Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 28
AKAN tetapi
mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat
menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan
bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dikiranya. Menurut patut, setelah
semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut
atau minta kepadanya agar mereka segera menikah dan menjadi suami isteri. Akan
tetapi, mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?
“Sayang,
bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan
mencium.
Wanita itu
membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam
ke dalam kemesraannya dan kini, biar pun orang dapat melihatnya, wanita itu
agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.
Akhirnya
wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita
tidak mungkin dapat berbicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar
riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?”
“Tentu saja,
karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil
meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.
“Cukuplah,
kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kita
bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati,
barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita
atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan dari
pada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti
menghendaki demikian.”
Sikap wanita
yang tadi malam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas
dengan api birahi yang bernyala-nyala, kini mendadak berubah. Dingin, berwibawa
dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!
Thian Sin
tersenyum. “Memang keputusan itu sangat bijaksana. Kita tidak sembarangan
mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku
hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Sesudah berkata demikian,
Thian Sin juga turun dari pembaringan.
Mereka mandi
di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah
selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek
Lam-sin. Ternyata nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit
yang tipis sekali dan ada rambut putih pada bagian kepala. Topeng itu begitu
tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali jika meneliti gerakan
mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang
menyeramkan.
“Ahh, kenapa
puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk
rupa?” kata Thian Sin.
“Engkau akan
mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek
Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali
hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu
kemudian lapat-lapat terdengar suara berkelinting di luar kamar.
Tidak lama
kemudian pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan
cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa
betapa pun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara
yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau
menjadi pelayannya.
Sebaliknya,
lima orang wanita pelayan itu memandang heran saat melihat Nenek Lam-sin sudah
mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih
berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya terus
berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai
penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara
mereka itu di atas meja dalam kamar.
“Cepat
kalian ambil tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin.
“Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan
rapat yang lengkap dengan semua anggota.”
Sesudah
sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh
keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah
mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuah pun kata.
Seperginya lima
orang pelayan itu, Lam-sin mengajak Thian Sin makan pagi dan setelah selesai
makan pagi, mereka keluar dari kamar. Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke
bagian belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah
lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggota Bu-tek Kai-pang
berkumpul.
Ketika
melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang
menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda
itu kini masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah
menewaskan belasan orang anggota kai-pang.
Thian Sin
melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya paling sedikit ada lima
puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada
waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara
tiba-tiba. Dan dia pun melihat tiga orang ketua kai-pang itu hadir pula dengan
tubuh rebah di atas usungan.
Wajah mereka
masih pucat. Mereka memandang kepada Thian Sin dengan kedua mata mendelik dan
muka marah. Mereka pun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih
hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada
permusuhan apa-apa.
“Para
anggota kai-pang sekalian.” terdengar ‘nenek’ itu berkata, suaranya sangat
lantang berwibawa hingga semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan
penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang
mendalam, “dengarkanlah baik-baik segala perintahku pada pagi hari ini yang
sekaligus merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!”
Tentu saja
semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah
terakhir? Apa maksud datuk itu?
“Aku
perintahkan semua anggota, baik yang kini hadir mau pun yang tidak hadir, untuk
bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, supaya
mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat
ini aku tidak lagi memimpin kalian, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak
membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama
Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya
penentangan. Tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan oleh golongan
lain. Kalian bisa memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian juga
boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian,
terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang
berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya
harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang bermain curang dan hal itu
kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Sesudah aku
pergi, tidak ada seorang pun yang boleh mempergunakan namaku lagi, juga semua
urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada
satu saja di antara perintah terakhirku ini yang tidak dipenuhi dan dilanggar
orang, maka di mana pun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan
datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!”
“Pangcu…!”
Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan mereka pun menangis! Dan
hal ini segera menular kepada beberapa orang anggota kai-pang sehingga sebentar
saja kebanyakan dari mereka telah menangis!
Lam-sin
membiarkan mereka menangis sejenak. Dia sendiri beberapa kali menarik napas
panjang dan nampaknya juga berduka, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan
kirinya ke atas dan berteriak
“Cukup…!
Bukan sikap orang-orang gagah jika membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada
pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang
berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian,
tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin
melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang ingin mengundurkan diri dan
membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah
pesanku, dan tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada
yang berani melanggar perintahku hari ini.”
“Tapi…
tetapi, locianpwe…,” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya
saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang
sudah membunuh begitu banyak anggota kami?”
Lam-sin
menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata
lantang, “Dia datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu di Lok-yang.
Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab karena dulu sudah mengirim anak
buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian
harus menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis telah memaafkan
kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari
mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!”
“Ahhhhh…!”
Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak
anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya
bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.
“Nah,
pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan
memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, kemudian kalian
menunggu hingga lima orang pelayanku ini membereskan semua urusan harta. Awas,
jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian
membentuk perkumpulan baru dengan nama lain, baru boleh diumumkan bahwa
perkumpulan baru itu tak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah
kalian?”
“Kami
mengerti!” tiga orang ketua itu berkata, disusul oleh para anggota yang
menyatakan telah mengerti.
Lam-sin
mengangguk dan mengajak Thian Sin serta lima orang pelayannya untuk masuk
kembali ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian
untuk bekal berikut beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari
almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis
sesenggukan.
Setelah
beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta
ini baik-baik, dan sesudah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah.
Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat
tinggal.”
Lima orang
itu hanya terisak kemudian menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu
menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda
itu dia pun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi,
melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi
semua miliknya itu dan sesudah keluar dari pintu pekarangan, dia mengajak Thian
Sin untuk cepat pergi meninggalkan kota Heng-yang.
Pemuda itu
mengikuti tanpa membantah. Akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi
sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam yang disembunyikan dalam rumpun
alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin
tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?”
“Kau ikut
sajalah. Aku mempunyai sebuah tempat yang sangat indah dan di sanalah kita
nanti bicara tanpa ada seorang pun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil
mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir
mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu itu meluncur
tanpa didayung lagi, menuju ke utara.
Menjelang
tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat. Lam-sin lalu
menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir sehingga akhirnya berhenti di
bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat
itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.
Dengan
sehelai tali Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai,
lalu melompat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin
mengikutinya dan harus meloncat jauh karena amat berbahaya kalau harus mendarat
di tengah rumpun alang-alang yang tak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara
Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa
dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.
Thian Sin
mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan, di antara
pohon-pohon besar, nampaklah padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan
taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam
burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara
pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan
main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di
sebuah sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil tapi
kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.
Lam-sin
mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu
lalu membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok itu dan Thian Sin
melihat bahwa pondok itu biar pun kecil akan tetapi isinya lengkap. Sebuah
pembaringan yang sungguh pun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun
cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk
keperluan beberapa hari. Dan biar pun agaknya tempat itu sudah lama tidak
ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu
memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.
Lam-sin
melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, kemudian melempar dirinya di atas
pembaringan, nampaknya gembira bukan main. “Nah, inilah tempat persembunyianku
di mana aku berada apa bila hatiku sedang risau. Kini aku bebas…! Bebas…!” Dan
dia pun mengembangkan kedua lengannya, nampaknya berbahagia sekali.
“Tempat yang
indah, bagaikan sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi
kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas
meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.
Lam-sin
mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Kini Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah
melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan
mati!”
“Ehh… kenapa
begini? Bukankah… bukankah…”
“Mari kita
keluar dan engkau akan menyaksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek
buruk yang mengerikan ini!”
“Apa… apa
maksudmu…?” Thian Sin semakin kaget.
Akan tetapi
Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin cepat mengikutinya dan
mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di sana hijau segar dan tumbuh rata,
semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak dapat tinggi. Lam-sin
sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, dia
langsung berkata,
“Maukah
engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?”
“Membuat api
unggun? Untuk apa…? Tapi baiklah…” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu
matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biar pun tempat itu amat
sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun?
Tetapi
melihat sikap Lam-sin yang begitu sungguh-sungguh, dia pun cepat pergi mencari
kayu kering yang dibutuhkan wanita itu. Setelah cukup memperoleh kayu kering,
Lam-sin kemudian menumpuknya di atas batu-batu yang telah diatur di tempat itu,
dan dia pun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api menyala cukup besar dan nenek
itu lantas meraba ke arah mukanya.
“Ceng Thian
Sin, engkaulah orangnya yang sudah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau
pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang
bernama Lam-sin!”
Sekali dia
merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu sehingga nampak
wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng
tipis itu lantas dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja
segera dimakan api. Wanita itu kemudian menanggalkan pakaian luarnya, baju dan
celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian
dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itu pun melayang ke arah api, dimakan api
menyusul topeng yang sudah menjadi abu.
Akhirnya
gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu
tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!”
“Dan
terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari…!” kata Thian Sin yang
menghampiri dan memeluknya.
Gadis itu
tersenyum hingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin
dapat menikmati semua itu dengan bebas, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh
lekuk tubuh yang amat menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya
gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin secara
halus pada saat pemuda itu hendak menciumnya.
“Nanti dulu,
engkau belum mengenalku!” bisiknya.
“Siapa
bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik tadi malam…” Thian Sin tersenyum.
“Tidak,
engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.”
“Perlukah
itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik bagaikan bidadari, yang kucinta,
menjadi dewi pujaanku…” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu
mengelak.
“Kalau
engkau memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba dia membentak dan
sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian
Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin sehingga diam-diam dia bergidik. Sukarlah
menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki
ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat
mengalahkannya.
“Baiklah,
maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu
duduk di atas rumput tebal.
Gadis itu
sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar hingga berkobar dan
sebentar saja pakaian itu pun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi.
Tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, dan terdengar suaranya lirih,
“Ibu… ibu…
anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah…”
Akan tetapi
sebentar saja dia menangis karena dia sudah mampu mengendalikan dirinya dan
menyusut kering air mata itu dengan sapu tangan yang tadinya tersisip di antara
bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah, akan tetapi di dalam
pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!
Gadis itu
lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian
Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk
tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan
pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas.
Dengan
diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa
belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini,
baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga
kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis
yang luar biasa sekali!
“Thian Sin,
namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…”
“Nama yang
sangat indah dan cocok untukmu!”
“Aku she
Toan…”
“Ehh…?”
Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena
kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.
Toan Kim
Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan
kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu
masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.”
Tentu saja
Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su
Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan
dirinya tentu gawat!
“Aku telah
kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat.
Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.”
“Aku tidak
peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah
seorang pangeran pemberontak!”
“Ahhh…!”
“Ya, ayahku
tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap
kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan
kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat
dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.”
“Ahh, kalau
begitu… engkau masih keluarga kaisar…”
“Seperti
juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah
keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak,
aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah
begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku
lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu
silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai
tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku
berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu
kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian
ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal.
Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah,
karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya
untuk bisa menikah secara terang-terangan.”
“Yang
penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong
sebagai pembelaan dan hiburan.
Kim Hong
mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.”
Dara itu
kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh
perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat
kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada
hubungan misan dengan dia!
Toan Su Ong,
pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi
kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci,
lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja.
Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran
ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan
kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.
Untuk dapat
mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak
perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar,
Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan,
di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah),
satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil
sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga
saja, pulau itu cukuplah.
Toan Su Ong
dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon
buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik
perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka
hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah
seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.
Dan mereka
terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno
peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu
yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat
Penakluk Iblis).
Kim Hong
tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya
menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak
itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang
merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun
juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya.
Kim Hong
hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai
laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena
ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang
lain di samping ilmu silat.
Dari
ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum
tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni
musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang
dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.
Malapetaka
itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi
berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah
mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan
didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan
mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan
girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking
tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia
menceritakan kepada suaminya.
“Suamiku!
Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh,
kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang
sekali.
Akan tetapi,
suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama
sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan
kegirangan isterinya.
“Habis,
mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin.
“Eh? Apa
bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi
kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup
selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…”
“Tidak…!”
Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu
pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat
jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila
itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!”
“Tidak
mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau
terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak
isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang
tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup
bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus
kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri
seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri
pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah!
Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak
sendiri dan isterimu.”
“Minta hak
dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.”
“Kalau
begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!”
Percekcokan
semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar
mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia.
Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap
tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap
sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling
mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun
berkelahi!
Kim Hong
yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya
untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan
dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka
pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling
serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan!
Sampai tidak
kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua
lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat
mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan
Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.
Bukan main hebatnya
perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan
ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat
sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya
sendiri.
Terutama
sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat
meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak
mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi
mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!
Akhirnya
terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang
terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan
basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat
suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk
suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah
dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya
sendiri!
Apabila kita
membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang
dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat
terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang
keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah
keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia
seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau
orang tua.
Betapa
banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga
terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam
bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka
parah, tetapi sedikit saja selisihnya.
Betapa
banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling
bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan
kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari
ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan
mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar
dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat
parah di dalam batin masing-masing!
Dalam
keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang
beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak
benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru
tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!
Begitukah
cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi
belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu
timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan
dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa
mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa
mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan
satu sama lain?
Betapa
banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi
retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik
saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat
seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik
kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena
engkau tidak baik kepadaku?
Apakah cinta
itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah
dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak
menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di
pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan
lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi,
maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih?
Betapa kita
semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar
selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang
sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan
sebagai musuh yang saling membenci.
Sambil
menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu
kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat
suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah
sadar lagi dan tewas dua hari kemudian!
Isteri ini
menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri,
menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang
baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di
tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.
Semenjak
matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi
sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja.
Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia
delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya!
Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya!
Akan tetapi,
ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari
suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani
pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu
menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia
menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai
kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong
takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya.
Hal ini
timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar.
Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga
kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat
hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.
“Demikianlah
riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit
yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup
sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku
tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup
cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang
akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng
menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut
saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai
Merah.”
Thian Sin
mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas
muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau
menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.”
“Tidak
begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama.
Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat,
aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek
tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa
Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat
yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini.
Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat
julukan baru, yaitu Lam-sin.”
“Dan engkau
tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?”
“Benar. Aku
melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para
pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala
mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat
luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu
yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi,
membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.”
“Dan
sekarang?”
“Sekarang?
Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas
dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang
ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…”
“Dan
mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil
meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.
“Kalau saja
Ceng Thian Sin juga mencintanya.”
“Dengan
sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan
mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.
Demikianlah,
dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang
memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh
dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan
usia ini.
Yang
mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan
pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan,
syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si
calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini
dan begitu.
Namun dua
orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan
karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan
soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan,
saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di
dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam
hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu
orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh
peraturan-peraturan.
Sampai satu
bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu
asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai
sepasang pengantin yang berbulan madu.
Sebulan
kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi
bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak
ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim
Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi
menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.
“Kim Hong,
apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang
termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.
Kim Hong
memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar
matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di
sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?”
Thian Sin
merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di
tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan
menimbulkan kebosanan, bukan?”
Tiba-tiba
Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia
mendorong dada Thian Sin dengan kuat.
“Eh-eh…!”
Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu
yang mereka duduki itu sempit saja.
“Byuuuuurrr…!”
Thian Sin berenang menghampiri lagi.
“Kim Hong,
mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu.
“Kau bilang
sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah
kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang
maka dia pun cepat menyelam dan menjauh.
“Nanti dulu,
engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan
kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat
menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air.
Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam
pelukan Thian Sin yang menciuminya.
“Kenapa kau
tadi bilang bosan?”
“Dengarlah
dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan
kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar
bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?”
Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang
cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku
terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat
kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau
ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau
kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!”
Kim Hong
termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu
terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru
pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa
kehendakmu? Aku menurut saja.”
“Aku ingin
keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak
mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!”
“Ihhh! Kau
gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki
banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!”
“Justru
itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah
engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?”
Kim Hong
mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin
selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh
berbahaya sekali!” katanya.
“Tidak,
kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?”
“Terdengarnya
menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?”
“Bukan
apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu
ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak
membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka,
itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka
berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau
membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga
datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan
sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.”
Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua
orang datuk itu.
Kim Hong
termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku
pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali
engkau yang dapat mengalahkan aku.”
“Kalau ada
yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu
kepadanya?”
Melihat
pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa.
Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang
putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami
pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan
mendekati wanita lain?”
Thian Sin
tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia
dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu
itu? Dia menarik napas panjang.
“Kim Hong,
terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku
ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada
engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin
lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau
bagaimana?”
Kim Hong
menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki
pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul
denganku!”
“Ihh, kita
jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau
menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan
hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke
sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.”
“Mencari
kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku
merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.”
“Hemm,
terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara
itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong
yang kembali mendorongnya.
“Ehh, apa
perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!”
“Lapar? Wah,
setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!”
“Tunggu apa
lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal
memanaskan saja!”
Mereka
tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan
berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan
telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.
Melihat
keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita
menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak
sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu?
Kalau arti
sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita,
tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa
mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat
kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang
merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.
Mereka hanya
berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak
sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah
seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak
pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat
nikah.
Dan suami isteri,
atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan
sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita
sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung
dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.
Pada
keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah
yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing
membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan
bersemangat.
***************
Oleh sebab
itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau
bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu
yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam
kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.
Akan tetapi,
selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun
lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan
watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak
mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun
sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati
mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!
Selama dalam
perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan
See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan
tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang
pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua
murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang
sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim
Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.
“Kiranya
tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu
silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir,
engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu
sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.”
“Ihhh!
Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?”
Tiba-tiba
Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.
“Ehh, kenapa
engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat
perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah
berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.
“Inilah ilmu
sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua
tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak
mampu bergerak!”
Di dalam
suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan
dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja.
Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi
terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.
Thian Sin
menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman,
akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak
sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!”
Dan benar
saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin
mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!
Thian Sin
tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah
biasa kembali dan mampu bergerak lagi!”
Kim Hong
meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya,
akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar.
“Nah, itulah
ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati
terhadap kakek itu.”
“Thian Sin,
kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!”
“Tidak mudah
Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa
dipelajari apabila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling
berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan
ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri
dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah
untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai
ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu
penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara
memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan.
Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang
yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja
dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan
mudah diseret oleh lawan.
Ketika
mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah
penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin
lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas
itu.
Hari masih
belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu
dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para
pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang
serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah
mereka kembali ke kota Si-ning.
Hari telah
menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka
berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan
mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.
Tentu saja
yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat
See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di
kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh
dendam yang amat besar sekali.
Dia merasa
penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat
bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini,
seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama
seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.
Cepat
See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid
kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian
Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi
kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan
tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang
setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah
menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini.
Selain dua
orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum
lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang
lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan
Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka
masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan
tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan
yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu
dapat mengalahkan mereka.
SEKARANG
lima orang ini yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan
merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk ‘membereskan’ urusan di luar.
Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja
dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak
itu. Selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula
belasan orang pembantu yang di samping berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh
datuk itu.
“Putera
Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat
membekuknya dan membalas penghinaannya dulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati
dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Tapi jangan
sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan
turun tangan. Dan agaknya dia sengaja datang ke sini memang untuk mengacau,
maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan ia menyelinap ke dalam tempat
kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah
kepada para murid dan pembantunya.
“Perkenankan
teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling
kepada gurunya.
“Hemm, ilmu
kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apa lagi setelah
sepasang tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan
mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat
kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang telah kuterima,
mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di
telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.”
Diam-diam
Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan
memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas
kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah supaya
mereka semua siap siaga, pertemuan itu kemudian dibubarkan.
Ketika Ciang
Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya
tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada
See-thian-ong. Kakek ini lalu membaca tulisan singkat itu dan
mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik
ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia
kepadanya.
Ketika Ciang
Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah
yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala
ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan.
Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.
“Bagus!”
kata See-thian-ong. “Usulmu tadi memang bagus sekali.” See-thian-ong tertawa.
“Memang dugaanmu sangat tepat. Betapa pun juga, hati wanita tentu akan tergoda
oleh cemburu. Betapa pun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera
pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kau suruh isterimu
pergi menemui Thian Sin dan kau suruh pula melakukan penyelidikan untuk
mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Di dalam pertemuan itu,
kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin
bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian
Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu
bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, pada saat mereka berdua itu
berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!”
“Lalu
bagaimana rencana suhu?” Ciang Gu Sik bertanya, didengarkan pula oleh Ching-hai
Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar
dari situ.
“Aku
menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin
begitu saja, terlampau enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu,
maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku yang akan menentukan selanjutnya.”
Mereka
mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik
pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia lalu duduk di
dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.
“Engkau
kenapa?”
Cian Ling
menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.”
“Engkau
termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?”
Wanita yang
cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar.
“Laki-laki jahanam itu!”
“Engkau
cemburu?”
“Dia
menipuku, dia mempermainkan aku. Ia membuat aku kehilangan kelihaianku karena
terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal
tinjunya.
Akan tetapi
suaminya yang sudah sangat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan di
dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu
berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar
kesadarannya, isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Hal ini saja sudah membuat
dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Inilah yang
membuat Gu Sik makin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu agaknya tidak
kalah oleh kebencian suhu-nya terhadap pemuda itu!
“Kalau
begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.”
“Tugas
apakah, suheng?”
Memang aneh
sekali dua orang ini. Meski pun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka
sudah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut suheng dan
sumoi!
Hubungan
mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau
mereka tidur bersama, dan ini pun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas
kebaikan suheng-nya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik sangat mencinta
isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suheng-nya, hanya
perasaan berhutang budi belaka, dan untuk itu dia membiarkan dirinya dicinta
dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.
“Begini,
sumoi, seperti kau ketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian
Sin sudah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin
memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah
diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik
adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu
supaya engkau pergi menemui Thian Sin kemudian menggunakan hubungan kalian yang
lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke kota Si-ning dan sebagainya.
Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan
sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, maka
sebaiknya kau usahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian
Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.”
Cian Ling
mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.”
“Menurut
kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara
empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.”
Kembali Cian
Ling mengangguk sambil alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak
untuk mencari akal bagaimana caranya dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa
kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian
Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara
Thian Sin dan wanita itu amat mesranya, lantas terbayanglah kembali
kenang-kenangan lama pada saat pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir
tiga bulan!
***************
Senja hari
itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah
penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh
pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian
Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So
Cian Ling!
“Hemm, kau
cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?”
“Dari So
Ciang Ling, murid See-thian-ong.”
Kim Hong
sudah pernah mendengar cerita Thian Sin mengenai gadis itu, maka dia berjebi
dan membuang muka.
“Kau mau
membacanya?”
“Huh, aku
tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!”
“Ha-ha-ha,
kau cemburu?”
Kim Hong
memandang dengan mata bersinar marah. “Siapa bilang cemburu? Meski kau mau
menggandeng seribu orang wanita, aku tak akan peduli! Jika engkau menggandeng
wanita lain, berarti engkau tidak suka lagi padaku, dan tidak ada yang
memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!”
Thian Sin
tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini
meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimana pun juga, dia
merasa sangat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya
lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dulu pun hanya terdorong oleh
keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.
“Maafkan
aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kau bacalah sendiri suratnya, atau kau
dengarkan dan akan aku bacakan. Ada jalan yang baik sekali untuk menyelidiki
keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling.” Thian Sin lalu membaca surat pendek
dari Cian Ling itu.
Ceng Thian
Sin,
Mengingat
akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu agar dapat
membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari
terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan.
Tertanda: So
Cian Ling.
“Hemm,
agaknya dia rindu padamu,” kata Kim Hong, tersenyum mengejek.
“Mungkin
saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tak pernah memikirkannya, Kim Hong.
Kupikir-pikir, sebaiknya kalau wanita ini kutemui saja untuk menyelidiki
tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang
tidak kuketahui.”
“Sesukamulah!”
jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimana pun juga ada
perasaan tak sedap di dalam hatinya. Dia merasa marah kepada hatinya sendiri.
Dia tak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau
diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak
menemui kekasih lamanya? Inikah yang dinamakan cemburu?
Seperti
kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa di mana ada
si aku yang mementingkan kesenangan sendiri, maka cemburu pasti akan timbul. Di
mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbullah iri hati atau cemburu.
Hubungannya
dengan Thian Sin, baik sah mau pun tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan
pengesahan atau pun tidak, sudah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan bagi
dirinya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu
enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi,
membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain, dan inilah yang
melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang!
Malam itu,
dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen
itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu
bangkit lagi dan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.
Semenjak
menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, dia selalu berdua dengan Thian Sin dan
sudah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya
sebelumnya. Memang kadang-kadang dia marah terhadap Thian Sin, kadang-kadang
dia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras
hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar
Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya.
Akan tetapi
semua itu lenyap sesudah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau
sudah begitu, dia tidak ingin berpisah sedikit pun juga dari pria itu. Dan
sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu, Thian Sin pergi
meninggalkannya sendirian. Dan dia merasa alangkah tidak enaknya perasaan
hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu!
Dia dan
Thian Sin sering berbicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah
setuju untuk tidak mengikat diri satu dengan lain. Oleh karena itu pula maka
dia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar dia
tidak mengandung karena hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itu pun sudah
menyetujuinya. Apa bila ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau
mereka menjadi terikat oleh anak itu.
Mereka
berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar
suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul
karena sebuah ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka
lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau jika
keduanya menghendaki, hubungan itu tentu dapat bertahan selama hidup!
Kini Kim
Hong merasa betapa hatinya terasa sangat sunyi dan kosong sesudah Thian Sin
pergi. Hal ini membuat dia merasa bahwa dia telah betul-betul jatuh cinta
kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, dia sebenarnya telah terikat
secara batiniah.
“Aku cinta
padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!”
Gadis yang
pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini terus berjalan
mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya
sendiri. Hatinya mulai risau. Dia tidak akan bebas lagi kalau sudah terikat,
buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya
kalau begini?
Belum lama
Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi dia mondar-mandir dalam kamarnya,
mendadak pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir saja dia melompat dengan
hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin.
Kalau Thian Sin yang datang, dia tidak akan mengetuk pintu!
“Siapa?”
tanyanya sambil menghentikan kakinya.
“Saya,
toanio, pelayan.”
Kim Hong
dapat mengenali suara pelayan yang tadi melayani mereka makan, juga yang
menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin. Ia membuka pintu dan Sang
Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.
“Ada apa?”
tanyanya tidak senang.
“Maaf,
toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita sangat penting
bagi toanio,” kata pelayan itu.
Kim Hong memandang
penuh kecurigaan, lalu dia membentak, “Tadi siapa yang memberi surat yang kau
berikan kepada… suamiku?”
“Saya… saya
tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, namun entah
siapa…” Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada
yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut
kalau dia terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak
tahu apa-apa.
“Siapa yang
mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?”
“Bukan,
Toanio. Seorang laki-laki, saya pun tidak mengenalnya.”
Kim Hong
keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, kemudian melangkah keluar. Di
ruangan depan, tampak telah menantinya seorang laki-laki berusia kurang lebih
lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang. Ketika Kim Hong
sampai di situ, laki-laki itu memberi hormat dan memandangnya dengan sinar mata
penuh selidik.
“Siapakah
engkau? Ada keperluan apa mencariku?” Kim Hong bertanya.
“Apakah
nona… ehh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?” pria ini bertanya.
“Benar.
Siapa kau dan ada apa?”
Pria itu
memandang ke kanan kiri. “Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia
telah masuk perangkap musuh.”
“Ehh…?”
“Nona,
marilah kita berbicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada
yang mendengarnya.” Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan.
Kim Hong
yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, kemudian
mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, pada
bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata
lagi, suaranya berbisik-bisik.
“Bukankah
tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita…?”
“Nanti dulu,
siapakah engkau?”
Pria itu
menjura dan berkata, “Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari
pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa
adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang lebih penting lagi, Ceng-taihiap
sudah terjebak ke dalam perangkap musuh…”
“Musuh
siapa?”
“Siapa lagi
kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya
tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuhan dengan datuk itu…”
Kim Hong
bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya dengan omongan orang. Dia
adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali.
“Lalu apa
maksudmu memberi tahukan hal itu kepadaku?”
“Nona,
Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini hingga kami berhutang
budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin
sekarang sudah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin
menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami
pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona
untuk sama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong
Ceng-taihiap.”
Diam-diam
Kim Hong kaget sekali. Jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin
terancam bahaya sehingga membuat hatinya gelisah bukan main. Maka dia pun
langsung mengangguk. “Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar.”
Tanpa banyak
cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tidak
jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah
gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker.
“Mereka
telah berkumpul menanti kita di ruang belakang, nona. Maklumlah, menghadapi
See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati
sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah…”
Kim Hong
mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan dari samping gedung
dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu
lalu mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan
sehingga remang-remang. Suasana sunyi sekali, tidak terdengar suara seorang pun
di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup dan berkata
kepada Kim Hong.
“Nona,
silakan masuk, mereka sedang berkumpul di ruangan dalam,” berkata demikian, Si
Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya.
Akan tetapi
Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak
bergerak dan berkata, “Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja.”
Orang itu
lalu menarik napas panjang. “Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum
percaya bahwa kami adalah kawan-kawan yang hendak menolong Ceng-taihiap.
Baiklah, aku masuk lebih dulu.”
Dia membuka
pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah ruangan atau kamar
yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah
lubang pintu yang kelihatan gelap.
Karena
melihat orang itu telah melangkah masuk, maka Kim Hong juga ikut masuk. Akan
tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu sudah melompat dengan cepat sekali ke
arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat dia pun meloncat,
tetapi tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim
Hong hanya terlambat dua detik saja.
Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana
dia masuk tadi tertutup, tubuhnya telah mencelat hendak keluar dari pintu itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja sudah muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di
ambang pintu lantas mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong
yang hendak menerobos keluar.
“Desss…!”
Tiga orang
itu mengeluarkan teriakan keras lantas tubuh mereka terjengkang, dari mulut
mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka
bertiga itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi pada saat dara itu hendak
meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan sepasang
tangan mendorongnya kembali. Kim Hong menjadi marah maka dia pun menerima atau
menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya.
“Dukkk…!”
Keduanya
terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakang sebaliknya Kim Hong juga terpental
kembali tiga langkah ke dalam kamar dan… tiba-tiba saja kakinya terjeblos
karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada
sesuatu apa pun, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah.
“Haiiiiitttt…!”
Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan mendadak tubuhnya yang
sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas
lagi.
“Dukkk!”
tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan sekarang tubuhnya
terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi.
Maklum bahwa
dia telah terjebak, Kim Hong segera mengerahkan ginkang-nya dan dapat menahan
luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, kiranya
di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga dia dapat mendarat
dengan selamat. Gelap sekali tempat itu.
Kim Hong
bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai dia
cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah ruangan yang
luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada
beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat
langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter.
Dia meloncat
dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat
dari baja yang kuat bukan main. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu
rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar.
Akan tetapi dia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan
baginya, karena selama dia masih hidup, dia tidak akan kehilingan harapan.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi
tempat itu terlalu gelap sehingga dia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya
sendiri pun tidak nampak, apa lagi benda lain. Dan tiba-tiba dia mencium bau
yang harum dan keras.
Celaka,
keluhnya karena dia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu.
Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Dia tahu bahwa melawan pun tidak
ada gunanya, hanya membuang tenaga sia-sia belaka.
Apa bila dia
melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja,
akhirnya dia tidak akan dapat lolos pula dari asap yang dia duga tentu
mengandung obat bius itu. Kalau dia melawan dengan cara menahan napas
sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik dia menyerah
kepada keadaan yang tidak mungkin dapat dilawannya lagi, agar dapat menghemat
tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karena itu,
Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas
lantai sambil melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat-urat sarafnya agar
jangan menegang. Karena dia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai
memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh.
Kim Hong
yang telah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang
disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya
tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan dia pun jatuh
pingsan dengan hati tenang.
***************
“Cian
Ling…!”
“Thian Sin,
ahhh, Thian Sin…!” Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis.
Thian Sin
mengelus rambut kepala itu dan membiarkan Cian Ling menangis sejenak pada
dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia baru mendorong pundak wanita itu
dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi
bintang-bintang di langit itu.
“Engkau
kurus…,” kata Thian Sin dan memang wanita itu terlihat lebih kurus dibandingkan
dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.
“Aku hidup
menderita, Thian Sin. Aku… aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan
diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja
ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu… suhu lantas menghancurkan
kedua tulang pergelangan tanganku.” Cian Ling memandang kepada dua tangannya
dengan sinar mata sedih.
“Ah, maafkan
aku, Cian Ling.” Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan
itu bergantian. “Engkau menderita karena aku.”
“Dan
sekarang agaknya engkau sudah senang, ya? Sudah lupa kepadaku karena sudah
memperoleh gantinya?”
“Ahh, jangan
berkata demikian, Cian Ling. Bukankah sekarang engkau telah menjadi isteri
suheng-mu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kau bicarakan denganku?”
“Apa
pertemuan antara kita ini tidak kau anggap penting?”
“Memang,
akan tetapi tentu ada hal yang lebih dari pada itu yang hendak kau sampaikan
kepadaku.”
“Aku diutus
oleh suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan
untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak
memusuhi See-thian-ong?”
Thian Sin
tersenyum dan mencium bibir itu. Bagaimana pun juga, wanita ini adalah bekas
kekasihnya dan masih mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. “Ahh, engkau
diutus untuk menyelidiki aku akan tetapi kenapa engkau berterus terang begini
kepadaku?” Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.
“Memang
tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau sudah meninggalkan aku, dan
engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi… tapi… mana sanggup aku mencelakaimu,
Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku bersama suamiku dan
semua kaki tangannya telah bersiap untuk membalas dendam, untuk menawanmu,
untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau berhati-hatilah dan lebih
baik engkau segera pergi saja dari tempat ini.”
“Cian Ling,
kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhu-mu
dan suamimu…?” Than Sin bertanya, terharu juga.
“Aku…
ohhhhh…” Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling
berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan
keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan
rangkulannya.
“Aku girang
bahwa aku telah berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela.
Sungguh pun engkau tidak mencintaku, akan tetapi engkau seorang laki-laki yang
baik, yang dapat menyenangkan hati wanita.”
“Nah,
ceritakan apa yang hendak mereka lakukan.”
Dengan
singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh
See-thian-ong bersama para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar
akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai.
“Semenjak
kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu
malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang
berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Jika maju bersama, mereka itu lebih lihai dari
pada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang sekarang semakin tua menjadi
semakin lihai. Maka engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi
malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu
denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa
kedatanganmu ke sini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada
keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?”
“Ya,
sebaiknya engkau katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri,
nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhu-mu itu, dan terima kasih
atas semua kebaikanmu kepadaku.”
“Jadi,
engkau hendak nekad menentang suhu?”
“Dia memang
pantas ditentang, apa lagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu.”
“Ahh, aku
khawatir sekali!”
“Tidak usah
khawatir, aku dapat menjaga diri.”
“Selamat
berpisah.”
Cian Ling
ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan
sepenuh hatinya, lantas terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan
malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di
antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya
adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah.
Lian Hong
tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi,
lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu birahi. Dia sendiri masih
tidak tahu apakah dia cinta terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapa pun juga,
Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu
telah menyerahkan dirinya dan hatinya, dan pada saat ini pun sudah membuktikan pembelaannya,
setelah berkorban dua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu
kepandaiannya.
Dia tahu
bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh
See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu menjadi taruhannya. Akan
tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biar pun See-thian-ong sudah
mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia
kalahkan secara mutlak!
Akan tetapi,
teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki
tangannya, dia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu
tak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya dia
datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tak kalah dibandingkan
dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi
seluruh jagoan di dunia ini!
Ketika
teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan
cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke
losmen di mana mereka bermalam. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar, ternyata
kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan
surat mau pun pesan.
Seketika
hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu telah pergi
meninggalkan dirinya akibat marah dan cemburu. Akan tetapi buntalan pakaiannya
masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Cepat dia
pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, tetapi tak dapat
menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.
“Engkau
melihat nona?” tanyanya kepada pelayan itu.
“Tidak,
tuan…”
Akan tetapi
Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa
ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu.
“Baikiah,”
katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, dia pun memasuki kamarnya.
Akan tetapi
cepat sekali dia pun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke
luar, lalu mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki
tinggi besar yang sedang berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar
olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.
“Dia sudah
pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya…”
“Baik, kami
akan menjemputnya,” kata seorang di antara tiga orang itu.
Thian Sin
cepat-cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela,
menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas
pembaringan.
“Tok-tok-tokk!”
Thian Sin
membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, kemudian barulah
dia menjawab dengan suara mengantuk, “Siapa di luar?”
“Aku, utusan
See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!”
Thian Sin
tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Apa bila See-thian-ong sudah
berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa
datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan.
“Hemm, pintu
kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja.”
Hening
sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan sedang
berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka
mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di
kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi pada saat
melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani,
lalu melangkah masuk.
Orang ini
tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian
Sin bangkit duduk dengan lagak malas-malasan, ada pun orang itu maju sambil
menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.
“Hemm, kalau
aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu
bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!” kata Thian Sin sambil
minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli.
Orang itu
jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia pun menyeringai lalu berkata
dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.
“Pendekar
Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk
sebelum habis mendengarkan kata-kataku.”
“Hemm, kalau
aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang
temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan segera katakan apa yang
dipesan oleh See-thian-ong?” Sikap Thian Sin tetap tenang saja namun justru
ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku
karena gentar.
Dua orang
tinggi besar yang menunggu dan berjaga-jaga di luar kamar itu pun kemudian
menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan sedikit gemetar. Nama
besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apa lagi kalau diingat
bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dahulu
pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Kini mereka bertiga menghadapi Thian
Sin, siap-siap dengan golok di tangan, sedangkan Thian Sin memandang dengan
sikap tak acuh.
“Pendekar
Sadis,” orang yang pertama tadi berkata dengan suara bergetar. “Ketua kami
hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami dan
menghadap beliau tanpa banyak ribut.”
Thian Sin
tersenyum. “Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh
kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?”
Orang yang
mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah dulu sebelum menjawab, merasa
sukar sekali bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya.
“Kalau… kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi
sesudah matahari terbit, wanita itu akan mati…”
“Wanita…?”
Thian Sin pura-pura bodoh.
“Ya, wanita
cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!” Orang tinggi besar itu merasa dapat
mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. “Dan matinya akan
mengerikan sekali! Ketua kami tak akan kalah olehmu dalam hal menyiksa
orang-orang yang menjadi tawanannya. Jika sedikit saja engkau mengganggu kami,
maka besok sebelum matahari terbit, kawanmu yang cantik itu akan menjadi mayat
dengan tubuh terhina dan tak berupa manusia lagi!”
Thian Sin
masih bersikap tak acuh. “Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan
bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?”
Seorang di
antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang paling
menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya lantas melemparkannya ke
arah Thian Sin sambil berkata. “Lihat ini!”
Thian Sin
menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah hingga ke
lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong
telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran
sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan
musuh.
“Hemm, di
manakah dia?”
Orang
pertama tertawa, suara ketawanya persis seperti suara burung hantu, lalu
berkata, “Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau masih
menghendaki dia selamat!”
Thian Sin
berpikir sejenak. Dia bisa menduga bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya
untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang
pasti belum mengetahui bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, akan tetapi dialah yang
dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam.
Dan kini
baru dimengerti bahwa ternyata So Cian Ling sudah menipunya. Wanita itu, yang
tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas,
ternyata hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk
membuatnya pergi meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu bisa
menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri.
Akan tetapi
bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat
diketahuinya setelah dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang
dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan
kalau dia membunuh mereka ini kemudian tidak muncul sampai besok pagi, maka
tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka.
“Baiklah, aku
ikut dengan kalian!” katanya sambil bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha-ha,
kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis,”
kata orang pertama. “lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, sebab di sana ada
golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu.”
“Kami harus
melucutimu dahulu,” kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin
kemudian mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga
mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri,
pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang.
“Mari kita
berangkat!” kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu.
Thian Sin
berjalan di tengah-tengah mereka, bagaikan seorang di antara sahabat-sahabat
saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus
beserta para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi begitu
melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak
lega. Maka mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan
ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang
tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu.
Dia
memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang
sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong
oleh mereka.
“Sesudah
keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar
Sadis. Ha-ha-ha-ha!” kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak
keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya.
Hemmm,
mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar
kota. Akan tetapi di manakah? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus
dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, maka
dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu
ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tak percuma berjuluk datuk kaum sesat.
Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakiti hatinya.
Tiba-tiba
saja Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakiti hatinya! Itulah yang
akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini
menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu langsung akan dapat menduga
bahwa dia mencinta Kim Hong, dan kalau memang demikian halnya, maka tak mungkin
kalau Kim Hong akan dibebaskan sesudah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya
gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu
See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya!
Sekarang mereka
sudah tiba di luar pintu gerbang kota dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah
muncul dan malam itu sangat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi,
diapit oleh sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata,
“Sudah
waktunya untuk menutupi kedua matanya.”
Mereka
bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam
dari saku bajunya. “Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu supaya
kau… hukkk!” Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba
saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti
dan dia pun terjengkang memegangi perut.
Dua orang
kawannya kaget bukan main dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi
Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih
cepat dari pada tangan mereka yang mencabut golok sehingga gerakan kedua orang
itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh
tamparan-tamparan Thian Sin.
Mereka hanya
pingsan tapi tidak mati, karena memang Thian Sin belum ingin membunuh mereka.
Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana
Kim Hong ditahan. Thian Sin sengaja menunggu sampai mereka berada di luar kota,
di tempat sunyi, baru dia akan bergerak karena kalau dia bergerak di dalam
kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang dapat
menggagalkan usahanya menolong gadis itu.
Ketika tiga
orang itu siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki
dan tangan mereka lumpuh sama sekali, dan mereka berada di dalam sebuah gubuk
tempat petani menjaga sawah. Thian Sin cepat menyeret seorang di antara mereka,
yaitu orang ke tiga yang di pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua
orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut pada
waktu kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis.
“Jangan
takut,” bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, “dia tidak akan mampu
mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita.”
Orang yang
codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis
menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan.
“Nah,
sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!” kata Thian Sin, suaranya tetap
halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman.
Si Codet
menelan ludahnya, namun dia segera teringat akan teman Pendekar Sadis yang
sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini
hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan
senyum masam sehingga membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin
buruk dan menyeramkan.
“Hemmm, kau
kira aku takut akan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan
jika sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai
mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan
kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar
Sadis.”
“Begitukah?
Kita lihat saja nanti!” Thian Sin berkata.
Dengan
cekatan Thian Sin lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan
diangkatnya orang itu lantas dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon.
Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk sehingga orang itu
pun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu
setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian
dengan tenangnya dia lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung
dengan jungkir balik itu. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” Si Codet itu
berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Thian Sin
tak menjawab, terus saja menyalakan api unggun hingga asap mulai mengepul ke
atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Kembali dia
mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi makin takut ketika mulai merasakan hawa
panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya.
Dengan panik
dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup, maka dia
pun mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon. Akan tetapi Thian Sin
sama sekali tak menghiraukannya, bahkan melihat sedikit pun tidak, melainkan
justru menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu supaya bernyala makin
besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi di
dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak.
“Ahhhhh…
akhhh… aku… ahh, lepaskan aku… Pendekar Sadis…”
Thian Sin
sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Tetapi sebenarnya dia
terus memasang pendengarannya sambil memperhatikan semua teriakan yang keluar
dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya
menjadi merah bagaikan udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya.
Malah mulai ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api
melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah.
“Aduhhh…
panas… panasss… aughhh… dengar Pendekar Sadis… gadismu itu… berada di…
pesanggrahan… auhhhhh, lekas turunkan… aku akan mengaku…”
Api unggun
itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan
bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala.
Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu.
“Jelaskan, di
mana dia ditahan?”
Si Codet itu
membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu
dibunuh oleh See-thian-ong jika dia berani mengkhianatinya, jika dia berani
mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil
mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan.
“Aku tidak
mau tawar-menawar lagi. Apa bila engkau tidak mau mengaku, maka api akan
kubesarkan dan tidak ada apa pun yang akan dapat mengubah keadaanmu!”
“Nanti…
nanti dulu… dia… dia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik
ketua kami…” Orang itu lalu merintih dan menangis, tahu bahwa dia sudah
menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat
karena andai kata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tak
akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan
ketakutan.
Namun,
karena api unggun itu tidak begitu besar lagi dan biar pun masih mendatangkan
panas serta asap tapi tak begitu menyiksanya lagi, maka akhirnya dia pun
menghentikan tangisnya, apa lagi setelah melihat Pendekar Sadis
meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu kemudian menyeret keluar seorang
temannya, yaitu Si Jenggot Panjang.
Si Jenggol
Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, dan mengerti bahwa Pendekar Sadis
hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka
dia pun mendahului dengan suara ketawa.
“Ha-ha-ha-ha,
Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tak akan mau
berbicara, dan biar engkau membunuh kami sekali pun, tetap saja engkau tidak
akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami
menghadap See-thian-ong!”
Akan tetapi
Thian Sin tidak menjawab, melainkan segera menggunakan golok besar milik
seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu
dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sinkang-nya, cepat
dia menyelesaikan pekerjaan itu, lantas ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang
sehingga memasuki lubang dalam keadaan telentang.
Si Jenggot
Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi setelah
Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang dan menimbuninya dari
kaki ke atas lalu berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu
hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak.
“Apa… apa
yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya gemetar.
Thian Sin
menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang dia sengaja
menimbuninya sampai ke dada saja dan membiarkan bagian muka itu terbuka.
“Katakan di
mana adanya gadis itu!” katanya, suaranya halus dan tenang saja, akan tetapi
mengandung sikap dingin yang mengerikan.
Orang
pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat
melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, sungguh pun matanya sudah menjadi
merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap.
Akan tetapi
Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, dari suara tawanya memang agaknya tidak
takut mati. “Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar
Sadis, biar kau bunuh sekali pun, kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah
engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak turut bersama kami menghadap
See-thian-ong? Ha-ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan
diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara
kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua
kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin
sekali melihatnya. Ha-ha-ha!”
Thian Sin
mengerutkan kedua alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul
menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia terus menahan diri,
kemudian mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka
Si Jenggot.
Si Jenggot
masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis. Akan tetapi Thian Sin
tidak peduli, walau pun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari
mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mau mengaku.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment