Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 03
ANAK itu
nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan di wajahnya
jelas terbayang kekerasan dan dendam yang amat hebat. Kembali dia menarik
napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dia membaca surat
terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan
moihu-nya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat serta mendidik
Thian Sin untuk sementara waktu, karena mereka berdua terancam bahaya. Minta
padanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing
dan mengamati latihan silatnya.
Sesudah
membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang
dan membisikkan doa-doa. Pada saat menulis surat itu, meski pun adiknya masih
belum yakin akan kematiannya, akan tetapi adiknya itu agaknya sudah merasa
tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata,
“Saudara Lai
Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali dan untuk itu,
pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari
mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai
untuk beistirahat.”
Lai Sui
cepat memberi hormat. “Terima kasih, suhu. Tetapi, sesudah saya menyerahkan
surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami,
karena di samping dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan
berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya
yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini,
memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?”
Thian Sin
mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di sampingnya, tidak
menangis, akan tetapi jelas dia merasa sangat terharu. “Terima kasih, Lai-pek,
sungguh engkau baik sekali dan aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau
tolong… tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?”
“Tentu saja,
Thian Sin, tentu saja, kau jangan khawatir… nah, selamat tinggal, anak baik.
Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang.”
Lai Sui lalu
meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang sudah tertimpa mala petaka
itu. Oleh karena tidak berkeluarga, maka dia sendiri tidak mengalami kehancuran
keluarga. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti
keluarga sendiri saja. Maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat dan dia
ingin lekas-lekas pulang.
Sementara
itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat bukan main di wajah
keponakannya itu lalu berkata. “Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang
membunuh ayah bundamu?”
Anak itu
mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, lalu dia
menggeleng kepalanya. “Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya
selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari
Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak saya pasti akan menyelidiki siapa
yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan
kematian ayah dan ibu!” Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang
hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas
panjang.
“Omitohud…!
Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tak pernah berpikir mau pun bertanya
mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?”
Sesudah anak
itu menggelengkan kepalanya, dengan suara lembut dan sabar Hong San Hwesio
lantas menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang
dahulu pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu
agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum
menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang
terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat dari pada
perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau.
Mendengar
cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga.
Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah
memberontak terhadap kaisar.
“Nah,
sekarang engkau tentu mengerti, Thian Sin. Tidak ada perbuatan tanpa akibat dan
tidak ada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus
ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas,
dendam-mendendam! Dan kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba
dari nafsu kekerasan saja, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan
permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang nantinya akan mendatangkan
akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab
akibat ini dengan berdiam diri.”
“Tapi… tapi…
ayah bundaku dibunuh orang… mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?”
Hong San
Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang
berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu demi satu sehingga jelas
terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.
Tiada yang
lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas dari pada kebencian tiada
yang lebih menjerat dari pada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan dari
pada keserakahan, Kesalahan orang lain mudah nampak, kesalahan diri sendiri
sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun
kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu
lemparannya terhadap penjudi lainnya.
Setelah
mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini,
Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya,
dan dia pun segera membantah, “Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah
bundaku, mereka itu sudah melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau perbuatan
mereka itu tidak kuberantas, kalau orang-orang kejam semacam itu tidak kubasmi,
bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang
lain?”
Hong San
Hwesio masih memejamkan sepasang matanya, tersenyum dan berkata sambil
merangkapkan kedua tangan.
“Omitohud…
hatimu penuh dendam dan kebencian, tentu saja tak mungkin dapat berpikir
jernih. Nah, kau dengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat
suci.”
Tanpa
membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka
menyembah di depan dada, hwesio itu lantas bernyanyi, membacakan ayat-ayat
pertama dari Dhammapada.
Segala
keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas
pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak
mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang
tak pernah meninggalkannya Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan
saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir,
yang tidak mmyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir. Karena
kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh
cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi…
Suara
nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang masih memejamkan matanya itu,
entah bagaimana terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini
bagaikan terhanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu,
memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan, kemudian mendengarkan dengan penuh
perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya
yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!
Demikianlah,
mulai hari itu juga Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio dalam ilmu
kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang
memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan
menurut pelajaran agama itu.
Selain
setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, Hong San Hwesio juga memberi pelajaran
kesusasteraan kepada Thian Sin, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu
silat di bawah petunjuk pamannya yang dulu sebelum menjadi hwesio juga
merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.
Di samping
mempelajari ilmu silat, ilmu sastera dan keagamaan dari pamannya, juga dari
beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar
menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki
bakat yang kuat sekali.
Sungguh
patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh
petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang
benar, yang sabar dan sebagainya. Seakan kebaikan itu dapat dipelajari! Seakan
kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seakan kesabaran itu dapat dibuat!
Biasanya,
kalau kita mendendam, kalau kita membenci, bila kita marah, kita dinasehati
untuk bersabar. Kita dinasehati untuk mengendalikan diri, mengendalikan
kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan
itu tidak baik, dan kesabaran itu baik dan sebagainya.
Kita
diajarkan untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti
menjauhi penyakit, dan kita dipaksa agar berpaling kepada kesabaran, cinta
kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti
sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori
kosong yang sama sekali tidak pernah kita hayati dalam kehidupan, karena
penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan
belaka, sedang setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam
tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih.
Sejak kecil
kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut
baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu akan
dapat mendatangkan senang di hati. Maka ‘perbuatan baik’ yang kita lakukan itu,
jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan
suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang
menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan
dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu mungkin saja berupa
kesenangan bagi lahir mau pun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun
karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka
kita selalu berbuat baik dengan harapan agar dapat memperoleh buah dari semua
perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir
batin.
Bisa saja
kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang
kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur
kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, walau pamrih itu
bersembunyi di bawah sadar sekali pun! Maka, yang penting adalah mengenal
apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu
dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu
seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat
buruk. Untuk dapat terbebas dari pada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar
sabar!
Memang,
dengan kesabaran atau pengendalian diri, kemarahan mungkin dapat berhenti,
nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sebenarnya, api kemarahan itu masih
belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut
ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan
berkobar lagi, mungkin lebih hebat untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh
kesabaran, dan lain kali berkobar kembali, lalu ditutup lagi, maka kita pun
terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!
Mengapa kita
harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa
kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan
diri dari kemarahan itu? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu
bahwa kita marah?
Marilah kita
mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali iri hati
kebencian, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu,
kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin
sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan
kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita
akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin
melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran
kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja,
dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tidak dapat diteorikan, hanya
dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!
Begitu pula
dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk
menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya
berhasil, nampaknya dia sudah kembali menjadi seorang anak yang riang dan
berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia
menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun,
benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan
dan menjawabnya.
***************
Dulu,
sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai
hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang
ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga
mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia
Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana
itu, keadaannya berubah sama sekali.
Lembah yang
memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang
berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup
makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar
itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik, bahkan yang
melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apa bila keluarga ini
dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin
ramai.
Memang
pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki
lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan amat menyeramkan itu,
kini sebagian telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang
mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar saat
mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak
pernah mengambil korban lagi.
Istana itu
sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga
tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu.
Kini ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini
untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Kini suasananya betul-betul
jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu pada saat istana ini masih menjadi
tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai.
Seperti yang
telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya
tempat ini menjadi sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han
Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lainnya, di mana akhirnya
terjadi keributan. Sesudah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu
diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas
pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya.
Sampai
sekarang Lembah Naga sudah menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik
datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun
di sekitarnya semakin ramai dan di sana banyak menghasilkan rempah-rempah dan
bahan obat-obatan, banyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam
Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk
dari kota di sebelah selatan, dan ketika pulang mereka membawa rempah-rempah dan
bahan-bahan obat.
Telah kurang
lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana
Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat ini pun terkenal sebagai istana
tempat tinggalnya Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw
memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu
yang amat dicintanya, pendekar ini sudah memperoleh seorang putera yang mereka
beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun.
Semenjak
kecil Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari kedua orang
tuanya, bukan pemanjaan melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal
di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang
hidup sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apa bila
keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri
anak itu.
Cia Han
Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu
ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja,
wajah yang tidak terlampau menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu,
tidak terlalu tampan sungguh pun juga tidak dapat dikatakan buruk.
Hidungnya
agak pesek, matanya sipit, namun wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena
gerak-geriknya yang lembut, bibirnya yang selalu membayangkan keramahan dan
sepasang mata sipit itu memancarkan sinar yang bening tajam. Bila dia bicara,
suaranya terdengar tenang, halus dan jelas, dan apa bila dia memandang wajah
orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu,
sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.
Sebagai
putera seorang pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Han Tiong telah
digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan
menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di
samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia
suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri
menikmati pemandangan alam, pada waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia
merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu
gembira, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walau pun
dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak mau bicara kalau tidak perlu
sekali.
Bentuk
tubuhnya juga sedang saja, dan sikapnya sederhana sungguh pun dia tahu bahwa
ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan
ditakuti lawan serta dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justru
membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong
berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.
Setelah Han
Tiong berusia sebelas tahun, timbullah kekhawatiran di dalam hati Sin Liong.
Biar pun selama ini puteranya menunjukkan sikap yang amat baik dan ternyata
memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu
kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup
untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa
dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi
dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa
memiliki dasar watak yang kuat.
Betapa
banyak orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng
di dalam hidupnya, karena merasa mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan,
mempunyai kekuasaan atas orang lain, karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap
sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti
halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau
puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau
tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya
sampai mati?
Kekhawatiran
dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Dalam pengalaman hidupnya,
pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian
tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan di dalam kehidupan
mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun
umpamanya.
Orang-orang
yang tidak memiliki batin yang bersih sangat mudah menyeleweng. Apa lagi
orang-orang yang mempunyai kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya
dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!
Memang
demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukan mendatangkan berkah dalam
kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan mala petaka apa bila tidak disertai
dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan
yang lebih besar pada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu
akan digunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar
kesenangan kemudian dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi
manusia-manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk
meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam
dunia ini.
Kemajuan
ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu
hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam
tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar
nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia
mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.
“Lalu apakah
yang dapat kita lakukan?” Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam
setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. “Di tempat seperti ini, mana ada
orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang
dapat menolong kita…?”
“Aku ingat,”
tiba-tiba Sin Liong berkata, “ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali
menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak.”
“Siapa dia?”
Bi Cu bertanya penuh gairah.
“Dia adalah
saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua
Cin-ling-pai.”
“Siapa sih?”
“Dia Kanda
Lie Seng yang sekarang telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya
sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di
sebelah selatan kota raja.”
“Ahh, bagus
sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri.”
“Memang
sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama
beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang
terlalu dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang
kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun dan sesudah dasarnya
kuat, baru kita bawa dia pulang.”
“Aku setuju,
biar pun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita,” kata isterinya.
“Bagus!
Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga
kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas
pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam di
tempat sunyi ini saja.”
“Apakah kita
langsung saja ke kuil Thian-to-tang?”
“Tidak,
kesempatan ini kita gunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun
kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi
dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian
membawa Han Tiong pergi merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu
mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah
itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko.”
Wajah yang
manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus dia akui
bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa berbahagia sekali di
samping suaminya yang sangat dicintanya, apa lagi setelah terlahir Han Tiong,
dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni-penghuni
dusun yang jujur dan bersahaja, sungguh amatlah menyenangkan. Belum pernah dia
mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah.
Akan tetapi
begitu kini suaminya hendak mengajak dia beserta putera mereka merantau, hatinya
menjadi gembira bukan main lalu nyonya muda ini segera berkemas dan dengan
girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar
itu dengan tenang-tenang saja, walau pun wajahnya menjadi berseri dan matanya
bersinar-sinar.
“Sudah lama
aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu,” katanya. “Benarkah kakek Cia Bun
Houw adalah seorang pendekar yang tiada tandingannya di kolong langit? Dan
bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?”
Pada saat
itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia
lalu duduk dan menjawab, “Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah
perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tidak
ada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi
menembus awan sekali pun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling
tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang
merupakan perkumpulan silat yang sangat baik dan terkenal, akan tetapi tidak
perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa amatlah berbahaya
memandang terlalu tinggi terhadap diri sendiri, anakku. Hal itu akan
mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain.”
Anak itu
mengangguk dan diam-diam, seperti biasanya, dia mencatat semua kata-kata
ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. “Ayah
dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan
tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga
mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah
mereka itu, ayah?”
Memang
selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai pada puteranya,
maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya mengenai mereka itu.
Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya.
“Bibimu Kui
Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka
adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di
kota Su-couw. Sudah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka,
maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku hendak mengajak ibumu dan engkau
pergi mengunjungi mereka pula ke Su-couw. Sedangkan pamanmu Lie Seng itu sekarang
sudah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang
di sebelah selatan kota raja. Dia pun seorang pendekar yang berilmu tinggi di
samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itulah engkau harus belajar
darinya barang beberapa tahun, Han Tiong.”
Saat
menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan
mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada
adik-adiknya itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang.
Apakah
mereka telah mempunyai anak? Ahh, sungguh lucu rasanya jika membayangkan
adik-adiknya itu memiliki anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar
ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya
dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.
Tetapi
pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar
ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang
adik kandung lain ayah itu.
Seperti yang
telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah
adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan
Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara
pernikahan mereka.
Untuk
mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya
kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti yang telah diceritakan dalam
kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong
atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke
Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa
pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu.
Kebetulan
sekali, puteranya yang bernama Beng Sin, atau kakak satu ayah berlainan ibu
dari Lan dan Lin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok
Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama
Ciok Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua
ini telah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga.
Kui Lan
telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang
gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui
Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng
dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena sejak kecil Bi Cu dirawat dan
dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.
Setelah
menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di
Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Adapun Kui Lin ikut
suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng
Piauwkiok di kota Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita
kembar itu ketika mereka menikah.
Akan tetapi
perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu
Khai Sun agak sulit memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu
kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di
lain fihak, Na Tiong Pek juga membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat
perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang).
Oleh karena
itu, dalam pertemuan di antara mereka, Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar
ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena
sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat
hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi
mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na
Tiong Pek ini, apa lagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu
tentu saja sangat cocok, sesuai dengan kepandaiannya.
Bukan main
girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun
adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sangat lihai, jauh lebih lihai dari
pada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng Piauwkiok tentu
saja memperkuat nama piauwkiok-nya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan
mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan.
Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan
menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun
sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia
sendiri.
Pada
permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar hingga kedua
keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah
Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya
dari rumah adik kembarnya, setiap hari mereka pun dapat saling berkunjung dan
tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat
dari pada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan.
Akan tetapi,
kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang
dianggap sebagai kebahagiaan pun tidak kekal adanya, sungguh pun segala
peristiwa itu merupakan akibat dari pada ulah manusia itu sendiri.
Khai Sun
yang merasa ‘ditolong’ oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal
lelah. Dia mengawal sendiri semua barang kiriman yang cukup berharga, apa lagi
kalau harus melalui tempat-tempat berbahaya. Beberapa kali rombongan pengawal
ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang
gagah perkasa.
Tentu saja
Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga
setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh setelah mengawal barang
berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka
berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.
Dengan
adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat sekali, mendapat
kepercayaan dari para bangsawan dan hartawan yang mengirim barang atau
melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang
kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga
dalam waktu satu tahun saja Khai Sun sudah mampu membangun rumahnya dan hidup
serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur.
Akan tetapi,
hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan
dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, ada pun
dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula
penyakit yang memang sejak muda mengeram dalam sanubari Na Tiong Pek.
Dia mulai
mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan di antara wanita-wanita
cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong
Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan
banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.
Hal ini
lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan
marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh
isterinya, Na Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak
keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung
di dalam batin.
Karena
halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandangan matanya yang ceriwis dan
mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang dua orang saudara kembar ini hampir
setiap hari saling mengunjungi, bahkan bila mana Khai Sun sedang melakukan
tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan
rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.
Wajah
keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri
Kui Lan yang tidak ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan
mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi tetap saja Kui Lan lebih
menggairahkan bagi Tiong Pek!
Memang
beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang
lain nampaknya lebih lezat dari pada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar
di taman orang nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di taman
sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan dari pada isteri sendiri!
Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.
Semenjak
kecil manusia telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih
menyenangkan dari pada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, tanpa disadari
sejak kecil manusia telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah
dimilikinya. Matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang
belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih
tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang ‘lebih’ lagi.
Semua
keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa
yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti
cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum
ada dan belum dimilikinya ini menjadi pangkal segala macam perbuatan jahat,
korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu
yang belum dimilikinya itu akan membutakan mata batin sehingga tidak
segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apa pun demi memperoleh yang
diidam-idamkannya.
Na Tiong Pek
mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui
Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, bagaikan bidadari yang baru turun
dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan
sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan.
Akan tetapi,
Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak
mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak memiliki sangkaan
buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi
dan amat ramah!
Dorongan
nafsu birahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayangkan betapa
nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat
Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang
diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk
alas meja di rumahnya.
Hawa pada
siang hari itu agak panas sedangkan isterinya, Kui Lin, tengah tidur siang di
kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang
menunduk dan terus memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit
keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan
runcing itu bergerak cekatan sekali, menggerakkan jarum sulam dan saking
asyiknya, wanita muda ini bekerja sambil menggigit bibir bawahnya. Kadang kala
dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit
belahan baju di leher sehingga nampak kulit lehernya yang putih mulus dan
berkilat karena agak basah oleh keringat itu.
Kui Lan sama
sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti
gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na
Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apa lagi melihat
isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak
kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja!
Kebetulan
sekali Kui Lan juga mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh
isterinya! Memang, semenjak Kui Lan tinggal satu kota, apa lagi kalau kebetulan
Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti
hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama.
Inilah
kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu,
menyampaikan gairah nafsunya dan juga sekaligus untuk ‘menguji’ isi hati Kui
Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua
kecerdikan serta akal ini timbul pada waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya
menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada
hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja!
Tentu saja
dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan. Pertama, karena wanita
ini mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu
akan dapat mengatasinya, apa lagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai
bukan kepalang! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia
melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.
Dengan
hati-hati sekali, sambil mengindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi
kedua telinganya akibat tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang.
Hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia
berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu.
Tiong Pek menahan napas, lantas dengan tiba-tiba saja dia merangkul leher yang
berkulit putih mulus itu, kedua tangan merangkul pundak dan dia berbisik mesra,
“Lin-moi,
isteriku sayang… ahhh, betapa aku cinta padamu…”
Tentu saja
Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia cepat
mengangkat muka. Akan tetapi, sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek
sudah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat
mengeluarkan suara!
Saking
kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia
hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan
kedua tangannya pada dada Tiong Pek kemudian meloncat berdiri, mukanya merah
sekali dan matanya terbelalak.
“Aih,
isteriku… aku… aku ingin sekali…” Tiong Pek terus bersandiwara, masih menikmati
ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi.
“I-thio… ini
aku… Kui Lan…!” Kui Lan akhirnya mampu berkata dan muka yang tadinya merah
seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang
sudah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.
Tiong Pek
pandai bersandiwara. Dia segera terbelalak, melangkah mundur tiga langkah,
memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan
kaki Kui Lan!
“Ahh… Lan-i…
maafkan aku… ampunkan aku… ahhh, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku…
ahhh, sungguh aku menyesal sekali…”
Sepasang
kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa
panas dingin. Betapa pun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa
iparnya ini sudah keliru sangka dan salah mengenal orang.
Memang
sering kali iparnya ini keliru, kadang kala mengajaknya bicara sebagai
isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang
sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu,
pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik,
“Isteriku,
terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra…,” dan tentu saja ucapan itu
membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri.
Semua
kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa
sekali ini pun Tiong Pek sudah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu
menyalahkannya! Kini, melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, maka
lenyaplah kemarahannya, meski pun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh
sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh
orang lain. Bayangkan saja andai kata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium
seperti itu oleh Tiong Pek!
“I-thio
(sebutan untuk suami saudara perempuan), lain kali engkau jangan begitu
ceroboh!” tegurnya.
“Maaf, I-i…
maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta… akan tetapi sudilah
engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang
lain…”
“Tentu saja…
asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio,” kata Kui Lan yang
segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu.
Pengalaman
ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar-kobar! Dia
menganggap bahwa ketidak marahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu
secara diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus
merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Semakin dibayangkan,
semakin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk
mendapatkan yang lebih dari pada itu!
Demikianlah
terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran kita! Pikiran
mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan, memupuk dan bahkan membumbui
dengan khayalan sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin
hebat lagi, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk
mengulangnya.
Kenikmatan
yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbul
keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang
merupakan bayangan kesenangan hebat itu.
Pikiran
adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas.
Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal
yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada,
selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat, nikmat dan menyenangkan.
Pikiran
menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan
perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal
buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas
dari pada pikiran yang mengenang-ngenang itu?
Bukan
berarti kita tidak harus menggunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi
kehidupan kita, namun pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan
sebagainya. Akan tetapi, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang,
membanding-banding, memasuki hati dan merasuk urusan batin, maka akan
terjadilah kekacauan dan segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita
akan bangkit.
Makin
dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorong hatinya
untuk memperoleh yang lebih dari itu!
Nafsu
birahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan
dan kesenangan, amatlah kuatnya hingga kadang-kadang membutakan mata kita, mata
lahir mau pun mata batin. Yang nampak hanyalah bayangan kesenangan itu saja,
yang terlihat amat menyilaukan.
Apa lagi
karena sudah beberapa pekan ini isterinya sering kali kelihatan tidak senang
dan marah-marah padanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan
mengumbar kesenangan di luar rumah.
Sementara
itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan
berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang
salah mengenalnya dan menyangka dia Kui Lin, tentu dia telah turun tangan dan
agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu
mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya.
Akan tetapi,
bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang?
Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan di samping
itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya yang telah berjasa dalam
mengangkat kehidupan suaminya!
Dan juga,
kalau peristiwa yang terjadi tadi, yaitu peristiwa yang terjadi di luar
kesengajaan dan hanya akibat kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, sampai
terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakiti hati
adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak!
Dia tahu
bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andai kata suaminya mendengar akan
hal itu, dengan hatinya yang amat terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya
akan tertawa dan menganggap hal itu sangat lucu. Suaminya amat mencintanya dan
dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada
suaminya.
Betapa pun
juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi
keguncangan di dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan serta tekanan-tekanan.
Oleh sebab itu, setelah makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja
memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Kui Lan
tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya sehingga Kui Lin yang
sangat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya.
Andai kata
pada siang harinya dia tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini,
tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, apa bila mendadak menyatakan pulang
padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan
mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja!
Demikianlah,
sore-sore dia sudah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan
cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena
batinnya lelah, ada pun Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tak menyangka
sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah hingga sama sekali tak dapat tidur di
samping isterinya.
Hati dan
pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir
Kui Lan! Dan memang semenjak siang tadi dia telah mengatur rencana! Khai Sun
sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan
berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang
tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun
menderita kesepian dan akan mau menerimanya dengan girang biar pun di luarnya
kelihatan marah! Sejak siang tadi semua ini terbayang di dalam benaknya dan
diam-diam dia pun telah mengatur rencana sebaik-baiknya.
Ketika dia
melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini mudah diketahuinya dari
pernapasan yang halus sejak tadi, dengan hati-hati sekali dia lalu turun dari
pembaringan! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi.
Hawa yang masuk ke dalam kamar melewati lubang-lubang di atas jendela
mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.
Dengan
berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya, kemudian
menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebenarnya kamar itu tidak
berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu birahi sudah
memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan
ini.
Suasana amat
sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia
menghampiri kamar Kui Lan, lantas mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu
bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan
mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia
bahwa wanita itu pun telah tidur.
Dengan
jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia
kemudian mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa
itu, lalu dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah
jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu
melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Sambil tersenyum simpul Tiong Pek
memegang ujung biting dupa itu di luar jendela. Matanya berkilat-kilat dan
bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.
Sesungguhnya
Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius.
Tetapi pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan
penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia
mendapat hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu
mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau
wanita dalam kamar yang akan diperkosanya.
Kini, dalam
keadaan buta oleh gejolak nafsu birahi, Tiong Pek mempergunakan alat yang keji
ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio
itu terbakar sampai habis. Dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan
terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar makin berat dan
panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas
benar-benar!
Maka dia pun
lalu membuka jendela itu, dan menggunakan sapu tangan basah menutupi hidung dan
mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang
memenuhi kamar itu keluar.
Setelah asap
yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia lalu
menutupkan lagi daun pintu, tetapi dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia
tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja.
Kamar itu
gelap, hanya mendapat penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia
melihat tubuh Kui Lan sudah rebah terlentang dan hatinya tidak dapat menahan
lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu
bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah
bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Maka terjadilah
peristiwa yang kotor dan menjijikkan di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan
yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada
dirinya.
Nafsu
membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu,
bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki
yang lebih lagi dari pada yang telah didapatkannya!
Na Tiong Pek
lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar
itu. Dia lupa bahwa dia sudah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat
bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh. Akan
tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia
berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan
suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu.
Kui Lan
membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada di
dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika di dalam cuaca yang remang-remang
itu dia melihat wajah pria yang merangkulnya, dia pun menjerit dan meronta,
lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mengenal Na
Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti
juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi!
“Jahanam!
Keparat hina-dina… ouhhhh, engkau jahanam laknat…!” Kui Lan menjerit-jerit.
Tanpa
mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat, dia sudah menyerang dengan
pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na
Tiong Pek tersenyum pada saat melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi alangkah
kagetnya melihat reaksi wanita ini.
“I-i… eh,
Kui Lan… sssttt, jangan ribut… sudah terlanjur… aku… aku cinta padamu…”
“Jahanam…!”
Kui Lan
menyerang lagi saat pria itu mengelak. Maka kini terjadilah perkelahian di
dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang
sama sekali tidak berpakaian!
“Ssst, Kui
Lan… kau akan mengejutkan semua orang… kita berpakaian dahulu…” Tiong Pek
membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus saja menyerangnya
sambil menangis.
“Dukkk!”
Sebuah
tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek sehingga pria ini terhuyung ke
belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan
kedua tangan menghantam sekuatnya.
“Bukkk!”
Hanya bantal
dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya
turun dari pembaringan dan sekarang karena dia didesak dan diserang secara
bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya,
Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka
wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.
“Kui Lan…
aduhhh, Kui Lan… sudah terlanjur… mengapa engkau mengamuk…?” Tiong Pek menjadi
takut sekali.
“Brakkkkk…!”
Mendadak
daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk.
Wanita ini membawa pedang dan wajahnya agak pucat. Dia tadi terkejut bukan
kepalang saat mendengar suara ribut-ribut, kemudian cepat mengambil pedang dan
melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, maka dia pun cepat berlari
keluar.
Mendengar
suara perkelahian di dalam kamar enci-nya, dia cepat menerjang jendela dan
memasuki kamar itu. Biar pun cuaca remang-remang, akan tetapi Kui Lin dapat
melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh
enci-nya yang juga bertelanjang bulat!
“Apa… apa
yang terjadi…?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan… apa yang telah
terjadi…?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seakan-akan dia
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan diduganya.
Tiba-tiba
Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. “Hu-huu-huuuhh… dia… dia
membiusku dan… dan… menodaiku… hu-hu-huuuhh…”
Pengakuan
ini bagai sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi
semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.
“Kau… kau…
jahanam busuk…!” Dan Kui Lin langsung menerjang ke depan, menusukkan pedangnya
ke arah dada suaminya!
“Eeiiiiitt…
sabar dulu, Lin-moi…!” Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan
isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap
basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!
“Sabar?
Manusia berhati binatang, engkau sudah merusak segala-galanya, engkau layak
mampus!” Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya.
Na Tiong Pek
menyambar bangku dan menangkis, kemudian terpaksa balas menyerang. Ketika
melihat betapa pria yang sudah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin,
kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di
dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena
dia sering kali berlatih pedang dengan adik kembarnya. Sekarang tanpa kata-kata
lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!
Tentu saja
Tiong Pek menjadi bingung bukan main, dan karena bujukan-bujukannya dan
permohonan ampunnya tidak berhasil, dia pun lantas melawan sekuat tenaga. Akan
tetapi dengan kecepatan bagai kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk
lengannya hingga membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu,
pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!
“Aduhhh…!”
Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan
menyambar dan menusuk dada sehingga menembus jantung! Dia roboh terkapar dan
darah bercucuran dari perut dan dadanya.
Melihat ini,
kedua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan
melepaskan pedangnya dan berbisik, “Ya Tuhan… kita… kita telah membunuhnya…”
Kui Lin
bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. “Memang dia sudah layak
mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya.
Baru
teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia
lalu mengenakan pakaiannya. Dengan air mata bercucuran Kui Lin juga mulai
mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.
Sesudah
selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang
pucat dan basah. Serentak keduanya saling tubruk dan saling rangkul sambil
menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.
Tiba-tiba
saja Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya
dengan dua mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, “Aku layak
mati…” Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan
pedang itu untuk menggorok leher sendiri!
“Enci Lan…!”
Dengan cepat
sekali Kui Lin sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas
pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan ini?” bentaknya.
Kui Lan
menangis. “Untuk apa aku hidup lagi…? Aku sudah ternoda… bahkan aku telah
membunuh suamimu… aku telah menghancurkan kebahagiaanmu… dan aku layak mati,
jangan kau halangi aku…” Kui Lan meronta.
Akan tetapi
Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak mau membiarkan enci-nya
melepaskan diri. “Enci Lan, jangan… jangan kau lakukan itu…”
“Apa gunanya
aku hidup lebih lama? Dia… dia membiusku dengan asap harum… dan dalam keadaan
tak sadar dia… dia menodaiku… Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana
aku dapat menghadapi suamiku?”
“Enci Lan,
apakah hanya dirimu sendiri saja yang engkau pikirkan?” Tiba-tiba saja Kui Lin
melepaskan rangkulannya. “Sekarang, sesudah apa yang terjadi, kau hendak
membunuh diri? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku
hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam
caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan
terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, tapi aku? Aku akan hidup menjadi
cemoohan kanan kiri! Sekejam itukah hatimu padaku, Enci Lan? Apakah kau kira
hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang
telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, dan kehilangan kebahagiaan?
Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau
memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang… hidup… merana dan
menanggung semua aib…!”
Kui Lin
menangis tersedu-sedu, ada pun Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang
adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh
lebih hebat dari pada dia!
“Lin-moi…!”
Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.
Sementara
itu, di luar kamar mulai terdengar suara ribut-ribut karena para pelayan sudah
terbangun akibat mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lantas
merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, “Enci, apa pun yang terjadi
sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?”
Kui Lan
mengangguk pasrah.
“Kalau
begitu, serahkan segala-galanya padaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka
daun pintu dan masih dalam keadaan menangis.
Juga Kui Lan
hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Pada saat para pelayan melihat keadaan
dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat
majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka menjadi terkejut
sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.
Sambil
terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka
didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui
Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia
dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.
“Akan tetapi
penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak
mampu menangkapnya.”
Cerita
nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah
lalu sibuk merawat jenazah itu sehingga pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan
ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu
tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang.
Selama
menunggu pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan,
kekhawatiran serta kedukaan. Hanya berkat adanya Kui Lin saja maka wanita ini
tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui
suaminya lagi, namun Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau
enci-nya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan
menghadapi suami enci-nya itu.
Betapa pun
juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa sangat
ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya.
Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, bahkan dia telah
membunuh suami adiknya, dia sudah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal
ini lebih menyakitkan hatinya lagi, maka nyonya ini selalu mencucurkan air
mata, seolah-olah sumber air matanya tidak akan ada habisnya.
Memang
demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti
beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya
seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan,
kesengsaraan yang saling tumpang tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria,
akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja.
Manusia
hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang
dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, malah yang
kadang-kadang dalam pengejaran itu tak sungkan-sungkan untuk memperebutkan
dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan
membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan
seperti yang diharapkannya atau dia bayangkan semula!
Si miskin
membayangkan bahwa jika dia memiliki banyak harta, hidupnya akan menjadi
bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat
kecil membayangkan bahwa jika dia memiliki kedudukan tinggi, maka hidupnya akan
menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat
kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka justru menderita banyak
kepusingan akibat kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan
tetapi mereka yang telah terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya!
Demikianlah,
manusia akan selalu sengsara dan hidupnya tidak berbahagia selama dia diburu
oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan
ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekali pun, tak pernah terpuaskan
karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar
sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru
itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang
baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi!
Menuruti
keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki
segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan
apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan kata lain,
hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu
benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam
arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki
sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu,
bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung
hidup.
Tiga hari
kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari
perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na
Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun.
Pada saat
pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita
bahwa Na Tiong Pek sudah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari
yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi
dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.
Ketika dia tiba
di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh
ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan
menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat
pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan
muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal
kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata,
“Siapa yang
melakukan itu? Siapa…?! Aku akan mencari pembunuhnya… hemmm, aku akan mencari
pembunuhnya sampai dapat!”
Melihat
sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa
heran dan dia segera membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya
berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan
menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.
“Ada… ada
apakah…?” Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri
isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya
terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara?
Kui Lin yang
tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan
menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu
mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan
berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya, “I-thio… sebaiknya kita
bicara di dalam saja…” Sesudah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia
menarik tubuh kakaknya lantas membawanya masuk ke dalam.
Ciu Khai Sun
lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat. Alisnya yang
tebal hitam itu berkerut, sedangkan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka,
namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si
pembunuh yang belum diketahuinya siapa.
Sementara
itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya
merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng Piauwkiok yang amat
setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut
para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia
menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu.
Tentu saja
dia pun merasa sangat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya
sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang
menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan
isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tak diganggu, lagi
pula tidak ada barang berharga yang dilarikan.
Akan tetapi
dia pun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tak mungkin apa
bila ada penjahat yang menaruh dendam terhadap Na Tiong Pek. Akan tetapi yang
membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti
maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak
berani bertanya tentang hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya
diam-diam merasa amat penasaran sungguh pun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment