Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 32



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 32


GADIS itu memang manis budi, bukan sekedar manis wajahnya. Dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ahh, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ!

Kurang lebih dua bulan kemudian, salah seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar mengenai munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang telah membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!

“Belum tentu dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.

“Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya.”

Ayah bundanya, dan juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi tetapi memberi waktu enam bulan. Sesudah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.

“Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu sangat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andai kata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dahulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.”

Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan meminta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.

Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya segera berangkat karena isterinya berkeras hendak ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.

Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sianjin serta mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah saat dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu sudah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui beserta murid-muridnya!

Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan kepalang. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang digunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali. Dia lalu mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya.

Saat dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia menjadi semakin terkejut kemudian cepat pergi menyusul adiknya ke barat.

Kali ini demikian tekunnya Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu dari pada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.

Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang sangat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Mereka berdua tinggal di puncak bukit itu, laksana sepasang pengantin baru yang setiap waktu bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.

“Ehh, ke manakah kita menuju sekarang…?” tanya Kim Hong.

Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka pun berjalan terus perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita.”

Kim Hong juga tertawa. “Aku pun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.”

“Bagus!” kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?”

“Tetapi…,” kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?”

“Ahh, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita juga saling mencinta, bukan?” kata Thian Sin.

“Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku.”

“Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.”

Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu menatap pemuda itu dengan alis berkerut. “Nah, nah, hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.”

“Rencanaku bagus sekali. Mulai sekarang kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita pun perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga…”

“Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak amat terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.

“Kenapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman…”

“Tidak! Aku tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, dia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan di sana aku harus bertemu dengan Ciu Lian Hong, gadis yang kau cinta itu?”

“Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang sudah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh…”

“Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?”

“Habis, apa lagi? Bukankah kita telah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja.”

“Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak.”

“Apa… apa maksudmu?”

“Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu, namun untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu merupakan urusan kita berdua. Sedangkan pernikahan, secara umum berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.”

Thian Sin merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, ke manakah kita harus mengasingkan diri?”

“Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!”

“Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?”

“Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita tak akan terganggu…”

“Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?”

“Thian Sin! Kalau engkau tidak mau pun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!”

“Ehh, engkau memaki?”

“Ya, memang aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?”

“Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!”

“Ehh, kurang ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus selalu taat kepadamu, ya?” Sesudah berkata demikian, Kim Hong segera meloncat ke depan sambil menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Plakk!”

Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri sehingga dia pun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang dia cepat menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong oleh hati yang marah.

Thian Sin terpaksa melayani karena dia pun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka berdua saling mencumbu rayu dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan!

Tingkat kepandaian dua orang muda ini memang seimbang, sehingga andai kata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, agaknya Thian Sin hanya dapat menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apa lagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu sangat seru dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.

Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka sudah terasa nyeri serta matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, walau pun mereka tidak memiliki niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sinkang diimbangi dengan keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang sangat lihai itu. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu.

Sudah lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, juga menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,

“Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!”

Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran, lantas di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihainya bukan kepalang. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sangat sibuk dan sedang terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.

Karena gerakan wanita itu sangat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam yang menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya menyangka bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu!

Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka dia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka dia pun menangkis dengan lengan kanannya.

“Dukkk!”

Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itu pun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main.

Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang dahulu pernah dilihatnya ketika dia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita cantik itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.

“Dukkk!”

Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.

“Tiong-ko, tahan, jangan serang, dia adalah teman sendiri!”

Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.”

Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling tatap dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.

“Sin-te…!”

“Tiong-ko…!”

Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini sudah menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyuman sambil saling berpegangan tangan, namun mata mereka basah. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.

“Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan.

Thian Sin menunduk, merasa sangat bersalah. Setelah berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.

“Maafkan Tiong-ko, aku… aku harus melaksanakan urusan pribadiku… yang berhubungan dengan mendiang ayah…”

“Hemmm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dengan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?”

“Tiong-ko, bukan keinginanku agar berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang sudah bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang sudah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?”

Kim Hong mendengarkan dengan hati penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!

“Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati bila mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran serta keadilan. Akan tetapi, apa bila engkau melakukan semua penentangan itu dengan hati penuh kebencian dan melakukan kekejaman, lalu apa bedanya dengan mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, tetapi menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannya pun tidak dapat dinamakan baik. Jika caranya kotor, maka tujuannya pun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.”

Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.

“Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?”

“Apa salahnya mengampuni orang yang dahulu pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya apa bila dia itu memang hendak kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah yang selama hidupnya tak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walau pun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan mau pun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tak selamanya begitu, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah terhadap orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Dia pun merasa bahwa dia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Dulu dia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan sempat membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Juga pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apa pun juga.

Tapi semenjak dia bertemu dengan Thian Sin, semenjak dia menanggalkan samarannya sebagai Lam-sin, dia seakan-akan hidup di dunia lain. Dia pun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, dia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Dia sendiri pun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran, ada pun ibunya adalah seorang pendekar wanita!

“Ahhh, Tiong-ko, betapa selama ini aku merindukan semua kata-kata dan nasehatmu …” Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi apa hendak dikata, semua itu sudah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semuanya sudah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?”

“Yang sudah-sudah memang tak mungkin diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku pun mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga sudah menyerbu ke Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau sudah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?”

Thian Sin lebih dulu melirik ke arah Kim Hong. Melihat dara itu diam mendengarkan, dia pun mengangguk. “Ahh, Sin-te… Sin-te…! Engkau ini pendekar macam apa? Apakah engkau tidak tahu pula bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Apa kau tahu, kini Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!”

“Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?”

“Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”

“Ahh, hal itu tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap para pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati!

“Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggung jawab terhadap semua perbuatannya!”

“Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau…”

Han Tiong maju satu langkah. “Sin-te, mungkin ilmu kepandaianmu telah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.”

Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.

“Maksud… maksudmu…?”

“Kalau engkau tidak mau ikut secara suka rela, maka aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau… biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!”

“Tidak, Tiong-ko… engkau tidak mungkin…”

Akan tetapi Han Tiong telah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu betul akan kelihaian adiknya itu, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari.

Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang sanggup menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya bila dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.

“Tidak, Tiong-ko, jangan…!”

Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak atau menangkis sambil mundur terus. Melihat ini, tiba-tiba saja Kim Hong meloncat ke depan dan dia menangkis totokan berikutnya sambil membentak,

“Tahan dulu!”

“Dukk!”

Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong, namun sekali ini Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuatan lawan.

“Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!”

“Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan di dalam urusan Kun-lun-pai ini, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut lantas memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, “Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?”

“Dia… dia adalah tunanganku, Tiong-ko…”

“Ahh…!” Seketika wajah Han Tiong berseri gembira.

Dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh sangat cantik sesudah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong!

“Begitukah? Kionghi, Sin-te, kionghi…! Ah, sungguh aku girang sekali… dan suara nona… seperti… pernah aku mendengarnya!”

Kim Hong tersenyum sehingga tampak semakin manis. “Memang sebelumnya kita pernah saling bertemu, taihiap.”

Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya. Akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan,

“Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, dulu pernah menjadi muridku…”

Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia pun teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata,

“Tapi… tapi… Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin…” “Sejak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tak ada lagi di permukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.”

Han Tiong masih belum yakin benar maka dia cepat menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?”

Thian Sin memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, janganlah kau serang aku lagi, sampai mati pun aku tidak mungkin mau melawanmu. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku…”

Pemuda itu menarik tangan kakaknya, diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi.

Dengan panjang lebar Thian Sin kemudian menceritakan segala pengalamannya, tanpa ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya.

Diceritakannya, ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa, betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya. Dengan dibantu oleh wanita itu dia lalu berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya.

“Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali terhadap mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu juga terbasmi. Diam-diam aku telah bersumpah untuk membasmi semua penjahat di dunia ini!”

Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas waktu adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman…”

“Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya.

Kemudian dia pun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak wajah wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan secara terang-terangan itu.

“Nona Toan, tadi engkau mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai itu adalah urusanmu. Sebenarnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa engkau sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?”

“Begini, taihiap…”

“Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, kenapa engkau menyebutku taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.”

“Baiklah… Tiong-ko,” Kim Hong berkata sambil tersenyum manis, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong.

Han Tiong tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Dan kelak apa bila kalian telah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira.

Akan tetapi tidak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar sehingga terus dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya kenapa dia menaruh dendam kepada supek-nya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa dia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali.

Kemudian tentang pertemuannya dengan supek-nya yang sangat lihai sehingga terpaksa mereka berdua pun akan kalah kalau saja supek-nya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek-nya itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sute-nya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.

“Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru sesudah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek sangat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek-ku sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya.

Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali terhadap kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau seorang bijaksana, sayang sebelumnya kalian tidak tahu tentang hal itu sehingga terpaksa nyawa seorang yang begitu bijaksana harus dikorbankan secara sia-sia. Tahukah kalian kenapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalannya, melainkan untuk mencegah kalian berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, maka hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, tidak semua perkara akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.”

Dua orang itu mendengarkan sambil tertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apa pun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi.

Keadaan menjadi serius lagi sesudah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Dalam menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itu pun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan dia pun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar.

“Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!”

Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin haruslah serasi, maju bersama-sama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.”

“Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?”

Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tanpa ada rasa berat sedikit pun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal ini pun amat terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah mendapatkan seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.

“Ayah dan ibu baik-baik saja, biar pun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, sekarang sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Engkau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolong dia ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.

Tentu saja Thian Sin sudah tahu tentang hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Syukurlah kalau dia telah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?”

Han Tiong menggelengkan kepala lalu memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang…”

“Ehh, kenapa begitu?” Thian Sin bertanya kaget.

Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, kemudian berkata, “Tadinya aku selalu meragu, adikku… mana mungkin aku bisa hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Akan tetapi sekarang, ahh, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal lain yang lebih penting dan perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.”

“Hal penting apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbarengan dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.

“Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan diri sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!”

“Tiong-ko…!” Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.

“Tiong-ko, tadi sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!”

Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biar pun aku tahu bahwa ilmu silatmu sangat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis sehingga fihak Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Lagi pula, jelas bahwa Sin-te turut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, sesudah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah kita pergi ke Kun-lun-pai, biarlah aku yang akan mengantar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana.”

Thian Sin menggelengkan kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi pihak Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami sengaja mengalah dan tidak membunuh seorang pun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?”

Han Tiong membalas pegangan adiknya itu. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian sudah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan kini engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biar pun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka ini hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, sama sekali bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau nanti terjadi ketidak adilan, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”

Thian Sin menjadi ragu-ragu kemudian menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu lalu menggeleng kepala. “Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!”

Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk bisa membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apa lagi ayah angkatnya juga harus turut bertanggung jawab.

“Tiong-ko, ahh, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa seakan-akan engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil menatap pada kakaknya dengan sinar mata sedih.

Han Tiong mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah perginya kegagahanmu? Lupakah engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa kematian pun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan hendak membantu mereka yang ingin menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon isterimu.”

Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Apa bila menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, apa pun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi pada saat dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, dia pun maklum bahwa apa bila dia menuruti kata-kata kakaknya, maka Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.

“Tiong-ko, kau makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata.

Han Tiong bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. “Sin-te! Masih demikian lemahkah engkau? Telah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu agar dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!”

Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggelengkan kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang sangat disayanginya, dan yang baru saja dijumpainya kembali setelah lama sekali berpisah itu.

“Tidak, Tiong-ko. Aku tak akan mau menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkan diri kepada mereka.”

“Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Apa engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?”

Thian Sin menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah.”

“Akan tetapi, engkau akan diadili!”

“Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah bisa dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya.”

“Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.”

“Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.”

“Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?”

Thian Sin tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan sanggup mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau tidak akan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku terlebih dahulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ahh, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!

Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu sekarang semua kekerasannya seakan-akan mencair dan menjadi lembek, lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.

“Kau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Apabila memang engkau berkeras tidak mau ikut bersamaku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, biar aku saja yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!”

Sesudah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka.

Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan yang teramat besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa perjumpaannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu.

Kakaknya yang selama ini amat merindukannya, mencintanya, bahkan tak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu terus menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan semua isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.

Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Ia pun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya lalu duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara.

Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat sekali dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah oleh air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih,

“Engkau benar, Thian Sin. Memang kakakmu itu yang terlalu lemah, mau saja mengalah terhadap orang lain. Terhadap pihak mana pun juga, jika mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.”

Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran ini, dia tidak pernah segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali…”

“Khawatir apa, Thian Sin?”

“Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?”

“Kita harus membayangi dia, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan oleh Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat dari pada kematian. Marilah kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.”

Kim Hong hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya segera bangkit, kemudian berlari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.


                 ***************


Para tokoh kang-ouw telah mulai berdatangan di Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar hingga memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apa lagi di dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah sangat menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.

Satu hari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai sudah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, didampingi oleh sute-nya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu yang datang awal itu di ruangan tamu yang luas itu.

Di antara belasan orang tamu yang sudah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) serta Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja.


cerita silat online karya kho ping hoo


Di samping empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang sangat dihormati serta disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai.


Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain dia ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar.

Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, yaitu seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pakaian pertapa ini seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar semacam Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Maka keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu sangat meriah, akan tetapi pembicaraan terjadi dengan serius.

Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, lalu menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.

“Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali, sementara kami pun tak mempunyai niat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.”

Suasana menjadi sunyi sesudah semua orang mendengar penuturan itu, dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada masa itu kiranya sulit dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis serta kawannya, wanita muda itu.

“Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga sangat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekali pun dia hanya menyebut toyu yang berarti ‘sahabat’ saja. “Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supek-nya sendiri. Apa yang terjadi antara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi di dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk ikut mencampuri.”

Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Rata-rata mereka itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak terhadap siapa pun juga, kecuali berpihak pada kebenaran dan keadilan.

“Siancai… apa yang dikatakan oleh Lo-enghiong tadi memang tak keliru. Kami pun bukan golongan yang suka usil dan senang mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti yang sudah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak mau menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu sudah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkan dia. Tetapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andai kata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekali pun, maka sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apa lagi hal itu menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai pula, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Karena itu, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.”

Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam di dalam menangani musuh-musuhnya, biar pun yang diberantasnya itu adalah tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali.

Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang sangat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimana pun juga, mereka semua merasa kagum dan jeri ketika mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan pula.

“Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu adalah sanaknya? Tung-hai-sian bisa terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai,” kata seseorang.

“Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang harus bertanggung jawab paling besar,” kata yang lain.

“Harap para saudara bersabar karena pinto juga sudah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat serta pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapa saja yang salah, biar pun keluarga sendiri tidak semestinya jika dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, ada pun Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara.

Tiba-tiba saja terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!”

Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi sikapnya sangat gagah perkasa. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.

“Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini, kedatangan saya ini untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang dilakukan oleh Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia sehingga tak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.”

Kui Yang Tosu telah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya.

Han Tiong memandang pada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia sedang berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?”

“Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?”

“Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana.

“Cia…? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?”

“Dia adalah ayah saya.”

Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut bukan main. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera dari Pendekar Lembah Naga! Maka mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya.

“Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.”

“Terima kasih, totiang. Kedatangan saya ini bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai mau pun Lembah Naga.”

Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kau maksudkan dengan pertanggungan jawab itu?”

“Apa pun yang totiang kehendaki! Jika adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepantasnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, juga bukan melindunginya, tapi untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah.”

“Pendekar Sadis bertindak sangat kejam, perbuatan itu sudah mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?”

“Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung orang yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak demikian kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang sangat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.”

“Ha-ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng.

Han Tiong memandang kepada pembicara kemudian menjawab, “Hal itu pun sudah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain, maka dia menganggap Toan Ong adalah seorang manusia jahat sehingga dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya itu, dia pun langsung menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya memang sengaja membunuh orang baik-baik.”

“Hemm, kalau menurut pendapatmu, apa Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.

“Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membelanya atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman jika memang dianggap bersalah.”

“Omitohud…! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!” Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata.

“Akan tetapi, mana boleh menghukum orang lain sedangkan yang berdosa malah bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau supaya bertobat sehingga kejahatannya tidak terulang kembali!” kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andai kata pun kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!”

“Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya.”

“Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan atau harus dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga amat kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing.

“Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja, kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, jika memang hukuman itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak akan mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!”

Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran sekali. Biasanya, jika seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu akan dibelanya serta dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, namun bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini.

“Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!”

Teriakan ini mengejutkan semua orang, dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, dan di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker.

Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin beserta Kim Hong, akan tetapi wajahnya juga segera berseri gembira karena dia menduga bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar lantas datang menyerahkan diri untuk jawabkan perbuatan mereka. Maka dia pun berseru dengan girang sekali,

“Ahh, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!”

“Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan semua orang yang hadir di sini mendengar baik-baik bahwa seluruh perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong menjadi tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali.

Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah.

Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi sangat marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, lalu mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.

“Pendekar Sadis, di samping kejam kiranya engkau juga sombong bukan main!” teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan dia pun langsung melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang amat kejam. Sekarang engkau tak mau mengaku salah malah menantang siapa pun yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!”

Thian Sin tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata yang terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku segera mencabut golok, lalu apakah namanya sikap seperti ini? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?”

Wajah Lo Pa San menjadi merah, maka tahulah dia bahwa kini dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri telah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah sehingga dia pun segera menyimpan kembali goloknya.

“Orang muda, kau kira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira bahwa engkau pun akan memegang senjata.”

Thian Sin tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, apa bila sampai terjadi bentrok antara kita, maka penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku.”

“Sombong! Lihat serangan!”

Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah mempunyai tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Ia amat jarang keluar dari rumah untuk mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi pada waktu pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea mau pun Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah berani memimpin para pendekar muda untuk menentang dan mengadakan pembersihan, dan dia baru berhenti berjuang sesudah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan.

Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang sangat menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Selain ilmu goloknya yang sangat terkenal, tentu saja pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Begitu menyerang, dua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi bagaikan cakar garuda.

Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan karena dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga di samping mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi.

Namun Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang mempunyai sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang dahulu pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekali pun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh.

Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin segera mainkan Thai-kek Sin-kun yang daya tahannya amat kokoh dan kuat sehingga selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.

Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. Gerakan pendekar ini cepat bukan kepalang, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini betul-betul tangguh sehingga tak boleh dipandang ringan. Kalau saja dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya hanya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Karena itu, pada saat lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan.

Melihat ini, Hui-to-sian cepat menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, secepat kilat tangan kirinya mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.

“Plakkk!”

Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itu pun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar.

“Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!” katanya dan dia pun sudah menyerang lagi dengan hebatnya.

Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng lagi, bahkan dia merasa malu untuk menggunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung saja mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mukjijat itu.

“Haiiiiitt…!” Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya.

Hui-to-sian kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka dia pun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu telah tiba mendekat.

“Desss…!”

Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian segera terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga sinkang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya sudah terguncang hebat hingga keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah!

Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai…! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua ini mencoba kelihaiannya!”

Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi berbentuk bundar yang terbuat dari pada bambu akan tetapi sesungguhnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu di samping dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang sangat berbahaya.

Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, mendadak Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sasterawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?”

Liang Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apa lagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar.

Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak apa bila diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu.

Sebab itu, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, meski pun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.

“Eh, nona… siapa yang mengeroyok! Biar pun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri saja untuk melawannya?” katanya membantah.

“Majunya memang seorang diri, namun kalau Thian Sin dilawan dengan cara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa artinya locianpwe menang bila menangnya itu karena dia telah kelelahan akibat melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?”

Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya dia ketahui dari berita saja. Kini setelah melihat sikap dan wajah pemuda itu, hatinya sama sekali tidak mengandung rasa kebencian karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, ketika mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah.

“Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu… aku juga tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan…”

Kim Hong tersenyum. “Tak perlu sungkan-sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe ingin melakukan kewajiban sebagai seorang tamu sekaligus sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Locianpwe juga sudah menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu itu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?”

Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar… benar sekali, nona.”

Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya.

“Nah, ketahuilah, locianpwe, orang yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supek-ku, tapi juga musuhku dan karena akulah maka supek membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, kini aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita bermain-main sebentar!”

Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu.

Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang sedang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang dulu pernah menjadi Lam-sin dan yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!

“Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!”

Kim Hong memang pintar sekali. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu supaya tidak mundur kembali. Gadis ini tak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, bila mana sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimana pun juga, dialah yang menyebabkan Thian Sin kini harus dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!

“Nona muda, agaknya kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap bahwa aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkau pun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.”

“Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe beserta semua orang di sini tidak menantang, kami pun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!”

Bocah ini sungguh takabur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah orang yang mempunyai kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!

“Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus.

Dia pun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong langsung mengenali ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengelak.

Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata amat cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu, Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong.

Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan ginkang-nya yang memang amat istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat, sambaran caping itu pun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya.

“Plak-plak-plak!”

Tiga kali berturut-turut dia menampar dan tiga kali pula kakek itu berhasil menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sinkang-nya sendiri seakan-akan besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tak menimbulkan bekas apa-apa.

Maka tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, tapi sebenarnya merupakan sinkang tingkat tinggi yang selain dapat digunakan untuk melawan sinkang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai untuk menyambut senjata lawan.

Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi dia pun cepat mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan sepasang kakinya yang mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini amat terkenal dengan langkah-langkah Cap-sha Seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke mana pun lawan menyerang tubuhnya, maka dia cepat menghindarkan diri dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu.

Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, malah juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12