Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 30
Thian Sin
meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan,
lalu keluar dari rumah makan itu. Dengan tenang dia pun lalu membayangi kereta
itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara.
Cuaca sudah
mulai gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya
kereta itu berhenti di depan sebuah penginapan! Mereka berdua itu menginap di
dalam sebuah penginapan yang mewah! Makin panaslah hati Thian Sin.
Dan dia pun
menyelinap ke dalam gelap lalu dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka
berdua turun dari kereta kemudian bercakap-cakap sebentar. Agaknya, dari jauh
dia bisa menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk
berangin-angin lebih dulu di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka
masuk. Siangkoan Wi Hong tampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu,
kemudian keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah
penginapan dan di sebelah kirinya.
Thian Sin
tetap membayangi mereka sambil menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman
itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan
percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat
kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan dari lampu gantung. Suasana
di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak
terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
“Nona Toan,
engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali bisa
berjumpa serta mengenalmu, nona,” terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba
menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.
Kim Hong
tertawa, ketawa ditahan yang sudah sangat dikenal Thian Sin itu. “Engkau juga
gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan aku pun amat gembira bisa
berkenalan denganmu.”
“Ahhh…,
benarkah apa yang kau katakan itu Kim Hong? Dan bolehkah aku memanggil namamu?”
“Tentu saja
benar, dan engkau boleh memanggil namaku.”
“Kim Hong…
aku suka sekali padamu… belum, aku belum dapat mengatakan cinta sebab baru
beberapa saat kita berkenalan, akan tetapi aku… aku suka sekali padamu.”
“Hemmm, aku
pun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali…”
“Kim Hong…”
Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan
merangkulnya.
Kim Hong
tidak menolak, malah mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong
untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.
“Keparat
jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!” Teriakan ini
keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat
persembunyiannya, tak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dalam dada
dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui
itu.
Seketika dua
orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing,
dan Siangkoan Wi Hong cepat menyambar yangkim-nya lalu berbalik. Wajahnya
menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu,
wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.
“Thian
Sin…!” Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.
“Bagus,
engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak akan mati penasaran!” Thian Sin
berkata kemudian secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut.
Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong bukanlah orang yang lemah dan dia langsung
menggerakkan yangkim-nya untuk menangkis.
“Dukkk…!”
Dan
terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia
terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi,
terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.
“Desss…!”
Thian Sin
terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka
saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat
kilat gadis ini mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin
kalang-kabut!
Tentu saja
Thian Sin cepat mengelak. Hatinya terasa bagaikan ditusuk. Begini marahkah Kim
Hong padanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerang dia
mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada
Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan
orang lain. Maka dia pun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk
menangkis.
Sementara
itu, Siangkoan Wi Hong gembira sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang
telah tahu bahwa gadis itu mempunyai kepandaian silat yang lihai, maka dia pun
lalu memutar yangkim-nya dan membantu Kim Hong.
“Pendekar
Sadis, sekarang jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku!” bentak Kim
Hong.
Bentakan ini
diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa sangat heran
mendengar gadis ini menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan
tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu,
dia merasa serba salah. Apa bila dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau
akan melukai gadis itu. Maka dia pun meloncat ke dalam gelap lantas melarikan
diri.
“Lekas lapor
ayahmu, aku mengejarnya!” kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan dia pun
telah meloncat dengan cepat melakukan pengejaran.
Bagaimana
pula Toan Kim Hong bisa bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di kota Tai-goan
dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di dalam
sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho.
Ketika itu,
seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang
hutan. Yangkim-nya yang selalu dibawanya tergantung di punggung, ada pun
tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia
cepat mengejarnya.
Kijang itu
masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup
ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong telah melepaskan
anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet
di betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat
lagi larinya.
Akan tetapi
akhirnya Siangkoan Wi Hong bisa mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu
kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan sudah siap untuk
membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak
panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh
terpelanting!
Wi Hong
terkejut bukan kepalang dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan
berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang.
Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.
“Hemm, apa
yang kau pandang?!” gadis itu membentak sambil memandang dan bertolak pinggang.
Siangkoan Wi
Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gandewanya kemudian berjalan
menghampiri.
“Ahh, tadi
kusangka ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona… ehhh,
manusia biasa?”
Wanita itu
adalah Kim Hong dan ketika mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum.
Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. “Kalau aku
bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?”
Siangkoan Wi
Hong memandang ke kanan dan kiri. “Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini
tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini…
cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi seperti ini terdapat…
ehh, siluman-siluman yang pandai merubah diri menjadi wanita cantik melebihi
bidadari, seperti… ehh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong
itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!”
“Hemmm, apa
kau tidak dapat membedakan antara manusia dengan siluman?” Kim Hong menanggapi,
tidak marah disangka siluman sebab cara pemuda itu mengatakannya sama sekali
tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.
Semakin
gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu
mau menanggapinya, maka dia langsung pasang aksi, pura-pura berpikir dan
mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri,
“Ahh, kini
aku ingat! Dalam kitab dongeng kuno tentang siluman-siluman yang menyamar
sebagai wanita cantik terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang… ahhh, sebelumnya
maaf, nona. Kata kitab itu, bila siluman rase atau rubah menyamar sebagai
wanita, ada satu hal yang tak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita
cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu
saja, aku tidak dapat membuktikan pada dirimu…,” dia berhenti untuk melihat
reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tetap tersenyum saja dan agaknya
tidak nampak marah sama sekali. Hal ini langsung membuat Siangkoan Wi Hong
menjadi semakin girang dan berani.
“Akan tetapi
ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu nona. Kata kitab itu,
seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda, yaitu pertama,
karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka
lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya
keluar bau rubah yang khas. Nah, aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau
aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera bisa membedakan apakah nona seorang
manusia biasa atau sebangsa siluman.”
Kim Hong
tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu
berseri. Dia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka dia menyingsingkan
lengan baju sebelah kiri kemudian menyorongkan lengan kirinya kepada Wi Hong
sambil berkata dengan senyum, “Nah, periksalah.”
Siangkoan Wi
Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang
berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus seperti lilin diraut. Dia pun
melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh,
bahkan sesudah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat
itu, dengan kedua matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya,
dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, maka jari-jari tangannya segera
melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra!
Kim Hong
menarik lengannya dengan gerakan halus, lantas bertanya sambil tersenyum,
“Bagaimana, dingin seperti mayatkah?”
Siangkoan Wi
Hong tersenyum lebar sambil memandang dengan mata berseri. “Ah, sama sekali
tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak… ahhh, dan yang tercium
olehku hanya keharuman seperti bunga setaman…!”
Kim Hong
tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. “Hemm, engkau seorang
perayu! Siapakah engkau?”
Siangkoan Wi
Hong menjura, “Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku tadi sedang
berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai.
Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepaskan anak panah… ehh,
tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncullah nona. Siapakah nona dan
bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi
terpencil ini?”
“Namaku Toan
Kim Hong…”
“Nama yang
indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan…?” Ahhh, apakah masih ada
hubungannya dengan keluarga pangeran…?”
Kim Hong
mengangguk.
Siangkoan Wi
Hong menjura lagi. “Ah, maaf, maafkan…! Kiranya nona adalah puteri yang
berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum…”
Kim Hong
menarik nafas panjang. “Sudahlah, urusan kebangsawanan itu urusan dahulu,
sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi
menikmati keheningan di tempat ini, aku melihat seekor kijang. Oleh karena
perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sabitan jarumku.”
Wi Hong
terbelalak. “Apa…? Membunuh kijang dengan sabitan jarum saja? Agaknya tak masuk
akal…!”
“Siapa
bilang tak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu
menembus otak,” jawab Kim Hong.
Mendengar
jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran.
Sebagai seorang pemuda yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa
jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat digunakan dari
jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya.
Akan tetapi
gadis ini dapat membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan
jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis ini dapat memastikan bahwa jarumnya
sudah menancap di antara mata kijang itu dan tembus sampai ke otak! Hal ini,
kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai
ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itu pun tentu mengandung racun yang hebat.
Untuk
meyakinkan hatinya dia pun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa
kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang
itu, di antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai
membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia
menjura dengan hormat.
“Ahh, kiranya
aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku
girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!”
“Ah,
Siangkoan-kongcu terlampau memuji orang. Sebaliknya, aku pun pernah mendengar
namamu dan melihat yangkim pada pundakmu tadi pun aku sudah dapat menduga bahwa
engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang sudah sangat terkenal itu, putera dari
locianpwe Pak-san-kui, bukan?”
“Tepat
sekali, lihiap.”
“Ahh, jangan
sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja.”
“Baiklah,
kalau begitu biarlah kusebut engkau Toan-siocia.” Siangkoan Wi Hong kemudian
memanggul bangkai kijang itu. “Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan
di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini.
Akan kusuruh orang untuk memasak daging ini di rumahku. Silakan nona.”
Demikianlah,
kedua orang itu berkenalan dan Kim Hong lalu mengunjungi rumah pemuda hartawan
itu. Sebaliknya, Siangkoan Wi Hong kemudian sering kali mengunjungi hotel di
mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran
terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Maka dalam waktu
beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.
Demikianlah
pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat
oleh Thian Sin yang membayangi mereka, kemudian Pendekar Sadis menyerang
Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran
dengan Kim Hong.
Di dalam
waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sudah sempat mengajak Kim Hong
berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan
itu dengan hati gembira. Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu sangat cantik
dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga
mengingat bahwa gadis ini masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan,
maka dia merasa girang apa bila puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini.
Dan setelah
dia mendengar bahwa Kim Hong adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong
seperti pengakuan gadis itu, maka diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Ia
pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran
itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya ia pun mendengar bahwa
sebelum meninggal, pangeran itu bersama istrinya telah menemukan ilmu
peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang
sukar dicari tandingannya.
Ketika Thian
Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah
sekali sehingga ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya itu dan
ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tak mau berkelahi melawan
kekasihnya, Kim Hong segera mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk
melapor kepada ayah pemuda itu.
Dengan
ginkang-nya yang memang lebih tinggi dari pada Thian Sin, Kim Hong berhasil
membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok
kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka dia pun cepat pergi
meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui.
Pada waktu
dia tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan semua
murid-muridnya dan ketika melihat Kim Homg datang, Siangkoan Wi Hong
cepat-cepat menyambut dan memegang tangan dara itu.
“Nona,
bagaimana…? Dapatkah engkau mengejarnya?”
“Aku tahu
dimana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun
tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberi tahukan hal itu.”
Akan tetapi
Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik,
“Nona Toan, kenapa nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?”
Pertanyaan
ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, sebab kakek ini
memang menaruh curiga dan sengaja bertanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis
ini tidak dapat berbohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis itu bersikap
tenang saja, dan di bawah cahaya lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu
memandang kepada penanyanya dengan penasaran.
“Ahhh,
apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang sudah membunuh
pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biar pun mendiang ayahku
telah dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi dia telah diampuni, dan
bagaimana pun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku
sendiri. Sebab itu tentu saja aku menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!”
“Ayah,
selain itu kami berdua pun saling mencinta. Aku… aku telah mengambil keputusan
untuk memilih nona Toan sebagai calon jodohku, karena itu sudah sepatutnya apa
bila dia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,” kata Siangkoan Wi Hong.
Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan
tetapi gadis ini tidak berkata sesuatu.
“Jadi engkau
sudah tahu di mana dia berada, nona?” tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis
ini mengangguk.
“Sebaiknya
kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,” katanya.
“Memang itu
pun yang menjadi rencana kami,” kata Pak-san-kui. “Akan tetapi, kita masih
menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun.”
“Ahh, jangan
menggunakan pasukan, locianpwe!” Tiba-tiba saja Kim Hong berkata sambil
mengerutkan alisnya. “Mengapa hanya menghadapi satu orang saja harus
menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang yang sakti, belum lagi
locianpwe dibantu oleh putera locianpwe yang juga lihai, dan masih ada lagi
murid-murid locianpwe yang terkenal pula. Dan jika locianpwe percaya kepadaku,
aku pun dapat membantu. Bukan aku hendak menyombong, tapi kalau aku dibantu
oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, maka aku pun sudah akan mampu
menandinginya!”
Tentu saja
Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Bagaimana pun lihainya, tidak
mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis. Dia sendiri saja merasa gentar
menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya
itu. Akan tetapi karena gadis ini pun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam
saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu.
Akan tetapi
secara diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu, oleh karena
dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu sanggup menandingi Pendekar Sadis,
bahkan pendekar itu kelihatan gentar sehingga melarikan diri, “Ayah, apa bila
Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar
Sadis!”
“Locianpwe,
sesungguhnya telah cukup lama aku sendiri pun ingin sekali bertemu dengan
pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini
sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan
sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam.
Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan.”
“Hemm,
mengapa nona mengatakan begitu?”
“Pendekar
Sadis adalah seorang yang amat lihai, apa bila kita menyerbu mempergunakan
pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan mengetahui lebih dahulu dan dapat
melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang
menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki kepandaian yang cukup tinggi,
maka kita tentu akan bisa datang tanpa menimbulkan suara dan dapat
menyergapnya, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Sebab
itu, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong,
Siangkoan-kongcu serta aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk
menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan.”
Pak-san-kui
mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan secara
diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat.
Kini dia yakin pasti akan berhasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan
Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.
“Baik, kita
berangkat sekarang tanpa pasukan!” katanya dan mereka lalu berangkat. Kim Hong
berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan.
Pondok itu
memang terpencil di pinggir kota. Dan malam telah larut, suasana amat sunyi.
Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apa pun.
Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan
mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui
menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang
telah mereka rencanakan,
“Pendekar
Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima
kematian!”
Sejenak
sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.
“Pendekar
Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!”
“Jangan
robohkan pondokku…!” Terdengar teriakan lantas pintu depan terbuka, seorang
laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring,
“Paman,
jangan keluar!”
Akan tetapi
terlambat sudah! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan
huncwe-nya. Terdengar jerit orang itu yang langsung terpelanting roboh tak
bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang
yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu
mudah roboh dan tewas.
Karena
menurut Kim Hong rumah itu adalah tempat Pendekar Sadis bersembunyi, maka tentu
saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan
tetapi, membunuh orang, baik bersalah mau pun yang tidak, bagi datuk ini tiada
bedanya, maka dia pun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan
juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperlihatkan ke dalam
pondok melalui pintu yang kini telah terbuka.
Akan tetapi
tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok itu, juga tak nampak sesuatu yang
muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam
pondok, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah langsung meloncat ke atas dan
membuka genteng, lalu mengintai dari atas.
Dia melihat
Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong namun sama
sekali dia tak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah ketika
melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!
Tadi pun dia
sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan
menyerangnya. Dan ternyata gadis itu kini agaknya sudah bersekutu dengan musuh
besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di dalam hatinya, lebih nyeri dari
pada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi.
Kalau memang
Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk
memusuhinya, dia pun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa amat
nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka dia pun bangkit berdiri di atas atap
rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang
tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walau pun mengandung
teguran keras.
“Kim Hong,
begitu tidak tahu malukah engkau, mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Pak-san-kui?”
Kemudian dia melayang turun ke depan Pak-san-kui sambil menudingkan
telunjuknya. “Pak-san-kui, tua bangka keparat! kalau memang engkau datuk dan
laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah bersama dengan murid-muridmu,
akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!”
Sebelum
Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa lantas berkata dengan nada
menghina, “Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau sudah buta dan tidak melihat
dengan siapa kau sedang berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk
utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup,
siapa yang butuh bantuan untuk mengeroyokmu?”
Mendengar
ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi
sungguh merugikannya! Dan sesudah mendengar gadis itu berkata demikian, tentu
saja dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya
itu. Maka dia pun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.
“Aku akan
menghadapinya sendiri! Kalian tentu tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia
melarikan diri!” Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan
tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dia maksudkan, tiba-tiba saja
Pak-san-kui telah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe
maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe itu, kemudian menjadi cahaya
yang menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin.
Cepat bukan
main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong
juga melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan
kirinya dan lengan kiri itu lantas mulur sampai panjang mengejar atau membuat
serangan ke arah kepala Thian Sin.
“Dukkk!”
Thian Sin
menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong
diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki
senjata huncwe yang sangat berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat
mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.
Sementara
itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tempat itu, siap
untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat
Pak-sam-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Namun mereka tahu
bahwa jika sampai Pak-san-kui terdesak, maka mereka berempat tentu akan segera
turun tangan mengeroyok. Maka, Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.
“Adik manis,
jika dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya.
Dia memang orang yang amat berbahaya sekali.” Kim Hong tidak menjawab, seperti
tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh
perhatian.
Dan
perkelahian itu memang sangat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian,
juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat.
Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, ia
harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang
kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan
panik.
Akan tetapi
sekarang dia sudah tidak membutuhkan lagi akal seperti itu. Lagi pula, sejak
kekalahannya dari Thian Sin dulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan
bersiap-siap kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andai kata Thian Sin
mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil.
Pemuda ini
hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api
menyambar atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta
asap itu lalu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan
huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh Thian Sin.
Huncwe maut
itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis huncwe dengan lengannya, bahkan
membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau
menendang sambil mengerahkan sinkang.
Thian Sin
bisa melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini kini telah
mendapat kemajuan yang cukup banyak, maka dia pun lalu mulai merubah
gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang
hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga
empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan
perkembangan-perkembangan yang amat sukar itu, lawan telah terdesak hebat!
Pak-san-kui
juga mengenal jurus-jurus itu, tetapi hanya mengenal kulitnya saja dan isinya
sungguh membuat dia merasa bingung sebab mengandung daya serang yang tak pernah
diduganya sama sekali, dan selain itu juga sangat hebat. Di dalam
serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena
dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia
terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini
dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera
bergerak untuk membantu.
Akan tetapi
tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, “Tahan
dulu!”
Siangkoan Wi
Hong amat terkejut ketika melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong!
Gadis ini berkata, “Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada
pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar
Sadis menghadapi kalian. Oleh karena tingkat kepandaian kalian masih terlalu
rendah, maka kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya!
Heiii, Pendekar Sadis, kau tinggalkan dahulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka
ini. Aku sendiri ingin merasakan huncwe maut!” Setelah berkata demikian, Kim
Hong kemudian meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang
pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!
Perubahan
sikap gadis ini sungguh membuat semua orang tercengang. Akan tetapi, kalau
Siangkoan Wi Hong menjadi terkejut dan marah sekali, maka sebaliknya Thian Sin
yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung
dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh.
Biar pun
hatinya panas kalau teringat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong
dengan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas
berpihak kepadanya itu membuat hatinya gembira sekali maka begitu melihat Kim
Hong menyerbu Pak-san-kui, dia pun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi
Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan
mengeroyoknya dengan serangan-serangan bertubi-tubi. Terutama sekali, Siangkoan
Wi Hong menyerang dengan senjata yangkim-nya, menyerang dengan penuh kebencian
dan kemarahan.
Pemuda
hartawan ini merasa kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang
menjatuhkan hatinya, yang disangkanya sudah terjerat olehnya, ternyata sekarang
malah membantu Thian Sin! Maka timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu
sengaja bersikap baik terhadapnya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk
menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.
Dan
teringatlah dia betapa gadis itu yang menganjurkan agar mereka berenam saja
yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan!
Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan ia
menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suheng-nya yang sudah
membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.
Thian Sin
menghadapi empat orang pengeroyoknya itu dengan sikap tenang-tenang saja. Akan
tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak jika
dia menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, dia pun cepat mencabut
Gin-hwa-kiam kemudian memutar pedangnya untuk melindungi dirinya sambil
kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut.
Akan tetapi,
Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang
pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam
bahaya, walau pun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di
sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.
Pak-san-kui
sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa tiba-tiba gadis itu
membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong.
“Bagus!”
bentaknya. “Memang mata anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah
siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!”
Kakek itu
lantas menghisap huncwe-nya kemudian sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga
api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya yang
dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Benar-benar
merupakan serangan maut yang amat hebat.
Sejak tadi
Kim Hong sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini
mengerahkan ginkang-nya yang amat istimewa, segera melesat ke atas untuk
mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kiri kakek itu
sudah menyambar, mulur sampai dua tiga panjang lengan biasa, mencengkeram ke
arah dada!
“Hih!” Kim
Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang
panjang mengerikan itu.
Pak-san-kui
kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain sangat
kuat juga mengandung bau yang menyesakkan nafas, maka terpaksa Kim Hong
berjungkir-balik di udara, dan itu saja telah menunjukkan kemahiran ginkang
yang sangat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan
pedang dari tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang
dua pedang, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak. Sinar merah menyambar dari
atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui.
“Uhhhhh…!”
Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwe-nya untuk
menangkis.
Terdengar
suara nyaring berkerincingan pada saat jarum-jarum merah itu terpukul runtuh.
Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang kembali dengan
sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanyalah
dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung laksana dua ekor naga hitam
mengamuk.
Pak-san-kui
menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut
huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka! Kembali Pak-san-kui merasa
terkejut bukan main.
“Tahan...!”
serunya dan dia pun meloncat kebelakang.
Kim Hong
lalu menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada dan memandang sambil
tersenyum mengejek. “Pak-san-kui, kini engkau hendak bicara apa lagi?”
tanyanya, kini lenyap sikapnya yang tadinya menghormat terhadap datuk itu,
berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.
Pak-san-kui
mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi
ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin dengan empat orang
yang mengeroyoknya. Agaknya puteranya, dan juga ketiga orang muridnya,
menyangka bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempat pun
meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga turut menunda gerakannya.
Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.
“Nona, aku
pernah mendengar tentang jarum merah dan juga tentang Hok-mo Siang-kiam. Ada
hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?”
Pertanyaan
ini persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya!
Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab persis seperti saat dia
menjawab See-thian-ong, “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim
Hong saja!”
“Tapi…
tapi…, Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku…”
“Cukup!
Kalau engkau takut menghadapiku katakanlah, tua bangka!” bentak Kim Hong.
Tentu saja
bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Dia tahu bahwa gadis ini ternyata
amat lihai, dan mungkin sekali telah mewarisi semua kepandaian datuk yang
bernama Lam-sin. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia takut menghadapi
gadis ini, tetapi kalau gadis yang selihai ini sekarang berpihak kepada Thian
Sin, sungguh pihaknya sangat berbahaya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim
Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar
sekali dan dia pun membentak,
“Bocah yang
bosan hidup!” Dan huncwe-nya sudah menyerang lagi.
Kim Hong
tersenyum mengejek lantas menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa
mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong
juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum-senyum
dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap saja membagi perhatiannya
untuk Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara
yang lihai itu.
Diam-diam
Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak dia meninggalkan Pulau Teratai
Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru
beberapa kali saja dia memperoleh lawan yang cukup tangguh.
Pertama
sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu
silatnya bahkan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang diserahi tubuhnya
sebagai tanda takluk. Kemudian dia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan
lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang
menggembirakan karena memang lihai sekali. Kim Hong harus mengerahkan seluruh
kepandaian serta tenaganya, barulah dia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.
Di lain
pihak Pak-san-kui terkejut bukan main sesudah memperoleh kenyataan bahwa dia
sungguh-sungguh tidak mampu mengatasi gadis itu! Jurus apa pun yang
dikeluarkannya selalu dapat dibendung oleh gadis itu, sementara dia sendiri
dengan setengah mati baru sanggup menyelamatkan diri dari desakan gadis itu.
Apa lagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir
kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang tingkat kepandaiannya agaknya tidak
dibawah Pendekar Sadis sendiri.
Mulailah dia
merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas
akan mengalami kerugian hebat.
Sesudah
membiarkan Kim Hong menghadapi serta ‘merasakan’ kelihaian datuk utara itu selama
lebih dari lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Sin melompat dan meninggalkan
empat orang pengeroyoknya lalu menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim
Hong.
“Jangan kau
merampas musuh besar dari tanganku!”
Kim Hong
tertawa dan gadis ini pun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan
Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa
gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing
mereka ke tempat itu, maka dia pun menjadi marah sekali.
“Perempuan
hina, rasakan pembalasanku!” Yangkim-nya menyerang ganas, lantas disusul
cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!
Dimaki
seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar,
yang satu menangkis yangkim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan,
dan selain itu, dia pun mengerahkan segenap tenaganya.
“Trakkk!”
Memang
Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah
terdengar suara keras itu, ujung yangkim-nya pecah terbabat oleh pedang hitam!
Dan Kim Hong masih terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu pula Pak-thian
Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu
memutar kedua pedangnya dan kembali dia menghadapi pengeroyokan mereka
berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan
kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak
hebat.
Apa lagi
Siangkoan Wi Hong juga telah mengalami kekagetan karena ujung yangkim-nya sudah
patah. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis cantik yang
pernah membiarkan dia menciuminya dengan mesra itu ternyata memiliki ilmu
kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiri pun tidak mampu
mengalahkannya.
Sementara
itu, perkelahian antara Thian Sin dan Pak-san-kui juga sudah menampakkan
perubahan. Kini Thian Sin mulai mengeluarkan semua kepandaiannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan cahaya lampu
di depan pondok itu biar pun hanya suram saja namun masih dapat menerangi
keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi
sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Tapi Thian Sin
terus mendesaknya dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu
kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.
“Tranggggg…!”
Kembali dua
senjata itu saling bertemu dan kali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh
kakek itu langsung terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi
Pak-san-kui telah menggerakkan lengan kirinya yang bisa memanjang itu, sambil
duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu sudah menangkap
kaki kanan Thian Sin.
Pemuda ini
memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya
ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan dia pun terpelanting!
Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang sudah
diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak
berkelebat ke bawah.
“Crokkk!”
“Aughhhhh…!”
Pak-san-kui meloncat berdiri kemudian terhuyung ke belakang.
Lengannya
tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan
kirinya sebatas siku tetapi tangan kirinya itu masih saja mencengkeram
pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan segera melepaskan
tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia langsung menubruk maju
menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.
“Trangg!
Tranggg…!”
Kembali
bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin segera menyimpan
Gin-hwa-kiam dan pada waktu kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi,
sekarang menggunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai
kesakitan itu segera menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi
Thian Sin, tetapi pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan mendadak
Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng!
“Ahhhh…!”
Pak-san-kui terkejut sekali.
Dia sudah
tahu bahwa lawannya ini mempunyai ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat itu, akan
tetapi dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu akan menggunakannya
pada saat itu. Kini huncwe-nya melekat pada tangan pemuda itu dan pada waktu
dia sedang mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot huncwe, pemuda itu juga
mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sinkang yang tersalur lewat
tangan kanannya.
Karena
tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan
tenaga dengan menghentikan pengerahan sinkang-nya. Hanya itulah satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lweekang-nya tidak tersedot
habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini,
tiba-tiba saja merenggut lepas huncwe-nya dan di lain saat huncwe itu sudah
membalik ke arah kepala Pak-san-kui.
“Prakkk!”
Huncwe itu
remuk, pecah berantakan, namun tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian
pelipis mengucurkan darah!
Thian Sin
membuang huncwe yang sudah remuk itu kemudian meloncat mendekati untuk
memeriksa apakah betul lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk,
tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.
“Dessss…!”
Tubuh Thian
Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia
tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya
sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak
nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam.
Kakek itu
tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah
Thian Sin yang masih rebah terlentang sesudah terlempar tadi. Thian Sin
menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.
“Cusss…!”
Thian Sin
kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Bahkan
disangkanya kakek itu sudah mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu
melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas).
Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak
bernyawa lagi!
Ternyata
kakek itu telah tewas sesudah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat
menubruk dirinya tadi! Dia telah menggunakan tenaganya yang terakhir dalam
tendangan tadi dan sesudah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah
retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.
Thian Sin
cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya.
Dia pun tidak membantu, hanya menonton saja sambil berdiri di depan pondok.
Diam-diam dia merasa semakin kagum kepada Kim Hong.
Empat orang
pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau
mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan
lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Tapi jelaslah bahwa Kim
Hong menguasai perkelahian itu.
Dara ini
membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan ginkang-nya yang luar biasa dia
seperti beterbangan ke sana ke mari, laksana seekor kupu-kupu yang lincah
beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat
gulungan sinar hitam yang mengeluarkan angin dahsyat dan suara berdesing-desing
sehingga membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali.
Malah
barisan Sha-kak-tin itu pun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan
oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi
Hong turut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan
oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dalam bentuk segi tiga. Tempat
mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga.
Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biar pun dasar ilmu silat mereka masih
dari satu sumber, namun kehadiran Siangkoan Wi Hong ini justru tak memungkinkan
lagi bagi mereka untuk memainkan Sha-kak-tin secara sempurna.
Untuk
membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan mereka pun merupakan hal yang
berbahaya sekali karena lawan mereka ini sungguh amat lihai. Maka mereka
mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Namun akibatnya malah mereka
sendirilah yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!
Memang Kim
Hong sengaja mempermainkan mereka. Dia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi
Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha
tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi masih belum mau merobohkan mereka.
Dia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dulu, dan setelah
melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah dia tersenyum.
“Sekarang,
kalian berempat bersiaplah untuk mengiringi guru kalian pergi ke neraka!”
Dan gerakan
pedangnya pun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung
sekali. Dua kali cahaya hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara
Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tidak bergerak lagi karena ujung kedua pedang
hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka.
Orang ke
tiga dari Pak-thian Sam-liong yang menjadi marah bukan kepalang menusukkan
pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali cahaya hitam berkelebat. Terdengar
suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher
yang hampir putus akibat terbabat cahaya hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.
Kini tinggal
Siangkoan Wi Hong seorang diri yang harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini
menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia segera maklum bahwa tak mungkin dia
dapat melarikan diri lagi maka dia pun lalu membuat gerakan tiba-tiba,
menyambitkan yangkim ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah
buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan
gadis cantik itu!
Akan tetapi,
dengan mudahnya Kim Hong dapat mengelak dari sambaran yangkim, lantas sebelum
serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, dia telah membuat gerakan meloncat
cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan
tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu sudah menyambar ke depan
dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut
harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan
yang sangat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah
mencekik leher!
Siangkoan Wi
Hong kaget sekali dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk
melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja Kim Hong memutar kepalanya
sehingga tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa oleh putaran itu, lantas
diputar beberapa kali dengan amat kuatnya, dan akhirnya belitan rambut itu
terlepas.
Tubuh
Siangkoan Wi Hong langsung melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas
karena belitan rambut tadi telah membuatnya tak dapat bernapas, maka ketika
Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah
mati itu tak mampu mengelak lagi.
“Prokkk!”
Tubuh pemuda
itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak akibat tamparan yang
dilakukan oleh Thian Sin dan dia pun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.
Mereka kini
saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok
itu. Mayat lima orang itu berserakan.
“Kim Hong…”
“Mari kita
pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita akan repot juga.” Kim Hong
memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin.
Mereka baru
berhenti setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk
timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan. Pagi itu cerah dan
indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian,
lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti dengan sinar kegembiraan memenuhi
hatinya, walau pun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa
gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
MEREKA
berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang
menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di
tempat sunyi itu. Tidak nampak seorang pun manusia lain di sekitarnya.
“Kim Hong,”
kata Thian Sin yang semenjak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dalam dada, sebab ketika
mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah sengaja hendak mengajaknya
berlomba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.”
Kim Hong
tersenyum, mempergunakan sapu tangan sutera hijau untuk menghapus peluh dari
leher dan dahinya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk dikebut-kebutkan
ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung
rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian
rumput itu kering, dia pun lantas menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang
sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.
“Penjelasan
apa lagi?” tanyanya sambil mengerling, dan Thian Sin melihat betapa kerling
mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.
Thian Sin
mengerutkan kedua alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya sehingga dia menjadi
tidak sabaran. Dia pun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa
celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.
“Penjelasan
banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa
engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau
bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan
membantuku? Dan kenapa… kenapa engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh
Siangkoan Wi Hong?”
Mendengar
semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti
pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya.
Kemudian dia mencabut sebatang rumput, lantas menggigit-gigit rumput itu di
antara giginya yang berderet rapi dan putih bagaikan deretan mutiara, di antara
bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.
“Thian Sin,
engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu
masih begitu picik dan tumpul. Bila engkau tidak mengerti kenapa aku
meninggalkanmu, biarlah engkau tetap saja tolol dan aku tak mau memberi tahukan
kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke
Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kau sohorkan hebat
itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan pada waktu aku sedang menyelidiki,
lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang
Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku lalu mencegahmu. Aku pura-pura bersekutu
dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya, dan melihat keadaan mereka
sangat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin
engkau sanggup mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku
melindunginya, lalu engkau lari, dengan diam-diam aku membayangimu dan tahu
bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu
tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya serta tiga orang
muridnya menyerbu, bukankah itu adalah hal yang kau tunggu-tunggu?”

Thian Sin
melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi
Kim Hong segera mengelak.
“Kim Hong,
maafkan aku. Ternyata engkau melakukan semuanya itu untuk membantuku! Sungguh
benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang
bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kau maafkan
aku!”
Bibir bawah
yang lunak itu lantas mencibir, “Hemmm, untuk salah pengertian itu aku tidak
perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya jika engkau salah mengerti. Hal ini
justru membuat penyelidikanku menjadi sempurna.”
“Kim Hong,
apa bila engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku
tidak mengerti.”
“Apa saja
yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek.
“Kim Hong…
aku minta kepadamu, jangan kau biarkan aku dalam kebingungan. Kuharap engkau
suka menjelaskan mengapa engkau meninggalkan aku dan kenapa pula engkau
membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.”
Tiba-tiba
sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena
engkau mendesak, aku akan memberi tahu, akan tetapi kalau setelah ini engkau
tidak mau minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka
denganmu lagi! Kau dengar baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau juga telah
meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di hadapan mataku! Itulah
sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri
berciuman dan berpelukan dengan laki-laki lain, tanpa peduli siapa pun
laki-laki itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu!
Aku tahu bahwa engkau membayangi kami, dan memang aku ingin engkau melihat hal
itu! Nah, kini aku telah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri kemudian
membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.
Thian Sin
menjadi bengong sejenak, namun ketika melihat betapa kedua pundak gadis itu
bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walau pun
ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka dia pun segera menubruk kedua
kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan dia pun berkata, “Kim Hong, kau
ampunkanlah aku, Kim Hong.”
Sikap serta
ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis
itu mengalir turun dan kini dia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.
“Kim Hong,
aku mengaku salah… aku… tidak sengaja, melihat dia menghadapi kematian, aku terharu
dan… ahhh, ampunkan aku, Kim Hong, aku… cinta padamu.”
Akan tetapi
walau pun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di hadapannya, Kim
Hong tidak menjawab dan hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan sapu
tangan.
“Kim Hong,
maukah engkau memaafkan dan mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil
mengangkat muka memandang.
Kim Hong
menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu
semenjak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kau kira saat
ini kau masih dapat hidup?”
Bukan main
girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang dia pun dapat melihat
kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui dan
turut mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia tak akan mungkin dapat menang. Hanya
menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian
kalau dia melawan Kim Hong. Maka apa bila Pak-san-kui dibantu Kim Hong
menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah.
Apa lagi di
sana masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi jika
diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu tadi dia sudah dikurung oleh
ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapa pun lihainya, dia tidak mungkin
dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti
Pak-san-kui dan murid-muridnya.
“Terima
kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh akulah yang tolol, dan aku sangat cinta
padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?”
Kim Hong
menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, jika aku tidak
cinta padamu, apa kau kira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku
dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh
diri?”
“Kim Hong…”
Mereka lalu
berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas
karena di situ mereka mencurahkan segenap kerinduan hati mereka yang mereka
tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun,
bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat
sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua
hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta
birahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.
Senggama,
perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah,
sesuatu yang tak bisa terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung
kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan
antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang amat
suci, karena di dalamnya terkandung kemukjijatan besar, yaitu perkembang biakan
manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.
Sungguh
sayang bahwa semenjak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang
harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk
dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang
pada waktunya tak akan terbebas dari pada perbuatan itu pula.
Sementara
bahkan ada pula pandangan dari orang-orang yang belum mengerti atau yang
munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa senggama adalah sebuah hal yang
‘kotor’ untuk dibicarakan. Mengapakah kita tak berani mengungkap peristiwa ini,
perbuatan ini, malah banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran
susila bila mana membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di sanalah tersembunyi
rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tak berdaya, sesuatu yang
menghancurkan seluruh gambaran dari si ‘aku’?
Ataukah
karena begitu saratnya kata senggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap
memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang hal itu dianggap
tak layak dikemukakan kepada kita yang ‘berbudaya’, yang ‘sopan’, yang
‘bersusila’? Kenapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita
merasa malu, walau pun tidak seorang pun di antara kita yang tidak
melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi tidak malu melakukannya, walau pun
dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah ini munafik namanya?
Memang,
seperti juga orang makan, apa bila senggama dilakukan orang hanya sekedar untuk
mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat
dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, apa
bila hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin ‘makan’
lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam
penyakit.
Demikian
pula dengan senggama, jika dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka
yang ada hanyalah nafsu birahi semata dan hal ini akan menimbulkan bermacam
keburukan seperti pelacuran, perjinahan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi,
kalau senggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin
yang wajar, maka hubungan senggama merupakan hubungan puncak yang paling indah
dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang,
rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.
Perbuatan
apa pun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali senggama, kalau
dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih,
sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu
dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, sedikit pun tidak
terdapat kekerasan, di sana yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling
membahagiakan.
Saling
membahagiakan! Inilah senggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta.
Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan
kenikmatan itu datang karena ingin membahagiakan partnernya. Inilah senggama
yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang
sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.
Sekali lagi
perlu kita semua ingat bahwa senggama hanyalah suci dan bersih apa bila
dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu
bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.
Pada
hakekatnya, semua pengejaran kesenangan merupakan sesuatu yang kotor karena di
situ juga terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar,
yaitu kesenangan tadi. Jadi, sangat perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak
kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa senggama adalah hubungan yang paling
mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta.
Saling
mencinta! Bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti
wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda atau lainnya.
Anak-anak kita perlu mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci,
yang mengandung kemukjijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembang
biakan manusia.
Cabul? Mudah
saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih sebagai penutup
kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan
sendiri terhadap kekotoran diri sendiri yang masih mengeram di dalam batin.
Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata mau pun
perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati.
Cabulkah
orang yang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan
dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang tergambar di
dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka
cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang?
Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya
jika di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang
mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi sambil memandang
gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apa
pun.
Kecabulan
timbul dari pikiran. Pikiran yang sering kali mengenang-ngenang
pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri mau pun pengalaman
orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita. Sang Pikiran membayang-bayangkan
semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu birahi tanpa
adanya cinta kasih, dan nafsu birahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan!
Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam
akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan
oleh pikiran, oleh si ‘aku’ yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan
pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan!
Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi
jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya
sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga
dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara
segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas,
satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex
itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir
batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri.
Dan keadaan
seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi
sehingga membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di
dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi
sebuah kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lantas menciptakan
pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.
Thian Sin
dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah kini mereka merasa betapa
mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di
antara mereka menjadi semakin kuat. Walau pun tidak ada ikatan lahir seperti
pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling
mengikatkan diri.
***************
“Sudah
engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya
mengandung kekerasan karena betapa pun Yap In Hong mencinta puteranya ini,
namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya.
“Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!”
“Ibu, apakah
dalam hal ini ibu hendak menonjolkan kedudukan?” puteranya membantah. Kini Cia
Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya
sudah luas walau pun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.
“Bukan
begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan
hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumu pun sejak muda
dikenal sebagai seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang
pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya
Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu telah mendengar perkumpulan macam apa
yang dinamakan Mo-kiam-pang yang diketuai serta didirikan oleh Tung-hai-sian
itu. Mereka itu menguasai seluruh dunia perbajakan.”
“Akan
tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin supaya menjadi jodohku
bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu berbicara penuh
semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya sehingga sadar bahwa
dia bicara terlampau keras kepada ibunya, maka langsung disambungnya dengan
suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan
sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi saat aku menjadi tamu di sana,
aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan orang
yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan
orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang
tuanya, ibu?”
“Betapa pun
juga, orang tua serta keluarganya tidak mungkin dikesampingkan begitu saja,
anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu.”
Cia Bun Houw
tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu.
Dia lalu menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu
saja didasari dengan perhitungan-perhitungan yang semuanya mengandung
kebenaran. Akan tetapi betapa pun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain
sehingga terjadilah perselisihan dan kalau sudah demikian, maka keduanya
menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapa pun tepat semua pendirianmu tadi,
akan tetapi kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang
sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampur
tanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekali pun, biasanya tak
menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kau
ingat akan hal ini.”
Tentu saja
Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan
suaminya itu pun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat
suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena
orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya?
Dia tahu
betul akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya dia tidak berhak menentang kehendak
puteranya yang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi tetap
saja dia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan alangkah sukarnya menerima
kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar
ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, dia hanya
menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah.
Melihat ini,
Bun Houw merasa kasihan terhadap isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah
mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat
puteranya dapat berjodoh dengan seorang dara yang bisa memuaskan dan
menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.
“Lagi pula,
kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang
memang tepat.”
Mendengar
ini, Yap In Hong segera mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu
mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyuman penuh
harapan. “Itulah harapanku, dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan
membabi buta.”
Kong Liang
sungguh maklum apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi di
dalam perasaan ibunya. Maka dia pun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya
dengan penuh kasih.
“Percayalah,
ibu, selama ini aku sudah bertemu dengan banyak wanita, akan tetapi dalam
pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Di samping cantik
jelita, dia juga sangat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya
manis sekali, dan semua gerak-geriknya, pakaiannya, sangat sederhana, sama
sekali tidak membayangkan sifat pesolek walau pun dia adalah anak orang kaya.”
Ibunya
tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Dahulu ayahmu juga menganggap
ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!”
“Tapi, ibu
memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama
sekali tidak keliru!”
Lenyaplah
sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini lantas tersenyum dan
berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih
aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira
sehingga suasana menjadi tenang dan akrab kembali.
Akhirnya
kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka mulai
melihat kenyataan betapa putera mereka memang sudah jatuh cinta kepada puteri
Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan
saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biar pun engkau telah merasa
yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan
tetapi keyakinanmu itu hanyalah berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu
kalau-kalau dara itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau
tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau
sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat
dan utusan, jadi andai kata gagal sekali pun tidak langsung membikin malu.”
Kong Liang
setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat
membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya kalau melakukan
pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian, kemudian pinangan mereka
ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.
Demikianlah,
ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke
Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat
girang dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To.
Utusan itu
dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima
pinangan itu, Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga
sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Dia juga mengirim undangan agar keluarga
itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.
Sebelum
menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan
puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah sebuah hal yang remeh sehingga
patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan
penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau sudah jatuh cinta kepada Nona
Bin Biauw, akan tetapi harus kau akui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih
sangat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri,
seyogyanya kalau pernikahan kalian ditunda dulu selama beberapa bulan sehingga
dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat
bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah,
masih belum terlambat untuk mengubah kalau terjadi sesuatu yang tidak kita
kehendaki.”
Kong Liang
menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka
menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu
sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan
pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja di dalam
kesempatan ini dia yang merasa bangga bukan kepalang itu mendapatkan kesempatan
untuk menikmati kebanggaannya.
Pada hari
yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo
To sungguh sangat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua
anak buahnya, yaitu para anggota Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak
sibuk sekali.
Tamu-tamu
berdatangan dari segenap penjuru dan diterima oleh murid-murid kepala atau
tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu,
keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah datang lebih
dahulu dan terjadilah pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga
Cia disambut dengan penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.
Tung-hai-sian
Bin Mo To merasa berbahagia dan bangga bukan kepalang. Hal ini tidaklah
mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, sungguh pun keturunan samurai sekali
pun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap
rendah oleh bangsa Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan
digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapa pun juga, tak dapat
diingkari bahwa dia adalah seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar
dalam dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para
pendekar.
Dan
sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai
persilatan besar yang sangat disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh
dengan putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan
penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi
dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar.
Karena itu,
biar pun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan
pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar
dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar
dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau pun kaum
pendekar, semuanya dikirimi undangan.
Maka, pada
hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To
atau nama aslinya Minamoto itu dibanjiri oleh tamu dari berbagai golongan.
Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan sangat luas itu yang penuh,
bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap
darurat, juga penuh dengan para tamu.
Minuman
berlimpahan berikut kue-kue ringan disuguhkan sebelum hidangan dikeluarkan, dan
tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara
teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang
sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik.
Semua wajah
kelihatan gembira seperti biasanya tampak di dalam pesta perayaan seperti itu,
di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat
kesempatan berjumpa dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk satu
meja. Kelompok memilih kelompok, dan setiap pendatang baru mengangkat muka
melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari
orang-orang yang mereka kenal baik.
Dengan wajah
penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka yang berseri-seri, Bin Mo To sendiri
sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, sambil mengiringkan tamu
kehormatan, yaitu keluarga Cia. Dan untuk keperluan ini Bin Mo To tidak ingin
melupakan asal-usulnya, maka dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan
jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal.
Kepalanya
yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk
konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung
pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah
sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti
langkah seekor harimau.
Isterinya
yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang
menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah
yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, tapi
akhirnya mereka juga muncul di pinggiran.
Bagaimana
pun juga, Bin Mo To merasa amat sungkan untuk menonjolkan belasan orang
selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga
seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu
kandung Bin Biauw, adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh
tahun, bertubuh tinggi semampai dan masih nampak cantik dengan pakaian Korea
yang khas.
Bin Biauw
sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis
sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara
resmi, maka ia pun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walau
pun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri
bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias
ronce-ronce yang indah.
Untung bahwa
dara ini mempunyai bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya
ramping dan biar pun dia menjadi tokoh utama di dalam pesta itu karena pesta
itu untuk hari pertunangannya, tapi pakaiannya yang indah itu tidak terlampau
menyolok, bahkan mukanya tidak dibedaki terlalu tebal dan juga tidak memakai
gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah
dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan
calon menantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiri pun merasa amat puas.
Suami isteri
pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan,
segera menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai
itu biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh
lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna
abu-abu dan nampak amat berwibawa meski pun wajahnya tersenyum ramah dan
langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pada saat itu
pedang Hong-cu-kiam menjadi ikat pinggang atau sabuknya.
Isterinya,
Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian
sederhana dan nyonya tua ini juga masih kelihatan gesit dan padat tubuhnya,
bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.
Dibandingkan
dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di
punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu
agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini memiliki sikap yang
agak tinggi hati. Betapa pun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda
yang sangat tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua
Cin-ling-pai.
Tempat pesta
sudah penuh oleh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat
yang bertingkat-tingkat, disesuaikan dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di
barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan
perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari
dunia persilatan.
Semua tempat
sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana
berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu anak
murid atau anggota-anggota dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang
tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga
tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.
Tung-hai-sian
Bin Mo To bangkit berdiri dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi
besannya itu. Dia berjalan ke pinggir panggung menghadapi semua tamunya, maka
suara yang berisik itu pun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh
pendek tegap ini berdiri dengan sepasang kaki terpentang, lantas dia mengangkat
dua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta
perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan
suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku
dengan lidah asingnya itu.
“Saudara
sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali
bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari
ini kita semua dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi sudah
ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu
Bin Biauw, yang mulai saat ini sudah dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera
tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan
isterinya.”
Sorak-sorai
dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri
gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia
mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika
orang-orang menghentikan sorak-sorainya.
“Bagi kami,
ikatan perjodohan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar.
Untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka
kami pun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Mulai saat ini juga
kami hendak mencuci tangan membersihkan diri supaya tidak sampai menodai nama
mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya
cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini kemudian
mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.
Delapan
orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggota dari Mo-kiam-pang,
segera bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah
ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan
MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya.
Ketika
delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka
menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas
ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Tentu saja papan nama itu
terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang
membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.
Sejenak
kakek ini menatap papan nama itu dengan muka yang agak pucat, tanda bahwa
perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang lantas begitu
tangannya bergerak, nampaklah bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras
dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan
kayu yang tidak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata
bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah
menjura kepada para tamunya dan berkata,
“Mulai saat
ini juga Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggota Mo-kiam-pang
diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu
kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.”
Tentu saja
perbuatan Tung-hai-sian itu membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa
datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini
berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan,
tidak lagi berada di bawah pengamatan serta perlindungan Mo-kiam-pang!
Benar-benar merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat
mau pun kaum pendekar.
Akan tetapi,
mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua
tangannya, kemudian suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka
mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!”
Semua orang
lalu memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik
ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi
sebutan Tung-hai-sian, dan tak ada pula sebutan Datuk Dunia Timur! Mulai saat
ini saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya
sudah mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!”
Pengumuman
ini benar-benar mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan
perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan serta nama besar
sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar
mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia
hitam mengerutkan alisnya.
Mereka akan
kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka kini menjadi lemah.
Apa lagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tak lagi terdengar
beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah
tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang
agaknya berdiri di pihak para pendekar sebab memusuhi para datuk kaum sesat,
akan tetapi yang kekejamannya justru melebihi kekejaman golongan sesat yang
mana pun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini
datuk ini pun mengundurkan diri.
Karena
merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di sana bangkit berdiri
lantas berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan
yang jelas, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?”
Ucapan ini
mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk
yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai
ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, bersama
murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, sedangkan Lam-sin
dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul pula di
selatan.
Melihat
sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka semua orang tentu
saja dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di
timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To.
Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan
hingga semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh
dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya segera berubah merah karena
pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.
“Aha,
kiranya Giok Lian-cu Totiang yang tadi mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata
datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walau pun hatinya mendongkol bukan
main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang sudah berani memandang
rendah kepadanya seperti itu!
“Benar,
pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan
ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua
mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.”
Bagaimana
pun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena rata-rata mereka pun
merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk
itu meninggalkan kedudukannya serta melepaskan julukan semudah itu. Padahal,
semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti
Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.
“Tadi sudah
kunyatakan bahwa sesudah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua
Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin lagi kami
melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimana pun juga, kami harus menghormati
kedudukan ketua Cin-ling-pai. Karena itu, demi kebahagiaan puteri kami, maka
kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi
seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapa pun
juga.”
“Bohong!
Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!”
Ucapan suara
wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang sehingga semua mata lalu memandang
ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin
heran ketika melihat bahwa yang berbicara itu hanyalah seorang dara muda remaja
yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit
berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya,
melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya.
Seorang dara
yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya
dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit
muka, leher dan tangannya tampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam
mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya
mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri
pinggang yang amat ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikit pun dia tidak
kelihatan malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandangan mata para tamu
yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu
ditujukan kepadanya.
Tung-hai-sian
Bin Mo To memandang pada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tak
merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari
gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah salah seorang di antara kaki tangan
para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa
banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok
Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia
hitam.
Akan tetapi,
karena yang memakinya bohong dan penakut hanyalah seorang gadis muda remaja,
sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, tentu saja terpaksa Bin Mo
To menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum lantas berkata dengan suara
yang cukup sabar dan tenang.
“Agaknya
nona ingin mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya lebih dulu nona suka
memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal
siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di
tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena
kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.
Akan tetapi,
tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali,
kemudian tubuhnya telah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena
dia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan
panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu
dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu
ginkang yang sangat tinggi.
Melihat ini,
Bin Mo To juga terkejut. Ginkang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli
silat yang tingkatnya telah tinggi. Maka, dia pun tak berani memandang rendah
dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.
“Kiranya
nona adalah seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau
sebagai tuan rumah yang telah tua kami tak mengenal pendekar muda dan
penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan
mengeluarkan isi hati nona.”
“Aku bernama
Toan Kim Hong. Mengapa aku mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut?
Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindar dari Pendekar Sadis! Sudah
menjadi ketetapan hati pendekar itu hendak menumbangkan empat orang datuk di
dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk
barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan
diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu
dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk
timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?”
Wajah
Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau saja hal ini terjadi kemarin sebelum
puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai, tentu dia langsung
mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu.
Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak
sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanyalah sebagai
pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan?
Apalah artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan
kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan
kekerasan? Sebab itu, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah
senyum pahit.
“Nona, aku
tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali.
Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekali pun belum tentu aku
mau melayani dia bertempur tanpa sebab-sebab yang jelas, apa lagi sekarang
sesudah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.”
Khawatir
gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong
mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di
antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum.
Pada waktu
Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari
pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya,
yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai beserta
isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa amat sungkan dan malu. Dia tidak
bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada
waktu itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu telah
mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian hingga Thian Sin terpaksa hanya
menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.
“Tung-hai-sian!
Kini Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau
mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak
bernama! Pendeknya, apa bila engkau tidak berani, katakan saja bahwa engkau
takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini dan
membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah
seorang kakek yang penakut!”
Wajah Bin Mo
To menjadi pucat sekali dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang
dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina,
berani engkau mengacau tempat kami?”
Dan
nampaklah sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw telah meloncat dan menyerang
Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah ke lehernya. Akan tetapi
ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itu, menahan
serangan puterinya.
“Anakku,
hari ini merupakan hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam
perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah
lembut dan penuh kasih sayang.
“Hemm,
anaknya jauh lebih gagah dari pada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan dia
memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.
Akan tetapi
sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan
berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda
bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan
pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh
namun berwibawa.
“Biauw-moi,
biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!”
Melihat
bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia
sendiri tentu saja tak merasa gentar menghadapi wanita itu biar pun disebutnya
nama Pendekar Sadis membuat hatinya terasa agak tidak enak. Akan tetapi dengan
munculnya menantunya yang dia tahu amat lihai, apa lagi ketika itu di situ
hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar, maka dia
pun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.”
Lalu dia pun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.
Sekarang Cia
Kong Liang telah berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda
yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu tanpa
menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis dia pun berkata,
“Ahhh,
kiranya inikah putera ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo
To? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih menantu!” katanya dan
semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu berbicara tentang
Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang
setingkat dengan dirinya saja.
Kong Liang
tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkau tadi mengatakan bahwa
kini Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya
sebab aku yang mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi
Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar mengenai kekejamannya dan hari ini aku
ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam
itu!”
Kim Hong
tersenyum dan menjadi semakin kagum dengan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemmm,
tentunya kau she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari
Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu sangat tinggi. Akan
tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian,
bukan orang lain. Kalau orang lain yang hendak maju, maka akulah lawannya!”
Cia Kong
Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tak
peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya
siapa pun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh
berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang telah mencabut
pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang sangat baik dan
mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan
pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk
bertanding.
Kim Hong
memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirnya. Tampan,
ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang
kesaktiannya telah amat terkenal itu. Maka timbullah kegembiraannya sehingga
dia pun ingin mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, dia pun mengerti
bahwa Thian Sin akan merasa sungkan kalau harus melawan pemuda ini yang menurut
penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri.
“Bagus!
Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis kemudian dia
pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan.
Sikap Kim
Hong seperti tengah menghadapi suatu permainan atau pertunjukan yang amat
menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seakan-akan dia
tidak tahu bahwa dia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong
Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu
dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan
tercemar.
“Ingat,
nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” berkata Kong
Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah
menjadi gulungan sinar kebiruan.
“Hik-hik,
jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang
juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat
dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanannya menuding ke atas dada, mulutnya
tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke
kiri.
“Lihat
serangan!” Kong Liang yang bagaimana pun juga merasa tak enak harus melawan
seorang dara muda, lalu membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama.
Kim Hong segera menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan tenaga
karena dia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sinkang yang kuat.
“Cringgg…!”
Kong Liang
yang tadi hanya mengeluarkan setengah tenaganya, menjadi terkejut karena
pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walau pun hanya
merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sinkang yang kuat. Maka dia pun
menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya
hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis.
“Tranggg…!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika dengan sangat kerasnya dua batang pedang itu
bertemu, lantas pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya
menuju ke tenggorokan Kong Liang!
Pemuda ini
terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga,
ternyata ditangkis oleh tenaga yang tak kalah kuatnya, bahkan di saat
berikutnya, pedang ke dua dari lawannya telah menusuk ke arah tenggorokannya.
Dia cepat-cepat miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengan sabetan
pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis.
“Bagus!”
Kong Liang memuji dengan sejujurnya.
Mulailah dia
menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus dari Siang-bhok Kiam-sut yang hebat.
Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai, maka
kehebatannya bukan main. Aslinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk
mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiri pun tidak mampu
jika harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu
dengan pedang baja. Biar pun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu,
akan tetapi ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main.
Melihat
gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum.
Dia merasa amat tertarik sehingga untuk belasan jurus lamanya dia hanya
mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan.
“Bagus sekali!
Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat… hebat… hebat…!”
Dia
menangkis kembali dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah
dahsyatnya. Kini sepasang pedangnya sudah membentuk dua gulungan sinar hitam
yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Dia
pun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu
Pedang Penakluk Iblis) dan karena dia memiliki ginkang yang masih lebih tinggi
dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat
Kong Liang menjadi bingung.
Pemuda ini
cepat mengubah permainan pedangnya dan menggunakan gerakan Thai-kek Sin-kun
untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat digunakan untuk
melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan
sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan
hebat.
Kim Hong
yang merasa gembira sekali itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya sambil
mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot
karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi
Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya!
Semua orang,
termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut
bukan kepalang melihat kenyataan yang pahit ini. Tidak pernah ada yang mengira
bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu
kepandaian yang begitu hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang sangat
lihai itu pun menjadi kewalahan!
Yap In Hong
yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya
mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya, maka dia
pun teringat bahwa kalau sampai dia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja
hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga
Cin-ling-pai main keroyok!
Akan tetapi
pandangan mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa
dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal ginkang, wanita
itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapa pun juga
Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka
begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itu pun tak bermaksud jahat
terhadap puteranya. Maka pendekar ini pun hanya menonton saja dengan hati
tegang akan tetapi wajah tetap tenang.
Juga
Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, pada waktu melihat kenyataan ini diam-diam
dia terheran-heran kenapa tiba-tiba dapat muncul seorang dara yang begini
lihainya. Apa lagi ketika dia melihat sepasang pedang hitam itu, dan
gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya,
yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran.
Apakah dara
ini adalah murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai
luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari
bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana
bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin tiba-tiba lenyap
setelah kedatangan Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh
pendekar itu...?
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment