Monday, September 10, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Sadis Jilid 25



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
           Serial Pendekar Sadis
                      Jilid 25


MELIHAT kenekatan lawannya ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu akan buntung bila bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, maka Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi sehingga pedang itu telah dapat dirampas oleh lawan!

Selagi pangeran itu terkejut dan terheran-heran, menjadi bengong sebab selama hidupnya belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru,

“Sekarang terimalah hukumanmu!” Pedangnya menyambar seperti kilat.

“Tranggg…!”

Pedangnya bertemu dengan tongkat yang dipegang oleh hwesio itu. Kiranya hwesio itu telah menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan.

“Omitohud… harap jangan terlalu ganas, orang muda!” kata hwesio itu.

“Persetan dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!” bentak Thian Sin sambil terus menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur.

Hwesio itu menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi, akan tetapi tiba-tiba pedang itu membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu secara bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar tongkatnya dia pun segera meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat.

Sang Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah perutnya karena pedang itu sudah menyambar ke arah alat kelaminnya! Tubuh Pangeran itu terhuyung lantas roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah bagian yang terbabat pedang tadi.

Peristiwa ini terjadi demikian cepatnya hingga hwesio dan petani itu sejenak memandang bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main.

“Penjahat kejam, apa yang kau lakukan?!” bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat.

Hwesio itu menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tak kalah tangkas dan kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu.

Melihat gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau keburu datang pasukan pengawal.

Dari luar telah terdengar ribut-ribut. Maka dia pun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat hingga tangannya tahu-tahu telah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat dahsyat tadi.

“Kau… kau Pendekar Sadis!” teriak orang yang berpakaian petani.

“Omitohud… yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!” kata Si Pendeta.

“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari keluar.

“Penjahat kejam, jangan lari!” bentak Si Petani dan dengan cepat dia pun sudah meloncat lantas menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya.

“Plakk! Tranggg…!”

Golok itu terlempar lantas Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya dengan pukulan Pek-in-ciang. Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si Hwesio yang tadinya juga ikut mengejar, menjadi terkejut dan cepat dia menolong temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat bahwa temannya itu tidak tewas, melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu sehingga menjadi pingsan.

Hwesio ini juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, yakni seorang locianpwe yang bertapa di Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia.

Para pengawal berserabutan masuk, akan tetapi bayangan Thian Sin dan Kim Lan sudah tidak nampak lagi. Mereka segera menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat karena pangeran itu telah tewas dengan anggota kelaminnya terbabat buntung!

Dengan hati penuh duka, hwesio serta petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw, terutama para tokoh persilatan di sekitar kota raja. Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang sangat akrab dengan banyak tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan.

Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan kejahatan, apa lagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa memiliki banyak selir muda yang cantik. Pula, tak pernah terdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya.

Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apa lagi setelah para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis, pendekar yang terkenal sebagai pembasmi kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduh pangeran itu telah berbuat kejahatan.

Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa amat marah dan menentang, tidak setuju dengan kekejaman-kekejaman itu walau pun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi makin marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis kini sudah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis!

Maka ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itu pun merupakan pemberian orang kepadanya akibat sepak terjangnya yang sangat mengerikan. Datangnya bagaikan setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, senang menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan!

Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan mereka pun merasa muak lantas menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia!

Pendekar bukanlah orang yang kejam, walau pun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa harus kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang.

Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi dari kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis itu kepada para pemimpin Siauw-lim-pai.


                   ***************


Sementara itu, Thian Sin juga merasa sangat menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh dari Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka telah membela fihak yang salah, pikirnya.

Dengan cepat dia lantas membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama halnya dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia sudah keluar dari kota raja kemudian menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata,

“Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau.”

Mendadak wanita itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Thian Sin. “Taihiap… aku merasa berterima kasih sekali kepadamu… maka biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi taihiap…”

“Hemm, pergilah dan jangan kau ganggu aku lagi!” kata Thian Sin.

“Tapi… tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Apa bila bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?”

Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya pula. “Habis, apa maumu?” tanyanya, agak bingung juga.

“Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap dan apa pun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati.”

Thian Sin tak bisa menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin, karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka jika bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan segera menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini.

Maka dia pun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia sudah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap lagi telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu.

Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tak pernah berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula.

“Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini,” mendadak pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering.

Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan cepat menghampiri, duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin. “Engkau hendak pergi, taihiap? Ke manakah? Lalu aku… aku bagaimana…?”

Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba saja dia bertanya, “Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini.”

“Mencari musuhmu, taihiap? Siapakah yang kau cari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya.”

Ucapan Kim Lan ini mendatangkan harapan di hati Thian Sin. “Benarkah? Yang sedang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri ke kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan.”

Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. “Tok-ciang Sianjin…? Tok-ciang… ahh, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!” Dan dia pun lebih mendekat lalu jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang.

Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

“Benarkah? Engkau tahu di mana dia?” tanyanya.

Kim Lan mengangguk-angguk. “Sekarang aku teringat. Dahulu mendiang suamiku pernah mengirim kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di sana ada seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang… yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, tapi entah Tok-ciang Sianjin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar nama julukan itu dari percakapan antara para anggota Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran.”

“Bagus sekali!” Thian Sin berseru dengan girang. “Engkau mau membantuku?”

“Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kau lakukan untukku, biar harus berkorban nyawa pun aku bersedia melakukannya untukmu!”

“Lebih dulu aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sianjin dan apakah dia itu benar Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam atau bukan.”

“Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu… apa bila engkau menghendaki… aku… aku akan senang sekali menemanimu tidur…”

Wajah itu masih sempat menjadi merah saat mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apa lagi setelah wanita ini menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis itu.

Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apa lagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita.


                ***************

Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sesungguhnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Para pemimpinnya memang terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak asli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran dari aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik.

Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan penentang pemerintah yang kuat. Biar pun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, akan tetapi perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana.

Kekuatannya terletak pada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk oleh perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama serta janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, dan juga memanfaatkan kemiskinan serta penderitaan rakyat yang merasa tak puas terhadap pemerintah yang pada waktu itu memang sangat buruk. Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan.

Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah tidak pernah berhasil, karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa peduli dengan sebabnya.

Timbulnya ketidak puasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biar pun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, akan tetapi selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah.

Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun yang dihuni oleh rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya, ditindas, serta menonjolkan pula betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, dan ditambahi pula dengan bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata supaya menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah.

Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan macam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas dengan keadaan hidupnya, menjadi makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut.

Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh kembali, bahkan mungkin lebih subur. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya dari pada terkecoh oleh akibatnya, dan tentu akan lebih memperhatikan akarnya dari pada mengacuhkan rumputnya.

Sebabnya atau akarnya terletak pada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, apa bila pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa.

Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantas pun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Mata rakyat tentu akan terbuka bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk menggunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, agar dapat dimanfaatkan untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Bahkan rakyat tentu akan menentangnya.

Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam ialah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sejak Jeng-hwa-pang diserang oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa hidupnya tidak aman. Dia masih merasa ngeri apa bila membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan dia pun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati karena kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya.

Maka sesudah Jeng-hwa-pang dibasmi, dia pun lari ke kota raja di mana dia mempunyai banyak sahabat sehingga dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang yang mencarinya, maka dia mulai merasa tenang.

Akan tetapi kemudian dia mendengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sianjin lalu teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis ini adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu!

Maka dia pun menjadi panik dan ketakutan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang sudah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai serta Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan dia pun tahu bahwa pemuda itu pasti sedang mencarinya pula, dan pada akhirnya tentu tahu bahwa dia pun menjadi satu di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.

Tok-ciang Sianjin merasa tak aman lagi tinggal di kota raja, oleh karena itu dia pun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya akan aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Sesudah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, akhirnya hatinya menjadi tenteram juga.

Bagaimana pun juga, putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan jika pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha supaya pendekar itu dikeroyok sehingga tewas seperti mendiang ayahnya.

Sarang Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang sangat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mau mendirikan sebuah benteng, tetapi mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka.

Mereka mendirikan banyak rumah di antara rumah-rumah penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara semua rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap waktu tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia.

Para penduduk dusun Tiong-king itu pun semuanya sudah dipengaruhi sehingga biar pun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggota-anggota yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak ‘perjuangan’ Pek-lian-kauw sudah berhasil.

Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena dia membawa kulit harimau serta mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yakni pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan.

Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu. Ada pun pusat Pek-lian-kauw masih tetap berada di selatan, yaitu di Propinsi Hok-kian.

Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sianjin. Dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sute-nya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sianjin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu jadi semakin kuat.

Pada saat itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sute-nya dan juga Tok-ciang Sianjin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, yakni seorang tosu tinggi kurus yang mukanya mirip seperti tikus akan tetapi matanya sangat berwibawa sebab tokoh ini memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat.

Giok-lian-cu ini datang dengan membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat.

“Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?” Thian-hwa Lo-su membantah. “Tiap hari kami telah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti misalnya di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki mau pun wanita, semuanya mendukung gerakan kita!” Dia merasa agak penasaran apa bila dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau tekun bekerja.

“Siancai… siancai… harap Lo-heng jangan salah mengerti dan bisa menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita,” kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya menyisakan beberapa helai kumis jarang. “Coba Lo-heng jawab, di samping berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah kawan-kawan di daerah ini juga pernah berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah sudah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai supaya ikan-ikan banyak yang mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung hingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?”

Semua pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama menerima ‘gemblengan’ di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha-usaha seperti itu. “Tetapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk…?”

“Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, sebab dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidak amanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas lantas membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, sehingga jika sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Keadaan ini akan lebih mudah untuk mendorong rakyat supaya memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita.”

Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa amat kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi makin melarat, dan bila perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil.

Akhirnya mereka minum arak dari cawan mereka sambil berseru, “Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat jika pemerintah telah digulingkan sehingga Pek-lian-kauw yang berkuasa!”

Rapat pimpinan lalu dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biar pun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tak pernah pantang makan barang berjiwa mau pun minuman keras. Bahkan mereka pun tak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itu pun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang sudah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis untuk melayani mereka makan minum.

Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih sehingga merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata.

Karena itu, pada saat melayani mereka makan minum, gadis-gadis itu pun bersikap genit-genit, apa lagi terhadap tamu itu, biar pun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.

Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw sedang menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncullah Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggota Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan tahu bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, cepat membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apa lagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis.

Melihat anggotanya datang dengan membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya. Betapa sembrono anak buahnya itu. “Siapa yang kau bawa menghadap ini?”

“Maaf, suhu, dia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini, dan dia sekarang membawa dua gulung kulit harimau…”

Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan sekarang dia memandang dengan penuh perhatian, malah dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan.

Pandang mata wanita itu juga mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu bukan berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini dapat melihat betapa pandang mata tamunya berkilat.

Apa bila tadi tamunya menghadapi para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, kalau dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka serta bersikap genit-genit itu, maka wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang seolah-olah menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, mau pun dalam sikap yang nampak alim.

“Ahh, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Memang pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang? Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia,” kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah.

Mulanya Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah dia di sebuah kursi, setelah dia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam dia mengerling ke arah mereka lantas dengan mudah dia dapat mengenal Tok-ciang Sianjin seperti yang didengarnya dari Thian Sin.

Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka tentu dia ini adalah Tok-ciang Sianjin, pikirnya.

Pendeta yang selalu menatapnya, yang bertubuh tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sianjin. Maka dia pun cepat-cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, dia diam saja menundukkan mukanya yang manis.

“Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah dia meninggal pada saat memburu binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini,” desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum ketika melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia.

Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan dia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, “Suami saya… dan ayah saya… telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan.” Ia sengaja memaki nama pangeran itu sebab dia pun tahu persis bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang dari kalangan pemerintah.

“Toan-ong-ya…?” tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu hingga semua orang menatapnya dengan penuh perhatian.

“Benar, totiang,” kata wanita itu sambil menahan isaknya.

“Ahh…! Akan tetapi, bukankah pangeran keparat itu baru-baru ini dibunuh oleh Pendekar Sadis? Demikian yang kami dengar!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran yang langsung mengguncangkan jantungnya. Memang Pendekar Sadis sudah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai.

“Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapa pun yang membunuhnya, maka sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!” katanya dan dia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur.

“Ehhh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?”

“Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena… karena… ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya… saya lalu melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah beserta suami saya membela, akan tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri lalu bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi.”

Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?”

Hemmm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Dia harus berhati-hati, karena kalau rahasianya sampai bocor, tentu dia akan mati tanpa mampu menghindarkan diri dari bahaya maut lagi.

“Sesudah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu, yaitu para bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami telah berhasil menjebak dua ekor harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lantas teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya terdapat ketua perkumpulan yang suka membelinya.”

“Hemmm, dia mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?” ketua Pek-lian-kauw bertanya dengan kaget.

“Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Karena itu saya berani datang ke sini sebab menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka… semua manis budi dan gagah perkasa.”

“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. “Sayang suamimu sudah meninggal nyonya, kalau belum, tentu aku akan suka berkenalan dengan dia.”

Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw turut tertawa. “Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?”

Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sianjin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia lebih suka untuk mengajak seorang lelaki tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia merasa tak enak hati sungguh pun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis.

“Nyonya muda, jangan khawatir. Kedua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa saja harga yang kau minta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkau pun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuklah dan minum bersama kami, nyonya!” Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih.

“Ahh, mana saya berani, totiang… ? Saya… tidak seharusnya saya…”

“Nyonya, dengan sungguh hati kami menghormati engkau sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, tetapi mengapa engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?” Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata sambil tersenyum penuh arti.

Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang sedang berkecamuk di dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya dia pun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa bisa mengail salah seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan kecantikannya, mana mungkin dia akan bisa menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sianjin itu? Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ.

Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su gembira sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati tamunya dan hal ini sangat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya.

“Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia.”

Dengan lagak seorang wanita ‘baik-baik’, Kim Lan akhirnya mau menerima ajakan makan minum itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi sesudah makan minum beberapa cawan arak, wanita ini pun mulai tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis berubah menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi sehingga jika tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing.

Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, walau pun sudah memakai pakaian pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang sangat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik baginya dibandingkan dengan wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biar pun tidak bersuami, akan tetapi setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw di tempat itu secara bergilir.

Dan Kim Lan pandai sekali jual mahal, bersikap laksana seorang wanita yang belum tahu apa-apa. Hanya dengan bujukan dan seperti orang yang setengah terpaksa karena takut, akhirnya ia membiarkan dirinya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para rekan-rekannya.

Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan tawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua ini harus dilakukannya.

Betapa pun juga, dia harus berani berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu sudah berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan, namun juga karena dia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan di samping rasa takut, juga dia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya dia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu.

Dia sudah berjanji hendak membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang Sianjin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw itu, dan satu-satunya jalan baginya untuk bisa berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw. Dan dia berhasil.

Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang tentu saja sangat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi diam-diam dia memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam dia merasa seram dan ngeri.

Tosu itu nampak demikian pendiam dan dingin, memandang rendah pada segala sesuatu di sekitarnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para tosu itu yang tak bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka dia bersikap amat hati-hati.

Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu dia harus melayani, sebab biar pun sebagai pria Tok-ciang Sianjin itu jauh lebih menarik dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sianjin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya.

Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, maka dengan mudah saja Kim Lan membuat tosu muka tikus itu makin terbuai dan tergila-gila padanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya bisa memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sianjin, di mana tinggalnya, di pondok yang mana, dan apa kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tetapi tanpa kecurigaan hanyalah,

“Ehh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sianjin?”

Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil bagaikan orang yang ketakutan dan ngeri. “Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seakan-akan hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia bermuka dingin itu.”

Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu maka dia pun menceritakan semua keadaan Tok-ciang Sianjin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali.

Sungguh pun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani seorang kakek yang dibencinya dan harus menurut saja apa pun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, akan tetapi pada keesokan harinya, ketika dia berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim Lan pulang dengan hati senang bukan main. Dia sudah berhasil, dia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan dicintanya!

Sesudah mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarnya, Thian Sin tersenyum gembira. “Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!”

“Taihiap…!” Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali.

Kim Lan duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam tadi dia telah melakukan tugas yang berat dan sekarang pun dia masih merasa muak jika teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu.

Akan tetapi dia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali. Apa bila pendekar itu telah berhasil membunuh musuh besarnya, maka barulah dia akan menagih upah sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu!


                  ***************

Sementara itu, Thian Sin sedang melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Dia sudah mendapatkan keterangan dengan jelas dari Kim Lan. Tok-ciang Sianjin memang benar berada di sarang Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sianjin bersembunyi seorang diri di dalam sebuah pondok di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu.

Perkampungan itu setiap waktu dijaga oleh para anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia sudah dilaporkan terlebih dulu sehingga fihak musuhnya dapat berjaga-jaga.

Akan tetapi, di waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik baginya sebab menurut keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sianjin berlatih semedhi dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore. Tosu itu melatih ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu silat dan saling mengisi.

Menurut penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya Tok-ciang Sianjin mempunyai hubungan sangat baik dengan Thian-hwa Lo-su dan sering kali mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan pimpinan cabang Pek-lian-kauw.

Tentu saja hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang telah menerimanya untuk bersembunyi di tempat itu, dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir Thian Sin.

Dan memang sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sianjin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, dan sudah dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Karena itu dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apa bila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw.

Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut untuk menghadapi mereka semua itu. Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja, sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu.

Dia harus dapat menyergap Tok-ciang Sianjin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan sesudah itu, meski dia akan dikeroyok oleh seluruh anggota Pek-lian-kauw sekali pun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang Sianjin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan diri lagi.

Ketika tiba di luar dusun yang menjadi sarang Pek-lian-kauw, Thian Sin cepat menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat ada tiga orang anggota Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya.

Hemmm, ternyata mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti barisan pendam. Tentu saja sulit bagi orang luar untuk bisa memasuki wilayah itu tanpa ketahuan, pikirnya.

Dia lalu menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya laksana terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari satu pohon ke lain pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti yang sudah diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terlihat parit lainnya dengan tiga orang anggota Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Pada waktu dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga dalam jarak sekitar seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya.

Thian Sin bergerak cepat. Dia segera merunduk lalu bergerak sambil bertiarap di antara rumput-rumput tinggi, mendekati parit pertama. Setelah tiba dekat tubuhnya lantas terjun ke bawah dan sebelum ketiga orang itu sempat mengeluarkan suara, hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin sudah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya terlalu cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu telah roboh terkulai pingsan sebelum tahu apa yang terjadi!

Thian Sin cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lantas mempergunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga apa bila mereka siuman kembali, mereka tidak akan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan pada lain saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke dua di sebelah kiri.

Kembali dia menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia telah meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga tidak berdaya.

Hatinya sangat girang dan dia pun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Biar pun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat hati-hati.

Pondok yang paling ujung itu, yaitu pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin telah tampak. Akan tetapi Thian Sin cepat-cepat menahan kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan memeriksa keadaan di sekelilingnya dengan teliti.

Dan sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap ke balik semak-semak belukar lantas mengintai. Ternyata di atas pohon itu terdapat seorang penjaga! Ahh, pasti di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi.

Untuk melumpuhkan penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan segera nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sianjin sedang melihat dari sana. Thian Sin memutar otak mencari akal.

Kemudian dia mengambil keputusan untuk menggunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon itu! Dia sudah berada di dalam wilayah Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing di daerah itu!

Setelah tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah pada busurnya untuk menyerang ke bawah itu. Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah kemudian berkata,

“Hai, kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah dan akan kuberi tahukan padamu!”

Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing tidak akan mungkin mampu melewati para penjaga parit, serta mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat turun dari pohon. Pemuda itu tak membawa senjata dan sikapnya pun tidak seperti seorang musuh, maka dia pun tidak khawatir.

Akan tetapi ketika dia telah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh pandangan mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah.

“Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sianjin ke pondoknya!”

“Baik, akan kuantarkan, marilah,” penjaga itu menjawab seolah-olah dia berbicara dengan seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini merupakan hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya.

Para penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan lantas mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan menyangka bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima.

Apa lagi sesudah melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sianjin, maka para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang Sianjin yang lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda tampan dari pada dengan wanita. Dan pemuda itu, biar pun hanya kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak amat tampan!

Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di sinilah adanya orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal.

“Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!” bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati.

“Sianjin harap suka membuka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sianjin!”

Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Atas desakan Thian Sin, penjaga itu mengetuk lagi dan mengulang kata-katanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya.

“Brakkk…!” Pintu itu jebol dan terbuka.

Dengan berani Thian Sin melompat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran kenapa dia berada di depan pondok itu dan melihat orang menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon!

Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok itu. Ternyata pondok itu sudah kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu, atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menendangi semua barang di dalam pondok itu hingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua. Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa di luar pondok!

“Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!”

Thian Sin menjadi marah sekali, tapi tidak tahu marah pada siapa. Dia tidak tahu apakah Kim Lan mengkhianati dirinya? Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai bukan main maka mereka sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sianjin telah pergi dulu dan membiarkan dia memasuki pondok kosong.

Kemudian dia menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu, Tok-ciang Sianjin, memang sudah berada di luar dan sedang berdiri tegak di samping tujuh orang berjubah pendeta yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggota Pek-lian-kauw. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh para anggota Pek-lian-kauw.

Thian Sin tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walau pun dia maklum bahwa dia telah dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan kini dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya.

“Seekor buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek Lam, sungguh pun sudah berjuluk Tok-ciang Sianjin, tetap saja merasa perlu untuk menyembunyikan diri di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!”

Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan Tok-ciang Sianjin diam saja, hanya menatap dengan tajam, wajahnya yang dingin sama sekali tak membayangkan sesuatu. Senjatanya pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh perhatian.

Diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begitu menggiriskan, bahkan sudah dikenal sebagai Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma. Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau itu, maka diam-diam sesudah wanita itu pergi, dia langsung mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw, menyatakan kecurigaannya.

Secara diam-diam dia pun telah bersiap-siap sehingga pada saat pemuda itu muncul, dia telah mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang menjadi ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, apa lagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu.

Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan dia pun lantas memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang sangat tajam, seolah-olah ada getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran yang amat berwibawa sehingga terasa oleh semua orang yang berada di situ.

“Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawan pun tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!”

Thian Sin merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut? Kalau dia sudah berlutut, tentu Tok-ciang Sianjin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu pula, selagi semua orang lengah, dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya!

Kalau sekarang dia menyerang, tentu akan ada banyak orang yang melindungi Tok-ciang Sianjin sehingga dia merasa khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut!


cerita silat online karya kho ping hoo


Melihat ini, Giok-lian-cu lantas tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah berhasil memamerkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang langsung mengeluarkan seruan kagum melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu!


Sementara itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, Tok-ciang Sianjin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya masih menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat.

“Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!”

Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Mereka pun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian mereka pun sudah tinggi, akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu.

Jangankan pemuda itu sudah tak berdaya, meski pun pemuda itu masih sehat sekali pun kalau mereka maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu mungkin hanya omong kosong saja, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini yang masih demikian muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sinkang untuk menghancurkan tulang pundak kanan dan kiri Thian Sin.

Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang menyangka dia benar-benar sudah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sianjin yang maju sendiri meski pun orang itu sudah meloloskan senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lain. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi kalau tulang pundaknya diremukkan orang, dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang pundaknya kalau dia tidak melawan.

“Desss…! Desss…!”

Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan kiri lantas terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja.

“Tok-ciang Sianjin pengecut hina!” sambil membentak, dia telah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.

“Desss…! Desss…!”

Tok-ciang Sianjin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut pula menangkis serangan itu untuk melindungi sahabatnya, langsung terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting pula apa bila mereka tidak cepat berjungkir balik.

“Tar-tar-tarrr…!”

Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sianjin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali.....

Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat dia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi I-beng.

“Plakk!”

“Ahhhhh… ahhhhh, lepaskan…!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga cepat menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya.

“Plakk!”

“Aihhhhhh… lepaskan tanganku…!” Thian-hwa Lo-su juga berseru.

Kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka. Akan tetapi sungguh celaka, semakin besar mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar.

“Itu Thi-khi I-beng, jangan kerahkan sinkang!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berseru keras. Cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya.

Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berloncatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum dia mampu mendesak Tok-ciang Sianjin, para tosu lain sudah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang sudah marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing.

Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak pula anggota Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggota ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sianjin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggota Pek-lian-kauw itu.

“Tok-ciang Sianjin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang.

Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walau pun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Sesudah musuhnya benar-benar lenyap, dia pun cepat merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangannya, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.

“Pek-lian-kauw bukan musuhku!” teriaknya dan dia pun berloncatan cepat sekali kemudian menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu.

Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, sementara itu Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian dengan hati kecil dan gentar mereka ramai membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis itu, dan mereka pun bergidik.

Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, sebab jika demikian halnya, tentu tadi sudah jatuh banyak korban. Sebaliknya mereka pun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu lalu menganjurkan kepada Tok-ciang Sianjin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu.

Juga dengan terus terang Giok-lian-cu terpaksa mengatakan kepada Tok-ciang Sianjin agar supaya segera mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.


                  ***************

“Sungguh mati, taihiap, apakah aku sudah menjadi gila sehingga berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan pada saat aku terpaksa melayani mereka, dan… ahhh, sudah kukatakan bahwa aku rela mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih juga tidak mau percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?”

“Tak perlu semua janji dan sumpah itu, jika memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sianjin dari tempat sembunyinya.”

“Baik, saya akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa dia memang tidak mengkhianati pemuda itu.

“Asalkan… asalkan engkau tak akan melupakan semua pembelaanku, taihiap…,” katanya dengan sikap manja.

Thian Sin tersenyum dan karena dia memang membutuhkan bantuan wanita ini, maka dia pun segera mengulurkan kedua tangannya lantas menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.

Dengan sengaja Thian Sin tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia sudah pergi untuk mencari jejak Tok-ciang Sianjin di lain tempat, apa lagi setelah Thian Sin secara sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan agar berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya.

Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah.

Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu telah pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.

“Kepalamu pun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba saja terdengar suara halus kemudian dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sianjin!

Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat walau pun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Semenjak pertemuan pertama, wanita ini memang sudah merasa takut sekali terhadap tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.

“Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengakulah sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sianjin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu benar-benar tampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.

“Tidak… ti… tidak…!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa sangat gelisah mengapa Pendekar Sadis belum juga muncul, padahal dia seperti merasa betapa maut sedang mengelus-elus kepalanya.

“Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau adalah kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkannya kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?”

“Tok-ciang Sianjin, aku berada di sini!” Tiba-tiba saja terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam sekarang terbelalak lebar dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.

“Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Kini mampuslah kau, perempuan laknat!” Cambuk baja di tangannya segera bergerak dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.

Namun secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan langsung terlempar sampai bergulingan, akan tetapi dia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.

Tok-ciang Sianjin yang sama sekali tak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini mulai maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sesungguhnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu.

Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya. Dia lalu menyerang dengan dahsyat, cambuknya meledak-ledak hingga mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini dikenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya.

Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, tetapi bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sianjin sendirilah yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan sangat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya.

Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan sangat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seakan-akan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia terus mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawannya terhuyung sambil tiada hentinya dia mengejek.

“Hemmm, pengecut yang beraninya hanya main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah dapat membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!”

“Plakk!”

Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan sanggup untuk menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan jika dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher serta mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri.

Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, dia pun segera membalikkan tubuhnya lantas menggunakan ginkang-nya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi tiba-tiba saja ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan kembali menghadang sambil tertawa.

Akhirnya Tok-ciang Sianjin putus asa, dan untuk yang terakhir kalinya dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menyalurkan tenaga itu pada cambuknya, lalu menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk itu meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.

Sungguh serangannya ini sangat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut. Maka pemuda ini cepat memiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan pada saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng.

Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga pada waktu Tok-ciang Sianjinmengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sinkang-nya langsung membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu, maka dia cepat melepaskan tenaga sinkang-nya, akan tetapi pada saat itu pula Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sianjin terpelanting keras.

Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri. Akan tetapi… tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia cepat mencoba dengan tangan kanan, akan tetapi tangan kanannya tidak dapat digerakkan juga.

Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa, Thian Sin yang maklum bahwa lawannya itu hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat sepasang lengan kakek itu lumpuh dan tidak mampu digerakkan.

“Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa.

Dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak dia melihat kekejaman yang dilakukan orang, tapi menyaksikan sikap Pendekar Sadis, dia benar-benar bergidik dan hampir dia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sianjin. Bagaimana pun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.

“Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, kalau mau bunuh, bunuhlah, siapa yang takut mati?” bentak Tok-ciang Sianjin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia sudah terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya telah banyak didengarnya itu.

“Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkau pun harus mati dikeroyok!”

“Apa… apa maksudmu…?” Tok-ciang Sianjin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.

“Kau lihat saja nanti…!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk yang panjang itu melibat tubuh kakek itu, lantas diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini.

Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas bukan kepalang, berwarna merah darah! Ketika melihat semut-semut itu, maka mengertilah Tok-ciang Sianjin sehingga dia pun mulai berteriak-teriak.

“Jangan…! Jangan… bunuh saja aku…!”

Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum saja, kemudian cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja seluruh pakaian tosu itu sudah direnggut lepas sehingga tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu hingga pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang.

Dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu dan menggantung tubuh itu di sebuah cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang.

Maka mengamuklah semut-semut itu sehingga akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sianjin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja.

Semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu dapat mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas sehingga mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!

Tok-ciang Sianjin terus meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi kedua telinganya sambil membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sianjin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hidup pun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya dia pun terkulai dan pingsan, mendekati mati.

Thian Sin lalu mempergunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sinkang-nya, cambuk itu pun menyambar laksana pedang, tepat mengenai leher tubuh itu sehingga putuslah leher Tok-ciang Sianjin. Dengan pakaian tosu itu sendiri yang tadi telah dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lantas dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!

“Taihiap…!” Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.

“Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua,” kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.

Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw sesudah menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Walau pun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis!

Akan tetapi karena Tok-ciang Sianjin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataan bahwa pendekar itu tidak membunuh seorang pun anggota Pek-lian-kauw, maka mereka pun diam saja.

Sementara itu, kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat ada sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw yang mengenal bahwa kepala itu merupakan kepala milik Tok-ciang Sianjin, maka orang-orang pun bisa menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.

Sementara itu, sesudah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan sudah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri biar pun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.

Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur tiba-tiba dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus sekali, akan tetapi juga sangat berwibawa, “Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!”

Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet lantas mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya sangat puas sudah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia malah tersenyum.

“Tenanglah, kenapa takut?”

“Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku…aku khawatir, taihiap.”

“Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.

“Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi.

Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya kereng, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih.

Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sasterawan, tetapi dari sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukanlah orang-orang sembarangan, apa lagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim serta berwibawa itu, benar-benar jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw.

Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sasterawan muda yang tahu akan sopan santun.

“Omitohud…! Betulkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.

“Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, biar pun saya sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.

“Siancai… siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.

“Apa bila saya boleh bertanya, siapakah ngo-wi locianpwe dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?”

“Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” hwesio itu berkata dengan sangat sederhana, akan tetapi Thian Sin menjadi terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai!

“Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!

“Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.” kata salah seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Meski pun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini akan tetapi dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.

“Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.

“Pinto banyak berhutang budi pada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai.

Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka mudah diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia merasa yakin sekali akan kebenarannya bahwa pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah akibat kesalahan pangeran itu sendiri, maka dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikit pun juga.

Agaknya hal ini terlihat oleh lima orang kakek itu dan mereka pun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.

“Ahh, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Jika begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya sudah membunuh pangeran itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.

“Bukan hanya itu saja, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!”

“Omitohud, dosamu telah bertumpuk-tumpuk, orang muda. Kau kira siapakah engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng telah mendengar tentang cara-caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud… Siauw-lim-pai akan ikut bersalah bila tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus saat dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukan anggota kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.

Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya mulai kehabisan akal, karena bagaimana pun juga, ucapan pemuda itu memang benar. Selain pemuda itu tidak punya urusan baik dengan Kun-lun-pai mau pun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tak melakukan kejahatan di dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.

“Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Apa bila kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat.”

Thian Sin tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!”

“Omitohud…!”

“Siancai…!”

“Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang sudah mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberi tahukanmu, bukan?” Salah seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.

“Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian Sin balas bertanya.

“Coba katakan, kejahatan apakah yang sudah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!”

“Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tak perlu berdebat lagi. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tak akan undur selangkah pun!”

“Keparat…!” Dan serentak tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing kemudian nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah.

“Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!”

Thian Sin tersenyum. Biar pun dia tahu bahwa ilmu pedang mereka bertiga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi.”

Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah dan mereka sudah hendak menerjang maju. Akan tetapi tiba-tiba saja tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata,

“Omitohud… harap sam-wi tenang dahulu. Tidak baik jika turun tangan sebelum diperoleh penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam.

Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju dan menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukan orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman di antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap agar engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang pernah dilakukan oleh Toan-ong-ya hingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?”

Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka dia pun menjawab tenang. “Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah beserta suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuh dia?”

“Hemmm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.

Thian Sin mengangguk. “Betul, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman para kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja mempergunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.

“Omitohud… Sicu, engkau orang muda, walau pun telah mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi masih kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?”

Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebetulnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!

“Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, dia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu…”

“Siancai…!” Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutar balikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Dahulu dia pernah berusaha hendak mencuri di istana Toan-ong-ya, lantas tertangkap, akan tetapi dia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu dia sudah diambil sebagai selir oleh Toan-ong-ya, sebuah kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu oleh wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya saja.”

“Omitohud, dan sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, dia sudah berhasil membujukmu dan memutar balikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya…”

Thian Sin sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan…!” Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.

“Berhenti kau…!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.

“Plakk!” Thian Sin menangkisnya sehingga tosu itu terhuyung ke belakang.

“Harap locianpwe jangan mencampuri urusan saya!” Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya telah melesat ke depan seperti seekor burung saja, kemudian sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya lantas ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur.

Kim Lan segera meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati lalu menusukkan pisau itu ke perutnya sendiri. Akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal.

Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu.

“Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!”

Tiba-tiba saja wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, lantas dia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap… engkau… aku tergila-gila kepadamu… ahhh!”

“Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek tetapi seperti hendak kau bikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!” Beberapa kali pisau berkelebat.

Lima orang kakek itu hendak mencegah, akan tetapi langsung menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya sudah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu.

Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah. Oleh karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!

“Inilah biang-keladi dari semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!” Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab.

Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis terhadap Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalangi pendekar itu.

Mereka datang di samping untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasehat kepada pendekar yang hatinya kejam bagaikan iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukan sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, ada pun tentang nasehat, agaknya pemuda itu tidak dapat dinasehati. Buktinya, baru saja mereka menegur namun si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah!


                 ***************


Thian Sin cepat-cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga sesudah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Kenapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia.

Akan tetapi dia tidak peduli. Hatinya merasa sangat puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh-musuh orang tuanya. Sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itu pun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat.

Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Meski pun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan di samping keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, masih ada satu keinginan lainnya yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya.

Dahulu mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Kini, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, dia harus mampu menebus kegagalan ayahnya itu. Dia harus bisa mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat.

Memang dia sudah pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi dua kemenangannya itu belum mutlak. Kemenangannya baru akan diakui oleh dunia apa bila dia sudah berhasil membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi!

Dan dia akan mencari, lantas akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah berhasil mengalahkan semua datuk dari dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu.

Meski pun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, akan tetapi untuk dapat mengangkat nama ayahnya maka dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk pula Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!

Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia sudah pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itu yang belum pernah dijumpainya, walau pun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang rata-rata sangat lihai itu. Juga berita mengenai Lam-sin ini sangat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai dari pada tiga datuk lainnya.

Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apa lagi sesudah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu terletak paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi.

Ada pun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada orang yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.

Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin!

Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang sangat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata mempunyai kepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut sebagai daerah selatan adalah daratan yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.

Lam-sin sendiri adalah seorang tokoh yang penuh rahasia. Jarang ada orang yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan semua orang di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa dia adalah Lam-sin yang tersohor itu.

Lam-sin tak pernah keluar turun tangan sendiri dalam menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tak ada yang dapat menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan.

Namun, dia turun tangan pada waktu malam sehingga lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang lalu naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh dengan rahasia dan di mana pun dia berada, tidak pernah dia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.

Bu-tek Kai-pang adalah nama perkumpulan yang menunjukkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis!

Ketiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat secara langsung dari Lam-sin, dan mereka itu pun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Ketiga orang inilah yang secara langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk serta setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka.

Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat, ada pun Lam-sin sendiri juga dianggap sebagai datuk sesat karena seluruh sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini seolah pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apa pun di selatan selalu membayar semacam ‘pajak’ atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Apa bila hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan ‘pekerjaan’ mereka.

Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk sangat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah mempunyai harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.

Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia telah dapat melihat ada beberapa orang anggota pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu jelas menunjukkan siapa adanya mereka.

Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Dan setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu memiliki sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan bentuknya berlekak-lekuk seperti ular. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung.

Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia memandang pengemis yang mendekati rumah makan itu.

Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung.

Pengemis ini pun memiliki sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerakan kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.

Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi telah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, lantas memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.

“Hei, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?”

Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa pada lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu.

Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sinkang yang lumayan!

Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!”

Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tak ada seorang pun di kota itu yang akan berani bersikap menghina seperti ini, apa lagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!

Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia sungguh mengerti bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Karena itu, setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani laksana tamu-tamu biasa, walau pun mereka itu tidak perlu membayar.

Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggota Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak menunjukkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil.

Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum lantas melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata supaya dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya.

“Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini…!”

“Jangan campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.

Semua orang merasa tegang dan ngeri, apa lagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama dengan pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka sudah bersiap hendak menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu.

Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu maka dia pun tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk bisa mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega karena melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran.....

























Terima kasih telah membaca Serial ini.



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12