Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 26
Thian Sin
melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak kedua orang
pengemis yang menghadangnya di luar itu. Dia bersikap seolah-olah tidak melihat
bahwa dua orang pengemis itu marah bukan main, dan tidak melihat bahwa tangan
mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin
memukul. Bahkan dia tersenyum.
“Aihhh,
kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus
oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?”
“Keparat
bermulut busuk!”
“Bocah sudah
bosan hidup!”
Dua orang
pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah
dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun
Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat
menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa,
“Nah, ini
hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!”
Tangannya
lantas bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak
kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata
terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu sudah
menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar sehingga membuat lengan
mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main.
Maklum bahwa
pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu
segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar. Kedua lengan
masih bergantung lumpuh.
“Hei, jangan
lupakan tongkat jimat kalian!” Thian Sin berseru.
Thian Sin
menyambar dua tongkat itu, kemudian melemparkannya dengan sembarangan ke depan.
Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua
orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka yang
menggantungnya sendiri!
Semua orang yang
berada di rumah makan itu dan tadi sudah melongok keluar pintu dan jendela,
karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu tentulah akan dibunuh oleh dua
orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir
mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua
keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu.
Pertama,
adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang,
bahkan berani menyebut-nyebut serta menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya
seorang pemuda yang sanggup mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang
hanya dalam satu gebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan
menggunakan tulang-tulang ayam!
Dan kini
mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu
seenaknya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena itu
mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa
itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya?
Pertanyaan
ini juga bergema di seantero Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang
mendengar laporan dari dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang
ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan
senjata-senjata rahasia yang ampuh, langsung menggebrak meja.
“Siapakah
pemuda keparat itu?”
“Kami… kami
tidak tahu namanya.”
“Bodoh!
Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?”
Seorang
pengemis yang baru datang berkata, “Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini
mondok di rumah penginapan Lok-nam.”
“Bagus,”
kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. “Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan
untuk menangkapnya dan menyeretnya ke sini!”
Lima orang
pengemis serentak memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Kelimanya
berusia empat puluhan tahun dan semuanya bertubuh tinggi kurus. Mereka ini
terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam).
Hek-coa
Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obatan serta
racun-racun ular dan memainkan pertunjukan dengan ular-ular hitam. Oleh karena
itulah, sesudah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka
lantas diterima sebagai anggota-anggota kai-pang kemudian menjadi lima di
antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis
Ular Hitam. Mereka adalah para ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat
mereka yang tinggi, apa lagi sesudah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat
Penakluk Iblis).
Malam itu
suasana di penginapan Lok-nam sunyi sekali. Hal ini bukan sekali-kali karena
penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik
penginapan serta para tamu, penjaga dan pelayan sudah mendengar dari Bu-tek
Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan
berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang
yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!
Tentu saja
hal ini menimbulkan ketegangan, apa lagi ketika para pelayan membocorkan
rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan
yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur
atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka
terbawa-bawa.
Tentu saja
Thian Sin tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Sesudah
pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis
itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya ‘kakap’, yaitu
Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar.
Sejak pagi
tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek
Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang
tadi diperlihatkannya pada saat dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak
berapa hebat, sehingga tidak mungkin membuat jeri tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang
yang tentu jauh lebih lihai dari pada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi
tadi.
Dia menduga
kalau hari itu tidak terjadi sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai
malam ini. Maka dia pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan
tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan
pelayan rumah penginapan itu dapat mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca
sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!
Menjelang
tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah betul-betul sunyi sepi.
Pemuda yang menjadi pusat perhatian, yang tadi masih membaca sajak dengan
suaranya yang merdu, kini pun sudah tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah
sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.
Nampak
bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepat. Mereka memasuki rumah
penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus
hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana
Thian Sin bermalam.
Tidak lama
kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari
dupa yang sangat harum. Sesudah sampai beberapa lamanya membiarkan kamar itu
penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius, lima orang Pengemis Ular Hitam
itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui
jendela-jendela yang terbuka.
Betapa pun
juga, mereka masih tetap menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat penawar
untuk ditutupkan pada muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui
jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas
pembaringan, sedikit pun tidak bergerak.
Dengan
girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan,
lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari
luar jendela yang sudah terbuka. Biar pun remang-remang mereka dapat melihat
bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.
“Hayaaa…!”
Mereka berteriak dengan kaget.
“Kita
tertipu…!”
Kiranya yang
mereka tubruk bersama itu tak lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan
diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah
berada di mana!
“Cepat
keluar, angin buruk!” kata yang menjadi pimpinan.
Angin buruk
ini berarti bahwa keadaan tidak bagus bagi mereka sehingga mereka hendak
cepat-cepat pulang untuk melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika
mereka sedang berloncatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda
yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan
pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!
“Ha-ha-ha, pengemis-pengemis
tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!” Pemuda itu mengejek sambil
tersenyum lebar.
Lima orang
pengemis yang telah menerima perintah dari ketua mereka untuk menangkap pemuda
itu, ‘hidup atau mati’ demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung.
“Orang muda,
menyerahlah supaya kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tak perlu untuk
melukaimu,” kata seorang di antara mereka.
Sebenarnya
ucapan ini sama sekali bukan timbul karena rasa sayang kepada pemuda ini
melainkan karena mereka sudah gentar dan ingin agar pemuda itu menyerah saja
supaya mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik
sekali ini.
“Jembel
busuk, ucapanmu seolah-olah kalian mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh
ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa dia tidak berani
muncul? Sampaikan tantanganku ini kepadanya!”
“Manusia
sombong!” Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi
mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja
tanpa dipuja. Mereka segera menerjang dengan tongkat akar bahar mereka,
langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.
Tingkat
kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlampau rendah apa bila
dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada saat itu sehingga
kalau saja dia menghendaki, maka hanya dalam satu dua jurus saja Thian Sin
dengan mudah akan bisa merobohkan, bahkan menewaskan mereka semuanya.
Akan tetapi
pemuda ini masih melanjutkan siasatnya memancing ‘kakap’ sehingga dia tak mau
membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka dia pun melayani lima
orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in
Kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima
orang anak-anak yang nakal saja. Ke mana pun tongkat mereka menyambar, selalu
saja mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin.
Beberapa
kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat pula dia berpura-pura
terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya
tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi dari pada mereka.
Dengan lagak
bagai orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya sehingga nampaklah
cahaya perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai
hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun
Liong di Bwee-hoa-san.
Dan kini
perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin segera
memainkan pedang itu dengan indahnya dan mengatur agar mereka nampak setanding.
Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah
pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas, lantas robohlah empat orang pengeroyok
dengan leher berlubang dan mereka pun tewas seketika, ada pun yang seorang lagi
hanya kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin!
Orang ini merintih-rintih sambil menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan
yang buntung itu.
“Hemmm,
pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam
kamarku!” Sesudah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin
berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan
pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja dia pun sudah pulas!
Tentu saja
peristiwa ini lalu menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek
Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemis, malam ini bahkan
sudah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat orang di antara mereka dan
membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main!
Lima Ular
Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal
ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu!
Biar pun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa ilmu
kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu sudah
dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti
bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan.
Dan mereka
semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek
Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini bahkan berani membunuh itu. Mereka pun
segera teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan,
malah sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis!
Benarkah
pemuda ini adalah Pendekar Sadis dan apa bila benar demikian, mengapa dia
mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda
itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.
Tiga orang
ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga segera pergi
menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Saat tiga orang ketua itu
datang menghadap, Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi, dan
sebelum dia menerimanya, dia telah lebih dahulu mendengar dari pelayan wanita
tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.
“Hemm,
pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka
langsung saja datang ke sini dan juga sediakan sarapan untuk mereka,”
perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang
cantik-cantik.
Begitu masuk
dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat
disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu
cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak.
“Sudah, kalian
jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku
sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan.” Ucapannya ini diikuti
sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata
itu, yang selalu ditakuti serta dikagumi oleh ketiga orang ketua kai-pang ini,
kelihatan bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.
Tiga orang
ketua itu tidak berani menolak, biar pun agak canggung namun mereka makan
sarapan pagi bersama guru sekaligus ketua mereka yang mereka hormati dan takuti
itu. Dan akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang
dilakukan dengan seenaknya seakan-akan tidak ada apa-apa yang menyusahkan di
dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung
dan kelihatan gugup itu.
Setelah para
pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah
Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu, lantas berkata, “Sepagi ini kalian
sudah datang menggangguku, tentu ada urusan penting sekali yang kalian merasa
tak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?”
“Harap
locianpwe sudi memaafkan kami,” kata mereka.
Mereka
memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak
menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya
menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu.
“Sebenarnya
kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk
menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang
sekali ini menentang Bu-tek Kai-pang adalah orang yang baru-baru ini namanya
menonjol di dunia kang-ouw, bahkan sudah menggegerkan kota raja, maka kami
memberanikan diri untuk melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan.
Jika locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi
mengganggu locianpwe.”
“Menggegerkan
kota raja? Siapakah yang akhir-akhir ini menggegerkan kota raja selain Pendekar
Sadis itu?”
“Itulah dia
orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe.”
Nenek itu
nampak tertarik. “Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke
sini menentang Bu-tek Kai-pang? Lekas ceritakan semuanya!”
Ang-i
Kai-ong lalu mewakili para sute-nya dan menceritakan semua peristiwa yang
terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang
pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian ada dua orang pengemis
dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan supaya tulang-tulang ayam
itu disampaikan kepada raja pengemis.
“Bahkan dia
sudah berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat
kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe.”
Nenek itu
tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya
dia membunuh orang sambil tersenyum saja!
“Menarik
sekali!” katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik
benar. “Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!”
“Menurut
laporan para anggota, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang ia telah
merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima
Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan.”
“Hemmm, apa
bila mereka juga gagal, maka menarik sekali,” kata Si Nenek yang sudah mengenal
kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.
“Memang
mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka
yang hanya menderita buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang
saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya
besar.”
Dia lalu
menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di
antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi yang dibuntungi lengannya dan kembali
di dalam kesempatan itu, Si Pemuda menantang Lam-sin tanpa menyebutkan namanya.
Lam-sin
mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali.”
“Memang dia
sombong bukan main, locianpwe. Akan tetapi jika locianpwe menghendaki, kami
masih cukup kuat untuk menundukkan dan menyeret dia ke depan kaki locianpwe,”
kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.
Akan tetapi
nenek itu tersenyum. “Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja
nanti bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau
menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia
adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan
berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Tapi
kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku. Aku akan melihat
dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk
melawanku, baru aku akan menemuinya.”
Lam-sin
memanggil pelayan lantas membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda,
kemudian memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf
halus:
KEPADA
PENDEKAR SADIS
Sehari lewat
tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak
merasa heran ketika melihat semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang
tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa
semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak
berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang.
Dia tidak
tahu bahwa waktu seharian itu dipergunakan oleh para anggota kai-pang untuk
melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka
mendapat berbagai keterangan tentang pendekar itu, yang dikabarkan masih muda
dan berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah
lembut, murah senyum, mereka tak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di
rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis!
Maka pada
hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian
Sin.
“Masuk saja,
pintuku tidak dikunci!” kata pula Thian Sin yang sedang duduk termenung di
dalam kamarnya.
Pintu lalu
terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. “Ada orang menyerahkan surat
ini, kongcu, akan tetapi walau pun nomor kamarnya adalah nomor lima, kami tidak
tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan.”
Thian Sin
menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar.
KEPADA
PENDEKAR SADIS
Dia
tersenyum dan mengangguk. “Benar, surat ini untukku. Terima kasih!”
Itulah
tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu
adalah Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak
terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu segera mengundurkan diri
keluar dari kamar itu.
Thian Sin
tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia tetap
bersikap hati-hati, tidak ceroboh pada waktu membuka surat karena dia maklum
bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan
tetapi, tidak ada jarum rahasia atau pun asap beracun yang menyambar keluar
dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi,
karena itu dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli.
Namanya juga
datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat pun dengan amplop dan kertas berwarna
merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya
tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.
Lam-sin
menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya
di Lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota Heng-yang, kalau Pendekar Sadis
memang berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini.
Tertanda:
Lam-sin
Thian Sin
tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan
dirinya, walau pun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.
“Ha-ha-ha,
menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apa lagi murid-muridmu, Lam-sin!”
katanya sambil tersenyum.
Tidak lama
kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya
tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di sana untuk
menyelidiki, segera melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi
semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali.
Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan
tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu?
Siang hari
itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta pora
seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda
ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, sebab salah satu di antara
hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, selain perkosaan yang merupakan hal
terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan.
Sekarang
Lam-sin sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka
melakukan penyerangan melalui makanan yang mengandung racun, kalau sampai
gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah sekali kepada
mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.
Sehabis
makan, sesudah beristirahat beberapa jam lamanya, pada waktu matahari mulai
condong ke arah barat, Thian Sin pun keluar dari kamarnya, langsung menghampiri
meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, “Tolong kalian
beri tahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur
kota ini.”
Para
pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka.
Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga
tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di
antara sahabat-sahabat sendiri saja.
Tergopoh-gopoh
pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberi tahukan
jalan serta arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini secara
diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka
berbeda penuh kengerian dan ketakutan.
***************
Lembah itu
merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti
permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, namun di
padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya.
Pada waktu
Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan
cemara seperti yang diberi tahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang
sunyi dan tidak nampak ada seorang pun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh
suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat
mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya
seperti menghilang saja.
Thian Sin
seakan tenang-tenang saja dan dia tak akan mengambil peduli kalau saja yang
bergerak itu orang biasa, atau dengan ginkang biasa saja. Akan tetapi gerakan
orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya bagaikan terbang. Maka dia
merasa penasaran dan dia pun lalu mengerahkan ginkang dan melakukan pengejaran.
Bayangan itu
masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu cepatnya sungguh luar biasa.
Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia
mengejar, lenyap lagi, kemudian muncul di sebelah kanan.
Thian Sin
semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu sedang mempermainkan dirinya, atau
setidak-tidaknya, tentu tengah menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat
dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu
lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata sudah berkumpul
tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang
yang tinggi tingkatnya.
Thian Sin
lalu teringat bahwa dulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang
dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu
bahwa sekarang telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal
dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang
pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu.
Maka,
melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang
dengan sikap gagah, dia kemudian melangkah maju, menghampiri mereka dan sesudah
memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri,
seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara
para sahabat!
“Manakah
ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk
Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap
mereka berdua suka memperkenalkan diri.”
“Pendekar
Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!”
Thian Sin
memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah
seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah
tambal-tambalan. Di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi
berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang
ujungnya runcing.
“Yang
manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?”
Ang-i
Kai-ong menjawab, “Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong
telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami
bertiga.”
“Ah,
begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk
memenuhi panggilan dan tantangannya.”
“Bocah
sombong!” bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. “Tidak sembarangan orang boleh
berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau sudah mengacau dan menghina Bu-tek
Kai-pang, nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau
engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan
Lam-sin!”
Thian Sin
mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka dia pun
tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan
kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tak
jauh dari situ.
“Ha-ha-ha-ha!
Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan
berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!”
Dia keliru
karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba
ginkang-nya tadi, kemudian terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya
untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.
Kata-kata
Thian Sin tadi merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek
Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang sangat ditakuti,
dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka
menjadi marah sekali.
Akan tetapi,
ketiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis
yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja
dan membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya.
Kemudian terdengar desas-desus pula bahwa pemuda ini telah mengacau
Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sianjin yang amat lihai itu. Maka, mereka
bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lantas berteriak kepada para
anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat
tinggi, agar segera maju mengepung dan mengeroyok!
Kurang lebih
tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang cepat maju mengepung dan mereka
bergerak mengelilingi pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Sebagian besar di antara mereka memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi
ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.
Thian Sin
yang memang datang dengan maksud untuk membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah
membantu saat keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang
sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan, kanan dan kiri, ada pun
telinganya terus mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat
oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat
syaraf di tubuhnya menegang dan sudah dalam keadaan siap.
Thian Sin
berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dahulu,
melainkan terutama sekali membuat perhitungan dan mempelajari kedudukan mereka.
Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan
yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena
itu dia pun bersikap waspada.
Dia melihat
betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya,
ketua baju hijau dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di belakang
barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah
kanannya dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya.
Ada pun sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.
Tiba-tiba
mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu
telah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya,
kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan
tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya sebab itu
tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu.
Dia melihat
betapa mereka, tiga golongan ini sudah siap untuk menyerbu dan menunggu
kesempatan. Dia pun bisa menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak
dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau
mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan
penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.
Sebab itu,
Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap
memperhatikan musuh-musuh di depan. Setelah dia merasa ada sambaran senjata
yang sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, barulah dia membalik dan
menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.
Terdengar
teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya
lima orang penyerang paling depan yang terjengkang dan tak berkutik lagi karena
mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan
kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku
kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga
sinkang yang kuat sekali.
Melihat hal
ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati
mereka gentar bukan main. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu,
sekali membalikkan tubuh dan mendorong dengan dua tangan, langsung membunuh
lima orang teman mereka!
Ketika Ang-i
Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin telah membalikkan tubuhnya
lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah menggerakkan
barisan masing-masing, maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan
hujan saja.
Thian Sin
menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tak tinggal
diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dan hebatnya, setiap
serangan balasan dari kaki serta tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok
untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan
perkelahian yang seru dan mengerikan.
Karena
datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biar
pun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sinkang yang membuat
tubuhnya kebal dan tak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat
melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia pun menjadi marah
sekali.
Memang
penyerangan itu teratur sekali. Kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan
kanan menyerbu, dan kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu
dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus sehingga kini telah ada kurang
lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya.
Dan ketika
dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia segera
meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya sambil melindungi
dirinya dengan kekebalan, kemudian dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong!
Kakek ini
terkejut lantas menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan
tusukan tongkat, dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu
hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput.
Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik
dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat
ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.
“Dukkk!”
Dia
menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i
Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian
besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat
sehingga kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah
cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i
Kai-ong meluncur ke arah pusarnya, ada pun tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke
arah kepalanya.
“Plakk!
Plakk!”
Dua tangan
Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i
Kai-ong, kedua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat
mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan
mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah
menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu
Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian
mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai,
kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!
Para anggota
Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang
terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu kini telah membunuh dua belas orang
teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka
telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat
itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang amat lihai
itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung
tempat itu.
Sementara
itu, Thian Sin mengamuk dengan hebatnya. Meski pun tiga orang itu memiliki
Hok-mo-pang yang sangat tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen
itu juga ampuh sekali, apa lagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling
mengisi dan saling melengkapi, tapi ketika berhadapan dengan Thian Sin mereka
seolah-olah bertemu dengan gurunya.
Pemuda ini
menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak
pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali
hingga mereka sering kali terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat untuk
melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya.
Thian Sin
memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu
Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin
yang tentunya lebih lihai lagi dari pada tiga orang ini. Setelah dia mengenal
liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia
mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.
“Plakkk!”
Tongkat
Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa
mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Kedua mata Ang-i Kai-ong
langsung terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi malah
semakin hebat tenaga sinkang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang
tongkat. Hal ini terasa olehnya sehingga membuat dia panik.
“Tolong…
tolong…!” teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.
Melihat ini,
Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat-cepat
memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin, dan Pek-i Kai-ong
menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya
melepaskan diri.
“Plakk!
Bukkk!”
Thian Sin
menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong
menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi I-beng yang dia kerahkan kini
bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan
punggungnya.
Tiga orang
pengemis tua itu terkejut sekali, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan
tenaga, semakin keras pula tenaga sinkang mereka membanjir keluar tersedot oleh
tubuh pemuda itu!
Para
pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat sambil
terus meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka
pucat mata terbelalak dan napas terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka
tak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak
menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh terus dipertahankan oleh
si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka,
memegang tongkat dan bantu menarik.
Namun mereka
ini pun berteriak kaget ketika tenaga mereka pun tersedot. Lebih banyak lagi
yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik
tongkat-tongkat itu, maka lebih banyak orang lagi yang tenaga sinkang-nya
tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.
Pada saat
itu pula nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut
melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu
melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak
Thian Sin!
“Tukk!
Tukk!”
Dua buah
batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua
pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat sekali
mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar
hebat.
Dia terkejut
bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini
keadaannya menjadi terancam. Maka dia cepat menarik kembali tenaga sedotan
Thi-khi I-beng lantas menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk
dihempaskan keluar melalui sepasang tangan dan seluruh badannya, membuat
gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya.
Akibatnya,
terdengar teriakan-teriakan kemudian belasan orang itu terlempar sampai jauh.
Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga
orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka
muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa-sisa tenaga untuk bangkit
dan melarikan diri secepatnya!
Thian Sin
berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah
berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus saja
mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan ke mana pun dia mencari,
hasilnya sia-sia.
Akhirnya dia
kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ sudah sunyi, tidak nampak
seorang pun pengemis, juga mayat-mayat para anggota pengemis sudah lenyap.
Hanya darah-darah yang berceceran di sana saja yang membuktikan bahwa di tempat
itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.
Tiba-tiba
Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu
membentuk huruf-huruf!
LAM-SIN
MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca
huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. “Ha-ha-ha, Lam-sin, walau pun engkau main
curang, jangan mengira aku takut padamu!”
Thian Sin
lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang.
Sarang itu sangat megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang
pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis
Bu-tek Kai-pang.
Para penjaga
itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang
atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap
tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berjalan lenggang kangkung,
masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil
tersenyum.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa
dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat
terkenal itu. Dia sudah memasuki goa naga dan harimau! Kelengahan di tempat
seperti ini berarti ancaman maut.....
Keadaan di
tempat itu sunyi saja, hanya terlihat beberapa orang anggota Bu-tek Kai-pang
yang berdiri bagaikan patung. Tempat itu seolah-olah diselubungi suasana
berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggota Bu-tek Kai-pang
berkabung akibat kematian para anggota yang dua belas orang itu, ditambah lagi
enam orang yang tewas pada saat Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng. Di
dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka
pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.
Thian Sin
memandang kagum saat dia tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal
Lam-sin. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat
rapi dan indah. Halaman depan dihias dengan petak rumput yang hijau segar dan
rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga.
Jalan menuju
ke pintu depan dilapisi dengan kerikil yang merupakan kerikil putih kebiruan.
Saat menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik sehingga Thian Sin
cepat-cepat mengerahkan ginkang-nya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu
saja!
Dua orang
wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak
berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda
itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja
sudah merupakan demontrasi ginkang yang amat hebat, dan yang mereka ketahui
hanya mampu dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.
Ketika Thian
Sin sudah berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan
memiliki wajah yang manis itu segera memberi hormat. Seorang di antara mereka,
yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga dia kelihatan manis sekali,
berkata dengan suara halus dan merdu,
“Kongcu,
silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu
untuk masuk saja.”
“Pangcu juga
mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,” kata pula wanita ke dua.
Thian Sin
tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama
sekali tidak kelihatan seperti pelayan. Maka dia pun mengangguk. “Pangcu kalian
sungguh baik hati.” Maka dia pun mulai melangkah ke dalam gedung itu, diiringi
oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.
Ketika
memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu
bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang
lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan
di dinding tergantung lukisan-lukisan indah serta tulisan-tulisan huruf indah
yang tentu dibuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali.
Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, juga perabot-perabot yang
mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya sangat indah seperti
istana saja!
Sesudah
mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat
seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang
gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua
orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti
hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi
Thian Sin.
Akan tetapi
nenek itu masih tetap duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lantas
dimasukkan ke mulutnya dan mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka
mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.
Thian Sin sendiri
hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh
perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya
seorang nenek tua renta yang telah mendekati lubang kubur ini, maka agaknya
sia-sialah perjalanannya yang jauh ini.
Dia sudah
melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru. Tung-hai-sian Bin Mo To
adalah seorang tokoh yang tampak jelas kebesaran dan keangkerannya sebagai
datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat.
Pak-san-kui
Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara sebab memang memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang
kekuatannya tidak dapat dibantah lagi. Demikian pula See-thian-ong amat gagah
perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat.
Akan tetapi
mengapa datuk wilayah selatan hanyalah seorang nenek tua renta seperti ini,
yang nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja
sudah merupakan hal yang memalukan.
Akan tetapi,
melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya,
diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk
menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak
mendengarnya. Pada saat Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan
kedua alisnya, tanpa menengok dia berkata kepada salah seorang di antara lima
orang gadis cantik itu.
“A-bwee,
suara apakah itu? Tikus? Anjing?”
Thian Sin
mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik
itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan sapu tangan sutera
untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Dari hal ini saja sudah membuat
Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghinanya,
mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin
gemas.
“Nenek tua
bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?” akhirnya dia bertanya juga dengan
suara nyaring.
Dia melihat
betapa wajah kelima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada
nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin
maklum bahwa kata-katanya tadi tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini
sangat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.
Thian Sin
melihat tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar
saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh,
nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus,
“Bocah
ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?”
Kembali
Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini benar-benar memandang rendah
padanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus rasa gembira karena perasaan
menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, malah hatinya merasa
semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.
“Benar,
akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!”
“Dan akulah
yang dijuluki Lam-sin!”
“Huh, tidak
pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk
kaum sesat di dunia selatan!”
“Heh, engkau
lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang
kanak-kanak hijau yang berusaha meniru lagak seorang siucai, namun pantasnya
hanya menjadi kacung di sekolah!”
Saking
mendongkolnya, dada Thian Sin terasa seperti hampir meledak. Nenek ini ternyata
seorang yang pintar berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa
semakin tua wanita, maka semakin cerewetlah dia. Dia pikir, kalau harus
berdebat adu mulut, tentu dia akan kalah. Maka lebih baik menghentikan adu
sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.
“Lam-sin,
engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, mau apakah engkau
mengundangku?”
Nenek itu
menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Kini Thian Sin bisa melihat dari samping
sebuah wajah yang kedua pipinya berkeriputan, dengan hidung kecil dan bibir
kering yang seolah mengejek.
“Aku sedang
makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan
karena kau datang pada waktu aku makan maka aku mengundangmu untuk makan
bersamaku. Aku tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah
engkau masih ada selera makan ketika menghadapi kematianmu.”
Thian Sin
merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seakan-akan nenek ini sudah
merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia
lalu melangkah maju dan berkata dengan nada tak kalah mengejeknya,
“Memang
orang yang akan mati sebaiknya makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang
menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak
kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang.”
Thian Sin
pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan
nenek itu sehingga sekarang mereka bisa saling pandang, terhalang meja makan
yang penuh dengan berbagai macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau
yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang semuanya masih
panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.
Akan tetapi,
setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu,
diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa seram sehingga bulu kuduknya
meremang. Nenek ini dilihat dari jauh tampak seperti seorang nenek tua renta
yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan.
Akan tetapi
begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar
biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang
mata yang terang dan jernih, tak pantas dimiliki seorang nenek tua renta,
sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya!
Kontras
antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat
berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak
merasa heran lagi mengapa tadi lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu
ketakutan melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada
nenek luar biasa ini.
Sesudah
sejenak saling pandang dan nenek itu pun agaknya nampak tercengang setelah
menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali ini dia dapat melihat
wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh,
sampai lama nenek itu tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti
menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin.
Sesudah
pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan
sambil menoleh kepada para pelayannya dia berkata, “Nyalakan lampu, tak enak
makan agak gelap begini!”
Memang saat
itu sudah menjelang senja dan keadaan di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya
menghadap ke timur sudah tak kebagian sinar matahari lagi sehingga menjadi agak
remang-remang. Dua orang pelayan kemudian sibuk menyalakan beberapa buah lampu
yang digantung pada sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi
terang.
Karena
lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada
yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali,
sungguh pun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah
tertimpa cahaya yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis
pelayan nampak menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin
nampak semakin ganteng.
“Tuangkan
arak untuk Pendekar Sadis!” kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh salah
seorang pelayan.
Ketika
pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di
depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju
gadis itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus
cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik
nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi
datuk kaum sesat, tentu mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga.
Dia tidak
akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal,
misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, tiba-tiba saja Si Nenek akan
melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah
nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan melangkah mundur,
Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment