Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 17
Thian Sin
terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu
menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut yang terampuh dari huncwenya!
Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia telah memperhatikan dengan
teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu
akan inti kekuatan huncwe itu.
Dia segera
membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah
yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan
serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum akan hal ini sehingga tak lagi
merasa heran mengapa pemuda itu kini memainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia
bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya
mati-matian. Maka dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya,
sekali ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap
amat berbahaya baginya.
“Cringgg…!”
Tiba-tiba
nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini,
tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui hingga tampaklah
gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang
paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari
mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras!
Thian Sin
sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk
menghadapi jurus ini. Mendadak dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh,
lantas dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang
tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang
sekarang digunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini
telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe
itu adalah terhadap air!
“Cessss…!”
begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara berdesis dan apinya tentu
saja menjadi padam. Nampak asap hitam yang baunya keras bukan main.
Pada saat
itu pula Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke
arah perut lawan, disusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya
sendiri menyerang ke depan dengan sangat cepatnya! Itu pun merupakan serangan
gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini.
“Tringggg…!”
Pedang itu
tertangkis oleh huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada
kakinya. Akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki.
“Blukkk!”
Dua kaki
Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar
dan terbanting, dan dia pun roboh pingsan!
Siangkoan Wi
Hong beserta tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan langsung
menyerang dengan senjata mereka. Pemuda itu menggunakan yang-kim untuk
menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka.
Sementara
itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga pada waktu merobohkan kakek tadi, merasa
tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu
sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu,
dia bisa celaka, apa lagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok.
Maka dia
segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakan Thian
Sin amat cepat sehingga biar pun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar,
namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus berlari
dengan cepat.
Sementara
itu malam telah tiba sehingga kegelapan malam menolong pemuda itu dapat
menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biar pun dia
sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia sudah
merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangkan Hok-liong
Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, sesudah dia tahu akan
kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, maka dia tidak perlu takut lagi
terhadap datuk utara itu!
Sementara
itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tak melanjutkan pengejaran,
karena mereka sendiri pun masih terlalu kaget akibat melihat betapa Pak-san-kui
dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk
mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai
gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui.
Kakek itu
masih pingsan. Akan tetapi sesudah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak
tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan hanya pingsan sungguh pun terluka
cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak!
Sesudah
siuman, tentu saja kakek itu langsung menyumpah-nyumpah dan berjanji akan
mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang.
Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai,
juga sangat cerdik seperti setan sehingga ‘tukar menukar’ ilmu itu hanya suatu
tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, ada pun pemuda itu berhasil
mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan.
Setelah
pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini dia
pun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian
Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagian yang berguna dan oleh
Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri.
***************
Setelah
berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga.
Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk
sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama
sekali karena sedikit banyak dia sudah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu.
Ia akan
terus berusaha membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk
membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk dalam hatinya, akan tetapi sebelum
dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dahulu bahwa dia mampu mengalahkan
semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tak ada jalan lain kecuali mengukur
kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat!
Dan sekarang
dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus sanggup mengalahkan
See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat
dari permukaan bumi!
***************
Siapakah
See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang berusia
kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa,
berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan
seperti tokoh Thio Hwi di dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai
dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Dia seorang
yang kasar, apa bila bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga
wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Hal
ini adalah karena dulunya dia seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis
dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet
lantas dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan terus
memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama
dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib.
Dia malah
juga mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepanjang perjalanan sehingga
ketika akhirnya dia sampai di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di
sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam
ilmu silat mau pun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya
dan akhirnya tak ada seorang pun ahli silat, baik dari golongan bersih mau pun
kotor, yang dapat mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran
di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu.
Akhirnya
namanya menjadi makin terkenal sehingga orang-orang menyebut dia sebagai
See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali
memperkenalkan diri, maka dia pun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorang
pun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek
raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai.
Akhirnya,
beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong sudah menetap di kota Si-ning di
dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, tetapi di
bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi.
Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk
kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru.
Akan tetapi,
dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia
tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan walau pun akhirnya
dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggotanya atau
pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau
mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus
mengajar para anggota atau pembantu itu.
Dan di
antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling,
dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala
dan bertugas mewakili See-thian-ong di dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik
yang berusia tiga puluh lima tahun itu.
Akan tetapi,
See-thian-ong memiliki watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda
dan cantik! Dia tak pernah menikah, akan tetapi banyak wanita cantik yang
menjadi simpanannya. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, merupakan salah
seorang di antara kekasihnya!
Akan tetapi
karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini
melayaninya. Terlebih lagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah
banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal
puas itu.
Seperti juga
para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat
yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Jika tidak memberi sumbangan
kepada See-thian-ong, maka jangan harap mereka itu dapat membuka praktek
pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan,
perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi.
Pendeknya,
nama See-thian-ong merupakan semacam ‘pelindung’ supaya mereka dapat bekerja
dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat
di daerah Propinsi Ching-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja
amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, walau pun
dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap
sederhana.
See-thian-ong
amat terkenal meski pun dia jarang memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau
tidak amat perlu. Murid-muridnya pun telah cukup untuk ‘membereskan’ setiap
fihak yang berani menentangnya. Dan apa bila sekali waktu dia mengeluarkan
kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan!
Dalam ilmu
silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata sangat ganas, dia
memiliki ilmu yang sangat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola
karet ditiup dan apa bila tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan
hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam
tidak akan mampu melukai tubuhnya!
Selain ini,
juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekali pun.
Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat
menguasai lawan hanya dengan pandangan mata atau bentakan suaranya yang sangat
berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang
karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan
mengerikan.
Dan kini,
tokoh semacam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh
keberanian, pemuda ini sampai di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati
sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang
macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah
dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk berbicara
tentang See-thian-ong.
“Toako, aku
adalah seorang pelancong dari daerah utara yang tertarik akan berita tentang
keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai pada saat terbuka kesempatan bicara
dengan pelayan itu.
“Ahh, kongcu
tidak salah apa bila memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi
seperti ini, Telaga Ching-hai selalu menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk
di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap
hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang
musik, atau kongcu dapat pula bermain judi apa bila kongcu suka, dan ada
perahu…,” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik…”
Thian Sin
tertawa, berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aihh, menyenangkan
sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, yakni mengenai
orang yang bernama See-thian-ong…”
Wajah
pelayan itu berubah pucat pasi. “Ssstt, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan
tetapi sebenarnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan juga
tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan
jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada
yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu…”
Melihat
sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain
pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang
yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin bahkan melaporkan untuk
mencari muka! Dia lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri
ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu,
pikirnya.
Pada
keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi serta
bertukar pakaian bersih sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang
sikapnya halus dan wajahnya amat tampan, pergilah Thian Sin berjalan-jalan
menuju ke telaga. Benar saja, biar pun matahari baru saja naik, di situ sudah
terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar.
Telaga itu
besar sekali dan airnya sangat jernih, berkilauan laksana cermin menampung
sinar matahari pagi yang masih membuat jalur kemerahan panjang di atas air yang
belum begitu banyak bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk
menawarkan perahunya di tepi telaga.
Orang-orang
yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga,
menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga mau
pun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya.
Thian Sin
lalu memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua
yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka
pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya
rejeki. Dan rejeki itu pun datang ketika Thian Sin menghampirinya.
“Paman yang
baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?”
Wajah yang
keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang!
“Tentu saja,
kongcu. Perahuku ini meski pun sudah tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan
dapat meluncur cepat sekali.”
Thian Sin
tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan hendak berlomba,
paman. Tidak perlu cepat-cepat!”
Sesudah
tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di
atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan
perahu itu kemudian meluncur ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan
tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu!
Di atas
telaga itu masih senyap. Akan tetapi, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang
amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mengandung pesona
tersendiri dan tentulah akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang
pelukis atau seorang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar
dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan
lembut, ada pun perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik
sedikit saja.
“Paman, coba
bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.”
“Tapi di
sana sunyi sekali, kongcu.”
“Biarlah,
aku justru suka akan kesunyian.”
Tukang
perahu itu lalu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi
pantai yang ramai itu, menuju pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena
bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Sesudah mereka berada jauh
dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini.
“Paman, di
sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi
keterangan kepadaku tentang sesuatu?”
Kakek yang
usianya sudah ada enam puluh tahun itu memandang wajah Thian Sin yang muda dari
tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu?
Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, tapi mengapa mesti mencari
tempat yang sunyi?”
“Karena
setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya,
paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara, dan aku
mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tak akan puas sebelum
mendapat keterangan yang memuaskan.”
“Tentang
apakah, kongcu?”
“Tentang
orang yang bernama See-thian-ong…”
“Ahh…!”
Wajah kakek itu menjadi pucat dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang.
“Tidak ada
seorang pun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa
yang hendak menyusahkanmu? Karena itulah maka aku tadi memilih dan menyewa
perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau
untuk menambah biaya sewa perahu.”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku
sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak bertanya tentang apa?”
“Siapakah
sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakan dia?”
“Dia adalah
seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu. Dia menguasai semua orang, dan semua
orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia
sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa,
malah pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja
dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan
orang maka biarlah kalau didengar juga.”
“Hemm, di
manakah rumahnya, paman?”
“Rumahnya
tidak jauh dari telaga ini, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang
nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia
mempunyai sebuah rumah besar, dan di sanalah para anak buahnya yang puluhan
orang banyaknya itu berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai,
demikian kata orang.”
“Semua anak
buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?”
“Ya, di
rumah-rumah yang dibangun di sekitar rumah induk tempat tinggal See-thian-ong,
merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke
sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.”
“Dan
keluarganya?”
“Dia hanya
hidup bersama para pembantunya dan kabarnya… dia memiliki belasan orang selir
karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak…”
“Hemm,
begitukah?” Thian Sin merasa girang bukan main karena dia sudah memperoleh
keterangan secukupnya.
Setelah
melihat banyak perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan
yang dikehendakinya telah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu
mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu.
Kini banyak
perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu
itu. Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak
perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang
melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian.
Mereka terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi
menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu
sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di
sekeliling perahu-perahu pelesir yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu.
Karena si
tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya akan suka
mendekati perahu itu, dia pun lalu mendayung perahunya mendekat. Dan begitu
melihat Thian Sin yang sangat tampan, muda dan sendirian pula di atas
perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya.
“Kongcu yang
tampan… mengapa sendirian saja…”
“Aihh…
kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?”
“Mari,
kongcu… mari kami layani kongcu bersenang-senang… dengan kongcu, tidak usah
bayar pun tidak mengapa…”
“Aduh
gantengnya…”
Bermacam-macam
teriakan mereka disertai lambaian tangan, sapu tangan serta lontaran kerling
dan senyum memikat ke arah Thian Sin dibarengi gelak tawa genit. Melihat hal
ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati.
Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang pemuda lantas
didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki
Thian Sin.
“Ehh… ehh…
jangan menabrak…!” Tukang perahu tua berteriak ketakutan.
Perahu merah
itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, karena itu sekali kena
ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidak-tidaknya tentu akan terguling
bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar apa bila hanya
terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu!
Melihat hal
ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu
hendak menabrak, menyangka bahwa mereka itu tak sengaja, maka dia pun
cepat-cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu lantas menodongkan
dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung.
Tukang
perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar
yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan
tangan yang memegangnya tentu akan patah pula!
“Jangan,
kongcu…!” teriaknya.
Akan tetapi
perahu itu telah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin
mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan… perahu besar itu
melenceng lalu meluncur melewati perahu kecil dan hanya berselisih beberapa
senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya
sudah pucat itu lalu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan
saja.
“Aduhhh…
kita selamat…,” katanya.
“Paman,
mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!”
Tukang
perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu
iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah,
sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Tukang perahu itu lalu bergegas
mendayung perahunya hendak pergi dari situ.
“Jangan
melarikan diri, paman. Biarkan saja mereka datang,” kata Thian Sin yang menjadi
sangat marah setelah dia tahu bahwa keempat orang muda itu memang sengaja
hendak menggulingkan perahunya.
Kakek itu
tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia
menjadi ketakutan. Sementara itu, lari pun tiada gunanya karena perahu merah
itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil
itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu
masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang
bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan.
Dengan
gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di
bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main
ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh
ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali.
Sekali ini,
Thian Sin tidak mempergunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu,
melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti hingga moncong
perahu besar itu telah hampir menyentuh perahunya dan berada demikian dekat sehingga
nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu melihatnya dengan mulut
menyeringai girang.
Tiba-tiba
jari-jari tangannya menyentuh moncong perahu, lantas dia mengerahkan tenaga,
mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu
merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu
terbanting menelungkup dan terguling!
Segera
terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian
Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorang pun, kecuali si tukang
perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu
tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali
tidak apa-apa!
Empat orang
pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tak
pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah
sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat
orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain
dan melarikan diri dari tempat itu!
“Ehh,
bagaimana bisa terjadi itu?”
“Luar biasa
sekali!”
“Tentu ada
setan air yang menolongnya!”
“Ahh, dia
tentu benar-benar dewa dari kahyangan…!” terdengar seorang wanita penghibur
berseru.
Semakin
ramailah keadaan di situ dan sekarang Thian Sin menjadi pusat perhatian orang,
terutama sekali para pelacur itu yang agaknya kini hendak berlomba untuk
merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya
ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik.
Pada saat
Thian Sin yang merasa jemu itu akan menyuruh tukang perahu membawanya ke
pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang
nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!”
“Wah, celaka,
kongcu…!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat.
Mendengar
ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada
cepat-cepat minggir untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang
dengan cekatan sekali.
“Silakan,
nona…!”
“Silakan,
siocia…!”
Suara mereka
itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung
perahu hitam kecil itu lalu wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So
Cian Ling!
Tentu saja
dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek,
dengan wajah yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan
sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir
yang merah itu mulai tersenyum ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di
dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin!
Pemuda ini
memandang dengan jantung berdebar. Bukan apa-apa, hanya girang karena dia
melihat jalan yang terbaik untuk bisa berhubungan dengan See-thian-ong tanpa
harus menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid
tersayang dari See-thian-ong?
Thian Sin
segera mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, “Selamat
bertemu, Nona So Ciang Ling!”
Wajah ini
segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira.
“Aihhhh…!
Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ahh, siapa lagi
yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari… kau pindahlah
ke perahuku dan kita mengobrol!”
“Akan
tetapi… perahu ini kusewa…”
“Aihh,
sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu…,” si tukang perahu
cepat berkata.
“Hei, tukang
perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian
Ling dan dia melemparkan sepotong uang emas kepada tukang perahu itu. Uang itu
jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!”
“Terima kasih…
ahh, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, cepatlah kau
pindah ke perahu siocia…” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong
perlahan ke pundak Thian Sin.
Pemuda ini
tersenyum, lantas bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling.
Akan tetapi pada saat itu pula So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali
sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat kejadian ini,
juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu
akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang
dari lima meter jauhnya!
Akan tetapi
mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring, kemudian tubuhnya
sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu lalu dapat
turun dengan enaknya di atas perahu! Melihat ini, semua orang berseru kagum dan
So Cian Ling tertawa.
“Wah, engkau
sungguh nakal!” kata Thian Sin sambil tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu
memang sengaja mencobanya. Andai kata dia tidak sedang mendekatinya karena dia
hendak mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah
mendongkol dan akan membalas.
“Hi-hik,
siapa takut kau tercebur?”
So Cian Ling
lantas mendayung perahunya dan ketika melihat betapa perahu besar yang
ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada
Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan bagaikan mata kucing-kucing yang
melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil
berseru,
“Minggir!
Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?”
Nona ini
mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat
sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu langsung mendekam
di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar
dengan keras, bahkan ada pula yang sampai terkentut-kentut dan
terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk
menghentikan perahunya, namun tidak berhasil.
“Sudahlah,
kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” kata Thian Sin sambil
dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu.
Perahu hitam
kecil itu menjadi miring, maka dengan sendirinya terputar mendekati perahu
besar yang masih berputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika
perahu besar itu berhenti dari putaran!
“Hi-hi-hik!”
Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi,
melainkan ke tengah telaga.
Cepat sekali
perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah
titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang hanya dapat menarik
napas panjang dan menduga-duga siapa adanya pemuda itu.
“Pantas,
kiranya sahabat So-siocia…,” akhirnya mereka berkata-kata, sebentar kemudian
tempat itu menjadi ramai kembali.
***************
“Kau bilang
perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba Cian Ling memandang
Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan
itu.
“Tentu saja,
apa dosa mereka kepadamu?”
“Kepadaku
sih tidak, akan tetapi… ehh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?”
“Mereka?
Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong…”
“Aih… jangan
kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan
tersenyum mengejek.
Diam-diam
Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So
Cian Ling yang dulu pernah ditemuinya dua kali itu. Dahulu, baik untuk yang
pertama kalinya pada waktu dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas
kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya pada saat dia bertemu dengan dara
ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah
perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah
seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh
dengan daya pikat! Bedanya seperti langit dan bumi!
“Hayaaa… apa
yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap
mukanya yang berkulit putih halus itu.
“Ahh, tidak…
hanya… ahh, kenapa kau bilang aku pura-pura?”
“Habis,
engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu
adalah wanita-wanita pelacur?”
Thian Sin
terbelalak. Memang sejak tadi pun dia sudah terheran-heran akan sikap
wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum
pernah bergaul dengan kaum pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika
Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka
demikian.
“Ah, kiranya
begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andai kata mereka itu benar
pelacur-pclacur, habis apa dosanya?”
“Wah, apa
dosanya? Mereka menjual cinta…”
“Berdosakah
itu?”
“Jelas!
Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah,
itu namanya hina! Ehh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?”
Tiba-tiba
saja dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga
menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di
tengah-tengah danau yang sunyi.
Thian Sin
merasa mendongkol juga karena ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu
tertawa.
“Ehh,
mengapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya.
Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli ketika melihat
dia marah.
“Ceng Thian
Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan
mengapa dia tertawa tadi.
“Usia?
Sembilan belas tahun, mengapa?”
“Hemm, benar
kata Siangkoan-kongcu…”
“Apa yang
dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin.
“Dia berkata
bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan
wanita pelacur, bahkan dengan wanita mana pun. Bahwa engkau masih perjaka
tulen. Benarkah itu?”
Wajah Thian
Sin menjadi merah sekali laksana udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan
merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?”
“Kau memang
hebat! Ilmu kepandaianmu sangat tinggi, engkau juga keturunan seorang pangeran,
bahkan seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau
malah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai, tetapi engkau… engkau
masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya hal itu? Akan tetapi aku percaya dan
aku… aku kagum, Thian Sin.”
Berkata
demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan pada saat tangannya turun,
tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut sekali,
akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikit pun dan seluruh
tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua!
Melihat
keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah merasa
tergila-gila kepada Thian Sin, segera mendekatkan tubuhnya sehingga kehangatan
tubuh gadis itu dapat terasa oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik,
“Kau… kau
takut…?”
Thian Sin
tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tetapi dia menoleh ke arah
muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari
mulut dan hidung wanita itu.
“Takut
apa…?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun
tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, nyaris seperti bisikan
saja.
Gadis itu
tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga nampak deretan gigi yang teratur
rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya.
“Engkau…
pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau… ehhh, takut kepada
wanita, ya? Hi-hik-hik…!”
Tersinggung
rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, biar pun hanya saling dekap dan
saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir
dengan Loa Hwi Leng! Maka, begitu mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya
mengejeknya itu, dia menjawab penasaran.
“Siapa takut
kepada wanita? Huhh…!”
Cian Ling
tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis
muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?”
“Tidak!”
“Kalau benar
tidak takut, beranikah engkau menciumku?”
Thian Sin
semakin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana
dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang
menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan
seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu.
Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu
ketinggian hati yang membuat dia enggan kalah oleh siapa pun juga dan dalam hal
apa pun juga.
“Mengapa aku
tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya,
membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan.
Dengan bibir
yang masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu
mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu lalu berbisik, “Mengapa? Aihh…
karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah,
beranikah engkau menciumku?”
Kini Thian
Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang
setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik
itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Dia pun lalu merangkul dan
mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu ‘dusun’
dan ‘hijau’. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu
lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir bahwa dia tak akan dianggap
jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya
dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin.
Tanpa
disadarinya lagi dia sudah dibawa rebah oleh Cian Ling. Kemudian dalam keadaan
setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya,
baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekali pun. Thian Sin membiarkan dirinya
hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru
yang sangat pandai, sangat manis dan yang agaknya tak mengenal puas.
Setiap
manusia di dunia ini, baik wanita mau pun pria, yang hidup dalam keadaan normal
dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan khusus menjadi pendeta atau
yang berpantang senggama, sekali waktu sudah pasti akan mengalami hubungan
pertama di dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk
pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai
cara dan jalan.
Dan agaknya
sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia
timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang laki-laki bukanlah hal yang aneh
dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita bisa
menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan bisa pula
mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya!
Hubungan
antara pria dan wanita, malah hubungan yang menyangkut kelamin sekali pun,
bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, bagaikan
hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak mau
pun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, atau manusia-manusia. Jodoh
di dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena
pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.
Demikian
pula hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan
merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena
itu sungguh sesat jika menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama
sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan
indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam.
Namun,
segala macam perbuatan di dunia ini, apa bila dilakukan dengan dasar mengejar
kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai
sebuah kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mengejar
kesenangan sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup,
mendatangkan awal dari pada kesengsaraan.
Umpamanya,
kegiatan makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup,
kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya
mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang sepatutnya membuat
manusia bersyukur. Akan tetapi bila dalam melakukan perbuatan makan ini kita
mendasarkannya atas pamrih mengejar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi,
maka akan terjadilah penyelewengan.
Kita lantas
makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah
untuk syarat hidup, untuk perut. Kemudian terjadilah akibat-akibat yang sangat
mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan!
Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria
dan wanita.
Gairah yang
ada dalam hubungan seksual adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita
adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itu pun adalah wajar,
merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namun apa bila
kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari
kesenangan, maka kita telah menyalah gunakan berkah itu.
Kemudian
timbul perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya
demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinahan-perjinahan dan sebagainya,
yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu birahi belaka, hanya
untuk mencari kenikmatan belaka.
Dan
muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia
yang sudah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di
luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa
dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit kelamin, dan
sebagainya lagi.
Kebijaksanaan
sajalah yang bisa menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul bila kita
berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang
akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksual ini. Dengan cinta kasih,
maka segalanya pun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan
seks! Walau pun hubungan seksual merupakan sebagian dari pada cinta kasih
antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan dari pada
kasih sayang dan kemesraan.
Dan sebagai
manusia tentu saja kita tak mungkin bisa terlepas dari pada norma-norma
kesusilaan, dari pada hukum-hukum yang sudah diterima oleh masyarakat. Kalau
hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita barulah benar
apa bila dilakukan antara suami dan isteri yang telah menikah secara sah, maka
sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya,
andai kata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kita pun
tidak terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga
ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban
menyeluruh yang berpusat kepada batin.
Kenikmatan
mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan.
Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat akan selalu mendorong
manusia untuk mengulang kenikmatan itu.
Di dalam
perahu kecil itu, yang terapung di permukaan danau yang amat sunyi, Thian Sin
terseret dalam buaian yang mendatangkan kenikmatan dan memabukkan. Cian Ling
yang merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan
dibayangkannya, menggunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa
mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu birahi!
Sesudah
bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda
putera pangeran ini yang selain tampan, gagah serta menyenangkan, juga yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka timbullah rasa cinta dalam hati
Cian Ling. Ingin dia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya
memiliki tubuhnya, namun juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala
kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam
bermain cinta, kini Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu
jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.
Akan tetapi,
setelah mereka berdua tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk,
bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri
yang makin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki
kejantanan yang bahkan mampu mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang
telah berpengalaman dalam hal bermain cinta.
Maka,
sesudah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya ke pinggir untuk mencari
makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu,
kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu
atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang
menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada
Thian Sin.
Sebaliknya,
pemuda itu hanya tenang-tenang saja sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia
menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh
cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, jika dia
laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita,
berkepandaian, dan mempunyai gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula?
Namun, di dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang di
samping menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong!
Setelah dua
hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan
madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan mereka pun
mendarat. Ini pun adalah atas kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan
memasuki sarang See-thian-ong.
Dari Cian
Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang diri See-thian-ong. Dan menurut
penuturan gadis itu, dia pun sudah tahu bahwa selain sangat lihai ilmu
silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu
sihir.
“Banyak
sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mempunyai ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu
silatnya mungkin tak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu,
terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata.
Ketika
mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang
sangat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon serta
bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak
tinggi tetapi dapat hidup subur, maka padang rumput itu tebal sekali dan bila
mana diinjak rasanya bagaikan menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya
tempat itu.
“Ini adalah
tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah
aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke
sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini…”
Thian Sin
tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua
pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra.
“Cian Ling,
engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat
menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku mengenai dia, dia itu
senang sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing supaya
bisa mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya.
Cian Ling
menarik napas panjang, bagai seekor kucing yang dipangku dan dibelai, sebab
dengan pandai Thian Sin menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak
rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu.
“Memang suhu
seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahhh… dia suka sekali dan
setiap hari, maksudku tiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampingi
dia. Dia… dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan
apa-apa…”
Cian Ling
menarik leher pemuda itu lantas menciumnya. Thian Sin membiarkan gadis itu,
kemudian melepaskan diri dan berkata lagi,
“Dan engkau
begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu…”
“Kau… kau
cemburu?” Cian Ling bangkit duduk kemudian memandang tajam, akan tetapi
bibirnya yang manis tersenyum.
Thian Sin
menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka
memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.”
Cian Ling
menarik napas panjang, nampaknya kecewa sekali. “Aihhh… ingin aku melihat
engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.”
Thian Sin
hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis,
kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?”
Cian Ling
gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thian Sin, lalu menciuminya
penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata,
“Duduklah
yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang
datuk barat itu.”
“Bukankah
sudah banyak aku bercerita mengenai dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki
seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang
pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang
amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku
dan mengajariku tentang cinta seperti… seperti aku mengajarimu, Thian Sin.”
Gadis itu tersenyum lebar.
Thian Sin
tidak merasa cemburu, hanya merasa tidak senang dan agak muak mendengar akan
hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan
seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dengan murid sungguh
menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak
mempergunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong
dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka dia pun tidak
memberi komentar atas hal itu.
“Cian Ling,
coba kau jelaskan. Mana yang lebih berbahaya di antara dua macam ilmunya yang
pernah kau beri tahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khikang yang membuat tubuhnya
penuh dengan hawa sehingga dapat menggembung besar, ataukah ilmu tongkatnya?”
“Thian Sin,
sungguh menyesal sekali aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci, sebab
walau pun aku adalah murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua
muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu
simpanan suhu pribadi, belum pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan
Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajarkan ilmu itu, padahal dia disebut
sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu aku pun akan kalah
olehnya.”
“Sayang, aku
ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan dua ilmu itu.”
“Aku hanya
bisa memberi tahumu bahwa ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo Pang-hoat (Ilmu
Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayu
pun bila berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu maka akan berubah
menjadi senjata yang ampuh. Ada pun ilmu khikang yang bisa membuat tubuhnya
menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Bila suhu sudah mengeluarkan ilmu
ini, maka tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin lantas segala
macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan di samping itu, juga dengan
hembusan khikang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan sanggup
menahannya. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Gadis itu memegang tangan
Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau
apakah?”
Thian Sin
sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah
diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya
dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia pun
menjawab,
“Cian Ling,
engkau tentu sudah pernah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat
mendiang ayahku, bukan?”
Gadis itu
tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa
kagum karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kenyataan yang membuat dia
merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang
menyerahkan perjakanya, ialah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu
mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya.
“Tentu saja!
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang dulu pernah
menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah
menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang mempunyai ilmu kepandaian
tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia…”
“Itulah yang
kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, maka akan kuperlihatkan
kepada dunia bahwa puteranya ini dapat memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku
ingin mengalahkan semua datuk di keempat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba
kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.”
“Ahh… untuk
mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang sukar bukan main,
kekasihku.”
“Aku hanya
mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Kecuali engkau, siapa lagi yang dapat
membantuku dalam menghadapi suhumu itu.”
“Tentu saja
aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu
untuk menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan kedua macam ilmu itu, aku tidak
berdaya sama sekali, dan pula… mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu
baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?”
“Hemm,
seperti anak atau seperti kekasih?”
“Hi-hik-hik,
kau cemburu?”
Thian Sin
tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak
bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di
dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka
berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta birahi mereka.
Ketika
mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suheng-nya, yaitu
Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, yaitu
dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin
yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya.
Akan tetapi,
Cian Ling dapat melihatnya, lantas diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian
gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra dari pada biasanya, bahkan dia
sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik.
Ciang Gu
Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih
tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka
pucat dan matanya sipit sekali. Pakaiannya kuning sederhana dan dia mempunyai
ilmu kepandaian yang tinggi.
Karena dia
dekat dengan sumoi-nya, maka tentu saja dia pun tidak dilewatkan oleh Cian Ling
sehingga antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi
hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dengan See-thian-ong. Di
kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor.
Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh
segala macam aturan dan susila.
Akan tetapi,
jika Cian Ling hanya menganggap suheng-nya itu sebagai seorang di antara para
pria yang pernah menggaulinya dan tak begitu mendatangkan kesan dalam hatinya,
sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoi-nya ini, mengharapkan kelak
sumoi-nya mau menjadi isterinya.
Sudah dua
hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia sedang mencari-cari sumoi-nya. Dia
mendengar peristiwa di telaga di mana sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda
yang tampan dan juga kabarnya mempunyai kepandaian tinggi. Baginya, mendengar
sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguh pun
dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoi-nya
itu untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi
biasanya, bila mana sedang bermain gila dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak
pernah sembunyi-sembunyi, dan bahkan paling lama sehari semalam sumoi-nya itu
tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya
selama lebih dari satu hari satu malam.
Akan tetapi
sekarang, telah dua hari dua malam sumoi-nya tidak pulang, maka timbullah rasa
kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada
sumoi-nya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoi-nya. Dia tahu akan
padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoi-nya itu, maka
ke situlah dia pergi.
Ketika dia
mengintai dan melihat sumoi-nya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang
dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa sangat
cemburu. Sumoi-nya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik kepada
pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu.
Dan
sumoi-nya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan
hatinya yang panas oleh cemburu, pada saat itu juga dia ingin meloncat dan
menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan terhadap
sumoi-nya. Oleh karena itu, dia menunggu sampai kedua orang muda itu duduk
kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah,
“Kiranya si
pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan dia pun sudah meloncat dan
mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat dari pada
emas.
Akan tetapi,
Cian Ling meloncat dan menyambut suheng-nya itu dengan berdiri tegak dan kedua
tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung
kemarahan, sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang
pohon, memandang tak acuh.
“Suheng, mau
apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?”
Menghadapi
sumoi-nya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia
itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari
suhu!”
“Dia bukan
musuh. Kau lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik
terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia
memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!”
“Sumoi,
engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw… telah…”
“Sudahlah,
suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?”
“Sumoi, suhu
tentu akan marah…”
“Suhu tak
akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling
segera mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu
untuk memaksa aku melawan?”
Melihat ini,
Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu sudah
berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton
saja dan sikapnya tenang sambil menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi,
setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya
Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya.
“Baiklah,
aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak akan senang bila melihat ini…”
Dan sesudah
melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus
bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat.
“Suheng,
kalau kau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara
denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu.
Setelah
suheng-nya tak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di
dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu kemudian dia
pun menarik napas panjang.
“Uuhhhhh,
laki-laki pencemburu macam dia…!”
Thian Sin
mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.”
“Peduli
amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.”
“Akan tetapi
dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.”
“Apakah
engkau takut?”
“Hemm, aku
tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi,
dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya…”
“Ih, engkau
belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah
seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Apakah kau maksudkan
dia mau mengeroyokmu? Kau jangan memandang rendah, Thian Sin. Selamanya guruku
tak pernah mengeroyok orang!”
“Kalau
begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.”
“Hemm,
engkau akan kalah.”
“Kalau
begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.”
Cian Ling
langsung merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu?
Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan
kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau
khawatir!”
Memang Thian
Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk padanya. Dia
telah dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit
banyak wanita ini tentu mempunyai pengaruh terhadap See-thian-ong, malah
suheng-nya tadi pun tunduk padanya. Dengan kewanitaannya yang mempunyai daya
tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling mampu menguasai suheng-nya dan juga
gurunya sendiri, kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa
See-thian-ong bukan hanya guru dan pengganti orang tuanya, melainkan juga
menganggapnya sebagai kekasih....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment