Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 20
KEPANDAIAN
puteranya itu sudah hebat dan dia pun tadi merasa heran kenapa pemuda itu tidak
melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru dia tahu bahwa sebenarnya
pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti
bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andai kata melawannya dengan sepenuh
hati, belum tentu dia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian
lihainya, apa lagi ayahnya dan ibunya ini.
“Aih,
kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat
datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Sudah lama kami mendengar akan
kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata
dan kini dia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat
kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera
dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang
amat menggirangkan hatiku.”
“Huh, siapa
yang sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan
suara menghina. Wanita yang keras hati ini telah marah sekali ketika tadi
melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apa lagi sesudah
mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah.
Cia Sin
Liong tidak segalak isterinya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin
berkenalan dengan seorang datuk dari kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang
puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka dia pun membalas
penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin.
“Kami
menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan
anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapa pun juga.”
Melihat
sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengarlah suara orang menggereng
marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga
orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan.
Jumlah para
anggota Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika
perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat
itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama.
Sebetulnya,
dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan
perkumpulan ini sesudah membunuh ketuanya yang berjulukan Bu-tek Sin-kai
(Pengemis Sakti Tanpa Tanding), anggota perkumpulan ini berjumlah banyak. Lalu
muncul Lam-sin yang membunuh banyak anggota kai-pang sekaligus membunuh
ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang itu,
dipimpin oleh tiga orang kakek ini, kemudian takluk dan menyerah.
Melihat
bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang amat baik, nenek itu lalu
menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan
aturan-aturan baru dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh.
Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya hingga kepandaian mereka
maju banyak sekali.
Dan semenjak
dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini betul-betul menjadi ‘bu-tek’
(tanpa tanding). Ketiga pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal
tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu
rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan
tongkat akar bahar yang berada pada punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat
Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka
semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan.
Para
pengemis ini sangat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat
sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah
nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan
makmur. Maka tadi, pada waktu mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka
lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan kepada Cia Han Tiong akan tetapi tak
berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka.
Ketika ketua
mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua
mereka tentu akan mampu mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya
Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga yang
demikian angkuh serta merendahkan ketua mereka yang telah bersikap manis, maka
tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali.
Mereka
menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin
memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan
minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum sambil mengangguk
sedikit, hampir tidak kentara.
“Cia-taihiap,
kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu
berkata dan meloncat ke hadapan pendekar itu sambil mencabut senjata
masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti
tubuh ular itu.
Dengan muka
merah Bhe Bi Cu hendak maju, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang
lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi ketiga orang kakek itu.
“Kami datang
bukan untuk mengadu ilmu.”
“Pangcu kami
telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami
tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa
taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.”
“Majulah
kalau kalian penasaran!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan tetap
bersikap dingin.
Keadaan
menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh
perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian.
Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum.
Tiga orang
pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengangguk dan ada
isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk
menyerang berbareng. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar tentang nama
besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan
tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini.
Tiba-tiba
mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khikang hingga tempat
itu tergetar, kemudian bagaikan tiga ekor naga mereka sudah menerjang dari tiga
jurusan, mempergunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian
tubuh yang berbahaya dari pendekar itu.
Pendekar
Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda
melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang di antara lawan yang
menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini
miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher
dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam
perutnya.
Terdengar
suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini,
yang disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka
merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar lantas tenaga
sinkang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali!
“Thi-khi
I-beng! Simpan tenaga kalian…!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin.
Akan tetapi
sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan
pengerahan sinkang, tiba-tiba tubuh mereka sudah terangkat dan terlempar ke
arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin!
Lam-sin
mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat
dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali.
Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau tadi
menghendaki tentu telah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi
ragu-ragu dan gentar, hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat
dengan pandang mata agar mereka mundur.
Sungguh pun
selama ini Cia Sin Liong sudah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat
diserang amarah, namun sekali ini mukanya agak merah ketika dia berkata kepada
nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi
bukan berarti bahwa kami takut. Majulah kalau engkau hendak mencari gara-gara
dan penyakit!”
Akan tetapi
Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu
berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan
biar pun belum tentu ia akan kalah namun di sana masih ada isteri pendekar itu
yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia
ketahui kelihaiannya.
Tidak, kalau
ia maju, biar pun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia
benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebih baik bersikap baik
terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di
fihak yang lebih lemah.
“Tidak,
Cia-taihiap, aku pun tak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Harap
taihiap suka memaafkan mereka ini,” katanya sambil menjura.
“Jika
begitu, sekarang juga kami hendak pergi!” kata Cia Sin Liong yang memberi
isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat
itu.
Lian Hong
memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapa pun juga,
nenek itu pernah menyelamatkannya dari mala petaka yang lebih hebat dari pada
maut. Melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak
berani, maka dia pun merasa kasihan.
“Locianpwe,
terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini
tidak lagi menyebut subo.
Nenek itu
menghela napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup
beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih.
Cia Sin
Liong mengajak keluarganya pergi, dan di tengah perjalanan barulah keluarganya
mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu
yang membunuh anggota Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong
lalu menghela napas panjang.
“Nenek itu
aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan
kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi kenapa ia
menjadi datuk kaum sesat?”
Pendekar ini
dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu
memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para
pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw
yang baru.
“Kini banyak
orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian
sembarangan turun tangan melainkan beri tahu kepadaku. Terutama sekali kalau
bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw
itu!”
Nenek itu
lalu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan
menangis! Bila teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang
rendah kepadanya, dia merasa penasaran dan juga berduka.
***************
Dia merasa
amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh
Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang sangat disayangnya itu. Dia akan
enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia
masih belum tahu.
“Ayah dan
ibu harap pulang dahulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku
sendiri belum akan pulang kalau belum berjumpa dengan Sin-te. Aku harus
mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!”
“Dia bukan
anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa
mengkhawatirkan dia?”
“Ayahmu
benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, jika tidak, tentu Lian Hong akan semakin
khawatir dan berduka. Sekarang kita sekeluarga sudah berkumpul, dan kita harus
dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan
pernikahan kalian.”
“Maaf, ayah
dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum
kuketahui bagaimana nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku hendak mencarinya
sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang
pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.”
Suami isteri
itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa
besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam
mereka pun bangga akan kecintaan dan kesetiaan hati putera mereka ini. Akhirnya
Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus,
“Ahh, Han
Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?”
Sejak tadi
gadis itu hanya menundukkan mukanya saja. Dia teringat akan Thian Sin dan
terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta
kasih kepadanya. Dan betapa pun juga, dia merasa girang mendengar sikap
tunangannya yang sangat menyayangi adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan
kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas dia pun
menjawab,
“Saya kira
pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya… dalam keadaan berkabung ini…
saya… belum dapat berpikir tentang pernikahan…”
Suami isteri
itu menarik napas panjang. Mereka merasa amat kasihan kepada gadis yang dalam
waktu seketika saja sudah kehilangan segala-galanya, baik orang tuanya, rumah
mau pun semua harta miliknya.
“Baiklah,
Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menunggu
kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.”
Maka
berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari
adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga.
***************
Kita kembali
mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia
dapat mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, biar pun kemenangan
itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan
diri pada saat hendak dikeroyok.
Belum tiba
waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat
itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Kelak akan tiba saatnya dia membasmi seluruh
penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu bila mana ilmunya sudah sempurna
sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini,
seperti yang dahulu dicita-citakan oleh ayahnya.
Dengan tekad
yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke
Pegunungan Himalaya. Dahulu dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa
ilmu-ilmu yang ditulisnya di dalam kitab-kitab itu dipelajari mendiang ayahnya
dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi
belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu
langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan baru
bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja.
Dia harus
dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidak-tidaknya menghubungi badan
halusnya. Dan untuk itu kini dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan
ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat
memberi petunjuk selanjutnya kepadanya.
Setelah melakukan
perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan beberapa kali menghadapi
bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan
tetapi juga terancam kelaparan serta kedinginan yang sangat hebat, akhirnya
pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia
bergegas mencari tempat perlindungan.
Dari bawah
dilihatnya sebuah mulut goa di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin
yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat
pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil juga mencapai goa itu dan
setelah dia berada di dalam goa, maka selamatlah dia dari serangan angin yang
masih menghembus lewat di depan mulut goa sambil mengeluarkan suara mengerikan.
Lewat kurang
lebih satu jam sesudah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin sempat
memperhatikan goa yang telah menyelamatkannya itu. Goa itu cukup lebar, ada
empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia segera
masuk ke dalam dan ternyata goa itu membelok ke kiri.
Ketika dia
masuk terus ke kiri, pada sudut goa itu, di dalam cuaca yang remang-remang,
nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan
kedua kaki di atas kedua paha dan dua tangan terletak di atas lutut. Dia
terkejut dan mendekat.
Orang itu
tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus
kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan
tetapi, kalau sudah mati, mengapa dia tidak roboh dan masih dapat duduk bersila
dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itu pun masih lemas,
belum kaku, belum beku.
Cepat Thian
Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia
masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya.
Jantung orang itu masih bekerja, walau pun sangat lemah dan lambat! Orang ini
belum mati, sungguh pun tiga perempat mati.
Thian Sin
cepat mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian
dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir
kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah.
Mula-mula
bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari
arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan… guci arak itu
menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat
sehingga sebentar saja isinya pun habis, semua memasuki perut orang itu melalui
mulutnya!
Thian Sin
terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini
ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya,
dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Harap
Locianpwe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat.
Kakek itu
berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan
sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar
suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah
bicara,
“Aih, engkau
telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, tapi bukan salahmu,
melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha,
agaknya inilah karmaku… hemmm…”
Hampir semua
orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang
terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lantas dihiburnya dengan pendapat
bahwa hal itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya
yang dimaksudkan dengan karma itu?
Menurut
penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab
akibat. Segala akibat mempunyai penyebabnya, dan segala macam perbuatan manusia
sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma.
Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat
jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan
menuai dan akan makan buah dari pada hasil tanamannya sendiri.
Akan tetapi
sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat
lain di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma ini pun hanya menjadi
pengetahuan mati saja, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan
dan membanggakan pengetahuan saja.
Orang sudah
tahu bahwa apa bila menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk,
namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat!
Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan
segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik,
namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.
Karma adalah
mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat
ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Begitu seterusnya
dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat. Putusnya rantai ini
tergantung pada kita sendiri!
Seseorang
menghina saya. Hal itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah
kemudian memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, bisa menjadi
sebab lain yang mendatangkan akibat lainnya lagi, yaitu si orang itu
marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada
putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat
kita.
Akan tetapi,
apa bila orang itu menghina saya lantas saya hanya mengamati saja penuh
perhatian dan penuh kewaspadaan, juga tidak terjebak dalam permainan si aku,
dan tak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itu pun akan putus dan tidak
berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap
diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling
kita inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar
kepadanya.
Pengetahuan
tentang memetik buah dari perbuatan sendiri ini pun dapat menyesatkan. Dapat
mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat
memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang
kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja supaya kelak
memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut
perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan
suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan?
Tak ada
perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang
dilakukannya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan
perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tak disengaja untuk berbaik-baik
melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu
menimbulkan rasa belas kasih pada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ
semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih dari pada keinginan untuk
memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun
kesenangan batin.
“Locianpwe,
teecu mohon petunjuk…,” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin
sudah berjumpa dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia
sekali dapat berjumpa dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi
memperkenalkan diri.”
Kakek itu
menarik napas panjang sambil melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa
pegal-pegal. “Ahh, apa artinya nama? Jika orang-orang macam aku masih mencari
nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau
sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan kini aku merasa
lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?”
“Ahhh, ada,
locianpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering
yang dibawanya bersama daging kering.
Kakek itu
cepat-cepat menyambar roti serta daging kering lalu makan dengan lahapnya,
dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu sanggup
menghabiskan seperempat potong saja. Dia pun menyerahkan guci air yang segera
diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara.
“Kedatanganmu
yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau
kembali mendatangkan kehidupan bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua,
engkau menarik kembali semangatku dari alam yang sangat nikmat. Akan tetapi
biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan hingga beberapa lama lagi. Apa
maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti
ini?”
“Locianpwe,
terus terang saja, teecu pergi merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk
mematangkan ilmu, dan di samping mencari guru-guru yang pandai juga teecu ingin
sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.”
Kakek itu
tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha-ha, aku pun bernama Bu Beng, dan entah ada
berapa ribu pertapa di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam
kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).”
Mendengar
hal ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan
tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada,
beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari
ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin bertemu dan menghadap beliau untuk
memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.”
“Oho,
sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barang kali aku akan
dapat menolongmu.”
Mendengar
ini, dengan hati girang Thian Sin lantas bercerita tentang Bu Beng Hud-couw
seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang
diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata,
“Tentang
ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya
seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ahhh, hal itu mudah saja. Setiap
orang pun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.”
“Locianpwe,
kalau begitu teecu ingin mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan
Sukong.”
Kakek itu
tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuah pun, akan
tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering!
“Mudah saja…
ha-ha-ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu
bagaimana agar engkau bisa memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi,
untuk apa engkau hendak memanggilnya?”
“Untuk
meminta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu
pelajari.”
“Apakah
engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?”
“Teecu telah
mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya saja teecu belum puas kalau
belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami
oleh mendiang ayah teecu.”
“Bagus,
bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya
lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?”
“Entahlah,
menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu
sudah tiga ratus tahun lebih.”
Kakek itu
tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekali pun bisa
mati! Tetapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan
bagian depan goa ini, bersemedhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu,
memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, sambil mengulangi mantera, seperti
yang akan kuajarkan kepadamu.”
“Tapi teecu
belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?”
“Bodoh,
siapa pernah melihatnya? Kau bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya
berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia pun
akan muncul.”
Demikianlah,
mulai saat itu juga Thian Sin bertapa di dalam goa di puncak, menerima petunjuk
dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Dia bersemedhi dengan tekunnya,
mencurahkan segenap perhatian, ditujukan pada bayangan seorang kakek yang
menurut dia sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, sambil bibirnya dan terus
sampai ke hatinya, membisikkan mantera terus-menerus, diulang-ulang.
Mantera
adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau dianggap mengandung arti
yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang
demikian hebatnya bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri
pengulangan suara yang terus-menerus, apa lagi pengulangan kata-kata yang
dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan
melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan
yang menyihir diri sendiri.
Di dalam
keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin terus diarahkan kepada
bayangan seorang kakek yang selalu diharap-harapkan. Seperti yang pernah
dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini
Thian Sin juga dapat ‘berjumpa’ dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai
Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk padanya dalam mempelajari ilmu-ilmu
Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga semedhi dengan jungkir balik.
Selama enam
bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam goa itu, bukan hanya untuk
menyempurnakan latihannya atas semua ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan
tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari
pengalamannya pada saat melawan Pak-san-kui mau pun See-thian-ong. Di samping
ini, dia pun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek
penghuni goa itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati.
Enam bulan
lewat dengan sangat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek
pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan goa turun dari puncak.
Akan tetapi, kalau ada orang melihatnya enam bulan yang lalu dan
membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan
terheran-heran.
Thian Sin
yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin
enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya,
masih gagah sikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang
mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan
ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum itu, karena senyumnya
itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang
memandang rendah atau mengejek.
Gerak-geriknya
lebih halus dari pada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang,
kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu,
larinya cepat seperti terbang saja!
Tujuan
pertamanya adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung
dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu Raja Agahai yang sekarang menjadi raja,
adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja
Agahai adalah salah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus
dibalasnya lebih dulu!
Maka tanpa
merasa ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara
Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, akan tetapi mengambil
jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah
yang amat luas, melalui banyak padang pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat.
Perjalanan yang sangat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja.
Di mana pun
dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan
perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan
dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat.
Dia akan menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan
mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya.
Oleh karena
itu, maka dalam waktu sebentar saja namanya telah menjadi sangat terkenal
sehingga mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan memang Thian Sin pantas
sekali disebut Pendekar Sadis.
Di luarnya
dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun. Sikapnya,
gerak-gerik mau pun tutur-sapanya amat ramah-tamah, wajahnya pun amat tampan.
Juga suara suling yang ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati
gadis yang mana pun juga. Akan tetapi, apa bila dia sudah turun tangan terhadap
penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami mala
petaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu akan cacad dan tersiksa
hebat!
Pada suatu
hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi
Ching-hai, setelah satu pekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau
yang juga dinamakan Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu,
ketika dia pesiar selama satu pekan, dia pun menghajar banyak penjahat sehingga
namanya menjadi semakin terkenal.
Bahkan pada
waktu dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis
sudah mendahuluinya sehingga para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di
daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka. Nama itu sudah menimbulkan
kegemparan! Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak
pernah mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri,
walau pun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya.
Pada pagi
hari itu, sesudah dia memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota
Si-ning, Thian Sin lantas keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan laksana
seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa
pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat
panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya.
Pada waktu
dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan
perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya hingga membuatnya menahan
langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan sambil memandang penuh perhatian.
Biasanya Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu.
Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang selalu bermain
curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tak peduli karena kalau ada
orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang
itu sendiri.
Sekarang,
dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya
membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan
seorang gadis cilik memasuki po-koan itu.
Gadis itu
usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan
ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu
membujuk dan kadang-kadang membentaknya. Dari percakapan mereka, Thian Sin bisa
mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja.
Hatinya
tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, sesudah dua orang
itu memasuki rumah perjudian, dia pun lalu menyelinap ke belakang rumah besar
itu dan pada lain saat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang
rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan
saja.
“Ayah, aku
takut…” Dara remaja itu berbisik ketika dia diajak ayahnya memasuki rumah
perjudian itu.
“Hussshhh…
tidak apa-apa, jangan takut.”
“Ayah, aku
takut, biar aku pulang saja. Ahh, di sana banyak orang, semua laki-laki…”
“Siapa
bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau
menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan segera
masuk penjara…”
Sesudah
dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan
dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping, bukan ruangan besar di
mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada
seorang pun yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu.
Tiba-tiba
muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya
juling. Dia tersenyum ketika melihat kakek itu, lalu menegur, “Eh, engkau sudah
kembali, A Piang? Dan dia ini… dia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan
matanya makin menjuling.
“Benar, di mana
cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu.
“Terus saja,
dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai.
Kakek yang
bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama
kemudian dia telah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar itu terdapat dua
orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tak peduli ketika mereka melihat bahwa
yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan
ketakutan.
“Siapa di
luar?” terdengar suara berat di dalam kamar.
“Saya… saya
A Piang…,” kakek itu menjawab.
“Hemmm,
sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya
masuk atau membuka pintu.
“Saya
datang… ehh, mengantar anak perempuan saya…”
Hening sejenak.
Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang di antara dua penjaga itu. “A
Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?”
Seorang di
antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, kemudian menjawab, “Lumayan
juga, loya. Masih muda sekali!”
“Bagus.
Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu.
Sambil
menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki
sebuah kamar yang sangat besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau
karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang asyik menghisap huncwe (pipa
tembakau) yang mengeluarkan asap tebal.
Dia adalah
seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Bajunya yang tebal dan
indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampaklah
kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apa lagi
ketika dia memandang kepada gadis itu.
“A Piang
berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, tetapi matanya
terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian.
“Empat puluh
lima tail… loya…”
“Hemm, dan
engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?”
“Tadi saya…
saya sudah memberi tahu pembantu loya… saya butuh enam puluh tail… dipotong
hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi… dan
biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan…”
“Sebulan?
Dan anakmu sudah mau?”
Kakek A
Piang segera menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin… kau dengar sudah…
kau tolonglah ayahmu, kau hanya sebulan bekerja di sini lalu kujemput pulang,
nak. Kau dengarlah dan taati semua perintah loya ini… maukah engkau menolongku,
nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara…”
Kui Cin,
gadis itu, lalu mengangguk. Tentu saja dia mau menolong ayahnya. Kalau cuma
bekerja sebagai pelayan, apa lagi hanya satu bulan, tentu saja dia sanggup.
Sejak kecil dia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan
kemudian ayah menjemputku di sini.”
“Nah, anak
saya sudah mau, loya. Dia anak yang berbakti dan baik…”
“Bagus, jadi
aku harus menambah lima belas tail lagi. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi
itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil
oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Dia
harus mentaati semua perintahku. Dia tidak boleh membantah dan harus melakukan
segala pekerjaan yang aku perintahkan. Mengerti?”
“Mengerti,
loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?”
“Baiklah,
ayah. Aku akan bekerja keras di sini.”
“Nah,
pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!”
kata majikan itu.
A Piang lalu
menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar
itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang
sudah gila judi itu tidak segera membawa sisa uang itu pulang, namun langsung
saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi
itu.
Semenjak
jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat
berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan,
sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.
Akan tetapi
segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan
iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lambat laun lantas menjadi kebiasaan yang
tidak mudah dilepaskan. Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat
permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan
berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk
membuat orang menjadi mabok dan lupa segala.
Perjudian
merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang terbesar, yaitu nafsu
tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi
selalu akan berusaha untuk membalikkan kekalahannya itu dengan
bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya itu dapat
diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk
sebanyak mungkin bisa menambah kemenangannya itu.
Dan dalam
perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembang biakkan menjadi sangat
luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besar pun
akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, walau pun
jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat kedua orang kawan baik itu
menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah.
Judi memupuk
iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin
menang sendiri. Alangkah banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan
masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan akibat kepala keluarganya
kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah
menjadi curang dan jahat sesudah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia
sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus.
A Piang
adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan
anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah
dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk
dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh
perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia sudah menjadi setan judi yang malas
untuk bekerja lagi.
Kui Cin
berusaha sebisa mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan
mereka. Akan tetapi kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang sehingga
akhirnya semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi.
Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu
demi satu, sampai akhirnya rumah pun digadaikan!
Mula-mula
dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah
biasanya racun mulai menguasai manusia di dalam perjudian. Kemenangan merupakan
pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan dan merasakan masuknya
uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat,
hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang
memperoleh uang yang amat mudah.
Setelah
makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A
Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah
kalah. Apa pun juga akan dilakukannya agar dapat memperoleh modal berjudi lagi,
karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia
akan menang besar.
Namun
berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia
terlibat hutang dengan bandar judi dan mulai bingung ketika ditagih oleh tukang
pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
“Jika sudah
tidak punya apa-apa lagi kenapa berani berjudi terus dan berani berhutang?”
Demikian tukang pukul itu mengancamnya. “Kalau engkau tidak sanggup
mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau akan dipukuli
setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan ke dalam penjara!” Tukang
pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang
langganan lama dari rumah perjudian itu.
“Aku… aku
sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang
kosong sudah kugadaikan pula…,” A Piang meratap.
“Engkau bisa
pinjam dulu dari seseorang keluargamu.”
“Aku tidak
mempunyai keluarga…”
“Mustahil
orang tidak mempunyai keluarga!”
“Aku hanya
hidup berdua dengan seorang anak perempuanku… ahh, kasihanilah aku dan berilah
kesempatan…”
“Seorang
anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik.
“Empat
belas… lima belas tahun.”
“Bagus,
kalau begitu engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si
tukang pukul mata juling itu.
Sepasang
mata A Piang langsung terbelalak. “Apa?! Menggadaikan anak perempuanku? Jangan
bicara sembarangan engkau!”
“Siapa yang
bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikan anakmu itu untuk selama satu
bulan, atau menyewakan dia selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau
bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.”
“Apa… apa
maksudmu?”
“Mudah saja.
Engkau menyewakan anakmu itu agar… eh, bekerja melayani majikan, dan engkau
akan memperoleh uang dari majikan.”
“Melayani
majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima anakku itu sebagai
pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?”
“Berapa kau
butuh?”
“Hutangku
empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi,
biarlah anakku bekerja sebulan di sini… anakku tentu mau menolongku, dia anak
baik…”
“Kalau
begitu, besok pagi-pagi bawalah anakmu itu ke sini untuk menemui loya, aku akan
melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.”
Demikianlah
awal mulanya mengapa A Piang lantas mengajak anak perempuannya pergi menemui
majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin
mau juga untuk menolong ayahnya.
A Piang
bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di
balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini telah kecanduan judi sehingga
di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar
kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan sempat timbul pikiran
bahwa jika anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentulah dia
akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian
itu!
Memang
mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan cerita ini bukan dongeng
belaka. Bahkan sudah sering terjadi ada orang rela menjual isterinya, anaknya
dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja untuk berjudi. Banyak pula
yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak
dapat.
Timbul
pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya
perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu: Bagaimanakah
caranya agar terbebas dari penyakit judi ini?
Hendaknya
diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari
diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan
untuk dapat memenangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk
dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah
kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan
sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu.
Melepaskan ingatan akan kalah dan menang.
Kalau
terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lagi, sekali lagi saja lalu
berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu
berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya
lagi, atau menatapnya, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan
itu pun akan terhentilah.
Bukan
melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu
dapat dilakukan di mana pun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini,
dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga
seluruhnya kelihatan, latar belakangnya, sebab-sebabnya.
Kui Cin
adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Dia
masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan makhluk yang
amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi
kebersihan. Dia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah
menolong ayahnya, dan dia pun siap untuk melakukan pekerjaan betapa berat pun
untuk membalas budi.
“Siapa
namamu?” terdengar pria itu bertanya.
Semenjak
tadi Kui Cin berdiri sambil menunduk, dan kini dia memberanikan diri menjawab
lirih, “Nama saya Kui Cin, loya.”
“Coba angkat
mukamu dan pandang aku.”
Kui Cin
merasa malu-malu dan takut sekali. Lebih baik dia disuruh bekerja berat dari
pada menerima perintah ini. Akan tetapi dia pun segera mengangkat mukanya dan
memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang lelaki yang kelihatan
galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang
mata liar bagai menelanjangi dirinya.
“Ke sinilah
kau, Kui Cin.”
Gadis itu
lalu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, dia seperti
mendapat firasat buruk, seakan-akan merasa ada bahaya mengancamnya. Sesudah
tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, dia
pun berhenti dan menunduk.
“Majulah
mendekat.”
“Di… di sini
saja, loya…”
“Eh, baru
diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apa lagi kalau disuruh
melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti
didorong dari belakang, dia pun melangkah maju beberapa tindak sampai dia
berdiri dekat di depan laki-laki itu.
“Engkau
manis…!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya.
“Ahh,
loya…!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar.
“Sayang
pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!”
Dara itu
terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia lalu mundur dan menggeleng-geleng
kepalanya. “Tidak…! Tidak mau…!”
Orang itu
melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil
tersenyum. “Hemmm… Ingat, engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah
engkau janjimu tadi?”
“Tapi… tapi…
saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apa pun akan saya
lalukan, bukan… bukan ini…”
“Taat tetap
taat, dan ini pun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini
perintah pertama!”
“Tidak…!
Tidak…!”
“Hemmm,
apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau
sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan
engkau harus mentaati apa pun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan
tanggalkan seluruh pakaianmu!”
“Tidak…!
Ohh, ayaaahh…!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu.
Akan tetapi
baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui
Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu
berdiri di situ dengan sikap mengancam.
“Tutup
pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta bermain kucing-kucingan!” kata si
majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil
tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin.
Gadis ini
menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal
ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu
telah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena
kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia
sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti
ini menambah gairahnya.
Muka Kui Cin
menjadi pucat dan dia berusaha berlari terus dan mengelak dari
tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya merasa makin gembira.
Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga
ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itu pun sudah cukup bising
dengan suara orang.
Hanya dua
orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu,
seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran
yang mengasyikkan dan menggembirakan pula.
Biasanya,
gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu tidak akan mampu terlampau lama
mengelak terus. Mereka yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar
gadis itu menjerit, lalu mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan
dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, berikut
suara-suara lain yang menimbulkan gairah mereka.
Akan tetapi,
kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu
telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah
diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain
robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, bahkan kini terdengar suara
majikan mereka mengeluarkan jeritan yang mengerikan.
Dua orang
tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu
telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai,
pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah,
ada pun tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi
tubuhnya, dan bibirnya tersenyum.
Ketika
mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci
yang ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan,
sedangkan majikan mereka itu sudah meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan
ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang
itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol pada bagian
dahinya.
Saat melihat
dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali
keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan kepalang karena pada saat dengan hati
girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti
seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba
saja muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana
masuknya.
Melihat
pemuda itu seorang siucai lemah, dia lalu berusaha memukul, akan tetapi sekali
tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas
pembaringan, kepalanya terbentur dinding hingga kepalanya menjadi pening. Dia
terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang
penjaganya masuk, dia lantas berseru,
“Tangkap
penjahat ini! Bunuh dia!”
Dua orang penjaga
itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim
bacokan serta tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah
penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar
majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui.
Hal ini saja
sudah membuat mereka amat penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah,
mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang saja. Akan tetapi,
entah bagaimana mereka sendiri pun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa
kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya lantas roboh
terguling!
“Hemm,
tukang-tukang pukul memilki tangan yang sangat kejam!” Pemuda itu mencokel
dengan kakinya, maka sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul
segera melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian tampak
cahaya berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua
tukang pukul itu.
Darah pun
bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang
dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang
pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, bermandikan darah
mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung
karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi
kedua tangan dua orang tukang pukul itu!
Pemuda itu
membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan
anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tak bernoda
darah! Hal ini saja sudah membuktikan alangkah hebatnya gerakan golok tadi,
demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan kini terdengar ucapannya
yang halus dan seperti orang bersajak.
“Memetik
buah dari pada kejahatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong
mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang telah kau
perkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu
menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah
di atas pembaringan.
“Taihiap…
ampunkan saya… ampunkan saya… engkau boleh mengambil berapa banyak pun uangku,
tapi jangan… jangan membunuhku…”
Dan salah
seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba
berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar… Pendekar Sadis…!”
Mendengar
ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Celaka,
mati aku…” Tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah.
Memang orang
yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering
mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai
nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang kejam bukan main. Dan tadi dia
telah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang
pukulnya begitu saja, dengan darah dingin!
“Ampun…
ampunkan aku…” Dia terus meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya
tersenyum.
“Betapa
seringnya engkau sendiri mendengar ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang
kau perkosa, akan tetapi pernahkah engkau mengampuni mereka? Engkau malah makin
bergairah dan makin senang jika mereka itu minta-minta ampun, menangis dan
meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kau terima!”
Golok itu pun
menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah
judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar kemudian majikan
itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dan dari celananya di
antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar
golok hingga buntung! Bagi orang ini tentu saja kecil sekali harapan untuk
terus hidup.
“Kau
keluarlah dari sini dan pulanglah,” Thian Sin berkata kepada gadis itu yang
masih menggigil ketakutan.
Karena dua
orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian
Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak
mempedulikan lagi gadis cilik itu. Dengan sikap tenang-tenang saja dia
melangkah menuju ke ruangan judi!
Sebelum tiba
di ruangan judi itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang
mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam
kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak,
“Siapa
engkau?! Apa yang terjadi?!”
Salah
seorang di antara mereka cepat-cepat berlari ke dalam kamar di mana dia melihat
majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik
itu sudah menyelinap pergi. Maka dia pun lantas berteriak-teriak dan lari kembali
sambil mencabut senjata.
“Loya telah
dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya.
“Setiap
perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka
sudah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan
suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga
tukang-tukang pukul?”
“Bunuh
penjahat ini!” teriak salah seorang di antara mereka dan lima orang tukang
pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang
Thian Sin....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment