Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 12
SEBAIKNYA
kita mengikuti dulu perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami
isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu
Cia Kong Liang. Ada pun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari
ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain.
Sebagai
putera tunggal, tentu saja semenjak kecil Cia Kong Liang digembleng oleh ayah
bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia
digembleng dengan ilmu-ilmu khas dari Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun,
San-in Kun-hoat dan lain sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia juga
menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan gabungan dari
Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan
penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun).
Akan tetapi,
sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak mau menggunakan pasir
beracun, akan tetapi kepandaian itu bisa dilakukan dengan segala macam pasir
atau tanah. Pendek kata, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda
ini dan digunakannya sebagai senjata rahasia, maka merupakan serangan yang amat
berbahaya bagi lawan.
Cia Kong
Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah, akan tetapi juga
tak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya
yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah dia memandang rendah
kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian!
Memang
sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi
hati. Dia tidak sombong, tetapi agak memandang rendah kepada orang lain. Dia
berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua
Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, karena itu tidaklah mengherankan kalau
ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini,
sungguh pun usianya sudah dua puluh dua tahun.
Kong Liang
melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di
sepanjang perjalanannya. Dia sedang mewakili ayah bundanya untuk dua urusan.
Pertama adalah menengok pasangan suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia
Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan
kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai
untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan dari pantai timur,
yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua
Cin-ling-pai.
Masih banyak
waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih lebih dari satu bulan lagi.
Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah
Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan
bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walau pun memang benar bibi tuanya
nampak lesu dan tidak bersemangat.
Yap Kun
Liong yang dahulu amat terkenal sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi,
kini telah menjadi seorang kakek yang usianya telah tujuh puluh enam tahun.
Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus
itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan.
Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itu pun masih nampak
sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak
bersemangat, lesu bagaikan orang yang tidak sehat.
Yap Kun
Liong dan isterinya merasa girang sekali melihat kedatangan keponakan mereka
itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang
berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya
sangat tenang akan tetapi alisnya berkerut,
“Kong Liang,
tentu saja kami merasa sangat gembira melihat engkau datang berkunjung dan
menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, selain kegembiraan
kami, juga hati kami merasa risau karena engkau datang sebelum urusan kami
selesai. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini.”
Pemuda itu
menatap wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang
sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati
mereka terutama sekali hati bibinya.
“Paman,
urusan apakah yang membuat risau hati paman dan bibi berdua?” Dia merasa heran
bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah
perkasa ini, apa lagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang
demikian sunyi. Seharusnya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan
yang bisa menimbulkan kesukaran.
Yap Kun
Liong menarik napas panjang. “Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah
dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidak tenteraman juga.”
“Kong Liang,
setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat. Aku telah siap untuk
menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini sudah menjadi
lemah, dia tidak setuju sehingga timbullah pertentangan di antara kami,”
tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya.
Kong Liang
telah mendengar bahwa bibinya ini mempunyai watak yang keras pada waktu
mudanya, dan agaknya, biar pun sekarang sudah tua, tapi kekerasan dalam
menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya telah
menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.
“Paman dan
bibi, apakah yang sudah terjadi? Siapakah musuh yang berani mengancam ji-wi
(anda berdua)?”
Yap Kun
Liong memandang kepada isterinya, kemudian menoleh ke arah keponakannya lantas
berkata, “Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan
tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini,
biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat
ini, kau bacalah sendiri.”
Cia Kong
Liang menerima gulungan surat itu, segera membukanya dengan sikap tenang, sikap
yang mengagumkan paman serta bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya.
Kemudian dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang
matanya bersinar-sinar saat dia membaca surat itu, dan wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat
mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti.
Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia lantas membaca sekali lagi.
Pada hari ke
tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong beserta
Cia Giok Keng akan mati berikut semua makhluk bernyawa yang berada pada kalian,
sebagai pembayar hutang!
Tertanda,
KETURUNAN PADANG BANGKAI.
“Paman dan
bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan
surat seperti ini?” Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan
tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat.
Yap Kun
Liong menghela napas. “Siancai (damai)… sungguh tak kusangka bahwa setua ini
kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi oleh orang. Kami sendiri tidak tahu
siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudahlah
diduga bahwa mereka ini tentu keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi
(Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular),
suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat
Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, dalam suatu pertandingan
pada waktu kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan
liar Sabutai, kami sudah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi ada
pun bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali
tidak menyangka bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor
sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja
dimusuhi orang.” Kembali kakek itu menarik napas panjang.
“Aku tidak
takut!” tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. “Biar pun sudah tua begini, aku
tidak akan undur selangkah pun dalam menghadapi musuh!”
“Aihh…
sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah?
Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita,” suaminya
menghibur.
“Paman dan
bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja urusan ini kepada saya. Tiga hari
berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Bila mana musuh
datang, biarlah saya yang akan menghadapi mereka!” kata Kong Liang dengan sikap
gagah.
“Engkau
tidak perlu ikut campur, anakku.”
“Tapi,
paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau
sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah
hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman
dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya.”
Yap Kun
Liong menarik napas panjang. “Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus
melawan dan bibimu memang benar, biar pun kami berdua sudah tua, akan tetapi
karena selama ini kami hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat
melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal
kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan
sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang.”
“Tetapi itu
sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu
menentang kejahatan!”
Yap Kun
Liong menggeleng kepalanya. “Semenjak ribuan tahun kita dibuai oleh khayalan
seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Dulu sudah banyak
sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan
tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh
orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi
oleh kekerasan.”
“Tapi,
kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!”
“Memang
demikian pendapat kalangan pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah
sebenarnya? Apakah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan
dapat berhasil? Kurasa tak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka
membasminya dengan kekerasan hanyalah berarti melakukan kejahatan dalam bentuk
lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat lantas kita
menentangnya dan membunuhnya! Berarti kita pun menjadi pembunuh yang tidak ada
bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!”
“Tapi,
paman!” Kong Liang membantah. “Walau pun keduanya itu sama membunuhnya, akan
tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena dia hendak berbuat
jahat demi keuntungan dirinya sendiri, namun seorang pendekar membunuh justru
untuk menolong orang lain terbebas dari pada kejahatan selanjutnya!”
Yap Kun
Liong tersenyum. “Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar. Dulu pun
kami berdua beranggapan demikian, bahkan bibimu ini masih sulit melihat
kejahatan walau pun anggapan seperti itu tidak benar. Apa pun alasannya,
melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan
juga pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan
dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api
lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula.”
“Saya masih
tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang selalu
menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram
dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar supaya rakyat bisa hidup dengan
tenang dan makmur?”
“Kejahatan
memang dapat ditundukkan dengan kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya
bersifat sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang
menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dulu berhasil menundukkan
majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh
mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan
kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan
sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, lalu datang hendak
menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lainnya! Kebencian
lain. Perdamaian tak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu
hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam sudah bernyala
di dalam hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut
balas. Damai semacam itu hanya untuk sementara saja.”
Baru
sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung
sekali sehingga akhirnya dia bertanya. “Habis, kalau begitu, apakah semua orang
jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang
mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia
ini, paman?”
Yap Kun
Liong tersenyum. “Jangan bertanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong
Liang. Agaknya hanya penyadaran lewat batin, agaknya hanya cinta kasih saja
yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, jika menggunakan pedang,
melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari
permukaan bumi ini.”
Kong Liang
tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak
setuju sama sekali. “Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi
apa bila mereka itu datang dan hendak membunuh paman serta bibi berdua?”
Akhirnya dia pun bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.
“Engkau
jangan sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarlah aku seorang menghadapi
mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan
supaya mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada
gunanya ini.”
“Hemmm, kaum
sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu
berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?” Cia Giok Keng
bertanya penasaran.
“Tenanglah,
biarlah aku menghadapi mereka. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti.
Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang
baik.”
Karena Kun
Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan
damai, akhirnya isterinya pun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan
hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan
gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan
keponakannya itu.
Memang
sesungguhnyalah, dia merasa girang sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang,
bukan hanya girang karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya
itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu
adalah seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang
menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong
Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia sangat percaya akan
kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri,
sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.
Malam itu
Yap Kun Liong bisa tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah
melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok
Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan
datangnya para musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah
orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Apa bila mereka sudah berani
datang secara itu, yaitu dengan mengirim peringatan dahulu, tentu mereka itu
sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri.
Nenek ini
tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, pada malam itu beberapa kali
bangun kemudian keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekeliling pondok
sunyi itu. Kemudian, sesudah lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi
melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut.
Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus oleh kabut.
Hawa amat dingin dan suasana demikian sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya
malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga
masih jauh tenggelam di balik bukit di sebelah timur, akan tetapi cahayanya
telah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan
bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan
puncak.
“Kukuruyuuuuukkk…!”
Mendadak
keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan
merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk
pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek
suaranya, akan tetapi yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan
penghuni pondok itu.
Dan nun jauh
di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam
bersahut-sahutan, sebagai tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri
untuk memberi tempat kepada matahari.
“Kukuru…
kokkk!” Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.
Cia Kong
Liang membuka mata. Dia masih duduk bersemedhi. Dia tadi dapat mendengar dengan
jelas suara keruyuk yang terputus di tengah-tengah, mengerti bahwa hal itu
tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya.
Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali.
Tiba-tiba
saja terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal.
Akan tetapi, mendadak gonggong itu pun terhenti.
“Kokk…!”
tiba-tiba terdengar bunyi lantas suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang
menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan
anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi
sesuatu yang sangat menyeramkan.
Dengan
hati-hati sekali Cia Kong Liang segera turun dari atas pembaringan, menyambar
pedang Hong-cu-kiam dan memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada
pinggangnya, kemudian memakai sepatunya lantas dengan hati-hati sekali dia
membuka daun jendela. Dia tak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan
hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar sambil berjingkat-jingkat
menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di
samping pondok.
Cuaca masih
remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda
hitam berserakan di pelataran belakang. Pada saat dia memandang dengan penuh
perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah
bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing!
Dia mengepal
tinju. Musuh-musuh pamannya sudah datang, dan sesuai dengan isi surat, telah
mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan. Mula-mula mereka membunuh semua
ayam-ayam di dalam kandang, kemudian membunuh anjing yang agaknya bisa mencium
kedatangan mereka tadi.
Kong Liang
merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas bukan main. Sungguh kurang
ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan
menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan
kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah
pekarangan itu dengan tegak.
“Yap Kun
Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!”
terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.
“Bagus
sekali, orang she Yap sudah siap menerima kematiannya!” terdengar suara wanita
yang amat nyaring, kemudian berturut-turut dari tiga penjuru nampak
bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat
orang!
Orang
pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih
dari sembilan belas tahun. Pakaiannya terbuat dari sutera yang halus tetapi
potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat.
Rambutnya digelung dan terhias dengan hiasan emas permata, di punggungnya
tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias
ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas.
Seorang dara
yang manis sekali dan dia pun sama sekali tak nampak seperti orang jahat karena
selain manis dia pun berwajah ramah penuh senyum, sungguh pun pada saat itu dia
memandang pada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan
kebencian.
Sedangkan
tiga orang lainnya adalah laki-laki yang berusia kurang lebih lima puluh tahun,
ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah
mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup
menghadapi kesulitan dan kekerasan.
Yang termuda
di antara mereka mempunyai tahi lalat besar pada tepi hidungnya, seorang lagi
berjenggot panjang sampai ke dada, ada pun yang tertua kehilangan sebelah
telinga kirinya. Tiga orang kakek ini pun masing-masing mempunyai sebatang
pedang tergantung di punggung mereka.
Kalau dara
itu hanya tersenyum sambil memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang
dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, “Setelah Yap Kun
Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian
menerima kematian!”
Yap Kun
Liong sudah memesan kepada isterinya supaya jangan keluar, akan tetapi dia
merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka
mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan
dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.
“Sekarang
cu-wi berempat sudah datang,” katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan
beberapa ekor ayam itu, “dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang
mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan
Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar
Lembah Naga?” Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana
Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari
Lembah Naga.
“Yap Kun
Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu
adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang hendak membalas
dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian
nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!” dara itu berkata
dengan suaranya yang nyaring.
“Dan kami
bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari
suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh,
kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu
mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk
membalas dendam!” kata kakek yang telinga kirinya buntung.
Yap Kun
Liong mengangguk-angguk. “Memang, tidak perlu kusangkal lagi bahwa Ang-bin
Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai
telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka
itu bertentangan dengan kami kemudian tewas dalam pertempuran? Karena mereka
berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, dua
orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak
ada urusan pribadi, dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami
membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian
yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Karena itu, perlukah ada dendam sakit
hati? Andai kata kami gugur pada saat mengabdi kepada pemerintah, apakah
keluarga kami juga harus mendendam dan sakit hati atas kematian kami? Kami rasa
tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah
engkau hidup menanggung dendam yang tiada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau
nona sadar bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat dari perbuatan
mereka sendiri dan bahkan bisa dijadikan contoh agar nona sendiri tak sampai
melakukan penyelewengan di dalam hidup?”
“Tua bangka
she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!” bentak kakek bertelinga satu.
“Hemm,
pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?” bentak kakek
berjenggot panjang.
Yap Kun
Liong tetap tenang, “Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak
takut dengan kematian lagi. Tanpa kalian bunuh pun kematian agaknya sudah dekat
denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk
itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia
menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini.”
So Cian
Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan dia pun meragu. Sesungguhnya dia
hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka,
majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak
perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu
bisa menyelamatkan diri. Dan akhirnya anak perempuan ini lalu menikah dengan
salah seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor
satu di wilayah barat.
Anak
perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa
ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang
ditewaskan oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu
saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan dalam hatinya. Akan tetapi
ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu.
Kebetulan
sekali ayahnya adalah seorang anak buah dari See-thian-ong. Lalu pada suatu
hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan dia lantas diangkat
menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang
tinggi! Akan tetapi, walau pun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran
untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu.
Kemudian,
muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang
berisikan ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok
Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika
terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati
dan mendendam.
Setelah
mempelajari semua ilmu itu, mereka kemudian terkenal dengan julukan See-ouw
Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Namun pada suatu hari mereka
bentrok dengan See-thian-ong dan akhirnya mereka bertiga ditundukkan hingga
menakluk!
Di sinilah
mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling. Dan oleh bujukan-bujukan See-ouw
Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan
membantu ketiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan
Cia Giok Keng yang tempat tinggalnya sudah diketemukan oleh tiga orang kakek
itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang
amat lihai itu.
“Nona So,
apa bila nona memang masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut
balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan dari pada
dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku.
Aku tidak akan melakukan perlawanan.”
Mendengar
kata-kata ini, dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu,
hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun
tangan membunuh seorang kakek yang sikapnya begini agung dan gagah perkasa.
Dia sudah
tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas
perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling
ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.
Akan tetapi,
kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tak dapat
menahan kemarahannya lagi. “Tua bangka pengecut!” teriaknya dan dia sudah
menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun
Liong.
Tentu saja,
sebagai seorang pendekar yang sudah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang
amat tinggi, secara otomatis tenaga sinkang dari pusar telah menjalar ke arah
dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama
dari ilmu mukjijat Thi-khi I-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga jika dia
menghendaki, tentu saja dengan mudahnya dia dapat menangkis, mengelak atau juga
menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya.
Akan tetapi,
kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan
menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka dia pun
cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja,
tanpa disertai tenaga sinkang yang melindungi tubuhnya.
“Bukkk!”
Pukulan itu
keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sinkang, maka tubuh Yap
Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah
sampai bergulingan!
Semenjak
tadi Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan kepalang dan hanya karena
hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan
hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu
dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai
tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau
mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan!
Akan tetapi
pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot
panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun
Liong yang belum bangkit duduk. Pada saat itu pula nampak berkelebat bayangan
dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda
itu langsung menangkis pukulan dua orang kakek itu.
“Plakk!
Plakk!”
Kedua orang
kakek itu terkejut ketika merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis
serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat-cepat meloncat
ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan
cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada
dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang
mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga
bersikap gagah.
“Hemm, tidakkah
kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?” Thian Sin,
pemuda yang tampan itu, menudingkan jari telunjuknya ke arah muka kakek bertahi
lalat di dekat hidung.
Mereka itu
adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biar pun mereka itu berangkat belakangan, namun
karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka
telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san. Kebetulan sekali mereka
sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan
nenek itu!
Begitu
melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah berjumpa dengan
mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki
bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, kemudian mereka cepat
menangkis serangan ke dua itu.
Sementara
itu, dengan terheran-heran Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia
Giok Keng yang juga telah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua
orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan
kini mereka sudah mencabut pedang masing-masing kemudian menyerang dua orang
pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.
“Bagus,
kalian berdua ingin menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu?
Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong.
Pemuda ini
cepat mengelak dan segera balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah
menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.
“Manusia-manusia
berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali kemudian membalas dengan
dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.
Pada
mulanya, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa
dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, sangat terkejut dan terheran
melihat munculnya dua orang pemuda itu. Kemudian mereka merasa khawatir sekali
saat melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu
mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu. Dan akhirnya mereka
terheran-heran sesudah melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan
lincahnya dan ketika mereka sudah mengenali pukulan Thian-te Sin-ciang!
Ketika Yap
Kun Liong melihat gerakan Han Tiong serta Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat
Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri karena dia mulai mengenal Han Tiong.
“Ehh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong
yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.
“Benar! Dia
itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang.
Kong Liang
juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka dia pun menjadi girang sekali
melihat bahwa salah seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya
sendiri.
Kini mereka
bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong.
Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, amat jauh bedanya dengan
gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya.
Pemuda itu
memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa
semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah
pandai sekali, yaitu mempunyai ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula
dengan Cia Giok Keng dan Cia Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu
setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong.
Kini mereka
hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena meski pun bertangan
kosong, ternyata kedua orang pemuda itu mampu menghadapi dua orang lawannya
yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan penuh
khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan.
Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan
menyukai itu, dan pula dia sendiri pun pantang untuk melakukan pengeroyokan.
“Han Tiong,
kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya.
“Biarlah,
Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong.
Dan
mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong
Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang
muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah terhadap Han Tiong. Maka
dia pun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada
lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat dari pada
gerakan pedang lawan.
Kakek
bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia pun menjadi
bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi
beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tidak
disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai
ini.
Dan sebelum
dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat
keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi telah menyambar
dengan ganas tetapi ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan
telanjang, menangkis pedang kemudian melanjutkan dengan tamparan yang mengenai
pergelangan tangannya.
“Plakkk!”
Pedang itu
terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke
belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te
Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.
“Sin-te,
jangan membunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun cepat
ditarik kembali.
Pada waktu
Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat adanya
kesempatan baik lantas menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat
Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini,
dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah
sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.
“Desss…!”
Tendangan
itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu pun
terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan dia pun menubruk
tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.
“Plakkk!”
Tubuh kakek
berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh
Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena dia teringat akan larangan
kakaknya, maka tamparan itu pun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu.
Kakek itu
segera bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu
patah-patah, seperti juga kakek yang tadi terpukul pergelangan tangannya itu
pun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek
bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin mampu bertempur
kembali setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah.
Kini kakek
pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena
dia amat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sute-nya. Berbeda dengan dua
orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap
hati-hati sekali.
“Ah, kiranya
di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa
kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi
bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum
maju. Nah, kini siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut
pedangnya.
Dari cara
dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya yang berdesing nyaring sekali
ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga
kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek tadi. Melihat
ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia
langsung meloncat ke depan lantas memegang lengan Han Tiong.
“Han Tiong,
kau mundurlah. Kakek ini lawanku!”
“Paman,”
kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula.
Karena
keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu,
hanya memberi hormat sambil berlutut yang segera diturut pula oleh Thian Sin
yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat
dengan tangan, menyuruh mereka agar berdiri dan sekarang mereka semua menonton
Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung.
Kakek itu
sudah menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku
telah siap, engkau mulailah!”
Sebetulnya,
dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya,
meski dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekali pun belum
tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu,
maka dia pun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya sehingga
nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di
tangannya.
Pedang tipis
ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek
yang buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah
menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah memainkan
Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!
Ilmu Pedang
Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari
Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai,
pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja
yang mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan
kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang.
Oleh karena
itu, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dengan
menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan
ringan sehingga sesuai sekali apa bila dipakai untuk mainkan Siang-bhok
Kiam-sut, maka kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung
sekali.
Memang Cia
Kong Liang memiliki gerakan yang sangat tangkas dan kuat, dia pun tidak mau
memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah langsung
mendesak sangat dahsyatnya, sedikit pun tidak memberi kelonggaran sehingga dari
jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas
menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus.
Han Tiong
dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan
tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut, maka kini mereka memandang
dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain sangat indah juga
aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa
Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, walau pun terkenal amat lihai, tidak
pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda
itu pun sudah pasti tak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia memainkan
ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu
tentu tidak menimbulkan kesan.
Memang,
sungguh pun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda
Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin
hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain
hanya mempunyai putera dia seorang, juga sudah berusia agak lanjut pada waktu
memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.
Dan memang
ilmu pedang itu luar biasa sekali, apa lagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong
Liang. Biar pun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun
dia sama sekali tak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia
selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan
kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh
Kong Liang.
Thian Sin
dan Han Tiong merasa terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya
sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum yang sangat halus sebagai
senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut
Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan,
maka racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya
seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng
juga terkejut dan khawatir.
Akan tetapi
Cia Kong Liang benar-benar tak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu
melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke
belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua
jarum itu dapat ditangkis pedangnya hingga lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya
meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun,
kedua pundak, dada dan pusar lawan, begitu cepatnya bertubi-tubi sehingga
seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!
“Ihhh…!”
Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis.
Terdengar
bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali,
akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang
jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus
bajunya kemudian menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang
tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan
dan kini jarum itu telah makan tuannya!
Kong Liang
menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong
berseru keras, “Kong Liang, jangan…!”
Akan tetapi
pedang telah digerakkan, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu
hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada,
kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan
oleh tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat
mundur. Pangkal lengan kanannya terluka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena
jarum beracun sehingga perlu harus cepat-cepat diobatinya, maka tentu saja dia
tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.
“Hemm,
sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng,
kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan
sekarang juga. Kalian berdua mati di tanganku atau aku yang akan tewas di
tangan kalian seperti kakek dan nenekku,” kata dara manis itu.
Tidak nampak
dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke
tengah taman itu. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan
melihat betapa pada waktu tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan
seperti burung, menunjukkan bahwa dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu
ginkang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki
ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung
saja.
Kini dara
itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan
tabah, kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan
main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa
tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata,
“Biarlah aku
menghadapi nona ini!”
“Sin-te,
jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya.
“Kalian
mundurlah,” kata Kong Liang yang masih terus memegang pedang Hong-cu-kiam di
tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya mempunyai kepandaian,
biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!”
Dara itu
tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan
keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan
gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum
pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya.
Akan tetapi,
majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali
sungguh pun dia masih terus memandang wajah dara yang sangat manis dan menarik
hatinya itu. Dan dara itu pun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi
telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan
dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.
“Pertandingan
ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tak ingin membunuh atau pun
terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau
adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku sudah
memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan
tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku,
melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun
Liong dan Cia Giok Keng.”
Sikap dara
itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan
kasar. Apa lagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap
Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali.
Mereka sudah
mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian
barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian
dari timur dan Lam-sin dari selatan! Ternyata dara ini adalah murid datuk
barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai dari
pada tiga orang kakek yang telah kalah tadi.
Diam-diam
Cia Kong Liang juga terkejut sekali, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini
adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini
telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat
gerakan-gerakannya tadi. Maka dia pun menjawab cepat,
“Memang
benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah
putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua sudah berada di sini untuk
melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup
karena berani menentang paman dan bibiku.”
Dara itu
juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di hadapannya ini adalah
putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang
lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antara mereka adalah putera
Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi
karena telah terlanjur, maka dia tidak akan undur lagi.
“Siapa pun
yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus
ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang
dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata
pedangnya itu pun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.
“Bagus,
bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim
serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun!
Akan tetapi,
dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali kemudian balas
menyerang, dan sekali serang juga telah mengirim tusukan dan bacokan sampai
lima kali berturut-turut yang semuanya telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh
Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja
mengerahkan tenaganya.
“Tranggg…!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka
tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan
hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak.
Pada saat
itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau
mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesaikan urusan pribadiku ini.”
Mendengar
ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali
pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.
“Nona So,
sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak
ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada
artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian
Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan
sama sekali. Aku tidak pernah menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka,
karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua adalah suami isteri yang amat jahat
dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti
mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka.
Nah, sekarang aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan
sampai di sini saja.”
Melihat
kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu
melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan
melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apa lagi tiga orang pemuda
yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan sangat mengagumkan itu, dia
sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan
antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu
terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apa lagi setelah tadi
mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi di dalam perang.
Akhirnya dia membalikkan tubuhnya lantas berkata kepada tiga orang kakek yang
sudah terluka tadi.
“Sudahlah,
mari kita pergi dari sini!”
“Tetapi…
tetapi… dendam kita…,” kakek yang buntung telinga kirinya membantah.
“Sudah,
tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau mendengar bujukan kalian
lagi!” kata So Cian Ling dan dia pun lalu menengok, memandang kepada Thian Sin
lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia
lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya
melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itu pun
berlari pergi.
Baru
sekarang, setelah semua pengacau itu pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira
sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal,
mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini
besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.”
“Ah, saya
masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap
merendah, kemudian memandang pada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang,
ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!”
Kong Liang
tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin
dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?”
“Ya,
siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah
pemuda yang tampan itu.
Ditanya
begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan
Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru
sekarang dapat datang menghadap.”
Tentu saja
Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu pula Han
Tiong sudah berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang
menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman
Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.”
“Ehh…?” Cia
Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan
kemudian merangkulnya. “Cucuku…! Ahhh, cucuku, tidak kusangka bahwa aku akan
dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si…” Suaranya mengandung isak tangis. “Cucuku,
di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku…?”
Ditanya
tentang ibunya, tentu saja jantung Thian Sin terasa seperti ditusuk. Dia
langsung menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang
terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek… mereka…
ayah dan ibu kini telah tiada…”
Sepasang
mata tua itu terbelalak dan muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi
semakin pucat. “Apa…? Bagaimana…?”
Dan nenek
itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat-cepat
menghampiri kemudian memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata
kepada tiga orang muda itu.
“Mari kita
bicara di dalam…”
Keadaan
menjadi menyedihkan pada waktu tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang
memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok. Sesudah merebahkan Cia
Giok Keng di atas dipan lantas mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek
itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu melihat Thian Sin duduk di
dekat situ, dia pun segera menangis dan teringat lagi.
“Ah, Ciauw
Si… Ciauw Si anakku… mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu?
Betapa buruk nasibmu, anakku…”
Thian Sin
menggigit bibirnya berusaha menahan supaya jangan ikut menangis mendengar
neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.
“Sudahlah,
kematian akan datang kepada siapa pun juga, muda mau pun tua. Menyedihi si mati
hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik
kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.”
Cia Giok
Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang
untuk menenangkan hatinya yang amat tertekan, “Cucuku, ceritakan bagaimana
ibumu sampai tewas…”
Dengan lirih
dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita mengenai pengeroyokan pasukan, baik
pasukan dari Kerajaan Beng mau pun pasukan dari Raja Agahai di utara yang
membantu, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum
malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie
Seng, kemudian bersama Han Tiong belajar di bawah asuhan pamannya itu, sehingga
akhirnya dia turut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di
Lembah Naga.
Mendengar
penuturan itu, Yap Kun Liong lalu berkata, “Hemm, segala macam perbuatan
manusia tak ada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon
yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tak akan lepas dari pada sifat
benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas
dari pada sebabnya dan kita tak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat
dari pada perbuatan suaminya, maka hal itu pun tidak perlu disesalkan.”
“Akan
tetapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian
menyedihkan. Kematiannya tak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya
tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus
dibalas!”
Yap Kun
Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan
mengulang apa yang sudah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai
tadi, yaitu hidup diracuni dendam?”
“Ahh, tapi
mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang
memang sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya
dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang…”
“Sudahlah,
perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka sudah tiada, akan tetapi
mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang
begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan
kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.
“Cucuku…!”
Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.
Betapa pun
juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di
situ, mendatangkan kegembiraan di dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat
kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek
serta nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.
Giok Keng
merasa gembira bukan main dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan
senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu
Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk
sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk
panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat
dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta
merampasnya.
Juga Yap Kun
Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan ketiga orang pemuda
yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia pun tahu bahwa inilah kesempatan
terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak memiliki anak kecuali Yap Mei Lan yang
telah pergi ke luar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng. Maka apa bila dia
tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tidak lama lagi akan terbawa mati. Dan
siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang
pemuda ini?
Yap Kun
Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa
pemuda ini mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol hingga
jauh melampaui kedua orang pemuda lainnya. Sebaliknya dia pun diam-diam merasa
prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin.
Dalam
percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi
nasehat-nasehat dan menanamkan jiwa kependekaran pada pemuda ini, dan dia pun
mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian
Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang
Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia sudah memberikan kitab yang selama ini
merupakan pusakanya yang sangat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun
ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat
dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!
Demikianlah,
tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan
mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan
nenek itu. Kemudian, karena telah tiba saatnya bagi Cia Kong Liang untuk
mewakili kedua orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao
di Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga lalu
meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek
dan nenek itu!
***************
Han Tiong
dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk turut ke kota Ceng-tao, menemaninya
mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga
menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.
“Tung-hai-sian
adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu di
dalam pesta perayaan itu tentu akan hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw
serta tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu sangat penting bagi kalian
orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata.
Han Tiong
dan Thian Sin memang juga hendak meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan
itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka lalu melakukan perjalanan ke
timur dengan cepat dan pada sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira.
Maklumlah, walau
pun Kong Liang disebut paman oleh mereka, akan tetapi usia mereka sebaya. Kong
Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin
delapan belas tahun.
“Ingat, kita
bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh
dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan
orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka
kuminta supaya kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan
dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka bila kalian salah
bertindak sedikit saja akan dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama
Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.”
“Baiklah,
paman. Kami hanya ikut saja dan menonton, tentu saja kami tidak akan berani
membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?”
Thian Sin
hanya mengangguk. Akan tetapi karena dia memang kadang-kadang merasa mendongkol
melihat sikap Kong Liang yang seakan-akan menganggap mereka berdua masih ‘hijau’
dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu
berkata.
“Kami
mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biar engkau yang menjadi pemimpinnya,
dan kami hanya mentaati saja.”
Ucapan ini
sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong
yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya
itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.
***************
Siapakah
adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh
yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di
sepanjang pantai timur.
Sebenarnya,
Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang dahulu pernah
menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas sehingga namanya dikenal
oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, mau pun Korea. Dia adalah
seorang ‘samurai’ Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau
atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang.
Sebetulnya dia
bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar
yang bernama Minamoto, yaitu salah seorang pengikut Daigo II yang dijatuhkan
dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh,
Panglima Besar Minamoto ini lalu melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong
bersama dengan keluarganya.
Di tempat
ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi cita-cita bekas panglima
itu tak pernah padam, yaitu agar sekali waktu keturunannya dapat kembali ke
Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya
kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi
Dewa Laut Timur!
Di sepanjang
pantai timur Tiongkok, Tung-hai-sian ini dikenal dengan nama Bin Mo To, yaitu
sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama
besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi,
Minimoto muda ini pergi meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita
kakeknya.
Di Jepang
dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan
berusaha memberontak terhadap istana yang pada saat itu sedang diperintah oleh
Kaisar Muromaci. Akan tetapi semua usahanya gagal oleh karena usahanya ini
ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat.
Dia gagal,
pasukannya dihancurkan dan dia pun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan
menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak
laut. Dan karena dia terlahir di pulau kosong, juga oleh kakeknya digembleng
oleh segala macam ilmu, maka dia pun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang
amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti
semua orang.
Pekerjaannya
membajak kapal-kapal ini membuat dirinya berhasil mengumpulkan banyak harta.
Pada usia empat puluh tahun dia menghentikan pekerjaannya membajak kemudian
bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam ‘datuk’ yang
menerima ‘bagi hasil’ dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun,
setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus
angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea.
Itulah
sebabnya, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To
yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di
Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk
secara terang-terangan.
Tung-hai-sian
Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya, dan untuk itu dia lalu
mendirikan perkumpulan yang diberinya nama Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang
Iblis), yakni sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara
terang-terangan melakukan kejahatan, namun seluruh penjahat di wilayah itu
semua tunduk terhadap perkumpulan ini sebab setiap penjahat yang tidak mau
tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka
diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka
takuti.
Tung-hai-sian
yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh. Dia dapat menguasai para
pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan
pengawal, yaitu piauwkiok, seakan-akan menjadi anak buahnya dan semua membayar
semacam ‘pajak’ kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu.
Perusahaan
pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambar pedang bersilang dan
tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tidak ada
seorang pun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil
ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga yang sangat mahal.
Juga Tung-hai-sian menanamkan banyak modal pada perusahaan-perusahaan besar di
kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.
Tung-hai-sian
Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, jumlahnya tidak kurang dari
dua puluh orang. Akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua
sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang
wanita Korea dan diperisterinya saat dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknya
pun terlahir di Korea.
Anak itu
baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu sudah
berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi
langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara
ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian
yang menjadi pendiri serta ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah
seorang ahli pedang.
Demikianlah
sedikit riwayat dari Tung-hai-sian dan kini datuk ini mengadakan pesta untuk
merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat
dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari
pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu
tentu saja mengandung maksud.
Pertama, dia
ingin memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang
sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia
hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun.
Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya
tidak akan menjadi isteri seorang bajingan!
Dia sendiri
adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, sebab itu
puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula!
Inilah sebabnya mengapa dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia
kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Demikian pula sebabnya
maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang sekarang diwakili oleh Cia Kong
Liang yang mengajak dua orang keponakannya.
Rumah gedung
milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan
luas sekali, juga dengan sebuah taman yang sangat indah dan luas di sebelah
kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di
sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid
atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada
belasan orang banyaknya. Ada pun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah
perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga dan tidak
begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.
Pada hari
yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di
gedung keluarga itu amat meriah. Halaman depan yang sangat luas itu dijadikan
ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna.
Tempat itu
mampu menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus
orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang bahwa hampir semua
perkumpulan-perkumpulan di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun
dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan
wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment