Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 21
PEMUDA ini
tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu.
Dengan tenang-tenang saja dia kemudian mengelak ke kanan kiri sehingga
golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan
tetapi pada lain saat terdengarlah teriakan susul-menyusul dan lima orang
tukang pukul itu pun sudah roboh semua. Sebelum mereka sempat bangun berdiri,
Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan
goloknya membuntungi semua tangan mereka.
Keadaan
sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan
lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang
tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan
pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar.
“Pendekar
Sadis…!”
“Pendekar
Sadis…!”
Akan tetapi
Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang
judi. Keadaan di situ segera menjadi gempar. Semua perjudian berhenti dan para
tamu mau pun penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang
mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan
dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu.
Thian Sin
mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu per
satu. Ia sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, atau
telinga. Pendeknya tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak mengalami
hukuman yang mengerikan.
Dalam waktu
singkat saja pertempuran sudah berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang
merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung.
Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, kemudian terdengar
dia membentak halus.
“Mana yang bernama
Kakek A Piang? Majulah ke sini!”
A Piang yang
sejak tadi mepet pada tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan
kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut.
“Seorang
ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin
mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman
agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!”
Pedangnya
lantas bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah
kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan
darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal
uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ,
menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi,
“Bawa uang
ini untuk modal bekerja dan ajaklah anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau
engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubikin buntung!”
A Piang
tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena seluruh tubuhnya menggigil. Dengan
tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, ia
hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar.
“Semua orang
boleh pergi!” kata pula Thian Sin, dan para penjudi dengan penuh rasa takut
lalu berlarian keluar.
Thian Sin
mengambil beberapa potong uang emas dan perak, lalu menyimpannya dalam
bungkusannya sendiri sebab dia teringat bahwa bekalnya tinggal tersisa sedikit,
kemudian dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang
berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa tukang-tukang pukul tadi dengan
tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan.
Ketika
pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak kelihatan lagi, sudah kembali
ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan
apa yang telah dilakukannya. Sebetulnya dia tak mau mempedulikan rumah-rumah
perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung
ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau
dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia
mengamuk d rumah judi itu.
Perbuatan
Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh-sungguh telah
menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan
menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para
penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti yang terjadi di
kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran,
rumah-rumah perjudian serta tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh
para penjahat.
Biar pun
rumah-rumah judi itu sudah mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para
hartawan ini membayar semacam ‘pajak’ kepada para kepala penjahat yang berkuasa
dengan mendapatkan semacam ‘perlindungan’. Dan tentu saja para kepala penjahat
dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal
seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah.
Apa bila
para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibayangkan bagaimana
keadaan kehidupan rakyat jelata. Tak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si
pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan
hanyalah tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba pun berlakulah. Yang punya
uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang
mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam
di dalam perut.
Perbuatan
Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang
berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat langsung mengadakan
pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai
terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki
kota Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah
rumah penginapan kecil di sudut kota.
Ketika itu
kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka,
yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji
Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar tentang peristiwa yang
terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat
marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk
berunding.
“Kita serbu
saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia
dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak
bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini sangat lihai ilmu silatnya, terutama
senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum beracun.
“Nanti dulu,
kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang
kuterima dari daerah barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi. Bahkan kabarnya gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu telah
dibasmi habis olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal
barulah kita mempergunakan kekerasan.”
“Aku pernah
mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik.
Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan
dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya
minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang
ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.
“Tapi
Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir siasat ini akan gagal,” kata orang
pertama Si Kecil Bongkok.
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Ang Bwe-nio tidak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua
orang pendekar Siauw-lim-pai itu, mereka pun dengan mudah jatuh ke dalam rayuan
Ang Bwe-nio. Jika sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk
menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan.
“Sebaiknya
kita pun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio untuk
mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat langsung turun tangan,”
kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini.
Pemilik
rumah penginapan segera dihubungi. Secara diam-diam para tamu lain di rumah
penginapan itu sudah dipersilakan keluar sehingga tanpa diketahui oleh Thian
Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu.
Thian Sin
dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan dia
pun telah siap menghadapi segala kemungkinan, bila perlu dia akan membasmi para
penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi
sesuatu, besok pagi-pagi dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari
neneknya.
Sore itu,
sesudah mandi dan dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat,
pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua sudah mendengar akan sepak terjang
taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami
bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.”
“Ahhh, tidak
perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak
suka menerima sanjungan.
Dia tahu
benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya dari pada celaan. Dengan celaan dia
akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan bisa bersikap waspada,
sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk lantas lupa akan kewaspadaan,
membuat orang menjadi lengah.
Akan tetapi
baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam,
tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan
membongkok-bongkok amat menghormat,
“Taihiap,
kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah
menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi
bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame
yang sangat baik. Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjamu taihiap dengan
sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami
kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.”
“Ahh,
membikin repot saja…,” kata Thian Sin.
Akan tetapi
hatinya telah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil
membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba saja dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan
terdiri dari lima orang membawa baki berisi masakan-masakan yang masih mengepul
panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan sangat
cekatan mereka membersihkan meja di dalam kamar itu lantas mengatur hidangan.
Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampaklah
seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut.
Tidak
disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya.
Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang
usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali.
Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah
tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum sehingga membuat sudut
pipinya membentuk lekuk yang mungil.
Dengan
langkah lemah gemulai dia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya,
majikan rumah penginapan itu memperkenalkan.
“Taihiap,
inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, juga termasuk
keponakan saya ini, merasa kagum kepada taihiap yang telah melakukan pekerjaan
besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya yang
menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu
menjura dan pergi.
Sejenak
mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itu
pun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.”
Thian Sin
tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh
hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan
manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin.
“Silakan
minum arak dan makan hidangannya, taihiap…”
“Bagaimana
aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak
senang makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona.”
“Ahhh, mana
pantas? Aku mewakili pamanku sebagai tuan rumah…,” kata Ang Bwe-nio dengan
sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah,
matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu.
Thian Sin
semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walau pun tidak dapat
dibilang mata keranjang. Tidak sembarangan wanita dapat menarik hatinya, meski
pun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis.
“Marilah,
tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau
kau tidak mau temani aku makan minum, aku pun tidak dapat menerima suguhan
ini.”
“Aih,
mengapa taihiap begitu…?” Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak
mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin
memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di
sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak
sampai penuh.
“Nah, mari
kita sama-sama minum untuk perkenalan ini.”
Sambil
tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan mereka pun
minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpitnya,
dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging
ke dalam mangkok di depan Thian Sin.
Pemuda ini
pun tak mau kalah, mengambil daging-daging kecil lalu dimasukkan ke dalam
mangkok di hadapan wanita itu. Mereka pun lalu makan minum, tanpa kata-kata,
hanya kadang kala saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum
malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat
bibir itu nampak semakin segar kemerahan.
“Siapakah
nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang…”
“Namaku Ang
Bwe-nio, taihiap. Dan siapakah nama taihiap? Aku hanya mendengar orang menyebut
dengan julukan yang mengerikan, Pendekar Sadis…”
Thian Sin
tersenyum. “Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri
penjahat saja. Dan namaku sendiri… ahh, aku sudah melupakan nama itu. Engkau
sebut saja aku Pendekar Sadis.”
“Ehh, mana
bisa begitu?” Wanita itu tertawa manja.
“Nona, aku
merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu untuk menemani
aku?”
“Aku… aku
bukan gadis, aku… seorang janda…”
“Ahhh…!”
Hati Thian Sin berdebar girang.
Tadinya dia
merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tak sepatutnya kalau
seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan
seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga!
“Kiranya
nyonya seorang janda… hemm, masih begini muda…”
“Usiaku
sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua…”
“Siapa
bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!”
“Sudahlah,
lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging
pilihanku,” wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong
daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu
ke dekat mulut Thian Sin!
Tentu saja
pemuda ini menjadi tertarik sekali, maka sambil tertawa dia menerima suapan
itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Dia pun membalas dan tidak
lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing.
Sikap mereka
menjadi semakin berani. Pada waktu Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang
hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka pun saling berpegangan tangan
dengan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.
“Bwe-nio,
engkau cantik sekali!” Thian Sin memuji sambil mengelus-elus kulit lengan itu
melalui bajunya yang tipis.
“Dan engkau
sungguh gagah dan tampan, taihiap…” Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur
karena memang sebenarnya dia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini.
Sayang bahwa dia sedang ‘dalam tugas’ sehingga dia tidak bisa mencurahkan
seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani
mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.
Thian Sin
telah setengah mabuk, bukan mabuk oleh arak karena dengan kekuatan tenaga
dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keras
pun. Akan tetapi dia mabuk akan kecantikan dan rayuan wanita itu.
Betapa pun
lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih terlalu hijau dalam pengalamannya
dengan wanita, dan memang dia mempunyai kelemahan terhadap wanita. Maka melihat
sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini
segera jatuh dan merasa tertarik sekali. Apa lagi melihat wanita itu demikian
beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak
untuk bermain cinta dengan dirinya.
Pada saat
itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan
rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke
mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.
“Ehh, kenapa
taihiap?”
“Bwe-nio,
sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu apa bila engkau melakukannya dengan
mulut, bukan dengan sumpit,” kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah
yang cantik itu.
Sebetulnya
Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing akan berbagai kemesraan dalam
permainan cinta, akan tetapi dia demikian pandainya sehingga ketika mendengar
permintaan Thian Sin ini, dia dapat bersikap bagaikan seorang wanita baik-baik
yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu.
Wajahnya
menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Dia mengerling dan cemberut, berkata
sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, “Iiiihhh… taihiap… mana bisa begitu…?”
“Kenapa
tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah…”
“Aihhh… aku…
aku… ahhh, malu dan takut… aku tidak mengerti…”
“Bwe-nio,
engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang aku
maksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, aku pun tidak akan
mau menerima pemberianmu.”
“Aihhh…
taihiap…” Ang Bwe-nio mengeluh, namun kemudian dia pun menggigit potongan
daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya.
“Mmmmm…,”
mulutnya mengeluarkan suara tertahan dan sepasang matanya tertutup.
Melihat ini,
Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari
mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja kedua mulut itu bertemu dalam sebuah
ciuman yang mesra dan hangat serta penuh nafsu. Dan di lain saat mereka sudah
saling peluk, saling rangkul dan saling cium.
Ang Bwe-nio
mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya sambil kedua
matanya dipejamkan, akan tetapi dia membalas belaian serta ciuman pemuda itu
dengan penuh gairah.
Akan tetapi
semua itu sesungguhnya hanyalah permainan belaka darinya, sebab dengan cerdik
sekali, pada waktu Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, secara diam-diam
wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan
selagi Thian Sin membenamkan mukanya pada dadanya, wanita ini menaburkan bubuk
putih ke dalam cawan arak pemuda itu!
“Hayo kita
pindah ke pembaringan…” Thian Sin berbisik di dekat telinga kanan wanita itu,
suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.
“Baik,
taihiap, aku… aku mau… ahhh… aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku
cinta padamu… ohhh… tapi nanti dulu… aku haus, mari kita minum dulu…”
Thian Sin
tersenyum kemudian melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi
cawannya yang isinya tinggal setengah itu sampai penuh.
“Minumlah,
taihiap, setelah itu baru kita…” dan pandang matanya penuh daya pikat.
“Katamu tadi
engkau haus, jadi engkau minumlah.” Thian Sin hendak meminumkan arak di
cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan
menolak.
“Tidak, aku
sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh
saja…” Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok.
Dia tidak
tahu bahwa pada saat itu Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang
aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik, ada pun kedua tangan
pemuda itu diarahkan kepadanya.
Setelah
menuangkan air teh, wanita itu lalu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum
menghadapi pemuda itu. “Taihiap…. kokoku yang tampan… marilah, marilah kita
minum dulu, setelah itu baru… ehmmm…” Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang
indah jeli ini berkedip penuh arti.
Senyumnya
semakin melebar ketika dia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu,
ditenggaknya sampai habis, dia sendiri pun hanya mencucup sedikit air teh itu.
Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya,
bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil
berkata lirih,
“Ke sinilah…
sayang, ke sinilah…” Dan pemuda itu lantas terguling ke atas pembaringan,
terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan!
Bwe-nio
menghampiri pembaringan, memandang pada wajah pemuda yang memejamkan mata itu,
lalu dia menunduk dan mencium bibir pemuda itu.
“Sayang… kau
ganteng… tapi terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri yang
terbunuh…” Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing
tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda
yang kini sedang tidur terlentang itu.
“Wuuuuuttt…
cesss…!”
Sepasang
mata yang sangat indah itu terbelalak pada saat melihat betapa pisau belatinya
‘menembus’ tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya
seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itu pun
lenyap.
“Sungguh tak
kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, tetapi dihuni oleh hati yang
palsu.”
Mendengar
suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia
menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini
dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda
itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius.
Lalu
siapakah yang tadi rebah kemudian ‘menghilang’? Dan bagaimana pemuda itu masih
duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur
itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan kata hanya seorang saja, biar pun
diminum oleh tiga empat orang pun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi dia
sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah
ditenggak habis oleh Thlan Sin!
Tentu saja Ang
Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari
kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah
dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau pada
pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya serta menciuminya, pemuda yang berilmu
tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang
terdapat pada pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika
dia membelai serta meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita
itu membawa pisau itu.
Walau pun
kelihatannya dia dimabuk nafsu birahi, namun dia selalu waspada dan dapat
melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, pada
saat Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu
dipergunakannya untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir
lantas wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal
sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.
“Bagus
sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung
kepalsuan, ya? Engkau hendak membunuhku?” Thian Sin bangkit berdiri, pandang
mata dan suaranya dingin, yang oleh Ang Bwe-nio terasa laksana menusuk jantung.
Wanita itu menjadi ketakutan, dia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri
berlutut di atas lantai.
“Taihiap…
ampunkan aku…”
Thian Sin
menyambar pisau yang sangat tajam itu dan tersenyum. “Mengampunkanmu? Hemmm…
engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati
olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau
sudah sepatutnya mampus!”
Dua kali
pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwe-nio. Wanita itu
menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua
anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin
pucat. Tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya dan melawan pun tidak akan ada artinya sama sekali.
“Ampun,
taihiap…,” suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang yang
sedang diserang demam.
“Mudah saja mengampunimu,
akan tetapi katakan, siapakah yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan
ini? Bukankah dia itu pamanmu?”
“Bukan…
bukan dia, dia hanya terpaksa saja, seperti aku… dia pun bukan pamanku. Aku
diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang
dikepalai oleh Hui-to Ji Beng Tat…”
“Dapatkah
engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa
mereka mempergunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan juga untuk
membunuhku.”
“Dapat… dapat
taihiap…!” Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya.
Memang
tadinya pun dia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Dia tahu bahwa
mereka berlima itu telah siap dan berkumpul di rumah penginapan itu, untuk
berjaga-jaga jika dia gagal. Dan sekarang benar saja, dia telah gagal. Akan
tetapi, dia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu,
sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar
Sadis ini.
Teringat
akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini saja sudah terasa
ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima
orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja dia dapat
menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.
“Panggillah
mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau
engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata Thian Sin dan
pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.
Kalau saja
dia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang
Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tanpa terkunci
itu. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukannya hal ini, tentu sebelum
tiba di pintu dia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Dia hanya mengangguk
dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian dia
pun bertepuk tangan tiga kali berturut-turut.
Thian Sin
mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama
kemudian daun pintu kamar pun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin
oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang
orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin
yang melihat dari balik bulu matanya itu bisa menduga bahwa tentu orang inilah
yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).
“Bagus,
Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekalian?”
kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas
pembaringan.
Akan tetapi
Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. “Tidak… tidak berhasil…
dia… dia…”
Pada saat
itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja
dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main dan
cepat mencabut senjata masing-masing. Tapi pendekar itu hanya tertawa saja dan
menutupkan daun pintu, lalu menguncinya dengan tenang sekali.
“Bagus,
kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik.”
Thian Sin
menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu telah bersiap-siap
menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku di dekat meja, mengisi cawan dengan
arak dari guci dan meminumnya.
“Nah, kita
sekarang bisa bicara. Tadi Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan
membunuhku, akan tetapi dia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian
berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian
bilang sekarang?”
“Pendekar
Sadis, boleh jadi dia sudah gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,”
kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram.
“Ahh,
begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa
kalian hendak membunuhku?”
“Karena
engkau telah mengacau wilayah kami!”
“Hemm,
tahukah kalian siapa aku?”
“Pendekar
Sadis!”
“Ya,
pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan jiwa.
Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi.”
“Keparat
sombong!” teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja
dia telah menggerakkan tangan kanannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun
yang disambitkan dari jarak dekat.
Thian Sin
tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang kemungkinan besar
beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan
pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya
menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu.
Semua jarum langsung runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang
mengenai tubuhnya.
Melihat ini,
Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, tetapi kini pendekar itu telah bangkit
dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut
pedangnya, menyambutnya dengan satu tusukan kilat. Akan tetapi Thian Sin tidak
mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang
itu ditangkap begitu saja!
Melihat ini,
tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk
melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya bagaikan
terjepit baja, sama sekali tak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara berderak dan pedang itu
sudah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan.
Pada saat
itu, Hui-to Ji Beng Tat dan ketiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam
saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan.
Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup.
Sepasang tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itu pun beterbangan
terlepas dari pegangan masing-masing.
Mereka itu
adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali
dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ketika ditangkis dengan kedua
lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu
mempertahankan senjata masing-masing.
Thian Sin
lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang
dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya
kembali, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat
menyambar leher Si Kecil Bongkok.
Si Kecil
Bongkok berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya
telah terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin!
Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya
sehingga begitu leher itu terbabat putus, tubuhnya terjengkang dan kepalanya
tertinggal pada tangannya, dijambak rambutnya!
Sungguh
mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher yang berlubang
dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata
melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri
Thian Sin!
Ang Bwe-nio
menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lantas dengan tubuh lemas dia
menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala
penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka
telah menyerbu dengan senjata mereka.
Akan tetapi,
dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si
Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Hanya
dengan sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di
antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher.
Orang ke dua
berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya tembus sehingga leher itu pun
terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan
tetapi sebelum jatuh ke atas tanah sudah disambar oleh tangan kiri Thian Sin
yang memegang kepala pertama tadi.
“Bwe-nio,
kau peganglah dulu kepala-kepala ini!” Thian Sin berseru lalu melemparkan dua
buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan.
“Ayaaaaauuuwww…!”
Bwe-nio menjerit dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya
menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar
memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar
dari kepala itu.
Tiga orang
yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang
lagi kehilangan kepala mereka yang melayang ke atas pembaringan, membuat Ang
Bwe-nio hampir pingsan melihatnya.
Tinggal
Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok
besarnya. Dia pun sudah sangat ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang
bagaikan beterbangan haus darah dan mencari kepala itu.
Tiba-tiba
Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke
arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar
ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya
terkenal di daerah itu.
Namun
senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Sesudah menangkis
dengan tangan kirinya, maka semua golok itu runtuh dan pada saat itu pula
Hui-to Ji Beng Tat sudah menggunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah
berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian
Sin,
“Pengecut,
hendak lari ke mana kau?” Pemuda ini telah melemparkan pisau rampasannya yang
meluncur cepat sekali.
“Creppp…!”
Pisau itu
menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, tepat di tengkuk Hui-to Ji
Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh,
Thian Sin telah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil lalu
menggerakkannya sedemikian rupa sehingga pada waktu tubuh itu roboh, kepalanya
tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus!
Ang Bwe-nio
sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu
menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup dia hanya dapat
memandang kepada Thian Sin yang kini melangkah menghampiri dirinya sambil
tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tak terkena darah, demikian
pula pakaiannya, sedikit pun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan
betapa lihainya pemuda ini.
“Nah,
sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!” kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita
itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking
takutnya.
“Wajahmu
cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu
atau tidak!” Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak
menusuk.
Ang Bwe-nio
menjerit. “Ampun… jangan… bunuh aku…”
“Hemmm,
engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu
engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki
saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus
lenyap!”
Tiba-tiba
nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil
mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu sudah buntung dan
lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri.
Wanita itu lalu berlari keluar dari kamar itu sambil mendekap mukanya yang
berdarah, tidak peduli lagi apakah dia akan dibunuh kalau lari keluar.
Sambil
tersenyum Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan dia
pun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima
batang tubuh tanpa kepala itu.
Pemilik
rumah penginapan dan para pembantunya sudah berada di ruangan depan rumah
penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari keluar sambil
menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari
tangannya. Dan mereka lebih terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar
pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan
berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang
mengejarnya.
“Dukkkk!”
Kepala yang
terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang langsung
roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol akibat dihantam kepala lain
itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lainnya di atas meja
penerima tamu, kemudian dia pun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa
lagi.
Peristiwa
ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal.
Semua orang
bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini, dan terutama sekali para
penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang
menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan
sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang kemudian
mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya serta membalas semua
kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat.
***************
Ada
perbedaan besar di antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang sekarang
mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya
karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng
rakyatnya menjadi rakyat yang gagah dan raja ini selalu berusaha untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya, bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke
dalam kebesaran dengan cara menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah
hampir saja dapat mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Biar pun
kekuasaannya mutlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat padanya, Raja Sabutai
tak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tak pernah mengejar
kesenangan diri sendiri atau mengorbankan rakyatnya.
Tidak
demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga
hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang
bermewah-mewahan, juga senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri
terseret ke dalam pemuasan nafsu birahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya
menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati
dalam batin rakyatnya.
Diam-diam
rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa,
karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini selalu memanjakan
pasukannya dan meski pun dia tidak mempedulikan rakyatnya, akan tetapi dia
bersikap royal terhadap pasukannya.
Oleh karena
ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh semua perbuatannya dan
menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian maka timbul
jurang pemisah antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai
dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Ketika itu,
tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman
tenteram karena merasa mempunyai pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Tetapi kini
rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa
takut-takut sebab biasanya, setiap kali berdekatan atau pun berkenalan dengan
tentara, berarti mereka akan menemukan kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya
mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian.
Raja Agahai
memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya.
Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara
karena menghendaki kehidupan yang layak serta kekuasaan yang melebihi rakyat
biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara
dan bangsa.
Keadaan
seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah sekali sehingga
kekuasaannya terhadap suku-suku bangsa lain tidak lagi seperti dahulu pada saat
masih dipimpin Raja Sabutai. Kini suku-suku bangsa lain mulai bangkit, terlebih
lagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri agar menjadi
bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai
mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat
perbatasan selatan dan tak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu.
Puteri
Khamila, yaitu bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik
misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena
permaisuri mendiang Raja Sabutai ini merupakan satu-satunya orang yang berani
mencelanya, menegur dan menentangnya, apa lagi ketika pada suatu hari Puteri
Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan
memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja
Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam
puluh lima tahun itu lalu dipenjarakan!
Para
komandan tua beserta pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini,
merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorang pun yang berani menentang
keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang amat mencinta sang puteri ini hanya
dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara masih ingat
akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri ini pun
diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlampau menderita sengsara.
Pada waktu
itu Puteri Khamila sudah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua
ini siang malam hanya berdoa dan mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran
Oguthai atau Ceng Han Houw, yang selama belasan tahun ini sama sekali tidak pernah
terdengar beritanya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabarkan kepadanya
bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang sangat
dicintanya, sudah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang
dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai.
Juga politik
Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak.
Karena mengharapkan bantuan dari pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan
dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, dia rela untuk menyatakan
takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai
imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu dari
kerajaan itu.
Dalam
keadaan seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada
waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dengan Kerajaan Beng, maka
banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang.
Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya,
menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari
daerah utara seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang
berharga, dan sebagainya lagi.
Perdagangan
ini sangat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak
pedagang yang datang menyeberangi Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan
Thian Sin karena tentu saja dengan mudah dia dapat memasuki pintu gerbang
kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikit pun.
Marah sekali
hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di
waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini
tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya
berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa
neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara.
Puteri
Khamila tidak dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, namun mendiami
sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam secara ketat. Sang
puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tak pernah diperbolehkan keluar
sehingga dia harus melewati kehidupan yang sangat kesepian, hanya dilayani oleh
dua orang pelayan yang sudah tua pula.
Thian Sin
maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya
seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentara. Lagi pula,
kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andai kata dia
berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka
dia pun segera mempergunakan akal.
Dia melihat
betapa semua pejabat serta pegawai pemerintah kini mudah sekali makan sogokan.
Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal
untuk keperluan itu. Maka dia pun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para
penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila.
Pada jaman
itu, orang-orang Han yang datang ke negeri itu dipandang dengan hormat, tentu
saja karena Raja Agahai sudah menyatakan tunduk terhadap Kerajaan Beng. Oleh
karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan,
supaya dia diperbolehkan menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkan
kecurigaan melainkan keheranan.
“Sobat, mau
apakah engkau hendak menghadap sang puteri?” tanya komandan jaga.
“Aku membawa
beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera berikut permata yang tentu akan
disukai oleh seorang puteri.”
“Ahh, akan
tetapi sang puteri tidak akan dapat membelinya! Beliau sedang berada dalam
penahanan, tidak memiliki uang untuk membeli barang mahal,” bantah si penjaga
dengan heran.
“Tidak bisa
beli pun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri
yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap
beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil sekalian melihat wajah
beliau.”
“Ahh, orang
muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu
lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap.
Tetapi biar kulaporkan dahulu apakah beliau bersedia menerimamu.” Kepala jaga
itu lalu masuk dan melaporkan.
Puteri
Khamila merasa heran sekali ketika mendengar bahwa ada seorang Han, seorang
pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Dia tidak
memiliki uang, dan pula, untuk apa dia membeli barang-barang indah? Akan
tetapi, Puteri Khamila bukanlah seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin
berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, dia pun
memperkenankan orang muda itu datang menghadap.
Ketika Thian
memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali
dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat
seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja
mengenal neneknya. Biar pun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu pada
saat dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak
dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu.
Nenek itu
sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi
kulit itu masih halus dan sikapnya pada saat duduk di kursi itu seperti sikap
seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, meski yang berada di
situ hanya dua orang pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi.
Pada saat
dengan perlahan-lahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang
membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram
lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi
keraguan.
“Siapakah
engkau…?” Suara itu agak gemetar dan penuh harap, dan puteri itu berbahasa Han
yang cukup baik, “dan apa maksudmu datang menemui aku?”
Thian Sin
merasa terharu sekali, kemudian dia berkata dengan halus, “Apakah saya dapat
bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?”
Puteri
Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu
mengangguk. “Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia
dan para penjaga itu betapa pun juga tidak berani melakukan pengintaian.
Bicaralah!”
Thian Sin
melangkah maju, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil
berkata dengan hati terharu, “Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin,
putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai.”
“Ohhh… ahh,
sudah kuduga… ahh, wajahmu begitu sama dengan dia…! Ahh, cucuku, ke sinilah… ke
sinilah…”
Thian Sin
maju mendekat. Nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak, akan
tetapi dia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu
dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata,
“Ahh, betapa
bahayanya… bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku? Ahh, ketika
engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil… namun wajahmu mirip benar dengan
ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku… aku…”
“Saya sudah
tahu segalanya, nek.”
“Dan mana
ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?”
Thian Sin
mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu tentang malapetaka yang menimpa ayah
bundanya itu, maka hatinya semakin sakit terhadap Raja Agahai. “Maaf, nek, saya
membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku… mereka sudah tewas…”
“Ahhhh…?”
Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar
jeritannya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu dia
terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan
merangkul neneknya. Nenek itu lantas menangis sambil menyandarkan wajahnya di
dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh
air mata.
Thian Sin
diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur
neneknya pada saat itu tak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan
neneknya menangis sepuasnya.
Dan memang,
Puteri Khamila kemudian mengeluarkan semua perasaan dukanya yang selama ini
selalu ditahan-tahannya. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya
untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu.
Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua
harapannya.
Akhirnya
nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, “Oguthai…
anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu… lalu siapakah yang akan datang
untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat
kita dari si lalim itu…”
“Jangan khawatir,
nek. Saya mewakili ayah dan ibu datang ke sini justru untuk keperluan itulah.
Sayalah yang akan menghancurkan Agahai serta kaki tangannya, karena kematian
ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya.”
Seketika
nenek itu menjadi sangat marah dan lupa akan kedukaannya. “Ahh, keparat! Si
bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak
kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?”
Nenek itu
duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan dia mendengarkan dengan penuh
perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang
dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang
Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat.
“Saya sudah
mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi
saya untuk membasmi musuh-musuh yang dahulu telah menewaskan ayah ibu, dan
pertama-tama saya akan membasmi Agahai!”
“Akan tetapi,
engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan
sehingga pasukannya sangat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara
berterang begitu saja…”
“Karena
itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk.”
“Bagus, itu
namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik,
cucuku. Biar pun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sebetulnya
sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, dan hanya karena takut
terhadap Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang
panglima tua yang dahulu amat setia pada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi
jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu sangat bijaksana dan cerdik.
Kau pergilah kepadanya dan bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan
yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya.”
Nenek itu
lalu menuliskan huruf-huruf di atas sapu tangan putih dan memberikan surat itu
kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri
hiburan itu, dan setelah diberi banyak nasehat-nasehat oleh neneknya, juga
diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian
Sin, barulah pemuda itu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati
lapang serta penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung dan tidak tahu
bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini
terbukalah jalan yang luas baginya.
Dengan mudah
dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang
dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas
panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih
memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan
hiburan. Dia mengurus apa bila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut
tamu-tamu dan sebagainya.
Ketika
menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang
pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan
tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu
terkejut. Apa lagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda
ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia
terkejut, terharu dan juga girang.
Segera
diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, kemudian pemuda ini diberi sebuah kamar
dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepatnya Abigan mengadakan kontak dengan
kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam.
Mereka
berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin.
Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk ‘memasukkan’
Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat
kepercayaan dari Raja Agahai.
Di dalam
rapat itu Thian Sin memperoleh banyak keterangan mengenai Raja Agahai. Dia
mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang
menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang
amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat.
Torgan
inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang
telah membuat mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama
wanita-wanita.
Selir
paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tidak terhitung lagi banyaknya. Akan
tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai
keturunan, yaitu seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu.
Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir
berbangsa Biauw, justru bukan selir yang sudah melahirkan anaknya. Semua ini
dipelajari Thian Sin.
“Kebetulan
sekali! Minggu ini keluarga raja akan menyelenggarakan pesta besar-besaran
untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu,” kata Menteri Abigan.
“Ini adalah kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri
Baginda. Akan tetapi, sebagai apa? Sebagai seorang pedagang muda? Tentu saja
kurang tepat, bahkan dapat menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata
tajam dan sangat cerdik itu. Andai kata sebagai sanak keluargaku dari Mancu dan
menyamar sebagai pemuda Mancu, dari bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan
karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati sekali, terutama terhadap Torgan yang
cerdik. Jangan sampai kita gagal di tengah jalan sebelum tujuan tercapai.”
“Aku punya
akal!” kata Thian Sin. “Bukankah di istana akan diselenggarakan pesta untuk
merayakan kelahiran pangeran? Nah, bagaimana jika taijin memperkenalkan aku
sebagai seorang pemain sulap?”
“Tukang
sulap? Apakah kongcu dapat bermain sulap? Hati-hati, Torgan adalah seorang yang
pandai sekali, tidak mudah ditipu.”
“Harap cu-wi
lihat, apabila kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia
belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?” Tiba-tiba saja Thian Sin
menggerakkan kedua lengannya dan… semua orang yang hadir di dalam rapat itu
berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar sudah berubah menjadi
ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan.
“Bagus!
Sulap yang mengagumkan!” kata Abigan dengan kagum.
Thian Sin
tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi sehingga lenyaplah ular-ular itu. “Ini
hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan
sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya
ketrampilan tangan seperti ini!”
Thian Sin
memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang
penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua
yang juga penuh sayur. Dia lalu menerima mangkok dengan dua batang sumpit itu.
Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di
bawahnya kemudian dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat kedua
mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa ada sedikit pun kuah sayur yang
tumpah. Kembali beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan
diterima oleh ujung sumpit.
Tentu saja
semua yang melihat kepandaian ini langsung bertepuk tangan memuji. Mereka sudah
sering melihat pemain sulap memamerkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi
tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya.
Thian Sin
menghentikan demonstrasinya. “Selain bermain sulap, aku juga bisa menghibur
raja dengan permainan suling dan bernyanyi.” katanya sambil tersenyum.
Melihat
kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri
Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu sekali. Usaha pangeran ini pasti
berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang sekarang menaruh
kepercayaan besar pada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai
Ceng-kongcu ini.
Mereka lalu
mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka
diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada
Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan
nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua secara diam-diam mengerahkan
pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan bila mana
pemuda itu sudah berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana
kemudian melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal.
Ke tiga,
mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut
mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw.
***************
Keluarga
Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang
telah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini
dengan Raja Sabutai dahulu.
Kalau Raja
Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia
kang-ouw dari daerah utara, sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh
kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku
bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar
yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke
kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan dan menjadi langganan keluarga raja,
yang kini menjadi tamu pula.
Selain para
undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama
isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasehat raja,
yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan
ketat. Dua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada
hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan
sehingga siapa pun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk
dan tidak nyaman hatinya.
Raja Agahai
sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang
rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau
selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang sangat cantik dan yang usianya
paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri
Sang Raja.
Kecantikan
selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya karena wajahnya yang cantik
jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya sangat menggairahkan, masih
ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena
memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang amat menarik dan
merangsang.
Selir yang
beruntung mendapat keturunan itu duduk di sebelah kanan Sang Raja. Karena
melahirkan seorang putera, tentu saja kedudukannya sekaligus naik dan dia
dipandang sebagai isteri yang paling berjasa.
Anak kecil
berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang
inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah
semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih
ditujukan kepada Raja Agahai dari pada kepada anak kecil berusia satu bulan
itu.
Setelah
semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang semenjak pagi sekali sudah
sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, lantas menghadap
Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta
ini telah siap menanti.”
“Ha-ha-ha,
bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dahulu sekarang. Aku ingin
melihat dan bertemu dengannya.”
Menteri
Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya, dan tak lama kemudian,
Thian Sin diiringi beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga
raja itu duduk berkumpul.
“Ahhh, dia
masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang
pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat,
juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.
“Banyak
terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah
bagi hamba!” Thian Sin berkata dengan suara yang diatur seperti bersajak, dan
juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi!
Mendengar
Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara
merdu seperti bernyanyi pula, maka raja dan para selir menjadi amat tertarik.
Raja Agahai tertawa gembira.
“Bagus!
Bagus sekali, engkau juga pandai berbahasa daerah. Kabarnya engkau pandai
bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang
muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami
berikan kepada putera kami ini?”
Thian Sin
sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu,
bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan, telah bocor dan
dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar
bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh
merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam
sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis
Khan!
Mendengar
ini, Thian Sin lantas mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera
paduka ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana
berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian,
pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja lantas
melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat ada cahaya di
sekitar tubuh putera paduka, ahh, benar… cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan
cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol
yang gagah perkasa tiga abad yang lalu…”
Raja Agahai
tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia turut menoleh
ke arah pembaringan puteranya dan… dia terbelalak melihat betapa benar saja ada
cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong
menyilaukan mata!
Kemudian,
mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama
dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena
raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis
Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama
Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!
“Bagus…
bagus… memang engkau seorang yang amat pandai. Ehh, siapakah namamu, orang muda
yang cerdas dan pandai?”
“Nama hamba
adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama
keturunan pada namanya itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau
menyangka bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih
panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.
“Baik, kami
girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba
waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.”
Pada saat
itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia
menatap kepada pemuda tampan yang sedang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan
melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang
mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban
dan cepat menghampiri.
Melihat
datangnya Sang Koksu, Raja Agahai lalu tertawa. “Ahh, Koksu, kebetulan engkau
datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan
menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan
pertunjukan sulap serta permainan suling dan sajak.”
Hanya koksu
inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak
berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh
dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa
menjawab ucapan raja.
“Siapakah
yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi
masih terus mengamati Thian Sin.
“Menteri
Abigan yang membawanya,” kata Raja.
“Hambalah
yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri
Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat.
Koksu itu
mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak
mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami
sangat mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau telah mengerti bahwa segala
yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh
keluargamu jika sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian,
koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada
raja dan meninggalkan panggung itu.
Diam-diam
Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu
segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya,
yaitu selir berbangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi
menghadap kaisar, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas-jelas
mengandung kekaguman dan kemesraan!
Senyum itu!
Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian
Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Ini pun
merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.
Sikap koksu
tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang lalu memberi isyarat kepada
Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Dan setelah mereka
mundur dari sana, melalui seorang pembicara, raja kemudian mengumumkan nama
dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin!
Tentu saja
pengumuman ini langsung disambut dengan tepuk tangan. Ada yang memuji pilihan
yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang
raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti
Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani
mencela.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment