menangis. Pada saat mereka melirik ke arah nyonya rumah, wanita cantik itu
masih terus makan dan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian
menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan!
Ingin sekali
Han Siong bertanya, apa yang sudah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta
isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menunggu sampai
Mulana menghentikan tangisnya.
Pria itu
menurunkan dua tangannya, menggunakan sapu tangan sutera untuk menghapus air
mata yang membasahi mukanya, lalu tersenyum, tapi senyum paksaan. "Maafkan
aku. setiap kali menceritakan hal itu, aku selalu tidak dapat menahan keharuan
dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti yang kukatakan tadi, malam itu
memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!"
"Apa
yang terjadi?" Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya.
"Apa
yang terjadi? Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik
jelita itu, isteri yang amat dicinta oleh suaminya yang suka menjilati telapak
kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang
kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu... ketika pria
yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringan
lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya,
yang sekali pun tak pernah membelai suaminya, bahkan tidak pernah menyentuhnya
dengan gairah, wanita itu... di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di
tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tanpa bermalu sedikit pun juga,
bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu birahi, sambil
mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu-gebu laksana kemasukan
iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun!"
"Ahhhhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena
mereka sungguh terkejut bukan main.
"Ha,
kalian tentu kaget sekali! Siapa orangnya yang tidak kaget! Dan pria itu, suami
itu... dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita
yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri
sebulatnya, lahir dan batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran
bukan bangsawan, bukan pula hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa!
Seorang hamba yang hina dina dan rendah, juga kotor! Apa yang selalu
dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, di malam hari itu,
mungkin juga malam-malam sebelumnya, sudah diberikan sepenuhnya kepada seekor
anjing!" Setelah berkata demikian, Mulana memandang kepada isterinya dengan
sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan
tetapi juga penuh kasih sayang!
"Cukup!"
Mendadak wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya
seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, kemudian muka yang amat cantik
itu menjadi kemerahan. "Setelah semua dendam kau curahkan, kenapa malam
ini engkau melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain, Mulana?"
"Aku
terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri.
Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang
sudah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!"
"Bagus,
engkau melanggar janji, aku pun tidak perlu setia terhadap janjiku. Hai dua
orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang
diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Dia
menganggap aku bukan seperti manusia, tapi memujaku bagai benda keramat,
seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi
di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan
sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan dari darah daging yang haus
akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan memang aku menyerahkan
diri sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan
tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebun itu, lalu membuat
kepalanya menjadi tengkorak ini. Aku harus selalu minum anggur dari dalam
tengkorak ini melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini untuk
menebus dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan
yang cantik dan muda, di depan mataku untuk membalas dendam. Aku hanya
mentertawakannya dalam hati sebab bagaimana pun juga dia tidak dapat disamakan
dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan
membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini dia melanggar janjinya...!"
Wanita itu, Yasmina, sekarang mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur
baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. "Engkau, tukang kebunku yang
setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku,
sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana..." dan
wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur
dari dalamnya lantas dia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas
kemudian jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di
dekat kaki Mulana.
"Yasmina...!"
Mulana menendang tengkorak itu kemudian meloncat ke dekat isterinya. Dia
mengangkat muka isterinya.
Mungkin
wanita itu sudah lama mempersiapkan dan menyimpan racun di bawah sepotong gigi
tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur!
"Yasmina...!"
Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungnya, dipondongnya dan dia pun
menangis sambil kebingungan.
Melihat ini
Bi Lian bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis
ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi di
antara suami isteri yang aneh itu.
"Mari
kita pergi, aku menjadi muak dan mual!" katanya.
Pek Han
Siong sendiri juga terguncang hebat perasaannya. Apa lagi yang terjadi antara
Mulana dengan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak
pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang
suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya
tampan dan cantik!
"Mari!"
katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan
rumah tidak mungkin dapat diajak bicara.
Mulana sudah
menjadi seperti orang gila, memondong mayat isterinya ke sana-sini sambil
menangis dan menciumi muka yang kini kebiruan itu. Pelayan yang berada di situ
seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tanpa ada yang berani
bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan
itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment