Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 10
SETELAH
berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan mereka
pun memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih
dan sedap. Setelah mereka memasuki rumah makan itu, kiranya restoran itu
memiliki ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana
para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin
mengajak kakaknya naik ke loteng.
Ternyata di
ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula
yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan
gorengan-gorengan. Beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum
dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu
diarahkan pada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat di jalan itu.
Dua orang
muda itu lalu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang
tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua
puluh tahun yang duduk seorang diri di sudut ruangan, menghadapi seguci arak
berikut sebuah cawan serta beberapa piring gorengan dan kacang.
Pemuda itu
memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, maka dia
seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan kedua matanya
amat tajam.
Akan tetapi
yang menarik perhatian kedua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian
Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja.
Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai
bertiup suling dan pandai bernyanyi.
Pada waktu
dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seorang hwesio dia pernah pula belajar
memainkan yang-kim. Maka, sekarang melihat ada seorang pemuda tampan membawa
yang-kim, dia pun merasa tertarik sekali.
Ada sesuatu
yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik
itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk
gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!
Pemuda tampan
yang mengenakan pakaian mewah itu juga melirik ke arah kedua orang pemuda
remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan
sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa
kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin hingga
keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan
orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik
yang-kim di atas meja itulah.
Seorang pelayan
berjalan menghampiri meja mereka. Akan tetapi begitu laki-laki tampan itu
menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara
menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap
hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat
malah menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.
“Siangkoan-kongcu
(tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagi?” tanya pelayan itu sambil
tersenyum ramah dan penuh hormat.
Pemuda
tampan itu telah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas
bertulis itu kepada pelayan sambil berkata dengan nada suara halus seperti cara
bicara seorang terpelajar.
“Sampaikan
ini kepada pengurus restoran!”
Pelayan itu
melirik ke atas kertas, sepasang alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk
sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia
pun membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu,
tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi
akan datangnya dua orang tamu baru ini.
“Hei,
pelayan!” Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring
sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat-cepat
menghampiri sambil membungkuk-bungkuk, sikapnya penuh hormat.
“Kongcu
memanggil saya?” tanyanya.
“Tentu saja,
kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman,” kata Thian Sin
dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi serta air teh.
Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah
menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng.
Karena
maklum bahwa pemuda mewah yang memiliki yang-kim itu biar pun tidak secara
langsung memandang pada mereka akan tetapi memperhatikan, maka Thian Sin dan
Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti
datangnya pesanan makanan.
Pada saat
itu pula, semua tamu yang berada di loteng itu, yang jumlahnya tak kurang dari
sepuluh orang dan kesemuanya pria, serentak menoleh dan memandang ke arah
tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik,
maka Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat
seorang wanita muda yang cantik serta berpakaian mewah pula memasuki loteng itu
dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya.
Wanita itu masih
muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, di samping cantik manis,
juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang
terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut
puteri bangsawan, dihiasi dengan pengikat rambut emas permata berkilauan.
Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan
rambutnya.
Semua pria
yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya
mereka semua telah mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu hanya menoleh ke
arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lantas berlari kecil menghampiri dan
menjura dengan lemah lembut serta manis gayanya.
“Ah, maafkan
jika saya terlambat, kongcu,” katanya. Dua orang wanita cantik berpakaian
pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. “Kalian
tunggu saja di bawah,” kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya.
“Siang Hwa,
kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, sungguh wajar bagi
seorang wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias.”
“Bukan
begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa
saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya sedang tak sempat menerima tamu dan
ada keperluan penting. Ehh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang
itu…!”
Pemuda itu
hanya tersenyum. “Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk
menenangkan hatimu.”
Wanita muda
itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian dia tersenyum dan memandang
kepada pemuda itu dengan manis. “Kongcu aneh, mengapa tidak datang ke sana,
melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?”
“Aku ingin
engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini…”
Mereka
kemudian berbicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini
tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita
itu menjadi ‘tamu’ atau sahabat dari pemuda yang mewah itu.
Thian Sin
dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada
saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Dia belum
pernah melihat seorang wanita yang secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan
sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi
juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen!
Han Tiong
sudah tak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah
meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat Thian Sin
memandang, pemuda itu tersenyum lebar sambil mengangguk sedikit. Melihat
keramahan ini, maka mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya
sebagai balasan, lalu dia pun memutar leher dan menghadapi kakaknya.
Pada saat
itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari sana muncul
serombongan pelayan memanggul baki-baki berisi masakan-masakan. Ada empat orang
pelayan membawa makanan sambil diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri,
seorang lelaki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar
seolah-olah mukanya pecah menjadi dua.
Tadinya
Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan
oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa
heran rasa hati mereka pada saat para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus
restoran, langsung menghampiri meja mereka kemudian mengatur semua hidangan
itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan
mereka.
“Hei, apa
artinya ini?” Thian Sin berseru.
“Maaf,
kalian tentu sudah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan
kami, tentu pesanan orang lain,” kata Han Tiong sambil bangkit berdiri.
Pengurus
restoran itu menjura sehingga mulutnya menjadi semakin lebar bagaikan robek.
“Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi
semua ini untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!”
“Tapi… tapi…
kami tidak mengenal dia,” kata Han Tiong.
Pengurus
restoran masih tetap tersenyum. “Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi
dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang
baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal sangat royal, membagi
uang seperti pasir saja.” Sesudah mengangguk dan membungkuk, maka pengurus
restoran itu pun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan.
Han Tiong
dan Thian Sin saling pandang, lantas keduanya bangkit dan menghampiri meja
pemuda mewah yang masih kelihatan mengobrol dengan wanita cantik tadi,
seakan-akan tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang
muda itu menghampiri mejanya, dia pun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap
hormat, tersenyum ramah.
“Kami tidak
mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!” kata Han Tiong,
sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap
wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup,
akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar.
“Ah, saya
tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa
ji-wi bukan penduduk sekitar sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang
menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya.”
“Tapi… tapi
kami tidak mengenal Anda…”
“Perkenalkanlah,
saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang
diri dan kesepian. Akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini, maka akan
menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi.”
Melihat
sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat
menolak lagi. Thian Sin yang semenjak tadi mendengarkan saja kini berkata.
“Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan
Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada
nona…”
Orang yang
bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum lalu mengangguk-angguk, memuji sikap
Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong.
“Terima
kasih kalau memang ji-wi menghendaki, tentu kami akan suka sekali. Bukankah
demikian, Nona Siang Hwa?” Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah
bangkit berdiri.
Nona itu
menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai
pada waktu membungkuk. “Ahh, saya merasa amat terhormat sekali…,” katanya,
suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam.
Di dalam
hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan tawaran adiknya, akan tetapi karena
sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia
merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang
demikian memikat sikapnya, sikap genit walau pun kegenitan itu halus sekali dan
nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga
seorang yang sopan terpelajar.
Siangkoan Wi
Hong bertepuk tangan, maka muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya
memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat
duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan
arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan
sungkan.
Baik Han
Tiong mau pun Thian Sin bukan peminum arak dan walau pun mereka biasa minum
arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena sebagai fihak tuan
rumah orang itu sudah menuangkan arak, maka terpaksa mereka mengangkat cawan
kemudian meminumnya ketika Wi Hong berkata, “Silakan minum demi persahabatan
kita!”
“Saya sudah
memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang
Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Karena itu saya
harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.”
Biar pun
mereka belum berpengalaman, akan tetapi istilah ‘kembang daerah hiburan’ itu
mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang
pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentulah pemuda itu
merupakan seorang pemuda hidung belang, dan kini mereka duduk semeja dengan
seorang pelacur!
“Nama saya
Thian Sin,” kata Thian Sin dengan cepat.
“Aihh, she
Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!” kata Wi Hong memuji,
kemudian memandang kepada Han Tiong. “Dan Anda?”
“Saya
bernama Cia Han Tiong,” jawabnya sederhana.
“She Cia?
Ahh, kalau Cia cukup banyak, bahkan amat terkenal karena bukankah keluarga
Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini masih keluarga
Cin-ling-pai? Tetapi tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu
langsung saja ke istana, bukan?”
“Kami berdua
adalah kakak dan adik angkat,” Han Tiong cepat berkata, hanya asal dapat
mengatakan sesuatu saja sehingga dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya
ucapan Wi Hong tadi.
Wi Hong
kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya sambil
berkata, “Terima kasih… tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh
saja.”
“Aihhh,
pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari
silakan makan.”
Wi Hong
ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai
makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang terus
menerus bercakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan
saja.
“Saya
sendiri bukan orang kota raja asli,” antara lain Wi Hong bercerita
memperkenalkan dirinya, “saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering
berpesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah dan memiliki sebuah
cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara
ji-wi seperti orang utara…”
“Kami datang
dari dusun, di utara kota raja…”
“Ah, agaknya
pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau
memang demikian, saya memiliki kenalan baik yang duduk sebagai anggota panitia
ujian…”
“Ahhh, sama
sekali bukan!” kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin
disangka pelajar-pelajar yang akan menempuh ujian siucai (sasterawan)! “Kami
hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya
singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini.”
“Ji-wi
kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging berikut sayurnya. Marilah, jangan
malu-malu!” Dengan gaya sangat memikat wanita itu kemudian menggunakan
sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur, lalu diletakkan ke dalam mangkok
Thian Sin dan Han Tiong.
Dua orang
pemuda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima
kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong
tertawa.
“Ha-ha-ha,
Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya
daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi dan para pangeran
pun merindukannya sehingga sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi
hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah,
seperti bidadari baru turun dari sorga!”
“Ih,
Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku,
kongcu, kalau terlepas dan jatuh, maka aku bisa remuk!” kata wanita itu sambil
tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak
ujung lidah yang merah.
Thian Sin
ikut tertawa. Senang hatinya karena di samping ramah, ternyata wanita itu juga
pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri,
memandang ke arah para tamu lainnya dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin
bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan
pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa
pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati!
Tiba-tiba
saja semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar
menaiki tangga yang menuju ke loteng.
“Tak peduli
dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!” terdengar suara seorang
laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan.
Mendengar
suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu
berubah pucat. “Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!”
katanya kepada Siangkoan Wi Hong.
“Tenanglah,
biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa,” kata Siangkoan Wi Hong dan
melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang
pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga.
Mereka
menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya
pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang
saja. Apa lagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata,
maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka
ingin sekali melihat apa yang akan terjadi.
Mereka tidak
merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan ini adalah pemuda
she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara,
bahkan untuk menjaga supaya jangan sampai membikin orang lain merasa tidak
senang, mereka sudah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan
itu, walau pun mereka merasa tak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang
pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut, betapa akan sikap ayah dan
ibu mereka kalau saja melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan
seorang pelacur, malah pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja!
Lantas
muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah
mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang yang kaya. Rambutnya mengkilap licin akibat terlalu banyak
minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru. Tubuhnya tinggi tegap dan
matanya yang besar itu sedang terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia
agaknya terlalu banyak minum arak.
Di
belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun
dan berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka
yang serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan
hati.
Semua tamu
menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentunya akan terjadi
keributan. Apa lagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam
bopeng ini.
Begitu
laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda,
dia terbelalak semakin marah kemudian dengan langkah lebar dia lalu menghampiri
meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan
tetapi yang bernyali lebih besar tidak mau turun melainkan bersembunyi di balik
meja-meja sambil menonton.
“Hei,
pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda
Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah
menghinaku, keparat!” Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak sambil telunjuknya
yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.
“Sudah…
sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat…” Wanita itu mencoba untuk memberi
alasan.
“Tidak
sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur
hina, perempuan rendah! Apakah engkau belum tahu siapa aku? Berapa hargamu?
Biar kepalamu pun sanggup aku membelinya! Coba kau katakan, berapa engkau
disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!”
“Siauwya,
harap maafkan aku…” Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. “Biarlah
besok saya menerima kunjungan siauwya…”
“Apa kau
kira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kau kira aku tak dapat melakukan
kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut
minta ampun dan turut bersamaku. Sekarang juga, mengerti?! Kalau tidak…” Dia
menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya kemudian tangan
kanannya yang besar itu diangkat dan ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja
itu.
“Brakkk…!”
Meja itu
pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat
hingga mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi
semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah
Siangkoan Wi Hong.
Orang she Ji
itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkannya karena
agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dapat membuka mata,
dia segera melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.
“Bocah
keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak
ingin kuhancurkan kepalamu!” bentak pemuda bermuka bopeng itu kepada kongcu
yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.
“Hemm, aku
masuk restoran ini dengan membayar, dan aku mengundang Siang Hwa pun tidak
dengan paksa, mana bisa aku disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini
yang bersikap begini sombong?”
“Tringgggg…!”
Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan bunyi itulah
sebagai penutup kata-katanya tadi.
Si Muka
Bopeng menjadi semakin marah. “Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak
mengenal tuan besarmu…?”
“Tringggg…!”
Yang-kim itu disentil kembali.
“Dengar
baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu…”
“Tranggg…”
“Semua orang
menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!”
“Cringgg…!”
Karena
setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti berbicara diselingi
dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang
beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tak dapat menahan ketawanya, akan
tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda
she Siangkoan itu.
“Bocah
kepar… aughhhh…!” Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba saja
pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan
yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, maka bakso yang dijepit sumpit
itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu telah memasuki mulut Ji
Lou Mu yang sedang terbuka.
Tentu saja
Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi
menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.
“Aahhh…
aukkk… kekkk…!” Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang
di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.
“Blukk!” Dan
bakso yang nakal itu meloncat keluar lalu menggelinding di atas lantai.
“Hajar dia!
Hantam dia…!” Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang
jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu
lawan.
Akan tetapi
baru saja dua orang jagoan silat itu hendak maju, Siangkoan Wi Hong sudah
menggerakkan sumpitnya dengan cepat sehingga dua potong daging basah menyambar
ke arah muka dua orang jago silat itu.
“Plokk!
Plokk!”
Demikian
cepatnya daging ini menyambar sehingga kedua orang jagoan itu tidak sempat
mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena
mulut mereka tidak sedang terbuka maka potongan daging itu tidak masuk, hanya
menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan
kuah kecap!
“Ha-ha-ha-ha,
anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?” Siangkoan Wi Hong kembali
berkata sambil tertawa.
Dia segera
melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan
yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu
melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.
“Plak-plak-plak…!”
“Aduhhh…
auuw… aduhh…!”
Ji Lou Mu
adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia
sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama
sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan
seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya.
Dia pun berjingkrak-jingkrak sambil menutupi kedua mata dengan tangan, dan
semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga
nampak semakin lucu.
Dua orang
jagoan tukang pukul itu amat marah ketika mereka diserang dengan sepotong
daging karena mereka merasa terhina dan malu sekali.
“Singgg…!
Singgg…!” Mereka mencabut pedang mereka.
Melihat ini,
si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan
mahal, penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya.
Melihat
betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin masih bersikap
enak-enakan saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh
mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi sudah melihat gerakan Siangkoan Wi
Hong dan tahulah mereka bahwa walau pun tiga orang kasar ini menggunakan
pedang, mereka tidak perlu khawatir akan keselamatan pemuda tampan itu yang
mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi
Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir saja pingsan.
Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan
tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa langsung merangkul
dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan sehingga pemuda ini cepat
mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri.
Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul
seperti itu!
“Ha-ha-ha!”
Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu.
Akan tetapi,
pada saat itu pula Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang
pukulnya. Pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat
para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan
darah dan mayat!
Dua orang
pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi
Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang
sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut
serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han
Tiong dan diam-diam dia pun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau
perlu.
Tetapi
tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim hingga
terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang sangat merdu, berlagu merdu
akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka
merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim
itu!
Tiba-tiba
saja ketiga orang kasar itu juga menghentikan gerakan mereka, wajah mereka
berubah pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu,
Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, semua menotok ke
arah tangan yang memegang pedang.
Terdengar
suara berkerontangan pada waktu tiga batang pedang itu terlepas dari tangan
pemegangnya masing-masing kemudian jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di
atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah
ketiga batang pedang itu satu demi satu.
“Krek-krek-krek!”
terdengar suara dan tiga batang pedang itu telah patah-patah!
Melihat ini,
Ji Lou Mu beserta dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka
seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan
tandingan mereka!
Akan tetapi
Ji Lou Mu yang melihat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang, tidak mau
mengalah begitu saja. “Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera
datang!”
“Tring…!
Trang…!” Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini
terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega
dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan.
Mendengar
ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada kedua orang pembantunya. “Mari
pergi!”
Akan tetapi
baru saja dia dengan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba
saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong telah menghadang
di depan mereka sambil tersenyum. “Mengapa kalian tergesa-gesa sekali? Kalau
memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian.”
Tangannya
bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan,
akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke
bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami
hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara tawa
para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, ketiga orang itu segera
pergi dari restoran itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur.
Pemilik
restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng, lantas menangis dan menjatuhkan
diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. “Ah,
Siangkoan-kongcu, bagaimana ini… ahh, selamatkan kami dan restoran kami…”
“Aihhh,
engkau ini kenapa sih?” Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari
cawannya.
“Kongcu
belum tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan
pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan
dibakar.”
“Hemmm, aku
tidak takut.”
“Benar,
kongcu memang tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan
dihukum, dibunuh… ahhh…, tolonglah, kongcu!”
“Hemmm, dia
itu putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal
Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?”
“Bukan, akan
tetapi pasukan istana bagian luar.”
“Hemm, yang
dipimpin oleh Panglima Giam?”
“Benar,
kongcu.”
“Jangan
khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menunggu di sini sampai
ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak berikut daging
kepada semua tamu yang kini berada di loteng ini, atas namaku yang akan
membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku
atas bantuan moral saudara-saudara!” katanya dengan ramah kepada semua tamu dan
belasan orang itu yang segera menyambutnya dengan sorak gembira.
“Siang Hwa,
mari bernyanyilah!” Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu.
Akan tetapi
ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin
dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Tetapi sementara itu
Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang
gapah sekali hingga terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian
Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal kenapa dia tidak membawa
sulingnya. Tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim
itu.
“Hayo, Siang
Hwa, apakah kau masih takut?” pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih
belum sadar kembali dan masih ketakutan.
“Ha-ha-ha,
penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar
biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian,” sambil terus memainkan
yang-kimnya, tiba-tiba saja pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya
pada saat itu juga!
Dua anak
burung baru keluar dari sarang mereka masih belum berpengalaman dan muda belia
namun demikian tenang dan gagah perkasa pasti bukan anak burung biasa belaka
setidaknya tentu anak burung garuda!
Han Tiong
dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong
ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat
yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata sangat pandai menggubah nyanyian
seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu berisi pujian bagi
mereka berdua, akan tetapi sekaligus seperti sudah mengenal rahasia mereka!
Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya.
Akan tetapi
Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, timbul kegembiraan hatinya
pada saat mendengar nyanyian ini. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka
sekali akan seni suara, bahkan dia pun merupakan seorang yang amat berbakat dan
ahli membuat sajak, karena itu dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap
Siangkoan Wi Hong yang menggembirakan itu.
Bagaikan
tidak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian yang
sederhana saja sehingga amat mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi
suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari
suara Siangkoan Wi Hong tadi!
Lemah
lembut, ramah dan baik budi sebagai sahabat yang menarik hati dengan sumpit
menyuguhkan hidangan berarti dengan sumpit pandai membela diri dengan yang-kim
pandai menghibur hati membuat sajak dan bernyanyi memuji sungguh seorang
pendekar yang pantas dihargai!
Sepasang
mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia pun bertepuk tangan memuji, lalu
menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, “Sungguh hebat, Thian-lote!
Sungguh hebat! Aku terima kalah!” Dan dia pun minum arak secawan itu.
Sementara
itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberaniannya dan tak
lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang
benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis,
juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali.
Suasana di
loteng restoran itu menjadi riang gembira karena para tamu yang tadi diberi
hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, dan kini disuguhi nyanyian merdu
lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena mereka pun
telah mulai mabuk.
Hanya Han
Tiong yang masih nampak tenang dan serius, meski pun kegembiraan itu juga
membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu
berseri. Akan tetapi, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang
amat tajam penuh selidik dan dia pun merasa gembira melihat Thian Sin
mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan
oleh Siang Hwa dengan sangat indahnya.
Dia tahu
bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan ‘dunianya’ karena belum pernah dia
melihat adiknya segembira itu, sungguh pun adiknya itu pun, seperti juga dia,
hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti
para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah
mabuk.
Sampai
kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk
menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan
berlarian dan para tamu yang duduk di pinggir loteng dan menjenguk ke bawah
menjadi pucat. Biar pun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi
melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu,
mereka tahu apa yang akan terjadi.
“Celaka,
restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!”
“Mungkin dibunuh!”
“Dituduh
pemberontak!”
Siangkoan Wi
Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan
tenang, “Saudara-saudara semua, duduklah di tempatnya masing-masing dan jangan
bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, sebab
akulah yang bertanggung jawab. Jangan khawatir, tak akan terjadi apa-apa. Kalau
ada di antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan
menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya!
Siang Hwa, bernyanyilah lagi…”
“Aku… aku
tidak sanggup… kongcu…” Siang Hwa menggelengkan kepala dan mukanya sudah pucat
lagi, telinganya dipasang baik-baik untuk mendengarkan derap kaki kuda dan
ringkik mereka di bawah loteng.
“Siangkoan-toako,
biarlah aku yang bernyanyi,” tiba-tiba Thian Sin berkata.
“Bagus!”
Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira.
Kaisar dan
para pembesar berpesta-pora dalam kemewahan gedung istana siapa berani
mengganggunya? Kita rakyat biasa dengan hidangan seadanya bergembira ria apa
salahnya? Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentara yang katanya pelindung
rakyat jelata Hayaaaaa...!
Baru selesai
dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan
muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih,
bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti
oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam
dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan
perisai di tangan kiri.
“Jangan
bergerak semua yang berada di loteng!” komandan itu membentak dengan suara
terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. “Siapakah di antara kalian yang
sudah berani memukul Ji-siauwya?” Sepasang mata komandan itu dengan tajamnya
menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus.
Sunyi senyap
di tempat itu sesudah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa
mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi
Hong bangkit dari tempat duduknya, kemudian melangkah ke depan menghadapi
kapten pasukan itu sambil menjawab,
“Akulah
orangnya!”
Komandan itu
memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak
menerkam mangsanya. Tangan kanannya telah meraba gagang pedangnya dan kini anak
buahnya telah maju, siap membantu komandan mereka bila diperintahkan.
“Hemmm,
engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik,
Cianbu, lupakah engkau padaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir
ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, sudah
lupakah engkau?”
Sementara
mata yang tadinya marah itu semakin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat
sesudah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas
dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura.
“Ahh,
kiranya Siangkoan-kongcu! Ahh, maaf… akan tetapi mengapa kongcu…”
“Hemm,
puteramu yang tidak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini dapat menjadi saksi.
Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku
menghajarnya.” Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan kereng.
Mendadak
wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan
kedukaan, dan suara yang tadi kereng memerintah itu kini berubah penuh permohonan.
“Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami… kongcu tolonglah putera kami
itu…”
“Hemm, jika
aku tidak mengampuni mereka, apakah kau kira mereka itu sekarang masih hidup?”
kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan
memandang rendah kepada kapten itu.
“Kongcu,
sudah kuperiksakan pada tabib istana… katanya tak ada harapan… keracunan hebat,
tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja…”
Siangkoan Wi
Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. “Jika sudah tahu puteranya
hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?” Dia
membentak.
Perwira itu
menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon
pertolongan. Siangkoan Wi Hong mengangguk. “Baiklah!” Dia lalu merogoh saku
jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring bunyinya ke atas meja.
“Siang Hwa,
kau bayar semua hidangan, dan sisanya untukmu.”
Wanita itu
mengambil kantung uang, kemudian menjura. “Terima kasih, kongcu,” katanya
dengan suara merdu.
“Ji-wi lote,
kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira
sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Di
dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula.”
Dia lalu
melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak yang sembarangan, sambil
mengangguk dan tersenyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandang
dirinya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya bagaikan seorang prajurit
memanggul tombak, sambil jemari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan
kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring.
Tidak lama
kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan
pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda
pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang
sangat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan
Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota
raja.
Oleh karena
itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani
menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari
Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu, bahkan pada minggu yang lalu
Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh
kehormatan.
Siang Hwa
membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh
dua orang pelayannya dengan naik kereta. Han Tiong mengajak adiknya untuk pergi
meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda
itu.
“Bukan main!
Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat,
seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!”
“Memang dia
hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia juga
pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang,
hatinya kejam bukan main.”
“Ehh…?”
Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. “Dia kejam? Justru
sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong…”
“Itulah,
adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan akan
membuat orang kehilangan kewaspadaan. Bila mana engkau menyukai seseorang
secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanyalah baiknya saja, sebaliknya
kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya
buruknya saja. Namun sebaliknya, apa bila kita bebas dari ikatan suka dan tidak
suka, maka barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah
engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan
yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan
membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?”
Thian Sin
mencoba membantahnya, “Tapi… mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang
menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Si Bopeng itu sangat
sombong, ada pun dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah
layak dipukul!”
“Hemm, dan
layak dibunuh pula?”
Thian Sin
tak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan
sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak terdapat dalam pikirannya untuk membunuh
mereka. Betapa pun juga, dia tetap membela,
“Tiong-ko,
hendaknya engkau bersikap adil. Coba andai kata Saudara Siangkoan itu tidak
memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa
nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?”
“Kalau
memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andai kata
terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam,
melainkan orang she Ji dan dua temannya.”
“Tapi dia
hanya membela diri, Tiong-ko!”
“Hemm, kau
melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia
dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan
maut! Adikku, bagaimana pun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang
itu. Mereka terkena pukulan sinkang yang kuat sekali, tetapi agaknya kita masih
akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!”
“Ahh, kita
menolong orang jahat itu?”
“Bukan,
adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang
jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut.
Marilah!”
Terpaksa
Thian Sin mengikuti kakaknya dan sesudah bertanya-tanya, dengan mudahnya mereka
dapat menemukan rumah gedung dari Ji-cianbu, yakni perwira pengawal istana itu.
Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi oleh Ji-cianbu ke
tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan
gedung.
Han Tiong
lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, kemudian mempergunakan ilmu
kepandaian mereka untuk melompati pagar tembok, memasuki taman dan dengan
loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas wuwungan
rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng.
Mereka
melihat Siangkoan Wi Hong tengah duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan
yang luas dan di sana terdapat tiga buah pembaringan di mana rebah terlentang
tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka pucat agak
kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah.
“Hemm,
mengapa begini lama?” terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, nada suaranya
mengandung ketidak sabaran.
Dengan gugup
perwira itu bangkit dan menjura, “Harap kongcu bersabar… tentu kongcu maklum
betapa sukar bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan
pangkat dan gaji kecil seperti saya… sabarlah, karena tentu isteri saya sedang
mencari pinjaman ke sana-sini…”
“Ha-ha-ha-ha,
Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak
mengetahui keadaan para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil
dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar lainnya, bahkan pembesar tinggi
sekali pun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat
isi rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Jika hanya mengandalkan
gaji kalian, biar kalian bekerja sampai tujuh turunan sekali pun tidak mungkin
dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha, semua orang
pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak
ada orang yang tahu. Sudahlah, cepat sediakan jumlah yang kuminta, itu masih
terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak, aku akan pergi, karena
aku masih mempunyai banyak urusan!”
“Baikiah,
baiklah…” Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia
berbisik, “Cepat, minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu.”
Siangkoan Wi
Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada
pemuda ini, Ji-cianbu menjura dan bertanya, “Yakin benarkah kongcu bahwa kongcu
akan dapat menyembuhkan anakku?”
“Cringgg!”
Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu begitu nyaringnya sehingga Ji-cianbu
terkejut dan melangkah mundur.
“Aku yang
memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!”
Tak lama
kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan
kain kuning yang berisi uang. Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan
isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong.
Pemuda itu
menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung itu dan melihat isinya yang
ternyata uang-uang emas, berupa potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia
menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya, lalu
memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia
berkata,
“Buka baju
mereka!”
Ji-cianbu
memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou
Mu dan dua orang tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung
mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali bagaikan dilukis dengan tinta.
Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi
satu itu!
Siangkoan Wi
Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa
jalan darah pada sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan
kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian, nampak asap atau uap
mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar!
Ji Lou Mu
mengeluh dan mengerang kesakitan, tetapi dihardik oleh Siangkoan Wi Hong.
“Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri sedikit saja sudah merengek cengeng?”
Dibentak
seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai mukanya penuh
keringat. Tidak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan
ternyata tanda hitam itu telah lenyap.
“Kau telan
ini sehari sekali, tiga hari berturut-turut,” katanya sambil menyerahkan tiga
butir pil hitam kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng
itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima kasih.
Dengan sikap
tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka
tidak berani mengeluh sungguh pun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat.
Akhirnya mereka pun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga butir pil hitam.
“Nah, aku
pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali
jangan bersikap sembarangan dan sewenang-wenang!”
Setelah
berkata demikian, dengan diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan
berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya lantas
keluar dari gedung itu. Dia menolak ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan
raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ.
Sejak tadi,
Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin
merasa kaget sekali. Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu
memeras meminta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu dan dua orang tukang
pukulnya! Segera sesudah Siangkoan Wi Hong pergi, mereka pun diam-diam meloncat
turun dari atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat
itu.
“Hemm, lima
puluh tail emas…!” Han Tiong bersungut-sungut.
Thian Sin
maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi semenjak
tadi memang ada dua hal yang bertentangan berada di dalam benaknya.
Yang pertama
dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang melakukan pemerasan,
akan tetapi di lain fihak dia pun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu
dapat pula diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir
semua pembesar di jaman itu, merupakan koruptor-koruptor besar yang memeras
keringat rakyat dan harta milik negara.
“Akan
tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak
bila orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu.”
Han Tiong
menoleh dan memandang pada adiknya dengan alis berkerut. “Sin-te, apakah dengan
kata-kata itu engkau hendak maksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang
she Siangkoan itu.”
“Tidak,
koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan. Akan tetapi
aku setuju kalau orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka
itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik.”
Lega rasa
hati Han Tiong saat mendengar jawaban adiknya itu. “Di kota raja ini banyak
terdapat orang pandai, tepat seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she
Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum lagi
tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus berhati-hati, Sin-te, sedapat mungkin
jangan sampai terlibat dengan mereka seperti yang telah terjadi tadi.”
Mereka
melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar. “Betapa pun
juga, orang she Siangkoan itu amat menarik hati. Aku ingin sekali mendapat
kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya.”
“Hemm,
kurasa dia merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya.
Kalau saja dia mau, dia dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu
saja telah membuktikan bahwa dia memiliki khikang yang amat kuat. Dan ketika
dia meloncat untuk menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan
ginkang-nya, kemudian pada waktu dia mengobati mereka bertiga itu, dia mampu menggunakan
sinkang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia seorang lawan yang
tangguh sekali!”
“Justru
karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai
sahabat, bukan sebagai musuh.”
Pada saat
mereka sampai di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang
menyambut mereka di depan pintu, akan tetapi Siangkoan Wi Hong! Sambil
tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura.
“Selamat
malam, sahabat-sahabatku yang baik,” kata pemuda itu.
Dan terpaksa
dua orang kakak beradik ini membalas penghormatan orang tapi diam-diam merasa
heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam! Setelah
sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, maka
tampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak jangkung, lebih tinggi dari pada
mereka berdua.
“Siangkoan-toako,
bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?” tanya
Thian Sin, tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini.
“Ha-ha-ha!”
Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu
depan losmen menimpanya. “Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku memiliki
banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya mencari tahu di mana kalian bermalam!”
“Saudara Siangkoan
Wi Hong, sesungguhnya ada keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah
datang ke sini dan menanti kami berdua?” Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka
dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya terpancar cahaya yang membuat
Siangkoan Wi Hong merasa gugup.
Siangkoan Wi
Hong cepat menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis, “Ah, setelah
mendengar bahwa kalian tinggal di sini, aku lalu cepat-cepat datang ke sini
untuk menawarkan kamar di dalam rumahku kepada kalian. Sebagai sahabat-sahabatku
yang sangat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini.
Marilah, ji-wi lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di
rumahku selama ji-wi berada di kota raja.” Dengan mengembangkan lengannya orang
she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan menyenangkan
sekali sehingga Thian Sin telah menoleh ke arah kakaknya kemudian memandang
kakaknya dengan sinar mata penuh persetujuan menerima undangan itu.
Akan tetapi
sambil tersenyum Han Tiong berkata dan menjura. “Banyak terima kasih atas
segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak
mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini dari
pada di rumah Siangkoan-loheng, oleh sebab itu harap loheng tak kecewa dan juga
tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali
untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan
bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih.”
Di bawah
sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata
bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya tetapi
segera menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada
sang kakak angkat. Dia pun tersenyum.
Dari sinar
matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memilki sinar mata
bagaikan naga itu adalah seorang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan
kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka dia pun tidak mau
menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan dia
pun menjura.
“Baiklah,
jika ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi suka berjanji untuk
sekali-kali singgah di rumahku sebelum pergi meninggalkan kota raja. Toko dan
rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal
ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orang pun di sana akan dapat
menunjukkan di mana adanya rumah kami.”
Han Tiong
merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun
menjura kemudian berkata, “Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan
singgah ke rumah loheng sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan.
Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu.”
“Ha-ha-ha,
Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!” Orang itu lalu pergi memanggul
yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang
pemuda Lembah Naga itu.
Mereka lalu
memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong
yang tidak disangka-sangkanya itu, “Orang itu sungguh aneh dan mencurigakan
sekali,” kata Han Tiong.
“Aku gembira
dapat berjumpa dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau
kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya
mencoba ilmu silat.”
“Tidak,
Sin-te. Jangan kau lakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu
tentu amat terkenal di tempat ini, apa lagi kita pun tahu bahwa dia mempunyai
kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu
dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau
menang darinya, apa kau kira kita masih dapat menyimpan rahasia kita? Tentu
semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita
datang dari Lembah Naga, apa lagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she
Ceng…”
“Hemmm, aku
tidak takut!” kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Tetapi
dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia
akan melakukan perlawanan!
“Siapa
bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus dapat bersikap cerdik dan
tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia
itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, dan bukan untuk
memancing terjadinya keributan. Kukira engkau tidak akan suka untuk membikin
pusing dan susah kepadaku, bukan?”
Ditanya
demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya “Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko.
Apa kau sangka aku sudah gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut
lagi keinginanku untuk mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau
tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu,
Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini.”
Demikianlah,
dengan hati lega melihat adiknya yang telah ‘tenang’ kembali itu, Han Tiong
lalu mengajak adiknya tidur. Namun baru saja mereka akan pulas, mendadak pintu
kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara
itu sudah cukup untuk membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari
tempat tidur.
Dengan amat
hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria dengan tubuh
sempoyongan memasuki kamar sambil tertawa-tawa. Ketika melihat Han Tiong dan
Thian Sin, dua orang itu lalu saling pandang.
“Eh, kenapa
begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar,
kalian telah menempati kamar kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu
kalian sembunyikan?”
“Hayo
keluar!” kata orang ke dua kemudian mereka mengambil sikap mengancam hendak
mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan.
“Keparat
pemabukan!” Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi
lengannya dipegang oleh Han Tiong.
“Mereka ini
sedang mabuk, perlu apa dilayani?” katanya kepada adiknya. Kemudian dia
melangkah maju menghadapi kedua orang itu. “Saudara-saudara salah masuk, ini
adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi.” Sambil berkata demikian,
dengan halus Han Tiong mendorong mereka keluar.
“Apa?! Kau
hendak memukul?” seorang di antara mereka membentak dan orang itu telah
mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong.
Akan tetapi
pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari
kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar,
dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya. Dua orang itu menggedor-gedor dari
luar, akan tetapi Han Tiong mendiamkan saja dan dia melarang Thian Sin yang
marah-marah ingin menghajar mereka itu. Akhirnya dua orang mabuk itu pergi
juga.
“Tiong-ko,
engkau terlalu sabar!” Thian Sin mencela. “Orang-orang mabuk kurang ajar itu
sepatutnya diberi hajaran biar kapok!”
“Adikku yang
baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang
tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah.”
“Tapi tadi
mereka memukulmu!”
“Memang, dan
itulah kalau orang mabuk. Apa bila aku yang tidak mabuk balas memukul, habis
lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan
berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang
mabuk?”
Mereka tidur
kembali dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya,
mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat
ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa
macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya.
Dengan dua tangan membawa keranjang-keranjang berisi macam-macam buah, mereka berjalan
kembali ke losmen.
Pada waktu
mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja
seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tak menyangka-nyangka,
biar pun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah
keranjang terisi buah-buahan itu lantas terbuka keranjangnya sehingga
buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah!
“Heii, di
mana matamu?!” bentak pemuda tinggi besar itu.
Dari
belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan
bersikap kasar, berlagak bagaikan jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di
kota-kota besar. Dengan angkuh mereka lalu menginjak-injak buah-buahan yang
berserakan di jalan itu.
“Heiii, itu
buah-buah kami…!” Thian Sin membentak marah, tapi Han Tiong mengedipkan matanya
kepada adiknya, lantas dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya
tadi.
“Harap kau
maafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka sudah
menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku sudah ditebus dengan hilangnya semua
buah-buah yang kubeli.”
Sejenak Si
Tinggi Besar itu menatapnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh kelima orang
temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, namun anehnya mereka tidak menghalang
ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti
suara ketawa mereka.
“Ahh,
Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!” Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka
tiba kembali di kamar losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya
merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.
“Apa
maksudmu Sin-te?”
“Aku merasa
malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa
ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap
demikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah
perbuatan kita tadi tidak menimbulkan buah tertawaan karena sama sekali bukan
selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap
pengecut dan penakut?”
Han Tiong
tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu dia berkata,
suaranya tenang dan tegas, “Adikku yang baik, engkau pun tahu bahwa justru
seorang pendekar adalah orang yang tak mudah marah menurutkan perasaannya saja.
Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula?”
“Tapi mereka
itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!” Thian Sin membantah.
“Mereka itu
gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi
mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita?
Mereka gila dan kita pun akan menjadi gila pula. Mereka adalah orang-orang gila
karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka
itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang
waras ini, yang mampu menjauhkan diri dan menghindari keributan, mengapa kita
harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya,
dan sama jahatnya?”
“Tetapi,
koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah
Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!”
Han Tiong
tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. “Aihh, Sin-te, apakah masih
kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri
kepada kita? Apa bila semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau
kecil seperti mereka tadi, tentu setiap hari akan terjadi keributan dan para
pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu
hanya orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah
kesenangan mereka. Jika kita mau melayani, berarti kita ini malah membantu
pengacauan mereka. Sudahlah, kita anggap saja tadi itu sebagai latihan mental
bagimu, adikku.”
Akhirnya
Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya karena dia pun melihat
kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh
ayah angkat atau juga pamannya, sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
sungguh tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan
yang sedemikian remehnya. Justru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda
berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar
yang sudah ‘masak’. Maka hatinya pun menjadi dingin dan tenang kembali.
“Adikku,
kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan kiranya
penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya
perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan
kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya
demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang
membayangkan kedamaian hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja
Sin-te. Tidak enak kalau kita terlalu lama berdiam di lempat seperti ini.”
“Terserah
kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita sudah berjanji untuk
singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong.”
Han Tiong
mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka
kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang
sudah menerima undangan, dan pula dia pun tahu bahwa adiknya ini diam-diam
sangat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu, maka dia pun berkata,
“Baik,
Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita
menuju ke Cin-ling-san.”
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu sudah meninggalkan losmen
dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak
sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama
Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment