Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 27
NENEK itu
tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu
berkilat-kilat. “Pendekar Sadis, apakah engkau berani minum arak dalam cawanmu
itu?” sambil berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak
sampai penuh, dari guci arak yang sama.
Thian Sin
adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia
maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat
diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan,
biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa.
Seorang
datuk sudah terlalu percaya pada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan
namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak
mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun,
suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan oleh golongan penjahat
rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri.
Lam-sin
tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan
mempergunakan racun. Apa lagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri
kepandaiannya, maka tak mungkin datuk ini merasa gentar padanya sehingga sampai
harus merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin
tersenyum memandang kepadanya.
“Andai kata
engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah
perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan
hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia, akan dikutuk sebagai
seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi dari pada seorang penjahat yang
paling hina sekali pun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?” Berkata demikian,
Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.
“Heh-heh-heh,
bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!” Nenek itu pun lalu minum araknya,
akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan
seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan
itu hanya diteguk seperempat saja, lalu cawannya dia letakkan kembali di atas
meja.
“Nah,
silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, sesudah kita
makan baru kita bicara nanti!”
Dan mereka
berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh
silat yang pada masa itu mendatangkan rasa seram di hati siapa pun juga, bahkan
para pendekar menjadi kecil nyalinya apa bila mendengar nama mereka, kini duduk
saling berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling
tantang-menantang dan bisa dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka berdua akan
saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan.
Namun,
melihat betapa mereka itu kini duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak
macamnya, makan dengan selera yang baik dan tampak enak sekali, seolah-olah
mereka berdua itu bukanlah dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu
nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang baru saling jumpa dan kini
merayakan perjumpaan mereka dengan gembira!
Dan anehnya,
mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
Keduanya makan dengan enaknya, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling
menawarkan, seolah-olah mereka itu sedang berlomba makan.
Biar pun
keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa di antara
mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan
ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang amat panas dan
yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian
antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.
Thian Sin
makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biar pun terlihat
makan dengan sama girangnya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong
nasi sedikit demi sedikit saja, dan mengambil sayur atau daging yang
potongannya kecil-kecil. Malah araknya pun dilanjutkan dengan anggur yang tidak
begitu keras.
Akhirnya,
keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan
kenyang. Sesudah membersihkan mulut dengan minum teh yang disajikan oleh para
pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersemedhi. Sementara lima orang
pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa acara makan minum
sudah selesai maka tanpa diperintah lagi mereka segera membersihkan meja,
membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itu pun
bersih dan tak ada sedikit pun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok
kain.
“Keluarlah
kalian, tinggalkan kami sendiri,” tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang
pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak
senang.
Lima orang
pelayan itu saling pandang, tampak ragu-ragu. “Dan para pengawal…?” tanya Si
Baju Ungu.
“Tinggalkan
kami! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapa pun juga masuk ke
rumahku. Dan jangan keluar dari kamar kalian kalau tidak kupanggil!”
“Baik,
pangcu…,” jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu
terlihat marah.
Sesudah
menjura ke arah Thian Sin mereka pun segera pergi dari situ, dengan langkah
ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik
lemah. Hal ini pun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi
menyambutnya.
Nenek ini
sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga dia
tidak mau dibantu oleh siapa pun juga! Pantaslah jika menjadi datuk kaum sesat.
Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap
sesombong ini.
Setelah lima
orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu
mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itu pun balas memandang dan
menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, dia pun masih
enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, hanya terhalang oleh meja.
“Nah,
sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya
ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang
curang?”
Thian Sin
tersenyum dan mengangguk. “Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi
untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir.”
Lam-sin
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. “Huh, selama hidup aku belum
pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada
orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walau pun jangan
dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!”
Thian Sin
tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang selamanya belum pernah
dijumpainya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada orang yang
tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu
bahwa dia adalah Pendekar Sadis.
“Benarkah
engkau memang tahu siapa diriku sebenarnya?” Thian Sin memancing dengan suara
menantang.
“Apabila aku
dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku dan mengapa
engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, dan kalau aku tahu pula semua riwayatmu
semenjak engkau kecil, siapa orang tuamu, nah, jika aku tahu semua itu, maukah
engkau mendengarkan semua kata-kataku kemudian menemaniku bercakap-cakap,
sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding
mati-matian untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah di antara
kita?”
Cerewetnya
nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin
nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya.
“Baik, nah,
sekarang coba kau katakan siapa aku.”
“Namamu
adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?”
Thian Sin
memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya
seolah-olah nama itu tidak asing baginya.
“Engkau
adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Han Houw. Ibumu adalah keturunan
Cin-ling-pai. Benarkah?”
Thian Sin
memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Nenek ini luar
biasa sekali. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai jaringan mata-mata yang sangat
luas, Lam-sin. Aku tak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kau katakan
itu. Nah, selanjutnya bagaimana?”
“Ayah
bundamu tewas karena dikeroyok oleh pasukan dan sesudah engkau mempelajari
banyak ilmu, engkau lantas membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh
mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sianjin, dan karena
hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau
menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?”
Thian Sin
bangkit berdiri, akan tetapi segera duduk kembali. Ini sudah sangat
keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang
dirinya?
“Aku tidak
dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat
mengetahui semua itu. Dan sekarang ingin kudengar apakah engkau juga tahu
mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?”
Nenek itu
menyeringai yang tentu saja dia maksudkan tersenyum. Thian Sin cepat-cepat
membuang pandang matanya supaya tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu
lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata,
“Aha, itu
mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek
Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau menggunakan Thi-khi
I-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku.”
“Hemmm, jadi
engkaukah kiranya bayangan yang menyerangku dengan dua kerikil kecil itu?”
“Hanya untuk
memperingatkan padamu bahwa aku juga tahu tentang Thi-khi I-beng dan aku tidak
takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku
mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?”
“Hemm,
kenapa tidak kau lakukan kecurangan itu! Sekarang pun masih belum terlambat.
Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, aku pun tidak
takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau sudah tahu semua hal tentang diriku,
tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan
mundur selangkah pun andai kata engkau mengeroyokku.”
“Tentu saja
aku tahu. Engkau datang hendak membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun,
bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!”
Thian Sin
bangkit berdiri dan memandang tajam. “Lam-sin! Bila engkau menyembunyikan
Hong-moi atau mengganggunya, aku akan…”
Lam-sin
masih menyeringai pada saat dia mengeluarkan selipat surat. “Aku sudah cukup
bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja
ditulisnya untukmu ini!”
Thian Sin
terlampau kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak lagi mampu
mengeluarkan sebuah kata pun melainkan menerima lipatan kertas itu, lantas
dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditanda tangani oleh
Lian Hong dan memang ditujukan kepadanya.
Sin-ko,
Lam-sin
adalah subo-ku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi
penyerbuan keluargaku.
Ciu Lian
Hong.
Pada waktu
membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras.
Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas
itu dan memandang Lam-sin.
“Bagaimana
aku dapat merasa yakin bahwa ini adalah tulisan Hong-moi? Aku tak pernah
mengenal tulisannya.”
“Terserah
kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, tetapi dia sendiri yang meninggalkan
surat, katanya untuk mencegah kesalah fahaman seperti yang pernah terjadi saat
pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini.”
“Apa?
Tiong-ko sudah pernah datang ke sini?”
“Ya, malah
juga Pendekar Lembah Naga serta isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku
begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku apa bila mengingat
kesombongan mereka!” Memang nenek itu masih merasa hatinya sakit kalau
mengingat betapa keluarga itu memandang rendah padanya, bahkan terang-terangan
menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!
Thian Sin
termenung. Hatinya kecewa bukan main. Kalau pencarian mereka terhadap diri Lian
Hong dapat dikatakan sebuah perlombaan, lagi-lagi Han Tiong yang menang. Kakak
angkatnya itu yang lebih dahulu menolong Lian Hong walau pun Lian Hong agaknya
tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin!
Saking
kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tidak dapat
berkata apa-apa hanya berulang kali menarik napas panjang dengan wajah muram
tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi semenjak tadi sepasang mata nenek itu
mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh.
Suara ketawa
ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada
nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah
penolong, bahkan menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek
ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apa lagi dia
tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian
Hong, siapa sangka dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil
sebagai murid!
“Heh-heh-heh-heh,
tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak
tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak
terdapat wanita lain!”
Thian Sin
terkejut sekali mendengar ini. “Apa…? Apa maksudmu…?”
“Maksudku
sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa akibat keduluan Cia
Han Tiong.”
Kata-kata
itu tepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah
keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan
segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada
saat itu? Akan tetapi dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan membantah.
“Tidak,
engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Jadi sudah
sepatutnya kalau dia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia.”
“Hemmm,
tidak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apa
lagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan
mudah melihat kenyataan itu!”
“Engkau
keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatang kara di
dunia ini.” Thian Sin menarik napas panjang dan dia benar-benar merasa betapa
dia amat kesepian, tiada seorang pun yang mencintanya!
Sejenak
mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek
itu pun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus
dan ramah.
“Ceng Thian
Sin, kita ini sama!”
Thian Sin
memandang heran. “Sama? Sama bagaimana?”
“Sama
sebatang kara, sama kesepian.”
“Ahh, itu
tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek
Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana
engkau bisa sebatang kara dan kesepian?”
“Huh, apa
itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku
hanya menundukkannya saja, dan aku tak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang
bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh
sebatang kara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin.”
Pemuda itu
memandang penuh perhatian kepada nenek yang luar biasa itu. Sukar untuk dapat
diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga
amat berpengaruh, mempunyai kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di
selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!
“Apakah
engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?”
Nenek itu
menggelengkan kepala. “Aku hanya sebatang kara, seperti engkau. Aku… aku tidak
pernah tidak mempunyai keluarga…”
Thian Sin
terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak
memiliki anggota keluarga seorang pun. Lalu dia menggeleng kepala dan menarik
napas. “Sulit bisa dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup
menderita duka.”
Nenek itu
terkekeh. “Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah bisa mengenal
semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemani
aku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan kepadamu
keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti
berhadapan sebagai lawan.”
Thian Sin
yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu
mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan
perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah.
Di sebuah
ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis
kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja
sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan dia pun dikagumkan oleh
pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu dapat mengenal
lukisan-lukisan ini dan mampu pula menceritakan tentang pelukis-pelukisnya,
segi-segi keindahan yang khas dari setiap lukisan.
Ketika nenek
itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin dibuat kagum. Di ruang
itu terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik
kuno.
“Apakah
engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?”
Thian Sin
mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang
sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar
nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban
mereka ketika bersama-sama mengagumi alat-alat musik itu.
“Dan pandai
bermain musik pula?”
“Ahh, tidak,
aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak.”
“Meniup
suling? Bagus sekali! Dan aku pun suka meniup suling dan bermain yang-kim.
Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!”
Berkata
demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan dia pun
mulai memainkan kawat-kawat yang-kim itu hingga terdengar suara merdu. Melihat
cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya
dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang
pandai bermain yang-kim.
Kini
yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenalnya, maka hati pemuda ini
pun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu
mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka kini terdengarlah paduan
suling dan yang-kim, saling susul, saling membelit dan saling bergandengan,
amat cocok dan sedap didengar. Sesudah memainkan dua tiga macam lagu, nenek itu
menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian
Sin lalu terkekeh.
“Heh-heh-heh,
sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi
iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!”
“Dan
siapakah yang percaya jika Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh
penjahat yang bagaimana pun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti
puteri istana kaisar saja?” kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba
suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek
itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa.
Kembali
Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar
perpustakaan. Di sana terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastera
dan sajak terdapat di situ!
Satu di
antara beberapa kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama
sajak-sajak kuno. Maka melihat begitu banyaknya kitab-kitab sajak di dalam
rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum
sehingga sepasang matanya bersinar-sinar, ada pun jari-jari tangannya meraba
dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.
“Aku
mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang senang membaca
sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang sangat menyenangkan!
Aku pun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!”
Ahh, kiranya
banyak sifat-sifat nenek ini yang sangat berlawanan dengan nama besarnya
sebagai datuk kaum sesat. Dia pernah berjumpa dengan Tung-hai-sian, Pak-san-kui
dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka itu memang
semuanya hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan.
Akan tetapi
Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pintar bermain yang-kim, pintar pula
mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan malah kini suka pula membaca dan
menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek ini juga
benar-benar memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu.
Tiba-tiba
nenek tua itu bertanya, “Pendekar Sadis, sesudah kita saling bertemu, maukah
dalam kesempatan ini engkau menulis sajak untukku sebagai kenang-kenangan?”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. “Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang
dan mungkin saja aku atau pun engkau akan roboh dan tewas? Apa perlunya sajak
dalam saat seperti ini?”
“Heh-heh,
mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang
sekarang ini. Andai kata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan
merupakan kenang-kenangan yang cukup baik.”
Thian Sin
mengerutkan kedua alisnya. Betapa pun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan
merasa yakin bahwa dia akan menang nanti, hal ini telah berkali-kali
disindirkan. Maka dia pun lalu berkata,
“Lam-sin,
memang engkau benar, akan tetapi kematian dapat menimpa siapa saja dalam
pertandingan nanti, termasuk juga engkau. Karena kita belum tahu siapa yang
akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak,
agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya
berupa sajak.”
“Ha-ha-ha,
bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak
masing-masing!” Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia
di dalam kamar perpustakaan itu. Mereka pun lalu menulis sajak. Thian Sin
menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas
meja yang berada di sudut kanan kamar.
Mereka
selesai hampir berbarengan. Lam-sin selesai lebih dahulu, hanya beberapa menit
kemudian Thian Sin pun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh
keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak
bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Kemudian, dengan suara lantang,
nenek itu pun membacakan sajak tulisan Thian Sin.
“Lam-sin datuk
dunia selatan mendatangkan kagum dan heran aku melihat perpaduan antara ketuaan
dan kesegaran keganasan dan kelembutan!”
Sementara
itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah
dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.
“Pendekar
Sadis yang tersohor kiranya hanya seorang pemuda hijau yang lemah lembut dan
halus pandai bersuling dan bersajak betapa amat mengagumkan!”
Mereka
saling pandang kemudian keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak
mereka itu serupa betul. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing sekaligus
juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain!
“Lam-sin,
sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga indah bukan main,” Thian Sin
memuji.
“Hemm,
kepandaianmu menulis sajak juga sangat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis,”
Nenek itu berkata.
Dan pada
saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin!
Maka, sebagai penyesalan bahwa dia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini,
kalau pun bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu
mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian ia akan mengangkat nama
besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu
di dunia, dia berkata.
“Lam-sin
seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu
kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang
golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?”
“Hemm, apa
kau kira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi
orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti
seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah
dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tak peduli dianggap
jahat dan engkau pun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat.
Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa dalam
golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti supaya mereka itu dapat
terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang
mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini sangatlah
berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya
penjahat, akan tetapi aku paling benci bila melihat penindasan, apa lagi
melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu kenapa aku menolong Lian Hong dan
menganggap dia sebagai murid? Karena dia hendak diperkosa orang dan tahukah
engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah
membunuhnya sendiri!”
“Hemm,
memang aku melihat ada kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Ketika berhadapan
denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa sedang berhadapan dengan seorang
datuk sesat, berbeda dengan ketika aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang
lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti
engkau ini semenjak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kau lakukan hal itu,
tentu sekarang engkau sudah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya
yang tercinta.”
Mendengar
kata-kata itu Lam-sin langsung menundukkan mukanya, sementara Thian Sin hanya
memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang
mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan
mulut yang keriputan itu bertanya,
“Ceng Thian
Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?”
Thian Sin
terkejut sekali, bukan hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga
mendengar nenek itu dengan tiba-tiba saja menyebut namanya secara lengkap,
tidak lagi memanggil nama julukannya dengan nada yang mengejek. Juga dia
terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah
disangkanya itu
“Cinta?
Jatuh cinta? Ahh, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang
telah menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta…? Ahh, aku tidak mengerti…”
“Hemm,
bukankah engkau mencinta Lian Hong?”
Thian Sin
menunduk lantas menarik napas panjang. Sukar menyangkal di hadapan nenek yang
matanya tajam ini. “Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis
lain sebelumnya. Akan tetapi sesudah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko,
seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku
meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa
mengenai cinta, mungkin hanya menyangka saja bahwa aku pernah jatuh cinta
kepada setiap gadis yang menarik hatiku.” Thian Sin berhenti sebentar, kemudian
menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, “Engkau sendiri bagaimana,
Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa sampai setua ini
engkau juga belum pernah jatuh cinta?”
Nenek itu
menggelengkan kepalanya. “Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!”
Setelah menjawab demikian, dia pun menyambung cepat, “Mari kita ke
lian-bu-thia!”
Thian Sin
tidak menjawab, hanya mengikuti nenek itu. Hatinya merasa ragu-ragu. Setelah
nenek itu mengajak dirinya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka
maksudnya tentu untuk mengajak dia bertanding. Dan kini dia ragu-ragu!
Bukannya dia
takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek
ini? Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu
lemah lembut nampaknya.
Dia tahu
bahwa apa bila dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh
nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat
berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan jika dia kalah
pun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia!
Akan tetapi, dia sudah tidak dapat mundur lagi.
Seperti pada
ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang
amat mewah dan indah. Di samping sangat luas dan bersih, ruangan lian-bu-thia
ini juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat
baik dipakai berlatih silat atau pun berlatih semedhi. Di sudut terdapat rak
senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat
baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula.
“Nah,
sekarang tibalah saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang
kau kehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang kemudian mencari gara-gara
dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?”
Thian Sin
mengangguk. “Tadinya memang begitu, demi membalaskan kematian keluarga Ciu,
akan tetapi sekarang…”
“Sekarang
bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!”
Merah muka
Thian Sin. “Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi
mengapa aku harus membunuhmu.”
“Engkau
membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan, apakah kematian
banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu masih belum cukup untuk membuat aku
membunuhmu?”
Legalah rasa
hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk
menghadapi Lam-sin sebagai musuh.
“Bagus!
Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Marilah,
Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!” Dan pemuda itu lalu meloncat
ke tengah ruangan lian-bu-thia lantas berdiri tegak dengan sikap tenang.
Dengan
gerakan ringan bagaikan seekor burung pipit terbang saja, Lam-sin juga meloncat
ke depannya. Thian Sin segera waspada. Dia maklum bahwa meski pun dia belum
dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal yang
sudah jelas adalah bahwa nenek ini memiliki ilmu ginkang yang hebat, yang tidak
berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.
“Menurut
penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga
ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi I-beng,
padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mukjijat itu. Agaknya, dalam
hal ilmu silat, engkau malah lebih lihai dari pada putera Pendekar Lembah Naga.
Nah, kini keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!” Lam-sin menantang.
Thian Sin
melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis
dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia pun dapat menduga bahwa nenek
ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada waktu itu Lam-sin
tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka dia segera bertanya, “Lam-sin,
kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan
sepasang pedangmu itu?”
Nenek itu
tersenyum menyeringai dan mengejek. “Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak?
Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat dari pada pedang kalau memang
diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa kau tanya pakai senjata
atau tidak? Kalau engkau sendiri mempunyai seribu macam senjata, keluarkanlah
itu semua, aku tak akan undur selangkah pun!”
“Nenek
sombong, tidak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!” Thian Sin lalu menampar
dengan gerakan sembarangan, tapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang
sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat.
Akan tetapi,
dengan gerakan yang sangat lincah sehingga tidak sesuai dengan orangnya yang
sudah demikian tua, Lam-sin mengelak lantas dengan sama cepatnya, dari samping
dia pun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah
dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja!
Akan tetapi
Thian Sin langsung mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang
sangat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas)
yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikit pun. Namun
jangan kira pukulan itu tidak berbahaya sebab di balik keringanan dan
kelembutan itu terkandung tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali sehingga orang yang terkena pukulan, meski pun kulitnya tidak lecet, akan
tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.
Mereka mulai
saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan ginkang-nya, maka terpaksa Thian Sin
mengimbanginya. Gerakan mereka cepat bukan main dan tiap pukulan, setelah
dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan
mereka yang cepat itu sudah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling
pukul namun selalu mengenai tempat kosong sebab keduanya menghindarkan diri
dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat.
Sesudah
lewat tiga puluh jurus dengan mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin
bahwa kalau dia terus mengandalkan ginkang, maka dia akan menderita rugi karena
harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawannya!
Maka dia pun lalu mengerahkan sinkang-nya, segera menghentikan gerakan
bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah
ilmu silatnya.
Tadi, ketika
dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah memainkan Ilmu Silat
Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dulu diterimanya dari
pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau
setidaknya mampu membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan
luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu
silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.
Melihat
lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya
itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali,
tetapi kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin tetap menyerang dengan sama
cepatnya, hanya bedanya, kini dia mengarahkan satu pukulan ke kepala lawan
dengan tenaga yang sangat dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi.
“Haiiittt…!”
Dia membentak, lalu terdengar desir angin pada saat pukulannya meluncur ke
depan.
“Hemmm…!”
Thian Sin cepat menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang
dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis sambil mengadu kekuatan sinkang.
Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.
“Dukkk…!”
Benturan dua
lengan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu hebat bukan main dan
akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri
juga terhuyung ke belakang sampai tiga langkah!
Nenek itu
terkejut bukan kepalang. Selama ini, belum pernah dia menemukan lawan yang
sanggup menandinginya dalam hal ginkang dan sinkang. Sekarang, walau pun dalam
hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya,
akan tetapi sebaliknya di dalam hal sinkang agaknya dia kalah kuat! Hal ini
membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, dia sudah menerjang lagi
dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan
kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.
Pemuda ini
maklum bahwa lawannya merasa penasaran, maka sambil tersenyum dia pun menangkis
kembali, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka
dia pun menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang masih ditambahnya dengan
khikang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya.
“Desss…!”
Tubuh Thian
Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh
nenek itu terbanting roboh!
Nenek itu
terkejut, namun dia cepat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi,
memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan dia sudah meloncat ke
depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus
dari San-in Kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari dua
tangannya mengepul uap putih.
Melihat ini,
nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa
mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka dia telah mengubah lagi gerakannya,
kini mengandalkan ginkang-nya untuk mendapat kemenangan. Setelah dia mengelak,
tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan mendadak ada sinar hitam menyambar
dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin. Sinar hitam itu menyambar
seperti ular hidup.
Thian Sin
cepat menundukkan kepalanya supaya dapat menghindarkan diri, dan ternyata sinar
hitam laksana ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut
panjang, sepanjang pinggangnya sesudah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan
anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban,
setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung
sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga
ketika menyambar lewat, Thian Sin dapat mencium keharuman kembang.
Kembali
rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, lalu disusul dengan
pukulan-pukulan sepasang tangan dan bahkan kini nenek itu juga mulai
menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat.
Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang
bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main.
Pantaslah
jika nenek ini menjadi datuk sebab ilmu silatnya memang hebat, kecepatannya
sangat menggiriskan, bahkan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih
berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita renta itu. Maka terpaksa dia pun
harus cepat-cepat mengelak atau menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi
dia tidak berani menangkis rambut karena maklum bahwa kalau ditangkis, rambut
yang lemas itu dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan
terancam bahaya.
Thian Sin
mulai terdesak oleh serangan-serangan yang sangat dahsyat itu. Tiba-tiba saja
pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning yang
tadinya melibat di pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu
permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng.
Dia tahu
bahwa satu-satunya senjata yang sanggup melawan senjata rambut itu hanyalah
sabuknya ini. Sabuk ini memiliki sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau
perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sinkang. Ada pun kipasnya bisa
dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas itu
tetap saja dapat mengirim pukulan.
Kembali
lewat lima puluh jurus. Benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya
yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu bagaikan seekor naga
kuning yang melayang-layang, dengan ujung sabuk yang dapat menotok jalan darah
dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek
itu pun kembali terdesak.
“Lihat
jarumku!” tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti
kilat.
Thian Sin
terkejut sekali, cepat mengebut dengan kipasnya sambil melempar tubuhnya ke
belakang lantas dia bergulingan. Kipasnya sudah berlubang oleh jarum-jarum
merah yang beracun! Keringat dingin segera membasahi lehernya karena pemuda ini
maklum bahwa baru saja dia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut
nyawanya!
Nenek itu
tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua
tangannya. Dia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak
ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam
menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar.
Ternyata dua
batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang
itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan
sepasang pedang itu amat hebatnya, juga aneh sekali. Maka tahulah dia bahwa
nenek itu benar-benar sangat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa
ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk
Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh
nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.
Memang hebat
permainan pedang nenek itu sehingga biar pun Thian Sin sudah berusaha untuk
memutar kipas dan sabuknya, tetapi tetap saja dia terdesak, bahkan lewat
belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya sudah terbabat putus oleh sinar
hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat.
Thian Sin
terpaksa menyimpan sabuknya lantas mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar
perak berkelebat.
“Trang!
Cringgg…!”
Nampak bunga
api berpijar pada waktu dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang
pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang dia tahu akan
kekuatan dahsyat pemuda itu, maka dia pun cepat-cepat menyerang lagi, tidak mau
mengadu senjata lagi.
Thian Sin
juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan
pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa
sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu dengan gerakan kepalanya
sehingga membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak
kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi.
Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang
paling berbahaya dan lihai!
Maka,
sesudah semenjak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang
menang atau kalah dan mereka itu saling mendesak, Thian Sin lalu mengeluarkan
suara melengking panjang dan sesudah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan
kirinya membuat gerakan menyerong miring, lantas dari tangan ini menyambar
angin pukulan dahsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya.
Serangan
tangan kiri itu dahsyat bukan kepalang karena dia sudah mengeluarkan ilmunya
yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang telah disempurnakannya di
dalam goa, langsung di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri
berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.
Nenek itu
mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yakni yang kiri, terlepas
dari pegangan tangan. Dia masih mampu menangkis, kemudian menahan desakan Thian
Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya,
lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang.
Nenek itu
bingung menghadapi serangan-serangan ini. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena
sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan
dahsyat yang membuat dia selalu terdorong mundur. Maka nenek itu pun menjadi
nekat. Dia mengerahkan seluruh khikang-nya dan melawan keras sama keras!
Beberapa
kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu hingga
akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, dia memang nekat
dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar
biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, dia masih terus melawan
dengan nekat dan bahkan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa
penasaran, kasihan dan tidak enak sekali. Mengapa nenek ini masih belum juga
mengaku kalah?
Ketika nenek
itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang
memegang pedang, lalu dia menggerahkan Thi-khi I-beng! Nenek itu menjerit, akan
tetapi tiba-tiba saja seluruh tubuhnya lalu mengendur sehingga sinkang tak lagi
membanjir keluar. Agaknya nenek yang sangat lihai ini memiliki kecerdikan
sehingga dia tahu persis bagaimana menghadapi Thi-khi I-beng.
Kepalanya
cepat bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular
hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti
ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang.
Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.
Karena mulai
kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa perlu
membunuhnya, mendadak Thian Sin berjungkir balik dan dia sudah menggunakan
Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan
lantas terdengar nenek itu berteriak kaget dan roboh terguling, kedua kakinya
terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari-jari tangan Thian Sin yang
tubuhnya berjungkir balik itu.
Sebelum
pedang itu kembali menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh
Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek
yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata,
“Lam-sin
apakah engkau belum juga mengaku kalah?”
Sejenak
mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, sekaligus juga kasihan
karena melihat nenek itu tiba-tiba saja menangis! Thian Sin tidak dapat berkata
apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya
ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil!
Menangis terisak-isak!
“Kau… kau
kenapakah, nek?” Thian Sin bertanya sambil mendekati.
“Aku sudah
kalah… lebih baik mati…!” Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang
hitamnya ke arah leher sendiri.
“Jangan…!”
Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu.
Lam-sin
meronta, akan tetapi Thian Sin segera merangkul dan memeluknya, memegangi pula
pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan,
masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat
berkurang, bahkan menjadi lemah sehingga dia tidak meronta lagi, melainkan
menangis.
Sementara
itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya secara tidak sengaja,
tangan berikut tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia pun
merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh,
sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas
jika menjadi tubuh seorang dara!
“Kenapa
engkau hendak membunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?” Thian Sin
bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walau pun pedang hitam
itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.
“Engkau
tahu… mengapa sampai saat ini aku belum menikah?” Akhirnya Lam-sin berkata dan
ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu
melanjutkan, “Aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku
kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku… dan sampai detik ini… sebelum
ini tidak ada seorang pun pria yang mampu menandingiku… karena itu aku belum
pernah… sampai sekarang aku masih perawan… dan setelah akhirnya ada yang dapat
mengalahkan aku… hu-hu-huh… engkau… engkau tentu tidak akan sudi menerimaku… maka
dari pada aku terhina, lebih baik aku mati…!”
Thian Sin
tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya
tubuh itu yang terasa hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah
dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang
tidak mungkin. Sepasang mata itu demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan
mata nenek-nenek biar pun di pinggir mata itu keriputan.
Dan
sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini
bicara tadi, keriput pada pipinya, di tepi hidung dan mulut, juga di tepi
matanya, sama sekali tak berubah, sama sekali tak bergerak. Mana ada keriput
begitu kaku sehingga tidak bergerak ketika mulut bicara?
Juga suara
nenek ini demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan
suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet
berwarna putih bersih, biar pun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut
terlalu lebar agar giginya jangan nampak.
“Engkau
keliru, nenek tua renta yang baik!” Thian Sin berkata. “Biar pun engkau seorang
nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau
memang demikian sumpahmu, aku pun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu
untuk memenuhi sumpahmu.”
“Kau… kau
mau…?” Lam-sin berkata dengan mata terbelalak.
Thian Sin
melihat betapa indahnya mata itu. Dia pun tersenyum dan mengangguk, lalu dia
memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya.
“Benarkah
kau… kau mau…?” Nenek itu seolah-olah tidak percaya.
Thian Sin
mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher
yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikit
pun tak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia dapat mencium bau
harum minyak wangi.
“Di antara
seluruh kamar yang ada di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi
belum kulihat, karena itu coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, maka aku akan
buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin.”
Ketika
dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya
sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya, dan hanya terdengar bisikan
dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, “Ke kiri… melalui pintu kiri
itu…”
Thian Sin
segera melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan
selanjutnya, tanpa pernah mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin
lalu menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh
Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu
berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar!
Ketika Thian
Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu hingga terbuka, dia tercengang dan
kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak
harum menyambut hidungnya. Kamar itu dilengkapi dengan perabot yang serba indah
dan mahal, dan tampak begitu bersihnya, sama sekali tak pantas menjadi kamar
nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana!
Thian Sin
melangkah masuk, lantas mempergunakan jari tangan yang memondong untuk
menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek
itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna
merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh
pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu
nampak romantis dan indah sejuk.
“Kau… kau
tidak mau membebaskan aku dari totokan?” tanya nenek itu.
“Ahhh, tentu
saja! Aku sampai lupa, maafkan.”
Dengan halus
Thian Sin meraba pinggang nenek itu. Dia bukannya menotok secara kasar,
melainkan mengurut dan menekan lembut hingga totokan itu pun punah. Thian Sin
duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu.
Otomatis
Lam-sin cepat-cepat menarik kakinya yang diraba. “Apa… apa yang hendak kau
lakukan…?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.
Thian Sin
tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tak lebih seperti seorang dara remaja yang
pemalu. “Aku hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus
melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor…”
“Nanti…”
kembali Lam-sin menarik kakinya. “Kau… kau padamkan dulu lampu itu. Aku… aku
tidak bisa, aku malu… padamkan lekas, Thian Sin…”
Thian Sin
meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan di dalam
kamar yang kini telah menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan
sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu.
Dan malam
itu Thian Sin mengalami sesuatu yang sangat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu
lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara muda
yang memiliki tubuh indah, montok dan yang benar-benar selamanya belum pernah
berdekatan dengan seorang pria!
Dan wanita
ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati dan rela, bahkan menangis saking
bahagianya ketika berada di dalam pelukannya. Mereka itu bagaikan pengantin
baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian Sin adalah bahwa mereka berada
di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan
lampu.
“Thian Sin,
kasihanilah aku… jangan nyalakan lampu… engkau tunggu saja hingga besok pagi…
ahh, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini… setelah aku menemukan
engkau… engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya… maafkan aku.”
Tentu saja
Thian Sin mau memaafkannya dan pada saat dia menciumnya, Lam-sin balas mencium
dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biar pun
wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka
demikian persisnya sehingga dia sendiri pun sebelum berdekatan muka tidak akan
pernah menyangkanya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah
seorang gadis cantik.
Tentu saja
hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, walau pun
dia tidak dapat melihatnya, akan tetapi dia dapat merabanya dan memperoleh
kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, dan masih gadis.
Bermain
cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita
yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan
pengalaman baru bagi Thian Sin maka mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapa
pun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran,
penuh kerelaan dan kemesraan.
Setelah
malam lewat, pada keesokan harinya, sesudah sinar matahari mulai menerobos
masuk sehingga kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin
cepat menyembunyikan dirinya ke dalam selimut! Bahkan mukanya pun
disembunyikannya, dan seluruh tubuhnya tertutup selimut!
Thian Sin
bangkit duduk sambil tertawa. “Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan
mari kau memperkenalkan dirimu!”
Dari dalam
selimut terdengar suara yang gemetar, “Aku… aku malu…”
“Ihh,
bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walau
pun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi
pujaanku…”
“Thian Sin,
jangan merayu engkau!”
“Sungguh, aku
telah jatuh cinta padamu, dewiku…”
“Kepada
Lam-sin nenek tua renta?”
“Bukan,
melainkan pada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah.”
Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan… dia pun
terpesona!
Memang sudah
diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi
tidak pernah diduganya akan sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan
manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang
berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali
dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu.
“Ya Tuhan…
engkau sangat cantik jelita!” katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya,
mendekatkan muka itu lantas menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai
terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan
lembut.
“Thian Sin,
benarkah bahwa engkau cinta padaku?”
“Sungguh
mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!”
“Engkau tahu
Thian Sin, bahwa aku sudah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan,
untuk memenuhi sumpahku.”
Thian Sin
mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. “Dan aku merasa terharu,
merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku.”
“Akan tetapi
ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi
isterimu.”
Terkejut
juga Thian Sin ketika mendengar hal ini. Sungguh aneh sekali. Dia melepaskan
rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita
ini, dan mempunyai bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung
sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan agaknya dia pun takkan
pernah keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment