Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 29



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 29


MESKI pun orang pertama sudah mengaku, akan tetapi Thian Sin masih belum puas, dan hatinya masih belum yakin benar. Orang-orang semacam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja.

Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya semakin berkurang setelah mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup.

Si Codet memejamkan kedua matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup dari pada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal sudah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang karena dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu.

Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis dari pada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiri pun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu sungguh berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus, tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!

Sesudah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu sekarang bergunduk berupa sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.

“A-ciang…!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah itu sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang…! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri.

Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andai kata temannya dapat mendengarnya sekali pun, tentu teman itu sudah tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.

Si Codet tak lagi memanggil pada saat Thian Sin sudah kembali datang dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan ketiga orang itu. Orang ini mempunyai kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu amat mirip dengan muka seekor monyet.

Saat Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan.

“Pendekar Sadis, apa yang kau lakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya.

Thian Sin tak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia dapat melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sute-nya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sute-nya tadi tentu sudah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sute-nya itu belum mati, maka dia bertanya,

“Tauw-sute, di mana Ciang-sute?”

Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba sepasang mata A-tauw itu terbelalak bagaikan orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan dia pun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kini kepala yang penuh dengan tanah itu keluar, matanya berkedip-kedip akibat kemasukan tanah, bibirnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula.

Ternyata Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati. Ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah sehingga dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.

Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku?”

Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu lalu memaki dengan suara seperti orang yang lehernya dicekik, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin.

Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan laksana harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan hanya dengan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang sudah tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.

“Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam hendak menyiksa kawanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong serta seluruh anak buahnya pun akan kusiksa sampai mati semuanya. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.”

Berkata demikian, tiba-tiba saja leher Si Muka Monyet itu sudah dibelit sabuknya sendiri lantas sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin sudah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya!

Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu sudah menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar, kemudian tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya.

Thian Sin melepaskan ujung sabuk hingga tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap bagai ikan yang dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.

“Nah, apa yang hendak kau katakan?” katanya kemudian.

“Gadis itu… dia… ditawan… di pondok merah… dekat Telaga Ching-hai…”

Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau ada dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasannya. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu langsung menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka sudah tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, dan yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya!

Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya untuk berlari menuju ke Telaga Ching-hai!


                ***************


Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, dia pun mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri lalu pada saat dia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika dia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah dia bahwa dia sudah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.

Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Dia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa dia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih hidup. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan memiliki suatu rencana kenapa dia masih dibiarkan hidup. Dan selama dia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.

Pandang matanya menyatakan bahwa dia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Dia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana dia rebah miring.

Kedua kakinya bebas, akan tetapi sepasang lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah dia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi itu telah melukai sepasang pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat.

Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, dia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apa lagi bermusuhan. Jelaslah bahwa dia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.

Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong bisa menduga bahwa tentu dia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan dia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya serta berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal inilah yang dikehendaki oleh pihak musuh, yaitu memancing datangnya Thian Sin.

Ini berarti bahwa dia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa dia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sin-lah yang terancam. Dia harus bisa lolos untuk memperingatkan Thian Sin!

Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di pinggir pembaringan. Pertama-tama, dia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, maka dia masih akan dapat menjaga dan melindungi dirinya.

Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya dua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapa pun juga, dia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Dia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.

Namun hal ini jauh lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan. Dengan pengerahan sinkang, mungkin saja dia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu dia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan apa bila urat besarnya yang sampai terluka, maka dapat berbahaya juga.

Apa lagi ketika dia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, dia pun memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidak-tidaknya harus ada bantuan tangan orang lain yang membukanya.

Kim Hong bangkit lantas memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan, meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.

Lebih dari dua jam dia bekerja, mengerahkan tenaga, tapi hasilnya baru sedikit saja, baru mulai bisa merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh-sungguh memakan banyak sekali tenaga di dalam badan.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya, maka Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.

Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang semuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja dia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang hendak dipancing dan dijebak, tentu dia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi dia menahan dirinya.

Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Apa bila mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek.

Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah dia pun bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Salah seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.

Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walau pun tingkatnya belum setinggi tingkat para suheng-nya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia serta dua orang sute-nya yang bertugas menjaga di situ mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong.

Si Jangkung tersenyum mengejek pada waktu melihat gadis itu agaknya hendak melawan akan tetapi tidak berdaya. Dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka pada pergelangan lengannya.

“Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?”

“Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?”

Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.

“Nona manis, simpanlah kegalakanmu itu. Sekarang engkau sudah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.”

“Ahhh…!” Dengan sengaja Kim Hong menunjukkan kekagetannya dan juga menunjukkan rasa takut.

Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba-coba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.”

Kim Hong masih menunjukkan sikapnya yang ketakutan, kemudian dia pun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?”

Dia disuruh berjalan di muka, sementara tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biar pun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin sekali bahwa dengan kedua kakinya saja, dia akan mampu merobohkan tiga orang ini.

Akan tetapi hal ini tidak dia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, dia tak akan mau bertindak sembrono karena dia akan gagal jika harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan sepasang tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini dia harus menggunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.

Ruangan itu sangat luas. See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam dia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia pun memandang marah.

“Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.

Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi dia segera menegakkan kepalanya lalu memandang kepada See-thian-ong, kini sedikit pun tidak menunjukkan rasa takut. Baru sekarang inilah dia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih terlihat gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar serta berkulit hitam ini. Selama dia menjadi Lam-sin, dia baru mendengar nama saja dari ‘rekan’ ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.

“Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.

Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis, yang berpakaian mewah dan pesolek, ada pun di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini adalah murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik.

Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.

Melihat So Cian Ling juga berada di situ, Kim Hong yang tadinya tak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?”

See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya sangat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapa pun banyaknya arak memasuki perutnya.

“Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkau pun cukup manis. Siapakah namamu, nona?”

“Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.

She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka dia pun tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka dia she Kim dan bernama Hong.

“Nama yang manis, seperti juga orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Kini nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.”

“Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.

“Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya bila Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandangan mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, secara diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Dia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suheng-nya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja dia merasa iri sekali.

“Perempuan rendah,” kata So Cian Ling, “kau dengarlah baik-baik. Kami sudah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Apa bila sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan hingga mati. Pertama-tama, engkau akan diberikan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!”

Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah semua masalahku. Namun engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, hingga engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik dari pada nasibmu.”

“Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.

“Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong mencegah sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu dia mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku sangat kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuk dia!” perintahnya kepada seorang murid.

Salah seorang di antara murid-muridnya yang ikut mengurung tempat itu segera maju. Dia membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.

“Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.

Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti serta daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja dia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena dia tak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar.

Dia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Jika menuruti hatinya, tentu saja dia lebih baik memilih mati dari pada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik.

Dia bisa menduga bahwa mereka semua ini amat membenci Thian Sin, kecuali Cian Ling mungkin, tetapi Cian Ling pun tentu saja amat membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat dia terhina, juga ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas.

Kalau dia menolak suguhan ini, berarti dia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini akan sangat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai dia kelaparan, maka dia akan lemas dan ilmu silatnya pun tidak akan mampu menolong tubuh yang kelaparan.

Maka Kim Hong lalu memusatkan pikiran, mendiamkan pikirannya hingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, kemudian dia pun lalu menekuk tubuhnya ke depan.

“Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.

Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang telah dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan bagaikan seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring sehingga perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanyalah merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!

Biar pun agak sulit, karena piring itu kadang-kadang terdorong ke depan hingga terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Kini badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering sehingga dia ingin sekali minum.

“See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”!

“Ha-ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali.

Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu maka sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lantas mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.

Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Ia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari ketiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu, dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu.

Tidak sulit menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, dia segera memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.

Dengan lindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk. Kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong, dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng sesudah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang.

Apa bila menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, dia pun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia langsung dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia bisa menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk dapat melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong.

Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Jika saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati!

Jika See-thian-ong cerdik, tentu Kim Hong akan dibunuhnya seketika itu juga, tidak malah mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dia pun sudah mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.

Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, maka padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.

“Sekarang bawa dia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak cukup berharga untuk menjadi lawan yang ditakuti. “Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!”

Maka terhindarilah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguh pun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Dia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa dia akan diperkosa oleh dua puluh orang kalau Thian Sin tidak muncul, justru merupakan pertanda bahwa apa bila Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu dia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi.

Tak ada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan dia seperti itu. Akan tetapi jika Thian Sin terkena pancingan lalu datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan dia diperkosa oleh banyak orang di hadapan matanya. Hal ini dia yakin benar!

Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, malah membiarkan dia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika dia kelak ‘dibantai’ oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.

Sementara itu, Thian Sin terus mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka dia pun dengan cepat dan berhati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, lalu mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan.

Pada saat mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng kemudian mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.

“Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok,” Si Muka Bopeng berbisik. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi berusaha ditahannya dan dia bergegas memasuki kamar tahanan itu.

“Nanti dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong.

Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu dua pergelangan tangan Kim Hong agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong sehingga gadis ini menggigit bibirnya.

Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih dia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan dari pada kekurang ajaran dua orang temannya.

“Awas, nanti kau akan kubunuh lebih dulu…!” kata suara hati Kim Hong saat Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

Thian Sin sempat melihat ini semua. Tangannya pun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil kawan-kawannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Dia pun lalu meneliti keadaan kamar itu.

Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang bagian atasnya berjeruji. Tak mungkin untuk memasuki dari pintu. Maka dia pun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu sangat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apa lagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal.

Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan itu. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia pun dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga paku itu terlihat, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu.

Dan akhirnya berhasillah ia membongkar papan persegi selebar satu meter itu, kemudian mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.

Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang telah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lantas gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu.

Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka dia pun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan ‘aman’. Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara.

Tanpa berbicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian dia pun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua pergelangan lengan kekasihnya. Untuk sejenak Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.

“Mereka sedang bermain kartu…,” bisiknya.

“Hanya bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.

“Kita pancing mereka masuk,” kata Thian Sin.

Kim Hong mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan orang yang terdekat dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang.

Diam-diam Thian Sin amat kagum. Tak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, sebab sikapnya memang bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seperti seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.

Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada lengannya lantas rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah menggunakan darah yang membasahi kedua tangannya, dioleskan pada pipi serta dahinya dan sekarang dia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu. Dia merintih-rintih lirih.

Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu, yang kemudian bergegas bangkit menuju pintu kamar tahanan sehingga nampaklah wajah tiga orang penjaga itu. Si jangkung dan teman-temannya terkejut sekali dipan sudah terguling, apa lagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah.

“Celaka… dia membunuh diri…,” kata si jangkung yang cepat-cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya. Si jangkung cepat menghampiri Kim Hong lalu berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu.

Pada saat itu, selagi si jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.

Kim Hong menyambut si jangkung yang berjongkok itu dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggota kelamin orang itu lalu pada detik berikutnya, pada waktu si jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong sudah menyambar ke arah tenggorokan.

“Krekkk!”

Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluarnya teriakan si jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah cepat menyambarnya.

Pada detik yang hampir bersamaan, nampak pula cahaya perak berkelebat dua kali dan dua orang penjaga lainnya sudah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya cahaya pedang menyambar sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriak pun tidak sempat lagi karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka ini pun roboh dan cepat disambar oleh tangan Thian Sin sebelum berdebuk.

“Bagaimana pergelangan tanganmu?” bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan semua mayat itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Dara itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakannya.

“Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya,” jawabnya.

“Tidak nyeri kalau digerakan? Kita akan menghadapi banyak lawan tangguh.”

“Tidak, dan aku sudah siap sedia menghadapi mereka.”

“Bagus. Nih, kau pakai pedangku……”

“Tidak perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas.”

Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah dia mencoba memutar-mutar sepasang pedang itu dan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, “Mari, aku sudah siap!”

Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.

“Engkau tadi tidak takut…..?” Thian Sin bertanya dengan bisikan.

“Tidak, sejak tadi aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, aku pun tentu akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa untuk membukakan belenggu ini,” jawab Kim Hong tenang.

Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu. Meski dengan kedua pergelangan lengan terbelenggu sekali pun Kim Hong pasti akan dapat membunuh mereka bertiga itu.

“Sekarang marilah kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya terhadapmu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!” kata Thian Sin.

“Kita harus berhati-hati, jangan sampai kita melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia dan berbahaya.”

“Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk kita bunuh,” kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok sekali dengan rencananya.

Kini setelah langit-langit itu berlubang, tentu saja keduanya dengan mudah bisa meloncat dan menerobos melalui lubang lantas menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas, Thian Sin lalu berbisik,

“Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak.”

Kim Hong mengangguk dan mereka pun berpencar. Tidak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga sehingga keadaan menjadi panik. Apa lagi ketika terdengar pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.

See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang sudah melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran.

Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lainnya, dia lalu melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang sudah mengamuk dari dua jurusan itu.

See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah cahaya api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, maka kedua orang muda itu langsung terkepung.

Thian Sin segera menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.

“Hemmm, ternyata See-thian-ong yang kabarnya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu…!” kata Kim Hong.

“Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!” Thian Sin menambahkan.

Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Sepasang matanya melotot seakan-akan dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.

“Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!” bentaknya.

“Wah, betulkah? Apakah ada yang dapat mengantarku ke kematian? Hemmm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali.

Akan tetapi, biar pun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah padanya. Maka dia pun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan satu tingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!

“Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!”

Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seakan-akan melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.

Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek dan tidak memegang senjata, maka belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlomba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang lagi dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam sudah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!

Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan dia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggota rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan.

“Tokkk!”

Hanya terdengar suara itu dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar.

“Plakk-plakk!”

Kembali terdengar suara dan kedua orang itu pun roboh dengan kepala retak. Lima orang itu pun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!

Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan terkejut bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas hanya dalam satu gebrakan saja, menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing.

Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar telah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal amat lihai dalam permainan tongkat Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuh gadis itu, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka.

Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu dia bergerak, semua orang segera terkejut sebab tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya tampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah yang muncrat di sana-sini lalu sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Sesudah dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya!

See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut sekali, lalu mengerutkan alisnya dan membentak, “Bukankah itu adalah Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” bentakan ini lantas disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam.

Betapa pun juga, Lam-sin boleh dibilang masih ‘rekannya’, sama-sama datuk kaum sesat. Karena itu, jika sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia merasa penasaran sekali.

“Hei, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kau hadapi itu?” kata Thian Sin mengejek.

See-thian-ong terbelalak, akan tetapi dia masih belum mengerti benar, atau kalau pun dia telah mengerti, dia sama sekali tak percaya. “Tapi… Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh…!” katanya.

“See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa semalam engkau memperlakukan aku sebagai anjing?”

Wajah See-thian-ong menjadi pucat sekali. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan semalam dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin sedang mempermainkannya, atau sengaja menggunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.

“Siapa pun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah.

Hawa pukulan yang sangat dahsyat menyambar. Kim Hong cepat mengerahkan sinkang untuk menyambutnya, dengan mengerahkan Ilmu Bian-kun (Ilmu Tangan Kapas). Tenaga sinkang yang saat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekali pun tanpa terluka.

“Plakkk!”

See-thian-ong terkejut sekali pada saat merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan dia pun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang telah menyambar ganas.

“Benarkah… engkau… Lam-sin…?” See-thian-ong berseru, kaget bukan kepalang karena dia pun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin.

“Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!”

“Nona, jawablah, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mukjijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat dia pun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.

“Aku… aku…”

“See-thian-ong, manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini adalah lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut lantas melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu.

“Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru.

See-thian-ong mengangguk, maka Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar pada tangan kanan serta rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang dara ini berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya kembali di balik punggung setelah dia merobohkan semua pengeroyok.

SEMENTARA itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, secara diam-diam telah mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, lalu tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur, “Ceng Thian Sin, engkau tidak akan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!”

Dengan jari-jari terbuka sepasang tangannya dikembangkan ke depan, dengan seluruh jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang sangat kuatnya, mempunyai daya sihir yang sangat berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa!

“Ha-ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!”

Kakek itu maklum bahwa sekarang musuhnya ternyata telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!”

Begitu menyerang, See-thian-ong langsung mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak, dan saat kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin.

Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek ini pun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dahulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, sekarang ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin yang beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya.

Namun Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin yang dulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi semua ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekali tak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Namun sesudah mereka menyerang secara bertubi-tubi dengan cara yang sangat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lima orang ini bila maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya.

Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang sangat kuat, ada kalanya mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) tetapi kadang kala berubah pula menjadi barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera dia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya.

Karena itu Kim Hong terpaksa mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu, kemudian melawan lima naga dari Ching-hai dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, pada satu pihak pertandingan antara Thian Sin dengan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.

Betapa pun lihainya Ching-hai Ngo-liong, menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja mereka tidak cepat saling melindungi kembali.

Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh sangat berbahaya. Kalau saja semalam semua senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tak dirampas musuh, tentu semenjak tadi telah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.

Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini merasa bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang kini menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Dia merasa bahwa dia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan berat itu, boleh dibilang bantuannya tak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hong pun dia merasa bahwa tenaganya terlampau lemah.

Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga merasa bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu malah akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya.

Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin kini mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menunjukkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Sesudah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa kini lawannya ini sungguh tangguh sekali, jauh lebih lihai dari pada satu setengah tahun yang lalu.

Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh sangat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Jauh lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dalam keadaan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri dari pada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam.

Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia sudah mempelajari secara salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa jika terus dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri.


cerita silat online karya kho ping hoo


Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu, dan mau tidak mau kadang-kadang tanpa disengaja dia teringat lantas mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung sehingga sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walau pun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.


See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, semenjak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi sesudah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapa pun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!

“Singgggg…!”

Demikian kuatnya ia menyambar kemudian menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya segera bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang.

Thian Sin tersenyum mengejek. Akan tetapi pemuda ini langsung maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo Pang-hoat, maka biar pun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya agar supaya bisa menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya dia mampu menggungguli See-thian-ong, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosong pun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.

Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong itu juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong dibuat sibuk sekali hingga pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.

Melihat ini, Cian Ling tak dapat tinggal diam saja. Biar pun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat dia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, dia masih setingkat lebih lihai dari pada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Dia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan apa bila bekerja sama, tapi kini kerja sama mereka sudah kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya.

Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka dia segera menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan.

Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi telah hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan.

Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.

Melihat isterinya yang juga sumoi-nya itu sudah terjun pula ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa tadi gurunya sudah terdesak hebat, dan kini setelah gurunya menggunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu.

Ciang Gu Sik lalu menyiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang sangat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.

Kini See-thian-ong mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih sangat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan dia pun maklum bahwa sekali ini, jika dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiri pun agaknya tidak akan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat.

Maka, sesudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, dia pun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menubruk ke depan. Tongkatnya menyambar-nyambar secara ganas, mencurahkan seluruh perhatian untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan segenap tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.

Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!

“Dukkk…!”

Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, namun karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, maka pukulan itu tidak melukainya.

“Desss…!”

Pada detik berikutnya pundak Thian Sin disambar oleh ujung joan-pian, membuat bajunya robek, juga kulit serta sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa tadi dia masih sempat melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu hanya mengenai pundaknya.

Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada waktu Thian Sin sedang menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhu-nya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga sepenuhnya, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu tengah ditinggalkan kekuatan sinkang sebab baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak mampu melindungi pundaknya yang akhirnya terluka oleh senjata itu.

Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik. Akan tetapi murid See-thian-ong yang amat cerdik ini sudah cepat meloncat jauh ke belakang sehingga dapat terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia telah menerjang kembali dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri sehingga membuat dia marah.

Seperti kita ketahui, tadi Cian Ling turut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong. Pada waktu dia melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suheng-nya, wanita ini menjadi amat khawatir. Bagaimana pun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian hingga berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik.

Kini, ketika melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu tetap bersiap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, secara tiba-tiba Cian Ling menjadi marah Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.

Tanpa banyak cakap lagi, Cian Ling cepat meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang sudah bisa mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lantas menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu, bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, namun untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping!

Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu adalah untuk menyerang dirinya, maka dia pun tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu telah menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak, kemudian terbelalak memandang pada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.

Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba saja See-thian-ong menubruk ke depan sambil memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang!

Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya, tahu-tahu Cian Ling sudah kena terpukul dadanya hingga wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan dia pun terguling roboh tak jauh dari isterinya.

“Cian Ling… kenapa kau… kau membunuhku…?”

“Suheng… maaf… aku cinta padanya…”

Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas serta pedang Gin-hwa-kiam, lalu dia menyerang See-thian-ong secara hebat. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya sambil membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian.

Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sejak tadi dia telah dapat merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dia anggap cukup hebat itu, dan pula, dia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya.

Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, maka dia pun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi tidak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin kemudian terkena serangan mendadak dari Gu Sik hingga pundaknya terluka.

Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu sehingga lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apa lagi sekarang Cian Ling sudah tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika.

Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut ketiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itu pun roboh dengan jantung tertembus pedang!

Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong sempat melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya lalu mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka dia pun mengambil senjata rahasia ini.

Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih sanggup melawan dengan tidak kurang kuatnya dari pada tadi.

“Thian Sin, engkau mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” Kim Hong berkata dengan suara gembira.

Thian Sin meloncat ke belakang. Apa bila dilanjutkan, tentu saja akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia juga tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu untuk mencoba kepandaian datuk barat!

“Maju dan cobalah macan tua ompong ini!” katanya.

Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.

See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya sudah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini demikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!

“Tranggg!”

See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, kemudian dia membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?”

Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada tinggal Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.

“Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!”

“Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa bahwa kini aku bukan lagi Lam-sin, namun gadis biasa saja, Toan Kim Hong yang hendak mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!”

“Bagus, bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu telah menerjang dengan dahsyatnya.

Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka meski pun nanti dia akan kalah, bila dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, maka puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya kenapa kakek itu lalu mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.

Thian Sin cepat menghampiri Cian Ling lantas memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali ketika melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, dia lalu tersenyum.

“Cian Ling…!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?”

“Thian Sin… aku… aku cinta padamu… aku tidak tahan melihat engkau terancam… dan aku… tidak dapat hidup… tanpa engkau…”

Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan terhadap gadis ini. Bagaimana pun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguh pun dia suka sekali padanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?

“Ciang Ling…” Thian Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang.

Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dengan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, maka dia pun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan dia pun bangkit berdiri.

“Thian Sin…”

Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.

“Kau… kau cinta padanya…?”

Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini sehingga dia pun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walau pun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itulah yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.

“Ahhh… dia… dia bahagia… aku… aku… iri kepadanya…”

Nafas gadis itu tinggal satu-satu sehingga Thian Sin memandang dengan hati iba sekali. “Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia membesarkan hati gadis itu.

Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin… maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman…”

Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba maka dia pun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, lantas kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu pula Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada waktu dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.

Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main ketika melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tak sempat mengelak, maka dia menangkis dan…

“Desss…!” Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.

“Ehhh… kau sudah gila…?”

“Engkaulah yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya!

Thian Sin menangkis beberapa kali, kemudian meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata ginkang dari gadis ini yang paling hebat maka dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong!

Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang Kim Hong yang sedang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan dia mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.

Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.

“Dessss…!”

Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang lantas dia pun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.

“Engkau telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu.

Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. “Ehh, kenapakah…?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum. “Ehhh, apakah engkau… marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, dia… dia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman. Kini dia telah mati, harap kau tidak cemburu!”

“Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampus pun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Jika memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!”

Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka dia pun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!

“Hemm, kalian tak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan… terdengarlah suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi!

Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tak dapat melarikan diri. Maka, dari pada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!

Thian Sin segera mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia pun menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tak melihat Kim Hong lagi di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkan dia dan pergi entah ke mana.

“Kim Hong…!” Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia saja, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.

Dan akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong beserta anak buahnya. Akan tetapi tempat itu sudah menjadi sunyi sekali. Kebakaran sudah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tak ada seorang pun berada di tempat itu.

Ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, juga tidak nampak seorang pun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong sudah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.

Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama kalangan kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa-sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu.

Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu.

Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan sanggup mengalahkan See-thian-ong bahkan juga mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk serta semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.

Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuh datuk itu dan para muridnya itu mestinya sangat menggembirakan hati Thian Sin. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau gembira, bahkan merasa gelisah dan bingung. Dia tahu, semua ini disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit.

Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian serta kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah hal ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia berjumpa dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah hal ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?

Thian Sin mengeraskan hatinya. Bila Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, maka dia pun tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apa pun!

Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, jika seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan, hubungan itu pun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biar pun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.

Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja apa bila Kim Hong tidak ingin berjumpa dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari semuanya itu, Kim Hong memiliki ginkang yang lebih tinggi dari pada dia sehingga andai kata dia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri maka dia tak akan mampu mengejar dan menyusulnya.

Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, dia pun lalu pergi menuju ke Tai-goan.

Dia sudah berhasil menundukkan dua orang di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong sudah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itu pun merupakan musuhnya, dan kali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.

Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan amat tidak menyenangkan. Dahulu dia pernah merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu setelah dia memperoleh kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, dari pada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, kemudian timbullah perasaan kesepian yang akhirnya menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara.

Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan perasaan kosong dan sunyi. Dia sering membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia sudah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap penjahat!

Dia memang sudah berniat hendak membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, jika semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan.

Thian Sin mengenang hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama, wanita yang berdekatan dengan dia adalah Bhe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang menjadi cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya.

Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia merasa amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang sudah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih dari pada wanita-wanita lain sebelumnya.

Lantas ada pula Bin Biaw, yakni puteri tunggal Tung-hai-sian yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di sana hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul Ang Bwe Nio anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dibuntungi hidungnya karena telah menghianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.

Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu birahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semuanya itu mendatangkan duka, setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperistrinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperistri dara itu gagal.

Apakah perasaan kepada Lian Hong itu adalah cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu birahi belaka? Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!


                ***************


Tai-goan adalah kota besar ke dua setelah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Huang-ho.

Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka hubungan antara Kota Tai-goan dan kota-kota lainnya tentu saja menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat dilalui air, dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Huang-ho, sangatlah luasnya. Karena hubungan daerah dan kota-kota lainnya amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.

Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, telah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke kota raja! Dan tentu saja berita ini telah pula terdengar oleh Pak-san-kui!

Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia mempunyai banyak perusahaan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi serta rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang semua adalah miliknya, atau kalau pun milik orang lain, tentu berada dibawah kekuasaannya.

Datuk kalangan sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong.

Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw serta para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).

Saat mendengar tentang terbunuhnya See-thian-ong dan murud-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu.

Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han How itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Walau pun selama ini, sejak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan menggunakan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.

Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah seorang muda, dan alangkah mudahnya bagi seorang pemuda untuk mendapatkan kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Karena itu dia pun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.

“Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah si Pendekar Sadis, dan jika benar demikian, sudah tentu pada suatu hari dia akan muncul di sini,” kata Pak-san-kui.

“Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, kita takut apa? Dahulu pun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua dan dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, terlebih kalau kita mengerahkan sepasukan orang-orang pilihan lagi, tentu kita akan sanggup membekuknya! Kiraku, kita berlima saja akan cukup untuk membekuknya, betapa pun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?”

Pak-thian Sam-liong mengangguk. “Betul sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri, sudah setingkat, apa lagi kalau kita berlima maju bersama-sama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau bahkan membunuhnya sekalian.”

Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya ini, legalah hati Pak-san-kui. “Betapa pun juga kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,” katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat-cepat menyatakan kesanggupan mereka.

“Wi Hong,” katanya kepada puteranya. “Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun dan undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan.”

“Baik, ayah.” Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.

Siong-ciangkun atau komandan Siong adalah orang yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan mau pun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan yang baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Dia pun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi kemungkinan datangnya Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.

Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak menampakkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sin, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan tak lupa dia menyerahkan bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat.

Seratus orang anggota pasukan pilihan segera dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini, lalu mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, dan terutama sekali segera menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota. Hanya repotnya bagi para petugas ini adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis.

Pak-san-kui sendiri belum berani memastikan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itu baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Dia pun tak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis?

Maka dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang sudah terang menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan apa bila Pendekar Sadis bukan Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seseorang yang berbahaya dan sama sekali belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.

Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan. Para anggota pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!

Thian Sin juga bukan orang yang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka meski pun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun dia pun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri.

Maka sebelum pergi ke tempat lain, lebih dahulu dia mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di tempat penginapan karena biar pun dia bisa mempergunakan nama palsu, dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui tentu akan mengetahui tempat itu.

Dan hatinya pun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang bekerja sebagai kuli pengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu ditempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam rombeng.

Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu oleh kenalan-kenalan, maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap supaya jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberi tahukan kepada siapa pun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.

Sesudah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah perkotaan yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja telah menimbulkan selera, maka dia pun lalu memasuki rumah makan itu.

“Selamat sore, kongcu,” seorang pelayan menyambutnya dengan manis. “Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?”

Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa di dalam ruangan itu telah banyak juga tamunya, maka dia pun menjawab bahwa dia ingin makan di loteng. Pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin tiba-tiba berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!

“Kenapa, kongcu?” pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya ketika melihat pemuda itu berhenti.

“Aku tidak senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,” kata Thian Sin.

“Baik, kongcu,” kata pelayan itu yang segera turun kembali.

Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja. Dia sempat melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika mengenal pemuda itu.

Andai kata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yangkim yang tergeletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang kemana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga menjadi senjatanya yang ampuh itu?

Dan Kim Hong duduk satu meja dengan pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang sangat lihai! Cepat dia pun turun dari tangga loteng itu dan memilih tempat duduk ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan.

Ketika pelayan datang sambil membawa masakan yang dipesannya, Thian Sin langsung membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan sangat perlahan-lahan, sama sekali tidak merasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seakan-akan dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan mesra dengan Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas.

Baru saja selesai makan, ia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak saling bergandengan tangan, akan tetapi lantas terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itu pun cukuplah bagi Thian Sin untuk menumbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti ‘ada apa-apa’ antara mereka itu. Dan mereka pun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sejak tadi sudah menanti di luar restoran....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12