Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 30



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 30


Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, lalu keluar dari rumah makan itu. Dengan tenang dia pun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara.

Cuaca sudah mulai gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta itu berhenti di depan sebuah penginapan! Mereka berdua itu menginap di dalam sebuah penginapan yang mewah! Makin panaslah hati Thian Sin.

Dan dia pun menyelinap ke dalam gelap lalu dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta kemudian bercakap-cakap sebentar. Agaknya, dari jauh dia bisa menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk berangin-angin lebih dulu di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong tampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, kemudian keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya.

Thian Sin tetap membayangi mereka sambil menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan dari lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

“Nona Toan, engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali bisa berjumpa serta mengenalmu, nona,” terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.

Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah sangat dikenal Thian Sin itu. “Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan aku pun amat gembira bisa berkenalan denganmu.”

“Ahhh…, benarkah apa yang kau katakan itu Kim Hong? Dan bolehkah aku memanggil namamu?”

“Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku.”

“Kim Hong… aku suka sekali padamu… belum, aku belum dapat mengatakan cinta sebab baru beberapa saat kita berkenalan, akan tetapi aku… aku suka sekali padamu.”

“Hemmm, aku pun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali…”

“Kim Hong…” Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya.

Kim Hong tidak menolak, malah mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.

“Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!” Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dalam dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu.

Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong cepat menyambar yangkim-nya lalu berbalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.

“Thian Sin…!” Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.

“Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak akan mati penasaran!” Thian Sin berkata kemudian secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong bukanlah orang yang lemah dan dia langsung menggerakkan yangkim-nya untuk menangkis.

“Dukkk…!”

Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.

“Desss…!”

Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut!

Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya terasa bagaikan ditusuk. Begini marahkah Kim Hong padanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerang dia mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka dia pun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong gembira sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu mempunyai kepandaian silat yang lihai, maka dia pun lalu memutar yangkim-nya dan membantu Kim Hong.

“Pendekar Sadis, sekarang jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku!” bentak Kim Hong.

Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa sangat heran mendengar gadis ini menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Apa bila dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau akan melukai gadis itu. Maka dia pun meloncat ke dalam gelap lantas melarikan diri.

“Lekas lapor ayahmu, aku mengejarnya!” kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan dia pun telah meloncat dengan cepat melakukan pengejaran.

Bagaimana pula Toan Kim Hong bisa bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di kota Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di dalam sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho.

Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yangkim-nya yang selalu dibawanya tergantung di punggung, ada pun tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya.

Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong telah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet di betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya.

Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong bisa mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan sudah siap untuk membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting!

Wi Hong terkejut bukan kepalang dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.

“Hemm, apa yang kau pandang?!” gadis itu membentak sambil memandang dan bertolak pinggang.

Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gandewanya kemudian berjalan menghampiri.

“Ahh, tadi kusangka ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona… ehhh, manusia biasa?”

Wanita itu adalah Kim Hong dan ketika mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. “Kalau aku bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?”

Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan dan kiri. “Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini… cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi seperti ini terdapat… ehh, siluman-siluman yang pandai merubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti… ehh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!”

“Hemmm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dengan siluman?” Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman sebab cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.

Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia langsung pasang aksi, pura-pura berpikir dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri,

“Ahh, kini aku ingat! Dalam kitab dongeng kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang… ahhh, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, bila siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, ada satu hal yang tak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja, aku tidak dapat membuktikan pada dirimu…,” dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tetap tersenyum saja dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini langsung membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.

“Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda, yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera bisa membedakan apakah nona seorang manusia biasa atau sebangsa siluman.”

Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Dia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka dia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri kemudian menyorongkan lengan kirinya kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, “Nah, periksalah.”

Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus seperti lilin diraut. Dia pun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan sesudah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu, dengan kedua matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, maka jari-jari tangannya segera melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra!

Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus, lantas bertanya sambil tersenyum, “Bagaimana, dingin seperti mayatkah?”

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar sambil memandang dengan mata berseri. “Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak… ahhh, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman…!”

Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. “Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?”

Siangkoan Wi Hong menjura, “Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku tadi sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepaskan anak panah… ehh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncullah nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil ini?”

“Namaku Toan Kim Hong…”

“Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan…?” Ahhh, apakah masih ada hubungannya dengan keluarga pangeran…?”

Kim Hong mengangguk.

Siangkoan Wi Hong menjura lagi. “Ah, maaf, maafkan…! Kiranya nona adalah puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum…”

Kim Hong menarik nafas panjang. “Sudahlah, urusan kebangsawanan itu urusan dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan di tempat ini, aku melihat seekor kijang. Oleh karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sabitan jarumku.”

Wi Hong terbelalak. “Apa…? Membunuh kijang dengan sabitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal…!”

“Siapa bilang tak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,” jawab Kim Hong.

Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat digunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya.

Akan tetapi gadis ini dapat membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis ini dapat memastikan bahwa jarumnya sudah menancap di antara mata kijang itu dan tembus sampai ke otak! Hal ini, kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itu pun tentu mengandung racun yang hebat.

Untuk meyakinkan hatinya dia pun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, di antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat.

“Ahh, kiranya aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!”

“Ah, Siangkoan-kongcu terlampau memuji orang. Sebaliknya, aku pun pernah mendengar namamu dan melihat yangkim pada pundakmu tadi pun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang sudah sangat terkenal itu, putera dari locianpwe Pak-san-kui, bukan?”

“Tepat sekali, lihiap.”

“Ahh, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja.”

“Baiklah, kalau begitu biarlah kusebut engkau Toan-siocia.” Siangkoan Wi Hong kemudian memanggul bangkai kijang itu. “Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh orang untuk memasak daging ini di rumahku. Silakan nona.”

Demikianlah, kedua orang itu berkenalan dan Kim Hong lalu mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya, Siangkoan Wi Hong kemudian sering kali mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Maka dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.

Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang membayangi mereka, kemudian Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran dengan Kim Hong.

Di dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sudah sempat mengajak Kim Hong berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan hati gembira. Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu sangat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga mengingat bahwa gadis ini masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka dia merasa girang apa bila puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini.

Dan setelah dia mendengar bahwa Kim Hong adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti pengakuan gadis itu, maka diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Ia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya ia pun mendengar bahwa sebelum meninggal, pangeran itu bersama istrinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya.

Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali sehingga ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya itu dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tak mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong segera mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melapor kepada ayah pemuda itu.

Dengan ginkang-nya yang memang lebih tinggi dari pada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka dia pun cepat pergi meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui.

Pada waktu dia tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan semua murid-muridnya dan ketika melihat Kim Homg datang, Siangkoan Wi Hong cepat-cepat menyambut dan memegang tangan dara itu.

“Nona, bagaimana…? Dapatkah engkau mengejarnya?”

“Aku tahu dimana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberi tahukan hal itu.”

Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Nona Toan, kenapa nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, sebab kakek ini memang menaruh curiga dan sengaja bertanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis ini tidak dapat berbohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis itu bersikap tenang saja, dan di bawah cahaya lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu memandang kepada penanyanya dengan penasaran.

“Ahhh, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang sudah membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biar pun mendiang ayahku telah dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi dia telah diampuni, dan bagaimana pun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku sendiri. Sebab itu tentu saja aku menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!”

“Ayah, selain itu kami berdua pun saling mencinta. Aku… aku telah mengambil keputusan untuk memilih nona Toan sebagai calon jodohku, karena itu sudah sepatutnya apa bila dia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,” kata Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi gadis ini tidak berkata sesuatu.

“Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?” tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis ini mengangguk.

“Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,” katanya.

“Memang itu pun yang menjadi rencana kami,” kata Pak-san-kui. “Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun.”

“Ahh, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!” Tiba-tiba saja Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. “Mengapa hanya menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang yang sakti, belum lagi locianpwe dibantu oleh putera locianpwe yang juga lihai, dan masih ada lagi murid-murid locianpwe yang terkenal pula. Dan jika locianpwe percaya kepadaku, aku pun dapat membantu. Bukan aku hendak menyombong, tapi kalau aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, maka aku pun sudah akan mampu menandinginya!”

Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Bagaimana pun lihainya, tidak mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis. Dia sendiri saja merasa gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis ini pun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu.

Akan tetapi secara diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu, oleh karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu sanggup menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar itu kelihatan gentar sehingga melarikan diri, “Ayah, apa bila Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!”

“Locianpwe, sesungguhnya telah cukup lama aku sendiri pun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan.”

“Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?”

“Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, apa bila kita menyerbu mempergunakan pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan mengetahui lebih dahulu dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka kita tentu akan bisa datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Sebab itu, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu serta aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan.”

Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan secara diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berhasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.

“Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan!” katanya dan mereka lalu berangkat. Kim Hong berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan.

Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam telah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apa pun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan,

“Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima kematian!”

Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.

“Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!”

“Jangan robohkan pondokku…!” Terdengar teriakan lantas pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring,

“Paman, jangan keluar!”

Akan tetapi terlambat sudah! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwe-nya. Terdengar jerit orang itu yang langsung terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas.

Karena menurut Kim Hong rumah itu adalah tempat Pendekar Sadis bersembunyi, maka tentu saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik bersalah mau pun yang tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka dia pun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperlihatkan ke dalam pondok melalui pintu yang kini telah terbuka.

Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok itu, juga tak nampak sesuatu yang muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah langsung meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas.

Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong namun sama sekali dia tak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah ketika melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!

Tadi pun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan ternyata gadis itu kini agaknya sudah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di dalam hatinya, lebih nyeri dari pada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi.

Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, dia pun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa amat nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka dia pun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walau pun mengandung teguran keras.

“Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Pak-san-kui?” Kemudian dia melayang turun ke depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. “Pak-san-kui, tua bangka keparat! kalau memang engkau datuk dan laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah bersama dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!”

Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa lantas berkata dengan nada menghina, “Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau sudah buta dan tidak melihat dengan siapa kau sedang berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup, siapa yang butuh bantuan untuk mengeroyokmu?”

Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan sesudah mendengar gadis itu berkata demikian, tentu saja dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka dia pun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.

“Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tentu tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!” Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dia maksudkan, tiba-tiba saja Pak-san-kui telah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe itu, kemudian menjadi cahaya yang menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin.

Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong juga melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu lantas mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangan ke arah kepala Thian Sin.

“Dukkk!”

Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang sangat berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tempat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-sam-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Namun mereka tahu bahwa jika sampai Pak-san-kui terdesak, maka mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka, Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.

“Adik manis, jika dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang amat berbahaya sekali.” Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian.

Dan perkelahian itu memang sangat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, ia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik.

Akan tetapi sekarang dia sudah tidak membutuhkan lagi akal seperti itu. Lagi pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andai kata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil.

Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu lalu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh Thian Sin.

Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis huncwe dengan lengannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sinkang.

Thian Sin bisa melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini kini telah mendapat kemajuan yang cukup banyak, maka dia pun lalu mulai merubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sukar itu, lawan telah terdesak hebat!

Pak-san-kui juga mengenal jurus-jurus itu, tetapi hanya mengenal kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia merasa bingung sebab mengandung daya serang yang tak pernah diduganya sama sekali, dan selain itu juga sangat hebat. Di dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, “Tahan dulu!”

Siangkoan Wi Hong amat terkejut ketika melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, “Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Oleh karena tingkat kepandaian kalian masih terlalu rendah, maka kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Heiii, Pendekar Sadis, kau tinggalkan dahulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan huncwe maut!” Setelah berkata demikian, Kim Hong kemudian meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!

Perubahan sikap gadis ini sungguh membuat semua orang tercengang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi terkejut dan marah sekali, maka sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh.

Biar pun hatinya panas kalau teringat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dengan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuat hatinya gembira sekali maka begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, dia pun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan bertubi-tubi. Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan senjata yangkim-nya, menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan.

Pemuda hartawan ini merasa kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya sudah terjerat olehnya, ternyata sekarang malah membantu Thian Sin! Maka timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik terhadapnya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.

Dan teringatlah dia betapa gadis itu yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan! Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan ia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suheng-nya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.

Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya itu dengan sikap tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak jika dia menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, dia pun cepat mencabut Gin-hwa-kiam kemudian memutar pedangnya untuk melindungi dirinya sambil kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut.

Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walau pun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.

Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa tiba-tiba gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong.

“Bagus!” bentaknya. “Memang mata anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!”

Kakek itu lantas menghisap huncwe-nya kemudian sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya yang dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Benar-benar merupakan serangan maut yang amat hebat.

Sejak tadi Kim Hong sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan ginkang-nya yang amat istimewa, segera melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kiri kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua tiga panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada!

“Hih!” Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu.

Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain sangat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan nafas, maka terpaksa Kim Hong berjungkir-balik di udara, dan itu saja telah menunjukkan kemahiran ginkang yang sangat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang dari tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak. Sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui.

“Uhhhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwe-nya untuk menangkis.

Terdengar suara nyaring berkerincingan pada saat jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang kembali dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung laksana dua ekor naga hitam mengamuk.

Pak-san-kui menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka! Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main.

“Tahan...!” serunya dan dia pun meloncat kebelakang.

Kim Hong lalu menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada dan memandang sambil tersenyum mengejek. “Pak-san-kui, kini engkau hendak bicara apa lagi?” tanyanya, kini lenyap sikapnya yang tadinya menghormat terhadap datuk itu, berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.

Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin dengan empat orang yang mengeroyoknya. Agaknya puteranya, dan juga ketiga orang muridnya, menyangka bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempat pun meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga turut menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.

“Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan juga tentang Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?”

Pertanyaan ini persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab persis seperti saat dia menjawab See-thian-ong, “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong saja!”

“Tapi… tapi…, Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku…”

“Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku katakanlah, tua bangka!” bentak Kim Hong.

Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Dia tahu bahwa gadis ini ternyata amat lihai, dan mungkin sekali telah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia takut menghadapi gadis ini, tetapi kalau gadis yang selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh pihaknya sangat berbahaya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar sekali dan dia pun membentak,

“Bocah yang bosan hidup!” Dan huncwe-nya sudah menyerang lagi.

Kim Hong tersenyum mengejek lantas menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum-senyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap saja membagi perhatiannya untuk Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu.

Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak dia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja dia memperoleh lawan yang cukup tangguh.

Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya bahkan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang diserahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian dia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang menggembirakan karena memang lihai sekali. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, barulah dia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.

Di lain pihak Pak-san-kui terkejut bukan main sesudah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak mampu mengatasi gadis itu! Jurus apa pun yang dikeluarkannya selalu dapat dibendung oleh gadis itu, sementara dia sendiri dengan setengah mati baru sanggup menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apa lagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang tingkat kepandaiannya agaknya tidak dibawah Pendekar Sadis sendiri.

Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat.

Sesudah membiarkan Kim Hong menghadapi serta ‘merasakan’ kelihaian datuk utara itu selama lebih dari lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Sin melompat dan meninggalkan empat orang pengeroyoknya lalu menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong.

“Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!”

Kim Hong tertawa dan gadis ini pun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka dia pun menjadi marah sekali.

“Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yangkim-nya menyerang ganas, lantas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!

Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yangkim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, dia pun mengerahkan segenap tenaganya.

“Trakkk!”

Memang Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, ujung yangkim-nya pecah terbabat oleh pedang hitam! Dan Kim Hong masih terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu pula Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali dia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat.

Apa lagi Siangkoan Wi Hong juga telah mengalami kekagetan karena ujung yangkim-nya sudah patah. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya dengan mesra itu ternyata memiliki ilmu kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiri pun tidak mampu mengalahkannya.

Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin dan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perubahan. Kini Thian Sin mulai mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan cahaya lampu di depan pondok itu biar pun hanya suram saja namun masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Tapi Thian Sin terus mendesaknya dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.

“Tranggggg…!”

Kembali dua senjata itu saling bertemu dan kali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu langsung terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui telah menggerakkan lengan kirinya yang bisa memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu sudah menangkap kaki kanan Thian Sin.

Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan dia pun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang sudah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.

“Crokkk!”

“Aughhhhh…!” Pak-san-kui meloncat berdiri kemudian terhuyung ke belakang.

Lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku tetapi tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan segera melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia langsung menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.

“Trangg! Tranggg…!”

Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin segera menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada waktu kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, sekarang menggunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu segera menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin, tetapi pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan mendadak Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng!

“Ahhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali.

Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu akan menggunakannya pada saat itu. Kini huncwe-nya melekat pada tangan pemuda itu dan pada waktu dia sedang mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot huncwe, pemuda itu juga mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sinkang yang tersalur lewat tangan kanannya.

Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dengan menghentikan pengerahan sinkang-nya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lweekang-nya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba saja merenggut lepas huncwe-nya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.

“Prakkk!”

Huncwe itu remuk, pecah berantakan, namun tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!

Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu kemudian meloncat mendekati untuk memeriksa apakah betul lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.

“Dessss…!”

Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam.

Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang sesudah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.

“Cusss…!”

Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Bahkan disangkanya kakek itu sudah mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi!

Ternyata kakek itu telah tewas sesudah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruk dirinya tadi! Dia telah menggunakan tenaganya yang terakhir dalam tendangan tadi dan sesudah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.

Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Dia pun tidak membantu, hanya menonton saja sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia merasa semakin kagum kepada Kim Hong.

Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Tapi jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu.

Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan ginkang-nya yang luar biasa dia seperti beterbangan ke sana ke mari, laksana seekor kupu-kupu yang lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan angin dahsyat dan suara berdesing-desing sehingga membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali.

Malah barisan Sha-kak-tin itu pun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong turut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dalam bentuk segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biar pun dasar ilmu silat mereka masih dari satu sumber, namun kehadiran Siangkoan Wi Hong ini justru tak memungkinkan lagi bagi mereka untuk memainkan Sha-kak-tin secara sempurna.

Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan mereka pun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka ini sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Namun akibatnya malah mereka sendirilah yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!

Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Dia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi masih belum mau merobohkan mereka. Dia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dulu, dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah dia tersenyum.

“Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringi guru kalian pergi ke neraka!”

Dan gerakan pedangnya pun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali cahaya hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tidak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka.

Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang menjadi marah bukan kepalang menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali cahaya hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus akibat terbabat cahaya hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.

Kini tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri yang harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia segera maklum bahwa tak mungkin dia dapat melarikan diri lagi maka dia pun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yangkim ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu!

Akan tetapi, dengan mudahnya Kim Hong dapat mengelak dari sambaran yangkim, lantas sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, dia telah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu sudah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang sangat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher!

Siangkoan Wi Hong kaget sekali dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja Kim Hong memutar kepalanya sehingga tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa oleh putaran itu, lantas diputar beberapa kali dengan amat kuatnya, dan akhirnya belitan rambut itu terlepas.

Tubuh Siangkoan Wi Hong langsung melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi telah membuatnya tak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tak mampu mengelak lagi.

“Prokkk!”

Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak akibat tamparan yang dilakukan oleh Thian Sin dan dia pun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.

Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.

“Kim Hong…”

“Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita akan repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin.

Mereka baru berhenti setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti dengan sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walau pun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!

MEREKA berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorang pun manusia lain di sekitarnya.

“Kim Hong,” kata Thian Sin yang semenjak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dalam dada, sebab ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah sengaja hendak mengajaknya berlomba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.”

Kim Hong tersenyum, mempergunakan sapu tangan sutera hijau untuk menghapus peluh dari leher dan dahinya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, dia pun lantas menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.

“Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling, dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.

Thian Sin mengerutkan kedua alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya sehingga dia menjadi tidak sabaran. Dia pun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.

“Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa… kenapa engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?”

Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian dia mencabut sebatang rumput, lantas menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih bagaikan deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.

“Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Bila engkau tidak mengerti kenapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tetap saja tolol dan aku tak mau memberi tahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kau sohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan pada waktu aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku lalu mencegahmu. Aku pura-pura bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya, dan melihat keadaan mereka sangat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau sanggup mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, lalu engkau lari, dengan diam-diam aku membayangimu dan tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya serta tiga orang muridnya menyerbu, bukankah itu adalah hal yang kau tunggu-tunggu?”


cerita silat online karya kho ping hoo


Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong segera mengelak.


“Kim Hong, maafkan aku. Ternyata engkau melakukan semuanya itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kau maafkan aku!”

Bibir bawah yang lunak itu lantas mencibir, “Hemmm, untuk salah pengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya jika engkau salah mengerti. Hal ini justru membuat penyelidikanku menjadi sempurna.”

“Kim Hong, apa bila engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.”

“Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek.

“Kim Hong… aku minta kepadamu, jangan kau biarkan aku dalam kebingungan. Kuharap engkau suka menjelaskan mengapa engkau meninggalkan aku dan kenapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.”

Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberi tahu, akan tetapi kalau setelah ini engkau tidak mau minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Kau dengar baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau juga telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di hadapan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan laki-laki lain, tanpa peduli siapa pun laki-laki itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu bahwa engkau membayangi kami, dan memang aku ingin engkau melihat hal itu! Nah, kini aku telah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.

Thian Sin menjadi bengong sejenak, namun ketika melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walau pun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka dia pun segera menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan dia pun berkata, “Kim Hong, kau ampunkanlah aku, Kim Hong.”

Sikap serta ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini dia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.

“Kim Hong, aku mengaku salah… aku… tidak sengaja, melihat dia menghadapi kematian, aku terharu dan… ahhh, ampunkan aku, Kim Hong, aku… cinta padamu.”

Akan tetapi walau pun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di hadapannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan.

“Kim Hong, maukah engkau memaafkan dan mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.

Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu semenjak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kau kira saat ini kau masih dapat hidup?”

Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang dia pun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui dan turut mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia tak akan mungkin dapat menang. Hanya menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong. Maka apa bila Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah.

Apa lagi di sana masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi jika diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu tadi dia sudah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapa pun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.

“Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh akulah yang tolol, dan aku sangat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?”

Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, jika aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?”

“Kim Hong…”

Mereka lalu berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan segenap kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta birahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.

Senggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tak bisa terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang amat suci, karena di dalamnya terkandung kemukjijatan besar, yaitu perkembang biakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.

Sungguh sayang bahwa semenjak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tak akan terbebas dari pada perbuatan itu pula.

Sementara bahkan ada pula pandangan dari orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa senggama adalah sebuah hal yang ‘kotor’ untuk dibicarakan. Mengapakah kita tak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, malah banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila bila mana membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di sanalah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si ‘aku’?

Ataukah karena begitu saratnya kata senggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang hal itu dianggap tak layak dikemukakan kepada kita yang ‘berbudaya’, yang ‘sopan’, yang ‘bersusila’? Kenapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walau pun tidak seorang pun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi tidak malu melakukannya, walau pun dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah ini munafik namanya?

Memang, seperti juga orang makan, apa bila senggama dilakukan orang hanya sekedar untuk mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, apa bila hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin ‘makan’ lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit.

Demikian pula dengan senggama, jika dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu birahi semata dan hal ini akan menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinahan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau senggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan senggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.

Perbuatan apa pun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali senggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, sedikit pun tidak terdapat kekerasan, di sana yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan.

Saling membahagiakan! Inilah senggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena ingin membahagiakan partnernya. Inilah senggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.

Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa senggama hanyalah suci dan bersih apa bila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.

Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan merupakan sesuatu yang kotor karena di situ juga terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, sangat perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa senggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta.

Saling mencinta! Bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda atau lainnya. Anak-anak kita perlu mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemukjijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembang biakan manusia.

Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih sebagai penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran diri sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata mau pun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati.

Cabulkah orang yang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang tergambar di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya jika di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi sambil memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apa pun.

Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang sering kali mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita. Sang Pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu birahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu birahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si ‘aku’ yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.

Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.

Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri.

Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi sehingga membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi sebuah kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lantas menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.

Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah kini mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walau pun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.


                 ***************


“Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapa pun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!”

“Ibu, apakah dalam hal ini ibu hendak menonjolkan kedudukan?” puteranya membantah. Kini Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walau pun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.

“Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumu pun sejak muda dikenal sebagai seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu telah mendengar perkumpulan macam apa yang dinamakan Mo-kiam-pang yang diketuai serta didirikan oleh Tung-hai-sian itu. Mereka itu menguasai seluruh dunia perbajakan.”

“Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin supaya menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu berbicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya sehingga sadar bahwa dia bicara terlampau keras kepada ibunya, maka langsung disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi saat aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan orang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?”

“Betapa pun juga, orang tua serta keluarganya tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu.”

Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia lalu menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari dengan perhitungan-perhitungan yang semuanya mengandung kebenaran. Akan tetapi betapa pun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain sehingga terjadilah perselisihan dan kalau sudah demikian, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapa pun tepat semua pendirianmu tadi, akan tetapi kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampur tanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekali pun, biasanya tak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kau ingat akan hal ini.”

Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itu pun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya?

Dia tahu betul akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya dia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi tetap saja dia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan alangkah sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, dia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah.

Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan terhadap isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya dapat berjodoh dengan seorang dara yang bisa memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.

“Lagi pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.”

Mendengar ini, Yap In Hong segera mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyuman penuh harapan. “Itulah harapanku, dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.”

Kong Liang sungguh maklum apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi di dalam perasaan ibunya. Maka dia pun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih.

“Percayalah, ibu, selama ini aku sudah bertemu dengan banyak wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Di samping cantik jelita, dia juga sangat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan semua gerak-geriknya, pakaiannya, sangat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walau pun dia adalah anak orang kaya.”

Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Dahulu ayahmu juga menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!”

“Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!”

Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini lantas tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira sehingga suasana menjadi tenang dan akrab kembali.

Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka mulai melihat kenyataan betapa putera mereka memang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biar pun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu hanyalah berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andai kata gagal sekali pun tidak langsung membikin malu.”

Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya kalau melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian, kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.

Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat girang dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To.

Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu, Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Dia juga mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.

Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah sebuah hal yang remeh sehingga patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau sudah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kau akui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih sangat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan kalian ditunda dulu selama beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah kalau terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.”

Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja di dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga bukan kepalang itu mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.

Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh sangat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggota Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali.

Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru dan diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah datang lebih dahulu dan terjadilah pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut dengan penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.

Tung-hai-sian Bin Mo To merasa berbahagia dan bangga bukan kepalang. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, sungguh pun keturunan samurai sekali pun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh bangsa Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapa pun juga, tak dapat diingkari bahwa dia adalah seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar dalam dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar.

Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang sangat disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengan putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar.

Karena itu, biar pun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau pun kaum pendekar, semuanya dikirimi undangan.

Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aslinya Minamoto itu dibanjiri oleh tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan sangat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, juga penuh dengan para tamu.

Minuman berlimpahan berikut kue-kue ringan disuguhkan sebelum hidangan dikeluarkan, dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik.

Semua wajah kelihatan gembira seperti biasanya tampak di dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan berjumpa dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk satu meja. Kelompok memilih kelompok, dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.

Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka yang berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, sambil mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Dan untuk keperluan ini Bin Mo To tidak ingin melupakan asal-usulnya, maka dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal.

Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seekor harimau.

Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, tapi akhirnya mereka juga muncul di pinggiran.

Bagaimana pun juga, Bin Mo To merasa amat sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dan masih nampak cantik dengan pakaian Korea yang khas.

Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka ia pun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walau pun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah.

Untung bahwa dara ini mempunyai bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biar pun dia menjadi tokoh utama di dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, tapi pakaiannya yang indah itu tidak terlampau menyolok, bahkan mukanya tidak dibedaki terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon menantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiri pun merasa amat puas.

Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, segera menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak amat berwibawa meski pun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pada saat itu pedang Hong-cu-kiam menjadi ikat pinggang atau sabuknya.

Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih kelihatan gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.

Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini memiliki sikap yang agak tinggi hati. Betapa pun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.

Tempat pesta sudah penuh oleh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, disesuaikan dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan.

Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu anak murid atau anggota-anggota dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.

Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit berdiri dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu. Dia berjalan ke pinggir panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisik itu pun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan sepasang kaki terpentang, lantas dia mengangkat dua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu.

“Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita semua dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi sudah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang mulai saat ini sudah dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.”

Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.

“Bagi kami, ikatan perjodohan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kami pun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Mulai saat ini juga kami hendak mencuci tangan membersihkan diri supaya tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini kemudian mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.

Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggota dari Mo-kiam-pang, segera bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya.

Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Tentu saja papan nama itu terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.

Sejenak kakek ini menatap papan nama itu dengan muka yang agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang lantas begitu tangannya bergerak, nampaklah bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tidak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata,

“Mulai saat ini juga Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggota Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.”

Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian itu membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan serta perlindungan Mo-kiam-pang! Benar-benar merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat mau pun kaum pendekar.

Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya, kemudian suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!”

Semua orang lalu memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, dan tak ada pula sebutan Datuk Dunia Timur! Mulai saat ini saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya sudah mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!”

Pengumuman ini benar-benar mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan serta nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya.

Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka kini menjadi lemah. Apa lagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar sebab memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya justru melebihi kekejaman golongan sesat yang mana pun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk ini pun mengundurkan diri.

Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di sana bangkit berdiri lantas berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan yang jelas, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?”

Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, bersama murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, sedangkan Lam-sin dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul pula di selatan.

Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka semua orang tentu saja dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan hingga semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya segera berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.

“Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang tadi mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walau pun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang sudah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!

“Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.”

Bagaimana pun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena rata-rata mereka pun merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya serta melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.

“Tadi sudah kunyatakan bahwa sesudah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin lagi kami melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimana pun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Karena itu, demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapa pun juga.”

“Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!”

Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang sehingga semua mata lalu memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang berbicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya.

Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya tampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang amat ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikit pun dia tidak kelihatan malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandangan mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.

Tung-hai-sian Bin Mo To memandang pada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah salah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam.

Akan tetapi, karena yang memakinya bohong dan penakut hanyalah seorang gadis muda remaja, sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, tentu saja terpaksa Bin Mo To menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum lantas berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.

“Agaknya nona ingin mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya lebih dulu nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.

Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali, kemudian tubuhnya telah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena dia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu ginkang yang sangat tinggi.

Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Ginkang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya telah tinggi. Maka, dia pun tak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.

“Kiranya nona adalah seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau sebagai tuan rumah yang telah tua kami tak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.”

“Aku bernama Toan Kim Hong. Mengapa aku mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindar dari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu hendak menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?”

Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau saja hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai, tentu dia langsung mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanyalah sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apalah artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Sebab itu, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit.

“Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekali pun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab-sebab yang jelas, apa lagi sekarang sesudah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.”

Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum.

Pada waktu Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai beserta isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa amat sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada waktu itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu telah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian hingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.

“Tung-hai-sian! Kini Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, apa bila engkau tidak berani, katakan saja bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini dan membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!”

Wajah Bin Mo To menjadi pucat sekali dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?”

Dan nampaklah sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw telah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah ke lehernya. Akan tetapi ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itu, menahan serangan puterinya.

“Anakku, hari ini merupakan hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.

“Hemm, anaknya jauh lebih gagah dari pada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan dia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.

Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.

“Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!”

Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tak merasa gentar menghadapi wanita itu biar pun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya terasa agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya menantunya yang dia tahu amat lihai, apa lagi ketika itu di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar, maka dia pun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu dia pun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.

Sekarang Cia Kong Liang telah berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis dia pun berkata,

“Ahhh, kiranya inikah putera ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih menantu!” katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu berbicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja.

Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkau tadi mengatakan bahwa kini Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya sebab aku yang mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar mengenai kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!”

Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum dengan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemmm, tentunya kau she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu sangat tinggi. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan orang lain. Kalau orang lain yang hendak maju, maka akulah lawannya!”

Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapa pun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang sangat baik dan mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding.

Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirnya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang kesaktiannya telah amat terkenal itu. Maka timbullah kegembiraannya sehingga dia pun ingin mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, dia pun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan kalau harus melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri.

“Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis kemudian dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan.

Sikap Kim Hong seperti tengah menghadapi suatu permainan atau pertunjukan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seakan-akan dia tidak tahu bahwa dia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar.

“Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” berkata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan.

“Hik-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanannya menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri.

“Lihat serangan!” Kong Liang yang bagaimana pun juga merasa tak enak harus melawan seorang dara muda, lalu membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong segera menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan tenaga karena dia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sinkang yang kuat.

“Cringgg…!”

Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan setengah tenaganya, menjadi terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walau pun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sinkang yang kuat. Maka dia pun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan sangat kerasnya dua batang pedang itu bertemu, lantas pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokan Kong Liang!

Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tak kalah kuatnya, bahkan di saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya telah menusuk ke arah tenggorokannya. Dia cepat-cepat miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengan sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis.

“Bagus!” Kong Liang memuji dengan sejujurnya.

Mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus dari Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai, maka kehebatannya bukan main. Aslinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiri pun tidak mampu jika harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biar pun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, akan tetapi ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main.

Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Dia merasa amat tertarik sehingga untuk belasan jurus lamanya dia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan.

“Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat… hebat… hebat…!”

Dia menangkis kembali dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kini sepasang pedangnya sudah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Dia pun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Penakluk Iblis) dan karena dia memiliki ginkang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung.

Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan menggunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat digunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat.

Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya sambil mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya!

Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan kepalang melihat kenyataan yang pahit ini. Tidak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang sangat lihai itu pun menjadi kewalahan!

Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya, maka dia pun teringat bahwa kalau sampai dia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok!

Akan tetapi pandangan mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal ginkang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapa pun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itu pun tak bermaksud jahat terhadap puteranya. Maka pendekar ini pun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang.

Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, pada waktu melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran kenapa tiba-tiba dapat muncul seorang dara yang begini lihainya. Apa lagi ketika dia melihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran.

Apakah dara ini adalah murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin tiba-tiba lenyap setelah kedatangan Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu...?























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12