Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 25
MELIHAT
kenekatan lawannya ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu
akan buntung bila bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena
pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda
ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, maka
Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi sehingga pedang itu telah
dapat dirampas oleh lawan!
Selagi
pangeran itu terkejut dan terheran-heran, menjadi bengong sebab selama hidupnya
belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru,
“Sekarang
terimalah hukumanmu!” Pedangnya menyambar seperti kilat.
“Tranggg…!”
Pedangnya
bertemu dengan tongkat yang dipegang oleh hwesio itu. Kiranya hwesio itu telah
menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu
bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan.
“Omitohud…
harap jangan terlalu ganas, orang muda!” kata hwesio itu.
“Persetan
dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!” bentak Thian Sin sambil terus
menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur.
Hwesio itu
menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi, akan tetapi tiba-tiba pedang itu
membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu secara
bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar
tongkatnya dia pun segera meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat
mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat.
Sang
Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah
perutnya karena pedang itu sudah menyambar ke arah alat kelaminnya! Tubuh Pangeran
itu terhuyung lantas roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah
bagian yang terbabat pedang tadi.
Peristiwa
ini terjadi demikian cepatnya hingga hwesio dan petani itu sejenak memandang
bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main.
“Penjahat
kejam, apa yang kau lakukan?!” bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian
Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat.
Hwesio itu
menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah
menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tak kalah tangkas dan
kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu.
Melihat
gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu
silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama
golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu
bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau
keburu datang pasukan pengawal.
Dari luar
telah terdengar ribut-ribut. Maka dia pun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua
kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat hingga tangannya tahu-tahu
telah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke
belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal
Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat
dahsyat tadi.
“Kau… kau
Pendekar Sadis!” teriak orang yang berpakaian petani.
“Omitohud…
yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!” kata Si Pendeta.
“Aku tidak
mempunyai urusan dengan kalian!” kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh
Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari
keluar.
“Penjahat
kejam, jangan lari!” bentak Si Petani dan dengan cepat dia pun sudah meloncat
lantas menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya.
“Plakk!
Tranggg…!”
Golok itu
terlempar lantas Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya
dengan pukulan Pek-in-ciang. Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si
Hwesio yang tadinya juga ikut mengejar, menjadi terkejut dan cepat dia menolong
temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat
bahwa temannya itu tidak tewas, melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu
sehingga menjadi pingsan.
Hwesio ini
juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya
dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, yakni seorang locianpwe yang bertapa di
Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia.
Para
pengawal berserabutan masuk, akan tetapi bayangan Thian Sin dan Kim Lan sudah
tidak nampak lagi. Mereka segera menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat
karena pangeran itu telah tewas dengan anggota kelaminnya terbabat buntung!
Dengan hati
penuh duka, hwesio serta petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk
berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang
dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw, terutama para tokoh persilatan
di sekitar kota raja. Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang sangat akrab
dengan banyak tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan.
Memang dia
terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga
di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang masih
muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan kejahatan, apa
lagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa memiliki
banyak selir muda yang cantik. Pula, tak pernah terdengar pangeran ini
menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi
selirnya.
Oleh karena
itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apa lagi
setelah para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis,
pendekar yang terkenal sebagai pembasmi kejam terhadap orang-orang jahat, dan
bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduh
pangeran itu telah berbuat kejahatan.
Para tokoh
besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis,
yang sudah merasa amat marah dan menentang, tidak setuju dengan
kekejaman-kekejaman itu walau pun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini
menjadi makin marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis kini sudah menyeleweng
dan menjadi Penjahat Sadis!
Maka
ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis
itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itu pun merupakan
pemberian orang kepadanya akibat sepak terjangnya yang sangat mengerikan.
Datangnya bagaikan setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya,
suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, senang
menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya
bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat
mengerikan!
Belum pernah
para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan mereka pun merasa
muak lantas menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar
Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku
Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia!
Pendekar
bukanlah orang yang kejam, walau pun pendekar selalu menentang kejahatan.
Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa harus
kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang
yang kuat sewenang-wenang.
Bahkan dua
orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan
bahkan menjadi saksi dari kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke
Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis itu kepada para
pemimpin Siauw-lim-pai.
***************
Sementara
itu, Thian Sin juga merasa sangat menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua
orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh dari Siauw-lim-pai
itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya,
berarti mereka telah membela fihak yang salah, pikirnya.
Dengan cepat
dia lantas membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau
meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama halnya dengan
mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia sudah keluar dari kota raja kemudian
menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan
tubuh Kim Lan dan berkata,
“Nah, sudah
terbalas dendammu, sekarang pergilah kau.”
Mendadak
wanita itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Thian Sin. “Taihiap… aku
merasa berterima kasih sekali kepadamu… maka biarlah aku menyerahkan diriku
kepada taihiap untuk membalas budi taihiap…”
“Hemm,
pergilah dan jangan kau ganggu aku lagi!” kata Thian Sin.
“Tapi… tapi,
taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Apa bila bertemu dengan kaki tangan dan
teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap,
mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?”
Thian Sin
mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu
memang ada benarnya pula. “Habis, apa maumu?” tanyanya, agak bingung juga.
“Taihiap,
biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani
taihiap dan apa pun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang
hati.”
Thian Sin
tak bisa menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap
wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin, karena tentu
wanita ini akan tertimpa malapetaka jika bertemu dengan orang-orang yang
mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan segera menggemparkan kota raja dan
para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini.
Maka dia pun
lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api
unggun, dia sudah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap lagi telah
membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak,
hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu.
Thian Sin
melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher
dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tak pernah
berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula.
“Tidak
mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini,” mendadak
pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering.
Kim Lan
memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan cepat menghampiri, duduk di
atas jerami dekat dengan Thian Sin. “Engkau hendak pergi, taihiap? Ke manakah?
Lalu aku… aku bagaimana…?”
Sambil rebah
itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba saja dia
bertanya, “Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak
urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah
membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh
besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu
di sini.”
“Mencari
musuhmu, taihiap? Siapakah yang kau cari? Siapa tahu aku dapat membantumu
menemukannya.”
Ucapan Kim
Lan ini mendatangkan harapan di hati Thian Sin. “Benarkah? Yang sedang kucari
itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh
Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri ke kota raja, akan tetapi sampai
kini belum juga dapat kutemukan.”
Wanita itu
nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. “Tok-ciang
Sianjin…? Tok-ciang… ahh, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!” Dan dia pun
lebih mendekat lalu jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa
tegang dan girang.
Pemuda itu
merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal
ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang
dengan sinar mata penuh selidik.
“Benarkah?
Engkau tahu di mana dia?” tanyanya.
Kim Lan
mengangguk-angguk. “Sekarang aku teringat. Dahulu mendiang suamiku pernah
mengirim kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng
Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita
bahwa di sana ada seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang… yang kuingat hanya
Tok-ciang begitu saja, tapi entah Tok-ciang Sianjin atau Tok-ciang siapa.
Suamiku mendengar nama julukan itu dari percakapan antara para anggota
Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran.”
“Bagus
sekali!” Thian Sin berseru dengan girang. “Engkau mau membantuku?”
“Tentu saja,
taihiap. Setelah apa yang kau lakukan untukku, biar harus berkorban nyawa pun
aku bersedia melakukannya untukmu!”
“Lebih dulu
aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang
Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang
yang berjuluk Tok-ciang Sianjin dan apakah dia itu benar Tok-ciang Sianjin Ciu
Hek Lam atau bukan.”
“Baik,
taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu… apa bila engkau menghendaki…
aku… aku akan senang sekali menemanimu tidur…”
Wajah itu
masih sempat menjadi merah saat mengatakan hal ini dan matanya mengerling
tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda
itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apa lagi
setelah wanita ini menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis itu.
Thian Sin
tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu
saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apa lagi
karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita.
***************
Pek-lian-kauw
(Agama Teratai Putih) sesungguhnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan
sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Para pemimpinnya memang
terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak asli
lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran
dari aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik.
Pek-lian-kauw
merupakan perkumpulan penentang pemerintah yang kuat. Biar pun sudah sering
kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, akan tetapi perkumpulan ini
selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana.
Kekuatannya
terletak pada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk oleh perkumpulan ini
melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama serta janji-janji.
Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai
menggunakan bujuk rayu, dan juga memanfaatkan kemiskinan serta penderitaan
rakyat yang merasa tak puas terhadap pemerintah yang pada waktu itu memang
sangat buruk. Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat
yang menindas rakyat dengan berbagai jalan.
Kekeliruan
pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar
perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah tidak pernah berhasil,
karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa
peduli dengan sebabnya.
Timbulnya
ketidak puasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan
Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang
menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada
keadaan rakyat itu sendiri. Biar pun ribuan kali perkumpulan semacam itu
dibasmi, akan tetapi selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas,
tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah
dan merongrong pemerintah.
Pek-lian-kauw
selalu menghasut di dusun-dusun yang dihuni oleh rakyat miskin dengan
mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya, ditindas, serta menonjolkan pula
betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di
kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini,
dan ditambahi pula dengan bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata
supaya menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar,
terhadap pemerintah.
Kemiskinan
rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan macam Pek-lian-kauw itulah.
Rakyat yang kecewa atau tidak puas dengan keadaan hidupnya, menjadi makanan
empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut.
Oleh karena
itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama
saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam
waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh kembali, bahkan mungkin lebih
subur. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang
bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya dari pada terkecoh oleh
akibatnya, dan tentu akan lebih memperhatikan akarnya dari pada mengacuhkan
rumputnya.
Sebabnya
atau akarnya terletak pada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau
pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di
gunung-gunung, apa bila pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang
miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh
sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin
tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas
dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang
dan tidak kecewa.
Nah, kalau
sudah begini, maka tanpa diberantas pun, perkumpulan-perkumpulan macam
Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Mata rakyat tentu akan terbuka bahwa
perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk menggunakan kekuatan
mereka, kekuatan rakyat, agar dapat dimanfaatkan untuk memberontak dan
mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak
mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan
beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Bahkan rakyat
tentu akan menentangnya.
Tok-ciang
Sianjin Ciu Hek Lam ialah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi sejak Jeng-hwa-pang diserang oleh putera mendiang Pangeran
Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa
hidupnya tidak aman. Dia masih merasa ngeri apa bila membayangkan kelihaian
putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan dia pun mengerti bahwa pemuda yang
mengandung sakit hati karena kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan
mencarinya.
Maka sesudah
Jeng-hwa-pang dibasmi, dia pun lari ke kota raja di mana dia mempunyai banyak
sahabat sehingga dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada
orang yang mencarinya, maka dia mulai merasa tenang.
Akan tetapi
kemudian dia mendengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis
karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sianjin lalu teringat
kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia pun sudah dapat menduga
bahwa agaknya Pendekar Sadis ini adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang
dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu!
Maka dia pun
menjadi panik dan ketakutan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang
sudah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai serta Hek-bin
Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa
pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan dia pun tahu bahwa pemuda itu pasti
sedang mencarinya pula, dan pada akhirnya tentu tahu bahwa dia pun menjadi satu
di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.
Tok-ciang
Sianjin merasa tak aman lagi tinggal di kota raja, oleh karena itu dia pun lari
ke satu-satunya tempat yang dirasanya akan aman baginya, yaitu ke sarang
Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan
Pek-lian-kauw. Sesudah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang
Pek-lian-kauw dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai
teman, akhirnya hatinya menjadi tenteram juga.
Bagaimana
pun juga, putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si
Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw,
bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan jika pemuda itu
berani muncul, dia tentu akan berusaha supaya pendekar itu dikeroyok sehingga
tewas seperti mendiang ayahnya.
Sarang
Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tak jauh dari
daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang sangat baik bagi perkumpulan
ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu
tidak mau mendirikan sebuah benteng, tetapi mempergunakan sebuah dusun untuk
menjadi sarang mereka.
Mereka
mendirikan banyak rumah di antara rumah-rumah penduduk dusun, dan ada pula yang
mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara semua
rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap waktu tempat itu terjaga oleh
anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia.
Para
penduduk dusun Tiong-king itu pun semuanya sudah dipengaruhi sehingga biar pun
mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu
telah menjadi anggota-anggota yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan
perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak ‘perjuangan’ Pek-lian-kauw sudah
berhasil.
Pada suatu
pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan
karena dia membawa kulit harimau serta mengatakan bahwa wanita itu adalah
isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yakni pemburu yang biasa
menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka
ia diterima tanpa banyak kecurigaan.
Bahkan Kim
Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada
Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua
cabang Pek-lian-kauw di daerah itu. Ada pun pusat Pek-lian-kauw masih tetap
berada di selatan, yaitu di Propinsi Hok-kian.
Thian-hwa
Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sianjin. Dia memimpin
Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sute-nya. Dengan hadirnya
Tok-ciang Sianjin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti
memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang
daerah itu jadi semakin kuat.
Pada saat
itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sute-nya dan juga Tok-ciang
Sianjin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh
Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang
bernama Giok-lian-cu, yakni seorang tosu tinggi kurus yang mukanya mirip
seperti tikus akan tetapi matanya sangat berwibawa sebab tokoh ini memang
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat.
Giok-lian-cu
ini datang dengan membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk
memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha
menarik dukungan rakyat.
“Bagaimana
dapat dikatakan kami kurang berusaha?” Thian-hwa Lo-su membantah. “Tiap hari
kami telah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang
menjadi pengikut kami. Seperti misalnya di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak
sampai kakek-kakek, laki-laki mau pun wanita, semuanya mendukung gerakan kita!”
Dia merasa agak penasaran apa bila dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang
giat atau tekun bekerja.
“Siancai…
siancai… harap Lo-heng jangan salah mengerti dan bisa menyelami apa yang
dimaksudkan para pimpinan kita,” kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau
tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu
memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya
menyisakan beberapa helai kumis jarang. “Coba Lo-heng jawab, di samping
berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah
kawan-kawan di daerah ini juga pernah berusaha untuk mencegah dan menghalangi
adanya kemakmuran rakyat? Apakah sudah ada usaha untuk mengacaukan pembagian
air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai supaya ikan-ikan banyak yang
mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung hingga rakyat hidup dalam
kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?”
Semua
pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama menerima ‘gemblengan’ di
pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha-usaha seperti itu. “Tetapi
mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita
harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk…?”
“Ha-ha-ha,
agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, sebab
dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan,
kekacauan dan ketidak amanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas
lantas membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, sehingga jika
sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar
maka menjatuhkan hukuman. Keadaan ini akan lebih mudah untuk mendorong rakyat
supaya memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita.”
Para
pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa amat kagum akan
siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan
kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah
kekuasaan mereka menjadi makin melarat, dan bila perlu mereka akan membasmi
hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan
pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar
mati sebelum mengeluarkan hasil.
Akhirnya
mereka minum arak dari cawan mereka sambil berseru, “Hidup Pek-lian-kauw! Demi
kemakmuran rakyat jika pemerintah telah digulingkan sehingga Pek-lian-kauw yang
berkuasa!”
Rapat
pimpinan lalu dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu.
Dan biar pun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang
mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tak pernah pantang makan
barang berjiwa mau pun minuman keras. Bahkan mereka pun tak pernah pantang
bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itu pun terdapat
beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang sudah
menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis untuk melayani
mereka makan minum.
Para gadis
yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi
kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para
pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih
sehingga merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang
terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian
indah dan emas permata.
Karena itu,
pada saat melayani mereka makan minum, gadis-gadis itu pun bersikap
genit-genit, apa lagi terhadap tamu itu, biar pun pendeta tamu itu tak dapat
dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.
Pada pagi
hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw sedang menjamu Giok-lian-cu,
tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncullah Kim Lan yang menawarkan dua gulungan
kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggota Pek-lian-kauw yang
mengenal suami wanita ini dan tahu bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan
kulit binatang buas, cepat membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka
sedang berpesta, apa lagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat
manis.
Melihat
anggotanya datang dengan membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal,
Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya. Betapa sembrono anak buahnya itu. “Siapa
yang kau bawa menghadap ini?”
“Maaf, suhu,
dia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit
binatang buas ke sini, dan dia sekarang membawa dua gulung kulit harimau…”
Kecurigaan
segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan sekarang dia
memandang dengan penuh perhatian, malah dengan pandang mata lembut ketika
melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat
itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan.
Pandang mata
wanita itu juga mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu bukan berdarah
dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini dapat melihat betapa
pandang mata tamunya berkilat.
Apa bila
tadi tamunya menghadapi para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini
kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, kalau
dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka serta
bersikap genit-genit itu, maka wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih
unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang seolah-olah
menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, mau pun dalam sikap yang nampak alim.
“Ahh, jadi
engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Memang pinto mengenal baik suamimu itu. Apa,
sudah mendiang? Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu
meninggal dunia,” kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah.
Mulanya Kim
Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh
Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah dia di sebuah kursi, setelah dia
menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang
sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu.
Diam-diam dia mengerling ke arah mereka lantas dengan mudah dia dapat mengenal Tok-ciang
Sianjin seperti yang didengarnya dari Thian Sin.
Seorang
kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus,
mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan
jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka
tentu dia ini adalah Tok-ciang Sianjin, pikirnya.
Pendeta yang
selalu menatapnya, yang bertubuh tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus,
tentu bukan Tok-ciang Sianjin. Maka dia pun cepat-cepat mencurahkan perhatian
kepada tugasnya dan setelah duduk, dia diam saja menundukkan mukanya yang
manis.
“Ceritakanlah,
nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah dia meninggal pada saat memburu
binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke
sini,” desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum ketika
melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa
suami wanita ini telah meninggal dunia.
Didesak
demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah
dan dia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, “Suami saya… dan ayah
saya… telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan.” Ia sengaja memaki nama
pangeran itu sebab dia pun tahu persis bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat
membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang dari kalangan
pemerintah.
“Toan-ong-ya…?”
tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu hingga semua orang menatapnya dengan penuh
perhatian.
“Benar,
totiang,” kata wanita itu sambil menahan isaknya.
“Ahh…! Akan
tetapi, bukankah pangeran keparat itu baru-baru ini dibunuh oleh Pendekar
Sadis? Demikian yang kami dengar!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berkata dan
diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran
yang langsung mengguncangkan jantungnya. Memang Pendekar Sadis sudah memberi
tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
“Saya juga
sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapa pun yang
membunuhnya, maka sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah
terbalas!” katanya dan dia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur.
“Ehhh,
nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh
pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?”
“Ayah saya
dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan
yang lalu karena… karena… ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau
ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya… saya lalu melarikan
diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah beserta suami saya membela, akan
tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri lalu bersembunyi.
Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar
dari tempat persembunyian saya lagi.”
Semua orang
mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba
mengajukan pertanyaan, “Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa
memperoleh dua gulung kulit harimau ini?”
Hemmm, ketua
perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Dia harus berhati-hati, karena
kalau rahasianya sampai bocor, tentu dia akan mati tanpa mampu menghindarkan
diri dari bahaya maut lagi.
“Sesudah
mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama
teman-teman pemburu, yaitu para bekas teman-teman suami saya, saya lalu
melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami telah berhasil menjebak dua ekor harimau
dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu
di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lantas teringat kepada pesan suami
saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di
mana katanya terdapat ketua perkumpulan yang suka membelinya.”
“Hemmm, dia
mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?” ketua Pek-lian-kauw bertanya dengan
kaget.
“Saya tidak
tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta
menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Karena itu saya berani
datang ke sini sebab menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini
berani membayar mahal dan juga bahwa mereka… semua manis budi dan gagah
perkasa.”
“Ha-ha-ha!”
Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. “Sayang suamimu sudah meninggal
nyonya, kalau belum, tentu aku akan suka berkenalan dengan dia.”
Melihat
sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw turut tertawa. “Lo-te, kalau suaminya
sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?”
Mereka semua
tertawa, kecuali Tok-ciang Sianjin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka
kepada wanita. Dia lebih suka untuk mengajak seorang lelaki tampan menemaninya
tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya
yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia merasa tak enak hati sungguh
pun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis.
“Nyonya
muda, jangan khawatir. Kedua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan
kami akan membayar berapa saja harga yang kau minta. Akan tetapi, mengingat
bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkau pun merupakan
sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat.
Mari masuklah dan minum bersama kami, nyonya!” Dan kepada para pelayan itu
Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih.
“Ahh, mana
saya berani, totiang… ? Saya… tidak seharusnya saya…”
“Nyonya,
dengan sungguh hati kami menghormati engkau sebagai isteri bekas sahabat dari
Thian-hwa Lo-su, tetapi mengapa engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak
mau menerima kebaikan kami?” Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata
sambil tersenyum penuh arti.
Sekali
pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang sedang
berkecamuk di dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam
hatinya dia pun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa bisa
mengail salah seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan
kecantikannya, mana mungkin dia akan bisa menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang
Sianjin itu? Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan
rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ.
Mendengar
ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su gembira sekali. Terbuka jalan baginya untuk
meyenangkan hati tamunya dan hal ini sangat perlu karena dengan demikian maka
tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya.
“Ha-ha-ha-ha,
engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung
kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang mempunyai
ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan
dia.”
Dengan lagak
seorang wanita ‘baik-baik’, Kim Lan akhirnya mau menerima ajakan makan minum
itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi sesudah makan minum beberapa cawan
arak, wanita ini pun mulai tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus.
Wajahnya yang manis berubah menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak
malu-malu lagi seperti tadi sehingga jika tersenyum nampak deretan gigi putih
rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing.
Giok-lian-cu,
tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, walau pun sudah memakai pakaian
pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang sangat lemah, sudah menjadi
tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal
suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik baginya dibandingkan dengan
wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biar pun tidak
bersuami, akan tetapi setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw di
tempat itu secara bergilir.
Dan Kim Lan
pandai sekali jual mahal, bersikap laksana seorang wanita yang belum tahu
apa-apa. Hanya dengan bujukan dan seperti orang yang setengah terpaksa karena
takut, akhirnya ia membiarkan dirinya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh
tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh
para rekan-rekannya.
Para tosu
pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu
dengan tawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang
sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua
ini harus dilakukannya.
Betapa pun
juga, dia harus berani berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena
pendekar itu sudah berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan,
namun juga karena dia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu,
dan di samping rasa takut, juga dia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu
setelah beberapa hari lamanya dia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan
juga kejam dan aneh itu.
Dia sudah
berjanji hendak membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang
Sianjin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw itu, dan satu-satunya jalan
baginya untuk bisa berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan
mempergunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw.
Dan dia berhasil.
Dengan baik
sekali karena dari percakapan tadi ia diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus
dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang
tentu saja sangat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam
perjamuan tadi diam-diam dia memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam
dia merasa seram dan ngeri.
Tosu itu
nampak demikian pendiam dan dingin, memandang rendah pada segala sesuatu di
sekitarnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para tosu itu yang tak
bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan
maklum bahwa orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka dia
bersikap amat hati-hati.
Untung bahwa
bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu dia harus melayani, sebab biar
pun sebagai pria Tok-ciang Sianjin itu jauh lebih menarik dibandingkan dengan
kakek muka tikus, namun ia akan merasa ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang
Sianjin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya.
Dengan
pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, maka dengan
mudah saja Kim Lan membuat tosu muka tikus itu makin terbuai dan tergila-gila
padanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya bisa memperoleh keterangan
selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sianjin, di mana tinggalnya, di pondok yang
mana, dan apa kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus
yang membayangkan keheranan tetapi tanpa kecurigaan hanyalah,
“Ehh, kenapa
engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sianjin?”
Kim Lan
menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil bagaikan orang yang
ketakutan dan ngeri. “Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku
seakan-akan hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih
manusia bermuka dingin itu.”
Jawaban ini
menyenangkan hati Giok-lian-cu maka dia pun menceritakan semua keadaan
Tok-ciang Sianjin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu
benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali.
Sungguh pun
malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani
seorang kakek yang dibencinya dan harus menurut saja apa pun yang dilakukan
oleh laki-laki itu kepadanya, akan tetapi pada keesokan harinya, ketika dia
berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau
dan pelayanannya, Kim Lan pulang dengan hati senang bukan main. Dia sudah
berhasil, dia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan
dicintanya!
Sesudah
mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarnya, Thian Sin
tersenyum gembira. “Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini,
aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!”
“Taihiap…!”
Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan
cepat sekali.
Kim Lan
duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam
tadi dia telah melakukan tugas yang berat dan sekarang pun dia masih merasa
muak jika teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu tidak
mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di
tempat sunyi itu.
Akan tetapi
dia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali. Apa bila pendekar itu
telah berhasil membunuh musuh besarnya, maka barulah dia akan menagih upah
sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu!
***************
Sementara
itu, Thian Sin sedang melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang
Pek-lian-kauw. Dia sudah mendapatkan keterangan dengan jelas dari Kim Lan.
Tok-ciang Sianjin memang benar berada di sarang Pek-lian-kauw, dan menurut
keterangan wanita itu, Tok-ciang Sianjin bersembunyi seorang diri di dalam
sebuah pondok di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu.
Perkampungan
itu setiap waktu dijaga oleh para anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak
mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan
sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia sudah
dilaporkan terlebih dulu sehingga fihak musuhnya dapat berjaga-jaga.
Akan tetapi,
di waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik baginya sebab menurut
keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sianjin berlatih semedhi dan tidak keluar dari
pondoknya dari pagi sampai sore. Tosu itu melatih ilmu silat kepada para
pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu silat dan
saling mengisi.
Menurut
penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya
Tok-ciang Sianjin mempunyai hubungan sangat baik dengan Thian-hwa Lo-su dan
sering kali mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid
ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan pimpinan
cabang Pek-lian-kauw.
Tentu saja
hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang telah menerimanya
untuk bersembunyi di tempat itu, dan juga tentu saja untuk perlindungan yang
dijanjikan oleh Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya,
demikian pikir Thian Sin.
Dan memang
sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sianjin
sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, dan sudah dapat menyangka siapa
adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Karena itu dia sudah
berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apa bila
musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan
Pek-lian-kauw.
Akan tetapi
tentu saja Thian Sin tidak merasa takut untuk menghadapi mereka semua itu.
Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja,
karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja, sebelum dia bertemu
dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan
kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu.
Dia harus
dapat menyergap Tok-ciang Sianjin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan
sesudah itu, meski dia akan dikeroyok oleh seluruh anggota Pek-lian-kauw sekali
pun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan
Tok-ciang Sianjin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat
melarikan diri lagi.
Ketika tiba
di luar dusun yang menjadi sarang Pek-lian-kauw, Thian Sin cepat menyelinap di
antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia
diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat ada tiga
orang anggota Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di
depannya.
Hemmm,
ternyata mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti barisan
pendam. Tentu saja sulit bagi orang luar untuk bisa memasuki wilayah itu tanpa
ketahuan, pikirnya.
Dia lalu
menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya
sehingga gerakannya laksana terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari satu
pohon ke lain pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti yang sudah
diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terlihat parit lainnya
dengan tiga orang anggota Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di
dalam parit. Pada waktu dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga
dalam jarak sekitar seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat
penjagaannya.
Thian Sin
bergerak cepat. Dia segera merunduk lalu bergerak sambil bertiarap di antara
rumput-rumput tinggi, mendekati parit pertama. Setelah tiba dekat tubuhnya
lantas terjun ke bawah dan sebelum ketiga orang itu sempat mengeluarkan suara,
hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin
sudah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya terlalu cepat bagi
tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu telah roboh terkulai pingsan sebelum
tahu apa yang terjadi!
Thian Sin
cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lantas
mempergunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga apa bila mereka
siuman kembali, mereka tidak akan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini
dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan pada lain saat, dia sudah
bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke
dua di sebelah kiri.
Kembali dia
menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia telah
meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat
mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama tadi. Tanpa banyak
mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga
tidak berdaya.
Hatinya
sangat girang dan dia pun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan
kewaspadaannya. Biar pun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan
para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain
jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat hati-hati.
Pondok yang
paling ujung itu, yaitu pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin telah tampak.
Akan tetapi Thian Sin cepat-cepat menahan kegembiraan hati yang dapat membuat
orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan memeriksa keadaan di
sekelilingnya dengan teliti.
Dan sikapnya
ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat gerakan di atas pohon.
Cepat dia menyelinap ke balik semak-semak belukar lantas mengintai. Ternyata di
atas pohon itu terdapat seorang penjaga! Ahh, pasti di lain-lain pohon yang
agaknya sengaja ditanam di sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang
bersembunyi.
Untuk
melumpuhkan penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para
penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan segera
nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela
pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sianjin sedang melihat dari sana. Thian Sin
memutar otak mencari akal.
Kemudian dia
mengambil keputusan untuk menggunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu
sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon
itu! Dia sudah berada di dalam wilayah Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui
para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing
di daerah itu!
Setelah tiba
di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi
tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah pada busurnya
untuk menyerang ke bawah itu. Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika
pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah
kemudian berkata,
“Hai, kawan,
aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah dan akan kuberi tahukan
padamu!”
Penjaga itu
meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah
berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing
tidak akan mungkin mampu melewati para penjaga parit, serta mendengar bahwa
pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat
memanjat turun dari pohon. Pemuda itu tak membawa senjata dan sikapnya pun
tidak seperti seorang musuh, maka dia pun tidak khawatir.
Akan tetapi
ketika dia telah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang
mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun
terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh pandangan mata Thian Sin
yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama
sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah.
“Antarkan
aku menghadap Tok-ciang Sianjin ke pondoknya!”
“Baik, akan
kuantarkan, marilah,” penjaga itu menjawab seolah-olah dia berbicara dengan
seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini merupakan hasil dari kekuatan
sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang
temannya.
Para penjaga
lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan
tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan lantas
mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin, tentu
saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan menyangka bahwa pemuda itu
adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka
dapat diterima.
Apa lagi
sesudah melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang
Sianjin, maka para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak
Tok-ciang Sianjin yang lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda tampan
dari pada dengan wanita. Dan pemuda itu, biar pun hanya kelihatan dari jarak
agak jauh, memang nampak amat tampan!
Berdebar
tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di
sinilah adanya orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena
tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal.
“Panggil dia
keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!” bisiknya dengan
pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang
tertutup dengan hati-hati.
“Sianjin
harap suka membuka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk
Sianjin!”
Sunyi saja
di dalam. Tidak ada jawaban. Atas desakan Thian Sin, penjaga itu mengetuk lagi
dan mengulang kata-katanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi,
tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian Sin menjadi curiga dan khawatir
kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua
tangannya.
“Brakkk…!”
Pintu itu jebol dan terbuka.
Dengan
berani Thian Sin melompat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu bengong
terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran kenapa dia
berada di depan pondok itu dan melihat orang menjebol pintu pondok, padahal
seharusnya dia berjaga di atas pohon!
Thian Sin
bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok itu. Ternyata
pondok itu sudah kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu, atau
bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menendangi semua barang di dalam pondok
itu hingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa di luar pondok!
“Ha-ha-ha,
Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!”
Thian Sin
menjadi marah sekali, tapi tidak tahu marah pada siapa. Dia tidak tahu apakah
Kim Lan mengkhianati dirinya? Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan
bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai bukan main maka mereka sudah tahu akan
kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sianjin telah pergi
dulu dan membiarkan dia memasuki pondok kosong.
Kemudian dia
menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu, Tok-ciang Sianjin,
memang sudah berada di luar dan sedang berdiri tegak di samping tujuh orang
berjubah pendeta yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di
belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggota Pek-lian-kauw. Kiranya
tempat itu telah dikurung oleh para anggota Pek-lian-kauw.
Thian Sin
tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walau pun dia maklum bahwa dia telah
dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan kini dia berhadapan dengan
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu
mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya.
“Seekor
buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek
Lam, sungguh pun sudah berjuluk Tok-ciang Sianjin, tetap saja merasa perlu
untuk menyembunyikan diri di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak
segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!”
Mendengar
ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan
Tok-ciang Sianjin diam saja, hanya menatap dengan tajam, wajahnya yang dingin
sama sekali tak membayangkan sesuatu. Senjatanya pecut baja masih terlibat di
pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh
perhatian.
Diam-diam
dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda sudah memiliki
kepandaian yang begitu menggiriskan, bahkan sudah dikenal sebagai Pendekar
Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma. Untunglah dia bersikap
waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau
itu, maka diam-diam sesudah wanita itu pergi, dia langsung mengadakan
perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw, menyatakan kecurigaannya.
Secara
diam-diam dia pun telah bersiap-siap sehingga pada saat pemuda itu muncul, dia
telah mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah
terkurung dan menurut kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang
menjadi ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan
para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa
takutnya, apa lagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu.
Sementara
itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini,
pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan dia pun lantas memandang kepada
Thian Sin dengan sinar mata yang sangat tajam, seolah-olah ada getaran keluar
dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung
getaran yang amat berwibawa sehingga terasa oleh semua orang yang berada di
situ.
“Orang muda,
engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawan pun
tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan
engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!”
Thian Sin
merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut.
Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu
mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut? Kalau dia sudah berlutut,
tentu Tok-ciang Sianjin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu pula,
selagi semua orang lengah, dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan
merobohkannya!
Kalau
sekarang dia menyerang, tentu akan ada banyak orang yang melindungi Tok-ciang
Sianjin sehingga dia merasa khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan dia
keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri
lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat, dia pun lalu menjatuhkan diri
berlutut!
Melihat ini,
Giok-lian-cu lantas tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah
berhasil memamerkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah
Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang langsung mengeluarkan seruan kagum
melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan
sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari
Pek-lian-kauw pusat itu!
Sementara
itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, Tok-ciang Sianjin merasa
girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera menubruk, menyerang
dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya,
akan tetapi kecerdikannya masih menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya
dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat
disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima
petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat.
“Lekas
ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!”
Dua orang
sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Mereka pun ingin
berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan
ini bukan hanya karena tingkat kepandaian mereka pun sudah tinggi, akan tetapi
terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari
Giok-lian-cu.
Jangankan
pemuda itu sudah tak berdaya, meski pun pemuda itu masih sehat sekali pun kalau
mereka maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu
mungkin hanya omong kosong saja, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini
yang masih demikian muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan
tangan terbuka dengan pengerahan sinkang untuk menghancurkan tulang pundak
kanan dan kiri Thian Sin.
Diam-diam
Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang
menyangka dia benar-benar sudah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu.
Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sianjin yang maju sendiri meski pun orang
itu sudah meloloskan senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw
yang lain. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi kalau tulang pundaknya
diremukkan orang, dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah
tulang pundaknya kalau dia tidak melawan.
“Desss…!
Desss…!”
Thian Sin
bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke
kanan kiri lantas terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian
saja.
“Tok-ciang
Sianjin pengecut hina!” sambil membentak, dia telah menerjang dan mengirim
pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.
“Desss…!
Desss…!”
Tok-ciang
Sianjin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut pula menangkis serangan itu untuk
melindungi sahabatnya, langsung terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting
pula apa bila mereka tidak cepat berjungkir balik.
“Tar-tar-tarrr…!”
Cambuk baja
di tangan Tok-ciang Sianjin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan
tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari
tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali.....
Thian Sin
terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat dia membalik dan
menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi I-beng.
“Plakk!”
“Ahhhhh…
ahhhhh, lepaskan…!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa
lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sinkang-nya
membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda
itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga cepat menampar ke arah kepala Thian Sin.
Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal
lengannya.
“Plakk!”
“Aihhhhhh…
lepaskan tanganku…!” Thian-hwa Lo-su juga berseru.
Kedua orang
ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka. Akan tetapi sungguh
celaka, semakin besar mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga mereka
membanjir keluar.
“Itu Thi-khi
I-beng, jangan kerahkan sinkang!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berseru keras.
Cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung
mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang
lemah lainnya.
Menghadapi
ini, Thian Sin terpaksa berloncatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada
lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum dia mampu mendesak Tok-ciang Sianjin, para
tosu lain sudah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan
Giok-lian-cu yang sudah marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju
mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Bukan hanya
mereka, bahkan kini banyak pula anggota Pek-lian-kauw yang mengepung dan
mendesaknya. Para anggota ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sianjin yang tiba-tiba
saja menghilang di antara banyak anggota Pek-lian-kauw itu.
“Tok-ciang
Sianjin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan
tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang.
Thian Sin
mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tak merasa
bermusuhan dengan perkumpulan itu walau pun perkumpulan itu telah melindungi
musuh besarnya. Dia tak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan
perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Sesudah musuhnya
benar-benar lenyap, dia pun cepat merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan
angin dorongan kedua tangannya, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.
“Pek-lian-kauw
bukan musuhku!” teriaknya dan dia pun berloncatan cepat sekali kemudian
menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu.
Giok-lian-cu
melarang anak buahnya mengejar, sementara itu Thian-hwa Lo-su memberi perintah
agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian dengan hati kecil dan gentar mereka
ramai membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang terkenal dengan
sebutan Pendekar Sadis itu, dan mereka pun bergidik.
Untung
pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, sebab jika demikian
halnya, tentu tadi sudah jatuh banyak korban. Sebaliknya mereka pun merasa
tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan
Pek-lian-kauw itu lalu menganjurkan kepada Tok-ciang Sianjin untuk bersembunyi
di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar
meninggalkan daerah itu.
Juga dengan
terus terang Giok-lian-cu terpaksa mengatakan kepada Tok-ciang Sianjin agar
supaya segera mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tak
mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.
***************
“Sungguh
mati, taihiap, apakah aku sudah menjadi gila sehingga berani mengkhianatimu?
Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan pada saat aku terpaksa melayani
mereka, dan… ahhh, sudah kukatakan bahwa aku rela mati untuk membantumu,
taihiap. Apakah engkau masih juga tidak mau percaya bahwa aku telah menyerahkan
seluruh jiwa ragaku kepadamu?”
“Tak perlu
semua janji dan sumpah itu, jika memang benar perasaanmu itu, nah, engkau
sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sianjin dari tempat
sembunyinya.”
“Baik, saya
akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk
membuktikan bahwa dia memang tidak mengkhianati pemuda itu.
“Asalkan…
asalkan engkau tak akan melupakan semua pembelaanku, taihiap…,” katanya dengan
sikap manja.
Thian Sin
tersenyum dan karena dia memang membutuhkan bantuan wanita ini, maka dia pun
segera mengulurkan kedua tangannya lantas menerima wanita itu yang menubruknya
dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.
Dengan
sengaja Thian Sin tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya.
Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia sudah pergi
untuk mencari jejak Tok-ciang Sianjin di lain tempat, apa lagi setelah Thian
Sin secara sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat
di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah
Thian Sin menyuruh Kim Lan agar berjalan seorang diri di lereng Pegunungan
Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia
membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan
hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya.
Selama dua
hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan
tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar
seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu
roboh berlumuran darah.
Kim Lan
terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata
kepala kelinci itu telah pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan
kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.
“Kepalamu
pun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba saja terdengar suara
halus kemudian dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning.
Tok-ciang Sianjin!
Seketika
tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat walau pun dia tahu dilindungi oleh
Pendekar Sadis. Semenjak pertemuan pertama, wanita ini memang sudah merasa
takut sekali terhadap tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba
benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.
“Pelacur
hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk
kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengakulah sebelum kuhancurkan
kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sianjin dengan suara
yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu benar-benar tampak menakutkan
sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.
“Tidak… ti…
tidak…!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa sangat
gelisah mengapa Pendekar Sadis belum juga muncul, padahal dia seperti merasa
betapa maut sedang mengelus-elus kepalanya.
“Hemm, tidak
ada gunanya kau membohong. Engkau adalah kaki tangan Pendekar Sadis, atau
setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki
aku kemudian melaporkannya kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia
sekarang berada?”
“Tok-ciang
Sianjin, aku berada di sini!” Tiba-tiba saja terdengar suara ini yang seketika
membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam sekarang terbelalak
lebar dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.
“Bagus! Kalau
begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Kini mampuslah kau, perempuan laknat!”
Cambuk baja di tangannya segera bergerak dan terdengar suara meledak-ledak
ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.
Namun
secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya
dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan langsung terlempar
sampai bergulingan, akan tetapi dia selamat dari cengkeraman maut di ujung
cambuk baja tadi.
Tok-ciang
Sianjin yang sama sekali tak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di
situ, kini mulai maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita
yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sesungguhnya
merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang
selalu membayangi wanita itu.
Tahulah dia
bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya. Dia lalu menyerang dengan dahsyat,
cambuknya meledak-ledak hingga mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga
melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini dikenal dengan kelihaiannya yang
mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah
lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya.
Namun,
sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang
jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan
berani, tetapi bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan,
melainkan Tok-ciang Sianjin sendirilah yang tergetar hebat dan dari pertemuan
tangan itu menjalar hawa yang panas dan sangat kuat. Itulah tenaga Thian-te
Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang
keluar dari tangannya.
Dan cambuk
bajanya juga dapat dihadapi dengan sangat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu
seakan-akan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus.
Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan
lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia terus mempermainkan
lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya
membuat tubuh lawannya terhuyung sambil tiada hentinya dia mengejek.
“Hemmm,
pengecut yang beraninya hanya main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam
beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah dapat membunuhmu. Pengecut!
Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!”
“Plakk!”
Kembali
sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia
tahu benar bahwa dia tidak akan sanggup untuk menandingi putera Pangeran Ceng
Han Houw ini, dan jika dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis,
keringat dingin keluar dari leher serta mukanya. Dia tidak takut mati, akan
tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri.
Maka,
setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, dia pun
segera membalikkan tubuhnya lantas menggunakan ginkang-nya untuk mencoba lari
dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi
tiba-tiba saja ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda
itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi
pemuda itu telah mendahuluinya dan kembali menghadang sambil tertawa.
Akhirnya
Tok-ciang Sianjin putus asa, dan untuk yang terakhir kalinya dia mengerahkan
seluruh tenaganya dan menyalurkan tenaga itu pada cambuknya, lalu menyerang
sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung
cambuk itu meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.
Sungguh
serangannya ini sangat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri
sampai terkejut. Maka pemuda ini cepat memiringkan tubuhnya dan dengan gerakan
yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali,
jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan pada saat itu juga dia
telah mempergunakan Thi-khi I-beng.
Daya sedot
yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga pada waktu Tok-ciang
Sianjinmengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sinkang-nya
langsung membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu, maka dia cepat melepaskan
tenaga sinkang-nya, akan tetapi pada saat itu pula Thian Sin telah menarik
cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin
bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sianjin terpelanting keras.
Habislah
harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan
tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri. Akan tetapi… tiba-tiba dia
terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia cepat
mencoba dengan tangan kanan, akan tetapi tangan kanannya tidak dapat digerakkan
juga.
Kiranya,
dengan kecepatan yang luar biasa, Thian Sin yang maklum bahwa lawannya itu
hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja
rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat sepasang
lengan kakek itu lumpuh dan tidak mampu digerakkan.
“Hemm,
jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang
Sianjin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa.
Dari jauh,
Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang
lemah dan sudah banyak dia melihat kekejaman yang dilakukan orang, tapi
menyaksikan sikap Pendekar Sadis, dia benar-benar bergidik dan hampir dia tidak
berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri
Tok-ciang Sianjin. Bagaimana pun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan
mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan
yang hendak membunuh diri.
“Ceng Thian Sin,
aku sudah kalah olehmu, kalau mau bunuh, bunuhlah, siapa yang takut mati?”
bentak Tok-ciang Sianjin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil
kalau teringat bahwa dia sudah terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak
terjangnya telah banyak didengarnya itu.
“Ayah
bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkau
pun harus mati dikeroyok!”
“Apa… apa
maksudmu…?” Tok-ciang Sianjin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan
takutnya, suaranya gemetar.
“Kau lihat
saja nanti…!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk yang
panjang itu melibat tubuh kakek itu, lantas diseretnya kakek itu menuju ke
sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk
keperluan ini.
Sebuah pohon
besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang
suka makan bangkai, semut yang ganas bukan kepalang, berwarna merah darah!
Ketika melihat semut-semut itu, maka mengertilah Tok-ciang Sianjin sehingga dia
pun mulai berteriak-teriak.
“Jangan…!
Jangan… bunuh saja aku…!”
Akan tetapi
Thian Sin hanya tersenyum saja, kemudian cambuk rampasan di tangannya itu
menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja seluruh pakaian tosu itu sudah
direnggut lepas sehingga tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu
beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu hingga pecah-pecahlah kulit tubuh
itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang.
Dengan sabuk
tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu dan
menggantung tubuh itu di sebuah cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya dia
melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang.
Maka
mengamuklah semut-semut itu sehingga akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh
Tok-ciang Sianjin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa
malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun.
Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja.
Semut-semut
itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap
sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu dapat mengusirnya dengan
tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas sehingga mulailah
semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit,
hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!
Tok-ciang
Sianjin terus meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan
sampai Kim Lan sendiri menutupi kedua telinganya sambil membuang muka tidak
berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sianjin mengalami
siksaan yang amat hebat, mati tidak hidup pun tidak. Menjelang senja, setelah
mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya dia pun
terkulai dan pingsan, mendekati mati.
Thian Sin
lalu mempergunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan
sinkang-nya, cambuk itu pun menyambar laksana pedang, tepat mengenai leher
tubuh itu sehingga putuslah leher Tok-ciang Sianjin. Dengan pakaian tosu itu
sendiri yang tadi telah dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu,
lantas dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara
kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!
“Taihiap…!”
Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.
“Kau
kembalilah dan tunggu aku di kuil tua,” kata Thian Sin dan wanita itu
mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.
Pada
keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw sesudah menemukan tubuh
tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut,
tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Walau pun kepalanya
sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja
itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh
Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan
Pendekar Sadis!
Akan tetapi
karena Tok-ciang Sianjin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataan bahwa
pendekar itu tidak membunuh seorang pun anggota Pek-lian-kauw, maka mereka pun
diam saja.
Sementara
itu, kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat ada sebuah
kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa
yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw yang mengenal bahwa
kepala itu merupakan kepala milik Tok-ciang Sianjin, maka orang-orang pun bisa
menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.
Sementara
itu, sesudah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan
kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan
sudah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan
pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri biar pun dia merasa girang
sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan
juga amat ditakutinya itu.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur tiba-tiba dikejutkan oleh
suara halus dari luar kuil. Suara itu halus sekali, akan tetapi juga sangat berwibawa,
“Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!”
Thian Sin
juga mendengar suara itu. Dia mengulet lantas mengucek matanya. Tubuhnya terasa
segar karena hatinya sangat puas sudah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia
terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak
memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali
dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia malah tersenyum.
“Tenanglah,
kenapa takut?”
“Taihiap,
yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan
begitu berwibawa dan marah. Aku…aku khawatir, taihiap.”
“Tenanglah
dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan
membereskan pakaiannya.
“Pendekar
Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi.
Thian Sin
mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di
luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno.
Seorang hwesio tua yang wajahnya kereng, memegang sebatang tongkat hwesio,
jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi
kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga
si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih.
Tiga orang
kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa,
seperti sasterawan, tetapi dari sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin
dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukanlah orang-orang sembarangan,
apa lagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim serta berwibawa itu,
benar-benar jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw.
Maka dia pun
cepat menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari
saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus
dan sopan tidak ubahnya seorang sasterawan muda yang tahu akan sopan santun.
“Omitohud…!
Betulkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil
merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di
pundaknya.
“Kiranya
tidak salah dugaan lo-suhu, biar pun saya sendiri sebenarnya sama sekali tidak
menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap
merendah dan masih manis budi.
“Siancai…
siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar
Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.
“Apa bila
saya boleh bertanya, siapakah ngo-wi locianpwe dan apakah maksud kunjungan
ngo-wi ini?”
“Pinceng
adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” hwesio itu berkata dengan sangat
sederhana, akan tetapi Thian Sin menjadi terkejut sekali karena nama Hwa Siong
Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di
Siauw-lim-pai!
“Pinto
adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian
Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu
adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!
“Kami
bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.”
kata salah seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Meski pun Thian Sin
belum pernah mendengar nama ini akan tetapi dia dapat menduga bahwa agaknya
tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan
memang dugaannya itu tepat sekali.
“Pinceng
juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.
“Pinto
banyak berhutang budi pada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai.
Diam-diam
Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat
Toan-ong-ya, maka mudah diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya,
bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi,
karena dia merasa yakin sekali akan kebenarannya bahwa pembunuhan yang dilakukannya
terhadap Toan-ong-ya itu adalah akibat kesalahan pangeran itu sendiri, maka dia
bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikit pun juga.
Agaknya hal
ini terlihat oleh lima orang kakek itu dan mereka pun diam-diam amat kagum.
Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan
santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.
“Ahh,
kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Jika
begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya sudah membunuh pangeran
itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.
“Bukan hanya
itu saja, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur
caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!”
“Omitohud,
dosamu telah bertumpuk-tumpuk, orang muda. Kau kira siapakah engkau ini?
Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng telah mendengar
tentang cara-caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan
yang amat mengerikan. Omitohud… Siauw-lim-pai akan ikut bersalah bila tidak
turun tangan terhadap keganasanmu ini!”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. Akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus saat
dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau
saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa
semua urusan saya tak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena
saya bukan anggota kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya
tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan
ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.
Kedua orang
pendeta itu saling pandang dan nampaknya mulai kehabisan akal, karena bagaimana
pun juga, ucapan pemuda itu memang benar. Selain pemuda itu tidak punya urusan
baik dengan Kun-lun-pai mau pun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tak
melakukan kejahatan di dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena
itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan
menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini.
Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya
garang.
“Pendekar
Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari
kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan
tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau
membunuh Toan-ong-ya. Apa bila kami diamkan, berarti kami membiarkan orang
berbuat sewenang-wenang dan jahat.”
Thian Sin
tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah
berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya
hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi
ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang
jahat juga!”
“Omitohud…!”
“Siancai…!”
“Pendekar
Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang sudah mengatakan bahwa
Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberi tahukanmu,
bukan?” Salah seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.
“Kalau
pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian
Sin balas bertanya.
“Coba
katakan, kejahatan apakah yang sudah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau
turun tangan membunuhnya secara keji!”
“Saya tahu
apa yang saya lakukan, dan saya merasa tak perlu berdebat lagi. Akan tetapi,
kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju,
saya tak akan undur selangkah pun!”
“Keparat…!”
Dan serentak tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah
mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main.
Terdengar suara berdesing kemudian nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga
sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan
indah.
“Orang muda
sombong, keluarkanlah senjatamu!”
Thian Sin
tersenyum. Biar pun dia tahu bahwa ilmu pedang mereka bertiga itu lihai sekali,
akan tetapi dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat?
Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi
sam-wi.”
Betapa
sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin
marah dan mereka sudah hendak menerjang maju. Akan tetapi tiba-tiba saja tokoh
Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata,
“Omitohud…
harap sam-wi tenang dahulu. Tidak baik jika turun tangan sebelum diperoleh
penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng
mundur dengan muka merah padam.
Hwa Siong
Hwesio lalu melangkah maju dan menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau
suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukan orang-orang
yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman di
antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap
agar engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan,
kejahatan apakah yang pernah dilakukan oleh Toan-ong-ya hingga engkau mengambil
keputusan untuk membunuhnya?”
Menghadapi
sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus
berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka dia pun menjawab tenang.
“Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia?
Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah beserta suami wanita
itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah
sewajarnya kalau saya membunuh dia?”
“Hemmm,
engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara
tiga orang Shan-tung itu berkata.
Thian Sin
mengangguk. “Betul, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman para
kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja mempergunakan
kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.
“Omitohud…
Sicu, engkau orang muda, walau pun telah mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi
masih kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang
laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?”
Mendengar
pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak
mengenal dengan baik siapa sebetulnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya
percaya saja kepada cerita wanita ini!
“Mereka
adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan
ketika wanita ini mengantar kulit harimau, dia telah ditahan dan diperkosa oleh
pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh
oleh pangeran itu…”
“Siancai…!”
Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutar balikan fakta yang sungguh
memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang
maling tunggal yang terkenal di kota raja. Dahulu dia pernah berusaha hendak
mencuri di istana Toan-ong-ya, lantas tertangkap, akan tetapi dia diampuni oleh
Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan
merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia
bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya,
dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh
Toan-ong-ya karena selama itu dia sudah diambil sebagai selir oleh Toan-ong-ya,
sebuah kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu oleh wanita.
Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya.
Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau
membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya saja.”
“Omitohud,
dan sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, dia
sudah berhasil membujukmu dan memutar balikkan fakta sehingga engkau tertipu
dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya…”
Thian Sin
sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan…!” Dia memanggil dan
menengok, akan tetapi wanita yang tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba
melarikan diri.
“Berhenti
kau…!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
“Plakk!”
Thian Sin menangkisnya sehingga tosu itu terhuyung ke belakang.
“Harap
locianpwe jangan mencampuri urusan saya!” Thian Sin berkata dan sekali loncat,
tubuhnya telah melesat ke depan seperti seekor burung saja, kemudian sekali
tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya lantas ditariknya dengan
kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur.
Kim Lan
segera meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati lalu menusukkan pisau itu
ke perutnya sendiri. Akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke
tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal.
Tiga orang
kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak
menganggap ada orang lain di tempat itu.
“Kim Lan,
hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura
menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu
perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman?
Hayo jawab sebenarnya!”
Tiba-tiba
saja wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air
matanya, lantas dia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan
suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap… engkau… aku
tergila-gila kepadamu… ahhh!”
“Perempuan
iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek tetapi seperti hendak kau
bikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan
ini!” Beberapa kali pisau berkelebat.
Lima orang
kakek itu hendak mencegah, akan tetapi langsung menahan tangan mereka karena
maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri
orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah
muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya sudah dicokel keluar oleh pisau di
tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya
dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu.
Tentu saja
Kim Lan berkelojotan di atas tanah. Oleh karena bibirnya dan pipinya sudah
robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara
binatang!
“Inilah
biang-keladi dari semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!”
Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu
menjawab.
Lima orang
kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang
dijatuhkan oleh Pendekar Sadis terhadap Kim Lan sehingga mereka tercengang dan
tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya
menghalangi pendekar itu.
Mereka
datang di samping untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk
memberi nasehat kepada pendekar yang hatinya kejam bagaikan iblis itu. Dan ternyata,
dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukan sengaja membunuh orang
baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, ada
pun tentang nasehat, agaknya pemuda itu tidak dapat dinasehati. Buktinya, baru
saja mereka menegur namun si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman
dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata
mereka sendiri malah!
***************
Thian Sin
cepat-cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga sesudah
pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Kenapa dia begitu ceroboh sehingga
mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan
dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia.
Akan tetapi
dia tidak peduli. Hatinya merasa sangat puas setelah dia berhasil membunuh
semua musuh-musuh orang tuanya. Sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian
Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itu pun hanya tinggal See-thian-ong,
Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat.
Akan tetapi
dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Meski pun bukan
tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang
mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan di
samping keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, masih ada
satu keinginan lainnya yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati
sanubarinya.
Dahulu
mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Kini, sebagai
keturunannya, putera tunggalnya, dia harus mampu menebus kegagalan ayahnya itu.
Dia harus bisa mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk
kaum sesat.
Memang dia
sudah pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi dua
kemenangannya itu belum mutlak. Kemenangannya baru akan diakui oleh dunia apa
bila dia sudah berhasil membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong,
Lam-sin dan Pak-san-kwi!
Dan dia akan
mencari, lantas akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian
Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah
berhasil mengalahkan semua datuk dari dunia sesat! Setelah membunuh mereka
bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu.
Meski pun
dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, akan tetapi untuk dapat
mengangkat nama ayahnya maka dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk
pula Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw,
sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!
Dia pernah
mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia sudah pernah bertemu dengan
Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itu yang belum
pernah dijumpainya, walau pun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu
anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang rata-rata sangat lihai itu. Juga berita
mengenai Lam-sin ini sangat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang
satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih
lihai dari pada tiga datuk lainnya.
Pula, untuk
sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh
mungkin, apa lagi sesudah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan
tempat tinggal datuk selatan itu terletak paling jauh dari kota raja. Dia mendengar
bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke
sanalah dia pergi.
Ada pun
tentang Lam-sin sendiri, tidak ada orang yang tahu berada di mana atau di mana
tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek
Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau
setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat
Lam-sin.
Sama sekali
Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara
yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama
dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu
angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu
dengan Lam-sin!
Bu-tek
Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang sangat berpengaruh di
Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para
pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata mempunyai
kepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, tetapi
terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk
selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang
disebut sebagai daerah selatan adalah daratan yang berada di sebelah selatan
Sungai Yang-ce-kiang.
Lam-sin
sendiri adalah seorang tokoh yang penuh rahasia. Jarang ada orang yang tahu
bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin
(Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan semua orang di kota
Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak
tahu bahwa dia adalah Lam-sin yang tersohor itu.
Lam-sin tak
pernah keluar turun tangan sendiri dalam menghadapi segala macam urusan. Cukup
dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan.
Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek
Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di
pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek
Kai-pang tak ada yang dapat menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan.
Namun, dia
turun tangan pada waktu malam sehingga lima orang jagoan dari Jepang itu tidak
tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang
langgang lalu naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi.
Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh dengan rahasia dan di mana pun dia berada,
tidak pernah dia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.
Bu-tek
Kai-pang adalah nama perkumpulan yang menunjukkan ketinggian hati ketuanya.
Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Untuk urusan
sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut
pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis!
Ketiga orang
pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu
silat secara langsung dari Lam-sin, dan mereka itu pun hanya dikenal julukan
mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i
Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong
karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong
yang selalu berbaju putih. Ketiga orang inilah yang secara langsung menangani
semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan
amat tunduk serta setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka.
Tentu saja
Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat, ada pun Lam-sin
sendiri juga dianggap sebagai datuk sesat karena seluruh sepak terjang
perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan
hitam. Perkumpulan ini seolah pemerintah gelap yang menuntut pajak dari
tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apa pun di
selatan selalu membayar semacam ‘pajak’ atas penghasilan mereka kepada Bu-tek
Kai-pang. Apa bila hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat
melanjutkan ‘pekerjaan’ mereka.
Oleh karena
itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk sangat banyak dan
perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang
memang tadinya sudah mempunyai harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan
dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.
Ketika pada
pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia telah
dapat melihat ada beberapa orang anggota pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran
di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru
itu jelas menunjukkan siapa adanya mereka.
Dan mereka
itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga
keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan
kanan kiri agaknya. Dan setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu memiliki
sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan bentuknya berlekak-lekuk
seperti ular. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di
punggung.
Thian Sin
memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan
pintu. Dengan penuh perhatian dia memandang pengemis yang mendekati rumah makan
itu.
Pengemis itu
masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan
dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang
ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang
disambung-sambung.
Pengemis ini
pun memiliki sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari
gerakan kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah
dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya
tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.
Thian Sin
memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi telah makan panggang ayam dan
melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang
ayam di dalam mangkoknya, lantas memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata
dengan suara lantang.
“Hei,
jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini
kepada rajamu, ya?”
Semua orang
menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika
melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti
itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar
nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa pada lain saat
mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu.
Akan tetapi,
pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin,
sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah
sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima
tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu
menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan
sinkang yang lumayan!
Akan tetapi
Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha-ha, rajamu tidak doyan
tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan
anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!”
Semua orang
yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tak
ada seorang pun di kota itu yang akan berani bersikap menghina seperti ini, apa
lagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!
Akan tetapi
pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia sungguh mengerti bahwa pemuda ini
tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang
sengaja mencari gara-gara. Karena itu, setelah memandang dengan sinar mata
penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk.
Biasanya, seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan
dilayani laksana tamu-tamu biasa, walau pun mereka itu tidak perlu membayar.
Dan fihak
pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggota Bu-tek
Kai-pang itu selalu tertib, tidak menunjukkan sikap sewenang-wenang dan hanya
masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya,
sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat
kecil.
Melihat
pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum lantas melanjutkan makan
minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tak peduli akan pandang mata
para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang
memberi tanda-tanda dengan kedipan mata supaya dia itu cepat-cepat pergi saja.
Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya
juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang
dipesannya.
“Kongcu
sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini…!”
“Jangan
campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.
Semua orang
merasa tegang dan ngeri, apa lagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang
tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama dengan pengemis kedua yang
bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka berdua
itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka sudah bersiap hendak
menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah
makan itu.
Thian Sin
juga melihat dua orang pengemis itu maka dia pun tersenyum, hatinya gembira
bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk bisa mencari
Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan
minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang
pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega
karena melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan
tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan
membawanya keluar dari restoran.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment