Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 18
DUA orang
muda itu bagaikan lupa akan segala, hanya menuruti gairah nafsu birahi dan
mabuk dengan permainan cinta mereka. Mereka itu tak ada ubahnya sepasang
pengantin baru yang tahunya hanya makan minum serta bermain cinta. Cian Ling
selalu melayani kekasihnya dengan mencarikan buah-buahan, memanggang daging
kelinci dan kambing hutan, dan hubungan antara mereka menjadi semakin mesra
saja.
Dan pada
keesokan harinya, ketika matahari meneroboskan cahaya melalui celah-celah daun
pohon dan menimpa tubuh mereka, menggugah mereka dari tidur nyenyak karena
kelelahan, mereka terbangun dengan hati gembira dan dengan sinar mata saling
pandang penuh kemesraan.
Thian Sin
maklum bahwa kalau dia tidak hati-hati, dia bisa benar-benar jatuh cinta kepada
wanita cantik yang menjadi wanita pertama yang pernah memilikinya. Akan tetapi,
setelah mereka mandi di sumber air di dalam hutan dan sarapan pagi dengan
daging panggang, tiba-tiba saja muncullah See-thian-ong yang memang sudah
mereka duga sewaktu-waktu tentu akan muncul juga.
Kemunculan
datuk kaum sesat wilayah barat ini hebat bukan main. Mula-mula terdengar
suaranya, suara yang terdengar berat dan parau, akan tetapi yang datangnya
entah dari mana, dan tahu-tahu terdengar suara itu seperti dekat sekali dengan
mereka, memanggil nama muridnya.
“Cian Ling…
di mana kau…?”
Mendengar
suara ini, wajah gadis itu lantas berubah. Betapa pun juga, diam-diam dara ini
memang merasa jeri sekali terhadap suhu-nya yang sakti, sebab itu secara
diam-diam dia pun mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Mendengar suara ini,
dia pun tidak berani berayal lagi dan cepat-cepat menjawab sambil mengerahkan
khikang-nya karena dia tahu bahwa suhu-nya itu masih jauh, mungkin masih berada
di luar hutan.
“Teecu di
sini, suhu…!”
Berkata
demikian, dia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berhati-hati. Pemuda itu
tetap duduk di atas rumput, kelihatan tenang saja walau pun jantungnya berdebar
tegang dan seluruh syaraf di tubuhnya telah siap siaga menghadapi segala
kemungkinan.
Tiba-tiba
ada angin bertiup dari arah selatan. Thian Sin cepat memandang dengan penuh
perhatian ke arah itu. Terdengar suara berkerosakan seperti ada binatang buas
datang dari tempat itu lalu nampak daun-daun kering berhamburan bagaikan
dilanda angin ribut. Melihat ini, Cian Ling sudah menghadap ke arah itu sambil
merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil berkata, “Suhu…!”
Cara
pemberian hormat dari Cian Ling ini sederhana saja, tidak berlutut seperti
kebiasaan murid terhadap gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa hubungan
antara guru dan murid ini lebih akrab dari pada guru-guru dan murid-murid
lainnya.
Thian Sin
memandang penuh perhatian dan dia kagum juga pada saat melihat bayangan seorang
laki-laki tinggi besar datang dengan gerakan yang amat gagah dan tangkas. Apa
lagi setelah laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat itu, dia memandang
kagum.
Tak seperti
Pak-san-kui yang berpakaian seperti seorang kakek hartawan, See-thian-ong ini
merupakan seorang kakek yang bertubuh tinggi besar dan gagah sekali. Usianya
lebih muda dibandingkan Pak-san-kui, belum ada enam puluh tahun, dan tubuhnya
yang tinggi besar itu cocok dengan kulit mukanya hitam. Namun, bukan hitam
buruk, melainkan hitam legam yang halus dan membuat dia nampak gagah,
mengingatkan orang akan tokoh Thio Hwi, yaitu tokoh cerita Sam-kok yang gagah perkasa.
Dengan
pakaian yang tidak terlalu mewah, mukanya yang hitam itu dihias sepasang mata
yang lebar dan bundar, bersinar-sinar bagaikan mata harimau. Dari wajahnya dan
gerak-geriknya terbayanglah kejantanan, kegagahan, kekasaran dan watak jujur
yang tidak suka berpura-pura.
Rambutnya
digelung ke atas, model rambut tosu dan tangan kirinya memegang sebatang
tongkat. Inilah dia See-thian-ong yang amat terkenal itu, pikir Thian Sin tanpa
bangun dari tempat duduknya. Pemuda ini memang sengaja bersikap tak acuh untuk
membangkitkan rasa penasaran di dalam hati datuk itu.
“Apakah suhu
datang karena dibakar oleh ocehan dari Ciang-suheng?” Cian Ling bertanya dan
cara dara itu bertanya demikian terbuka juga menunjukkan bahwa ia memang sudah
biasa bersikap biasa seperti itu terhadap gurunya.
Semenjak
kemunculannya tadi, sepasang mata yang melotot itu sungguh mengingatkan Thian
Sin akan mata tokoh Thio Hwi, selalu menatap kepada Thian Sin yang masih duduk
di atas rumput. Menurut cerita Sam-kok, sepasang mata Thio Hwi juga selalu
terbelalak dan tidak pernah atau jarang sekali dipejamkan sehingga pernah
ketika tokoh Thio Hwi itu berjaga sambil tertidur dan sepasang matanya tetap
terbelalak, membuat pasukan musuh ketakutan karena mengira bahwa orang gagah
ini tidak tidur!
“Ha-ha-ha-ha!
Siapa mau mendengar ocehan orang? Aku hanya tertarik, mendengar dari suheng-mu,
bahwa putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw datang berkunjung! Dia itukah
orangnya?”
“Benar,
suhu, dia adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw jagoan
nomor satu di dunia itu. Dia datang karena ingin berkenalan dengan suhu.”
“Ha-ha-ha,
yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak bisa menyalahkan
engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya
dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan
nomor satu di dunia? Ha-ha-ha, hal itu harus dibuktikan dahulu. Orang muda,
mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kau layani aku barang sepuluh
jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini.”
Thian Sin
bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk
yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang
memiliki sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan
mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang.
Tentu kakek
ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan
murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan
hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti
itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tak akan berani
memandang rendah sehingga akan mengeluarkan kepandaiannya.
“Locianpwe,
sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena
sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di
empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang sangat
mengharapkan petunjuk darimu.” Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan
berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang.
“Ha-ha-ha-ha,
bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah
menggetarkan dunia kang-ouw itu. Nah, kini bersiaplah, orang she Ceng! Biar
muridku menjadi saksi siapa di antara kita yang lebih unggul, aku,
See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!”
Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin
tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik
hati banyak wanita.
Akan tetapi,
sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju dan
menghadapi suhu-nya, lalu berkata, “Suhu…!”
“Ehh, ada
apa manis?”
“Jangan suhu
mencelakakan dia…!”
“Ha-ha-ha,
kau khawatir kalau aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di
dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng dari pada dia.”
“Tapi aku…
aku cinta padanya, suhu.”
Sepasang
mata yang sudah lebar itu terbelalak. “Kau…? Cinta…? Uh, betapa bodohnya.
Bukankah sudah sering kuajarkan padamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan?
Bahwa cinta hanya akan mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak
berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti.”
Dengan kasar dia kemudian menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping.
Terpaksa
Cian Ling meloncat ke pinggir lantas memandang dengan alis berkerut karena
betapa pun juga, dia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari
gurunya. Dan dia masih belum puas dengan pemuda itu sehingga tidak ingin
kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya.
Kakek itu
menggerakkan tangan yang memegang tongkat, lantas benda itu menancap di atas
tanah sampai setengahnya. “Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang
itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku
lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan pedangmu, orang muda.”
Manusia
sombong pikir Thian Sin. Dia pun tak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan
pedangnya, bukan dicabut melainkan mengeluarkan berikut sarungnya dan dia pun
lantas menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah.
“Locianpwe,
aku datang untuk minta petunjuk, dan di dalam adu ilmu haruslah terkandung
kejujuran dan keadilan. Apa bila locianpwe tidak mempergunakan senjata, aku pun
masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu.”
Mata kakek
itu semakin terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya
karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai, seperti yang telah
kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari
kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!”
“Aku yang
muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!”
Sikap Thian
Sin yang selalu berlaku mengalah ini sungguh-sungguh merupakan tamparan bagi
See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkatan yang lebih tinggi,
dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan
tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah
kepadanya!
“Bocah
sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!” bentaknya dan
sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah.
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Dia tidak ingin kakek itu main-main,
akan tetapi ingin memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya
untuk dapat diukurnya.
Setelah
mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan dua lengannya
yang berkulit hitam berbulu panjang dan berukuran besar itu menyambar dari
kanan kiri. Dua tangannya dengan telapak tangan terbuka menyambar dari kanan
kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk
dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin!
“Parrrrr…!”
Dua tangan
itu saling bertemu ketika dengan gerakan lincah Thian Sin sudah melangkah
mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain
mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap lantas tahu-tahu kedua tangan
itu sudah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan
mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan
terbuka menusuk ke arah lambung!
“Hemmm…!”
Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh sangat ganas dan cepat,
sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat. Dia pun
cepat-cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua
lengan itu dengan kedua tangannya.
“Plakk!
Dessss…!”
“Ahhh!
Inikah Thian-te Sin-ciang?” Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua
lengannya yang disaluri penuh tenaga sinkang itu bisa terpental akibat terkena
tangkisan pemuda itu.
Maklumlah
dia bahwa berita yang didengarnya mengenai pemuda ini tidak kosong belaka.
Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini
mempunyai tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada tenaga murid-muridnya
yang paling pandai sekali pun.
Thian Sin
tidak mempedulikan seruan kakek itu dan dia pun cepat membalas serangan lawan
dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan
tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu
ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan kini dia mempunyai kesempatan untuk
menggunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh.
Begitu
dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong segera menjaga diri, mengelak
dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia
tidak yakin mengenal ilmu silat itu.
“Apa ini?
Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini… hemm, pernah aku
mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?”
Thian Sin
mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan semua ilmu
silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus dari
Thai-kek Sin-kun, juga San-in Kun-hoat dengan dibantu tenaga Thian-te
Sin-ciang.
Kakek itu semakin
kagum, karena semua ilmu itu dikenalnya sebagai ilmu-ilmu silat yang
benar-benar sangat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh
terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat
masing-masing itu.
Thian Sin
juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk
yang sudah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti
ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua
ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu. Maka dia lalu
mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan
kagum sekali.
Oleh karena
maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang
diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar
kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini
See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di
sekeliling tempat itu, dan berdiri dengan kedua kaki serta tangan terpentang
lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada
kakek itu.
Melihat
kakek itu berdiri dengan dada terbuka, mendengar pula betapa menyusul suara teriakan
itu dan tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu
sudah mempergunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut
sebagai Ilmu Hoa-mo-kang. Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk
menguji sampai di mana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama
sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul.
“Blukkkk…!”
Pukulan
tangan kanan Thian Sin yang menggunakan Thian-te Sin-ciang sepenuh tenaga itu
tepat mengenai dada, dan telinga Thian Sin laksana mendengar suara tambur
dipukul lalu tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul
bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung akibat terbawa
oleh tenaga Thian-te Sin-ciang yang membalik kembali melalui tangannya, dan
untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik
mematahkan tenaga yang membalik itu.
“Ha-ha-ha,
bagaimana pendapatmu tentang ilmuku tadi, orang muda? Dapatkah engkau
melawannya?” See-thian-ong tertawa pula, hatinya merasa puas dan girang saat
melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya.
“Locianpwe,
ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah.”
Setelah
berkata demikian, pemuda itu menerjang lagi ke depan, akan tetapi sekarang dia
menggunakan dua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tak
terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, dan bagian
tubuh lainnya yang tulangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti
tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya.
“Ahhh, kau
memang cerdik!” Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang
terserang itu.
Akan tetapi
karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan
sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang
terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, maka otomatis
tangannya langsung membalas serangan dari samping.
“Bluggg…!
Dessss…!”
Ketika
dengan kekuatan sepenuhnya tangan Thian Sin menyambar ke arah pundak untuk
membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu cepat miringkan tubuhnya sehingga
pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar
punggung Thian Sin.
Tubuh pemuda
itu terpelanting, lantas bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi
beruntung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang
sehingga tubuhnya pun menjadi kebal akibat terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak
terluka, sungguh pun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat
isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak!
“Ha-ha-ha!”
See-thian-ong tertawa girang dan bangga.
Thian Sin
menjadi penasaran dan juga marah. Dia telah menerjang kembali, menusukkan
telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan
tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan.
Kakek itu
menaikkan tubuh dan miring, sehingga kembali pukulan itu luput dan mengenai
dada, dan pada saat itu kakek itu menggunakan kedua tangannya untuk
mencengkeram tengkuk dan punggung Thian Sin dengan jalan merangkulnya bagai
seekor beruang. Akan tetapi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan teriakan
keras.
“Aughhhhh…!”
Kakek itu terkejut bukan kepalan karena begitu kedua tangannya mencengkeram,
tenaga Hoa-mo-kang itu memberobot keluar melalui kedua tangannya lantas
tersedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!
“Thi-khi
I-beng…!” teriaknya.
Tiba-tiba
saja tubuhnya seperti bola terisi penuh angin yang bocor, mengempis kembali
lantas seluruh tenaganya lenyap sehingga dengan sendirinya tenaga sedot Thi-khi
I-beng juga tidak berguna lagi dan terlepaslah kedua tangan yang melekat itu.
Kakek itu cepat melempar tubuh ke belakang dan sebelum pemuda itu dapat
menyerangnya kembali, dia telah bergulingan ke arah tongkatnya dan meloncat
lagi dengan tongkat di tangan!
Mukanya
berubah merah sehingga menjadi makin hitam, dan sepasang matanya seperti
mengeluarkan api. Peristiwa tadi, dalam satu gebrakan ketika dia dikejutkan oleh
Thi-khi I-beng, sungguh merupakan tamparan baginya. Biar pun dia belum dapat
dikatakan kalah, namun segebrakan tadi menunjukkan bahwa fihak lawan yang lebih
unggul! Tak mungkin dia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda remaja seperti
itu.
“Orang muda
she Ceng, engkau memiliki banyak sekali ilmu tangan kosong yang hebat-hebat,
bahkan Thi-khi I-beng yang baru sekarang kusaksikan sendiri sempat mengejutkan
hatiku. Nah, aku sudah terlanjur memegang tongkat, mari kita main-main dengan
senjata!”
Thian Sin maklum
bahwa kini kakek itu tentu akan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang menurut Cian
Ling merupakan ilmu simpanan kakek itu yang amat hebat di samping Ilmu
Hoa-mo-kang tadi. Dia tadi sudah tahu akan Ilmu Hoa-mo-kang yang amat dahsyat,
akan tetapi dengan Thi-khi I-beng, dia akan dapat menghadapi Hoa-mo-kang
sehingga dia tak perlu lagi takut terhadap ilmu kakek itu.
Kini, kakek
itu hendak mengeluarkan ilmu simpanannya, maka hal itu baik sekali baginya
untuk menguji. Sebelum dia mengambil sikap keras untuk menentang See-thian-ong
ini, terlebih dahulu dia harus dapat mengukur sampai di mana kelihaian lawan.
Maka dia pun meraih pedang berikut sarungnya yang tadi dia tancapkan di atas
tanah dan di lain detik sudah nampak sinar perak berkilauan ketika dia mencabut
Gin-hwa-kiam dari sarungnya.
“Aku akan
melayani locianpwe dan mohon petunjuk,” katanya dengan sikap merendah.
Akan tetapi
karena tadi dalam gebrakan terakhir dia merasa dirugikan, kini melihat sikap
merendah itu bagi See-thian-ong seperti ejekan saja, maka sambil mengeluarkan
seruan keras dia pun mulai menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu
terbuat dari kayu biasa saja, akan tetapi begitu digerakkan oleh tangan yang
berukuran besar milik See-thian-ong, berubahlah tongkat itu menjadi gulungan
sinar yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi aneh, juga
gerakan-gerakannya luar biasa anehnya. Tahu-tahu ujung tongkat itu telah
melakukan totokan bertubi-tubi sehingga pada waktu Thian Sin menangkis dan
mengelak darinya, ujung tongkat itu secara berantai telah melakukan tiga belas
kali totokan sambung menyambung ke arah jalan-jalan darah maut di bagian depan
tubuh lawan!
Thian Sin
terkejut bukan main. Tak keliru keterangan Cian Ling. Memang ilmu silat kakek
ini menjadi luar biasa hebatnya setelah dia memegang tongkat! Belum pernah dia
melihat ilmu tongkat sehebat ini, dan ujung tongkat itu tergetar menjadi banyak
sekali.
Inilah yang
membuat ilmu tongkat kakek itu amat berbahaya, oleh karena ujungnya yang
tergetar sehingga kelihatan menjadi banyak itu sukar diketahui mana yang asli
dan mana bayangan-bayangannya. Hal ini membuat tongkat itu amat berbahaya.
Juga Thian
Sin teringat akan ilmu Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang pernah
dipelajarinya dari ibu kandungnya. Siang-bhok Kiam-sut juga memiliki dasar yang
bisa membuat sebatang pedang kayu sama ampuhnya dengan sebatang pedang pusaka.
Akan tetapi gerakannya jauh berbeda dengan ilmu tongkat kakek ini sehingga dia
tetap belum dapat menyelami dan dalam gebrakan pertama itu, dia terdesak hebat.
Thian Sin
berlaku hati-hati sekali, memutar pedang Gin-hwa-kiam dengan Ilmu Thai-kek
Sin-kun yang mengandung daya pertahanan sangat kuat untuk dapat melindungi
dirinya dari ancaman bayangan ujung tongkat yang amat cepat itu.
Melihat
betapa ilmu tongkatnya yang sangat dia banggakan itu kembali dapat mendesak
lawan, kegembiraan See-thian-ong bangkit lagi. Dia mulai tertawa-tawa dengan
girang dan sengaja menggunakan tongkatnya untuk mempermainkan lawan.
Memang hebat
sekali ilmu tongkatnya itu. Tongkat di tangannya itu seolah-olah hidup dan
menyambar-nyambar dari segala jurusan. Memang, dengan mengandalkan kepada daya
tahan Thai-kek Sin-kun, Thian Sin masih bisa melindungi dirinya dengan membuat
dirinya seperti terkurung benteng baja. Akan tetapi tidak mungkin dalam suatu
pertandingan dia hanya membela diri saja tanpa membalas serangan.
Akan tetapi,
setiap kali dia membalas, bahkan sudah dicobanya Ilmu Pedang Siang-bhok
Kiam-sut, tetap saja setiap kali dia menyerang dia malah hampir saja celaka
akibat kena disambar tongkat sehingga dia pun harus cepat-cepat kembali
berlindung dalam gerakan Thai-kek Sin-kun untuk menyelamatkan dirinya. Memang
benar dia pernah mempelajari Siang-bhok Kiam-sut, akan tetapi pada saat
mempelajarinya itu, dia masih kecil dan dasar kepandaiannya belum matang
sehingga ilmu itu pun kurang terlatih, atau inti sari ilmu itu masih kurang
dapat dikuasainya.
Sesungguhnya,
ilmu silat apa pun juga mengandung daya guna sendiri-sendiri dan hanya
kematangan dalam menguasai suatu ilmu itulah yang membuat ilmu itu menjadi
berguna dan kuat. Andai kata Thian Sin sudah betul-betul menguasai Siang-bhok
Kiam-sut secara sempurna, belum tentu dia akan merasa terdesak oleh Ilmu
Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dimainkan oleh See-thian-ong itu.
Ilmu silat
hanya merupakan dasar gerakan saja yang mengandung unsur-unsur membela diri
atau menyerang. Ketangguhan seseorang bukan tergantung sepenuhnya dari macam
ilmu silatnya, melainkan tergantung kepada dirinya sendiri, kepada
kematangannya dalam menguasai ilmu yang dimilikinya itu.
Tidak dapat
dikatakan mana yang lebih kuat di antara Siang-bhok Kiam-sut dan Giam-lo Pang-hoat.
Akan tetapi jika yang memainkan Siang-bhok Kiam-sut adalah Thian Sin yang masih
mentah dalam ilmu itu, dan yang mainkan Giam-lo Pang-hoat adalah See-thian-ong
pencipta ilmu itu, tentu saja Thian Sin kalah jauh! Buktinya, dahulu tokoh
Cin-ling-pai yang merupakan pendiri Cin-ling-pai dan orang pertama yang
menguasai Siang-bhok Kiam-sut, dengan pedang kayu harumnya dan ilmu pedangnya
itu belum pernah bertemu tanding!
Kepandaian
manusia memang ada batasnya, atau lebih tepat lagi, kemampuan manusia untuk menguasai
suatu kepandaian akan ilmu pengetahuan adalah terbatas sekali. Kalau seseorang
menghendaki agar dia menjadi ahli dalam suatu ilmu, dia harus mencurahkan
seluruh perhatian dan kekuatan pikirannya untuk mempelajari dan memperdalam
ilmu itu. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau memang pada dasarnya ada minat
dan rasa cinta terhadap ilmu tertentu itu.
Jadi, syarat
bagi seorang ahli membutuhkan tiga dasar, yaitu bakat, minat dan cermat. Bakat
dalam arti kata kecenderungan kemampuan alamiah terhadap ilmu tertentu itu, dan
bakat ini seolah-olah terbawa lahir oleh seseorang sehingga sebelum dia itu
tahu apa-apa tentang suatu ilmu, dia telah memiliki kemampuan yang lebih besar
dibandingkan dengan orang lain apa bila dihadapkan pada ilmu itu.
Minat adalah
rasa cinta atau rasa suka akan ilmu yang dipelajarinya itu karena tanpa adanya
minat atau rasa tertarik atau rasa suka ini, tentu saja dia tidak akan
bersemangat mempelajarinya. Yang terakhir adalah kecermatan, atau ketekunan di
dalam mempelajari ilmu itu.
Bakat
memudahkan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu, lalu minat mendatangkan
gairah belajar, dan kecermatan menuntun kepada ketertiban belajar. Kalau
ketiganya ini digabungkan menjadi satu, maka akan berhasillah seseorang menjadi
ahli. Jika satu saja di antara ketiganya ini tidak ada, maka akan sukarlah
untuk menjadi ahli dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.
Thian Sin
adalah seorang pemuda yang memiliki bakat besar sekali dalam hal ilmu silat.
Pada saat masih kecil sekali, hal ini dapat nampak jelas. Begitu belajar,
secara naluriah gerakannya sudah cekatan dan patut. Dan dia memang mempunyai
minat yang sangat besar terhadap ilmu silat.
Akan tetapi,
pengalamannya membuat dia di dalam usia muda sudah dijejali oleh banyak sekali
ilmu silat tinggi sehingga dia tidak sempat untuk mematangkan satu pun di
antara ilmu-ilmu itu. Oleh karena ketidak matangan inilah, maka begitu dia
berhadapan dengan lawan yang sudah matang ilmunya seperti See-thian-ong ini,
dia menjadi kewalahan dan terdesak terus.
Cian Ling
yang sejak tadi mengikuti jalanannya pertandingan, memandang gelisah setelah
melihat pemuda itu terdesak hebat oleh tongkat gurunya. Tadi pada waktu dua
orang itu bertanding dengan tangan kosong, berkali-kali Cian Lin menahan seruan
kagum melihat betapa pemuda itu bukan saja dapat menandingi gurunya, bahkan
mampu mendesak dan bahkan pada gebrakan terakhir gurunya itu nyaris kalah! Akan
tetapi, setelah kini gurunya menggunakan tongkatnya, dia melihat betapa Thian
Sin terdesak hebat dan sinar pedang perak itu semakin lama menjadi semakin
kecil dan suram, didesak dan dihimpit oleh sinar tongkat di tangan suhu-nya yang
terus terkekeh-kekeh dengan senang.
Dia sudah
mengenal gurunya, dan mengenal kekejaman hati gurunya yang tak mengenal ampun
itu. Tentu saja dia merasa amat khawatir akan keselamatan Thian Sin. Dia belum
ingin kehilangan pemuda yang amat menyenangkan hatinya itu.
Melihat
betapa gurunya tertawa-tawa dan mendesak terus, bahkan sudah beberapa kali dia
melihat ujung tongkat gurunya itu menghajar pangkal lengan kiri serta paha
kanan kekasihnya, Cian Ling tidak mampu lagi menahan hatinya.
“Suhu,
jangan celakai dia…!”
“Ha-ha-ha-ha,
dia belum kalah, heh-heh-heh, bukankah begitu, orang muda?” Kakek itu mengejek.
Akan tetapi
dia sungguh kecelik kalau mengira bahwa Thian Sin mengaku kalah. Pemuda ini
memang telah terkena beberapa kali pukulan, akan tetapi dengan pengerahan
Thian-te Sin-ciang, tubuhnya kebal dan hanya terasa kulit dagingnya saja memar,
akan tetapi tidak sampai menderita luka parah sehingga dia masih terus bisa
melakukan perlawanan tanpa pernah mengendur sedikit pun juga. Mendengar
pertanyaan yang mengandung ejekan itu, dia menahan kemarahannya.
“Aku memang
belum kalah, locianpwe!” katanya.
“Ha-ha-ha-ha,
agaknya kalau belum mampus engkau tidak akan merasa kalah!” Kakek itu memutar
tongkatnya lebih keras dan Thian Sin terkejut bukan main karena tanpa dapat
dihindarkannya lagi, dadanya kena ditotok atau didorong oleh tongkat itu yang
bergerak secara aneh sekali.
“Dukkk…!”
Dia tidak
terluka parah karena tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi dirinya. Akan tetapi
guncangan oleh totokan yang amat keras itu membuat napasnya seperti terhenti
sehingga dia terpelanting.
“Thian
Sin…!” Cian Ling berteriak, akan tetapi pemuda itu sudah bangkit kembali.
Thian Sin
maklum bahwa kalau dia hanya menggunakan ilmu-ilmunya yang biasa, maka dia
tidak akan mampu menang. Teringatlah dia akan ilmu peninggalan ayah kandungnya.
Tidak percuma selama ini, terutama ketika berada di rumah Pak-san-kui, dia
mempelajari ilmu ayahnya itu dengan tekun, terutama sekali gerakan dari Ilmu
Hok-te Sin-kun.
Kini, begitu
melihat kakek itu sambil tertawa-tawa menubruknya kembali sambil memutar
tongkat, tiba-tiba saja Thian Sin mengeluarkan pekik melengking dan tahu-tahu
tubuhnya telah berjungkir balik! Dengan gerakan yang aneh sepasang kakinya
menendang-nendang menyambut tongkat, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke
arah pusar, dan tangan kanan yang memegang pedang menggerakkan pedang membabat
kaki lawan. Dia hanya menggunakan kepala saja untuk menunjang tubuhnya yang
sudah berjungkir balik.
“Ehh…?”
Kakek itu terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkatnya bertemu dua buah
‘tongkat’ lain berupa kaki pemuda itu dan merasa ada sambaran angin dahsyat
yang menyerang dari bawah. Dia cepat meloncat, akan tetapi tak sempat mengelak
dari hantaman tangan kiri Thian Sin.
Pemuda itu
tadi mencengkeram, akan tetapi pada saat melihat lawan meloncat, lalu cepat
mengubah cengkeramannya itu menjadi pukulan dengan tenaga Hok-liong Sin-ciang
yang dahsyat.
“Dessssss…!”
Perut kakek
itu terkena pukulan. Memang kakek itu cepat mengerahkan sinkang untuk
melindungi perut, akan tetapi tenaga Hok-liong Sin-ciang itu adalah tenaga
mukjijat maka tubuhnya terlempar dan terbanting roboh dengan keras sekali!
“Heiiiii…!”
Saking kagetnya kakek itu berseru heran.
Akan tetapi
saat dia bangkit berdiri, mukanya langsung menjadi merah saking marah dan
malunya. Dia sudah terpukul roboh! Dan dia pun pernah mendengar akan ilmu-ilmu
aneh dari Pangeran Ceng Han Houw, maka dia menduga bahwa ilmu jungkir balik
tadi tentulah ilmu ayah pemuda itu.
“Itulah
jurus peninggalan ayah kandungku, locianpwe!” Thian Sin berkata dalam keadaan
tubuhnya masih berjungkir balik, merasa gembira bahwa jurus ilmu-ilmu silat
peninggalan ayahnya demikian ampuhnya sehingga dapat membuat kakek tangguh itu
roboh.
“Aku belum
kalah!” teriak See-thian-ong dan dia pun sudah menerjang kembali, kemudian
disambungnya dengan kata-kata yang penuh getaran aneh, “Berjungkir balik
seperti itu tentu membuat kepalamu pening!”
Tongkat itu
telah digerakkan lagi dan kini kakek itu menyerang dengan hati-hati. Thian Sin
menyambut dengan kedua kakinya dan mulailah dia melakukan ilmu silat aneh dari
ayah kandungnya. Akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan
kepalang. Benarlah kata-kata kakek itu tadi, berjungkir balik seperti itu
membuat kepalanya terasa pening!
Akan tetapi,
dia segera teringat bahwa tidak biasa dia merasa pening apa bila memainkan Ilmu
Hok-te Sin-ciang, sehingga tahulah dia bahwa kepeningan itu datang dari
pengaruh ucapan kakek itu. Sebagai anak angkat sekaligus murid seorang sakti
seperti Pendekar Lembah Naga, tentu saja Thian Sin sudah pernah digembleng oleh
ayah angkatnya itu tentang bagaimana harus menghadapi kekuatan yang tidak
wajar.
Cepat dia
mengerahkan khikang-nya lantas mengeluarkan suara melengking dan segera
kepeningan kepalanya itu menjadi lenyap dan dia pun dapat menyambut serangan
lawan dengan baiknya, bahkan dia dapat membalas dengan serangan dari atas
menggunakan dua kakinya, dibantu oleh kedua tangannya dari bawah.
Kembali kakek
itu merasa terkejut. Dia dapat merasakan getaran tenaga khikang dalam
lengkingan suara pemuda itu yang membuyarkan pengaruh sihirnya terhadap pemuda
itu, dan kini dia kembali kewalahan menghadapi ilmu jungkir balik yang aneh
itu.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan suara aneh seperti orang membaca doa atau mantera,
sehingga dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Sin ketika melihat betapa
tubuh lawannya itu perlahan-lahan lenyap! Mula-mula nampak suram-suram lalu
semakin lama bayangan kakek itu menjadi semakin tipis. Sukar baginya untuk
melawan bayangan yang hampir tidak nampak ini dan terpaksa dia meloncat lalu
berdiri di atas kedua kakinya lagi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi, kini
bayangan lawan itu sudah tidak nampak lagi walau pun gerakannya masih terasa
dan tertangkap oleh pendengarannya.
Thian Sin
kaget dan berusaha mengerahkan khikang sambil membentak. Namun sia-sia belaka,
kakek itu betul-betul telah menghilang dan masih terus menghujani dirinya
dengan serangan. Pemuda ini berusaha mengandalkan pendengaran telinganya untuk
menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja tak mungkin dia dapat melawan
orang yang pandai menghilang ini, yang memiliki ilmu tongkat demikian aneh dan
lihainya.
Setelah
berhasil mengelak dan menangkis beberapa kali akhirnya lehernya tertotok keras
sekali. Sungguh pun dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, tetap saja
dia terpelanting keras dan merasa nanar. Dia cepat mengerahkan tenaga Thi-khi
I-beng untuk menjaga diri dan membalas pukulan lawan.
Akan tetapi
tiba-tiba pundaknya tertotok dan ternyata yang menotoknya itu adalah tongkat
yang diluncurkan dan karena tongkat itu tidak dipegang orang, maka tentu saja
Thi-khi I-beng tidak dapat menyerap apa-apa dan jalan darah thian-hu-hiat
tertotok dengan tepat dan keras, mengakibatkan tubuh pemuda itu menjadi lemas
dan lumpuh sama sekali!
“Ha-ha-ha-ha-ha,
akhirnya engkau terpaksa harus mengakui keunggulanku, orang muda!” Kakek itu
tertawa dan kini kakek itu pun dapat nampak kembali oleh Thian Sin. Pemuda ini
memandang dengan sinar mata penuh penasaran.
“Locianpwe
telah menggunakan ilmu siluman!” katanya memprotes.
“Ha-ha-ha-ha,
dan sekarang aku akan membuatmu menjadi siluman tanpa kepala!” kata kakek itu.
Dia segera
memungut pedang Gin-hwa-kiam yang sudah terlepas dari tangan pemuda itu,
agaknya bermaksud ingin memenggal kepala Thian Sin. Kakek ini melihat bahwa
pemuda itu merupakan seorang lawan yang sangat berbahaya sehingga kelak dapat
mengancam kedudukannya, maka dia mengambil keputusan untuk membunuhnya saja.
“Suhu,
tahan…!” Cian Ling sudah menjerit dan gadis ini sudah menubruk tubuh Thian Sin,
melindunginya dari ancaman gurunya. “Suhu tidak boleh membunuhnya!”
“Heh-heh-heh,
siapa yang melarangku dan mengapa tidak boleh?”
“Suhu, dia
datang untuk mengadu ilmu dengan suhu sebagai orang muda minta petunjuk, bukan
sebagai musuh. Adu pibu batasnya hanyalah kalah atau menang, dia sudah kalah
mengapa harus dibunuh? Dan ke dua, suhu tidak boleh membunuhnya karena aku
cinta kepadanya!”
“Ho-ho-ha-ha-ha!
Cintamu hanya sedalam kulit, dan apa susahnya mencari pemuda yang lebih ganteng
dari pada dia? Aku membunuhnya bukan karena bermusuhan dengan dia, melainkan
mengingat bahwa dia telah memberontak, pernah membikin kacau di Su-couw dan di
Lok-yang. Apa bila aku membunuhnya, bukankah itu berarti kita akan memperoleh
jasa telah membunuh seorang pemberontak?”
“Hemmm,
See-thian-ong, harap locianpwe tidak bicara tentang pemberontakan! Siapakah
yang memberontak! Antara locianpwe dan aku ada persamaan bukan? Memang aku
telah menyiksa si busuk Phoa-taijin itu, orang macam dia mana ada harganya
untuk dijadikan sekutu? Akhirnya malah hanya akan mencelakakan sekutu-sekutu
saja. Locianpwe, kalau locianpwe, Pak-san-kui Locianpwe dan juga Lam-sin
Locianpwe, bersama-sama dengan aku membantu kekuatan dari utara, bukankah kita
merupakan persekutuan yang lebih kuat lagi? Mendiang kakekku, Raja Sabutai di
utara juga memiliki pasukan yang kuat dan aku dapat mengumpulkan mereka kalau
waktunya telah tiba. Akan tetapi, jangan mengira bahwa kata-kataku ini hanya
untuk melindungi nyawaku. Kalau locianpwe memang mau membunuhku silakan, aku
bukan orang yang takut mati.”
Sejenak
kakek hitam tinggi besar itu tertegun. Kakek ini paling suka akan kegagahan dan
kejujuran dan memang dia sudah kagum sekali terhadap kegagahan pemuda ini. Akan
tetapi dia juga khawatir akan kegagahan yang kelak akan mengancam kedudukannya
itu.
Tiba-tiba
dia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Kekalahannya melawan pemuda itu
terutama sekali karena pemuda itu memiliki ilmu jungkir balik tadi, ilmu yang
dulu pernah didengarnya menjadi ilmu simpanannya mendiang Pangeran Ceng Han
Houw.
“Ceng Thian
Sin, di kalangan kang-ouw dikenal istilah balas membalas budi dan dendam
mendendam. Kini nyawamu berada di tanganku, dan kalau sekali ini aku
mengembalikan nyawamu, lalu apa yang dapat kau berikan kepadaku sebagai
balasannya?”
Thian Sin
adalah seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia pun tahu bahwa kelemahan
satu-satunya bagi para datuk ilmu silat seperti Pak-san-kui dan juga
See-thian-ong ini, jika bukan kedudukan tinggi tentu juga ilmu silat. Akan
tetapi dia masih pura-pura tidak tahu dan bertanya,
“Locianpwe,
apakah yang bisa kuberikan kepada locianpwe? Harta milikku hanya pedang itu,
dan beberapa macam ilmu silat yang telah dikalahkan olehmu.”
“Ha-ha-ha-ha,
memang ilmu apa pun yang kau keluarkan, tidak mungkin engkau mampu menandingi
See-thian-ong! Akan tetapi, di antara semua ilmu itu, aku tertarik sekali
ketika melihat ilmumu berjungkir balik tadi. Nah, bagaimana kalau engkau
memberi tahu padaku tentang ilmu jungkir balik itu sebagai pengganti nyawamu?”
Thian Sin
menghela napas panjang. “Ilmu itu adalah peninggalan dari mendiang ayahku,
Pangeran Ceng Han Houw, dan merupakan ilmu pusaka. Akan tetapi karena locianpwe
dapat dikatakan orang sendiri, biarlah kuberikan kalau locianpwe hendak
mempelajarinya. Bebaskan aku, dan kitab ilmu itu akan kupinjamkan kepada
locianpwe.”
Girang
sekali hati kakek itu. Dia bersikap memandang rendah ilmu itu padahal
sebetulnya dia ingin sekali mempelajarinya. Dengan cepat tongkatnya bergerak
lalu bagaikan seekor ular mematuk, ujung tongkat itu dua kali mengenai leher
dan pundak Thian Sin sehingga pemuda itu seketika dapat bergerak kembali.
“Thian Sin,
engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan
pemuda itu.
“Dan engkau
pun ikut bertanggung jawab, Cian Ling. Karena itu engkau pun berjasa dan engkau
boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab
itu, Thian Sin.”
Thian Sin
segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat
Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata,
“Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka
bagiku maka aku hanya bisa meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja.
Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.”
“Ha-ha-ha, tentu
saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!”
katanya sambil membuka-buka kitab itu.
Thian Sin
memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lantas
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling.
“Apakah
selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling
bertanya.
Gurunya
tertawa. “Tentu saja! Kini dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya
sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap
di balik pohon-pohon.
“Untung
engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya.
Thian Sin
balas merangkul dan menghela napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling.
Engkau telah menolongku sehingga aku berhutang budi kepadamu, entah bagaimana
aku dapat membalasmu.”
“Ihhh, masa
kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis
dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmu pun aku rela, kekasihku.”
Demikianlah,
dengan melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan
See-thian-ong bahkan sudah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Dia pun tahu
bahwa kalau datuk itu tidak menggunakan sihir, dia akan mampu melawan dan
menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang sangat
berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka jalan satu-satunya untuk dapat
mengalahkan datuk dari barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya.
Semenjak
hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal
di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, tempat di
mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu
terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil
sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih
ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah
belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus
rumah gedung guru mereka.
Ciang Gu
Sik, murid kepala yang sudah lama jatuh cinta terhadap Cian Ling, tentu saja
merasa sangat mendongkol, cemburu dan panas hatinya ketika melihat betapa
pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoi-nya
itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui
oleh gurunya.
So Cian Ling
semakin tergila-gila terhadap Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum
pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan
kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya dia menjadi tidak
peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya,
baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu birahi belaka,
melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan
hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu.
Oleh karena
inilah maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh
kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia bisa
menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat ‘menghliang’ itu, Cian Ling lalu
berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya.
Dia sendiri
memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi ilmu
sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu
sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan
membuat lelaki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya.
Akan tetapi
ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran orang lain ini pasti akan terbentur batu
pada waktu berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu
sihir dari See-thian-ong yang bersifat untuk mempengaruhi pikiran orang lain
dan bisa membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran,
dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khikang-nya.
Akan tetapi,
ilmu sihir yang membuat dirinya lenyap dari pandang mata lawan itu berbeda lagi
dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhu-nya, ilmu itu
tidak mudah dimiliki orang, melainkan baru dapat dimiliki melalui pertapaan
bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang sangat berat. Ilmu itu
termasuk ilmu hitam yang dekat dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau
dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan.
Ketika Thian
Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia
ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, pada mulanya Cian Ling menjadi bingung
sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri belum pernah mempelajari ilmu itu.
Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat
mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku
berani mempelajarinya? Maka aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.”
Thian Sin
kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar
engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku
penasaran sudah dikalahkan suhu-mu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat
menghadapi dan menandinginya. Apa bila engkau tidak dapat memecahkan rahasia
ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?”
Karena takut
kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis
ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati
gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya.
“Heh-heh-heh,
apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran
itu untuk bersenang-senang? Mengapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua
Bangka?”
Cian Ling
cepat merangkul leher kakek itu. “Aihh, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah
sebelum aku berdekatan dengan pria mana pun juga, suhu yang merupakan pria
pertama di dalam hidupku? Suhu merupakan suhu-ku, orang tuaku, juga cinta pertamaku.
Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan kini aku sudah rindu
sekali kepadamu, suhu.”
Dengan
sangat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke
dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi
mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Lantas dengan sangat cerdiknya,
sesudah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam
hati kecilnya memang datuk ini sangat sayang kepada Cian Ling, gadis ini baru
membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan.
“Aku melihat
ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ahh, kalau saja aku dapat
memiliki ilmu itu… betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka sedang rebah
berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai-belai rambut suhu-nya
yang panjang dan sudah bercampur uban itu.
“Heh-heh-heh,
bukankah telah pernah kukatakan bahwa untuk mempelajarinya amat sulit dan juga
memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah
cukup.”
“Akan
tetapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu sesudah
menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.”
“Ha-ha-ha,
siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku baru dapat mengalahkan dia?
Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik
bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu
Hok-te Sin-kun sudah mulai dapat kukuasai, maka tanpa ilmu menghilang sekali
pun sekarang dengan mudah dia akan dapat kutundukkan!”
“Tapi… tapi
aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!”
“Untuk apa?”
“Bayangkan
saja alangkah senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang
tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru lalu menyaksikan
pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.”
Kata-kata
gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa
hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikian anggapan
orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, merasa senang
sekali.
“Ha-ha-ha,
sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dulu, pada saat aku
baru saja berhasil memiliki ilmu itu, aku pun suka sekali memasuki kamar
pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan
kalau aku tertarik, aku lalu menggantikan si pengantin pria setelah membuat dia
tidak berdaya. Ha-ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku.
Akan tetapi, sungguh tidak mudah mempelajari ilmu itu. Mana mungkin engkau
sanggup bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan,
menjauhi pria?”
“Suhu,
apabila aku tidak dapat mempelajari, setidaknya aku harus bisa menghadapi ilmu
itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti
itu? Ihh, betapa mengerikan bila dipikir. Coba bayangkan, andai kata sekarang
ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa
yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik.
Gurunya
merangkulnya sambil tertawa. “Andai kata begitu, habis mengapa? Paling-paling
orang itu akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang
yang mampu menggunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian
Ling.”
“Tentu saja,
ketika bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus
menerus berada di dekat suhu. Bagaimana jika aku sedang merantau sendirian
kemudian berjumpa dengan orang yang mempunyai ilmu menghilang atau ilmu hitam
lain lagi yang lihai?”
Akhirnya,
sesudah mempergunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga
melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling mendapat rahasia itu dari
gurunya. Dengan hati girang dia berpisah dari suhu-nya dan segera menemui Thian
Sin yang telah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga.
Karena dia
memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak
mudah, maka Cian Ling juga menjual mahal. Dia membuat Thian Sin melayaninya dan
menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum dia membuka rahasia
itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar.
“Kalau engkau
menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah
tanah kemudian sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena
tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.”
Bukan main
girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian
Ling, dan dengan sabar dia menanti hingga lewat tiga bulan. Dia hendak
membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari
Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan
rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari
kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan
petunjuk-petunjuk di dalam kitab itu, bukan memperoleh ilmu yang hebat
melainkan malah merusak dirinya sendiri!
Sesudah
lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantarkan oleh Cian Ling. Setelah
menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah
lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.”
Kakek itu
tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah
bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, mengapa
engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?”
“Suhu, aku
hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya.
“Ha-ha-ha,
Ceng Thian Sin. Aku sudah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum
pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari
itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi,
dengan tenang dia menjawab, “Bagaimana jika aku tidak mau melayanimu,
locianpwe?”
“Hemm, kalau
engkau tidak mau melayaniku pun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum
kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali
kitab-kitabmu.”
“Maksud
locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku
menang?”
“Ha-ha-ha,
kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia
mempelajari kitab-kitab milik pemuda itu, Thian Sin sudah dapat dikalahkannya,
mana mungkin sekarang dapat menang? “Apa bila kau menang, maka tentu saja
engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian
Ling.”
“Dan kalau
aku kalah?” Thian Sin bertanya.
“Jika kau
kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha!
Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!”
Ucapan itu
terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah
merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dulu terjadi di tempat sunyi
itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di
tempat itu lagi. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di
sana sekarang juga!”
Sesudah
berkata demikian, Thian Sin berlari keluar dari tempat itu untuk pergi ke
tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling segera
mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya.
Sesudah
kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang
hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan hatinya lebih tak senang lagi ketika
melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin.
Tidak
mengapa baginya apa bila muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan
pria-pria lain. Akan tetapi dia pun tak ingin kehilangan Cian Ling untuk
selamanya karena selain dia sangat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang
juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang
sangat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai dari pada murid kepala di situ,
yaitu Ciang Gu Sik.
“Gu Sik…!”
Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring.
Muridnya
yang setia itu segera berlari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.”
“Gu Sik,
tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku dan kalau menang dia akan
membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoi-mu akan ikut pergi bersamanya?”
Pria muda
berwajah pucat itu menghela napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda
sehingga dia sangat lemah dan mudah sekali dihanyutkan oleh perasaannya, harap
suhu suka memaafkannya.”
“Ha, engkau
selalu membela sumoi-mu.”
“Memang
teecu sangat mencintanya dan teecu lebih menghargai sumoi dari pada nyawa teecu
sendiri.”
“Bukankah
itu juga suatu kebodohan?”
“Memang,
tapi teecu tidak berdaya…”
“Sudahlah,
memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sute-mu, juga cepat
undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat
telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus
disaksikan oleh banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng
Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan. Dan dia telah berjanji kalau
kalah maka dia akan menjadi pembantuku!”
Ciang Gu Sik
mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada
di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoi-nya!
“Suhu, kalau
dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, jika
memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan,
akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang
memeliharanya.”
“Ha-ha-ha,
aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia
dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia
di depan banyak orang.”
“Baik, suhu.
Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi
dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya.
Sementara
itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana
untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan
dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah
tiba di tempat itu, dia berkata dengan suara khawatir,
“Thian Sin,
engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau
menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apa lagi sesudah suhu
mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia sudah mengenal ilmu-ilmumu yang paling
kau andalkan.”
Thian Sin
tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhu-mu, Cian Ling. Sekali
ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!”
“Tapi,
sungguh amat sulit untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah… sekali ini belum
tentu aku akan dapat menolongmu…”
“Kalau
sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling.
Engkau sudah cukup banyak membantuku.”
“Dan kalau
engkau menang?”
“Aku akan
meninggalkan tempal ini!”
“Dan engkau
akan mengajak aku, bukan?”
Thian Sin menggeleng
kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini
saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.”
“Tetapi…
aku… aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin… ahhh, aku akan merana, aku akan
merindukanmu, aku cinta padamu…”
Thian Sin
menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan di
antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di
antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan
berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus
pergi, sendirian saja.”
Wajah Cian
Ling berubah agak pucat. “Aku… aku akan merasa kehilangan…” Hampir dia
menangis.
Sejak kecil
gadis ini hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah dia merasa jatuh
cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum dia bertemu
dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya.
Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini berbeda sama sekali. Bukan hanya
hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang
membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu.
Thian Sin
tersenyum ramah padanya. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah berjasa besar
kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan
telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong,
kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu.
Bagaimana
pun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang
baik, seorang penolong. Akan tetapi tidak mungkin dia menerima gadis ini
sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta
itu, bagaimana pun juga, akan membosankan.
“Tak ada
pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita saling
bersilang, akan tetapi kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku
akan pergi meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja,
akan tetapi kelak kita pasti akan saling berjumpa kembali, karena bagaimana pun
juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.”
Sebelum
gadis itu menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara orang banyak datang dari
luar hutan lantas bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung
tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu serta
murid-murid suhu-nya, juga dia melihat bahwa di antara mereka banyak
orang-orang kang-ouw dari Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan
main. Permainan apa yang akan dilakukan suhu-nya ini, mendatangkan semua
pembantu dan kenalan?
“Hati-hati…
mereka adalah orang-orangnya suhu…,” Cian Ling berbisik.
Dan tidak
lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan
pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke
atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu
berseri-seri dan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam itu nampak
gembira.
Memang
hatinya gembira sekali, karena dia melihat betapa banyak orang kang-ouw yang
berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dan dia
gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera dari Pangeran
Ceng Han Houw dengan disaksikan oleh banyak orang.
Kalau saja
pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan mau bersusah payah
mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu
bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apa lagi kalau diingat betapa
pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu
tinggi dari Cin-ling-pai!
Yang
ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu,
akan tetapi kini dia sudah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut
lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan dapat menundukkan lawan jika pemuda itu
mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan.
Begitu
melihat kakek raksasa itu, Thian Sin lalu melangkah maju. Baginya, berkumpulnya
banyak orang itu tidak menimbulkan rasa gentar, karena dia merasa yakin bahwa
seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan mempunyai kesaktian seperti
See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan pengeroyokan untuk menghadapi
lawan.
Malah
mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Paling tidak, oleh karena
banyak orang yang menyaksikan, kakek yang banyak akalnya itu tentu akan merasa
malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut
kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun
penuh tantangan.
“Locianpwe
See-thian-ong sudah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini
aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, ada pun kitab-kitab yang kutitipkan
kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan
kitab-kitabku itu supaya dipegang oleh orang lain dan siapa yang menang berhak
menerima kitab itu.”
See-thian-ong
tertawa bergelak. Senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di hadapan
orang-orang banyak bahwa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dia
pelajari.
Memang
sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga
kakek ini tidak akan mempergunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini
sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya
mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang
dapat membahayakan dirinya.
“Ha-ha-ha-ha,
kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat
seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan
sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai,
engkau sekarang sedang berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu
engkau sudah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani
maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa secara sia-sia.
Bagaimana jika engkau mengaku kalah, lalu berlutut delapan kali dan atas nama
Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada
See-thian-ong?” Kata-kata ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu,
karena memang maksudnya agar dapat terdengar oleh semua orang.
Thian Sin
menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tak mau dipengaruhi
kemarahan. Dia lalu memandang ke sekeliling dan melihat betapa wajah
orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik telah berdiri
di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum
mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang
padanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran.
Thian Sin
menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah
terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri
mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu.
“Locianpwe,
kalah atau menang di dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa
dikatakan kalah atau menang apa bila sudah dibuktikan. Maka, sekarang harap
locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.”
“Ha-ha-ha-ha,
kitab-kitab semacam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu lantas
menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar
dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu
melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat.
Melihat ini,
semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa
peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, namun sebuah demonstrasi kekuatan khikang
dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai
kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke mana pun dia suka.
“Harap
locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai
pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi.
Kakek itu
masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab
itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam!
Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Dia berhasil
menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong
kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang.
“Ceng Thian
Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai serta ilmu-ilmu dari
mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu
itu!” kata See-thian-ong.
Kini
mengertilah Cian Ling mengapa suhu-nya mengumpulkan semua orang kang-ouw di
daerah itu. Kiranya suhu-nya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia
sudah mampu mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han
Houw, untuk mengangkat namanya agar lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat
menduga maksud hati lawannya, maka dia pun tidak mau banyak bicara lagi.
“Awas
serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya
menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini
dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Dua tangannya yang mengerahkan tenaga
Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini
mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat.
Akan tetapi,
kakek tinggi besar itu sudah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya
menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat bukan kepalang sehingga dia tidak
takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya.
Thian Sin
hanya memainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan
sesudah beberapa kali mereka saling serang serta mengadu lengan, Thian Sin
langsung mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te
Sin-ciang.
Juga ilmu
silat yang membuat sepasang lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa
jurus saja, lalu disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari
Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dahulu dan tidak mengeluarkan
ilmu simpanannya yang telah dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk
mengecoh lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Hal ini
membuat lawannya sangat penasaran. Justru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw
yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab
itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan.
“Ceng Thian
Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw?
Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!”
Thian Sin
memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia segera
mengeluarkan pekik melengking kemudian tiba-tiba saja dia telah menyerang
dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng
Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya.
Melihat
pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang
(Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal
gerakan ini, karena itu cepat dia bersiap-siap menandinginya sebab telah tahu
bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini.
Akan tetapi,
ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima
ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini
memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah
pada lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lainnya merupakan pancingan
dan hanya gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada
terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang
juga mengandung inti tenaga di dalam jurus itu.
Akan tetapi
kenyataannya lain sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan
serangan seperti yang terdapat di dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang
itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan ‘kosong’, dan
begitu ditangkisnya, tiba-tiba saja dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari
atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan
pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik!
Dia terkejut
dan cepat dia membuang diri ke belakang, lantas bergulingan dan meloncat bangun
dengan keringat dingin membasahi dahi. Meski pun dia tadi dapat meloloskan
diri, akan tetapi sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang
merasa panas seperti terbakar api!
“Inilah ilmu
peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan
menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang!
Akan tetapi
sekarang kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlampau mengandalkan
pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua
jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang sudah
dipelajarinya, walau pun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada
kulitnya, akan tetapi amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas
palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah
See-thian-ong. Dia sudah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini!
Betapa pun
juga, dia merasa sangat penasaran. Pada saat Thian Sin mengubah ilmunya dengan
berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong
yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa dia pun dapat mainkan
ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga segera berjungkir balik untuk
mengimbangi permainan lawan.
Akan tetapi
kembali dia kecelik, dan sesudah mereka berputar-putar saling serang sampai
belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu
berjungkir balik yang dipelajarinya ini pun kosong! Dan kesombongannya untuk
memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment