Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 28



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 28


AKAN tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dikiranya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka segera menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi, mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?

“Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium.

Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biar pun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.

Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat berbicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?”

“Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.

“Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kita bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan dari pada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.”

Sikap wanita yang tadi malam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api birahi yang bernyala-nyala, kini mendadak berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!

Thian Sin tersenyum. “Memang keputusan itu sangat bijaksana. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Sesudah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan.

Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Ternyata nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit yang tipis sekali dan ada rambut putih pada bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali jika meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.

“Ahh, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin.

“Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu kemudian lapat-lapat terdengar suara berkelinting di luar kamar.

Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapa pun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya.

Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran saat melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya terus berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.

“Cepat kalian ambil tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.”

Sesudah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuah pun kata.

Seperginya lima orang pelayan itu, Lam-sin mengajak Thian Sin makan pagi dan setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar. Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke bagian belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggota Bu-tek Kai-pang berkumpul.

Ketika melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu kini masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang.

Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya paling sedikit ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan dia pun melihat tiga orang ketua kai-pang itu hadir pula dengan tubuh rebah di atas usungan.

Wajah mereka masih pucat. Mereka memandang kepada Thian Sin dengan kedua mata mendelik dan muka marah. Mereka pun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.

“Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar ‘nenek’ itu berkata, suaranya sangat lantang berwibawa hingga semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkanlah baik-baik segala perintahku pada pagi hari ini yang sekaligus merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!”

Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?

“Aku perintahkan semua anggota, baik yang kini hadir mau pun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, supaya mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak lagi memimpin kalian, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan. Tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan oleh golongan lain. Kalian bisa memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian juga boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang bermain curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Sesudah aku pergi, tidak ada seorang pun yang boleh mempergunakan namaku lagi, juga semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini yang tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di mana pun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!”

“Pangcu…!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan mereka pun menangis! Dan hal ini segera menular kepada beberapa orang anggota kai-pang sehingga sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!

Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Dia sendiri beberapa kali menarik napas panjang dan nampaknya juga berduka, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak

“Cukup…! Bukan sikap orang-orang gagah jika membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang ingin mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, dan tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.”

“Tapi… tetapi, locianpwe…,” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang sudah membunuh begitu banyak anggota kami?”

Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab karena dulu sudah mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian harus menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis telah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!”

“Ahhhhh…!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.

“Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, kemudian kalian menunggu hingga lima orang pelayanku ini membereskan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan nama lain, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?”

“Kami mengerti!” tiga orang ketua itu berkata, disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.

Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin serta lima orang pelayannya untuk masuk kembali ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal berikut beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.

Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan sesudah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.”

Lima orang itu hanya terisak kemudian menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu dia pun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan sesudah keluar dari pintu pekarangan, dia mengajak Thian Sin untuk cepat pergi meninggalkan kota Heng-yang.

Pemuda itu mengikuti tanpa membantah. Akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam yang disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?”

“Kau ikut sajalah. Aku mempunyai sebuah tempat yang sangat indah dan di sanalah kita nanti bicara tanpa ada seorang pun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu itu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.

Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat. Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir sehingga akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.

Dengan sehelai tali Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu melompat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena amat berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.

Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan, di antara pohon-pohon besar, nampaklah padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sebuah sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil tapi kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.

Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu lalu membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok itu dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biar pun kecil akan tetapi isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang sungguh pun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biar pun agaknya tempat itu sudah lama tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.

Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, kemudian melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira bukan main. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada apa bila hatiku sedang risau. Kini aku bebas…! Bebas…!” Dan dia pun mengembangkan kedua lengannya, nampaknya berbahagia sekali.

“Tempat yang indah, bagaikan sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.

Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Kini Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!”

“Ehh… kenapa begini? Bukankah… bukankah…”

“Mari kita keluar dan engkau akan menyaksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!”

“Apa… apa maksudmu…?” Thian Sin semakin kaget.

Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin cepat mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di sana hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak dapat tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, dia langsung berkata,

“Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?”

“Membuat api unggun? Untuk apa…? Tapi baiklah…” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biar pun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun?

Tetapi melihat sikap Lam-sin yang begitu sungguh-sungguh, dia pun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita itu. Setelah cukup memperoleh kayu kering, Lam-sin kemudian menumpuknya di atas batu-batu yang telah diatur di tempat itu, dan dia pun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api menyala cukup besar dan nenek itu lantas meraba ke arah mukanya.

“Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang sudah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!”

Sekali dia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu sehingga nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu lantas dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu kemudian menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itu pun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu.

Akhirnya gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!”

“Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari…!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu tersenyum hingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebas, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh lekuk tubuh yang amat menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin secara halus pada saat pemuda itu hendak menciumnya.

“Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya.

“Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik tadi malam…” Thian Sin tersenyum.

“Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.”

“Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik bagaikan bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku…” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.

“Kalau engkau memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba dia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin sehingga diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

“Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.

Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar hingga berkobar dan sebentar saja pakaian itu pun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, dan terdengar suaranya lirih,

“Ibu… ibu… anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah…”

Akan tetapi sebentar saja dia menangis karena dia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan sapu tangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah, akan tetapi di dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas.

Dengan diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

“Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…”

“Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!”

“Aku she Toan…”

“Ehh…?” Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.”

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan dirinya tentu gawat!

“Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.”

“Aku tidak peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!”

“Ahhh…!”

“Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.”

“Ahh, kalau begitu… engkau masih keluarga kaisar…”

“Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal. Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk bisa menikah secara terang-terangan.”

“Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.

Kim Hong mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.”

Dara itu kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!

Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci, lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.

Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah.

Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.

Dan mereka terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).

Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya.

Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang lain di samping ilmu silat.

Dari ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.

Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia menceritakan kepada suaminya.

“Suamiku! Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali.

Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.

“Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin.

“Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…”

“Tidak…!” Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!”

“Tidak mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.”

“Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.”

“Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!”

Percekcokan semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun berkelahi!

Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan!

Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.

Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.

Terutama sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!

Akhirnya terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!

Apabila kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua.

Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, tetapi sedikit saja selisihnya.

Betapa banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing!

Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!

Begitukah cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?

Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku?

Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih?

Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.

Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah sadar lagi dan tewas dua hari kemudian!

Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.

Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya!

Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya.

Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.

“Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.”

Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.”

“Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.”

“Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?”

“Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang? Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…”

“Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.

“Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.”

“Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.

Demikianlah, dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini.

Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu.

Namun dua orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan, saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.

Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai sepasang pengantin yang berbulan madu.

Sebulan kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.

“Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.

Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?”

Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan menimbulkan kebosanan, bukan?”

Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.

“Eh-eh…!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.

“Byuuuuurrr…!” Thian Sin berenang menghampiri lagi.

“Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu.

“Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang maka dia pun cepat menyelam dan menjauh.

“Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.

“Kenapa kau tadi bilang bosan?”

“Dengarlah dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!”

Kim Hong termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.”

“Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!”

“Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!”

“Justru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?”

Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya.

“Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?”

“Terdengarnya menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?”

“Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka, itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.

Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.”

“Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?”

Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?”

Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.

“Kim Hong, terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?”

Kim Hong menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!”

“Ihh, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.”

“Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.”

“Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.

“Ehh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!”

“Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!”

“Tunggu apa lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!”

Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.

Melihat keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu?

Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.

Mereka hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah.

Dan suami isteri, atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.

Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.


                ***************


 Thian Sin bersama Kim Hong lalu melakukan perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dahulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya saja, tak tergesa-gesa, karena selama empat lima tahun ini Kim Hong hanya tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka sekarang memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, dia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya.

Oleh sebab itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.

Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!

Selama dalam perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.

“Kiranya tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.”

“Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?”

Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.

“Ehh, kenapa engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.

“Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!”

Di dalam suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.

Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!”

Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!

Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!”

Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar.

“Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.”

“Thian Sin, kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!”

“Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa dipelajari apabila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan mudah diseret oleh lawan.

Ketika mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu.

Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.

Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.

Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali.

Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.

Cepat See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini.

Selain dua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka.


cerita silat online karya kho ping hoo


SEKARANG lima orang ini yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk ‘membereskan’ urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang di samping berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.


“Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Tapi jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia sengaja datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan ia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya.

“Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling kepada gurunya.

“Hemm, ilmu kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apa lagi setelah sepasang tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang telah kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.”

Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah supaya mereka semua siap siaga, pertemuan itu kemudian dibubarkan.

Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini lalu membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya.

Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.

“Bagus!” kata See-thian-ong. “Usulmu tadi memang bagus sekali.” See-thian-ong tertawa. “Memang dugaanmu sangat tepat. Betapa pun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapa pun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kau suruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kau suruh pula melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Di dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, pada saat mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!”

“Lalu bagaimana rencana suhu?” Ciang Gu Sik bertanya, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.

“Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlampau enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku yang akan menentukan selanjutnya.”

Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia lalu duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.

“Engkau kenapa?”

Cian Ling menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.”

“Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?”

Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. “Laki-laki jahanam itu!”

“Engkau cemburu?”

“Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Ia membuat aku kehilangan kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya.

Akan tetapi suaminya yang sudah sangat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan di dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya, isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Hal ini saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Inilah yang membuat Gu Sik makin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu agaknya tidak kalah oleh kebencian suhu-nya terhadap pemuda itu!

“Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.”

“Tugas apakah, suheng?”

Memang aneh sekali dua orang ini. Meski pun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka sudah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut suheng dan sumoi!

Hubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan ini pun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suheng-nya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik sangat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suheng-nya, hanya perasaan berhutang budi belaka, dan untuk itu dia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.

“Begini, sumoi, seperti kau ketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin sudah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu supaya engkau pergi menemui Thian Sin kemudian menggunakan hubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke kota Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, maka sebaiknya kau usahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.”

Cian Ling mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.”

“Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.”

Kembali Cian Ling mengangguk sambil alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak untuk mencari akal bagaimana caranya dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya, lantas terbayanglah kembali kenang-kenangan lama pada saat pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan!


                ***************


 Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling!

“Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?”

“Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong.”

Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin mengenai gadis itu, maka dia berjebi dan membuang muka.

“Kau mau membacanya?”

“Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!”

“Ha-ha-ha, kau cemburu?”

Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. “Siapa bilang cemburu? Meski kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tak akan peduli! Jika engkau menggandeng wanita lain, berarti engkau tidak suka lagi padaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!”

Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimana pun juga, dia merasa sangat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dulu pun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.

“Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kau bacalah sendiri suratnya, atau kau dengarkan dan akan aku bacakan. Ada jalan yang baik sekali untuk menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling.” Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu.

Ceng Thian Sin,

Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu agar dapat membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan.

Tertanda: So Cian Ling.

“Hemm, agaknya dia rindu padamu,” kata Kim Hong, tersenyum mengejek.

“Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tak pernah memikirkannya, Kim Hong. Kupikir-pikir, sebaiknya kalau wanita ini kutemui saja untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui.”

“Sesukamulah!” jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimana pun juga ada perasaan tak sedap di dalam hatinya. Dia merasa marah kepada hatinya sendiri. Dia tak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lamanya? Inikah yang dinamakan cemburu?

Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa di mana ada si aku yang mementingkan kesenangan sendiri, maka cemburu pasti akan timbul. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbullah iri hati atau cemburu.

Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah mau pun tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau pun tidak, sudah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan bagi dirinya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain, dan inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang!

Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.

Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, dia selalu berdua dengan Thian Sin dan sudah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang dia marah terhadap Thian Sin, kadang-kadang dia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya.

Akan tetapi semua itu lenyap sesudah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, dia tidak ingin berpisah sedikit pun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu, Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan dia merasa alangkah tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu!

Dia dan Thian Sin sering berbicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu dengan lain. Oleh karena itu pula maka dia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar dia tidak mengandung karena hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itu pun sudah menyetujuinya. Apa bila ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu.

Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena sebuah ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau jika keduanya menghendaki, hubungan itu tentu dapat bertahan selama hidup!

Kini Kim Hong merasa betapa hatinya terasa sangat sunyi dan kosong sesudah Thian Sin pergi. Hal ini membuat dia merasa bahwa dia telah betul-betul jatuh cinta kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, dia sebenarnya telah terikat secara batiniah.

“Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!”

Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini terus berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Dia tidak akan bebas lagi kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini?

Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi dia mondar-mandir dalam kamarnya, mendadak pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir saja dia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, dia tidak akan mengetuk pintu!

“Siapa?” tanyanya sambil menghentikan kakinya.

“Saya, toanio, pelayan.”

Kim Hong dapat mengenali suara pelayan yang tadi melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.

“Ada apa?” tanyanya tidak senang.

“Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita sangat penting bagi toanio,” kata pelayan itu.

Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu dia membentak, “Tadi siapa yang memberi surat yang kau berikan kepada… suamiku?”

“Saya… saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, namun entah siapa…” Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut kalau dia terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa.

“Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?”

“Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, saya pun tidak mengenalnya.”

Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, kemudian melangkah keluar. Di ruangan depan, tampak telah menantinya seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang. Ketika Kim Hong sampai di situ, laki-laki itu memberi hormat dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.

“Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?” Kim Hong bertanya.

“Apakah nona… ehh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?” pria ini bertanya.

“Benar. Siapa kau dan ada apa?”

Pria itu memandang ke kanan kiri. “Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh.”

“Ehh…?”

“Nona, marilah kita berbicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya.” Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan.

Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, kemudian mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, pada bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik.

“Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita…?”

“Nanti dulu, siapakah engkau?”

Pria itu menjura dan berkata, “Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang lebih penting lagi, Ceng-taihiap sudah terjebak ke dalam perangkap musuh…”

“Musuh siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuhan dengan datuk itu…”

Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya dengan omongan orang. Dia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali.

“Lalu apa maksudmu memberi tahukan hal itu kepadaku?”

“Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini hingga kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang sudah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk sama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap.”

Diam-diam Kim Hong kaget sekali. Jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya sehingga membuat hatinya gelisah bukan main. Maka dia pun langsung mengangguk. “Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar.”

Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tidak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker.

“Mereka telah berkumpul menanti kita di ruang belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah…”

Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan dari samping gedung dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu lalu mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Suasana sunyi sekali, tidak terdengar suara seorang pun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup dan berkata kepada Kim Hong.

“Nona, silakan masuk, mereka sedang berkumpul di ruangan dalam,” berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya.

Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, “Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja.”

Orang itu lalu menarik napas panjang. “Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah kawan-kawan yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu.”

Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah ruangan atau kamar yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubang pintu yang kelihatan gelap.

Karena melihat orang itu telah melangkah masuk, maka Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu sudah melompat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat dia pun meloncat, tetapi tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja.

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana dia masuk tadi tertutup, tubuhnya telah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja sudah muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu lantas mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar.

“Desss…!”

Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras lantas tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka bertiga itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi pada saat dara itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan sepasang tangan mendorongnya kembali. Kim Hong menjadi marah maka dia pun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya.

“Dukkk…!”

Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakang sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan… tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu apa pun, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah.

“Haiiiiitttt…!” Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan mendadak tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi.

“Dukkk!” tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan sekarang tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi.

Maklum bahwa dia telah terjebak, Kim Hong segera mengerahkan ginkang-nya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, kiranya di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Gelap sekali tempat itu.

Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai dia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah ruangan yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter.

Dia meloncat dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang kuat bukan main. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi dia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama dia masih hidup, dia tidak akan kehilingan harapan.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap sehingga dia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiri pun tidak nampak, apa lagi benda lain. Dan tiba-tiba dia mencium bau yang harum dan keras.

Celaka, keluhnya karena dia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya, hanya membuang tenaga sia-sia belaka.

Apa bila dia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya dia tidak akan dapat lolos pula dari asap yang dia duga tentu mengandung obat bius itu. Kalau dia melawan dengan cara menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik dia menyerah kepada keadaan yang tidak mungkin dapat dilawannya lagi, agar dapat menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai sambil melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat-urat sarafnya agar jangan menegang. Karena dia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh.

Kim Hong yang telah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan dia pun jatuh pingsan dengan hati tenang.


                 ***************

“Cian Ling…!”

“Thian Sin, ahhh, Thian Sin…!” Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis.

Thian Sin mengelus rambut kepala itu dan membiarkan Cian Ling menangis sejenak pada dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia baru mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang di langit itu.

“Engkau kurus…,” kata Thian Sin dan memang wanita itu terlihat lebih kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.

“Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku… aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu… suhu lantas menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku.” Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih.

“Ah, maafkan aku, Cian Ling.” Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. “Engkau menderita karena aku.”

“Dan sekarang agaknya engkau sudah senang, ya? Sudah lupa kepadaku karena sudah memperoleh gantinya?”

“Ahh, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah sekarang engkau telah menjadi isteri suheng-mu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kau bicarakan denganku?”

“Apa pertemuan antara kita ini tidak kau anggap penting?”

“Memang, akan tetapi tentu ada hal yang lebih dari pada itu yang hendak kau sampaikan kepadaku.”

“Aku diutus oleh suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?”

Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Bagaimana pun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan masih mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. “Ahh, engkau diutus untuk menyelidiki aku akan tetapi kenapa engkau berterus terang begini kepadaku?” Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.

“Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau sudah meninggalkan aku, dan engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi… tapi… mana sanggup aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku bersama suamiku dan semua kaki tangannya telah bersiap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau berhati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini.”

“Cian Ling, kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhu-mu dan suamimu…?” Than Sin bertanya, terharu juga.

“Aku… ohhhhh…” Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya.

“Aku girang bahwa aku telah berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Sungguh pun engkau tidak mencintaku, akan tetapi engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita.”

“Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan.”

Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong bersama para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai.

“Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Jika maju bersama, mereka itu lebih lihai dari pada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang sekarang semakin tua menjadi semakin lihai. Maka engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ke sini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?”

“Ya, sebaiknya engkau katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhu-mu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku.”

“Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?”

“Dia memang pantas ditentang, apa lagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu.”

“Ahh, aku khawatir sekali!”

“Tidak usah khawatir, aku dapat menjaga diri.”

“Selamat berpisah.”

Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lantas terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah.

Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu birahi. Dia sendiri masih tidak tahu apakah dia cinta terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapa pun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya dan hatinya, dan pada saat ini pun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban dua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya.

Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu menjadi taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biar pun See-thian-ong sudah mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak!

Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, dia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya dia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini!

Ketika teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat mau pun pesan.

Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu telah pergi meninggalkan dirinya akibat marah dan cemburu. Akan tetapi buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Cepat dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, tetapi tak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.

“Engkau melihat nona?” tanyanya kepada pelayan itu.

“Tidak, tuan…”

Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu.

“Baikiah,” katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, dia pun memasuki kamarnya.

Akan tetapi cepat sekali dia pun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, lalu mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar yang sedang berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.

“Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya…”

“Baik, kami akan menjemputnya,” kata seorang di antara tiga orang itu.

Thian Sin cepat-cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan.

“Tok-tok-tokk!”

Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, kemudian barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, “Siapa di luar?”

“Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!”

Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Apa bila See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan.

“Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja.”

Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan sedang berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi pada saat melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk.

Orang ini tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dengan lagak malas-malasan, ada pun orang itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.

“Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!” kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli.

Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia pun menyeringai lalu berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.

“Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku.”

“Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan segera katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?” Sikap Thian Sin tetap tenang saja namun justru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar.

Dua orang tinggi besar yang menunggu dan berjaga-jaga di luar kamar itu pun kemudian menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan sedikit gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dahulu pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Kini mereka bertiga menghadapi Thian Sin, siap-siap dengan golok di tangan, sedangkan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh.

“Pendekar Sadis,” orang yang pertama tadi berkata dengan suara bergetar. “Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami dan menghadap beliau tanpa banyak ribut.”

Thian Sin tersenyum. “Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?”

Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah dulu sebelum menjawab, merasa sukar sekali bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. “Kalau… kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi sesudah matahari terbit, wanita itu akan mati…”

“Wanita…?” Thian Sin pura-pura bodoh.

“Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!” Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. “Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tak akan kalah olehmu dalam hal menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Jika sedikit saja engkau mengganggu kami, maka besok sebelum matahari terbit, kawanmu yang cantik itu akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tak berupa manusia lagi!”

Thian Sin masih bersikap tak acuh. “Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?”

Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang paling menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya lantas melemparkannya ke arah Thian Sin sambil berkata. “Lihat ini!”

Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah hingga ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh.

“Hemm, di manakah dia?”

Orang pertama tertawa, suara ketawanya persis seperti suara burung hantu, lalu berkata, “Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau masih menghendaki dia selamat!”

Thian Sin berpikir sejenak. Dia bisa menduga bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti belum mengetahui bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, akan tetapi dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam.

Dan kini baru dimengerti bahwa ternyata So Cian Ling sudah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, ternyata hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya pergi meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu bisa menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri.

Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya setelah dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini kemudian tidak muncul sampai besok pagi, maka tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka.

“Baiklah, aku ikut dengan kalian!” katanya sambil bangkit berdiri.

“Ha-ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis,” kata orang pertama. “lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, sebab di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu.”

“Kami harus melucutimu dahulu,” kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin kemudian mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang.

“Mari kita berangkat!” kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu.

Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, bagaikan seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus beserta para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi begitu melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Maka mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu.

Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka.

“Sesudah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha-ha!” kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya.

Hemmm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di manakah? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, maka dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tak percuma berjuluk datuk kaum sesat. Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakiti hatinya.

Tiba-tiba saja Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakiti hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu langsung akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan kalau memang demikian halnya, maka tak mungkin kalau Kim Hong akan dibebaskan sesudah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya!

Sekarang mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu sangat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit oleh sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata,

“Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya.”

Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya. “Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu supaya kau… hukkk!” Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan dia pun terjengkang memegangi perut.

Dua orang kawannya kaget bukan main dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat dari pada tangan mereka yang mencabut golok sehingga gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin.

Mereka hanya pingsan tapi tidak mati, karena memang Thian Sin belum ingin membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan. Thian Sin sengaja menunggu sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia akan bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu.

Ketika tiga orang itu siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki dan tangan mereka lumpuh sama sekali, dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin cepat menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang di pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut pada waktu kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis.

“Jangan takut,” bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, “dia tidak akan mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita.”

Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan.

“Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!” kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman.

Si Codet menelan ludahnya, namun dia segera teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam sehingga membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan.

“Hemmm, kau kira aku takut akan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan jika sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis.”

“Begitukah? Kita lihat saja nanti!” Thian Sin berkata.

Dengan cekatan Thian Sin lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lantas dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk sehingga orang itu pun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya dia lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak.

Thian Sin tak menjawab, terus saja menyalakan api unggun hingga asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Kembali dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi makin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya.

Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup, maka dia pun mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tak menghiraukannya, bahkan melihat sedikit pun tidak, melainkan justru menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu supaya bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi di dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak.

“Ahhhhh… akhhh… aku… ahh, lepaskan aku… Pendekar Sadis…”

Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya sambil memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah mulai ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah.

“Aduhhh… panas… panasss… aughhh… dengar Pendekar Sadis… gadismu itu… berada di… pesanggrahan… auhhhhh, lekas turunkan… aku akan mengaku…”

Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu.

“Jelaskan, di mana dia ditahan?”

Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong jika dia berani mengkhianatinya, jika dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan.

“Aku tidak mau tawar-menawar lagi. Apa bila engkau tidak mau mengaku, maka api akan kubesarkan dan tidak ada apa pun yang akan dapat mengubah keadaanmu!”

“Nanti… nanti dulu… dia… dia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami…” Orang itu lalu merintih dan menangis, tahu bahwa dia sudah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andai kata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan.

Namun, karena api unggun itu tidak begitu besar lagi dan biar pun masih mendatangkan panas serta asap tapi tak begitu menyiksanya lagi, maka akhirnya dia pun menghentikan tangisnya, apa lagi setelah melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu kemudian menyeret keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang.

Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, dan mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka dia pun mendahului dengan suara ketawa.

“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tak akan mau berbicara, dan biar engkau membunuh kami sekali pun, tetap saja engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!”

Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan segera menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sinkang-nya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lantas ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang sehingga memasuki lubang dalam keadaan telentang.

Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi setelah Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang dan menimbuninya dari kaki ke atas lalu berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak.

“Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya gemetar.

Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang dia sengaja menimbuninya sampai ke dada saja dan membiarkan bagian muka itu terbuka.

“Katakan di mana adanya gadis itu!” katanya, suaranya halus dan tenang saja, akan tetapi mengandung sikap dingin yang mengerikan.

Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, sungguh pun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap.

Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, dari suara tawanya memang agaknya tidak takut mati. “Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kau bunuh sekali pun, kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak turut bersama kami menghadap See-thian-ong? Ha-ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!”

Thian Sin mengerutkan kedua alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia terus menahan diri, kemudian mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot.

Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis. Akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walau pun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mau mengaku.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12