Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 32
GADIS itu
memang manis budi, bukan sekedar manis wajahnya. Dan dari gerak-geriknya,
ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang
gadis itu amat mencintanya! Ahh, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian
Sin juga berada di situ!
Kurang lebih
dua bulan kemudian, salah seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa
kabar mengenai munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis!
Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang telah membunuh tokoh-tokoh
pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan
sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!
“Belum tentu
dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.
“Siapa lagi,
ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan
akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh
sakit hatinya.”
Ayah
bundanya, dan juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi
mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang
dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin
Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi tetapi memberi waktu
enam bulan. Sesudah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada
isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.
“Sudahlah,
tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta
adiknya dan watak seperti itu sangat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan
dia. Andai kata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia
berhasil menemui Thian Sin lebih dahulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan
dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.”
Akan tetapi,
baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari
Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar
untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan meminta pertanggungan
jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan
membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.
Tentu saja
Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon
mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya segera
berangkat karena isterinya berkeras hendak ikut karena merasa khawatir akan
keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.
Sementara
itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar
sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh
seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sianjin serta mengacau
Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah saat dia mendengar betapa
Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han
Houw itu sudah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan
membinasakan Pak-san-kui beserta murid-muridnya!
Tentu saja
Han Tiong merasa terkejut bukan kepalang. Bagaimana adik angkatnya dapat
menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam
yang digunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali. Dia lalu mempercepat
perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya.
Saat dia
mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya
cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia menjadi semakin terkejut kemudian
cepat pergi menyusul adiknya ke barat.
Kali ini
demikian tekunnya Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama
Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah
baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu dari pada ketika dia mencari
sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.
Maka, tidak
mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil
berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim
Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini
telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang sangat indah di mana
terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya
dapat dimakan.
Mereka
berdua tinggal di puncak bukit itu, laksana sepasang pengantin baru yang setiap
waktu bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuas-puasnya tanpa ada
orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni
puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi
persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.
“Ehh, ke
manakah kita menuju sekarang…?” tanya Kim Hong.
Thian Sin
merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka pun berjalan terus
perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa
depan kita.”
Kim Hong
juga tertawa. “Aku pun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.”
“Bagus!”
kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?”
“Tetapi…,”
kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak
belakang?”
“Ahh, mana
bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita juga saling
mencinta, bukan?” kata Thian Sin.
“Benar,
Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui
rencanaku.”
“Dan kalau
memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak
akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.”
Kim Hong
melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu menatap pemuda
itu dengan alis berkerut. “Nah, nah, hal ini perlu dibereskan sekarang juga.
Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.”
“Rencanaku
bagus sekali. Mulai sekarang kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim
Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa
tidak enak sekali dan kita pun perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan
satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah
Naga…”
“Apa? Ke
tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak amat
terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.
“Kenapa
tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera
tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau
akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka
adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman…”
“Tidak! Aku
tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih
menjadi Lam-sin, dia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan
di sana aku harus bertemu dengan Ciu Lian Hong, gadis yang kau cinta itu?”
“Ah, mengapa
engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi
jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang sudah menjadi isterinya. Percayalah, Kim
Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar
bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu
mereka untuk dapat berjodoh…”
“Apa?
Maksudmu menjadi suami isteri?”
“Habis, apa
lagi? Bukankah kita telah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja,
tinggal upacara pernikahannya saja.”
“Tidak!
Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita
menikah, kalau tidak ya tidak.”
“Apa… apa
maksudmu?”
“Lupakah
engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku
menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu, namun untuk memenuhi sumpahku
kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu merupakan urusan kita
berdua. Sedangkan pernikahan, secara umum berarti hanya pengakuan saling
mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita
saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan,
dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita
hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.”
Thian Sin
merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, ke manakah kita harus
mengasingkan diri?”
“Ada suatu
tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!”
“Hemmm,
tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?”
“Ya, apa
salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan
dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana
aman, kita tak akan terganggu…”
“Dan begitu
amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?”
“Thian Sin!
Kalau engkau tidak mau pun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah
bundaku, keparat!”
“Ehh, engkau
memaki?”
“Ya, memang
aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?”
“Engkau
makin kurang ajar, Kim Hong!”
“Ehh, kurang
ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus selalu taat
kepadamu, ya?” Sesudah berkata demikian, Kim Hong segera meloncat ke depan
sambil menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan
tenaganya.
“Plakk!”
Tangkisan
yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri
sehingga dia pun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang dia cepat
menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong oleh hati
yang marah.
Thian Sin
terpaksa melayani karena dia pun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling
serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka
berdua saling mencumbu rayu dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing
dengan hati penuh kemesraan!
Tingkat
kepandaian dua orang muda ini memang seimbang, sehingga andai kata mereka
berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, agaknya Thian Sin hanya
dapat menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apa lagi kini mereka saling
serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu sangat seru dan
agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.
Debu
mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka sudah terasa nyeri serta
matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya,
walau pun mereka tidak memiliki niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin
dalam tenaga sinkang diimbangi dengan keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu
oleh rambutnya yang sangat lihai itu. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak
oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu.
Sudah lebih
dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah
karena tidak mau saling mengalah, juga menganggap bahwa masing-masing sudah
saling membenci. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada
seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,
“Perempuan
kejam, jangan ganggu adikku!”
Orang ini
bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat
melakukan pengejaran, lantas di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin
sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihainya bukan kepalang. Dia
melihat betapa adiknya itu nampak sangat sibuk dan sedang terdesak menghadapi
totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.
Karena
gerakan wanita itu sangat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam yang
menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan
jelas, hanya menyangka bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka
menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke
dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam
rambut itu!
Kim Hong
terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka
dia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya,
dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang
itu. Han Tiong terkejut, tak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian
cepatnya, maka dia pun menangkis dengan lengan kanannya.
“Dukkk!”
Akibatnya,
tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itu pun terpental. Han
Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama
sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang
dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah
bukan main.
Juga Kim
Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang dahulu pernah
dilihatnya ketika dia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa
wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita cantik itu lihai
sekali, sudah maju menyerang lagi.
“Dukkk!”
Serangannya
ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.
“Tiong-ko,
tahan, jangan serang, dia adalah teman sendiri!”
Han Tiong
kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.”
Kemudian dua
orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling tatap dan
seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan
saling rangkul.
“Sin-te…!”
“Tiong-ko…!”
Sampai lama
mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua
orang pemuda ini sudah menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyuman
sambil saling berpegangan tangan, namun mata mereka basah. Baru terasa oleh
mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.
“Sin-te,
mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur
dengan suara mengandung penyesalan.
Thian Sin
menunduk, merasa sangat bersalah. Setelah berhadapan dengan kakaknya ini,
lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa
betapa dia harus mentaati kakaknya ini.
“Maafkan
Tiong-ko, aku… aku harus melaksanakan urusan pribadiku… yang berhubungan dengan
mendiang ayah…”
“Hemmm,
membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dengan menghukum musuh-musuh
secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?”
“Tiong-ko,
bukan keinginanku agar berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh
mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang sudah
bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang sudah menyebabkan kematian
ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?”
Kim Hong
mendengarkan dengan hati penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti
anak kecil yang minta dikasihani!
“Sin-te, aku
tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati bila mengingat akan
kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar
untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran serta keadilan. Akan tetapi,
apa bila engkau melakukan semua penentangan itu dengan hati penuh kebencian dan
melakukan kekejaman, lalu apa bedanya dengan mereka? Kebenaran yang dibela
dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, tetapi menjadi kejahatan
pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada
pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannya pun tidak dapat
dinamakan baik. Jika caranya kotor, maka tujuannya pun tentu tidak bersih. Tak
mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar
yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.”
Hening
sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.
“Kalau
begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?”
“Apa
salahnya mengampuni orang yang dahulu pernah melakukan penyelewengan dalam
hidupnya apa bila dia itu memang hendak kembali ke jalan benar dan sudah insyaf
akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di
dunia ini. Siapakah yang selama hidupnya tak pernah melakukan penyelewengan
yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan
sakit, walau pun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang
tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan mau pun batinnya. Kalau ada orang
yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus
membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya
kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya,
membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu
sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat
tak selamanya begitu, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang
waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang
rendah terhadap orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu
dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan
hatinya tersentuh. Dia pun merasa bahwa dia pernah menyeleweng, bahkan lebih
dari penyelewengan biasa. Dulu dia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum
sesat di dunia selatan, bahkan sempat membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi
seluruh dunia selatan. Juga pernah membiarkan anak buahnya melakukan
kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apa pun
juga.
Tapi
semenjak dia bertemu dengan Thian Sin, semenjak dia menanggalkan samarannya
sebagai Lam-sin, dia seakan-akan hidup di dunia lain. Dia pun ingin menjadi
orang sehat, bahkan lebih dari itu, dia ingin menjadi pendekar! Maka semua
kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu meresap benar ke dalam
sanubarinya. Dia sendiri pun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang
pangeran, ada pun ibunya adalah seorang pendekar wanita!
“Ahhh,
Tiong-ko, betapa selama ini aku merindukan semua kata-kata dan nasehatmu …”
Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi apa hendak dikata, semua
itu sudah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang
bertumpuk-tumpuk. Semuanya sudah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?”
“Yang
sudah-sudah memang tak mungkin diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku pun
mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga sudah menyerbu ke Kun-lun-pai.
Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau sudah membunuh seorang tokoh
Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?”
Thian Sin
lebih dulu melirik ke arah Kim Hong. Melihat dara itu diam mendengarkan, dia
pun mengangguk. “Ahh, Sin-te… Sin-te…! Engkau ini pendekar macam apa? Apakah
engkau tidak tahu pula bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat
para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai,
pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai,
Sin-te? Apa kau tahu, kini Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para
pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tak mau, ayah kita tentu
akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani bertanggung jawab atas
semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau sebagai adikku yang tercinta,
juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!”
“Maksudmu
bagaimana, Tiong-ko?”
“Mari kau
ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para
pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”
“Ahh, hal
itu tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin
menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap para pimpinan Kun-lun-pai sama
saja dengan mencari mati!
“Engkau
harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku
akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus
tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggung jawab terhadap
semua perbuatannya!”
“Tidak,
Tiong-ko, aku tidak mau…”
Han Tiong
maju satu langkah. “Sin-te, mungkin ilmu kepandaianmu telah jauh melampaui
tingkatku, akan tetapi sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar,
terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau
perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.”
Thian Sin
memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.
“Maksud…
maksudmu…?”
“Kalau
engkau tidak mau ikut secara suka rela, maka aku akan menggunakan kekerasan,
menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau…
biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!”
“Tidak,
Tiong-ko… engkau tidak mungkin…”
Akan tetapi
Han Tiong telah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak
adiknya dan karena dia tahu betul akan kelihaian adiknya itu, maka begitu
menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok
yang mempergunakan satu jari.
Ilmu ini
hebat bukan main dan jarang ada lawan yang sanggup menghindarkan diri dari
serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin
sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya bila dibandingkan dengan kakak
angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis
totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.
“Tidak,
Tiong-ko, jangan…!”
Akan tetapi
Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya
mengelak atau menangkis sambil mundur terus. Melihat ini, tiba-tiba saja Kim
Hong meloncat ke depan dan dia menangkis totokan berikutnya sambil membentak,
“Tahan
dulu!”
“Dukk!”
Kembali Han
Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong, namun sekali ini Kim Hong yang menangkis
dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuatan lawan.
“Nona,
urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang
luar!”
“Cia Han
Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan di dalam urusan Kun-lun-pai ini,
akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin
hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan
dia!”
Mendengar
ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut lantas memandang kepada adik
angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya,
“Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?”
“Dia… dia
adalah tunanganku, Tiong-ko…”
“Ahh…!” Seketika
wajah Han Tiong berseri gembira.
Dia cepat
menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya
ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh sangat cantik
sesudah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan
dengan Lian Hong!
“Begitukah?
Kionghi, Sin-te, kionghi…! Ah, sungguh aku girang sekali… dan suara nona…
seperti… pernah aku mendengarnya!”
Kim Hong
tersenyum sehingga tampak semakin manis. “Memang sebelumnya kita pernah saling
bertemu, taihiap.”
Thian Sin
hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya. Akan
tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin
tadi, melanjutkan,
“Mungkin
taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong,
dulu pernah menjadi muridku…”
Han Tiong
terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia pun teringat!
Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di
selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan
berkata,
“Tapi… tapi…
Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin…” “Sejak bertemu dengan
adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tak ada lagi di permukaan bumi ini, yang
ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.”
Han Tiong
masih belum yakin benar maka dia cepat menoleh kepada adiknya,
diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?”
Thian Sin
memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, janganlah kau serang aku lagi, sampai mati
pun aku tidak mungkin mau melawanmu. Marilah kita bicara baik-baik dan
dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim
Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku…”
Pemuda itu
menarik tangan kakaknya, diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari
tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini
menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi.
Dengan
panjang lebar Thian Sin kemudian menceritakan segala pengalamannya, tanpa ada
yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas
kepada See-thian-ong dan betapa dia kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan
ayah kandungnya di Himalaya.
Diceritakannya,
ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya dan juga
musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa, betapa dia bertemu
dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya. Dengan
dibantu oleh wanita itu dia lalu berhasil membunuh See-thian-ong dan
Pak-san-kui berikut semua muridnya.
“Memang
dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko.
Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati
sekali terhadap mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika
keluarga Ciu juga terbasmi. Diam-diam aku telah bersumpah untuk membasmi semua
penjahat di dunia ini!”
Han Tiong
mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas waktu
adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan
musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran
Toan Ong yang terkenal budiman…”
“Itu
merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya.
Kemudian dia
pun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Betapa
dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu
akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak wajah wanita itu. Kakak angkatnya
bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan secara terang-terangan itu.
“Nona Toan,
tadi engkau mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai itu adalah urusanmu.
Sebenarnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa engkau sampai bentrok
dengan Kun-lun-pai?”
“Begini,
taihiap…”
“Nanti dulu,
nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, kenapa engkau menyebutku
taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.”
“Baiklah…
Tiong-ko,” Kim Hong berkata sambil tersenyum manis, meniru panggilan Thian Sin
terhadap Han Tiong.
Han Tiong
tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Dan kelak apa bila
kalian telah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga
tertawa lagi dengan gembira.
Akan tetapi
tidak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang
kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar sehingga
terus dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan.
Diceritakannya kenapa dia menaruh dendam kepada supek-nya, yaitu Gouw Gwat Leng
yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa dia
dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta
menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa
melibatkan Kun-lun-pai sama sekali.
Kemudian
tentang pertemuannya dengan supek-nya yang sangat lihai sehingga terpaksa
mereka berdua pun akan kalah kalau saja supek-nya itu tidak mengalah, bahkan
akhirnya supek-nya itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang
kesengsaraan hidup sute-nya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.
“Urusan
antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama
sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu
Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia
merasa menyesal dan baru sesudah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa
sebenarnya supek sangat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek-ku sungguh
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu
itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada
tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus
terang menceritakan semua riwayatnya.
Mendengar
cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali
terhadap kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau
seorang bijaksana, sayang sebelumnya kalian tidak tahu tentang hal itu sehingga
terpaksa nyawa seorang yang begitu bijaksana harus dikorbankan secara sia-sia.
Tahukah kalian kenapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalannya,
melainkan untuk mencegah kalian berdua, karena kalau sampai beliau mati di
tanganmu, maka hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya
engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, tidak semua perkara
akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan
mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain
yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk
melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.”
Dua orang
itu mendengarkan sambil tertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa
kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini
adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia
tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan
karena cinta dan juga apa pun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa
olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi.
Keadaan
menjadi serius lagi sesudah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Dalam
menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan
bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itu pun terdiam, Thian Sin
merasa tidak enak sekali dan dia pun mencoba untuk memecahkan suasana itu
dengan berkelakar.
“Aduh,
Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti
telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!”
Han Tiong
tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita
mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan?
Lahir dan batin haruslah serasi, maju bersama-sama, karena kalau tidak
demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang
waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.”
“Semua
ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi
lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan
bagaimana dengan keadaan Lian Hong?”
Kini ringan
saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tanpa ada rasa berat sedikit pun di
hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu,
dan hal ini pun amat terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa
adiknya telah mendapatkan seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya
dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik
dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.
“Ayah dan
ibu baik-baik saja, biar pun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu,
Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, sekarang sudah tinggal di Lembah
Naga bersama kami. Engkau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di
sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata
juga telah menolong dia ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan
memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.
Tentu saja
Thian Sin sudah tahu tentang hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk
dan berkata, “Syukurlah kalau dia telah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian
sudah menikah sekarang, Tiong-ko?”
Han Tiong
menggelengkan kepala lalu memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu
untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang…”
“Ehh, kenapa
begitu?” Thian Sin bertanya kaget.
Han Tiong
mengerling kepada Kim Hong, kemudian berkata, “Tadinya aku selalu meragu,
adikku… mana mungkin aku bisa hidup bersenang-senang sendiri saja sementara
engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Akan tetapi sekarang, ahh, sekarang
lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal lain yang lebih penting dan perlu kubicarakan
denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.”
“Hal penting
apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbarengan dan mereka berdua
memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.
“Bukan lain
tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan diri
sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku
minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan semua
perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!”
“Tiong-ko…!”
Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.
“Tiong-ko,
tadi sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim
Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung
jawab!”
Han Tiong
menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biar pun aku tahu bahwa
ilmu silatmu sangat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama
julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis sehingga fihak Kun-lun-pai menekankan
Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Lagi
pula, jelas bahwa Sin-te turut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat
lepas dari tanggung jawab. Selain itu, sesudah kalian berdua menjadi calon
jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab
yang lain? Maka, kuminta, marilah kita pergi ke Kun-lun-pai, biarlah aku yang
akan mengantar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang
tentu akan bersikap bijaksana.”
Thian Sin
menggelengkan kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak
tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika
kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi
pihak Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap
kami, kami sengaja mengalah dan tidak membunuh seorang pun. Kami melarikan
diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal
kami tidak bersalah terhadap mereka?”
Han Tiong
membalas pegangan adiknya itu. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai
bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung
tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian sudah menyebabkan
kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan
Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan kini engkau masih
mengatakan bahwa Kun-lun-pai tak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biar pun
begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te,
melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar.
Mereka ini hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, sama sekali
bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut
kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta
pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai
seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan
diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau nanti
terjadi ketidak adilan, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan
nyawaku!”
Thian Sin
menjadi ragu-ragu kemudian menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong
mengerutkan alisnya dan gadis itu lalu menggeleng kepala. “Aku tidak akan
menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!”
Thian Sin
juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para
tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk bisa
membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus
dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apa lagi ayah
angkatnya juga harus turut bertanggung jawab.
“Tiong-ko,
ahh, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa seakan-akan engkau malah hendak membantu
mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil menatap pada kakaknya
dengan sinar mata sedih.
Han Tiong
mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah perginya kegagahanmu? Lupakah engkau
bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa kematian pun bukan apa-apa,
asal mati dalam kebenaran? Aku bukan hendak membantu mereka yang ingin
menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang
pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi,
sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon
isterimu.”
Kembali
Thian Sin menjadi ragu-ragu. Apa bila menurutkan kata kesadarannya, apa yang
dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya, apa pun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan
selanjutnya dia tak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan
tetapi pada saat dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, dia pun maklum bahwa
apa bila dia menuruti kata-kata kakaknya, maka Kim Hong akan menentang dan
marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai
di situ saja.
“Tiong-ko,
kau makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan
menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata.
Han Tiong
bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya
terbelalak. “Sin-te! Masih demikian lemahkah engkau? Telah kupikirkan
masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu agar dapat kembali ke jalan lurus dan
membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!”
Akan tetapi
Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggelengkan kepala dan
wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus
menentang kehendak kakaknya yang sangat disayanginya, dan yang baru saja
dijumpainya kembali setelah lama sekali berpisah itu.
“Tidak,
Tiong-ko. Aku tak akan mau menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku,
Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkan diri kepada mereka.”
“Sin-te,
apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Apa engkau takut menghadapi
hukuman? Takut mati?”
Thian Sin
menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tak adil. Aku
tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang
yang bersalah.”
“Akan
tetapi, engkau akan diadili!”
“Hemm,
pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah bisa dibayangkan lebih
dulu akan bagaimana jadinya.”
“Sin-te,
sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat
namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.”
“Sekali
lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.”
“Kalau aku
menggunakan kekerasan terhadapmu?”
Thian Sin
tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan
sanggup mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa
engkau tidak akan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih
bernyawa. Engkau harus membunuh aku terlebih dahulu sebelum dapat memaksa
pergi, Tiong-ko. Ahh, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian
Sin menubruk, merangkul dan menangis!
Kim Hong memandang
dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya,
Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu
sekarang semua kekerasannya seakan-akan mencair dan menjadi lembek, lunak dan
lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat
sekali.
“Kau pun
pasti tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu,
adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkau pun
pasti tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan
membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Apabila memang engkau berkeras
tidak mau ikut bersamaku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga
Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat
tinggal, adikku, biar aku saja yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!”
Sesudah
berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong
yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari
pandang mata mereka.
Thian Sin
menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk
menutupi mukanya. Kesedihan yang teramat besar mencekam hatinya. Dia merasa
berduka sekali bahwa perjumpaannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa
harus berakhir seperti itu.
Kakaknya
yang selama ini amat merindukannya, mencintanya, bahkan tak mau menikah sebelum
bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu terus menunggunya, bahkan dia
tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian
Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan semua isi hati dan watak kakaknya,
tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.
Kim Hong
hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri.
Ia pun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim
Hong mendekati kekasihnya lalu duduk di dekatnya di atas rumput, memegang
tangannya tanpa bicara.
Thian Sin
yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka
dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat sekali dan matanya agak kemerahan,
pipinya masih basah oleh air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim
Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih,
“Engkau benar,
Thian Sin. Memang kakakmu itu yang terlalu lemah, mau saja mengalah terhadap
orang lain. Terhadap pihak mana pun juga, jika mau menang sendiri dan terlalu
mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.”
Thian Sin
memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim
Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan
mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu
bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran ini, dia tidak pernah
segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah
perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir
sekali…”
“Khawatir
apa, Thian Sin?”
“Aku tidak
dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak
enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang
akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.”
Kim Hong
mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?”
“Kita harus
membayangi dia, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan oleh
Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama
hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat dari pada
kematian. Marilah kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.”
Kim Hong
hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya segera bangkit,
kemudian berlari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.
***************
Para tokoh
kang-ouw telah mulai berdatangan di Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai
persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar hingga
memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apa lagi di dalam undangan itu
Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh
pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar
Sadis yang namanya sudah sangat menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.
Satu hari
sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai sudah hadir belasan orang tokoh
pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, didampingi oleh
sute-nya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan
menemani para tamu yang datang awal itu di ruangan tamu yang luas itu.
Di antara
belasan orang tamu yang sudah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung
Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) serta Hwa Siong Hwesio, tokoh
hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui
Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di
kota raja.
Di samping
empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar
merupakan pendekar yang sangat dihormati serta disegani orang, antara lain Lo
Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang
terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini
terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai.
Thian Heng
Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun
lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain dia ingin
mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu
dengan para pendekar.
Juga hadir
pula Liang Sim Cianjin, yaitu seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang
bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pakaian
pertapa ini seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil
kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Kehadiran
ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar semacam
Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa
beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua
orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau
setingkat dengan mereka berdua. Maka keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas
itu sangat meriah, akan tetapi pembicaraan terjadi dengan serius.
Kui Yang
Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah
karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di
situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan
kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para
pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak
menyembunyikan sesuatu, lalu menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu
datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu.
Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.
“Kami hendak
menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para
pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu
kepandaian mereka memang tinggi sekali, sementara kami pun tak mempunyai niat
untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena
itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.”
Suasana
menjadi sunyi sesudah semua orang mendengar penuturan itu, dan diam-diam mereka
semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada masa itu kiranya sulit dicari
orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai!
Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis serta
kawannya, wanita muda itu.
“Sungguh aku
belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya
jujur, ramah dan adil, juga sangat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan
Kun-lun-pai sekali pun dia hanya menyebut toyu yang berarti ‘sahabat’ saja.
“Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona
bernama Toan Kim Hong datang mencari supek-nya sendiri. Apa yang terjadi antara
mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri,
kiraku merupakan urusan pribadi di dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama
sekali bukan menjadi hak kita untuk ikut mencampuri.”
Beberapa
orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Rata-rata mereka itu
adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak terhadap siapa pun juga,
kecuali berpihak pada kebenaran dan keadilan.
“Siancai…
apa yang dikatakan oleh Lo-enghiong tadi memang tak keliru. Kami pun bukan
golongan yang suka usil dan senang mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi
Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti
yang sudah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang
tidak mau menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa
Jit Goat Tosu sudah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu
takkan mungkin mampu mengalahkan dia. Tetapi mereka mendesak terus sehingga dia
mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai.
Sedangkan andai kata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekali
pun, maka sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya.
Apa lagi hal itu menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai pula, dan
yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan
sebutan pendekar itu. Karena itu, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini
dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.”
Karena
alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang
mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tak senang mendengar
sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam di dalam menangani
musuh-musuhnya, biar pun yang diberantasnya itu adalah tokoh-tokoh sesat.
Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat
mereka merasa penasaran sekali.
Keadaan
menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang
sangat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimana pun juga, mereka
semua merasa kagum dan jeri ketika mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah
berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan
berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka
bicarakan pula.
“Cin-ling-pai
harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu adalah sanaknya?
Tung-hai-sian bisa terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan
Cin-ling-pai,” kata seseorang.
“Pendekar
Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang harus bertanggung jawab
paling besar,” kata yang lain.
“Harap para
saudara bersabar karena pinto juga sudah mengundang mereka. Pinto kira, besok
mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat serta pertimbangan
mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapa saja yang
salah, biar pun keluarga sendiri tidak semestinya jika dilindungi sehingga
kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, ada pun Kui Im Tosu hanya
mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang
tidak suka banyak bicara.
Tiba-tiba
saja terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua
perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!”
Semua orang
menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana
akan tetapi sikapnya sangat gagah perkasa. Karena Han Tiong memang tidak pernah
menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan
semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas
penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.
“Para
pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini, kedatangan saya
ini untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang dilakukan oleh Pendekar
Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia sehingga tak
seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.”
Kui Yang
Tosu telah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang
mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya.
Han Tiong
memandang pada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia sedang berhadapan dengan
ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?”
“Pinto
adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?”
“Saya adalah
kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana.
“Cia…? Adakah
hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?”
“Dia adalah
ayah saya.”
Kui Yang
Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut bukan main. Kiranya
pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera dari Pendekar
Lembah Naga! Maka mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini
memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan
alisnya.
“Hemm,
selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.”
“Terima
kasih, totiang. Kedatangan saya ini bukan untuk menghadiri rapat para pendekar,
melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggung jawabkan semua
perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi
penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai mau pun Lembah Naga.”
Makin dalam
kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kau maksudkan dengan
pertanggungan jawab itu?”
“Apa pun
yang totiang kehendaki! Jika adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum,
nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah
sepantasnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe
yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan
seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya,
mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, juga bukan
melindunginya, tapi untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada
perbuatannya yang dianggap bersalah.”
“Pendekar
Sadis bertindak sangat kejam, perbuatan itu sudah mencemarkan nama para
pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa
kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal
itu tidak kau anggap bersalah?”
“Maaf,
totiang. Salah atau tidak itu tergantung orang yang menilainya. Akan tetapi
saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak demikian kejam terhadap
musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang sangat
mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya
untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.”
“Ha-ha-ha,
bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di
antara Shan-tung Sam-lo-eng.
Han Tiong
memandang kepada pembicara kemudian menjawab, “Hal itu pun sudah saya bicarakan
dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain, maka dia
menganggap Toan Ong adalah seorang manusia jahat sehingga dibunuhnya. Setelah
dia menyadari kekeliruannya itu, dia pun langsung menghukum orang yang
melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti
adik saya memang sengaja membunuh orang baik-baik.”
“Hemm, kalau
menurut pendapatmu, apa Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap
bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.
“Sama sekali
bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan
membelanya atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman jika
memang dianggap bersalah.”
“Omitohud…!
Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali
terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!”
Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata.
“Akan
tetapi, mana boleh menghukum orang lain sedangkan yang berdosa malah bebas? Apa
gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau supaya
bertobat sehingga kejahatannya tidak terulang kembali!” kata Thian Heng Losu
ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andai kata pun kami menghukummu sebagai orang
yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar
kekejaman di dunia ini!”
“Tidak,
locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia
akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang
para locianpwe anggap tidak selayaknya.”
“Bagaimana
kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan atau harus
dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga amat kagum kepada pemuda ini
bertanya, memancing.
“Saya sudah
bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja, kalau perlu saya
tidak akan menolak untuk dihukum mati, jika memang hukuman itu dapat menebus
kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak akan mengganggu dia, Cin-ling-pai atau
Lembah Naga!”
Bukan main
hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan
memandang kepada Han Tiong dengan heran sekali. Biasanya, jika seseorang
mencinta adiknya, tentu adik itu akan dibelanya serta dilindunginya, kalau
perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya,
namun bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh
putera Pendekar Lembah Naga ini.
“Tiong-ko,
engkau tidak boleh mewakili hukumanku!”
Teriakan ini
mengejutkan semua orang, dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah
berdiri di ambang pintu ruangan itu, dan di belakangnya berdiri pula seorang
gadis cantik yang bersikap angker.
Han Tiong
terkejut melihat munculnya Thian Sin beserta Kim Hong, akan tetapi wajahnya
juga segera berseri gembira karena dia menduga bahwa tentu Thian Sin dan Kim
Hong sudah sadar lantas datang menyerahkan diri untuk jawabkan perbuatan
mereka. Maka dia pun berseru dengan girang sekali,
“Ahh, Sin-te
dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini
adalah orang-orang bijaksana!”
“Tidak,
Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan
tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan semua orang yang hadir
di sini mendengar baik-baik bahwa seluruh perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim
Hong menjadi tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama
sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami
dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua
sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan
siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar
Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali.
Juga Kim
Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di
ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu
agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa
sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu
dengan mudah.
Melihat
lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu
menjadi sangat marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, lalu
mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan
berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang
tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.
“Pendekar
Sadis, di samping kejam kiranya engkau juga sombong bukan main!” teriaknya
sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan dia pun
langsung melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang
menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang amat kejam. Sekarang
engkau tak mau mengaku salah malah menantang siapa pun yang hendak menangkapmu?
Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!”
Thian Sin
tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata yang terhunus? Locianpwe, engkau
ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku
segera mencabut golok, lalu apakah namanya sikap seperti ini? Apakah ini yang
disebut manis budi dan lunak tidak kejam?”
Wajah Lo Pa
San menjadi merah, maka tahulah dia bahwa kini dia menghadapi seorang pemuda
yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok
adalah karena dia sendiri telah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia
adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang.
Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba
salah sehingga dia pun segera menyimpan kembali goloknya.
“Orang muda,
kau kira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku
mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira bahwa engkau pun akan memegang
senjata.”
Thian Sin
tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, apa bila sampai terjadi bentrok antara
kita, maka penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja
mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita
berkelahi, bukan aku.”
“Sombong!
Lihat serangan!”
Lo Pa San
adalah seorang pendekar yang telah mempunyai tingkat kepandaian tinggi dan
bukan sembarang pendekar. Ia amat jarang keluar dari rumah untuk mencampuri
perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi pada waktu pantai Po-hai pernah dibikin
tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea mau pun
Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah berani memimpin para pendekar muda
untuk menentang dan mengadakan pembersihan, dan dia baru berhenti berjuang
sesudah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke
lautan.
Namanya
menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh
julukan yang sangat menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Selain ilmu
goloknya yang sangat terkenal, tentu saja pendekar ini juga memiliki ilmu silat
tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Begitu
menyerang, dua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan
cengkeraman bertubi-tubi bagaikan cakar garuda.
Memang kakek
berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat
hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah
mengalami banyak perubahan karena dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol
sehingga di samping mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat
menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung
ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa
Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang
dikatakannya tadi.
Namun Thian
Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang
mempunyai sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat
pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang dahulu pernah dipelajarinya
dari neneknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat
hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekali pun dia sudah
merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Menghadapi
serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin segera mainkan Thai-kek Sin-kun
yang daya tahannya amat kokoh dan kuat sehingga selama beberapa belas jurus
lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat
ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.
Melihat ini,
Hui-to-sian terkejut dan juga marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan keras dan
kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang
dilakukan secara beruntun dan berantai. Gerakan pendekar ini cepat bukan
kepalang, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang
bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!
Diam-diam
Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini betul-betul tangguh sehingga
tak boleh dipandang ringan. Kalau saja dia melanjutkan perlawanannya dengan
Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak tanpa mampu membalas. Gerakan
lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan
gerakan ilmu silatnya hanya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja.
Karena itu, pada saat lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan
tangannya untuk menangkap kaki lawan.
Melihat ini,
Hui-to-sian cepat menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu
membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, secepat kilat tangan kirinya
mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.
“Plakkk!”
Thian Sin
menangkis sambil mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi ternyata tusukan
dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan
kakek itu pun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari
sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata
bersinar-sinar.
“Celaka,
ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!”
katanya dan dia pun sudah menyerang lagi dengan hebatnya.
Mendengar
ucapan lawan, Thian Sin tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng lagi, bahkan dia
merasa malu untuk menggunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung
saja mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya,
yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu
silat yang mukjijat itu.
“Haiiiiitt…!”
Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya.
Hui-to-sian
kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia
melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan
sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka dia pun menanti serangan, mengerahkan
tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang
mendorong itu telah tiba mendekat.
“Desss…!”
Dua tangan
itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian segera terlempar dan terdorong ke
belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia
tidak cepat membuka kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga sinkang pada kedua
kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya sudah
terguncang hebat hingga keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia
tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah!
Semua
pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim
Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai…!
Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang
tua ini mencoba kelihaiannya!”
Sambil
berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi berbentuk
bundar yang terbuat dari pada bambu akan tetapi sesungguhnya di balik anyaman
bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu di samping dapat
dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai
sebagai senjata yang sangat berbahaya.
Akan tetapi
sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, mendadak Kim Hong melangkah maju dan
gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin
yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau
begitu, tentu seorang sasterawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan.
Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan
pengeroyokan?”
Liang Sim
Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di
atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis,
dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap
Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah
kedatangan musuh, apa lagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai
nama para pendekar.
Melihat
betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia
segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak apa bila diam saja,
akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk
mencoba kepandaian orang muda itu.
Sebab itu, melihat
gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata,
kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan
bingung juga. Maklumlah, meski pun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga
seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.
“Eh, nona…
siapa yang mengeroyok! Biar pun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku
belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri saja untuk
melawannya?” katanya membantah.
“Majunya
memang seorang diri, namun kalau Thian Sin dilawan dengan cara bergiliran,
bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan
begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa
artinya locianpwe menang bila menangnya itu karena dia telah kelelahan akibat
melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?”
Liang Sim
Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis,
dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya dia ketahui dari berita saja. Kini
setelah melihat sikap dan wajah pemuda itu, hatinya sama sekali tidak
mengandung rasa kebencian karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan
sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah
perkasa. Maka, ketika mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan
dia merasa serba salah.
“Kalau
begitu, biarlah dia mengaso dulu… aku juga tidak mau memperoleh kemenangan
karena kelelahan lawan…”
Kim Hong
tersenyum. “Tak perlu sungkan-sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak
memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai
tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe ingin melakukan kewajiban sebagai seorang
tamu sekaligus sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Locianpwe juga
sudah menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit
Goat Tosu itu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula
kini locianpwe hendak melawannya, bukan?”
Tentu saja
kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian
tepat dan kuat, maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar… benar sekali,
nona.”
Dia tidak
tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah
kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan
kirinya.
“Nah,
ketahuilah, locianpwe, orang yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi
di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supek-ku, tapi juga musuhku
dan karena akulah maka supek membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku
saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan
Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, kini aku sudah siap, locianpwe,
majulah dan mari kita bermain-main sebentar!”
Tentu saja
Liang Sim Cinjin menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu akan hal itu,
akan tetapi sama sekali tak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding
melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini,
tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru
maju saja sudah harus malu.
Masa seorang
tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia
kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama
sekali bahwa yang sedang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja,
melainkan orang yang dulu pernah menjadi Lam-sin dan yang sudah menggegerkan
dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia
selatan!
“Kecuali kalau
locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar
diganti oleh siapa saja yang lebih berani!”
Kim Hong
memang pintar sekali. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak
mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu
supaya tidak mundur kembali. Gadis ini tak ingin melihat Thian Sin seorang diri
saja menghadapi mereka semua itu, bila mana sampai terjadi perkelahian satu
lawan satu secara bergiliran. Bagaimana pun juga, dialah yang menyebabkan Thian
Sin kini harus dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!
“Nona muda,
agaknya kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis. Kalau aku tidak mau
melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap bahwa aku
benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para
pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkau pun memiliki ilmu kepandaian yang amat
lihai.”
“Locianpwe
ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua
di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe beserta semua orang
di sini tidak menantang, kami pun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya
locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi,
aku sudah siap!”
Bocah ini
sungguh takabur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya
seolah-olah orang yang mempunyai kedudukan tinggi menghadapi lawan yang
seimbang atau tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap
seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap
itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!
“Nona muda,
jagalah seranganku ini!” bentaknya halus.
Dia pun
mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan
kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan
sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara
bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong langsung mengenali ilmu pukulan
ampuh yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Maka dia pun cepat
mengelak.
Akan tetapi
gerakan kakek itu ternyata amat cepat dan otomatis karena begitu dielakkan
pukulan pertama itu, Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari
arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang
bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar
ke arah leher Kim Hong.
Kembali Kim
Hong mengelak, mempergunakan ginkang-nya yang memang amat istimewa itu sehingga
sekali tubuhnya berkelebat, sambaran caping itu pun tidak mengenai sasaran dan
kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya.
“Plak-plak-plak!”
Tiga kali
berturut-turut dia menampar dan tiga kali pula kakek itu berhasil menangkis.
Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali,
akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sinkang-nya sendiri seakan-akan besi
bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tak menimbulkan bekas
apa-apa.
Maka tahulah
dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat
yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, tapi sebenarnya
merupakan sinkang tingkat tinggi yang selain dapat digunakan untuk melawan
sinkang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai untuk menyambut senjata
lawan.
Maka kakek
ini berlaku hati-hati, akan tetapi dia pun cepat mengirim serangan bertubi-tubi
dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan sepasang kakinya yang
mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini amat terkenal dengan
langkah-langkah Cap-sha Seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke mana pun lawan
menyerang tubuhnya, maka dia cepat menghindarkan diri dengan menggunakan
langkah-langkah ajaib itu.
Dan
hebatnya, dengan langkah-langkah itu bukan hanya dia pandai menghindarkan
serangan, malah juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap
serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment