Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 29
MESKI pun
orang pertama sudah mengaku, akan tetapi Thian Sin masih belum puas, dan
hatinya masih belum yakin benar. Orang-orang semacam ini, orang-orang golongan
hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh
dipercaya begitu saja.
Akan tetapi,
Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya semakin
berkurang setelah mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka
mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali
tertutup.
Si Codet
memejamkan kedua matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras
kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup dari pada harus mengaku itu. Dia
tidak menyesal sudah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu
sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang karena dibakar hidup-hidup
oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu.
Si Codet itu
berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis dari pada tindakan
Pendekar Sadis ini. Dia sendiri pun sudah biasa bertindak kejam, juga
teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu sungguh berbeda dengan
kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian
halus, tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya
menyiksa orang berdosa saja!
Sesudah
menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah
terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu sekarang bergunduk berupa sebuah
kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.
“A-ciang…!”
Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah itu sambil memandang dengan
mata melotot. “A-ciang…! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya
dengan hati ngeri.
Ingin dia
memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andai
kata temannya dapat mendengarnya sekali pun, tentu teman itu sudah tidak mampu
menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.
Si Codet tak
lagi memanggil pada saat Thian Sin sudah kembali datang dari gubuk sambil
menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan ketiga orang
itu. Orang ini mempunyai kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan
merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar
sehingga muka itu amat mirip dengan muka seekor monyet.
Saat Thian
Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan
mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu.
Dia terbelalak dan nampak ketakutan.
“Pendekar
Sadis, apa yang kau lakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya.
Thian Sin
tak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini
semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan
kepala di bawah itu. Dia dapat melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan
asap di bawah sute-nya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sute-nya tadi tentu
sudah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sute-nya itu belum mati, maka dia
bertanya,
“Tauw-sute,
di mana Ciang-sute?”
Yang ditanya
hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba sepasang mata A-tauw itu
terbelalak bagaikan orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke
arah kuburan baru itu dan dia pun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu
bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan
tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk,
kini kepala yang penuh dengan tanah itu keluar, matanya berkedip-kedip akibat
kemasukan tanah, bibirnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah
pula.
Ternyata Si
Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati.
Ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah sehingga
dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.
Thian Sin
menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku?”
Akan tetapi
Si Jenggot Panjang itu lalu memaki dengan suara seperti orang yang lehernya
dicekik, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian
Sin.
Keadaannya
sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi,
terjangannya yang disertai gerengan laksana harimau itu tentu saja dengan mudah
dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan hanya dengan sekali dorong
saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang
terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan
tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang sudah tidak lagi mampu
bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.
“Kalian
datang untuk menangkapku dengan mengancam hendak menyiksa kawanku itu? Baiklah,
mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong serta
seluruh anak buahnya pun akan kusiksa sampai mati semuanya. Dan kalian
memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah
pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi
tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.”
Berkata
demikian, tiba-tiba saja leher Si Muka Monyet itu sudah dibelit sabuknya
sendiri lantas sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin sudah
melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung
pada lehernya!
Ketika
melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya sehingga tubuh
itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu sudah menjadi merah dan agak
membiru, lidahnya terjulur keluar, kemudian tiba-tiba Si Muka Monyet
menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Thian Sin
melepaskan ujung sabuk hingga tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan
tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap bagai
ikan yang dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara,
hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk
menanti dengan tenang.
“Nah, apa
yang hendak kau katakan?” katanya kemudian.
“Gadis itu…
dia… ditawan… di pondok merah… dekat Telaga Ching-hai…”
Kini Thian
Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau ada
dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba
dia menggerakkan golok rampasannya. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak
sempat memekik lagi karena sinar golok itu langsung menyambar ke arah leher
mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka sudah tewas dengan leher
putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, dan yang seorang lagi dengan
tubuh masih tergantung pada kakinya!
Thian Sin
membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi
mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya untuk berlari
menuju ke Telaga Ching-hai!
***************
Ketika Kim
Hong membuka kedua matanya, dia pun mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri
lalu pada saat dia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling
nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh
sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan
tangannya! Seketika dia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar.
Teringatlah dia bahwa dia sudah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.
Dengan
tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Dia harus tenang dan tidak panik,
itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa dia
berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan
harapan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih hidup. Dan itu berarti
bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan memiliki suatu rencana
kenapa dia masih dibiarkan hidup. Dan selama dia masih bernapas, berarti masih
ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.
Pandang
matanya menyatakan bahwa dia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat
dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu
besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Dia tidak akan
kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya
ada sebuah dipan besi di mana dia rebah miring.
Kedua
kakinya bebas, akan tetapi sepasang lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari
tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah dia bahwa kedua lengannya itu
diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi itu telah melukai
sepasang pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah
jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat.
Thian Sin
menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang
mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, dia dipancing dan
dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apa lagi bermusuhan.
Jelaslah bahwa dia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin.
Otaknya yang
cerdik itu diputarnya dan Kim Hong bisa menduga bahwa tentu dia ditawan untuk
dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan dia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti
akan mencarinya serta berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal
inilah yang dikehendaki oleh pihak musuh, yaitu memancing datangnya Thian Sin.
Ini berarti
bahwa dia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh
tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa dia sendiri untuk sementara waktu
ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sin-lah yang terancam. Dia
harus bisa lolos untuk memperingatkan Thian Sin!
Dengan
hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di pinggir pembaringan. Pertama-tama,
dia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan
tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, maka dia masih akan
dapat menjaga dan melindungi dirinya.
Agaknya
pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya dua tangannya saja
yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapa pun juga,
dia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga
mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Dia harus melepaskan belenggu
kawat berduri itu.
Namun hal
ini jauh lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan. Dengan pengerahan
sinkang, mungkin saja dia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi
untuk itu dia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan apa bila urat
besarnya yang sampai terluka, maka dapat berbahaya juga.
Apa lagi
ketika dia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, dia pun
memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tak mungkin dapat dipatahkan
begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidak-tidaknya harus ada
bantuan tangan orang lain yang membukanya.
Kim Hong
bangkit lantas memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras
yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka dia pun lalu
menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang
itu ke dekat kaki dipan, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan kawat itu pada
kaki dipan, meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.
Lebih dari
dua jam dia bekerja, mengerahkan tenaga, tapi hasilnya baru sedikit saja, baru
mulai bisa merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar.
Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang
dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh-sungguh memakan
banyak sekali tenaga di dalam badan.
Tiba-tiba
terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang
tajam dapat menangkapnya, maka Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya
lagi, miring seperti tadi.
Yang masuk
adalah tiga orang laki-laki yang semuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka,
tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup
tinggi. Kalau saja dia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang hendak dipancing
dan dijebak, tentu dia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan
tetapi dia menahan dirinya.
Ia merasa
yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat
betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Apa bila
mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya
yang dirobek.
Maka Kim
Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar.
Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan
susah payah dia pun bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Salah
seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.
Kim Hong
bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si
Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya mempunyai kepandaian yang
cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walau pun tingkatnya belum
setinggi tingkat para suheng-nya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia serta
dua orang sute-nya yang bertugas menjaga di situ mempunyai kepandaian yang
cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai
Ngo-liong.
Si Jangkung
tersenyum mengejek pada waktu melihat gadis itu agaknya hendak melawan akan
tetapi tidak berdaya. Dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka
pada pergelangan lengannya.
“Tak perlu
engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona,
siapakah namamu?”
“Persetan
dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau
apa?”
Si Jangkung
tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
“Nona manis,
simpanlah kegalakanmu itu. Sekarang engkau sudah menjadi tawanan dari Locianpwe
See-thian-ong.”
“Ahhh…!” Dengan
sengaja Kim Hong menunjukkan kekagetannya dan juga menunjukkan rasa takut.
Tiga orang
itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan
nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba-coba untuk melawan,
nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu
denganmu.”
Kim Hong
masih menunjukkan sikapnya yang ketakutan, kemudian dia pun mengangguk seperti
orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?”
Dia disuruh
berjalan di muka, sementara tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil
menodongkan pedang. Biar pun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa
yakin sekali bahwa dengan kedua kakinya saja, dia akan mampu merobohkan tiga
orang ini.
Akan tetapi
hal ini tidak dia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, dia tak akan mau
bertindak sembrono karena dia akan gagal jika harus berhadapan dengan
See-thian-ong dengan sepasang tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah
mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya
ini dia harus menggunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan
nekad.
Ruangan itu
sangat luas. See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita
itu. Diam-diam dia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan
tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau
malah isteri Ceng Thian Sin, dia pun memandang marah.
“Duduk!”
bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai.
Gadis itu
jatuh berlutut, akan tetapi dia segera menegakkan kepalanya lalu memandang
kepada See-thian-ong, kini sedikit pun tidak menunjukkan rasa takut. Baru
sekarang inilah dia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan
tetapi masih terlihat gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar serta
berkulit hitam ini. Selama dia menjadi Lam-sin, dia baru mendengar nama saja
dari ‘rekan’ ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.
“Nona,
engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.
Kim Hong
tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu
duduk seorang wanita cantik yang manis, yang berpakaian mewah dan pesolek, ada
pun di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus
bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Dia
dapat menduga bahwa tentu wanita ini adalah murid See-thian-ong bernama So Cian
Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi
kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik.
Lima orang
laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah
perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena
Thian Sin tak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu
adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.
Melihat So
Cian Ling juga berada di situ, Kim Hong yang tadinya tak ingin menjawab, kini
menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang
berjuluk See-thian-ong?”
See-thian-ong
tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum
arak dan kekuatan minumnya sangat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk,
betapa pun banyaknya arak memasuki perutnya.
“Ha-ha,
engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan
engkau pun cukup manis. Siapakah namamu, nona?”
“Namaku Kim
Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya.
She Toan
adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka dia pun tidak mau
menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka dia
she Kim dan bernama Hong.
“Nama yang
manis, seperti juga orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk
merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Kini nyawamu berada dalam tangan
Pendekar Sadis.”
“Apa
maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.
“Cian Ling,
katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya bila Pendekar Sadis
tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari
pandangan mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona
cantik itu.
Dan memang
sesungguhnya demikianlah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, secara
diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Dia sendiri harus
hidup di situ sebagai isteri suheng-nya yang sama sekali tidak dicintanya.
Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai
kekasihnya. Tentu saja dia merasa iri sekali.
“Perempuan
rendah,” kata So Cian Ling, “kau dengarlah baik-baik. Kami sudah mengutus orang
untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Apa bila sampai besok
pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka
engkaulah yang akan mengalami siksaan hingga mati. Pertama-tama, engkau akan
diberikan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka
perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus,
engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang
mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!”
Kim Hong
tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah semua
masalahku. Namun engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki
yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, hingga
engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling,
agaknya nasibku jauh lebih baik dari pada nasibmu.”
“Perempuan
rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.
“Cian Ling,
jangan!” terdengar See-thian-ong mencegah sambil tertawa dan muridnya itu tentu
saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu
dia mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku sangat kagum
akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat
bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti
dan daging untuk dia!” perintahnya kepada seorang murid.
Salah
seorang di antara murid-muridnya yang ikut mengurung tempat itu segera maju.
Dia membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong
kecil-kecil.
“Letakkan
piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah
ini.
Kim Hong
dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini
piring roti serta daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja dia
tidak dapat makan seperti orang biasa, karena dia tak mampu menggerakkan kedua
tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar.
Dia tahu
bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Jika menuruti hatinya, tentu saja dia
lebih baik memilih mati dari pada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong
adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Dia bisa
menduga bahwa mereka semua ini amat membenci Thian Sin, kecuali Cian Ling
mungkin, tetapi Cian Ling pun tentu saja amat membencinya sebagai kekasih
pemuda itu. Mereka ingin melihat dia terhina, juga ingin melihat Thian Sin
tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas.
Kalau dia
menolak suguhan ini, berarti dia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu
akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain
dari itu, makanan di depannya ini akan sangat bermanfaat baginya, dapat
menambah tenaga badannya. Kalau sampai dia kelaparan, maka dia akan lemas dan
ilmu silatnya pun tidak akan mampu menolong tubuh yang kelaparan.
Maka Kim
Hong lalu memusatkan pikiran, mendiamkan pikirannya hingga segala macam pikiran
tentang penghinaan tidak lagi terasa, kemudian dia pun lalu menekuk tubuhnya ke
depan.
“Ha-ha,
makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan
kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor
anjing makan.
Dan Kim Hong
lalu mengambil daging yang telah dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya,
makan bagaikan seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu
dari atas piring sehingga perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para
murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita
yang membuatnya cemburu itu ternyata hanyalah merupakan seorang wanita lemah
yang mau menerima penghinaan seperti itu!
Biar pun
agak sulit, karena piring itu kadang-kadang terdorong ke depan hingga terpaksa
Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya
roti dan daging itu habis juga dimakannya. Kini badannya terasa lebih segar,
akan tetapi kerongkongannya kering sehingga dia ingin sekali minum.
“See-thian-ong,
aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali
melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”!
“Ha-ha-ha,
berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira
sekali.
Dia seperti
melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu maka sakit hatinya agak
terobati. Seorang murid lantas mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim
Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak
ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang
mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.
Sementara
itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas
genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Ia telah berhasil memperoleh
keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari ketiga orang anak buah
See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu, dan dengan cepat seperti terbang
saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok
merah itu.
Tidak sulit
menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang
sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat
betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan
menggunakan ilmu kepandaiannya, dia segera memasuki pekarangan belakang pondok
itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.
Dengan
lindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk. Kemudian,
menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan
yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong, dengan amat hati-hati Thian Sin
lalu meloncat naik ke atas genteng sesudah merasa yakin bahwa di situ tidak
terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat
betapa kekasihnya dihina orang.
Apa bila
menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan
tetapi, dia pun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia
langsung dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan
kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia bisa
menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk dapat melepaskan dirinya.
Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh
secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim
Hong.
Ketika dia
melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia
mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun,
mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong.
Jika saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia
akan kaget setengah mati!
Jika
See-thian-ong cerdik, tentu Kim Hong akan dibunuhnya seketika itu juga, tidak
malah mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dia pun sudah mengerti bahwa
Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau
penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu
bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.
Benarlah
dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong
mau saja dihina seperti itu, maka padamlah nafsu para penghinanya untuk
menghinanya lebih jauh lagi.
“Sekarang
bawa dia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena
dianggapnya wanita ini tidak cukup berharga untuk menjadi lawan yang ditakuti.
“Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!”
Maka
terhindarilah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguh pun
penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Dia maklum bahwa ancaman
kepadanya tadi, bahwa dia akan diperkosa oleh dua puluh orang kalau Thian Sin
tidak muncul, justru merupakan pertanda bahwa apa bila Thian Sin muncul dan
tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian
Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu dia akan mengalami siksaan
seperti yang diancamkan kepadanya tadi.
Tak ada
alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan dia seperti itu. Akan tetapi jika
Thian Sin terkena pancingan lalu datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah
bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan
membiarkan pemuda itu menyaksikan dia diperkosa oleh banyak orang di hadapan
matanya. Hal ini dia yakin benar!
Itu pulalah
sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, malah membiarkan dia
makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika dia kelak ‘dibantai’ oleh dua
puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.
Sementara
itu, Thian Sin terus mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa
pergi. Ke belakang! Maka dia pun dengan cepat dan berhati-hati sekali menuju ke
wuwungan bagian belakang, lalu mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong
digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang,
menuju ke sebuah kamar tahanan.
Pada saat
mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang
teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng kemudian
mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus
melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan
tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.
“Manis,
ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur
untuk melayanimu bermain cinta besok,” Si Muka Bopeng berbisik. Tentu saja Kim
Hong merasa muak dan marah, akan tetapi berusaha ditahannya dan dia bergegas
memasuki kamar tahanan itu.
“Nanti
dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong.
Gadis ini
mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua
orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa
kawat berduri pembelenggu dua pergelangan tangan Kim Hong agak mengendur, maka
dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim
Hong sehingga gadis ini menggigit bibirnya.
Sakit sekali
rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat
berduri. Dua jam lebih dia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan
setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh
perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan dari pada kekurang
ajaran dua orang temannya.
“Awas, nanti
kau akan kubunuh lebih dulu…!” kata suara hati Kim Hong saat Si Jangkung
mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar
bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
Thian Sin
sempat melihat ini semua. Tangannya pun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar
dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri
dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang
di antara mereka sempat berteriak memanggil kawan-kawannya, tentu usahanya
menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Dia pun lalu meneliti keadaan kamar itu.
Kamar itu
memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang bagian
atasnya berjeruji. Tak mungkin untuk memasuki dari pintu. Maka dia pun lalu
menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu sangat tinggi, sehingga akan
sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apa lagi langit-langitnya
tertutup oleh papan tebal.
Dia lalu
membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan itu. Tangannya meraba-raba dan
akhirnya dia pun dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit.
Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga
paku itu terlihat, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan
ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu.
Dan akhirnya
berhasillah ia membongkar papan persegi selebar satu meter itu, kemudian
mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja
suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar
tahanan itu ada suatu gerakan.
Dengan
hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong
yang telah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia
cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lantas gadis ini
berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu.
Dilihatnya
betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka dia
pun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan ‘aman’. Pendekar itu
lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam
kamar itu tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa
berbicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin
memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian dia pun sudah melepaskan
kawat berduri yang membelenggu kedua pergelangan lengan kekasihnya. Untuk
sejenak Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka
berdarah itu.
“Mereka
sedang bermain kartu…,” bisiknya.
“Hanya
bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.
“Kita
pancing mereka masuk,” kata Thian Sin.
Kim Hong
mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan
yang kubalikkan. Aku akan merobohkan orang yang terdekat dan kau menjaga agar
mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang.
Diam-diam
Thian Sin amat kagum. Tak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, sebab
sikapnya memang bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seperti seorang
datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.
Thian Sin
membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan
yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan
dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada
lengannya lantas rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah
menggunakan darah yang membasahi kedua tangannya, dioleskan pada pipi serta
dahinya dan sekarang dia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu.
Dia merintih-rintih lirih.
Suara
gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu,
yang kemudian bergegas bangkit menuju pintu kamar tahanan sehingga nampaklah
wajah tiga orang penjaga itu. Si jangkung dan teman-temannya terkejut sekali
dipan sudah terguling, apa lagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu
berlepotan darah.
“Celaka… dia
membunuh diri…,” kata si jangkung yang cepat-cepat membuka daun pintu dengan
kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu dan berlari masuk diikuti oleh dua
orang temannya. Si jangkung cepat menghampiri Kim Hong lalu berjongkok di dekat
gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu.
Pada saat
itu, selagi si jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari
masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin
yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.
Kim Hong
menyambut si jangkung yang berjongkok itu dengan tendangan kilat yang tepat
mengenai anggota kelamin orang itu lalu pada detik berikutnya, pada waktu si
jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong
sudah menyambar ke arah tenggorokan.
“Krekkk!”
Hanya itulah
suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi
keluarnya teriakan si jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh
ke lantai, Kim Hong sudah cepat menyambarnya.
Pada detik
yang hampir bersamaan, nampak pula cahaya perak berkelebat dua kali dan dua
orang penjaga lainnya sudah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang
Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya cahaya pedang menyambar sehingga dua orang itu
tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriak pun tidak
sempat lagi karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah
tenggorokan mereka. Mereka ini pun roboh dan cepat disambar oleh tangan Thian
Sin sebelum berdebuk.
“Bagaimana
pergelangan tanganmu?” bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan semua mayat
itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Dara itu memeriksa
pergelangan lengannya dan menggerak-gerakannya.
“Hanya luka
di kulit saja, tidak berbahaya,” jawabnya.
“Tidak nyeri
kalau digerakan? Kita akan menghadapi banyak lawan tangguh.”
“Tidak, dan
aku sudah siap sedia menghadapi mereka.”
“Bagus. Nih,
kau pakai pedangku……”
“Tidak
perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang
pasangan dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai
sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas.”
Kim Hong
mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah dia mencoba
memutar-mutar sepasang pedang itu dan kedua pergelangan tangannya
digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, “Mari, aku sudah siap!”
Thian Sin
memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terlepas dari
ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau
girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang
lebih mengerikan dari pada maut.
“Engkau tadi
tidak takut…..?” Thian Sin bertanya dengan bisikan.
“Tidak,
sejak tadi aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, aku pun tentu
akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk,
lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa untuk
membukakan belenggu ini,” jawab Kim Hong tenang.
Thian Sin
percaya akan kemampuan gadis itu. Meski dengan kedua pergelangan lengan
terbelenggu sekali pun Kim Hong pasti akan dapat membunuh mereka bertiga itu.
“Sekarang
marilah kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan
tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya terhadapmu, kita harus membalas
dendam dan menghancurkannya!” kata Thian Sin.
“Kita harus
berhati-hati, jangan sampai kita melayani mereka bertempur di dalam tempat ini
karena banyak mengandung rahasia dan berbahaya.”
“Kita bakar
saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk kita bunuh,” kata
Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok sekali
dengan rencananya.
Kini setelah
langit-langit itu berlubang, tentu saja keduanya dengan mudah bisa meloncat dan
menerobos melalui lubang lantas menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar
dari genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas,
Thian Sin lalu berbisik,
“Engkau
melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu
dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi
lawan banyak.”
Kim Hong
mengangguk dan mereka pun berpencar. Tidak lama kemudian, nampaklah api
berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan
para penjaga sehingga keadaan menjadi panik. Apa lagi ketika terdengar pula
teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.
See-thian-ong
terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat
turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang sudah
melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran.
Dia
memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh
masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong,
Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lainnya, dia lalu
melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang
sudah mengamuk dari dua jurusan itu.
See-thian-ong
tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan
Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui.
Di bawah cahaya api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang
itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, maka kedua
orang muda itu langsung terkepung.
Thian Sin
segera menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum
mengejek.
“Hemmm,
ternyata See-thian-ong yang kabarnya datuk dunia barat itu bukan lain hanya
seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia,
dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu…!”
kata Kim Hong.
“Tidak perlu
kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut
tua bangka!” Thian Sin menambahkan.
Tentu saja
ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu
menjadi semakin hitam. Sepasang matanya melotot seakan-akan dia hendak menelan
bulat-bulat kedua orang muda itu.
“Dua bocah
setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!”
bentaknya.
“Wah,
betulkah? Apakah ada yang dapat mengantarku ke kematian? Hemmm, ingin aku
melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa
mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang
dan tenang sekali.
Akan tetapi,
biar pun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja
See-thian-ong memandang rendah padanya. Maka dia pun lalu menoleh kepada
belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah satu tingkat dibandingkan
dengan Ching-hai Ngo-liong, dan satu tingkat dengan tiga orang penjaga yang
tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah
dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!
“Siapa di
antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!”
Ucapan
See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan
See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau
pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum
dan enak-enak saja berdiri menonton, seakan-akan melihat gadis cantik itu
dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.
Melihat
gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek dan tidak memegang senjata,
maka belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlomba dan lima orang
sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua
orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang lagi dari depan hendak
merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis
itu yang semalam sudah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah
membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!
Kim Hong
tidak menjadi gugup, bahkan dia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri
menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya
bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya
telah menendang ke bagian anggota rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada
saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang
terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di
depan.
“Tokkk!”
Hanya
terdengar suara itu dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang
terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah
memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar.
“Plakk-plakk!”
Kembali
terdengar suara dan kedua orang itu pun roboh dengan kepala retak. Lima orang
itu pun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!
Semua yang
melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan terkejut bukan main.
Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu!
Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu
tewas hanya dalam satu gebrakan saja, menjadi marah dan mereka sudah mencabut
senjata masing-masing.
Ada yang
memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar telah menyambar
tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka,
See-thian-ong juga terkenal amat lihai dalam permainan tongkat Giam-lo
Pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong,
bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk
membunuh gadis itu, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka.
Kembali
terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu dia bergerak, semua orang segera
terkejut sebab tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya tampak dua sinar
bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah yang
muncrat di sana-sini lalu sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang.
Sesudah dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum
dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang
pedang rampasannya!
See-thian-ong
melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut sekali, lalu mengerutkan
alisnya dan membentak, “Bukankah itu adalah Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona,
engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?”
bentakan ini lantas disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya
marah dan mengancam.
Betapa pun
juga, Lam-sin boleh dibilang masih ‘rekannya’, sama-sama datuk kaum sesat.
Karena itu, jika sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini
membuat dia merasa penasaran sekali.
“Hei,
See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya
yang kau hadapi itu?” kata Thian Sin mengejek.
See-thian-ong
terbelalak, akan tetapi dia masih belum mengerti benar, atau kalau pun dia
telah mengerti, dia sama sekali tak percaya. “Tapi… Lam-sin adalah datuk
selatan, rekan kami, bukan musuh…!” katanya.
“See-thian-ong,
Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau
telah menghinaku. Ingatkah betapa semalam engkau memperlakukan aku sebagai
anjing?”
Wajah
See-thian-ong menjadi pucat sekali. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya
seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan semalam dia telah
menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan
menduga bahwa tentu Thian Sin sedang mempermainkannya, atau sengaja menggunakan
nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.
“Siapa pun adanya
engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah
menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah.
Hawa pukulan
yang sangat dahsyat menyambar. Kim Hong cepat mengerahkan sinkang untuk
menyambutnya, dengan mengerahkan Ilmu Bian-kun (Ilmu Tangan Kapas). Tenaga
sinkang yang saat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak
seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekali pun
tanpa terluka.
“Plakkk!”
See-thian-ong
terkejut sekali pada saat merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti
amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan dia pun meloncat
lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim
Hong yang telah menyambar ganas.
“Benarkah…
engkau… Lam-sin…?” See-thian-ong berseru, kaget bukan kepalang karena dia pun
pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari
Lam-sin.
“Tak perlu
banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!”
“Nona,
jawablah, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong
terkandung getaran mukjijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini
terkejut sekali dan maklum bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Maka
dengan cepat dia pun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.
“Aku… aku…”
“See-thian-ong,
manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah,
Kim Hong. Tua bangka ini adalah lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat
dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut lantas melangkah mundur, membiarkan
Thian Sin menghadapi kakek itu.
“Suhu,
biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai
Ngo-liong berseru.
See-thian-ong
mengangguk, maka Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil
mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar pada tangan kanan
serta rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang
rendah. Dengan tenang dara ini berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan
sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah
disimpannya kembali di balik punggung setelah dia merobohkan semua pengeroyok.
SEMENTARA
itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, secara diam-diam telah
mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, lalu tiba-tiba dia membentak
dengan suara mengguntur, “Ceng Thian Sin, engkau tidak akan kuat melawanku.
Menyerahlah engkau!”
Dengan
jari-jari terbuka sepasang tangannya dikembangkan ke depan, dengan seluruh jari
menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang
sangat kuatnya, mempunyai daya sihir yang sangat berpengaruh sekali. Akan
tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong ketika melihat pemuda itu bertolak
pinggang dan tertawa!
“Ha-ha-ha-ha,
See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil
yang mudah kau tipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah
kita bertanding sebagai laki-laki sejati!”
Kakek itu
maklum bahwa sekarang musuhnya ternyata telah memiliki ilmu untuk melawan
kekuatan sihirnya, maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi dan segera
menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!”
Begitu
menyerang, See-thian-ong langsung mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya
merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti
seekor katak membengkak, dan saat kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan
yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin.
Ketika Thian
Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah
dia bahwa ternyata kakek ini pun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan
ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dahulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari
kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat,
sekarang ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin yang beracun! Tentu saja
keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya.
Namun Thian
Sin sekarang bukanlah Thian Sin yang dulu ketika dia pernah mengalahkan
See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi
kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda
ini telah mewarisi semua ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka,
menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekali tak merasa gentar dan
menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan tenaga
Thian-te Sin-ciang.
Di lain
fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya
Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya
ketika mereka mulai mengepung. Namun sesudah mereka menyerang secara
bertubi-tubi dengan cara yang sangat teratur, saling bantu dan dengan
pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa
lima orang ini bila maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya.
Akan tetapi
ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang sangat kuat, ada
kalanya mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) tetapi kadang kala
berubah pula menjadi barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai).
Dan segera dia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat
berbahaya.
Karena itu
Kim Hong terpaksa mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu, kemudian melawan
lima naga dari Ching-hai dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo
Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, pada satu pihak
pertandingan antara Thian Sin dengan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah
Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.
Betapa pun
lihainya Ching-hai Ngo-liong, menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat
sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka
tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka
yang binasa kalau saja mereka tidak cepat saling melindungi kembali.
Sepasang
pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh sangat
berbahaya. Kalau saja semalam semua senjata-senjata rahasia jarum merah gadis
ini tak dirampas musuh, tentu semenjak tadi telah ada di antara mereka berlima
yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.
Sementara
itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini
merasa bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang kini menjadi
kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Dia merasa bahwa dia kini tidak
berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga dalam
menghadapi lawan-lawan berat itu, boleh dibilang bantuannya tak ada artinya
lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok
Kim Hong pun dia merasa bahwa tenaganya terlampau lemah.
Sedangkan
Ciang Gu Sik sendiri juga merasa bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan
tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu malah akan
membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah
kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya.
Akan tetapi,
perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin kini mulai nampak berat
sebelah. Terjadi perubahan yang menunjukkan gejala terdesaknya kakek datuk
barat itu. Sesudah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus,
See-thian-ong harus mengakui bahwa kini lawannya ini sungguh tangguh sekali,
jauh lebih lihai dari pada satu setengah tahun yang lalu.
Yang membuat
dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh sangat luar
biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah
kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Jauh lebih baik
menghadapi ilmu-ilmu itu dalam keadaan asing sama sekali dan mengandalkan
kepandaiannya sendiri dari pada seperti dia itu yang pernah meminjam
kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu
dengan ketekunan luar biasa, siang malam.
Dia tahu
bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia sudah
mempelajari secara salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan
latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa jika terus dilanjutkan dia
malah akan celaka sendiri.
Akan tetapi,
setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti
Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau dia teringat akan
ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu, dan mau tidak mau kadang-kadang tanpa
disengaja dia teringat lantas mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu
itu. Inilah yang membuat dia bingung sehingga sudah dua kali dia terkena
tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya
terasa nyeri walau pun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong
menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, semenjak
dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan
memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi sesudah kini bertanding lagi menghadapi
musuh lama itu, yang betapa pun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak
hebat!
“Singgggg…!”
Demikian
kuatnya ia menyambar kemudian menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga
mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya segera bergulung-gulung ketika
kakek itu menyerang.
Thian Sin
tersenyum mengejek. Akan tetapi pemuda ini langsung maklum akan hebatnya
tongkat itu dan Ilmu Giam-lo Pang-hoat, maka biar pun tersenyum mengejek,
terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya agar supaya bisa menghindarkan
diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tak ada
kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga
Thian-te Sin-ciang.
Dalam
kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya dia mampu menggungguli
See-thian-ong, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan
menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan
kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosong pun dia mampu menaklukkan
See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu
dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan
lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara
itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong itu
juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong dibuat sibuk
sekali hingga pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.
Melihat ini,
Cian Ling tak dapat tinggal diam saja. Biar pun cacat pada kedua pergelangan
tangannya membuat dia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, dia
masih setingkat lebih lihai dari pada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong
itu. Dia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan apa bila bekerja sama,
tapi kini kerja sama mereka sudah kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak
hebat sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan
memutar pedangnya.
Melihat cara
gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid
See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka dia segera menyambut dengan
tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan
menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan.
Bantuan Cian
Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh
kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi telah hampir
berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena
mereka sudah dapat menyusun barisan.
Kim Hong
cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya
seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang
pengeroyok itu.
Melihat
isterinya yang juga sumoi-nya itu sudah terjun pula ke dalam medan perkelahian
membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan
untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa tadi gurunya sudah
terdesak hebat, dan kini setelah gurunya menggunakan tongkat sebagai senjata,
masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu.
Ciang Gu Sik
lalu menyiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang sangat ampuh itu. Dia
tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil
mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
Kini
See-thian-ong mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih
dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang
masih sangat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan dia pun maklum
bahwa sekali ini, jika dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh,
akan tetapi dia sendiri pun agaknya tidak akan keluar dalam keadaan hidup dari
medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat.
Maka,
sesudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, dia pun lalu mengeluarkan bentakan
keras sekali sambil menubruk ke depan. Tongkatnya menyambar-nyambar secara
ganas, mencurahkan seluruh perhatian untuk menyerang tanpa mempedulikan segi
pertahanan karena dia sudah mengerahkan segenap tenaga Hoa-mo-kang yang membuat
tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.
Thian Sin
cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya
memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik
menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas
menyambar ke arah kepala Thian Sin!
“Dukkk…!”
Dada
See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan
terguling-guling, namun karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, maka
pukulan itu tidak melukainya.
“Desss…!”
Pada detik
berikutnya pundak Thian Sin disambar oleh ujung joan-pian, membuat bajunya
robek, juga kulit serta sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi
pemuda itu bahwa tadi dia masih sempat melihat menyambarnya sinar emas pada
saat dia memukul See-thian-ong, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya,
dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu hanya mengenai
pundaknya.
Ciang Gu Sik
memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada waktu Thian Sin sedang
menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhu-nya
yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah
pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga sepenuhnya, tentu
saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu tengah ditinggalkan
kekuatan sinkang sebab baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka
Thian Sin tidak mampu melindungi pundaknya yang akhirnya terluka oleh senjata
itu.
Begitu
pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu
Sik. Akan tetapi murid See-thian-ong yang amat cerdik ini sudah cepat meloncat
jauh ke belakang sehingga dapat terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara
itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia telah menerjang kembali dengan
dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin
meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak
berbahaya, akan tetapi cukup nyeri sehingga membuat dia marah.
Seperti kita
ketahui, tadi Cian Ling turut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong.
Pada waktu dia melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga
suheng-nya, wanita ini menjadi amat khawatir. Bagaimana pun juga, diam-diam
Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka
oleh joan-pian hingga berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa
Thian Sin tentu akan celaka dan tak akan mampu menghadapi pengeroyokan
See-thian-ong dan Ciang Gu Sik.
Kini, ketika
melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan
suaminya itu tetap bersiap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti
saat seperti tadi, secara tiba-tiba Cian Ling menjadi marah Dugaannya memang
benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan
hebatnya, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.
Tanpa banyak
cakap lagi, Cian Ling cepat meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh
Ching-hai Ngo-liong yang sudah bisa mengatur kembali barisannya itu, dan Cian
Ling lantas menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu, bukan untuk
mengeroyok dan menyerang Thian Sin, namun untuk menggunakan pedangnya menusuk
ke arah lambung suaminya dari samping!
Ciang Gu Sik
sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu adalah untuk
menyerang dirinya, maka dia pun tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan
tahu-tahu pedang isterinya itu telah menusuk dan menembus lambungnya di bawah
iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak, kemudian terbelalak memandang
pada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya
menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih
terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa
yang tidak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut,
sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian
Ling. Tiba-tiba saja See-thian-ong menubruk ke depan sambil memukul Cian Ling
dengan Ilmu Hoa-mo-kang!
Thian Sin
yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya, tahu-tahu Cian Ling sudah
kena terpukul dadanya hingga wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua
itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik
terhuyung menghampiri dan dia pun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
“Cian Ling…
kenapa kau… kau membunuhku…?”
“Suheng…
maaf… aku cinta padanya…”
Hanya itulah
yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat
dia mencabut kipas serta pedang Gin-hwa-kiam, lalu dia menyerang See-thian-ong
secara hebat. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya sambil membalas sehingga
dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru
dan mati-matian.
Sementara
itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini
menghendaki, sebetulnya sejak tadi dia telah dapat merobohkan para
pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu
barisan mereka yang dia anggap cukup hebat itu, dan pula, dia tadi melihat bahwa
kekasihnya tidak memerlukan bantuannya.
Melihat
betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, maka dia pun maklum bahwa
kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi tidak
disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin kemudian terkena serangan
mendadak dari Gu Sik hingga pundaknya terluka.
Maka Kim
Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu sehingga lima orang
pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apa lagi sekarang Cian Ling sudah tidak
membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang
pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas
seketika.
Tiga orang
saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja
mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus
mempercepat gerakannya dan berturut-turut ketiga orang dari Ching-hai Ngo-liong
itu pun roboh dengan jantung tertembus pedang!
Ketika orang
ke lima roboh, Kim Hong sempat melihat bahwa sepasang pedang tipisnya
tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat
melempar pedang rampasannya lalu mengambil kembali sepasang pedangnya. Di
pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka dia pun
mengambil senjata rahasia ini.
Setelah
memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian
antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang
lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran
darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi
kakek itu masih sanggup melawan dengan tidak kurang kuatnya dari pada tadi.
“Thian Sin,
engkau mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” Kim Hong
berkata dengan suara gembira.
Thian Sin
meloncat ke belakang. Apa bila dilanjutkan, tentu saja akhirnya dia yang akan
menang. Akan tetapi dia juga tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah
berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu untuk mencoba
kepandaian datuk barat!
“Maju dan
cobalah macan tua ompong ini!” katanya.
Kim Hong
menggerakkan sepasang pedangnya dan menyambut terjangan See-thian-ong.
Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa
tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong
menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya sudah tewas. Tak
disangkanya wanita muda ini demikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga
sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan
keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
“Tranggg!”
See-thian-ong
menahan pedang Kim Hong, kemudian dia membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?”
Kim Hong
tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada
tinggal Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi
See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
“Tahan dulu!
Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai
nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia
selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!”
“Hi-hik,
kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan
memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa bahwa kini aku bukan lagi Lam-sin, namun
gadis biasa saja, Toan Kim Hong yang hendak mencoba sampai di mana kelihaian
orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!”
“Bagus,
bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu telah menerjang dengan dahsyatnya.
Dia tidak
percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka meski pun nanti dia akan
kalah, bila dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, maka puaslah
hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga
dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya
kenapa kakek itu lalu mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya untuk
menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin
cepat menghampiri Cian Ling lantas memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut
sekali ketika melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat,
tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu
Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, dia lalu tersenyum.
“Cian
Ling…!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena
mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?”
“Thian Sin…
aku… aku cinta padamu… aku tidak tahan melihat engkau terancam… dan aku… tidak
dapat hidup… tanpa engkau…”
Thian Sin
menarik napas panjang dan dia merasa kasihan terhadap gadis ini. Bagaimana pun
juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguh pun dia suka sekali padanya. Siapa
yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?
“Ciang
Ling…” Thian Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang.
Lalu dia
menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dengan Kim Hong
terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, maka
dia pun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim
Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul
kekhawatirannya dan dia pun bangkit berdiri.
“Thian Sin…”
Dia
berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
“Kau… kau
cinta padanya…?”
Thian Sin
maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini sehingga dia pun mengangguk. Memang,
pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walau pun dia
sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itulah yang dinamakan
cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila
kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
“Ahhh… dia…
dia bahagia… aku… aku… iri kepadanya…”
Nafas gadis
itu tinggal satu-satu sehingga Thian Sin memandang dengan hati iba sekali.
“Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia
membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling
menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin… maukah engkau
mengantar kematianku dengan sebuah ciuman…”
Mendengar
permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba maka dia pun merangkul dan
mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, lantas
kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu pula Thian
Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis
itu menghembuskan napas terakhir pada waktu dia menciumnya, maka dengan
perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.
Akan tetapi
pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan
terkejut bukan main ketika melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tak
sempat mengelak, maka dia menangkis dan…
“Desss…!”
Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
“Ehhh… kau
sudah gila…?”
“Engkaulah
yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian
Sin dengan sepasang pedangnya!
Thian Sin
menangkis beberapa kali, kemudian meloncat dan mengejar See-thian-ong yang
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat
dan ternyata ginkang dari gadis ini yang paling hebat maka dia yang lebih dulu
menghadang dan menyerang See-thian-ong!
Kini
See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali,
mengelak ke sana ke mari sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar
dia menjerit ketika sebatang pedang Kim Hong yang sedang marah-marah itu
membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus
melawan, bahkan dia mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.
Thian Sin
menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan.
Dia telah mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang
sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan
dadanya kena dipukul.
“Dessss…!”
Bukan main
hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas.
Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke
belakang lantas dia pun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri,
tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan
kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata
berkilat.
“Engkau
telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin
masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan
nyaris membunuhnya. “Ehh, kenapakah…?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum.
“Ehhh, apakah engkau… marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau
tahu, dia… dia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman. Kini dia telah
mati, harap kau tidak cemburu!”
“Siapa
cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampus pun aku tidak
peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa
engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Jika memang engkau
ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!”
Thian Sin
melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh
ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka dia pun
tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali
mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
“Hemm,
kalian tak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku
akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya
dan… terdengarlah suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi
karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi!
Kiranya
See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua
orang muda itu, juga tak dapat melarikan diri. Maka, dari pada disiksa oleh
Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin
segera mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini
telah tewas, dia pun menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia
tak melihat Kim Hong lagi di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit,
meninggalkan dia dan pergi entah ke mana.
“Kim Hong…!”
Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu.
Akan tetapi hasilnya sia-sia saja, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dan akhirnya
Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang
See-thian-ong beserta anak buahnya. Akan tetapi tempat itu sudah menjadi sunyi
sekali. Kebakaran sudah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap
di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan
tak ada seorang pun berada di tempat itu.
Ketika dia
memasuki pondok besar yang kebakaran itu, juga tidak nampak seorang pun
manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong sudah melarikan diri sambil
membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat
itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka
Thian Sin lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.
Apa yang
dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan
peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama kalangan kang-ouw segera
mendengar berita yang dibawa oleh sisa-sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk
barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk
itu.
Sungguh hal
ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua
orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia
persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang
dikabarkan amat luar biasa itu.
Akan tetapi
belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan sanggup
mengalahkan See-thian-ong bahkan juga mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu,
membunuh Si Datuk serta semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh
dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi
kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang
amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong,
bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuh datuk itu dan para
muridnya itu mestinya sangat menggembirakan hati Thian Sin. Akan tetapi
ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau gembira, bahkan
merasa gelisah dan bingung. Dia tahu, semua ini disebabkan oleh perginya Kim
Hong tanpa pamit.
Baru
sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian serta
kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah hal ini
disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia berjumpa dan berkumpul
dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah
hal ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?
Thian Sin
mengeraskan hatinya. Bila Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia,
maka dia pun tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara
mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada
ikatan apa pun!
Hubungan
mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, jika
seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan, hubungan itu pun putus
sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis
itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biar pun dibantah
oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin
merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk
dapat dicarinya begitu saja apa bila Kim Hong tidak ingin berjumpa dengannya.
Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang
lebih dari semuanya itu, Kim Hong memiliki ginkang yang lebih tinggi dari pada
dia sehingga andai kata dia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan
diri maka dia tak akan mampu mengejar dan menyusulnya.
Dalam
perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian.
Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu
sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk
dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, dia pun lalu pergi menuju ke Tai-goan.
Dia sudah
berhasil menundukkan dua orang di antara empat datuk kaum sesat. Pertama,
Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong sudah berhasil
ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itu pun merupakan musuhnya,
dan kali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah
dilakukannya terhadap See-thian-ong.
Akan tetapi
perjalanannya sekali ini terasa kosong dan amat tidak menyenangkan. Dahulu dia
pernah merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu setelah
dia memperoleh kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak
angkatnya, dari pada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan
terpencil, kemudian timbullah perasaan kesepian yang akhirnya menimbulkan rasa
iba diri dan merasa dirinya sengsara.
Di dalam
perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri
dengan perasaan kosong dan sunyi. Dia sering membayangkan semua pengalamannya,
semua perbuatannya. Dia sudah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa
menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi
dia bersikap kejam hanya terhadap penjahat!
Dia memang
sudah berniat hendak membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan
menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat
dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu
di dunia, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi
jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa tindakan itu benar, dan
menurut pendapatnya, jika semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia,
membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan.
Thian Sin
mengenang hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali.
Pertama-tama, wanita yang berdekatan dengan dia adalah Bhe Cu Ing, gadis dusun
dekat Lembah Naga, yang menjadi cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena
wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya.
Kemudian
muncul Loa Hwi Leng, puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang yang kemudian dibunuh
oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia merasa amat membenci Jeng-hwa-pang dan
mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang sudah berhubungan
sangat akrab dengan dia, lebih dari pada wanita-wanita lain sebelumnya.
Lantas ada
pula Bin Biaw, yakni puteri tunggal Tung-hai-sian yang manis dan yang pada
pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur
karena di sana hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul
Ang Bwe Nio anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dibuntungi hidungnya karena
telah menghianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai,
dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin.
Dia sering
duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua
wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu birahi saja?
Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semuanya itu
mendatangkan duka, setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya
yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperistrinya, mendatangkan rasa duka
dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperistri dara
itu gagal.
Apakah
perasaan kepada Lian Hong itu adalah cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini?
Cintakah? Atau sekedar nafsu birahi belaka? Kalau cinta, mengapa mendatangkan
duka? Dia bingung, tak mampu menjawab!
***************
Tai-goan
adalah kota besar ke dua setelah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota
itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu
terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Huang-ho.
Dengan
adanya Sungai Fen-ho ini, maka hubungan antara Kota Tai-goan dan kota-kota
lainnya tentu saja menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga
melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota dalam Propinsi
Ho-nan dan Shan-tung dapat dilalui air, dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho
yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Huang-ho, sangatlah luasnya.
Karena hubungan daerah dan kota-kota lainnya amat lancar, maka tentu saja
perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali.
Berita
tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, telah
mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar
dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke
kota raja! Dan tentu saja berita ini telah pula terdengar oleh Pak-san-kui!
Seperti kita
ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota
Tai-goan. Dia mempunyai banyak perusahaan dan toko-toko, terutama sekali
penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi serta rumah-rumah
pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang semua adalah miliknya, atau
kalau pun milik orang lain, tentu berada dibawah kekuasaannya.
Datuk
kalangan sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan.
Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu
silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya
sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong.
Dan untuk
kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh
kang-ouw serta para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya
sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau
Siangkoan-loya (tuan besar).
Saat
mendengar tentang terbunuhnya See-thian-ong dan murud-muridnya oleh Pendekar
Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia
sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu.
Dia teringat
kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han How itu. Pemuda itu pernah
mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Walau pun selama
ini, sejak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan
menggunakan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.
Lawan yang
pernah mengalahkannya itu adalah seorang muda, dan alangkah mudahnya bagi
seorang pemuda untuk mendapatkan kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda
dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Karena itu dia pun lalu
memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.
“Hampir
dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah si Pendekar Sadis, dan jika benar
demikian, sudah tentu pada suatu hari dia akan muncul di sini,” kata
Pak-san-kui.
“Ayah, kalau
dia hanya datang seorang diri, kita takut apa? Dahulu pun aku hanya kalah
setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah
telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua dan dibantu oleh
para suheng Pak-thian Sam-liong, terlebih kalau kita mengerahkan sepasukan
orang-orang pilihan lagi, tentu kita akan sanggup membekuknya! Kiraku, kita
berlima saja akan cukup untuk membekuknya, betapa pun lihainya. Bukankah benar
demikian, suheng?”
Pak-thian
Sam-liong mengangguk. “Betul sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute.
Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri, sudah setingkat, apa lagi
kalau kita berlima maju bersama-sama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya
atau bahkan membunuhnya sekalian.”
Mendengar
ucapan murid-murid dan puteranya ini, legalah hati Pak-san-kui. “Betapa pun
juga kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus
diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian
bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,” katanya kepada Pak-thian
Sam-liong yang cepat-cepat menyatakan kesanggupan mereka.
“Wi Hong,”
katanya kepada puteranya. “Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun dan
undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis
mengacau Tai-goan.”
“Baik,
ayah.” Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.
Siong-ciangkun
atau komandan Siong adalah orang yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan.
Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan mau pun di kota
raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan yang baik sekali, tentu saja dengan
bantuan kekayaannya. Dia pun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan di
Tai-goan itu dan untuk menghadapi kemungkinan datangnya Pendekar Sadis, datuk
utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun.
Tentu saja
dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak menampakkan bahwa dia takut
menghadapi Ceng Thian Sin, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah
musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan tak
lupa dia menyerahkan bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan
mengadakan penjagaan ketat.
Seratus
orang anggota pasukan pilihan segera dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh
komandan ini, lalu mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota,
memata-matai semua orang yang datang, dan terutama sekali segera menghubungi
Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru
yang memasuki kota. Hanya repotnya bagi para petugas ini adalah bahwa mereka
belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis dan
tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki
yang bengis.
Pak-san-kui
sendiri belum berani memastikan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin,
karena hal itu baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Dia pun tak berani
ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis?
Maka dia
harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang sudah terang menjadi
musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan apa bila Pendekar Sadis bukan
Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seseorang yang berbahaya dan sama
sekali belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan
mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.
Inilah
sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan.
Para anggota pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai
mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika seorang pemuda yang
demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar
tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda
itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan
mungkin datang dari kota raja!
Thian Sin
juga bukan orang yang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak
terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka meski pun dia tidak memasuki kota dengan
cara bersembunyi, namun dia pun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak
ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri.
Maka sebelum
pergi ke tempat lain, lebih dahulu dia mencari-cari tempat yang baik untuk
bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di tempat penginapan karena
biar pun dia bisa mempergunakan nama palsu, dalam waktu beberapa hari saja
Pak-san-kui tentu akan mengetahui tempat itu.
Dan hatinya
pun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah
seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa
rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang bekerja sebagai kuli
pengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu ditempat itu, Thian
Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia
memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan
dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam rombeng.
Kepada kakek
itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan
tidak ingin terganggu oleh kenalan-kenalan, maka dia sengaja mencari tempat
sunyi untuk menginap supaya jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan
kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberi tahukan kepada siapa pun juga.
Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan
tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu.
Sesudah
memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar,
barulah Thian Sin memasuki daerah perkotaan yang ramai untuk mencari rumah
makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat
tempatnya yang mewah dan bersih itu saja telah menimbulkan selera, maka dia pun
lalu memasuki rumah makan itu.
“Selamat
sore, kongcu,” seorang pelayan menyambutnya dengan manis. “Kongcu hendak makan
di bawah ataukah di loteng?”
Thian Sin
menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di
loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa di dalam
ruangan itu telah banyak juga tamunya, maka dia pun menjawab bahwa dia ingin
makan di loteng. Pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Setelah dia
hampir sampai ke loteng, Thian Sin tiba-tiba berhenti melangkah dan wajahnya
berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!
“Kenapa,
kongcu?” pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya ketika melihat pemuda
itu berhenti.
“Aku tidak
senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam
dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,” kata Thian Sin.
“Baik,
kongcu,” kata pelayan itu yang segera turun kembali.
Thian Sin
pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok
saja. Dia sempat melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan
dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin
berdebar dan terasa panas ketika mengenal pemuda itu.
Andai kata
dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yangkim yang
tergeletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan
pesolek yang kemana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga menjadi
senjatanya yang ampuh itu?
Dan Kim Hong
duduk satu meja dengan pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa penuh
keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal
Siangkoan Wi Hong sebagai penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang sangat
lihai! Cepat dia pun turun dari tangga loteng itu dan memilih tempat duduk ke
dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui
pintu depan.
Ketika
pelayan datang sambil membawa masakan yang dipesannya, Thian Sin langsung
membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau
sudah selesai makan. Dia makan sangat perlahan-lahan, sama sekali tidak merasa
enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seakan-akan dia masih mendengar
suara Kim Hong bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan mesra dengan Siangkoan
Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi
semakin panas.
Baru saja
selesai makan, ia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka
bersentuhan, seperti hendak saling bergandengan tangan, akan tetapi lantas
terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itu pun cukuplah bagi Thian Sin untuk
menumbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti ‘ada apa-apa’ antara mereka
itu. Dan mereka pun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sejak tadi sudah
menanti di luar restoran....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment