Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 19
PADA waktu
Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul
itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini
secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke
sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang
hanya indah dan kelihatan berbahaya tapi tidak mengandung isi serangan,
melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang
merupakan inti serangan.
Maka dia pun
tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya
berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang
paling baik untuk mendahului lawan.
Maka, begitu
jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan
ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan
tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun
tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota
rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!
Akan tetapi
kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut
pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah
pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan
untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan
serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu
lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya
baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara
kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.
“Desss…!”
Jalan darah
pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan
tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang
didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu
segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti
sebuah bola besar!
Maka
terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai
See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar,
terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh
pula.
Akan tetapi
tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat
bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang
hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada
saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.
Tahulah dia
sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri
tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam
meter karena dia tadi terpental dan terlempar.
“Bagaimana
pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng
Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang
tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang
engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.”
Tentu saja
ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin
berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah
menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu
sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat
yang dahsyat itu.
Angin
bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi
Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat
lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu
simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.
Terjadilah
pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani
lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala
keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para
penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan
dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga
yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri
menjauh.
Ilmu
berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani
dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada
pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya
mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa
kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus
menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak
hebat.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar
bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas
dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu
hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga
mereka.
Thian Sin
hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau
menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.
“Bukkk!”
Sebuah
pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.
“Ha-ha-ha…!”
Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena
hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan
secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram
tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.
“Ahhh…!”
Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan
tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!
Kakek itu
masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan
melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis
sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu
adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya
setelah terlambat.
“Dessss…!”
Pukulan
tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu
berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong
berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah
segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia
menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya
bergoyang-goyang dan agak terhuyung.
Pada saat
itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan
mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya
diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang
menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin
berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan
sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.
“Thian Sin,
tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta
gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.
Melihat
gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah,
Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada
yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.
“Murid
murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali.
“Suhu…!”
Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya
melangkah maju mendekatinya.
“Plakkk!”
Sebuah
tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara
itu, membuatnya terpelanting keras.
“Engkau
pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong
membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?”
“Suhu, aku…
aku cinta padanya…”
“Tidak
peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau
sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!”
See-thian-ong
melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian
Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah
berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.
“Mampuslah,
murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.
“Tranggg…!”
Cian Ling
menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar
biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya,
apa lagi melawan dengan senjata.
Akan tetapi
See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat
ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan
seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir
bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi
kekasih gurunya itu!
“Bagus kau
melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun
menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut,
dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling
yang juga melawan sekuat tenaga.
“Suhu,
jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas
dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya
yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu.
Kini kedua
orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang
membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap
saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong
hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.
See-thian-ong
marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya
sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling
mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini
mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai
membuat murid itu berani menentang dirinya pula.
Untuk
merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa
kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia
dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat
betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas
menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu
menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.
Dihadapi
oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan
Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu,
tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan
kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain
saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling.
Gadis itu
mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya
lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya.
“Suhu, lebih
baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi
sumoi-nya.
“Hemm, Gu
Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi
pengkhianat?”
“Suhu, teecu
mencintainya…”
“Karena dia
cantik dan muda?”
“Tidak,
karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.”
“Jika
begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau
mengambilnya sebagai isterimu.”
“Terima
kasih, suhu!” Gu Sik berlutut.
See-thian-ong
menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang
sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan
remuk-remuk.
Dengan
demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung
lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak
mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan
bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat.
Kalau hanya
patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat.
Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas,
walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.
Kini Cian
Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu
silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh
lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia
masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.
Menerima
hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling
menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan
para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi
membicarakan kekalahan datuk itu!
Hanya
setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan
suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda
putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah
mengalahkan datuk dunia barat itu.
Sesudah
luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat
teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia
harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa,
karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan
mengampuninya lagi dan akan membunuhnya.
Melawan pun
tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak
mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap
juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut
menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian
Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia
menerima keputusan itu.
Dan hal yang
ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu,
benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya,
bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para
pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam
lagi.
***************
Thian Sin
melarikan diri dengan hati girang bukan main. Dia sudah berhasil mengalahkan
See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, sebab dia menganggap belum tiba
saatnya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya.
Dia harus
terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan
memperkuat diri. Setelah dia merasa betul-betul kuat maka barulah dia akan
turun tangan dan membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus
mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan
serta memenuhi cita-cita ayah kandungnya.
Kemenangannya
terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah berupa kemenangan tipis, belum
mutlak. Sebab itu dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan
ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya dengan sempurna.
Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan apa bila
mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut
Bu Beng Hud-couw!
Maka, dengan
hati mantap Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himalaya!
***************
Kita
tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri
itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai
Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini,
keluarga Ciu telah tertimpa mala petaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi
oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat hendak memberontak. Dalam
keributan itu, Lian Hong lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apakah yang telah
terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu?
Ketika
terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua
terkejut dan mengamuk saat melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga
Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai
itu sudah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan.
Lian Hong
juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi setelah dia mengamuk dan
merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya dia berhasil juga mendekati depan rumah
di mana tadi ayah, ibu serta keluarganya dikeroyok. Dan ketika dia tiba di
tempat itu, dia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, sudah
menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas.
“Ibuuuu…!
Ayaahhh…!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi
dia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya
guncangan batin yang dideritanya, dara ini kemudian terguling dan pingsan di
dekat mayat keluarganya.
Di antara
para pengeroyok itu tiba-tiba nampak seorang pengemis muda yang usianya tak
lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, yang segera
meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari
situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan
itu tertawa.
“A-khun,
jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru.
Yang lain tertawa.
“Jangan
khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari
Lian Hong meninggalkan tempat itu.
A-khun
adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang turut membantu pasukan di dalam
penyerbuan itu, sebab dalam usahanya berhubungan dengan para pemberontak,
memang pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam.
Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai
oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang
merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi,
dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai.
Dengan cepat
A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota, kemudian membawa
dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di pinggir jalan.
Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tak ada penghuninya. Tempat
itu siang tadi digunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan
bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu.
Dengan hati
berdebar girang dan tegang, A-khun lalu memasuki kuil itu. Tadi dia melihat
kecantikan Lian Hong dan langsung merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara
ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang apa bila dara ini
dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu
dengan Phoa-taijin.
A-khun
memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Karena itu, melihat
kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan dan bukankah
keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona ini pun harus dibunuh, akan tetapi
sebelum itu…, dia pun menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas
lantai di bagian belakang kuil.
Dengan
tenang saja A-khun lantas membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di
atas meja tua bekas meja sembahyang. Tak lama kemudian, ruangan yang gelap itu
kini menjadi terang.
Dengan
sepasang mata yang bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya sambil
menggosok-gosok kedua telapak tangannya, secara diam-diam memberi selamat
kepada diri sendiri sebab sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan
yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang
berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala
dan tengkuk Lian Hong.
Gadis itu
mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu dia membuka mata dan menjadi silau
oleh cahaya lilin, dia pun terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di
sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di
sebelah kanan, dia menengok dan melihat sebuah wajah pucat seorang pria yang
berlutut di dekatnya, dia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi dia
didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di
kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong.
“Apa…siapa…?”
“Nona manis,
jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Kau cantik
manis, aku suka padamu…”
“Keparat
busuk! Engkau… engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu…!”
Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi
pada saat itu dia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka dia hanya
memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di hadapan mulut
harimau yang siap menerkamnya.
“Ha-ha-ha,
benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan
malam ini engkau menjadi milikku… ha-ha-ha!”
Tangan kanan
pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubuh Lian
Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba sudah menjadi
kaku!
“Ehhh…?!”
A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya
yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia
merintih pada saat melihat bahwa pada punggung tangannya itu nampak sebatang
jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini
mampuslah aku!
“Binatang,
berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu,
suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan
seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan
masih berlutut dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah seorang wanita yang
baru saja masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya.
“Pangcu… am…
ampunkan… saya…” Dengan seluruh tubuh menggigil bagai orang yang sedang
mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah.
Sementara
itu, Lian Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok memandang dengan jantung
berdebar tegang dan seram. Dari tempat dia rebah, dia memperhatikan wanita itu.
Seorang nenek yang berwajah menyeramkan!
Rambut di
atas kepala itu lebat sekali, tapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan
di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai pada
kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi
kulit bagian tubuh lainnya karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi
dan kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam.
Pakaiannya
kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih
ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih mempunyai kesegaran dan
kekuatan tubuh. Sulit menaksir usianya, akan tetapi bila melihat rambut yang
sudah putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tak akan kurang dari
tujuh puluh tahun!
Hanya
sepasang matanya saja yang masih amat tajam, malah bersinar mencorong bagai
mata orang-orang sakti. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang
dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya
seperti tubuh ular.
Dari sebutan
yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong bisa menduga bahwa tentu nenek ini
merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Dia merasa semakin seram. Apa bila
anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apa lagi ketuanya!
Teringat
akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat pula akan bayangan
mayat-mayat keluarganya, Lian Hong tidak dapat menahan keluarnya air matanya.
Akan tetapi dia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa dia akan
berkumpul dengan keluarganya.
“Berapa lama
engkau sudah menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut
merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir
tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya
langsung keluar dari dalam mulut.
“Satu… dua…
tahun…”
“Apa
larangan pertama dari perkumpulan kita?”
“Berkhianat
terhadap perkumpulan.”
“Dan ke
dua?”
“Bicara
tentang Pangcu…”
“Dan ke
tiga?”
“Ke tiga…
ehhh… ampunkan saya, Pangcu… saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di
sini, saya… saya tidak tahu Pangcu akan datang…”
“Apa
larangan yang ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu
masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya
tak pernah berkedip. Mengerikan sekali.
“Larangan ke
tiga… ehhh… memperkosa wanita… akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus
dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri.
Tangan kiri
nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan
nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah yang mengenai lehernya tanpa mampu dia
elakkan.
“Seluruh
anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan
tetapi tak seorang pun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?”
kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan
tetapi bagi A-khun makin menakutkan.
“Karena…
karena… Pangcu adalah seorang wanita pula…”
“Karena
ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria
yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak.
“Pangcu,
ampuuuuunnn…!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut
A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya
terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam!
Sekarang
nenek itu melangkah maju dan menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di
atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling
bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong
menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua
para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya,
pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian.
“Mana pemuda
putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya sehingga
Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin,
dan baru dia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi
pasukan.
“Aku tidak
tahu!” jawabnya ketus.
“Ahhh, aku
ingin sekali melawan dia. Katanya mereka berdua itu lihai, putera Pangeran Ceng
Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu…” Nenek itu berkata, kemudian
kelihatan termenung.
“Kalau ada
Tiong-koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan
membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika dia teringat kepada pemuda
yang dikaguminya itu.
Nenek yang
tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka lantas memandang kepada Lian
Hong, sinar matanya bagai kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera
Pendekar Lembah Naga itu?”
Lian Hong
tahu bahwa dia menghadapi kematian, maka dia hendak mempergunakan saat terakhir
itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!”
“Hemm, akan
tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.”
“Siapa takut
mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukanlah apa-apa
bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, jika mau bunuh, lekas bunuhlah.
Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang.
Tangan yang
bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba saja
tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini
sama sekali tidak berkedip, karena dia hendak menyambut maut dengan mata
terbuka.
“Ceppp!”
Ujung
tongkat itu amblas ke dalam lantai dan hanya berjarak satu senti saja dari pipi
Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak.
“Tidak,
engkau tak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Ehh,
maukah engkau menjadi muridku?”
Ditanya
seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut
dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar dia suka menjadi
muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapa pun juga, pembunuh orang tuanya
adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau dia dapat menjadi murid
nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak dia akan dapat
membalas dendam kematian orang tuanya.
Dalam
keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka dia pun
cepat menjawab, “Jika locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja
teecu akan senang sekali.”
Nenek itu
tertawa, suara tawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin
menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba
saja dia telah dapat bergerak kembali! Dengan girang dia pun lalu berlutut di
depan kaki nenek sakti itu.
“Muridku
yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?”
“Kalau teecu
tak salah menduga, tentu locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat
Selatan), betulkah?”
“Hemm,
tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku namun masih
dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan
berbicara dengan aku, dan bahkan menjadi muridku.”
Diam-diam
Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh sangat luar biasa, sombong
bukan kepalang, agaknya seolah-olah menganggap dirinya betul-betul seorang
malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi dia pun bukan seorang dara yang
bodoh, maka dia cepat berkata,
“Kalau
begitu, sungguh teecu mempunyai keberuntungan besar dan teecu menghaturkan
terima kasih kepada subo.”
“Hemm, kau
kira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uhh, jangan salah kira, ya? Aku
melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!”
Mendengar
suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan
tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang
seorang yang memiliki watak yang aneh.
“Hayo, kau
ikuti aku!” Tiba-tiba nenek itu berkata.
Ternyata dia
telah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah
punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya,
seperti diguyur air es, membuat dia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Pada
saat itu dia melihat gurunya telah berjalan pergi, maka dia cepat-cepat
mengikutinya.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong pada waktu melihat bahwa nenek itu
membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan
karena dia juga ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam
itu.
Dan ternyata
nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam
telah berganti pagi dan semua mayat tak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa
darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan.
Ketika tiba
di dekat rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain
waktu tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah salah seorang tetangganya!
Lian Hong merasa kagum bukan main. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang
lengannya bisa membawanya meloncat seperti terbang jelas menunjukkan alangkah
lihai ginkang-nya.
“Lekas kau
beritahukan kepada para tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di
Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu
ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu.
Lian Hong
masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka dia hanya memandang
bingung. “Tapi… tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu…” Suaranya tertahan oleh
isak.
“Taati
perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh juga? Hayo cepat
kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak
nenek itu dengan lirih.
Lian Hong
tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini
membuat dia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya
tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat
menyusulnya. Maka dia pun meloncat turun dan cepat dia menghampiri kelompok
keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah.
Agaknya
mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi tadi malam, mala petaka
mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Karena itu dapat
dibayangkan betapa kaget hati suami isteri serta tiga orang anaknya itu ketika
tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka.
“Ciu-siocia…!”
Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan
berbahayanya bagi keluarganya kalau saja fihak tentara sampai melihat nona itu
berada di tempatnya!
Sementara
itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan
sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara
mengerikan.
“Paman Ong,
di manakah… ehh, jenazah mereka…?” Lian Hong menguatkan hatinya dan bertanya.
“Jenazah
keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona. Kami semua tidak berdaya,
tidak ada yang berani mencampuri… maklumlah…”
Lian Hong
menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku
hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong…”
“Maaf… nona,
kami tidak berani…”
“Aku hanya
ingin agar kalau Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara kedua
pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang
mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi
Hu-nan, bersama…”
“Cukup!”
Terdengar bentakan merdu, lantas tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat
menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari hadapan keluarga Ong yang memandang
bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul
tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka mereka pun langsung berlutut dan
sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka!
Sementara
itu, Lian Hong sudah dibawa pergi jauh keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek
Lam-sin. Tadi, dengan menggunakan kesaktiannya yang tinggi, Nenek Lam-sin
berkelebat cepat sehingga tak sampai diketahui oleh para penjaga. Setelah
keluar dari pintu gerbang, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
selatan.
Lam-sin
adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari
daerah selatan. Meski pun jarang ada orang pernah melihatnya, akan tetapi
namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada
tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apa lagi nama ini
didukung dan dijunjung tinggi pula oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang
yang merajai dunia kang-ouw di daerah selatan.
Benarkah
kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sebenarnya tidak
demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan di
dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat,
bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Setiap
tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh
karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai murid pun hanya merupakan
sebuah siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul
dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu.
Dia sudah
mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw
dan putera Pendekar Lembah Naga, maka dia pun ingin sekali dapat bertemu dan
mengadu ilmu dengan mereka. Apa lagi sesudah mendengar bahwa ada beberapa orang
anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini lalu
menjadi penasaran sekali.
Dengan
mengangkat dara itu sebagai murid, maka dia mengharapkan akan bisa bertemu
dengan mereka. Selain itu memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa
wanita. Ini pun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena dia sendiri
seorang wanita, maka dia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka
memperkosa wanita.
Lian Hong
yang maklum bahwa dia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena
untuk saat itu dia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa
yang dapat dilakukannya. Maka dia pun pasrah kepada gurunya.
Memang ada
ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagai mana
mungkin dia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Dia belum pernah tahu
di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat
Tembok Besar utara. Bagaimana kalau dia tidak berhasil menemukan tempat itu?
Dan
perjalanan sejauh itu, apa lagi harus melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya
tidak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Karena itu, jalan
satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Bila
dia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian
padanya cukup kuat, baru dia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal
pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah
mertuanya.
Karena
mempunyai cita-cita seperti ini, di sepanjang perjalanan Lian Hong bersikap
taat kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subo-nya. Akan tetapi nenek itu
benar-benar seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu
orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang
sunyi dan sukar dilalui.
Kadang-kadang,
apa bila melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan
muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Walau pun Lian Hong juga seorang dara
perkasa, tetapi melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang
dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan.
Dan selama
dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang sekali bicara. Kalau kemalaman,
mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang sangat
mengherankan hati Lian Hong akan tetapi juga menguntungkan. Biar pun nenek itu
tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila,
namun nenek itu sama sekali tidak jorok, bahkan selalu bersih. Kalau terkena
kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan
pakaiannya selalu diganti setiap hari!
Lian Hong
juga diberi dua stel pakaiannya, sehingga gadis itu pun terpaksa mengenakan
pakaian Si Nenek yang ternyata mempunyai potongan tubuh yang tidak berbeda
banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata sangat royal kalau makan!
Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang
mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang berkualitas tinggi dan
mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan
ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan.
Akan tetapi
kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tak jarang
Lian Hong harus mengunjungi restoran untuk membeli bermacam-macam masakan yang
mahal-mahal kemudian membawanya ke tempat subo-nya menunggu di luar kota. Semua
ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subo-nya adalah seorang wanita yang
amat pembersih, dan suka makan!
Akan tetapi,
hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu.
Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang sangat dingin ini, maka Lian
Hong juga tidak berani banyak bertanya.
Beberapa
pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka
sampailah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di
selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga
tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa
gurunya itu memiliki sebuah rumah yang amat mewah!
Bangunannya
tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena
hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh
dengan perabot rumah yang serba mahal dan halus buatannya, bagaikan perabot
rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, dan meja kursi yang juga
merupakan barang seni yang halus dan mahal, ada pun di dinding penuh tergantung
lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah.
Juga di
mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang
agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang
yang mengatur dan menghias rumah itu, dan kemudian sesudah Lian Hong mendengar
bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu
bertambah.
Ketika
Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita
muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan.
“Mereka
berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.”
Mendengar
keterangan ini, Lian Hong terkejut sekali. Mereka itu begitu muda dan cantik,
dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka
adalah pelayan.
“Ini adalah
Ciu-siocia yang sudah menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik,”
terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya.
Lima orang
wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong. Mereka serentak berkata
dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!”
Lian Hong
cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai
murid subo, aku juga harus melayaninya, karena itu aku akan membantu pekerjaan
cici berlima.”
Demiklanlah,
karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing
mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi sebab mendapatkan pelajaran dari
Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka
dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan
sering mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota.
Cara hidup
nenek itu sungguh aneh sekali. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalah para
pelayan dan juga para anggota Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau dia
pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran,
tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan
yang tersohor.
Nenek itu
sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han
Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali.
“Apakah subo
pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya.
Nenek itu
menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan
mencoba kepandaian mereka. Ehh, jika menurut pendapatmu, siapa di antara putera
Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai,
Lian Hong?”
Ditanya
tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong lalu membayangkan keadaan mereka.
Hatinya terharu dan timbul rindunya terhadap Han Tiong yang diam-diam sudah
menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama
lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar Lembah
Naga.”
Lam-sin
sudah banyak mendengar mengenai mereka berdua dari para anak buah Bu-tek
Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya
amat lihai itu. Kalau saja tak ingin bertemu dengan mereka, terutama dengan
putera Pangeran Ceng, tentu dia tak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya,
melainkan dara itu telah dibunuhnya. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari
nenek itu berkilat.
“Ya, aku
ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!”
“Tetapi,
subo… oleh karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi
mereka. Mereka berdua adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri… dan… dan
Han Tiong koko adalah tunangan teecu.”
“Siapa yang
hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji, apakah benar mereka itu
selihai yang dikabarkan orang.”
Lian Hong
tidak banyak membantah lagi. Diam-diam dia merasa kagum dan juga heran melihat
gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput ada
pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli
dan indah seperti mata orang muda, dan gerak-geriknya sangat gesit, tubuhnya
juga amat langsing padat walau pun tertutup pakaian sederhana.
Sungguh seorang
nenek yang amat aneh, yang mempunyai suara merdu, kadang-kadang dingin sekali,
kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu,
mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang dia bergidik ketika melihat
sepasang mata yang mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman.
Akan tetapi,
di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subo-nya. Oleh sebab itu
dia pun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa dia akan bisa mewarisi ilmu
silat tinggi agar kelak dia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau dia
teringat akan ayah kandungnya dan kakaknya, maka Lian Hong tidak dapat menahan
kesedihannya lagi dan menangislah dia pada waktu dia tidur sendirian di dalam
kamarnya.
***************
Pada suatu
hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong
diajak subo-nya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek Lam-sin memiliki
suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang kala dimasaknya sendiri, dan untuk
keperluan itu dia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar.
Seperti
biasanya, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang
nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian
Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua
berbelanja di pasar juga.
Yang
mengenal nenek itu adalah seorang lelaki gagah perkasa yang usianya tentu sudah
ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, lelaki ini lalu menjura
dengan sikap amat menghormat sambil berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu
dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.”
Dan
hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit lantas melanjutkan perjalanan,
sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah cukup jauh, Lian
Hong tak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan
lelaki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu hanya menjawab bahwa laki-laki
itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan
dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)!
Diam-diam
Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap
demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan
bahwa biar pun dia tidak dikenal oleh orang-orang biasa sebab memang selalu
menyembunyikan diri, namun nenek itu dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum
sesat di dunia selatan!
Pagi hari
itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang sangat segar
karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong turut memilih dan dara ini sama
sekali tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang
yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka
dengan kedua mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu
bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Seperti yang
telah diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari
tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu.
Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian
Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki.
Dengan
hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tetapi agaknya tidak ada orang yang tahu
ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga
Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga
pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga
itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara!
Mendengar
ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia
bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu
yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberi
tahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong.
“Nona Ciu
Lian Hong memang meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han
Tiong…”
“Sayalah Ciu
Han Tiong,” kata Han Tiong cepat.
Orang she
Ong itu mengangguk-angguk. “Memang sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu
ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di
Propinsi Hu-nan.”
“Apa lagi
pesannya?” Han Tiong bertanya, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa
betapa pun tunangannya itu juga belum tewas!
“Tidak ada
apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, dia lenyap begitu saja!” Orang she Ong
itu bergidik.
Mendengar
suara orang itu bergetar dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong lalu
mengerutkan alisnya. “Tapi… tapi dia masih hidup, bukan?”
Dan betapa
kaget hatinya melihat orang itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, kongcu.
Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti…
seperti setan…”
Tentu saja
hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia pun tak percaya kalau
nona itu sudah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin,
sungguh pun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat ‘menghilang’. Dia
tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang mempunyai kepandaian silat yang
lumayan. Mungkin saja dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, nona itu meloncat
dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang.
Betapa pun
juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi
menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lantas menghaturkan
terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi
Hu-nan.
Di kota ini
dia bermalam pada sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar
selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan
memasuki pasar bersama seorang nenek! Han Tiong adalah seorang pemuda yang
cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh
perhatian.
Dia melihat
betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam
dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua
yang mempunyai mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih sangat segar dan
padat, mempunyai gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang
tersembunyi di balik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja!
Tadinya, dia
menaruh curiga sesudah mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang.
Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga
tinggal di Heng-yang, memegang peran di dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini
dia berhati-hati sekali. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak
buah Lam-sin!
Dia harus
mengetahui terlebih dahulu ke mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong.
Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam
keadaan sehat dan selamat, walau pun ada kedukaan membayang di wajahnya yang
jelita.
Kalau Lian
Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan
membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu
sejak tadi! Tak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan
menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan.
Ilmu kepandaiannya
sudah amat tinggi dan sikapnya selalu waspada sehingga begitu ada sedikit
perubahan saja di sekitarnya dia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda
yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan
dengan sikap yang tidak kentara, dia sudah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu
kemudian dapat menduga bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Lembah Naga,
pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong!
Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada
anak buahnya!
Jangan
dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke mana pun ia pergi, tentu
ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah
ketuanya ini. Maka tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk memberikan
perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak
buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu
melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja.
Nenek
Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong,
ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju
ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat.
“Ehh, kenapa
kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran.
“Kau ikut
sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa
saja sehingga Lian Hong tak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak
subo-nya yang memang luar biasa itu.
Akan tetapi
hati dara ini menjadl makin heran saat melihat bahwa subo-nya mengajaknya
keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di
sebelah barat kota Heng-yang!
“Subo,
kenapa kita memasuki hutan?”
“Diamlah,
nanti engkau akan tahu sendiri,” kata Nenek Lam-sin yang secara diam-diam terus
memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang.
Ia kagum
sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga
biar pun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri
kalau tidak waspada dan sudah melihatnya semenjak tadi, tentu tidak akan
mendengar gerakan pemuda itu.
Mereka
berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian
mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong
kaget sekali, akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata,
“Mari kita
melihat apa yang terjadi di belakang itu.”
Lian Hong
mengikuti gurunya kembali dan pada saat mereka tiba di padang rumput, Lian Hong
melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggota
Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di
tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong!
Melihat
pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, sekaligus juga
girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi,
kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi
kemudian dia pun telah menjerit dengan tangis,
“Tiong-koko…!”
Kemudian larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah
lapangan.
“Hong-moi…!”
Han Tiong berseru kemudian menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis
tersedu-sedu itu.
“Tiong-ko…
ah, Tiong-ko…!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya
terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya.
Baru
sekarang ini gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya,
dia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada orang yang
dapat dia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis
itu.
“Tenanglah,
Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi… dan agaknya Thian sudah
menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.”
“Lian Hong,
ke sini engkau!” Mendadak terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek
Lam-sin.
Lian Hong
mengangkat mukanya lantas berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan
pemuda itu.
“Subo,
inilah Tiong-koko, dia… tunangan teecu itu…”
“Hong-moi,
siapa nenek itu? Subo-mu…?” Han Tiong bertanya heran.
“Benar,
Tiong-ko. Dia adalah… Lam-sin, penolongku juga guruku…”
Bukan main
kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah
Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tidak pernah disangkanya
bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan
lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan
menjadi gurunya.
“Hemm, Lian
Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak
membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia
ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari
Pendekar Lembah Naga di utara?”
Han Tiong
yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan
mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura
dengan hormat.
“Harap
locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya
tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama
locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan
terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.”
“Hemm, Cia
Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima
ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak
mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang
kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!”
“Ahhh,
locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian
locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah
sebelum bertanding.”
Han Tiong
yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan
merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang
putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.
“Kiranya
putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang
nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau
sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku,
apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?”
Han Tiong
tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin
menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena
memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.
“Locianpwe,
di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe
sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah
penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh
karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di
antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?”
“Hemmm,
begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau
harus taat padaku!”
“Tidak,
subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong.
“Begitukah?
Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!”
Tiba-tiba
saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan,
tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini
terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan
yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.
“Plakkk!”
Nenek
Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum
mengejek.
“Hemm,
katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya.
“Maaf,
locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.”
“Bagus,
kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan
Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat
sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.
“Plakk!
Plakk!”
Dua kali
mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang,
tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa
menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan
pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.
“Begitu
lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.
Han Tiong
maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia
merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan
Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya?
Akan tetapi,
begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main.
Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki
kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh
sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan
sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela
diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi,
semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong
bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan
bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan
yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.
Nenek itu
terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan
kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan
Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya
seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru
terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat
tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian
kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu!
Cepat Han
Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga
diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa
dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan
menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus
menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.
Betapa pun
juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya
sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia
berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan
berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan
menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan
membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!
“Plakk!”
Sebuah
tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia
menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.
“Ihhh…!”
Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari
tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan
It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya.
Akan tetapi
ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan
belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun
tidak terluka hebat.
Kini nenek
itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan
kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar
garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia
mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya
mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu
datang dari atas.
Han Tiong
mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun
Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau
pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela
diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas
sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke
arah kepala Han Tiong!
Pemuda ini
terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu
menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan
mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi
Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga
Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang.
Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan
rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula
mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh!
Han Tiong
merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka
karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan
sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang
lagi.
Karena
bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.
Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong
dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak
memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.
“Desssss…!”
Sekali ini,
nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting
roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat
dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak
gulungan sinar putih.
Han Tiong
menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan
jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan
menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat
dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.
“Bukkk!”
Sekali ini
Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan
jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali
sambil mengatur nafas.
“Hik-hik-hik,
begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm,
sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan
dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.
“Dessss…!”
Tubuh nenek
itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru
dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi.
Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa
berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang
sebaya.
“Nenek tua
bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang
menangkis tadi.
“Ayah…!
Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian
Hong memandang dengan jantung berdebar.
Ternyata yang
baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya,
Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat
mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul
putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang
melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara
diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula.
Seperti juga
Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar
bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti
pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan
penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu
adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota
itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat
puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.
“Han Tiong,
mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur
puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa
puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati
sehingga terkena pukulan lawan.
“Ayah,
locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian
Hong,” jawab Han Tiong.
Sementara
itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu
bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya
pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu.
Diam-diam dia merasa gentar juga.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment