Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 31



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 31


PARA tamu terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka semua tak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semuanya takjub menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini.

Kini perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru yang makin mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit.

Akhirnya terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan peluhnya membasahi dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang di depan dada, mulutnya tersenyum.

Dalam jurus terakhir, biar pun dia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun dia telah mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda ini pun maklum bahwa kalau saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tak mungkin dia akan celaka dan dirobohkan. Akan tetapi tentu saja Kim Hong tidak menghendaki hal itu terjadi, dia tidak mau merobohkan paman dari kekasihnya.

“Kim Hong, jangan kurang ajar engkau!” Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak enak sekali.

“Paman, maafkanlah kelancangan nona ini…” Thian Sin memberi hormat kemudian cepat menyambung, “biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman.”

Cia Kong Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya, sejenak menatap tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya.

Wajah Thian Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi. Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, “Kau mencari gara-gara!”

Kim Hong tersenyum. “Hi-hik, bukankah aku telah membuka jalan bagimu? Sekarang kau hadapi sendiri!” Gadis itu pun melayang turun lantas duduk di sudut menjauhi para tamu lain.

Para tamu memperhatikan wanita ini, tetapi Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara lantang. Apa lagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam. Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang pendekar yang ditakuti itu.

“Seperti tadi telah dikatakan oleh temanku Nona Toan Kim Hong, kedatanganku ini adalah hendak menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku, walau pun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tak pernah sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah serta bertekad hendak mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang Tung-hai-sian mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar dan jangan melibatkan orang lain. Marilah kita mulai dengan disaksikan oleh banyak tokoh segala kalangan.”

Tung-hai-sian yang telah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, kini melangkah maju dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, “Sebagai tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah lama kami dengar namanya. Tidak hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sangat terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!”

Dengan gerakan yang amat cepatnya kakek itu mengambil pedang samurainya sehingga terlihat kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang telah bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi sungguh cepat sekali. Akan tetapi…

“Trakk!” terdengar bunyi nyaring dan pedang samurai itu sudah patah menjadi dua potong di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas panjang dan berkata lagi.

“Orang muda, entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau engkau masih belum puas juga sehingga hendak menyerang dan hendak membunuhku, silakan!” Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk memukul dan membunuhnya. “Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!”

Menghadapi sikap seperti itu, Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus bicara atau bertindak.

“Orang muda, maafkan jika aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia kang-ouw sehingga aku tahu benar bahwa nama besar hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda, yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini? Ingatlah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan? Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini sebab sekali waktu akan bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya.”

“Wah-wah-wah, sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!” tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini telah meloncat lagi naik ke atas panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. “Tua bangka, tidak perlu banyak cakap. Kalau engkau memang jeri dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah aku, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat dirinya menjadi datuk timur?”

“Nona muda, aku belum mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?” kata Tung-hai-sian dengan sabar. “Sesudah melihat sepasang pedang dan ilmumu, aku yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu. Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?”

“Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kau hadapi aku saja yang menantangmu!”

“Bocah bermulut lancang dan bersikap sombong!” tuba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah, kedua matanya berkilat dan jelas bahwa dia marah sekali. Ia memandang kepada Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu.

“Ceng Thian Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusia keji yang berjuluk Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi engkau malah memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu. Hayo, majulah dan tandingi aku! Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kesadisanmu!” Nenek ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan.

“Ahh… tidak… tidak…!” Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung.

Kini Yap In Hong menghampiri Kim Hong. “Dan engkau, engkau bocah perempuan tidak tahu malu, sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh? Mari, mari kau hadapi aku. Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak dalam menghadapimu. Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!”

Kim Hong terkejut melihat nenek yang sangat galak luar biasa ini. Namun diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang hebat. Dan ketika mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah dia bahwa memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka dia tersenyum mengejek.

“Wah, galak-galak amat kau, nenek tua!”

“Keparat, terimalah seranganku!” bentak Yap In Hong.

Wanita ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, dia sudah menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan yang membawa angin berdesir dahsyat ini, Kim Hong juga cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukk! Dukkk!”

Dua kali kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya segera terdorong ke belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka dia pun mengeluarkan bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In Hong.

“Kim Hong, jangan melawan! Jangan kurang ajar!” Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong tidak mau mempedulikannya dan dia memang sudah saling gempur dengan nenek itu, saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan seekor domba.

Tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar bentakan, “Tahan!”

Pada saat itu juga Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya segera bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Dia terkejut sekali dan melihat bahwa di depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong bagaikan mata naga sakti dan tahulah dia bahwa di hadapannya itu berdiri ketua Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia ini memang hebat sehingga dia sungguh ragu-ragu apakah dia akan mampu menandingi ketua Cin-ling-pai ini.

Sementara itu, Thian Sin sudah melangkah maju dan menghalang di depan Kim Hong lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. “Mohon maaf… mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya sungguh tak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian kini telah berbesan dengan keluarga Cia… maka harap sudi memberi ampun dan sekalian saya pun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!”

Sesudah memberi hormat, dia pun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali loncatan saja, kedua orang muda itu pun lenyap dari tempat itu.

“Bukan main…!” Terdengar Bin Mo To berseru kagum. “Dia betul-betul seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu… ahh, benarkah dia murid Lam-sin?”

Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan sedikit terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi.

Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi dengan setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek.

“Engkau memang seorang manusia yang tidak berjantung!” Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan.

“Ehh? Tidak berjantung?” Thian Sin memandang heran.

“Ya, tidak berjantung, tidak mengenal budi!”

“Apa maksudmu, Kim Hong?”

“Aku mati-matian membelamu dan membantumu, engkau tak berterima kasih sebaliknya engkau malah membikin malu kepadaku! Engkau mau saja mengalah, mau saja mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?”

“Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku bisa menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong.”

“Huh! Engkau takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?” Kim Hong mencela.

“Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tidak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau demikian aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tidak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang sesudah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa.”

“Huh!” Kim Hong masih terus merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, kemudian menciumnya dengan mesra sambil berbisik.

“Betapa pun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu.”

“Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?”

“Habis, engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar harus bertaruh nyawa sekali pun!” kata Thian Sin sungguh-sungguh.

Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong langsung melepaskan diri dan berkata, “Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku walau pun dengan taruhan nyawa?”

“Tentu saja… asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia…”

“Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kau kenal.”

“Siapakah dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?”

“Dia adalah musuh ayah… atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, semenjak dulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah.”

“Kenapa sampai sekarang belum juga kau lakukan? Bukankah dengan kepandaianmu…”

“Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiri pun dulu sampai jeri karena orang itu sangat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau tadi telah berjanji untuk membantuku.”

“Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu.”

Kim Hong lantas bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggap tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak sehingga pangeran ini pun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak.

Pangeran Toan Su Ong tidak merasa gentar menghadapi pengejaran kaisar, namun ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suheng-nya yang sesudah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suheng-nya itu memiliki ilmu silat yang hanya satu tingkat lebih tinggi dari padanya, dan pada saat Toan Su Ong telah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua tentulah mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi suheng-nya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini.

Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Karena itu Toan Su Ong juga tidak berani melawan suheng-nya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suheng-nya itu menjadi gurunya yang telah tiada.

Karena rasa takutnya terhadap suheng-nya yang membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya pada waktu dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena dia mendengar penuturan ibunya.

Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimana pun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta akibat suheng-nya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Maka dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya bila Kim Hong menaruh dendam lantas hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya.

“Akan tetapi, apakah supek-mu itu sekarang masih hidup? Siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

“Ketika aku masih menjadi Lam-sin, pernah hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan sudah kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku terus menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Kini dia telah mengasingkan diri sesudah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya lantas dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!” Gadis itu mengepal tinju.

“Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana dia kini berada.”

“Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia sudah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai…”

“Ahh! Di Kun-lun-pai?”

Kim Hong mengangguk. “Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam goa di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai.”

Thian Sin mengerutkan alisnya. “Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukan Kun-lun-pai, melainkan perguruan yang tidak memiliki partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suheng-nya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia lalu menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?”

Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang. “Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong.”

“Andai kata dia adalah anggota Kun-lun-pai, engkau menjadi jeri dan takut kemudian tidak berani membantuku?”

“Bukan jeri mau pun takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar dan di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, maka sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku.”

“Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?”

“Tentu saja aku mau!”

“Kalau perlu dengan taruhan nyawa?”

Thian Sin mengangguk dan mendadak Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu.


                ***************


Kun-lun-pai adalah sebuah di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok. Bila Siauw-lim-pai semenjak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha, maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh beragama To yang berilmu tinggi.

Seperti juga Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai, bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio, Kun-lun-pai memiliki banyak murid yang menjadi anggota Agama To atau To-kauw. Memang dalam hal tata tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas dari pada Agama Hud-kauw (Buddhis).

Akan tetapi, mengenai tertib pelajaran ilmu silat, Kun-lun-pai juga sangat ketat menjaga murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid Kun-lun-pai ‘turun gunung’ kalau ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi dan sudah lulus dari ujian. Hal ini selalu dilakukan oleh partai-partai persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai.

Agaknya karena ada peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi makin terkenal, karena setiap murid dari kedua partai ini selalu mampu mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak terjang mereka yang gagah dan juga lihai.

Yang menjadi pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu, dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka di dalam mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggota itu.

Kui Im Tosu merupakan ketuanya dan tosu ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid, dan kalau pun dia mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sute-nya yang bernama Kui Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu.

Kedua orang tosu ini jarang memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat sepak terjang para murid mereka, yaitu para jagoan atau pendekar-pendekar Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat.

Murid-murid Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap, dan sekarang ada dua puluh lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu. Perumahan bagi para penghuni kuil dan para murid ini dikurung oleh pagar tembok yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san.

Di dalam daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk mereka, berupa bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak goa-goa buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para murid Kun-lun-pai untuk bersemedhi sebagai penggemblengan batin.

Karena tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan bisa mencurahkan perhatian mereka baik terhadap pelajaran silat mau pun pelajaran agama sebagai penggemblengan mental. Seluruh perguruan silat yang tinggi, juga para guru silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini, karena mereka semua tahu benar betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan belajar ilmu silat tanpa disertai dengan penggemblengan watak dan batin ini.

Ilmu silat sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke tangan orang yang tak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah akan disalah gunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri hingga muncullah perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat.

Sebaliknya, bila mana ilmu silat dikuasai oleh orang yang memiliki batin yang kuat, maka ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi masyarakat, karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah.

Walau pun tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid Kun-lun-pai tak pernah lengah dalam melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka juga tahu bahwa Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, yaitu mereka yang tergolong sebagai penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid Kun-lun-pai sebagai musuh.

Pula, selain untuk menjaga segala kemungkinan buruk, penjagaan itu juga merupakan pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru mereka.

Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun-pai dengan bijaksana sehingga nama partai persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai dibicarakan dengan rasa hormat dan segan.

Hal ini dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka telah bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan atau kesalah pahaman dengan fihak Kun-lun-pai.

Karena nama besar Kun-lun-pai itulah maka biar pun pada suatu senja mereka telah tiba di daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam karena mereka menganggap hal itu kurang sopan. Juga mereka segera membuang niat mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu dengan menggunakan kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup.

Mereka bersikap sangat berhati-hati, sebab memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah perbuatan yang amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai.

Mereka lalu bermalam di sebuah goa batu yang banyak terdapat tidak jauh dari asrama Kun-lun-pai itu. Baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai.

Kuil Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana orang umum suka datang bersembahyang, melainkan kuil yang khusus digunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai. Oleh karena itu, tidak ada orang luar yang datang bersembahyang. Maka, ketika Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga.

“Ji-wi (anda berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami ini?” salah seorang di antara para murid yang bertugas jaga bertanya tanpa menyembunyikan kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tanpa mengandung birahi atau pun sikap kurang ajar.

“Kami mohon bertemu dengan ketua Kun-lun-pai,” kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka.

“Maaf,” kata salah seorang di antara para tosu, “akan tetapi sungguh tidak mudah untuk menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau sedang siulian (semedhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebih banyak lagi pekerjaannya. Kalau tidak ada keperluan yang penting sekali, kami sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau berdua.”

“Totiang,” kata Kim Hong. “Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh datang ke tempat sunyi seperti ini? Terus terang saja, yang memiliki kepentingan adalah aku, sedangkan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah, sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?”

“Caranya hanya satu, yaitu lebih dulu nona memperkenalkan nama dan memberi tahukan kepentingan nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itu pun belum dapat kami menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan.”

“Baiklah, katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting.”

“Maaf, Nona Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami menanyakan, kami bisa menjawab sehingga tidak akan mendapat teguran. Kami tak ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberi tahukan kepentingan nona.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan pantas, maka terpaksa dia pun harus mengaku terus terang. “Aku minta menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai.”

Tosu itu nampak terkejut. “Siancai…,” katanya lirih penuh keheranan karena sebenarnya dia sendiri sudah hampir lupa terhadap seorang kakek yang telah bertahun-tahun bertapa di dalam goa di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai, amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali.

“Ada apa, totiang? Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?”

“Ahh, tidak apa-apa, nona. Baik, kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi menanti sebentar di luar.”

Dan pintu gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu.

“Tenang dan sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel.”

“Kalau para tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa seijin mereka!” Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja.

Tak lama kemudian daun pintu itu terbuka lagi, sekarang terbuka kedua-duanya sehingga nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu tingkat mereka lebih tinggi dari pada para tosu pertama.

Seorang di antara mereka, yang memiliki tahi lalat pada dagunya, dengan pandang mata penuh selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu.

“Siancai… Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan tetapi pimpinan kami sedang amat sibuk dan tentu saja tak mempunyai waktu untuk melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang memiliki keperluan istimewa pula.”

“Hmm, totiang, tak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang bagaimanakah orang istimewa itu?” Kim Hong bertanya, menahan kemarahannya dan masih tersenyum, walau pun dia merasa dipandang rendah.

“Melihat sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw, maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian saja yang kiranya cukup berharga untuk berhadapan dengan pimpinan kami, ada pun tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami, para murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama ataukah ke dua.”

Hati Kim Hong mulai menjadi panas. “Totiang, hal-hal apakah yang harus kulakukan untuk membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?”

“Maaf nona. Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah ditentukan sejak dulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan. Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak sanggup melewati kami dan golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Ada pun golongan ke dua adalah para tamu yang meski pun mampu melewati kami namun tidak mampu melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itu pun cukup disambut dan dilayani oleh para suheng kami itu. Ada pun golongan pertama haruslah dapat melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah. Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami.”

“Begitukah? Kenapa tidak sejak tadi kalian memberi tahu kepadaku? Nah, lekas susunlah barisanmu, totiang, hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan Kun-lun-pai!” Kim Hong menantang, lantas dibisikkannya kepada Thian Sin. “Kau jangan mencampuri yang ini.”

Thian Sin tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena dia pun hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan dia pun tak ingin kalau Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu.

“Ingat, jangan lukai orang,” bisiknya dan Kim Hong mengangguk.

Sementara itu, tiga orang tosu yang baru datang itu sudah mengatur lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk membentuk barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di depan, ada pun di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang pedang. Sedangkan sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu tetap bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita itu maju.

“Nona Toan Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!” tosu yang dagunya bertahi lalat tiba-tiba berteriak.

Kim Hong tersenyum lalu dia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba saja sembilan orang itu bergerak menghadangnya lalu ke mana pun dia melangkah, dia selalu bertemu dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang.

“Kenapa menghadang di jalan? Aku mau lewat!” kata Kim Hong dan dia melangkah maju terus.

Tentu saja dia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan dengan menggerakkan sikunya, orang itu pun lantas terjengkang. Melihat ini, empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang kokoh kuat dan terlatih.

Kim Hong masih tersenyum, tapi kemudian dia tiba-tiba menggerakkan kedua lengannya maka terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri.

Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Kim Hong bergantian menggerakkan kaki kanan dan kiri dan tahu-tahu empat orang itu pun sudah roboh semua. Mereka tidak ada yang terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka halangi telah lewat!

Kim Hong segera melangkah ke depan, menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya dia pun masuk mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja.

Kim Hong sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini adalah murid-murid tingkat tiga yang sudah memiliki dasar ilmu silat Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang sungguh pun mereka belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu.

Namun ilmu toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah berhasil mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Lebih lagi, mereka berlima juga bergerak dalam barisan Ngo-heng-tin, maka mereka dapat bekerja sama sehingga seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu!

Kim Hong yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. “Sungguhkah kalian tidak mau memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?” tanyanya.

Ditanya begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya janggal apa bila lima orang pendeta seperti mereka tak mau mengalah terhadap seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong jalan menghadang dan dua tongkat lain mengancam ke atas kepala, ada pun tongkat ke lima dari belakang siap menyambar kakinya!

“Hebat!” katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian hebatnya.

Akan tetapi dia tidak menghentikan gerakannya dan cepat dia memegang dua tongkat di depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat yang menyambar kaki itu lewat.

“Trakk! Trakk!”

Dua tongkat yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas.

Selain berhasil meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam satu gebrakan ini Kim Hong sudah mampu mengacaukan mereka. Tetapi dengan gerakan sigap sekali lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum dia mampu lewat!

Kim Hong tersenyum. “Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!” katanya memuji lantas tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas!

Melihat ini, lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan mereka juga berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu kepalanya digerakkan, maka rambutnya berkelebat laksana ular dan melibat lima batang tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat.

Lima orang tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan sangat kuatnya oleh rambut wanita itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka itu, mereka tak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas lantas sekali Kim Hong menggerakkan kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah sampai setengahnya!

Sebelum lima orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah cepat berjungkir balik dan turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah.

Tiga orang tosu yang berada di sebelah dalam memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak memiliki niat buruk sehingga kini sudah mengalahkan barisan pertama dari sembilan orang dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali!

Mereka ini adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya mewarisi ilmu silat dari seorang sakti.

Kelihaian serta sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sesungguhnya sudah mendatangkan rasa simpati di dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka, agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka. Akan tetapi mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di dagunya itu berkata,

“Ahh, kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah dalam.” Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang mereka.

Kim Hong menggerakkan kepalanya untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis sekali gerakan ini dan dia pun tersenyum. “Ahh, aku tidak percaya bahwa para tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya.”

Sesudah berkata demikian, dara ini segera menerjang ke depan, menerjang di antara dua batang pedang yang membuat pertahanan serta membentuk dua daun pintu. Akan tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat sehingga nampaklah gulungan sinar pedang yang menghadang di depannya. Ada pun pedang ke tiga juga sudah siap menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya.

Maka tahulah Kim Hong. Tiga orang tosu yang tingkatnya sudah lebih tinggi ini tidak akan menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau dia menerjangnya dan sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa dia yang salah sendiri menerjang pedang, dan bukan pedang yang sengaja menyerangnya!

Maka dia pun tersenyum dan tentu saja dia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini sungkan dan baik kepadanya. Oleh karena itu, dia hendak memaksa agar tiga orang tosu itu menunjukkan kepandaiannya dan tidak merasa sungkan-sungkan lagi padanya, sebab bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng dari pada tugas mereka? Dia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai penjaga-penjaga yang kurang ketat.

“Sam-wi totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!” katanya.

Dan tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang sangat kuat dan mengeluarkan angin berdesir.

Dua orang tosu itu terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis, akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan!

Kini tahulah tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh, maka mereka pun tak bersikap sungkan lagi. Apa bila bersikap sungkan dan mengalah terhadap lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama dengan menyerah kalah.

Maka kini mereka pun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka betul-betul dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan bertubi-tubi.

“Bagus! Kun-lun Kiam-sut memang sangat hebat!” Kim Hong memuji, bukan hanya untuk menyenangkan lawan melainkan memang dia dapat merasakan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini.

Serangan mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu, lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan mereka pun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi bersikap lunak sekali terhadap mereka.

Sesudah mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya sehingga ketiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, dia pun membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba dia berseru,

“Maaf sam-wi totiang, aku mau lewat!”

Tiba-tiba saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah lebih dari cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka! Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh lantas memandang bengong. Mereka tadi hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran itu!

Diam-diam ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas seketika! Maka mereka bertiga segera menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata,

“Nona telah lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk.”

“Terima kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga,” katanya sambil menanti Thian Sin yang berjalan menghampirinya dari luar.

“Akan tetapi, yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri dan…”

“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang kawanku? Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!” kata Kim Hong.

Tosu yang bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas panjang, lalu menggerakkan pundaknya. “Siancai… kami sudah kalah, tidak perlu banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tak boleh disamakan dengan kami yang masih bodoh.”

Kim Hong cepat menjura ke arah mereka dan tersenyum. “Terima kasih, totiang sekalian sungguh baik sekali!” Dan dia pun melangkah masuk bersama Thian Sin, meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum hingga tiada hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu.

Kim Hong beserta Thian Sin terus melangkah maju, melalui lorong yang panjang. Mereka berjalan dengan penuh kewasdaan, siap-siap menghadapi segala macam rintangan. Akan tetapi, lorong itu ternyata tak mengandung jebakan-jebakan atau rintangan-rintangan apa pun. Sesudah lorong itu habis, sampailah mereka di sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka sangat berwibawa.

Thian Sin menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendirian menghadapi kedua orang tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang sudah menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya dua orang inilah.

“Maaf, ji-wi totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai,” berkata Kim Hong dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka.

“Siancai… Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan pinto berdua menyatakan kagum bukan main!” kata seorang di antara mereka yang mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam.

Setelah berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong!

Maklumlah dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lweekeh yang mempunyai tenaga sakti kuat, maka mukanya selalu kelihatan pucat seperti itu, mungkin disebabkan latihan yang terlalu terpaksa hingga berakibat seperti itu. Maka dia pun cepat mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata,

“Ahh, totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?”

Dari kedua tangan nona ini pun langsung menyambar tenaga sinkang yang merupakan angin berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada hawa dingin menolak tenaganya, maka dia pun membuka kedua kepalan tangannya dan kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi.

Melihat lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan dua lengannya menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ mengalir keluar kekuatan sinkang yang sama dahsyatnya! Terjadilah adu sinkang dan sungguh pun keduanya hanya berdiri tegak dengan kedua lengan dilonjorkan, kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sinkang kuat saling menguji tenaga sinkang mereka!

Untuk beberapa saat lamanya Kim Hong mengerahkan sinkang-nya, mulai dari sedikit dan setelah dia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah dia mampu mengimbangi tenaga lawan. Diam-diam dia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai sudah mempunyai sinkang sekuat ini!

Akan tetapi, sesudah mengukur kekuatan lawan, dia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati. Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali, lantas dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar sehingga dia pun terjerumus ke depan.

Pada saat itu Kim Hong telah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya sedikit memburu, kemudian dia menjura.

“Terima kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!”

Tosu ke dua, yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa sekali. Di dunia ini sudah bermunculan orang muda yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak di dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sinkang-mu, maka sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian ginkang-mu. Aku akan mencegah engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan mempergunakan kecepatan gerakanmu!” Setelah berkata demikian, tosu itu lantas berdiri di atas ujung jari kakinya, berjingkat sambil mengembangkan kedua lengannya.

Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walau pun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan.

“Baik, totiang. Nah kau halangilah aku!”

Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itu pun sudah meloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga dia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itu pun mengeluarkan seruan keras lantas tubuhnya juga sudah mencelat ke atas untuk menghadang di atas!

Kim Hong turun kembali, diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanyalah bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini mempunyai gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kali ini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya adalah kecepatan gerakannya.

Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan amat cepatnya di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya lalu tubuhnya berpusingan cepat laksana gasing!

Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk turut berpusing seperti itu, dia tidak mampu dan tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu sudah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya, dia tidak akan mampu mencegahnya.

“Hebat, hebat… pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus peluhnya.

Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah menunjukkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sinkang serta ketinggian ginkang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk.”

“Totiang bersikap kurang adil sekali.”

Dua orang tosu itu saling pandang kemudian yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. “Siancai…! Jika ada kesalahan kami, harap kau tunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?”

“Setiap orang memiliki peraturan masing-masing. Kun-lun-pai memiliki peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan telah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu aku juga memiliki peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang laki-laki, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah telah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?”

Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, sangatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan jika ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga secara sendiri saja!


cerita silat online karya kho ping hoo


Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?”


“Dia adalah kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi dia pun lantas bisa menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena jika bukan saudara dan bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula!

Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang sangat halus dan ramah, “Siancai… seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk…!”

Kedua orang tosu itu nampak lega, lalu menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!”

Mereka lantas membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka, kemudian melangkah melewati ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, dan juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka.

Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka, lalu memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi.

Di sudut ruangan duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dan sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu-tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana.

Dan memanglah, dia pernah melihat tosu itu yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain itu adalah sute-sute-nya, para pembantunya sehingga tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada dua orang murid kepala tadi.

Sementara itu, pada saat dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat dia pun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu.

“Pendekar Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sute-nya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini.

“Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah kini engkau juga mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?”

Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, maka dia pun teringat kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai.”

“Siancai…!” Tosu itu tampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Apa bila pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Di dunia ini tidak banyak nama keluarga Toan, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?”

Kim Hong tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walau pun tak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.”

“Ahhh…!” Tosu itu terkejut. “Dan apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?”

Nona itu mengangguk sambil mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan terjadi karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah…”

“Tapi mengapa…?”

“Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku ini bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali.”

Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah, sekarang katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?”

“Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.”

Tosu itu mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu sebab permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Goat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?”

“Hemmm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, terlebih dahulu aku menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai bisa kutemukan. Aku tak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.”

“Siancai…! Janganlah Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukan orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. Ahh, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, supek-nya itu kini malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai!

“Locianpwe, urusanku dengan dia merupakan urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supek-nya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?”

Mendengar ini terkejutlah kakek itu. “Siancai… siancai… kiranya nona adalah puteri dari mendiang Toan Su Ong…?”

“Benar sekali, locianpwe.”

“Ah, kalau begitu… tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. “Thian-sute, harap kau antarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antarkan saja hingga di depan goa kemudian tinggalkan di situ. Biar terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak.”

“Baik, suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.”

Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tak berani mencegah ketika melihat Thian Sin juga ikut, biar pun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Karena itu, setelah sute-nya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri segera bergegas masuk ke dalam untuk menemui suheng-nya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu.

Kiranya daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan kepalang. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya sampailah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan goa-goa besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah goa besar yang gelap, berhenti di depan goa sambil berkata,

“Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Sesudah berkata demikian, tosu itu langsung membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan goa.

Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempat itu amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali goa-goa besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, jumlahnya ada puluhan. Mereka pasti akan memerlukan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu!

Tidak kelihatan seorang pun manusia lainnya, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai.

Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong agar membuka suara. Dara itu mengangguk, kemudian dia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khikang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar goa di depannya.

“Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!”

Dari dalam goa itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah terdapat suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lainnya. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tadi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya.

“Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku telah ditipu, agaknya tempat ini kosong!” gerutu Kim Hong.

Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.”

“Kalau begitu orangnya berada di dalam, tetapi sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!”

Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supek-nya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai dari pada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki goa gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali.

“Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin.

Kim Hong langsung teringat. Betul juga, pikirnya. Supek-nya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya apa bila hanya memperkenalkan nama. Maka dia lalu berteriak kembali, ditujukan ke dalam goa, dengan mengerahkan khikang-nya.

“Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, ini aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!”

Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam goa itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai… siancai… siancai…!”

Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam goa itu. Seorang kakek yang sangat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong segera merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, bahkan tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh!

Kakek itu berdiri agak bongkok di depan goa, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya digunakan melindungi matanya dari cahaya matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk.

Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya pinggiran bendera itu sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak.

“Mana dia puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar.

Kim Hong hampir tidak mampu menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa dia bertanya,

“Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?”

Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar… matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi… heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supek-mu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita mengenai bendera pusaka kita ini, peninggalan dari kakek gurumu…”

Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang selalu membuat ayahnya tunduk terhadap suheng-nya ini.

“Bendera sialan!” bentaknya.

Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebat meloncat ke arah kakek itu sambil tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu sudah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi.

“Siancai… tidak seorang pun di dunia ini yang boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku…” Kakek itu terkekeh.

Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali dia menubruk, kini menggunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tidak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu sudah berubah. Biar pun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi.

“Aku tetap akan merampas bendera itu!” bentaknya.

Kini dia kembali menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram hendak merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang di samping dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga.

“Plak-plak-plakkk!”

Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Ternyata kakek yang kelihatan lemah itu sudah berhasil menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung-huyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.

“Hemm, kiranya engkau pun pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biar pun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara.

Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa bendera itulah yang membuat dia sampai kena terdorong. Saat Si Kakek tadi menangkis, bendera itu berkelebat di depan matanya kemudian membuat dia lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi bisa juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walau pun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu.

“Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?”

“Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku harus hidup terlunta-lunta dan menjadi buronan, juga selama hidupnya harus bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Boleh jadi ayah terlalu bodoh untuk merasa jeri menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian serta menebus kesengsaraan ayah kepadamu, juga menghancurkan bendera terkutuk itu!”

“Siancai… akhirnya datang juga saat yang kunanti-nantikan selama ini! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena dia sangat menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Engkau benar-benar telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supek-mu!”

“Tidak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibuku!” Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong segera mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang dengan sengit.

“Trang-tranggg…!” Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.

“Aihhh, aku sudah mendengar bahwa dalam persembunyiannya ayah ibumu menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?”

Akan tetapi Kim Hong sudah tak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, sungguh pun kelihatan sudah tua dan lemah, tapi ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran!

Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, tapi bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang amat ampuh, ada pun mata anak panah yang menjadi gagang bendera itu pun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!

Walau pun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudahnya kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri.

“Jit Goat Tosu, sungguh tidak patut kalau yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampaklah sinar perak menyambar ganas.

“Tranggggg…!”

Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu segera membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.

“Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang hendak membantumu ini?!” Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!

Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka dia pun menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!”

Dengan mengakui pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang turut mengeroyok kakek itu ‘bukan orang luar’. Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, pantas…! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!”

Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget sekaligus juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Tentu saja keduanya langsung menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang.

Kim Hong telah memainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lalu lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus.

Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak yang mengimbangi serta saling membantu dengan dua gulungan sinar hitam itu, juga tangan kirinya secara diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dulu dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di puncak Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu harus mengeluarkan seruan kagum dan kaget.

Akan tetapi ilmu kepandaian kakek tua renta itu memang hebat sekali. Dia telah memiliki kematangan yang amat sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan semedhi yang tidak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang terlihat lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan sudah terhimpun sinkang yang mencapai puncaknya.

Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke mana pun senjata ini bergerak, tentu selalu sanggup menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya dari pada serangan lawan.

Biar pun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan seolah-olah dia sudah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh kedua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia bisa melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu sama sekali tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main.

“Bagus sekali ilmu pedang kalian, kini mari kita berlatih dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja.

Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga langsung menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Dia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi mengapa sekarang dia menghadapi kakek itu seperti supek-nya sendiri mengajaknya berlatih saja?

Sesungguhnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini dia harus melakukan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga dia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini.

Oleh karena itu, melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin dia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan sepasang pedangnya? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka.

Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong dari pada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang digunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi I-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki dan tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, saat ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong.

Terjadilah pertandingan yang hebat luar biasa, malah lebih menegangkan dari pada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Jika tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang amat mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seakan-akan tiga tubuh itu sudah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja.

Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata,

“Senjata khas wanita, tapi curang!”

Karena merasa penasaran, sesudah lewat hampir seratus jurus belum juga dia sanggup mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.

“Plakkk!”

“Uuhhhhhh… apa ini…? Ahhh, Thi-khi I-beng…?!” Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga lebih besar sehingga Thian Sin menjadi gelagapan bagaikan orang yang dimasukkan ke dalam air.

Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sinkang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak mampu menampungnya dan otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu lalu menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang.

“Orang muda, apakah engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Walau pun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai itu.

“Masih ada hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa amat kecewa karena ternyata Thi-khi I-beng juga tak ada gunanya terhadap kakek yang amat hebat ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!”

Dan Thian Sin langsung berjungkir balik, kemudian, secara tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya dapat mengenali ilmu mukjijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.

“Desss…!”

Tubuh kakek itu terlempar hingga nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga tadi membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak.

“Ilmu setan…!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, “Tahan!”

“Toan Kim Hong, engkau tidak mau menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak asli lagi. Dan biar pun salahnya ayahmu sendiri, namun memang akulah yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku merasa menyesal sekali dan sudah menebusnya dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau badan tua tak berguna ini belum mati. Nah, sekarang saksikanlah. Supek-mu menebus dosa sambil membawa bendera pusaka bersama, maka lunaslah sudah!”

Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu, lantas sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tidak bergerak lagi.

Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah di dalam hati mereka terasa menyesal.

Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan hanya sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa apa bila kakek itu menghendaki, sejak tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!

Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Gouw Gwat Leng sangat mencinta sute-nya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Tapi sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai seorang pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar.

Sebenarnya, kalau kaisar menghendaki, dengan mengerahkan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, bagaimana pun lihainya dia itu? Gouw Gwat Leng melihat hal ini dan dia pun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sute-nya dan menghalangi sute-nya supaya tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran.

Toan Su Ong tidak berani melawan suheng-nya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka dia pun kemudian pergi menyembunyikan diri hingga matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sute-nya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar.

Namun dia pun merasa menyesal dan berdosa karena biar pun dia telah menyelamatkan nyawa sute-nya, sebaliknya ia pun telah membuat sute-nya hidup merana dan menderita, harus selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa semenjak muda dia terpaksa harus berpisah dari sute-nya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sute-nya itu.

Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Dia pun sempat menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia lalu dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam goa-goa di Kun-lun-san.

Ketika puteri sute-nya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sute-nya itu sebenarnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu.

Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sangat renta itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di hadapan Kim Hong tanpa rasa penyesalan karena dia pun sudah puas melihat puteri sute-nya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula.

Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan cepat memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu.

Mereka pun dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang mereka benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Sekarang semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya.

“Siancai, siancai, siancai… Saudara tua Jit Goat Tosu sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali…” Kui Im Tosu berkata sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram.

“Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apa pun, tidak akan mau membunuh seekor semut pun, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu.

“Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim Hong dengan lantang.

“Jit Goat Tosu membunuh diri, jika tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui Yang Tosu. “Akan tetapi betapa pun juga, kalian yang sudah mendesaknya sehingga dia membunuh diri.”

“Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukanlah untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supek-ku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta supaya Kun-lun-pai jangan turut mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Siancai… tidak demikian mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara dari pada suheng-nya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan sudah berani melawan supek-mu, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua sudah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tidak mungkin kami dapat mendiamkan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai.”

“Habis, sekarang kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapa pun juga di dunia ini.

“Siancai!” Kui Im Tosu berkata. “Kami terpaksa harus menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!”

“Singgg…!”

Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semut pun bila diinjak pasti balas menggigit, seekor ayam pun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimau pun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apa lagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!”

“Tangkap mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya.

Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiri pun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap. Sebagai orang yang berkedudukan tinggi mereka tidak mau tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh.

Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai telah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!”

Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan maka dia pun cepat menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu.

Sesudah para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan untuk merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua terpaksa berlompatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat.

Para anak buah Kun-lun-pai itu, mulai dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali. Mereka bagaikan sekumpulan semut yang tengah mengeroyok dua ekor jangkerik yang besar dan setiap gerakan jangkerik-jangkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini.

“Mundur!” Mendadak terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu.

Thian Sin kaget bukan main. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tidak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya.

“Ji-wi locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, kenapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?”

“Hemm, kalian sudah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami? Kalau benar kalian mempunyai niat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu.

“Kami bukanlah penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau kami terpaksa melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!”

“Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin.

Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan tangan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak dikiranya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu mempunyai tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya.

Sebaliknya, setelah pertemuan tenaga itu Kim Hong pun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang berat. Maka dia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya.

Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia amat terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu kemudian balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat serunya, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu.

Sementara itu, pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa kerepotan sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seakan-akan dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, kuat bukan main sehingga semua serangannya, bila tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan, pasti membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu secara terpaksa sekali mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dengan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun.

“Hiaaaattt…!” Dia memekik dengan nyaring sekali. Seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat.

“Bresss…!”

Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan walau pun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan kepalang menghadapi serangan yang amat luar biasa itu.

“Kim Hong, lari…!” teriak Thian Sin.

Kim Hong maklum bahwa sangat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dia kehendaki. Maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah delapan jalan darah di tubuh lawan bagian depan.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu berseru kaget.

Dia cepat-cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Menggunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan cepat melarikan diri bersama Thian Sin. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang,

“Jangan kejar!”

Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suheng-nya. “Suheng mengenal ini?”

Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang amat terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami satu tingkat. Apa bila dia memang murid Lam-sin, apakah dia telah mencapai tingkat seperti gurunya?”

Kui Im Tosu menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, dia sendirilah Lam-sin itu!”

“Ehhh…?!” Kui Yang Tosu memandang kepada suheng-nya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?”

“Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya, dan bukankah berita terakhir pernah mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itu pun menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke mana pun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu selalu ikut, dan ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis lihai itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek.”

Sute-nya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biar pun suheng-nya tak pernah keluar, namun suheng-nya mempunyai kecerdasan yang luar biasa.

“Kita harus cepat mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya.

Kui Im Tosu mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai turut bertanggung jawab, sebab bukankah Pangeran Ceng Han Houw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak angkat Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu.”

Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai segera mengurus jenazah Jit Goat Tosu, kemudian mereka mengirim undangan kepada wakil partai-partai persilatan besar serta para tokoh pendekar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biar pun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar.

Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberi tahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan hendak meminta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka tak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!


                  ***************


Sudah terlampau lama kita tak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti sudah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Dia pun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong.

Dan akhirnya dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga sudah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Ada pun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu.

Akan tetapi, sudah berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia belaka, sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya.

Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tak berhasil menemukan adik angkatnya, maka akhirnya Han Tiong pulang ke Lembah Naga dengan hati berat karena kecewa dan berduka, langsung disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya lalu menghibur,

“Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan seorang anak kecil lagi. Apa bila dia hendak mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalangi dia? Biarkanlah saja, kelak bila mana dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.”

“Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau engkau terlalu memperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi makin manja dan kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung ibunya.

“Justru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku pun merasa sangat khawatir. Wataknya masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang.

“Habis, setelah engkau tak berhasil mencarinya, apa yang bisa kau lakukan, Han Tiong?” tanya ayahnya.

“Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasehatinya.”

Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. “Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah sekian lama kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau kini pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu dia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.”

“Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,” sambung ayahnya.

Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum pada saat gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.

“Tiong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Dia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya.

“Hemm, yang lebih dari itu, dia amat mencintaimu Han Tiong,” sambung ayahnya.

“Kau tidak percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. “Dia tak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari dia selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah malam dia pasti bersembahyang di halaman, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat.”

Keharuan mencekam hati Han Tiong, maka dia pun menunduk. Keharuan yang disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini memiliki keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin!

Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja sehingga dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!

“Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong akan bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya.

“Kuharap saja pada waktu itu Sin-te sudah pulang, ibu.”

“Hemm, kenapa begitu?” tanya ayahnya.

“Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat padanya, mungkin dia terancam bahaya dan mala petaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?”

Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin.”

Biar pun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya jadi terhibur, apa lagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12