Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 31
PARA tamu
terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka
semua tak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semuanya takjub
menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling
bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini.
Kini
perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga
tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru yang makin
mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit.
Akhirnya
terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan
tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan peluhnya membasahi
dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang
di depan dada, mulutnya tersenyum.
Dalam jurus
terakhir, biar pun dia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang
pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun dia telah
mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda ini pun maklum bahwa kalau
saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tak mungkin dia akan celaka
dan dirobohkan. Akan tetapi tentu saja Kim Hong tidak menghendaki hal itu
terjadi, dia tidak mau merobohkan paman dari kekasihnya.
“Kim Hong,
jangan kurang ajar engkau!” Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya
tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak
enak sekali.
“Paman,
maafkanlah kelancangan nona ini…” Thian Sin memberi hormat kemudian cepat
menyambung, “biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman.”
Cia Kong
Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan
pedangnya, sejenak menatap tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu
membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya.
Wajah Thian
Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik
neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi.
Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, “Kau mencari gara-gara!”
Kim Hong
tersenyum. “Hi-hik, bukankah aku telah membuka jalan bagimu? Sekarang kau
hadapi sendiri!” Gadis itu pun melayang turun lantas duduk di sudut menjauhi
para tamu lain.
Para tamu
memperhatikan wanita ini, tetapi Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke
panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara
lantang. Apa lagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah
yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam.
Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya
karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang
pendekar yang ditakuti itu.
“Seperti
tadi telah dikatakan oleh temanku Nona Toan Kim Hong, kedatanganku ini adalah
hendak menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak
mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku,
walau pun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tak pernah
sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah serta bertekad hendak
mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang
Tung-hai-sian mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang
lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar dan jangan melibatkan
orang lain. Marilah kita mulai dengan disaksikan oleh banyak tokoh segala
kalangan.”
Tung-hai-sian
yang telah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, kini melangkah maju
dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, “Sebagai
tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah
lama kami dengar namanya. Tidak hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan
tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sangat
terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak
ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan
kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!”
Dengan
gerakan yang amat cepatnya kakek itu mengambil pedang samurainya sehingga
terlihat kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang telah
bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi sungguh
cepat sekali. Akan tetapi…
“Trakk!”
terdengar bunyi nyaring dan pedang samurai itu sudah patah menjadi dua potong
di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata
pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas
panjang dan berkata lagi.
“Orang muda,
entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai
ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya
untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau
engkau masih belum puas juga sehingga hendak menyerang dan hendak membunuhku,
silakan!” Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk
memukul dan membunuhnya. “Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk
Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!”
Menghadapi
sikap seperti itu, Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus
bicara atau bertindak.
“Orang muda,
maafkan jika aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku
berkecimpung di dalam dunia kang-ouw sehingga aku tahu benar bahwa nama besar
hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati
dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda,
yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini? Ingatlah
bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin
menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa
engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan?
Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini sebab sekali waktu akan
bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya.”
“Wah-wah-wah,
sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!”
tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini telah meloncat lagi naik ke atas
panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. “Tua bangka, tidak perlu banyak
cakap. Kalau engkau memang jeri dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah
aku, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat
dirinya menjadi datuk timur?”
“Nona muda,
aku belum mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?” kata
Tung-hai-sian dengan sabar. “Sesudah melihat sepasang pedang dan ilmumu, aku
yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu.
Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?”
“Lam-sin
sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani
menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kau hadapi aku saja yang menantangmu!”
“Bocah
bermulut lancang dan bersikap sombong!” tuba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang
usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah,
kedua matanya berkilat dan jelas bahwa dia marah sekali. Ia memandang kepada
Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu.
“Ceng Thian
Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusia keji yang berjuluk
Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi
engkau malah memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu. Hayo, majulah dan
tandingi aku! Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kesadisanmu!” Nenek
ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan.
“Ahh… tidak…
tidak…!” Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung.
Kini Yap In
Hong menghampiri Kim Hong. “Dan engkau, engkau bocah perempuan tidak tahu malu,
sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh? Mari, mari kau hadapi aku.
Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak dalam menghadapimu.
Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!”
Kim Hong
terkejut melihat nenek yang sangat galak luar biasa ini. Namun diam-diam dia
merasa kagum sekali. Biar pun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh
semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang
hebat. Dan ketika mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah dia bahwa
memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari
ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian
Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka dia
tersenyum mengejek.
“Wah,
galak-galak amat kau, nenek tua!”
“Keparat,
terimalah seranganku!” bentak Yap In Hong.
Wanita ini
sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, dia sudah
menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan
yang membawa angin berdesir dahsyat ini, Kim Hong juga cepat-cepat menangkis
sambil mengerahkan tenaganya.
“Dukk!
Dukkk!”
Dua kali
kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya segera terdorong ke
belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya bahwa nenek
ini merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka dia pun mengeluarkan
bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In
Hong.
“Kim Hong,
jangan melawan! Jangan kurang ajar!” Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong
tidak mau mempedulikannya dan dia memang sudah saling gempur dengan nenek itu,
saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan
seekor domba.
Tiba-tiba
berkesiur angin dan terdengar bentakan, “Tahan!”
Pada saat
itu juga Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya segera
bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke
belakang sampai terhuyung-huyung. Dia terkejut sekali dan melihat bahwa di
depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong
bagaikan mata naga sakti dan tahulah dia bahwa di hadapannya itu berdiri ketua
Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia
ini memang hebat sehingga dia sungguh ragu-ragu apakah dia akan mampu
menandingi ketua Cin-ling-pai ini.
Sementara
itu, Thian Sin sudah melangkah maju dan menghalang di depan Kim Hong lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. “Mohon maaf… mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Saya sungguh tak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian
kini telah berbesan dengan keluarga Cia… maka harap sudi memberi ampun dan
sekalian saya pun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang
dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!”
Sesudah
memberi hormat, dia pun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan
menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali loncatan
saja, kedua orang muda itu pun lenyap dari tempat itu.
“Bukan
main…!” Terdengar Bin Mo To berseru kagum. “Dia betul-betul seorang pendekar
yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu… ahh, benarkah dia murid Lam-sin?”
Pesta
perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan
percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan sedikit
terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi.
Sementara
itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi dengan setengah paksa oleh Thian
Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek.
“Engkau
memang seorang manusia yang tidak berjantung!” Akhirnya Kim Hong berkata marah
dan berhenti, mogok berjalan.
“Ehh? Tidak
berjantung?” Thian Sin memandang heran.
“Ya, tidak
berjantung, tidak mengenal budi!”
“Apa
maksudmu, Kim Hong?”
“Aku
mati-matian membelamu dan membantumu, engkau tak berterima kasih sebaliknya
engkau malah membikin malu kepadaku! Engkau mau saja mengalah, mau saja mundur
teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?”
“Ah, engkau
tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku bisa menghadapi ketua Cin-ling-pai
sebagai lawan, Kim Hong.”
“Huh! Engkau
takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengapa takut
melawan ketua Cin-ling-pai?” Kim Hong mencela.
“Kim Hong,
cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di
dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tidak
mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau demikian aku tentu akan
berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong.
Itu sungguh tidak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang sesudah Tung-hai-sian menjadi
besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi
keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi engkau
melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah
tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa.”
“Huh!” Kim
Hong masih terus merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, kemudian
menciumnya dengan mesra sambil berbisik.
“Betapa pun,
aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu.”
“Hemm, hanya
cukup dengan terima kasih saja?”
“Habis,
engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar harus
bertaruh nyawa sekali pun!” kata Thian Sin sungguh-sungguh.
Thian Sin
mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong langsung
melepaskan diri dan berkata, “Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku walau
pun dengan taruhan nyawa?”
“Tentu saja…
asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau
keluarga Cia…”
“Tidak, akan
tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kau kenal.”
“Siapakah
dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?”
“Dia adalah
musuh ayah… atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau
kosong sampai matinya. Nah, semenjak dulu aku bercita-cita untuk menghadapi
orang itu dan membalas dendam ayah.”
“Kenapa
sampai sekarang belum juga kau lakukan? Bukankah dengan kepandaianmu…”
“Aku takkan
dapat menang melawannya. Ayah sendiri pun dulu sampai jeri karena orang itu
sangat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita
berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau tadi telah berjanji untuk
membantuku.”
“Ceritakanlah,
siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu.”
Kim Hong
lantas bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka
memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggap tidak bijaksana.
Dia dianggap pemberontak sehingga pangeran ini pun melarikan diri dari kota
raja sebagai seorang buronan dan pemberontak.
Pangeran
Toan Su Ong tidak merasa gentar menghadapi pengejaran kaisar, namun ada seorang
yang ditakuti, yaitu seorang suheng-nya yang sesudah gurunya meninggal dunia
boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suheng-nya itu memiliki ilmu silat
yang hanya satu tingkat lebih tinggi dari padanya, dan pada saat Toan Su Ong
telah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka
berdua tentulah mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi
suheng-nya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai
seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini.
Pada waktu
itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya,
dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Karena itu Toan Su
Ong juga tidak berani melawan suheng-nya yang memegang bendera pusaka itu,
seolah-olah suheng-nya itu menjadi gurunya yang telah tiada.
Karena rasa
takutnya terhadap suheng-nya yang membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan
Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu
Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya pada waktu dia tewas di tangan
isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena dia
mendengar penuturan ibunya.
Mendengar
penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimana pun juga,
mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta akibat suheng-nya itulah, atau supek (Uwa
Guru) dari Kim Hong. Maka dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya bila Kim
Hong menaruh dendam lantas hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya
sendiri dahulu tidak berani melawannya.
“Akan
tetapi, apakah supek-mu itu sekarang masih hidup? Siapa namanya dan di mana
tempat tinggalnya?”
“Ketika aku
masih menjadi Lam-sin, pernah hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan sudah
kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa
aku bukanlah tandingannya, maka aku terus menahan sabar sampai aku bertemu
dengan engkau. Kini dia telah mengasingkan diri sesudah menerima pahala dari
kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya lantas
dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang
mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik
engkau mau membantuku atau tidak!” Gadis itu mengepal tinju.
“Tenanglah,
Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana
dia kini berada.”
“Dahulu
ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi
menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia sudah menjadi
seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu
Kun-lun-pai…”
“Ahh! Di
Kun-lun-pai?”
Kim Hong
mengangguk. “Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam goa di daerah
Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai.”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. “Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?”
Gadis itu
menggeleng kepalanya. “Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukan Kun-lun-pai, melainkan
perguruan yang tidak memiliki partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan
suheng-nya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari
mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin
karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia lalu menggabungkan diri
atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?”
Thian Sin
menarik napas panjang dengan hati lapang. “Masih baik kalau dia bukan tokoh
Kun-lun-pai, Kim Hong.”
“Andai kata
dia adalah anggota Kun-lun-pai, engkau menjadi jeri dan takut kemudian tidak
berani membantuku?”
“Bukan jeri
mau pun takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara
para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari
partai persilatan besar dan di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai
engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, maka sungguh sama artinya dengan
bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan
murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku.”
“Kau mau
membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?”
“Tentu saja
aku mau!”
“Kalau perlu
dengan taruhan nyawa?”
Thian Sin
mengangguk dan mendadak Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia
hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang
terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu.
***************
Kun-lun-pai
adalah sebuah di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok.
Bila Siauw-lim-pai semenjak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha,
maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh
beragama To yang berilmu tinggi.
Seperti juga
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai,
bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio,
Kun-lun-pai memiliki banyak murid yang menjadi anggota Agama To atau To-kauw.
Memang dalam hal tata tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas dari
pada Agama Hud-kauw (Buddhis).
Akan tetapi,
mengenai tertib pelajaran ilmu silat, Kun-lun-pai juga sangat ketat menjaga
murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid
Kun-lun-pai ‘turun gunung’ kalau ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi
dan sudah lulus dari ujian. Hal ini selalu dilakukan oleh partai-partai
persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak
akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai.
Agaknya
karena ada peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti
Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi makin terkenal, karena setiap murid dari
kedua partai ini selalu mampu mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak
terjang mereka yang gagah dan juga lihai.
Yang menjadi
pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu,
dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja
selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada
beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka di dalam
mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggota itu.
Kui Im Tosu
merupakan ketuanya dan tosu ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau
mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid, dan kalau pun dia
mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi
saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sute-nya yang bernama Kui
Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama
di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu.
Kedua orang
tosu ini jarang memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat
sepak terjang para murid mereka, yaitu para jagoan atau pendekar-pendekar
Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu
ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat.
Murid-murid
Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil
hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap, dan sekarang ada dua puluh
lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu.
Perumahan bagi para penghuni kuil dan para murid ini dikurung oleh pagar tembok
yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san.
Di dalam
daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil
inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk
mereka, berupa bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada
kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang
penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu dan
mempunyai banyak goa-goa buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para
murid Kun-lun-pai untuk bersemedhi sebagai penggemblengan batin.
Karena
tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para
murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan bisa mencurahkan perhatian
mereka baik terhadap pelajaran silat mau pun pelajaran agama sebagai
penggemblengan mental. Seluruh perguruan silat yang tinggi, juga para guru
silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini,
karena mereka semua tahu benar betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan
belajar ilmu silat tanpa disertai dengan penggemblengan watak dan batin ini.
Ilmu silat
sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke
tangan orang yang tak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah akan disalah
gunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri hingga muncullah
perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat.
Sebaliknya,
bila mana ilmu silat dikuasai oleh orang yang memiliki batin yang kuat, maka
ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi masyarakat,
karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk
membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah.
Walau pun
tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid
Kun-lun-pai tak pernah lengah dalam melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka
tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka juga tahu bahwa
Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, yaitu mereka yang
tergolong sebagai penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid
Kun-lun-pai sebagai musuh.
Pula, selain
untuk menjaga segala kemungkinan buruk, penjagaan itu juga merupakan
pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang
sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru
mereka.
Kui Im Tosu
dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun-pai dengan bijaksana sehingga nama partai
persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan
yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai
dibicarakan dengan rasa hormat dan segan.
Hal ini
dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan
jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka sudah melakukan penyelidikan
dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka telah
bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan
atau kesalah pahaman dengan fihak Kun-lun-pai.
Karena nama
besar Kun-lun-pai itulah maka biar pun pada suatu senja mereka telah tiba di
daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam
karena mereka menganggap hal itu kurang sopan. Juga mereka segera membuang niat
mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu dengan menggunakan
kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup.
Mereka
bersikap sangat berhati-hati, sebab memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah
perbuatan yang amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal
itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka
berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai.
Mereka lalu
bermalam di sebuah goa batu yang banyak terdapat tidak jauh dari asrama
Kun-lun-pai itu. Baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi,
setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam
hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai.
Kuil
Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana orang umum suka datang bersembahyang,
melainkan kuil yang khusus digunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, tidak ada orang luar yang datang bersembahyang. Maka, ketika
Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah
papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang
tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut
mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga.
“Ji-wi (anda
berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami ini?” salah
seorang di antara para murid yang bertugas jaga bertanya tanpa menyembunyikan
kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tanpa mengandung birahi atau
pun sikap kurang ajar.
“Kami mohon
bertemu dengan ketua Kun-lun-pai,” kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara
singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka.
“Maaf,” kata
salah seorang di antara para tosu, “akan tetapi sungguh tidak mudah untuk
menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau
sedang siulian (semedhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebih banyak lagi pekerjaannya.
Kalau tidak ada keperluan yang penting sekali, kami sungguh tidak berani
lancang mengganggu beliau berdua.”
“Totiang,”
kata Kim Hong. “Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh
datang ke tempat sunyi seperti ini? Terus terang saja, yang memiliki
kepentingan adalah aku, sedangkan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah,
sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?”
“Caranya
hanya satu, yaitu lebih dulu nona memperkenalkan nama dan memberi tahukan kepentingan
nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itu pun belum dapat kami
menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya
kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan.”
“Baiklah,
katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan
Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting.”
“Maaf, Nona
Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami
menanyakan, kami bisa menjawab sehingga tidak akan mendapat teguran. Kami tak
ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberi tahukan
kepentingan nona.”
Kim Hong
mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan
pantas, maka terpaksa dia pun harus mengaku terus terang. “Aku minta menghadap
pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diijinkan bertemu
dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai.”
Tosu itu
nampak terkejut. “Siancai…,” katanya lirih penuh keheranan karena sebenarnya
dia sendiri sudah hampir lupa terhadap seorang kakek yang telah bertahun-tahun
bertapa di dalam goa di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang
perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai,
amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali.
“Ada apa,
totiang? Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?”
“Ahh, tidak
apa-apa, nona. Baik, kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi
menanti sebentar di luar.”
Dan pintu
gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin
dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu.
“Tenang dan
sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel.”
“Kalau para
tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa
seijin mereka!” Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan
gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja.
Tak lama
kemudian daun pintu itu terbuka lagi, sekarang terbuka kedua-duanya sehingga
nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini
nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang
tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu
tingkat mereka lebih tinggi dari pada para tosu pertama.
Seorang di
antara mereka, yang memiliki tahi lalat pada dagunya, dengan pandang mata penuh
selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang
katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu.
“Siancai…
Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan
tetapi pimpinan kami sedang amat sibuk dan tentu saja tak mempunyai waktu untuk
melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang memiliki
keperluan istimewa pula.”
“Hmm,
totiang, tak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang
bagaimanakah orang istimewa itu?” Kim Hong bertanya, menahan kemarahannya dan
masih tersenyum, walau pun dia merasa dipandang rendah.
“Melihat
sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw,
maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang
memiliki kepandaian saja yang kiranya cukup berharga untuk berhadapan dengan
pimpinan kami, ada pun tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami,
para murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama
ataukah ke dua.”
Hati Kim
Hong mulai menjadi panas. “Totiang, hal-hal apakah yang harus kulakukan untuk
membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?”
“Maaf nona.
Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan
Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah
ditentukan sejak dulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan.
Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak sanggup melewati kami dan
golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Ada pun golongan
ke dua adalah para tamu yang meski pun mampu melewati kami namun tidak mampu
melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itu pun cukup disambut
dan dilayani oleh para suheng kami itu. Ada pun golongan pertama haruslah dapat
melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah.
Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami.”
“Begitukah?
Kenapa tidak sejak tadi kalian memberi tahu kepadaku? Nah, lekas susunlah
barisanmu, totiang, hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan
Kun-lun-pai!” Kim Hong menantang, lantas dibisikkannya kepada Thian Sin. “Kau
jangan mencampuri yang ini.”
Thian Sin
tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena dia pun
hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa
itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan dia pun tak ingin kalau
Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu.
“Ingat,
jangan lukai orang,” bisiknya dan Kim Hong mengangguk.
Sementara
itu, tiga orang tosu yang baru datang itu sudah mengatur lima orang tosu dan
sembilan orang anak murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk membentuk
barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di
depan, ada pun di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang
pedang. Sedangkan sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu tetap
bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita
itu maju.
“Nona Toan
Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!” tosu yang
dagunya bertahi lalat tiba-tiba berteriak.
Kim Hong
tersenyum lalu dia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba saja sembilan orang
itu bergerak menghadangnya lalu ke mana pun dia melangkah, dia selalu bertemu
dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang.
“Kenapa
menghadang di jalan? Aku mau lewat!” kata Kim Hong dan dia melangkah maju
terus.
Tentu saja
dia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan
dengan menggerakkan sikunya, orang itu pun lantas terjengkang. Melihat ini,
empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di
kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang
kokoh kuat dan terlatih.
Kim Hong
masih tersenyum, tapi kemudian dia tiba-tiba menggerakkan kedua lengannya maka
terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu
terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang
murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri.
Akan tetapi
dengan kecepatan yang luar biasa Kim Hong bergantian menggerakkan kaki kanan
dan kiri dan tahu-tahu empat orang itu pun sudah roboh semua. Mereka tidak ada
yang terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas
terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka
halangi telah lewat!
Kim Hong
segera melangkah ke depan, menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya
mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di
tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid
Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya dia pun masuk
mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja.
Kim Hong
sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah
selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini
adalah murid-murid tingkat tiga yang sudah memiliki dasar ilmu silat
Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang sungguh pun mereka
belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu.
Namun ilmu
toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah berhasil
mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya
dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat
ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Lebih lagi, mereka berlima juga
bergerak dalam barisan Ngo-heng-tin, maka mereka dapat bekerja sama sehingga
seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu!
Kim Hong
yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. “Sungguhkah kalian tidak mau
memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?” tanyanya.
Ditanya
begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya
janggal apa bila lima orang pendeta seperti mereka tak mau mengalah terhadap
seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Kim
Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong
jalan menghadang dan dua tongkat lain mengancam ke atas kepala, ada pun tongkat
ke lima dari belakang siap menyambar kakinya!
“Hebat!”
katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian
hebatnya.
Akan tetapi
dia tidak menghentikan gerakannya dan cepat dia memegang dua tongkat di
depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil
mengerahkan sinkang-nya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat
yang menyambar kaki itu lewat.
“Trakk!
Trakk!”
Dua tongkat
yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas.
Selain
berhasil meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam satu gebrakan
ini Kim Hong sudah mampu mengacaukan mereka. Tetapi dengan gerakan sigap sekali
lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum dia mampu lewat!
Kim Hong
tersenyum. “Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!” katanya memuji lantas tiba-tiba
saja tubuhnya melayang ke atas!
Melihat ini,
lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan mereka juga
berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu
kepalanya digerakkan, maka rambutnya berkelebat laksana ular dan melibat lima
batang tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak
menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat.
Lima orang
tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat
mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan sangat kuatnya oleh rambut wanita
itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka
itu, mereka tak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh
dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas lantas sekali Kim Hong menggerakkan
kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah
sampai setengahnya!
Sebelum lima
orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah cepat berjungkir balik dan
turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu
saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah.
Tiga orang
tosu yang berada di sebelah dalam memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum
karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak memiliki
niat buruk sehingga kini sudah mengalahkan barisan pertama dari sembilan orang
dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali!
Mereka ini
adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi.
Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah
maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya
mewarisi ilmu silat dari seorang sakti.
Kelihaian
serta sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sesungguhnya sudah
mendatangkan rasa simpati di dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka,
agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka.
Akan tetapi mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani
melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di
dagunya itu berkata,
“Ahh,
kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona
masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah
dalam.” Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang
mereka.
Kim Hong
menggerakkan kepalanya untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis
sekali gerakan ini dan dia pun tersenyum. “Ahh, aku tidak percaya bahwa para
tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang
tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya.”
Sesudah
berkata demikian, dara ini segera menerjang ke depan, menerjang di antara dua
batang pedang yang membuat pertahanan serta membentuk dua daun pintu. Akan
tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat sehingga nampaklah gulungan sinar
pedang yang menghadang di depannya. Ada pun pedang ke tiga juga sudah siap
menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya.
Maka tahulah
Kim Hong. Tiga orang tosu yang tingkatnya sudah lebih tinggi ini tidak akan
menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan
membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau dia menerjangnya dan
sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa dia yang salah sendiri
menerjang pedang, dan bukan pedang yang sengaja menyerangnya!
Maka dia pun
tersenyum dan tentu saja dia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini
sungkan dan baik kepadanya. Oleh karena itu, dia hendak memaksa agar tiga orang
tosu itu menunjukkan kepandaiannya dan tidak merasa sungkan-sungkan lagi
padanya, sebab bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng dari
pada tugas mereka? Dia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai
penjaga-penjaga yang kurang ketat.
“Sam-wi
totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!” katanya.
Dan
tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke
dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya
tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang sangat kuat dan
mengeluarkan angin berdesir.
Dua orang
tosu itu terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik
menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis,
akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan
tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis
itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka
bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan!
Kini tahulah
tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh, maka mereka pun
tak bersikap sungkan lagi. Apa bila bersikap sungkan dan mengalah terhadap
lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama
dengan menyerah kalah.
Maka kini
mereka pun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka
betul-betul dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru
sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan
bertubi-tubi.
“Bagus!
Kun-lun Kiam-sut memang sangat hebat!” Kim Hong memuji, bukan hanya untuk
menyenangkan lawan melainkan memang dia dapat merasakan kehebatan ilmu pedang
yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini.
Serangan
mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi
lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu, lima
orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan
mereka pun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi
bersikap lunak sekali terhadap mereka.
Sesudah
mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh
jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya
sehingga ketiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang
terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, dia pun
membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan
setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba dia berseru,
“Maaf sam-wi
totiang, aku mau lewat!”
Tiba-tiba
saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang
menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah
lebih dari cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka!
Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh lantas memandang bengong. Mereka tadi
hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka
kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran
itu!
Diam-diam
ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu
yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di
leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas seketika! Maka mereka
bertiga segera menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata,
“Nona telah
lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk.”
“Terima
kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga,” katanya sambil menanti Thian
Sin yang berjalan menghampirinya dari luar.
“Akan tetapi,
yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri
dan…”
“Bukankah
sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang
kawanku? Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!” kata Kim Hong.
Tosu yang
bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas
panjang, lalu menggerakkan pundaknya. “Siancai… kami sudah kalah, tidak perlu
banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam
akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tak boleh
disamakan dengan kami yang masih bodoh.”
Kim Hong
cepat menjura ke arah mereka dan tersenyum. “Terima kasih, totiang sekalian
sungguh baik sekali!” Dan dia pun melangkah masuk bersama Thian Sin,
meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum hingga tiada
hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu.
Kim Hong
beserta Thian Sin terus melangkah maju, melalui lorong yang panjang. Mereka
berjalan dengan penuh kewasdaan, siap-siap menghadapi segala macam rintangan.
Akan tetapi, lorong itu ternyata tak mengandung jebakan-jebakan atau
rintangan-rintangan apa pun. Sesudah lorong itu habis, sampailah mereka di
sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya
kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka
membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka sangat berwibawa.
Thian Sin
menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendirian menghadapi kedua orang
tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang sudah
menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada
lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya
dua orang inilah.
“Maaf, ji-wi
totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai,” berkata Kim Hong
dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka.
“Siancai…
Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan
pinto berdua menyatakan kagum bukan main!” kata seorang di antara mereka yang
mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam.
Setelah
berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan
memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar
dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong!
Maklumlah
dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lweekeh yang mempunyai tenaga
sakti kuat, maka mukanya selalu kelihatan pucat seperti itu, mungkin disebabkan
latihan yang terlalu terpaksa hingga berakibat seperti itu. Maka dia pun cepat
mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata,
“Ahh,
totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?”
Dari kedua
tangan nona ini pun langsung menyambar tenaga sinkang yang merupakan angin
berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada
hawa dingin menolak tenaganya, maka dia pun membuka kedua kepalan tangannya dan
kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka
mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi.
Melihat
lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan dua lengannya
menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ
mengalir keluar kekuatan sinkang yang sama dahsyatnya! Terjadilah adu sinkang
dan sungguh pun keduanya hanya berdiri tegak dengan kedua lengan dilonjorkan,
kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua
merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sinkang kuat saling
menguji tenaga sinkang mereka!
Untuk beberapa
saat lamanya Kim Hong mengerahkan sinkang-nya, mulai dari sedikit dan setelah
dia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah dia mampu mengimbangi
tenaga lawan. Diam-diam dia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai sudah
mempunyai sinkang sekuat ini!
Akan tetapi,
sesudah mengukur kekuatan lawan, dia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu
tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati.
Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali,
lantas dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar sehingga dia
pun terjerumus ke depan.
Pada saat
itu Kim Hong telah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di
belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris
terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya
sedikit memburu, kemudian dia menjura.
“Terima
kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!”
Tosu ke dua,
yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar
biasa sekali. Di dunia ini sudah bermunculan orang muda yang memiliki
kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak di
dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sinkang-mu, maka
sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian ginkang-mu. Aku akan mencegah
engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan mempergunakan kecepatan
gerakanmu!” Setelah berkata demikian, tosu itu lantas berdiri di atas ujung
jari kakinya, berjingkat sambil mengembangkan kedua lengannya.
Kim Hong
tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang
yang suka mempergunakan kekerasan, walau pun murid-murid mereka di dunia
kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan.
“Baik,
totiang. Nah kau halangilah aku!”
Tiba-tiba
Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itu pun
sudah meloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu
meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga dia
mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itu pun mengeluarkan seruan keras
lantas tubuhnya juga sudah mencelat ke atas untuk menghadang di atas!
Kim Hong
turun kembali, diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti
sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tak nampak lagi
saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanyalah bayangan yang berkelebatan
dan memang tosu yang seorang ini mempunyai gerakan cepat bukan main. Akan
tetapi, kali ini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal
sekali dengan kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya adalah kecepatan
gerakannya.
Demikianlah,
setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan amat cepatnya di mana tosu itu
selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh
tenaga ginkang-nya lalu tubuhnya berpusingan cepat laksana gasing!
Tentu saja
tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk turut
berpusing seperti itu, dia tidak mampu dan tiba-tiba saja tampak bayangan
berkelebat dan tahu-tahu dara itu sudah melesat di sampingnya tanpa dia mampu
mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau
tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya, dia tidak akan mampu
mencegahnya.
“Hebat,
hebat… pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus peluhnya.
Tosu yang
matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah menunjukkan ketinggian ilmu
silat, kekuatan sinkang serta ketinggian ginkang. Nona adalah seorang tamu yang
sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang
muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian
masuk.”
“Totiang
bersikap kurang adil sekali.”
Dua orang
tosu itu saling pandang kemudian yang bermata sipit kembali menghadapi Kim
Hong. “Siancai…! Jika ada kesalahan kami, harap kau tunjukkan, nona. Sikap kami
yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?”
“Setiap
orang memiliki peraturan masing-masing. Kun-lun-pai memiliki peraturan bahwa
siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid
Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan telah memenuhi syarat.
Sebaliknya, sebagai tamu aku juga memiliki peraturan, peraturan kepantasan yang
kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita
muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang laki-laki, aku harus
membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa
temanku, apakah telah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu
wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?”
Wajah kedua
orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena
mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan,
sangatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap
ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang
bukan-bukan jika ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang
wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga secara sendiri
saja!
Akan tetapi,
tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona,
apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?”
“Dia adalah
kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang
sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan
tetapi dia pun lantas bisa menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah
yang paling tepat, karena jika bukan saudara dan bukan tunangan, melakukan
perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula!
Selagi dua
orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu
di sebelah dalam, suara yang sangat halus dan ramah, “Siancai… seorang muda
yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk…!”
Kedua orang
tosu itu nampak lega, lalu menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua
kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!”
Mereka
lantas membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas
penghormatan mereka, kemudian melangkah melewati ambang pintu memasuki sebuah
ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di
sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, dan juga merangkap kamar tamu
karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila
seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira,
memandang kepada mereka.
Thian Sin
dan Kim Hong juga mengangkat muka, lalu memandang kepada tosu tua yang duduk
bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh
tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya
membayangkan keramahan dan kehalusan budi.
Di sudut
ruangan duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih
enam puluh tahun, dan sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah
tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti
pernah mengenal tosu-tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana.
Dan
memanglah, dia pernah melihat tosu itu yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu,
tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar
lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain itu
adalah sute-sute-nya, para pembantunya sehingga tentu saja tingkat kepandaiannya
lebih tinggi dari pada dua orang murid kepala tadi.
Sementara
itu, pada saat dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan
sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan
senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat dia
pun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu.
“Pendekar
Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sute-nya yang juga segera bangkit
ketika mendengar sebutan ini.
“Pendekar
Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah kini engkau juga
mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?”
Ketika Thian
Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, maka
dia pun teringat kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin
menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya
menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak
Kun-lun-pai.”
“Siancai…!”
Tosu itu tampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim
Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Apa bila pinto tidak salah
dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Di dunia ini tidak banyak nama keluarga
Toan, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan
Ong?”
Kim Hong
tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walau pun
tak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan
keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.”
“Ahhh…!”
Tosu itu terkejut. “Dan apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh
Pangeran Toan?”
Nona itu
mengangguk sambil mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe,
pembunuhan terjadi karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya
adalah temanku inilah…”
“Tapi
mengapa…?”
“Sudahlah,
locianpwe. Kedatanganku ini bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang
lain sama sekali.”
Kui Yang
Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah,
sekarang katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan
Kun-lun-pai?”
“Kedatanganku
ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat
Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.”
Tosu itu
mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi
pinto masih ragu-ragu sebab permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit
Goat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang
tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa
urusan nona dengan Jit Goat Tosu?”
“Hemmm, aku
cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, terlebih
dahulu aku menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung
mencarinya sampai bisa kutemukan. Aku tak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan
urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada
sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.”
“Siancai…!
Janganlah Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukan
orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami
ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di
sini.”
Kim Hong
mengerutkan alisnya. Ahh, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya
bahwa selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, supek-nya itu kini
malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini,
agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai!
“Locianpwe,
urusanku dengan dia merupakan urusan pribadi, urusan antara seorang murid
keponakan dengan supek-nya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?”
Mendengar
ini terkejutlah kakek itu. “Siancai… siancai… kiranya nona adalah puteri dari
mendiang Toan Su Ong…?”
“Benar
sekali, locianpwe.”
“Ah, kalau
begitu… tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan
supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu.
“Thian-sute, harap kau antarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena
beliau sedang bertapa, maka antarkan saja hingga di depan goa kemudian
tinggalkan di situ. Biar terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau
tidak.”
“Baik,
suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.”
Kim Hong dan
juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tak berani mencegah ketika
melihat Thian Sin juga ikut, biar pun hatinya merasa tidak enak dengan
munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Karena itu, setelah sute-nya pergi
mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri segera
bergegas masuk ke dalam untuk menemui suheng-nya, yaitu Kui Im Tosu untuk
membicarakan urusan itu.
Kiranya daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan kepalang. Melalui sebuah pintu
rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau
puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya
sampailah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan goa-goa besar. Tosu itu
membawa mereka ke sebuah goa besar yang gelap, berhenti di depan goa sambil
berkata,
“Nah, di
sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Sesudah berkata demikian, tosu itu
langsung membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu
di depan goa.
Thian Sin
dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di
luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai.
Tempat itu amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak
diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tak mungkin mereka akan dapat
menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali
goa-goa besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut
raksasa, jumlahnya ada puluhan. Mereka pasti akan memerlukan banyak waktu untuk
menyelidikinya satu demi satu!
Tidak
kelihatan seorang pun manusia lainnya, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan
di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di
puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai.
Thian Sin
memberi isyarat kepada Kim Hong agar membuka suara. Dara itu mengangguk,
kemudian dia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khikang sehingga
getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar goa
di depannya.
“Jit Goat
Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!”
Dari dalam
goa itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan
seolah-olah terdapat suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung
suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lainnya. Beberapa
kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tadi, namun sia-sia. Tidak ada suara
menjawabnya.
“Sialan
tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku telah ditipu, agaknya tempat ini kosong!” gerutu
Kim Hong.
Thian Sin
menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.”
“Kalau
begitu orangnya berada di dalam, tetapi sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya
kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!”
Akan tetapi
Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan
bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supek-nya itu memiliki ilmu kepandaian
yang bahkan lebih lihai dari pada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa
mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang
hendak memasuki goa gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya
sekali.
“Tentu dia
tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin.
Kim Hong
langsung teringat. Betul juga, pikirnya. Supek-nya itu belum pernah melihatnya,
belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya apa
bila hanya memperkenalkan nama. Maka dia lalu berteriak kembali, ditujukan ke
dalam goa, dengan mengerahkan khikang-nya.
“Supek Jit
Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, ini aku Toan Kim Hong puteri
tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!”
Baru saja
gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam goa itu,
suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai… siancai… siancai…!”
Dan tak lama
kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam goa itu. Seorang kakek yang sangat
kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak
pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat
lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong segera merasa kecewa
sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati
penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati,
bahkan tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh!
Kakek itu
berdiri agak bongkok di depan goa, sepasang matanya yang lemah itu
berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak
dilihatnya. Tangan kirinya digunakan melindungi matanya dari cahaya matahari
sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk.
Bendera itu
berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya
pinggiran bendera itu sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang
sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan
sebatang anak panah terbuat dari perak.
“Mana dia
puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar.
Kim Hong
hampir tidak mampu menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya
ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa dia
bertanya,
“Mungkinkah
engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?”
Kakek itu
memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar… matamu seperti
mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi… heh-heh,
anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supek-mu Gouw Gwat Leng,
tetapi ayahmu tentu pernah bercerita mengenai bendera pusaka kita ini,
peninggalan dari kakek gurumu…”
Melihat
bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang
selalu membuat ayahnya tunduk terhadap suheng-nya ini.
“Bendera
sialan!” bentaknya.
Dan
tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebat meloncat ke arah kakek itu sambil
tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek
yang kelihatan lemah itu sudah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan
tangan Kim Hong yang amat cepat tadi.
“Siancai…
tidak seorang pun di dunia ini yang boleh merampas bendera pusaka ini dari
tanganku…” Kakek itu terkekeh.
Tentu saja
Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali dia menubruk, kini menggunakan kedua
tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat
dan tidak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini
pandangannya terhadap kakek itu sudah berubah. Biar pun nampaknya lemah,
kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi.
“Aku tetap akan
merampas bendera itu!” bentaknya.
Kini dia
kembali menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah
lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan
tangan kanannya mencengkeram hendak merampas bendera! Hebat bukan main jurus
serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat
menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang di samping dilakukan amat
cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai
senjata itu sukar diduga.
“Plak-plak-plakkk!”
Tubuh Kim
Hong terbuyung ke belakang! Ternyata kakek yang kelihatan lemah itu sudah
berhasil menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga
membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung-huyung! Melihat ini,
Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan
lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.
“Hemm,
kiranya engkau pun pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya
berwibawa, biar pun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin
karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara.
Kim Hong
sendiri terkejut dan maklum bahwa bendera itulah yang membuat dia sampai kena
terdorong. Saat Si Kakek tadi menangkis, bendera itu berkelebat di depan
matanya kemudian membuat dia lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu
bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi bisa juga merupakan sebuah
senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walau pun belum dipergunakan sepenuhnya
oleh kakek itu.
“Bocah she
Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang
seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan
tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa
perlunya engkau datang untuk menemuiku?”
“Gouw Gwat
Leng, lupakah engkau betapa ayahku harus hidup terlunta-lunta dan menjadi
buronan, juga selama hidupnya harus bersembunyi sampai mati, hanya karena
engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak
berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Boleh jadi ayah
terlalu bodoh untuk merasa jeri menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu,
akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian serta
menebus kesengsaraan ayah kepadamu, juga menghancurkan bendera terkutuk itu!”
“Siancai…
akhirnya datang juga saat yang kunanti-nantikan selama ini! Anak baik, engkau
hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku
karena dia sangat menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau
hendak melawanku? Engkau benar-benar telah murtad terhadap bendera pusaka nenek
moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan
supek-mu!”
“Tidak usah
banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibuku!” Setelah berkata
demikian, Toan Kim Hong segera mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang
dengan sengit.
“Trang-tranggg…!”
Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.
“Aihhh, aku
sudah mendengar bahwa dalam persembunyiannya ayah ibumu menciptakan Hok-mo
Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?”
Akan tetapi
Kim Hong sudah tak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan
jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, sungguh pun kelihatan
sudah tua dan lemah, tapi ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan
seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin
sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai
sasaran!
Dan
benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, tapi bukan sembarangan berkibar
karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya
yang tumpul menjadi alat penotok yang amat ampuh, ada pun mata anak panah yang
menjadi gagang bendera itu pun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!
Walau pun
Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat
bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya
sehingga dengan mudahnya kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong
tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya
memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri.
“Jit Goat
Tosu, sungguh tidak patut kalau yang tua menghina yang muda, dan aku sudah
menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah
meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampaklah sinar
perak menyambar ganas.
“Tranggggg…!”
Tangkisan
anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu segera membuat
Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur.
Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.
“Toan Kim
Hong! Siapakah pemuda yang hendak membantumu ini?!” Pertanyaan ini lebih
menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!
Kim Hong
merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka dia pun
menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!”
Dengan
mengakui pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti
bahwa yang turut mengeroyok kakek itu ‘bukan orang luar’. Dan memang
pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha,
pantas…! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan
dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!”
Setelah
berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus
gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang
muda itu kaget sekaligus juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat
bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang
amat berbahaya. Tentu saja keduanya langsung menggerakkan pedang untuk menangkis
dan balas menyerang.
Kim Hong
telah memainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu
berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi
angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lalu lenyap
terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam
mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus.
Thian Sin
juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah
menjadi gulungan sinar perak yang mengimbangi serta saling membantu dengan dua
gulungan sinar hitam itu, juga tangan kirinya secara diam-diam melancarkan
pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dulu dipelajarinya dari pendekar sakti Yap
Kun Liong di puncak Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih
ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang
muda ini, berkali-kali kakek itu harus mengeluarkan seruan kagum dan kaget.
Akan tetapi
ilmu kepandaian kakek tua renta itu memang hebat sekali. Dia telah memiliki
kematangan yang amat sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat
latihan semedhi yang tidak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam
yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya
memang terlihat lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya
bangkit semua dan sudah terhimpun sinkang yang mencapai puncaknya.
Gerakan anak
panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke mana pun senjata ini
bergerak, tentu selalu sanggup menahan senjata lawan dan begitu terbentur,
langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak
kalah lihainya dari pada serangan lawan.
Biar pun
dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan seolah-olah
dia sudah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh kedua orang
muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya
dalam ilmu silat membuat dia bisa melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang
muda itu sama sekali tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan
main.
“Bagus
sekali ilmu pedang kalian, kini mari kita berlatih dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya
dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja.
Melihat ini,
Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong
juga langsung menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa
heran sendiri. Dia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi mengapa
sekarang dia menghadapi kakek itu seperti supek-nya sendiri mengajaknya
berlatih saja?
Sesungguhnya
bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa
malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan
amat lemah ini dia harus melakukan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga dia
merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini.
Oleh karena
itu, melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin dia ada muka untuk menyerang
kakek yang bertangan kosong itu dengan sepasang pedangnya? Hal itu tentu akan
memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga
menyimpan senjata mereka.
Bagi Thian
Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebenarnya, kalau dibuat
perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong dari pada mempergunakan
senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang
digunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari
pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi I-beng dari ayah angkatnya, Pendekar
Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek
Sin-kun, San-in Kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Malah
ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga merupakan ilmu silat
tangan kosong yang mengandalkan kaki dan tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong
Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, saat ditantang untuk bertanding dengan
tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula
oleh Kim Hong.
Terjadilah
pertandingan yang hebat luar biasa, malah lebih menegangkan dari pada ketika
mereka mempergunakan senjata tadi. Jika tadi mereka bertanding dalam jarak agak
jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang,
menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang amat mengagumkan. Kadang-kadang
gerakan mereka nampak begitu otomatis seakan-akan tiga tubuh itu sudah menjadi
satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak
saja.
Dan Thian
Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikeluarkannya, akan
tetapi dia dan Kim Hong tak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut
panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja
ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat
membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata,
“Senjata
khas wanita, tapi curang!”
Karena
merasa penasaran, sesudah lewat hampir seratus jurus belum juga dia sanggup
mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin
miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.
“Plakkk!”
“Uuhhhhhh…
apa ini…? Ahhh, Thi-khi I-beng…?!” Kakek itu berseru dan bukan menarik
tenaganya malah mengerahkan tenaga lebih besar sehingga Thian Sin menjadi
gelagapan bagaikan orang yang dimasukkan ke dalam air.
Ilmu itu
adalah ilmu menyedot tenaga sinkang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya
dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak mampu menampungnya dan otomatis
Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu lalu menghentikan sedotannya!
Kakek itu meloncat ke belakang.
“Orang muda,
apakah engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Walau pun tidak pernah
mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mukjijat dari
Cin-ling-pai itu.
“Masih ada
hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa amat kecewa karena
ternyata Thi-khi I-beng juga tak ada gunanya terhadap kakek yang amat hebat
ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!”
Dan Thian
Sin langsung berjungkir balik, kemudian, secara tiba-tiba dia menghantam dari
bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat
menyambar dan kakek itu agaknya dapat mengenali ilmu mukjijat maka sambil
berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.
“Desss…!”
Tubuh kakek
itu terlempar hingga nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus
berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga tadi membuat seluruh
tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak.
“Ilmu
setan…!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia
berkata dengan nyaring, “Tahan!”
“Toan Kim
Hong, engkau tidak mau menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat
bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak asli
lagi. Dan biar pun salahnya ayahmu sendiri, namun memang akulah yang membuat
hidup ayahmu menderita. Aku merasa menyesal sekali dan sudah menebusnya dengan
pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau badan tua tak berguna ini belum
mati. Nah, sekarang saksikanlah. Supek-mu menebus dosa sambil membawa bendera
pusaka bersama, maka lunaslah sudah!”
Tiba-tiba
kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu, lantas sekali
menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut
benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu
roboh miring, tidak bergerak lagi.
Thian Sin
dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri
bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu
tewas barulah di dalam hati mereka terasa menyesal.
Kakek ini
memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak
menghadapi mereka sebagai musuh melainkan hanya sebagai lawan berlatih belaka.
Baru sekarang keduanya mengerti bahwa apa bila kakek itu menghendaki, sejak
tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu
telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!
Mereka tidak
tahu bahwa sebenarnya Gouw Gwat Leng sangat mencinta sute-nya, yaitu Toan Su
Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Tapi
sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai seorang pemberontak
karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar.
Sebenarnya,
kalau kaisar menghendaki, dengan mengerahkan bala tentara, apa sukarnya
menangkap dan membunuh seorang manusia saja, bagaimana pun lihainya dia itu?
Gouw Gwat Leng melihat hal ini dan dia pun menghadap kaisar dan menyatakan
bahwa dialah yang akan mengejar sute-nya dan menghalangi sute-nya supaya tidak
memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran.
Toan Su Ong
tidak berani melawan suheng-nya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru
mereka, maka dia pun kemudian pergi menyembunyikan diri hingga matinya di Pulau
Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang
inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sute-nya tidak sampai
dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar.
Namun dia
pun merasa menyesal dan berdosa karena biar pun dia telah menyelamatkan nyawa
sute-nya, sebaliknya ia pun telah membuat sute-nya hidup merana dan menderita,
harus selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa semenjak
muda dia terpaksa harus berpisah dari sute-nya yang tercinta, yang membuat Gouw
Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sute-nya itu.
Dia lalu
pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat
baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To
kepadanya. Dia pun sempat menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para
pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia lalu dianggap sebagai saudara tua dan
diperbolehkan untuk bertapa di dalam goa-goa di Kun-lun-san.
Ketika
puteri sute-nya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang
sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sute-nya itu
sebenarnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera
pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan
menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah
gadis itu.
Maka, untuk
menebus penyesalannya, kakek yang sangat renta itu akhirnya menyimpan bendera pusaka
ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di hadapan Kim Hong tanpa rasa penyesalan
karena dia pun sudah puas melihat puteri sute-nya itu menjadi seorang gadis
yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan
seorang pemuda Cin-ling-pai pula.
Ketika
mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan
cepat memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu
tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi
kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu.
Mereka pun
dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang
mereka benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua
Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka mulai dari
tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Sekarang semua penghuni asrama
Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya.
“Siancai,
siancai, siancai… Saudara tua Jit Goat Tosu sudah tewas dalam keadaan yang
menyedihkan sekali…” Kui Im Tosu berkata sambil memandang ke arah tubuh kurus
yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin
muram.
“Puluhan
tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apa pun, tidak akan mau
membunuh seekor semut pun, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana
Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui
Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu.
“Aku yang
datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim
Hong dengan lantang.
“Jit Goat
Tosu membunuh diri, jika tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui
Yang Tosu. “Akan tetapi betapa pun juga, kalian yang sudah mendesaknya sehingga
dia membunuh diri.”
“Locianpwe,
tadi sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukanlah untuk berurusan dengan
Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung
supek-ku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta supaya Kun-lun-pai
jangan turut mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Siancai…
tidak demikian mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai
bicara dari pada suheng-nya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat
semua. Engkau sebagai murid keponakan sudah berani melawan supek-mu, berarti
engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan
jahat sekali. Dan kalian berdua sudah menyebabkan kematian seorang saudara
angkat kami. Tidak mungkin kami dapat mendiamkan saja kejahatan dilakukan orang
di wilayah Kun-lun-pai.”
“Habis,
sekarang kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan
mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah
siapa pun juga di dunia ini.
“Siancai!”
Kui Im Tosu berkata. “Kami terpaksa harus menangkap kalian untuk dimintakan
pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!”
“Singgg…!”
Kim Hong
sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semut pun bila diinjak pasti
balas menggigit, seekor ayam pun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan
seekor harimau pun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apa lagi manusia! Aku Toan
Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang
mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut
terhadap Kun-lun-pai!”
“Tangkap
mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya.
Dia tahu
bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiri pun bersama sang ketua
sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap. Sebagai orang yang
berkedudukan tinggi mereka tidak mau tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum
bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka,
bukan membunuh.
Melihat para
tosu dan para murid Kun-lun-pai telah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis
itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!”
Dalam kemarahannya,
Kim Hong masih dapat diingatkan maka dia pun cepat menyimpan kembali sepasang
pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang
kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu.
Sesudah para
murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan
mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan untuk
merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid
yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua terpaksa
berlompatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih
kuat.
Para anak
buah Kun-lun-pai itu, mulai dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang
tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali. Mereka bagaikan sekumpulan
semut yang tengah mengeroyok dua ekor jangkerik yang besar dan setiap gerakan
jangkerik-jangkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke
sana-sini.
“Mundur!”
Mendadak terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang.
Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua
orang muda itu.
Thian Sin
kaget bukan main. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan
dengan Kun-lun-pai tidak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri
tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat
itu dengan ketatnya.
“Ji-wi
locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama
sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, kenapa
ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?”
“Hemm,
kalian sudah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami?
Kalau benar kalian mempunyai niat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan
pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu.
“Kami
bukanlah penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau kami terpaksa melawan Kun-lun-pai,
adalah karena kami didesak!”
“Hemm,
kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im
Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong.
Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin.
Kui Yang
Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan tangan Kim Hong dan
dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak
dikiranya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu mempunyai tenaga
sinkang yang demikian dahsyatnya.
Sebaliknya,
setelah pertemuan tenaga itu Kim Hong pun maklum bahwa dia menghadapi lawan
yang berat. Maka dia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua
pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya.
Kui Yang
Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia amat terkejut melihat
sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan
darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara
berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu.
Kui Yang Tosu kemudian balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan
dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat serunya, dan
ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan
wakil ketua Kun-lun-pai itu.
Sementara
itu, pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan
amat seru dan hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin
mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa kerepotan
sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seakan-akan dilindungi
oleh hawa murni yang sukar diterobos, kuat bukan main sehingga semua
serangannya, bila tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan, pasti membentur
tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, Thian Sin yang tidak
ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu secara terpaksa sekali mengeluarkan
ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah
dia menerjang ke atas dengan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun.
“Hiaaaattt…!”
Dia memekik dengan nyaring sekali. Seketika bersamaan dengan pekik itu,
tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat.
“Bresss…!”
Ketua
Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar
sampai empat meter dan walau pun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini
pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan kepalang
menghadapi serangan yang amat luar biasa itu.
“Kim Hong, lari…!”
teriak Thian Sin.
Kim Hong
maklum bahwa sangat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa
merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dia kehendaki. Maka
tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah
delapan jalan darah di tubuh lawan bagian depan.
“Siancai…!”
Kui Yang Tosu berseru kaget.
Dia
cepat-cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu
runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Menggunakan kesempatan
ini, Kim Hong meloncat jauh dan cepat melarikan diri bersama Thian Sin. Para
murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan
tenang,
“Jangan
kejar!”
Kui Yang
Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suheng-nya. “Suheng mengenal ini?”
Kui Im Tosu
memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut
itu, menjadi ilmu yang amat terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang
berjuluk Lam-sin?”
Kui Yang
Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri dari
mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan
tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk
lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan
main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami satu
tingkat. Apa bila dia memang murid Lam-sin, apakah dia telah mencapai tingkat
seperti gurunya?”
Kui Im Tosu
menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, dia
sendirilah Lam-sin itu!”
“Ehhh…?!”
Kui Yang Tosu memandang kepada suheng-nya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah
menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?”
“Seorang
nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja
yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya, dan bukankah berita terakhir
pernah mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itu pun
menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke mana pun Pendekar
Sadis pergi, gadis yang lihai itu selalu ikut, dan ikut pula menyerbu
See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa
gadis lihai itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat
penyamaran sebagai seorang nenek.”
Sute-nya
mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biar
pun suheng-nya tak pernah keluar, namun suheng-nya mempunyai kecerdasan yang
luar biasa.
“Kita harus
cepat mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin
sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya.
Kui Im Tosu
mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak
Cin-ling-pai turut bertanggung jawab, sebab bukankah Pangeran Ceng Han Houw itu
masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia
adalah anak angkat Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan
jawab para pendekar itu.”
Demikianlah,
orang-orang Kun-lun-pai segera mengurus jenazah Jit Goat Tosu, kemudian mereka
mengirim undangan kepada wakil partai-partai persilatan besar serta para tokoh
pendekar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biar pun termasuk
pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan
kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar.
Di samping
itu, juga Kun-lun-pai perlu memberi tahukan tentang pembunuhan yang terjadi di
Kun-lun-pai dan hendak meminta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada
hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka tak lupa dia mengundang Cin-ling-pai,
juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!
***************
Sudah
terlampau lama kita tak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar
Lembah Naga itu. Seperti sudah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali
ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan
Lembah Naga. Dia pun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari
dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong.
Dan akhirnya
dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin
karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga sudah menjadi
muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali
tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah
Naga. Ada pun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat
yang amat disayangnya itu.
Akan tetapi,
sudah berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia belaka, sejak adik
angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak
mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun
bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan
Himalaya.
Setelah
merantau hampir setahun lamanya dan tak berhasil menemukan adik angkatnya, maka
akhirnya Han Tiong pulang ke Lembah Naga dengan hati berat karena kecewa dan
berduka, langsung disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga
tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya lalu
menghibur,
“Han Tiong,
sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan
seorang anak kecil lagi. Apa bila dia hendak mengambil jalannya sendiri,
bagaimana kita dapat menghalangi dia? Biarkanlah saja, kelak bila mana dia
teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.”
“Ucapan
ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau
engkau terlalu memperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi makin
manja dan kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung
ibunya.
“Justru
karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku pun merasa
sangat khawatir. Wataknya masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir
secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang.
“Habis,
setelah engkau tak berhasil mencarinya, apa yang bisa kau lakukan, Han Tiong?”
tanya ayahnya.
“Kalau saja
aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu,
ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan
kitalah maka ada yang mengamati dan menasehatinya.”
Ibunya
tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya.
“Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah sekian
lama kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau kini
pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan perkabungan Lian Hong juga sudah hampir
habis dan begitu dia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.”
“Kata-kata
ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama
lagi,” sambung ayahnya.
Mendengar
betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya
yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang.
Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum pada saat gadis itu
tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.
“Tiong-ji,
engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Dia anak yang baik sekali,
manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya.
“Hemm, yang
lebih dari itu, dia amat mencintaimu Han Tiong,” sambung ayahnya.
“Kau tidak
percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. “Dia
tak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari dia
selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah
malam dia pasti bersembahyang di halaman, bersembahyang untukmu, Han Tiong!
Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan
selamat.”
Keharuan
mencekam hati Han Tiong, maka dia pun menunduk. Keharuan yang disertai
kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia
selama ini memiliki keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian
Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin!
Kini baru
terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja sehingga dia lupa
bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri.
Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!
“Menurut
perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong akan bebas dari perkabungan dan
kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya.
“Kuharap
saja pada waktu itu Sin-te sudah pulang, ibu.”
“Hemm,
kenapa begitu?” tanya ayahnya.
“Ayah, kalau
tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak
lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat padanya, mungkin dia
terancam bahaya dan mala petaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?”
Ayah ibunya
saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja.
Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi
menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang
Thian Sin.”
Biar pun
harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu.
Hatinya jadi terhibur, apa lagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan
setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment