Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 16
PENDAPAT
Thian Sin itu mungkin sekali juga menjadi pendapat umum atau kebanyakan dari
kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang
bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang betul. Biasanya,
tindakan itu kita namakan keadilan!
Akan tetapi
benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita
namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan
itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini
lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki
apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar
yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang?
Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar
yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan
tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di
dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan
tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada
dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah
berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang
kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian.
Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan
hukuman yang sifatnya membalas dendam!
Balas dendam
adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti
menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak
dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada
telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan
pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer,
maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian.
Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah
perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini
terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya,
kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk
menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh
kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya,
perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu
pasti benar dan baik.
“Jika bukan
para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar
para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu
mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa
yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa
lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji
serta pembunuh-pembunuh itu?”
“Sin-ko, aku
tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para
pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?”
“Ahh, tidak
bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang
yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!”
Lian Hong
tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang
sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya
tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia
setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han
Tiong terhadap para penjahat.
Mendadak
Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya
hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah
memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…”
Dia pun
mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas
mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat
banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu.
Orang-orang
itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara
banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa
dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu
silat yang lihai!
Dan yang
membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di
antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan
ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai
terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.
“Siapa
membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?”
“Tangkap
pemberontak…!”
“Tangkap
anak pemberontak Ceng Han Houw…!”
“Basmi
pemberontak dan pengkhianat…!”
Teriakan-teriakan
itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang
besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka
itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka
teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua
orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!
Tentu saja
keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi
kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu
secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.
Ciu Khai
Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk
mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh,
bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak
untuk mencoba menghentikan mereka.
Agaknya
mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah
yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah
menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang
berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam
rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.
Sementara
itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong
menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar
teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang
agaknya telah melawan para penyerbu.
“Keparat!”
teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah
bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung
menyerangnya.
Melihat ini,
Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju
menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia
sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah
dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang
lihai.
Thian Sin
mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang
terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena
merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian
Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar
teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari
pemberontak Ceng Han Houw.
“Di sinilah
aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan
kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang.
“Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!”
Maka
terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang
prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan
mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi
pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat.
Dengan
kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin
berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya
dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan
tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh
kedua kakinya.
Hebat bukan
main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah
muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak
pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak
mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula
yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek
Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu.
Tidak kurang
dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan
berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus
mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu
bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong!
Oleh karena
itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke
depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada
waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak
melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini
agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian
di tempat lain.
Ketika dia
tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang
berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia
dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang
berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun,
kedua isterinya, dan Bun Hong!
Hampir saja
Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu
Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang
tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.
“Tranggg…
desss! Creppp!”
Dua orang
itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang
ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.
Thian Sin
cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong.
Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka
itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan
banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di
sekeliling tempat itu!
Keluarga ini
sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam
keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu
datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak
tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!
“Hai,
keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima
pembalasanku!”
Kemudian dia
pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan
mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau
tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para
pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.
Entah sudah
berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh
keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama semakin banyak saja
pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi,
ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin akan tetapi dia
masih seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan
dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan.
Akhirnya
para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa apa bila dilanjutkan,
agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorang pun yang
ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan
diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.
Thian Sin
mengejar kemudian merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan.
Akhirnya dia bisa menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke
tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.
“Ngekkk…!”
Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.
Thian Sin
cepat menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu.
“Cepat ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu
meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itu pun terobek sedikit dan
berdarah.
“Baik… baik…
kami hanya menjalankan perintah… mula-mula komandan kami menerima laporan dari…
dari Su-couw…”
Thian Sin
adalah pemuda yang cerdik sekali. Saat mendengar disebutnya kota Su-couw, dia
pun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an
Piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia lantas teringat bahwa yang
mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah
putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.
“Phoa-taijin…?!”
Dia membentak dengan sikap mengancam.
“Ya… ya
benar…!”
“Mengapa?
Hayo cepat katakan, mengapa dia melakukan ini?!” bentaknya.
Perwira itu
menggeleng-gelengkan kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa
Phoa-taijin melaporkan mengenai adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di
rumah ketua Ui-eng Piauwkiok di Lok-yang, kemudian komandannya langsung
bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga
mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di
antaranya ada beberapa orang pengemis.
“Tidak…
tidak tahu…,” perwira itu berkata, namun kata-katanya berhenti di tengah jalan
karena Thian Sin sudah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika
dengan leher hampir putus!
Malam itu
juga, baru lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat
tinggal Phoa-taijin! Semenjak mengamuk tadi, dia tak pernah lagi menyimpan
pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi
wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu kini
penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong
penuh dendam bagaikan mata iblis di dalam dongeng!
Thian Sin
tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu
mengapa pembesar ini melakukan hasutan supaya keluarga Ciu dibasmi. Kalau
memang niatnya hanya hendak menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, kenapa
pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggota
keluarga Ciu terbasmi habis?
Tiba-tiba
dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan
memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu
mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan
sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin!
Maka dia pun
cepat-cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang,
lantas menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia pun dapat
mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang
bicara dengan suara perlahan tapi terdengar serius sekali. Jantungnya berdebar
penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang
sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.
“Apa? Anak
pangeran pemberontak itu tidak berhasil ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah
membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana
kalian ini? Pasukan seratus orang juga ditambah orang-orang yang terkenal
sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tak
mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu?
Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!”
“Tapi,
taijin. Keluarga Ciu sudah dapat dibasmi, kalau lolos seorang anak perempuan
saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali…,”
terdengar suara orang lain.
“Saya masih
belum mengerti kenapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara
serak.
“Bodoh,
apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu
yang sudah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar
sebagai perampok untuk merampok barang-barang yang sebelumnya telah kusuruh
kawal Pouw-an Piauwkiok? Jika mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian,
mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan
kawan-kawan di utara?”
Thian Sin
mengerutkan alisnya. Biar pun hanya secara samar-samar saja, dia kini dapat
menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang
diutus untuk menyarnar sebagai perampok lantas merampas barang-barangnya
sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an Piauwkiok untuk bertanggung jawab
dan mengganti barang-barangnya yang berharga.
Dan karena
kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han
Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan
balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka
hal itu kemudian dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu
terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.
“Aku berada
di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia
sudah menerjang jendela itu.
“Braakkkkk…!”
daun jendela itu pecah dan dia pun sudah meloncat ke dalam.
“Pembesar
keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han
Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!”
Namun empat
orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan
seorang berpakaian komandan sudah mencabut senjata masing-masing dan segera
menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar
ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera
pangeran pemberontak yang amat lihai itu.
Melihat
serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis,
melainkan mengerahkan tenaga sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi lunak
bagaikan karet, lunak akan tetapi kuat sekali. Maka begitu tiga batang pedang
dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sinkang itu menyambut empat
senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga daya pukulan
yang mengandung tenaga sinkang empat orang itu tersedot seketika.
Empat orang
itu berteriak kaget, maka mereka cepat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali
senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi I-beng, semakin
mereka mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga sinkang mereka tersedot.
Dan pada saat itu pula sinar pedang perak berkelebat, maka robohlah empat orang
itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.
Phoa-taijin
telah melarikan diri melalui sebuah lorong. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan
Thian Sin menyambar dan tahu-tahu pemuda ini sudah menangkap tengkuk si
pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.
“Ampun…
ampun… taihiap…!”
“Keparat
jahanam! Engkau telah mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini
aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Sekarang kau mau
apa?!”
“Ampuun…
aku… aku hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu
pemerintah… dan karena… ayahmu dulu pernah memberontak maka… aku… aku…”
“Cacing
busuk! Kalau begitu, mengapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan
tetapi seluruh keluarga Ciu juga kau basmi? Engkau membalas sebab kami
mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu
sendiri dari tangan Pouw-an Piauwkiok itu, ya? Hayo cepat katakan, siapa itu
kawan-kawanmu yang berada di utara…”
Wajah yang
sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh
harapan pada waktu pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada
apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin.
Pemuda ini
cukup waspada. Tatapan mata pembesar itu membuatnya cepat mencurahkan perhatian
pendengarannya ke belakang maka tahulah dia bahwa ada dua atau tiga orang
bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar
dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga
orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan
tubuhnya menggigil ketakutan.
“Hayo
jawab!”
“Mereka…
mereka itu… ah… para datuk kaum kang-ouw… telah bersekutu… eh, dengan mereka
yang bergerak di utara… orang-orang bangsa Mancu…”
“Siapa para
datuk itu? Hayo jawab, cepat!”
“See-thian-ong,
Lam-sin, dan Pak-san-kui…”
“Hemm, juga
Tung-hai-sian?”
“Tidak…
tidak… belum, sedang dihubungi… dia yang keras kepala…”
“Setan,
mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali.
Terdengar
tulang terbacok beberapa kali yang disusul jerit-jerit melengking dari pembesar
itu dan pada waktu Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang
tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan
telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi amat pendek akibat kedua kakinya
terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu
bergerak-gerak aneh dan mandi darah.
Sungguh
merupakan pemandangan yang bukan main mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya
mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.
Kini Thian
Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di
rumah pembesar Phoa itu sudah memanggil bala bantuan sehingga kini tidak kurang
dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian
Sin tak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.
Tidak, dia
tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis!
Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian
keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa
akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah.
Pakaiannya
telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan
tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te
Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.
Dan memang
sepak terjang Thian Sin hebat bukan main. Walau pun pengeroyoknya kini
merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran,
masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi
darah oleh sambaran pedangnya.
“Inilah Ceng
Thian Sin! Inilah dia putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua
anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin
terus mengamuk sambil berteriak-teriak.
“Sin-te…!”
Sesosok
bayangan berkelebat lantas sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan
kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang sudah mendatangkan
Han Tiong!
Ketika Han
Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa
terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga
pulang? Dia lalu keluar dan merasa semakin heran karena tak menemukan adiknya
di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah
larut. Dua ekor kuda mereka masih ada.
Hatinya terasa
tidak enak maka dia pun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan
mengambil sampul surat yang tadi telah dibaca oleh Thian Sin. Meski pun dia
tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat
yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir dengan keadaan Thian
Sin, maka dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.
Kedua
tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian
Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh
ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Maka mengertilah dia sekarang
mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke manakah perginya adiknya
itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di
atas meja.
Mendadak dia
merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin
kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin
memiliki watak aneh dan keras.
Dugaan ini
makin kuat ketika dia menanti-nanti namun adiknya belum juga pulang. Maka dia
pun mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia lantas membawa
buntalan-buntalan pakaian, kemudian menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga
rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat,
menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.
Tidak pernah
disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat
sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru sampai di pertengahan jalan, adiknya
itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Namun
ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia hanya melihat nyala api
berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang
terlihat panik di luar rumah-rumah mereka sambil bicara simpang siur tentang
penyerbuan pasukan di rumah Ui-eng Piauwkiok!
Dapat
dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu, maka dia langsung
mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa
terkejut dan hancur hatinya sesudah dia melihat puluhan mayat berserakan di
antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara
mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan dan Kui Lin serta Ciu
Bun Hong! Tentu saja Han Tiong langsung menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan
menangis.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari
belakang dan kanan kirinya. Han Tiong menoleh dan melihat bahwa yang
menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang prajurit.
Melihat
bahwa pakaian para prajurit yang sudah menjadi mayat berserakan di tempat itu,
maka tahulah dia bahwa mereka ini merupakan teman-teman dari orang-orang yang
telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka dia pun cepat
meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu lalu
terpelanting.
Mereka
bangkit kembali dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan
prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di tempat itu sehingga Han Tiong sudah
terkepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan
oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis,
kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap.
Para
prajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul
sehingga sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh sambil membawa seorang yang
sudah ditotoknya. Di sebuah tempat sunyi Han Tiong melepaskan orang itu dan
membebaskan totokannya.
“Aku tidak
akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberi tahukan apa yang telah
terjadi.”
Melihat
sikap Han Tiong yang halus itu, si prajurit tidak takut lagi. Oleh karena itu
dia pun segera menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan
mereka, atas laporan dari Phoa-taijin untuk menangkap pemberontak yang katanya
keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para
pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin dan rata-rata amat lihai itu, begitu
datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi
pertempuran hebat yang akhirnya mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.
“Dan
keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya
berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi
yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan prajurit, kalau bukan
adiknya?
“Pemuda itu
luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!”
“Di mana dia
sekarang?”
“Tidak tahu…
tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.”
“Dan di mana
pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?”
“Tidak tahu…
hanya kabarnya berhasil lolos…”
Han Tiong
lantas menotok orang itu sampai pingsan dan dia pun lalu cepat melarikan diri
menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itu pun sudah melakukan
seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang prajurit supaya
menceritakan keadaannya dan sesudah mendengar bahwa semua penyerbuan itu
gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah
putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Maka dia pun
cepat menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan
kembali mayat-mayat keluarga Ciu.
Tak
disangkanya akan terjadi hal seperti itu. Kalau saja dia mengundurkan
kepergiannya satu hari saja, kalau saja dia masih berada di sana ketika terjadi
penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.
Akan tetapi
semua telah terjadi. Keluarga Ciu sudah tewas dan sekarang yang terpenting
adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harapkan
mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat.
Ketika dia
tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh
kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat
dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam.
Melihat
keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han
Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah!
Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan
manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun lantas
menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.
“Sin-te,
ingatlah…!” Dia berkata lagi.
Thian Sin
menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam
pelukan Han Tiong. Han Tiong cepat memondong tubuh adiknya, lalu menyambar
pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar-mutarkan
pedangnya untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka.
Berkat
ketangkasannya, Han Tiong berhasil cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan
langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat
bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia segera menurunkan tubuh
Thian Sin di bawah sebatang pohon besar.
Dia
memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luka luar mau pun dalam.
Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka dia pun lalu
mendiamkannya saja, dan dia pun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur
pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.
Baru saja
terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han
Tiong juga ikut meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan
hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong telah bersikap
waspada, maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,
“Sin-te,
sudah gilakah engkau sehingga tak mengenalku lagi? Kau lihatlah baik-baik, aku
adalah Han Tiong!”
Tiba-tiba
saja Thian Sin menghentikan serangannya, memandang pada wajah Han Tiong,
kemudian dia pun menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis
mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga ikut berlutut sambil merangkul
adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.
“Adikku…
ahhh, Sin-te… tenangkanlah hatimu. Aku tahu… aku sudah melihatnya… akan tetapi,
kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.”
“Tiong-ko…
aduh, Tiong-ko… betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku!
Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk
itu!”
“Sin-te!
Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa
engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?”
Thian Sin
menenangkan hatinya, kemudian duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan
adiknya, bahkan dia pun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin
menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia
bercerita.
“Tiong-ko,
maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku… aku malam tadi telah membaca surat titipan Paman
Ciu untuk ayah…”
“Aku sudah
tahu, adikku.”
“Kau tahu?
Dan kau diam saja…?”
Han Tiong
tersenyum duka. “Keinginan tahu dari seorang muda bukanlah kesalahan yang
terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.”
“Lupakanlah?
Ahh, Tiong-ko, engkau tidak tahu alangkah jahat adikmu ini. Aku membaca surat
itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku menjadi
penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke
Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!”
“Ahhh…!” Han
Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan oleh
adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.
“Aku
berhasil memanggil Hong-moi keluar, kemudian kami bicara panjang lebar. Dan dia
memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena… karena aku… hemmm,
aku orang yang kejam dan jahat!”
“Sin-te,
jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!”
“Pada waktu
itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, lantas terdengar suara
ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu sudah menyerbu. Mereka terus
berteriak-teriak, katanya hendak menangkap aku, anak seorang pemberontak, tapi
kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Tentu saja aku tidak tinggal
diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, aku pun lalu mengamuk. Akan
tetapi, eh… betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat…” Dan
pemuda itu segera memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang
duka yang menyerangnya.
“Aku pun
sudah melihat mereka, Sin-te. Dan… dan… Hong-moi, bagaimana dengan dia?” tanya
Han Tiong, suaranya agak gemetar.
“Tidak tahu,
Tiong-ko… tidak tahu… dia lenyap begitu saja… aku tidak tahu ke mana dia pergi…
ahhh, hal itu membuatku semakin sedih karena mala petaka yang menimpanya itu
adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!”
“Jangan,
Sin-te. Urusan yang telah terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah
ikut mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya prajurit, tentu
pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak
mencarinya? Tidak ada jejak darinya…”
“Kalau
perlu, aku akan siksa semua prajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka
itu mengaku di mana adanya Hong-moi!”
“Hemm,
perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Apa bila
dia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku juga sudah mendengarnya. Engkau
tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi,
Sin-te.”
“Habis,
apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya hingga tidak kita
ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan dia… dia
adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada
berteriak penuh rasa penasaran.
Han Tiong
menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku menunjukkan atau memamerkan rasa
dukaku akibat kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku akibat hilangnya
Hong-moi? Kita harus bersikap tenang di dalam menghadapi segala hal, Sin-te.
Saat ini, pemerintah tentu sudah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata
tentu sedang disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini,
tidak ada jalan lain bagi kita kecuali melaporkannya kepada ayah dan minta
pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tak boleh
bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin
kita lawan begitu saja, Sin-te.”
Akhirnya,
biar pun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia
bukannya takut, tetapi merasa segan untuk membantah dan membikin susah atau
marah kakaknya yang amat dikasihinya ini.
Biar pun
pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati
dan juga menghancurkan perasaannya yang telah jatuh cinta kepada dara itu, akan
tetapi dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlalu sayang dan terlampau
kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarang
pun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya
yang dia tahu sangat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah
mengambil kuda mereka, dua orang muda ini pun melakukan perjalanan pulang ke
Lembah Naga.
***************
Melihat
keadaan dua orang muda itu, Bhe Bi Cu telah menjadi gelisah sekali. Dia
berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera
kandungnya itu.
“Apakah yang
telah terjadi? Tiong-ji… ada apakah? Kenapa kalian menangis? Thian Sin,
ceritakanlah, apa yang telah terjadi?”
Melihat
kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera
menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandangan matanya agar
isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan
tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir
sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.
“Han Tiong!
Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Hanya dapat menangis seperti
anak-anak kecil! Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu
lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada
hal yang bagaimana pahit sekali pun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati
seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan
tenang!”
Dua orang
muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua
dapat menenangkan hati mereka sehingga tidak terisak-isak lagi meski pun kedua
mata mereka masih basah.
Kemudian Han
Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang pernah mereka alami, mulai
dari pengalaman mereka di kota raja, lalu pertemuan mereka dengan putera
Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, juga kunjungan mereka berdua ke
Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan
Cia Giok Keng.
Di bagian
ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya karena
berjumpa dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu
telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua sudah
menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.
Pendekar
Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penuturan dua orang muda
itu, apa lagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam
pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang
peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh
wakil-wakil para datuk itu.
Kemudian dua
orang pemuda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah
berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh
Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di
Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti
wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa
tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas
diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan
Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai
menyelimuti hatinya.
Akhirnya
cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan
untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang
keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang
bercerita.
“Sungguh
tidak pernah kami sangka bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang
kawalan Paman Kui Beng Sin itu akhirnya mendatangkan akibat yang amat hebat,
ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam
terakhir kami berada di kota Lok-yang, secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah
menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami
berdua tentu saja segera membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, tetapi
fihak musuh terlampau banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang
pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong,
Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan di dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu
terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu
Bun Hong… mereka berempat itu… ahhh, mereka semua tewas…!”
“Ohhhhh…!”
Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.
“Hemmm…!”
Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seakan-akan hendak menolak penglihatan
yang nampak akibat cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua
orang muda itu pun menundukkan muka.
“Tapi
mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata.
“Aku yang
bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera
pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu
berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang
sudah berdosa. Keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan
pangeran terkutuk…!”
“Thian Sin!”
Cia Sin Liong membentak dengan kereng. Akan tetapi Thian Sin yang seperti
merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah
angkatnya.
“Aku telah
berteriak bahwa aku di situ, supaya mereka jangan mengganggu keluarga Ciu. Aku
telah mengamuk, aku juga telah membunuh puluhan orang prajurit, akan tetapi
tidak mampu untuk menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka
sebanyak mungkin, kemudian aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang
menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur
sendiri untuk merampok barang-barangnya yang dikawal oleh Paman Kui Beng Sing
supaya dapat mengumpulkan uang pengganti. Dia… dia bersekongkol dengan para
datuk, dan mereka sedang berhubungan dengan orang-orang di utara, dengan bangsa
Mancu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu,
memaksanya supaya dia mau mengaku, dan aku telah menghukumnya, membuntungi kaki
tangannya, telinganya, hidungnya…”
“Sin-te…!”
Han Tiong berseru.
“Biarlah,
Tiong-ko, akulah yang berdosa, memang aku yang telah menyebabkan keluarga Ciu
terbasmi. Akan tetapi kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan
orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat
yang pasti akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong,
Lam-sin, Pak-san-kui dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk
membalaskan sakit hatiku ini!”
“Thian Sin!
Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga khikang sehingga ruangan itu tergetar.
Thian Sin
sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan kaget sekali. Dia memandang
wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang laksana mata naga itu, dan dia
pun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih
minta maaf.
Mereda
kemarahan Sin Liong setelah melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan
terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa
kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.
“Sudahlah,
engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tak akan
tergoyahkan oleh peristiwa apa pun juga. Bila mana engkau menuruti perasaan dan
nafsu dendam kau biarkan menguasai batinmu, maka engkau pun akan menjadi sama
jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.”
Wajah pemuda
ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah
berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan
tetapi di dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri
sehingga dia pun tidak akan banyak bicara lagi.
“Ayah,
melihat Sin-te sedang mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera
memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang
lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena jika
dia tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya,
akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, dan membawa pasukan pemerintah
yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan
melaporkannya kepada ayah. Dan ini… ini… adalah surat yang sebelum peristiwa
itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan oleh Paman Ciu Khai Sun untuk
disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya.
Pada wajah
yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai menua ini, tampak keharuan
ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan
seseorang yang sudah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk
menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh
keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.
“Han Tiong…
kau harus… harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Dan
sekarang juga!” akhirnya dia berkata.
“Ah, dia
baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk
pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu.
Suaminya
menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan dia pun merasa
terharu sekali.
“Bagaimana
pun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum
beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan
perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui
jejak kepergiannya.”
“Kau boleh
bersiap-siap, Han Tiong. Akan tetapi demi ibumu, biarlah kau berada di rumah
selama dua hari, namun besok lusa engkau harus berangkat mencarinya hingga
dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.”
“Baik,
ayah.”
Kemudian
pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Engkau perlu untuk berlatih
lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, terlebih lagi engkau telah menerima
petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, apa bila menyaksikan
sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan juga sikapmu tadi, engkau sungguh
masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin,
kelemahan batin merupakan suatu yang sangat gawat bagi seorang pendekar, karena
hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang juga engkau
harus lebih banyak berlatih semedhi dan menguasai nafsu itu, bukannya
diperbudak atau sewaktu-waktu engkau bisa dikuasainya sehingga melakukan
perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu saja. Mengerti?”
“Tapi… tapi,
ayah… saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi…”
“Tidak!
Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan
mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas
suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih semedhi!”
Thian Sin
hanya mengangguk dan menundukkan mukanya, tak membantah lagi. Setelah
mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut mengenai segala yang mereka
tanyakan tentang perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua
orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian
Sin sudah tidak ada di dalam kamarnya dan jika melihat pembaringannya, memang
pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit!
Agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini,
tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri.
Cia Sin
Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng
kepalanya.
“Ahh, kukira
akan dapat menundukkannya, apa lagi sesudah dia digembleng pula oleh Lie Seng
Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk
ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin… hemm, sungguh aku merasa khawatir
sekali. Han Tiong, jika nanti engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga
perhatikan kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah
dia agar mau pulang atau biarlah kau perbolehkan dia turut bersamamu dan
membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.”
“Baik,
ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali.
Dia tahu
bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya akibat kematian keluarga Ciu, akan
tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, lantas melihat
kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin
menjadi sakit.
Biarlah dia
tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian
Hong sudah bisa ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah
bundanya. Bila perlu dia akan mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin
berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang
menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu.
TIGA hari
kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang berikut
nasehat-nasehat dari ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan tatapan
mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong
atau pun ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi
Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi
Ho-nan.
Memang tepat
dugaan Han Tiong. Malam itu juga Thian Sin nekat minggat meninggalkan Lembah
Naga karena patah hati! Dia merasa tak perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk
apa? Lian Hong telah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh
membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap
hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi!
Dia harus
mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari ayahnya. Dia memang putera kandung
Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan
sekarang dia telah menjadi pemberontak pula sesudah membunuh pasukan
pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan
membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri.
Telah terlampau
sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betapa dia selama ini
selalu menahan-nahan dendamnya. Telah beberapa kali dia harus merasa kecewa
dalam hidupnya. Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa
ayah bundanya dibunuh oleh pasukan pemerintah itulah maka malam itu dia
mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, jadi bukan
semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu.
Berapa kali
dia patah hati karena putus cinta. Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan
darinya dengan paksa. Ke dua, dia kembali kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh
oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Ia merasa sakit hati dan mendendam kepada
banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya serta membunuh
keluarga Ciu, lalu kepada Raja Agahai, pamannya di utara yang ikut pula
mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada
Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua
penjahat di dunia ini!
“Aku akan
basmi mereka!” berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu,
menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum
karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya.
Dia harus
pandai menyembunyikan diri dan tak boleh sampai berjumpa dengan kakaknya,
karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, maka
dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang.
Kali ini
kepergiannya memang sudah direncanakan semenjak dia pulang dan menghadap ayah
angkatnya bersama Han Tiong. Oleh karena itu dia tidak lupa membawa kitab-kitab
peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya sama sekali,
karena ayah angkatnya melarangnya.
“Ilmu milik
mendiang ayah kandungmu itu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu
itu mengandung pengaruh yang sangat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi
oleh ilmu-ilmunya itulah.” Demikian ayah angkatnya berkata.
Selama ini
dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu. Akan tetapi, kini dia
membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah
membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci
rahasia kitab itu masih diingatnya dengan baik. Semua kitab tulisan ayah kandungnya
itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya dapat dipecahkan olehnya
dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya.
Pertama-tama
dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini ialah ayah Siangkoan Wi Hong
dan kini, tanpa adanya Han Tiong di sisinya, dia akan menghajar Siangkoan Wi
Hong kemudian akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah
mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun.
Dia telah
banyak mendengar tentang Pak-san-kui, bahkan ayah angkatnya sudah banyak
bercerita mengenai datuk kaum sesat dari daerah utara ini. Dia tahu bahwa
Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia
kini menuju.
Pada saat
itu, Ceng Thian Shin sudah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan
sekali dan gerak-geriknya halus. Kalau dilihat sepintas lalu saja, dia lebih
pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa yang menyangka bahwa
pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat
tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai.
Pedang
Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya, dan dia
lalu melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni
jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya.
***************
Pak-san-kui
adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh
puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh golongan hitam atau
kaum sesat di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan
di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai
Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan).
Rumah
gedungnya besar bagai istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti
benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang
berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah. Pak-san-kui
Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai
perkumpulan yang dipimpinnya.
Akan tetapi
jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang
dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau para tukang
pukulnya yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai
seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah!
Dan meski
pun dia tidak mempunyai perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia
mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak
buahnya, yang merupakan orang-orang berbakat, kemudian mengambil mereka sebagai
muridnya. Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di
daerah utara yang takluk kepada datuk ini.
Murid-murid
kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong, tiga
orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka,
yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala ini pun
ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemana pun mereka
pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka.
Di bawah
murid kepala ini masih terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh.
Mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui apa bila
berurusan dengan segala golongan di daerah utara.
Pak-san-kui
bukan hanya terkenal kaya raya, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya
luas sekali dan dialah, atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah, yang
menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para
pembesar itu.
Melalui
Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberikan jasa-jasa baik terhadap para
pedagang dan para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu
dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui!
Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari
kedua fihak.
Selain itu,
juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari
mereka ini pun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan
semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada
di bawah kekuasaan Pak-san-kui. Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya
besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga.
Seperti
telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan
Wi Hong yang tampan, halus dan pandai bermain musik, bersajak, akan tetapi juga
lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang yang sempat menyaksikan ilmu silat
kakek hartawan ini, namun didesas-desuskan bahwa kepandaiannya bagaikan
malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana
itu merupakan senjata yang amat ampuh.
Hartawan ini
memang lebih patut menjadi hartawan dari pada ahli silat tinggi. Tubuhnya yang
jangkung, wajahnya yang terpelihara baik-baik serta tampan, sikapnya yang
ramah, pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia
adalah seorang datuk yang sakti.
Amat mudah
bagi Thian Sin untuk dapat menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan
itu. Setiap orang, siapa pun juga yang ditanyainya, tentu tahu di mana letaknya
rumah gedung itu biar pun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai
Siangkoan-wangwe.
Tadinya
Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya mengenai Pak-san-kui tidak tahu,
tetapi ketika pemilik restoran di mana dia makan mendengar disebutnya
Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah
Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia lantas teringat
bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong.
“Ya, benar,
Siangkoan-wangwe, di mana rumahnya?”
Semua orang
dengan cepat lalu memberi keterangan di mana adanya rumah gedung milik hartawan
itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam sudah mengutus
seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau para anak
buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya.
Mudah
diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari
jauh. Pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang
daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu di mana adanya rumah Siangkoan-wangwe!
Karena
adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga
pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa
dia minta bertemu dengan Siangkoan-wangwe, dia lalu dipersilakan memasuki pintu
gerbang. Akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup
rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak
dan golok!
Thian Sin
bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri
pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani
memasuki goa macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya.
Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik.
Dia bukan
seorang tolol yang nekat mencari mati dengen menantang Pak-san-kui begitu saja.
Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian
kuning itu, dia tersenyum saja.
“Hemm,
beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang
hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan bagaikan sikap seorang
tukang pukul murahan saja?” katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada
suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar
itu!
Dan
pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan
yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong.
“Aha,
ternyata si pemberontak berani muncul di sini!” kata Siangkoan Wi Hong dengan
suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum sambil memandang kepada Thian Sin
dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya.
Memang
putera Pak-san-kui ini merasa amat kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya
seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan memiliki ilmu
kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi
putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini!
Melihat
munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk.
“Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu,
kau jangan sembarangan berbicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa
mendapat marah dari ayahmu. Di dunia ini ada banyak macam pemberontak, tetapi
yang paling berbahaya adalah pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan
pemberontakannya secara berterang!”
Thian Sin
teringat akan pengakuan Phoa-taijin, karena itulah dia berani menyindir dengan
kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di
hadapannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan
pemberontakan.
“Bocah
sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di kota Lok-yang dan
Su-couw, dan sekarang berani pula muncul di sini menjual lagak? Tangkap dia!”
bentak Siangkoan-kongcu yang sudah meloncat maju.
Beberapa
orang penjaga segera mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah
terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih
tetap tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar.
“Aku tidak
percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai
itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk
menyambut seorang tamu yang hendak bicara!”
Ucapan ini
membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh
sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di hadapan mata para anak buahnya!
Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan
tiba-tiba muncullah seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang
huncwe panjang.
Biar pun
selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin
sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu
ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya
dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di
balik senyuman ramah.
“Siangkoan-locianpwe
suka keluar sendiri, hal ini berarti suatu kehormatan besar bagiku!” katanya
sambil memberi hormat.
Kakek itu
tertawa sambil matanya terbelalak kagum. “Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw
yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha,
sungguh pantas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor
Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat
seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia
sebab sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu.”
Thian Sin
menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat yang
berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka
sambil tersenyum dia pun berkata, “Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa
seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan
mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!”
Kakek itu
menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
berani dan lihai serta cerdik pula! Orang muda, apa kau kira kau akan mampu
lolos dari jangkauan huncweku bila mana aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku
mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku
sendiri yang menjamin bahwa tak akan ada yang mengganggumu apa lagi menjebakmu.
Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, andai kata mendiang Pangeran
Ceng Han Houw sekarang masih hidup, tentu dia merupakan seorang sahabatku yang
paling baik.”
Lega rasa
hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara mengenai pemberontakan
sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan
memusuhi dirinya, bahkan melihat sikapnya agaknya,akan menariknya sebagai
sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu
nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak memiliki siapa
pun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik.
“Baiklah,
locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe.”
Dan dengan sikap tenang dia pun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di
belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda
remaja ini.
Lian-bu-thia
itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang
bergaya gagah. Pada sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh
dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan
silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan
langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi
untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya.
Hawa dalam
ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar sebab dikelilingi
jendela beruji besi. Lantainya juga sangat bersih dan tidak licin. Pendek kata,
lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali.
Ketika
mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang
sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong!
Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu serta
seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang
tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika mereka
melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan
alis berkerut.
Akan tetapi
dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui cepat melepaskan mantelnya yang
terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada salah seorang di
antara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya lagi dengan tembakau dari
sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera
hartawan itu kelihatan mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian
Sin.
“Ceng-sicu,
aku sudah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw,
engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!”
“Ah, berita
itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe,” Thian Sin berkata merendah, sikap
yang memperlihatkan kecerdikannya. Sebelum dia tahu sampai di mana kehebatan
kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apa lagi dia
berada di dalam rumah datuk ini.
“Hemm, sama
sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah mampu mengalahkan tiga orang
muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari
Cin-ling-pai, sungguh luar biasa sekali. Semuda ini kabarnya telah memiliki
Thi-khi I-beng, benarkah itu?”
“Locianpwe
terlalu memuji,” kata Thian Sin.
“Ha-ha-ha,
oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu,
apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku
saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita
bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap
engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu.” Setelah
berkata begitu, kakek itu melangkah ke tengah ruangan lian-bu-thia,
menggapaikan tangan ke arah muridnya yang tadi mengisi huncwe.
Sang murid
cepat mengantarkan huncwe gurunya, kemudian dengan penuh hormat lalu menyalakan
geretan api dan membakar tembakau pada ujung huncwe sehingga tak lama kemudian
nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum.
Pak-san-kui
mengepulkan asap dari hidungnya, kemudian mengangguk kepada Thian Sin. “Ceng
Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!”
Thian Sin
segera melangkah maju dan tetap bersikap waspada. Memang dia ingin sekali
mencoba sampai di mana kelihaian orang tua ini, seorang di antara para datuk.
Kalau dia sanggup menandinginya, maka dia tentu akan membunuh datuk ini untuk
membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai
dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu
menjura dan berkata,
“Aku yang
muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!”
“Baik-baik,
kau siaplah, orang muda!”
Mendadak
kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah
kepala Thian Sin. Biar pun tangan itu nampaknya hanya menyambar perlahan saja,
akan tetapi ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya.
Thian Sin
menggeser kaki ke belakang untuk mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat
membalas serangan sembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya
hingga lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari
dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat!
Tentu saja
dia terkejut bukan kepalang, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan
tetapi bagaimana tangannya masih terus dapat mengejarnya? Pada saat dia
menendang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek
itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa! Itulah
ilmu yang sangat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya.
Karena itu,
sambil mengelak tadi dia pun sudah membalas dengan tamparannya, dengan
mempergunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara
bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa
dia sedang menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah mempergunakan semua
tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini.
Agaknya kakek
ini sudah menduga akan tamparan ini. Maka dia pun sengaja menangkis dengan
lengan kirinya yang sudah ditarik kembali, tentu saja sambil mengerahkan tenaga
karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main.
“Dukkk…!”
Keduanya
tergetar dan terpaksa mundur selangkah. Kakek itu memandang kagum sekali.
“Itukah
Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!” katanya memuji sambil tersenyum.
Sudah lama
dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu
yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira
bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka dia pun lantas mainkan Ilmu
Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai.
Menghadapi
desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apa lagi kalau pada setiap pukulannya
mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan
kini dia pun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan
lagi-lagi tangan kirinya yang dapat terulur panjang itu secara lemas membalas
dengan serangan yang tak terduga-duga.
“Ha-ha-ha...
Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!”
Thian Sin
merasa penasaran. Ilmu silatnya telah dapat dikenal orang, maka dia pun lalu
menggantinya dengan gerakan dari ilmu silat yang baru saja dipalajarinya dari
Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya
seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan
penjuru. Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang
cepatnya bukan kepalang.
“Ehh, ehh,
apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa…” Kakek itu menebak-nebak heran.
Akan tetapi
harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin mampu
dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh,
bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan. Akan tetapi, Thian Sin
juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena
sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang.
Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata
maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe
itu.
Dan
dugaannya memang tepat sekali. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong
Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin
cepat-cepat mengelak, akan tetapi pada saat huncwe itu lewat di atas kepalanya,
tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya. Api itu keluar dari tempat
tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya!
Tentu saja
Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dengan kecepatan kilat dia
melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang sudah
menampar punggungnya! Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran
api sehingga tubuh yang sedang dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak
lagi, bahkan untuk menangkis pun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya.
“Plakkk!”
Thian Sin
melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itu pun berseru heran
ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti
karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sinkang yang amat
kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin
kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan oleh dunia
kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka.
Thian Sin
merasa penasaran sekali. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia
sudah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju
dan kembali menyerang dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai
memainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini, kakek itu pun
sudah berseru kagum.
“Wah, inilah
Thai-kek Sin-kun! Bukan main!” Dan dia pun mencoba untuk membobolkan benteng
pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba
untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur
itu.
Akan tetapi,
pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke mana pun juga huncwe dan tangan
kiri itu menyerang, dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat
atau pun dengan elakan yang indah. Sepasang lengannya berani menangkis huncwe
itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang.
Beberapa
kali kakek itu memuji. Biar pun dia sudah mengerahkan tenaganya, akan tetapi
belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya memainkan
huncwenya, melainkan huncwenya itu lebih banyak hanya digunakan untuk
menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena
dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda
itu juga bertangan kosong.
Memang hal
ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan
huncwenya, dia memandang silau akibat hamburan api yang muncrat ke sana-sini,
dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan apa bila kakek itu mau,
agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tak mampu mempertahankan dirinya. Akan
tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan
tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu.
Sesudah
lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh.
Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata.
Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini, namun
kembali dia kecurian!
Lengan kiri
kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke
punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini sangat berbahaya, maka
pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi I-beng.
“Plakkk!”
“Aughhhh…!”
Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, kemudian disambungnya, “Wah, ini Thi-khi
I-beng, ya?” Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian
Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi I-beng membuyar dan kakek itu pun sudah
berhasil menarik kembali tangan kirinya! Ternyata kakek itu mampu memunahkan
Thi-khi I-beng dengan bantuan api huncwenya!
“Ha-ha,
hebat sekali kau, Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang
hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Lekas
keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan
senjata!”
Kembali
Thian Sin terkejut. Bukan saja kakek ini dapat memunahkan Thi-khi I-beng, akan
tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa
artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi I-beng dan
Thai-kek Sin-kun saja tidak sanggup mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu
agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh!
Mengertilah
Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa
penasaran di dalam hatinya lantas dia berkata dengan suara ramah dan merendah,
“Saya datang bukan dengan maksud hendak memusuhi locianpwe, mengapa saya harus
mempergunakan pedang?”
Kakek itu
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku
sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau
mengamuk di kota Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan
aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!”
“Ayah,
agaknya dia takut kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri,
ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin.
Thian Sin
sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan serta kebencian, akan
tetapi ternyata dia masih belum kuat. Maka mendengar ejekan ini, tangan
kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut.
Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa.
“Ha-ha-ha-ha,
ternyata pedang seorang wanita! Ehh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang
tanda mata dari seorang kekasihmu?”
“Harap
locianpwe jangan menghina!” Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki
kakek itu. “Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!”
Dia pun
segera menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang
khusus, maka dia pun lalu memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau
dimainkan dengan pedang bisa menjadi Thai-kek Sin-kiam. Gerakannya cukup hebat
sehingga begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak.
“Hemm!”
Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu
huncwe bergerak, maka terkejutlah Thian Sin.
Sudah
diduganya tadi bahwa memang senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu,
akan tetapi tidak pernah disangkanya huncwe itu demikian hebat. Baru belasan
gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu
merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar
diikuti.
Ia
mempertahankan diri dengan terus memutar pedang melindungi tubuhnya, akan
tetapi tiba-tiba saja, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras
sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya,
kemudian huncwe itu tahu-tahu telah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti
hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan
baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa.
“Orang muda
she Ceng, jangan kau terlampau pelit! Yang sejak tadi kau keluarkan adalah
ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Kenapa engkau tak mengeluarkan ilmu peninggalan
dari ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa
Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat
jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kau keluarkanlah ilmu itu dan kita
bertanding sungguh-sungguh!”
Thian Sin
kaget bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu.
“Sayang, aku baru saja pergi meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat
mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, bila mana aku sudah melatih
ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe.”
“Ha-ha-ha,
siapa mau kau bohongi? Kalau engkau kudesak, tentu engkau terpaksa akan
mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!” Sesudah berkata begitu, kembali
huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat.
Thian Sin
lalu memutar pedang melindungi dirinya dan berusaha melawan sekuat tenaga. Akan
tetapi dia hanya mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja dan tiba-tiba
kembali terdengar suara keras. Sekarang huncwe atau gulungan sinar api itu
berputar-putar hingga pedangnya seperti ‘terlibat’ dan ikut berputar, kemudian,
tiba-tiba saja pedangnya terlepas dan huncwe itu menyambar.
Dia mengelak
untuk disambut tangan kiri dan dia cepat mengerahkan Thi-khi I-beng, akan
tetapi punggungnya terasa panas dan Thi-khi I-beng itu membuyar, lalu dia
menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi punggungnya yang
dicengkeram oleh tangan kiri lawan.
Akan tetapi,
jari-jari tangan itu meremas dan memutar sedemikian rupa sehingga semua ototnya
terkena remasan, kemudian tiba-tiba saja Thian Sin roboh dengan lemas. Kakek
itu tertawa dan dengan marah Thian Sin berusaha untuk bangun, akan tetapi
setiap kali dia menggerakkan tubuhnya, dia menahan rasa nyeri yang amat sangat
di punggungnya dan roboh lagi.
Punggungnya
itu seakan-akan patah tulangnya. Dengan punggung seperti itu, maka tentu saja
dia tak mampu lagi menggerakkan tangan kakinya karena setiap gerakan kaki
tangan sudah tentu mengandalkan kekuatan dari punggung.
“Ayah,
kenapa orang ini tidak dibunuh saja?” Tiba-tiba Siangkoan Wi Hong berkata
sambil meloncat maju dengan yang-kim yang berbahaya itu di tangannya.
Thian Sin
maklum bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah tidak berdaya menghindar dan
nyawanya akan melayang. Akan tetapi dia kini rebah terlentang dengan sinar mata
terbelalak penuh keberanian, seolah-olah dengan sinar matanya itu dia menantang
maut!
“Ha-ha-ha-ha,
jangan dibunuh. Aku telah berjanji bahwa dia masuk ke sini dalam keadaan hidup,
maka keluarnya dari sini pun dalam keadaan hidup. Akan tetapi hidup yang bagai
mana? Ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana wajah Pangeran Ceng Han Houw,
jagoan nomor satu itu bila dapat melihat puteranya yang tampan gagah berubah
menjadi seorang manusia tapa daksa yang tidak berguna sama sekali.”
Thian Sin
merasa ngeri juga membayangkan ancaman ini. Tentu kakek itu akan membuat
dirinya sebagai seorang manusia dengan cacad yang membuat dia selama hidupnya
tidak berguna. Itu lebih hebat dari pada kalau dia dibunuh! Maka dia pun cepat
menggunakan akal.
“Pak-san-kui,
kalau ayahku masih hidup, atau kalau aku sudah mempelajari ilmu-ilmu dari
ayahku, aku yakin engkau tidak akan berani bersikap seperti ini!”
Pak-san-kui
memandang padanya kemudian mengangguk-angguk. “Mungkin sekali, akan tetapi
sayang, ayahmu telah tidak ada lagi dan engkau ternyata hanya merupakan murid
Cin-ling-pai yang amat baik, sama sekali tidak mewarisi kepandaian ayahmu. Dan
engkau sudah membuat Phoa-taijin menjadi manusia yang hidup tidak mati pun
tidak, maka aku pun hendak membikin engkau seperti dia.”
“Orang macam
Phoa-taijin itu tidak dibunuh pun masih untung! Apa gunanya orang seperti dia yang
demikian ceroboh? Menggunakan perampok-perampok tolol untuk menjalankan siasat,
kemudian membasmi keluarga Ciu. Tahukah locianpwe siapa Ciu Khai Sun? Dia tokoh
besar Siauw-lim-pai dan apa artinya itu? Artinya bahwa gerakan sekutu locianpwe
itu akan mendapat tentangan yang besar dan kuat. Jika Phoa-taijin cerdik, tentu
dia akan mempergunakan orang-orang yang lebih lihai agar usaha merampok itu
berhasil baik, dan juga tidak nanti membunuh orang Siauw-lim-pai! Locianpwe,
aku adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, karena itu aku telahmembunuh sebanyak
mungkin pasukan pemerintah. Apa kenyataan ini masih belum cukup membuka mata
bahwa aku adalah seorang sekutu locianpwe yang cukup baik, bahkan jauh lebih
baik dari pada orang she Phoa yang tolol itu?”
Kakek itu
mendengarkan dengan alis berkerut, akan tetapi wajahnya mulai berubah dan sinar
matanya berseri. “Dan andai kata benar omonganmu, dan aku menjadikan engkau
sekutu, lalu apa gunanya engkau bagiku?”
“Locianpwe,
mendiang ayahku itu adalah seorang jagoan nomor satu di dunia. Locianpwe tentu
sudah mendengar pula akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, ilmu-ilmu hebat dan
mukjijat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan ilmu dengan
berjungkir balik yang disebut Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Balikkan Bumi).”
Wajah kakek
itu makin berseri dan dia pun mengangguk. “Hanya dongeng saja! Buktinya, putera
tunggalnya pun tidak mampu memainkan kedua ilmu itu!”
“Sudah
kukatakan bahwa karena selama ini aku tinggal di Lembah Naga dan mempelajari
ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka aku tak sempat mempelajarinya. Akan tetapi kalau
locianpwe berminat, bebaskanlah dulu aku kemudian kita dapat bicara.”
“Ayah,
hati-hati terhadap anak ini, dia pandai bicara pula,” kata Siangkoan Wi Hong.
Akan tetapi
kakek yang haus akan kepandaian silat yang hebat itu tak peduli, dan dia pun
sudah menggerakkan tangan, menotok ke beberapa bagian punggung Thian Sin.
Pemuda ini dapat bergerak kembali lalu bangkit berdiri dan menjura.
“Locianpwe
telah mengambil keputusan yang amat tepat dan akan menguntungkan kedua fihak.”
“Ceng Thian
Sin, hal ini jelas keuntungan bagi fihakmu, akan tetapi aku tidak melihat apa
keuntungannya bagi ayah!” kata Siangkoan Wi Hong.
“Siangkoan-toako,
engkau tahu bahwa aku bukan seorang laki-laki yang suka berbohong. Aku tidak
takut mati, tadi aku hanya menawarkan kerja sama yang baik dan akan dapat
menguntungkan bagi kedua fihak. Aku mempunyai kitab-kitab ayahku itu dan
kutawarkan kepada Siangkoan locianpwe.”
“Di mana
kitab-kitab itu?” tanya Pak-san-kui dengan girang.
“Nanti dulu,
locianpwe. Locianpwe tentu akan dapat mempelajari ilmu-ilmu ayahku itu, hal ini
kutanggung dengan taruhan nyawa. Akan tetapi apakah imbalannya? Seorang gagah
bukan memberi ilmu dengan cuma-cuma, namun tidak menerima ilmu secara cuma-cuma
pula.”
“Hemm, apa
yang kau kehendaki? Aku sudah membebaskanmu!”
“Ah, itu
bukan imbalan namanya. Di antara kita tidak ada permusuhan, bahkan mengingat
akan keadaanku yang tentu dianggap pemberontak oleh pemerintah, kita ini
mempunyai persamaan, bukan? Biar pun locianpwe bekerja di dalam selimut dan aku
di luar selimut.”
“Ha-ha-ha-ha,
engkau memang cerdik. Nah, apa yang kau minta sebagai penukar semua ilmu-ilmu
peninggalan Pangeran Ceng Han Houw?”
“Locianpwe,
di antara ilmu-ilmu locianpwe, yang amat menarik dan mengagumkan hatiku adalah
ilmu huncwe dari locianpwe tadi. Maka, aku mau menukar kedua ilmu peninggalan
ayahku dengan ilmu huncwe dari locianpwe.”
“Ha-ha-ha,
engkau memang cerdik bukan main! Selama hidupku belum pernah ada orang yang
mampu menandingi ilmu huncweku ini, dan sekarang engkau ingin mempelajarinya.
Ha-ha-ha, baiklah, kita tukar dua ilmu itu!”
“Ayah…!”
Siangkoan Wi Hong berseru kaget.
Sebagai
putera datuk itu, dia sendiri belum diberi pelajaran ilmu itu yang menurut
ayahnya tidaklah mudah dan di samping harus memiliki bakat yang amat baik, juga
membutuhkan waktu yang amat lama sekali dan selain itu harus menjadi ahli
menghisap asap tembakau pula! Padahal Siangkoan Wi Hong tidak suka menghisap
pipa tembakau, oleh karena itu selama ini dia belum pernah mempelajari ilmu
simpanan ayahnya itu.
“Aku sudah
berjanji!” Ayahnya memotong. “Dan kita masing-masing mempelajari ilmu-ilmu itu
selama enam bulan. Setujukah engkau, Ceng Thian Sin?”
“Baik,
locianpwe. Enam bulan sudah cukup bagiku!” Pemuda itu kemudian menanggalkan
jubahnya, tidak melihat betapa Siangkoan Wi Hong tersenyum-senyum karena pemuda
ini sudah dapat menangkap siasat ayahnya.
Menurut
ayahnya, untuk dapat mempelajari ilmu huncwe itu secara sempurna, orang yang
berbakat baik sekali pun membutuhkan waktu paling sedikit tiga tahun! Dan kini
ayahnya berjanji akan mengajarkan ilmu itu selama setengah tahun saja. Mana
mungkin Thian Sin akan dapat menguasainya dalam waktu setengah tahun?
Sebaliknya,
ayahnya adalah seorang yang bakatnya luar biasa sekali dalam hal ilmu silat.
Ilmu silat apa pun, sesudah dilatihnya dua tiga kali saja tentu sudah dapat
ditangkap inti sarinya dan dapat dikuasainya! Sekali ini Thian Sin kena batunya
dan berjumpa dengan seorang datuk yang selain lihai juga amat cerdik.
Akan tetapi,
ayah dan anak ini sama sekali tidak menduga bahwa Thian Sin mempunyai
kecerdikan yang akan mengejutkan mereka. Walau pun selama ini, sejak kecilnya,
Thian Sin dididik oleh orang-orang yang mengutamakan kebajikan dan menjauhi kepalsuan
dan kejahatan, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan yang luar
biasa dan jika dia menghendaki, maka dia mampu menciptakan siasat dan muslihat
yang amat cerdik.
Dia menerima
janji enam bulan itu dengan hati gembira, karena dia merasa yakin bahwa
kitab-kitab peninggalan ayahnya itu tidak akan dapat dipelajari oleh siapa pun
kecuali oleh dia yang tahu akan kuncinya. Bahkan, makin lama dipelajari orang
begitu saja, orang itu akan tersesat semakin jauh.
Sedangkan
bagi dia, sama sekali dia tak ingin belajar mainkan huncwe itu, melainkan dia
ingin mengenal inti gerakannya, mengenal kekuatannya dan juga bagian-bagiannya
yang lemah sehingga dia akan lebih mampu menghadapinya kelak!
Thian Sin
kini merobek pinggiran jubahnya, dan ternyata dua buah kitab tipis digulungnya
lantas disembunyikannya di dalam atau di balik jahitan jubah itu, di antara dua
kain jubah yang dirangkapkan.
“Nah, inilah
kitab-kitab peninggalan ayahku, locianpwe. Mulai hari ini juga locianpwe boleh
mempelajarinya bersama aku, sebab aku sendiri juga belum sempat mempelajarinya,
dan di samping itu harap locianpwe mulai memberi petunjuk kepadaku mengenai
ilmu huncwe itu.”
Sambil
membuka-buka dua buah kitab penuh tulisan tangan disertai lukisan tangan dari
mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang cukup jelas itu, wajah Pak-san-kui
berseri-seri kemudian mengangguk-angguk. “Tentu saja, anak yang baik, aku akan
mengajarkan ilmu huncwe kepadamu.”
Dia merasa
gembira sekali karena sedikit keraguannya bahwa kitab itu palsu lenyap oleh
pernyataan Thian Sin yang hendak mempelajarinya juga bersamanya. Agaknya pemuda
yang gagah perkasa ini teramat jujur, suatu sifat yang amat buruk dan lemah
dari kaum pendekar, jauh berbeda dengan mereka dari golongan hitam yang selalu
mengutamakan kecerdikan!
Demikianlah,
mulai hari itu, Thian Sin diterima di dalam gedung besar indah itu sebagai
seorang tamu. Bahkan Siangkoan Wi Hong yang tadinya menaruh curiga, setelah
melihat betapa penukaran ilmu itu sungguh sama sekali tak merugikan ayahnya
bahkan memberi keuntungan, sekarang kembali tertarik lagi kepada Thian Sin dan
menganggap pemuda itu sebagai seorang sahabat baik.
Malah dia
sering mengajak Thian Sin berlatih untuk memperdalam ilmu silatnya, karena dia
tahu bahwa pemuda itu memang pandai bukan main. Ayahnya sendiri dengan terus
terang mengatakan bahwa andai kata ayahnya tidak memiliki ilmu huncwe yang
lihai itu, kiranya akan sukar untuk mengalahkan pemuda ini!
Setiap hari
Pak-san-kui dan Thian Sin mempelajari ilmu-ilmu dari kitab peninggalan Ceng Han
Houw. Mula-mula Ilmu Hok-liong Sin-ciang, ilmu ini adalah ilmu silat yang
gerakannya aneh sekali, dan dengan lahapnya, Pak-san-kui menghafalkan
jurus-jurus ilmu silat ini yang hanya terdiri dari delapan belas jurus saja,
akan tetapi di dalam delapan belas jurus ini terkandung bermacam gerakan yang
amat lihai kalau dipakai menyerang.
Dalam ilmu
Hok-liong Sin-ciang ini, yang dirahasiakan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan
hanya diketahui kuncinya oleh Thian Sin adalah bagian yang melindungi tubuh
pada waktu menyerang. Memang serangan itu sama kuat dan lihainya, hanya
bedanya, ilmu yang asli memiliki bagian yang melindungi tubuh sendiri di waktu
menyerang, dan karena bagian bertahan ini dirahasiakan, maka yang dipelajari
oleh Pak-san-kui hanyalah bagian untuk menyerang saja dan tanpa disadarinya,
tentu saja selagi melakukan serangan ini maka akan ada bagian tubuh yang
terbuka dan tidak terlindung.
Saking
girangnya melihat betapa hebatnya jurus serangan itu, Pak-san-kui tak menyadari
bahwa dalam serangan itu mengandung kelemahan yang hebat pula! Hanya dalam
waktu satu bulan saja dia sudah mampu menghafal delapan belas jurus itu dan
merasa sudah sempurna, tinggal melatihnya saja.
Juga Thian
Sin memiliki bakat yang sama besarnya dengan Pak-san-kui, bahkan dia tidak
kalah cerdiknya. Secara diam-diam dia menggunakan kunci latihan itu sehingga
dia dapat melakukan gerakan yang lebih sempurna, karena mencakup segi
perlindungan diri pula.
Perbedaannya
terletak pada letak kaki atau tangan di waktu menyerang. Sebagai contoh, pada
jurus ke empat kaki kanan menerjang dari samping dengan menyilang. Pada waktu
menendang ini, menurut kitab itu lengan kiri harus diangkat sebagai
keseimbangan tubuh, padahal menurut kuncinya, yang diangkat adalah lengan kanan
sehingga lengan kiri dapat diturunkan dan menjaga selangkangan yang terbuka dan
pada detik tendangan dilakukan tentu saja terbuka dan tidak terlindung.
Akan tetapi
pada waktu dia melakukan latihan di depan Pak-san-kui, tentu saja Thian Sin
tidak memperlihatkan hal ini. Dan kalau Pak-san-kui kelihatan sangat girang
karena sudah menguasai semua jurus, Thian Sin sengaja memperlihatkan bahwa dia
belum menguasai sepenuhnya dan di sinilah letak kecerdikan pemuda itu!
Pada bulan
ke dua, karena dia sendiri merasa sudah bisa menguasai Hok-liong Sin-ciang,
Pak-san-kui lalu mengajak Thian Sin untuk mulai dengan pelajaran dari kitab ke
dua, yaitu ilmu Hok-te Sin-kun! Ilmu ini jauh lebih rumit karena mengandung
ilmu bersemedhi yang aneh, yaitu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!
Thian Sin menurut saja, biar pun dia sendiri belum dapat melatih ilmu Hok-liong
Sin-ciang dengan baik.
Maka, pada
bulan ke dua, mulailah mereka berdua melatih diri dengan siulian menurut kitab
pelajaran Hok-te Sin-kun, yaitu jungkir balik. Dan sementara itu, hampir setiap
hari Pak-san-kui mengajarkan ilmu silat huncwe itu, karena memang maksudnya
bukan ingin mempelajari bagaimana untuk dapat memainkan ilmu silat itu,
melainkan hendak mencari kelemahan-kelemahannya.
Kakek itu
adalah seorang datuk, tentu saja dia pun tidak mau menyembunyikan ilmunya,
bahkan dia bermain silat huncwe secepatnya sehingga akan sulitlah bagi Thian
Sin untuk mempelajarinya. Dan pemuda ini memang dapat melihat alangkah hebat
dan tangguhnya ilmu silat ini, di samping gerakan-gerakannya yang aneh. Akan
tetapi dia pun mulai dapat melihat bahwa pada dasarnya, ilmu silat itu adalah
ilmu silat pedang yang hebat.
Huncwe yang
panjangnya sampai tiga kaki itu digerakkan seperti pedang saja, jadi pada hakekatnya
tidak berbeda dengan ilmu silat yang-kim yang dimainkan oleh Siangkoan Wi Hong.
Ilmu silat yang-kim itu pada dasarnya juga ilmu pedang yang disesuaikan dengan
yang-kim.
Ilmu huncwe
ini pun merupakan ilmu pedang yang disesuaikan dengan huncwe sehingga tusukan
pedang menjadi totokan huncwe. Hanya hebatnya, masih ditambah lagi dengan
penggunaan panasnya huncwe serta api yang keluar dari mulut huncwe, juga asap
yang dapat dipergunakan untuk menyerang lawan.
Kunci-kunci
yang terdapat dalam ilmu Hok-te Sin-kun ini lebih hebat lagi. Memang kalau
dilihat begitu saja, cara Thian Sin bersemedhi tidak ada bedanya dengan yang
dilakukan oleh Pak-san-kui dalam melakukan latihan menurut kitab itu. Akan
tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang amat besar.
Berjungkir-balik
dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, dengan punggung tegak lurus,
merupakan kedudukan tubuh yang baik sekali untuk membantu gerakan perjalanan
darah ke dalam otak dan juga untuk ‘menurunkan’ hawa murni dari bawah pusar ke
otak melalui punggung. Akan tetapi, perjalanan darah ini harus berjalan dengan
wajar, dibantu dengan pernapasan yang panjang dan tanpa paksaan sama sekali,
dengan pikiran yang kosong dan membiarkan hawa yang panas dari pusar itu
perlahan-lahan menjalar turun sampai ke ubun-ubun kepala.
Akan tetapi,
apa bila demikian adanya pelajaran yang sesungguhnya, yang kuncinya telah
dipegang oleh Thian Sin, kalau menurut kitab yang menyesatkan itu, si pelatih
diharuskan menekan tenaga dari tiantan itu turun dan menembus jalan darah
secara paksa.
Mula-mula
Pak-san-kui memang merasa girang sekali karena setelah berlatih seperti itu,
dia merasa betapa hawa sakti itu dapat digerakkannya jauh lebih mudah dari pada
kalau dia bersemedhi sambil duduk bersila. Akan tetapi, setelah dia berlatih
selama seminggu, dia merasa kepalanya agak pening dan sesudah berlatih, maka
pandang matanya selalu berkunang-kunang. Sedangkan pada Thian Sin, tidak nampak
tanda apa-apa. Akan tetapi dia menghibur diri dan menganggap bahwa ini adalah
tanda bahwa latihannya berhasil!
Lalu dia pun
mulai berlatih dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun itu, yaitu bersilat dengan
kepala di bawah, menggunakan kedua kaki sebagai penyerang utama dan kedua
tangan sebagai penyerang pembantu. Dan karena memang kakek ini sudah memiliki
dasar ilmu silat yang tinggi, maka gerakan-gerakan itu tidaklah sukar baginya.
Sebaliknya,
dengan diam-diam Thian Sin juga mempelajari ilmu silat ini menurut catatan yang
sebetulnya, yaitu menurut petunjuk dalam kitab yang telah diubahnya menurut
kunci yang sudah dipelajarinya sejak kecil sehingga dia mulai merasakan
hasilnya. Tubuhnya menjadi semakin ringan, tenaga sinkang di tubuhnya terasa
mengalir dengan cepat dan sangat kuat di seluruh tubuhnya, akan tetapi hal ini
tidak dia nyatakan sehingga kakek itu sendiri pun tidak mengetahuinya.
Sesudah
lewat empat bulan, hampir lima bulan. Thian Sin sudah merasa yakin bahwa dia
telah mempelajari dengan teliti dan melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu silat
huncwe dari Pak-san-kui. Sekarang dia menganggap bahwa sudah tiba waktunya bagi
dia untuk memperlihatkan diri dengan sesungguhnya dan mengalahkan kakek itu!
Dia sudah tinggal cukup lama di situ dan sudah mendapat tambahan ilmu dengan
mempelajari ilmu huncwe yang walau pun tak dapat dikuasainya sepenuhnya akan
tetapi telah dipelajarinya gerak-geraknya dan kelemahan-kelemahannya itu.
Di samping
itu, dia pun telah mempelajari dua ilmu peninggalan ayahnya, biar pun belum
sempurna benar, akan tetapi jelas jauh lebih baik dibandingkan Pak-san-kui
sendiri yang memperoleh ilmu-ilmu itu dengan cara yang terbalik bahkan
tersesat!
Dan dia akan
memperlihatkan kemenangan atau keunggulannya itu kepada Siangkoan Wi Hong dan
Pak-thian Sam-liong! Maka dia memilih saat ketika putera beserta murid-murid
kepala Pak-san-kui itu pada suatu sore menonton latihan-latihan mereka dan
memang dia sudah mempersiapkan segala-galanya.
Pada saat
itu Pak-san-kui sedang bercakap-cakap dengan murid-murid kepalanya setelah
menerima laporan tentang segala tugas yang sudah dilakukan oleh murid kepala
ini yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kemudian Pak-san-kui memandang
kepadanya dan berkata,
“Thian Sin,
mari kita berlatih. Diam-diam telah hampir lima bulan engkau di sini dan mari
kau perilhatkan apa yang sudah kau peroleh selama ini!” Kakek itu tertawa dan
melirik ke arah puteranya.
Diam-diam
Thian Sin tergetar. Dalam lirikan itu dia seperti melihat sesuatu dan tentu ada
apa-apanya di balik ajakan berlatih ini! Apakah di dalam hati kakek itu juga
mengandung keinginan yang sama dengan keinginannya sendiri, yaitu hendak
menjatuhkannya dalam latihan itu?
“Baik,
locianpwe!” katanya dan dia mengangkat tempat air minumnya, kemudian minum
beberapa teguk air jernih itu, baru dia meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia
itu.
Pak-thian
Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong lalu mengatur tempat duduk, menyingkirkan meja
di pinggir dan mereka sendiri lalu duduk menonton karena mereka pun ingin
sekali mellhat apa yang selama ini dilatih oleh pemuda itu dan Pak-san-kui.
“Mari kita
lebih dahulu berlatih ilmu Hok-liong Sin-ciang!” kata kakek itu dengan gembira
sambil menyelipkan huncwenya di ikat pinggangnya.
Meski pun
tembakau di huncwenya masih belum padam, akan tetapi karena tidak dihisap maka
asapnya hanya tersisa sedikit saja. Dia telah siap dengan kuda-kuda dari Ilmu
Silat Hok-liong Sin-ciang menurut petunjuk di dalam kitab, wajahnya gembira
sekali karena dia yakin bahwa dalam ilmu silat baru ini dia tentu mampu
mengalahkan Thian Sin yang dia lihat gerakannya belum sempurna benar, masih
kaku.
Ia pun tahu
bahwa perhatian pemuda itu terhadap Hok-liong Sin-ciang harus dibagi untuk
mempelajari ilmu huncwe namun belum ada sepersepuluhnya dipelajari oleh pemuda
itu, bahkan boleh dibilang selama ini pemuda itu belum mempelajari apa-apa
kecuali hanya menonton saja dia bermain silat dengan huncwenya. Dan dia tidak
dapat dipersalahkan, tidak dapat dikatakan licik karena dia telah mainkan semua
jurus simpanannya yang ada dengan huncwenya, tentu saja terlalu cepat sehingga
tak mungkin dapat ditangkap semua oleh pemuda itu!
Thian Sin
hanya mengangguk dan dia pun cepat menyerang dengan jurus-jurus Hok-liong
Sin-ciang yang sudah dilatihnya bersama dengan kakek itu. Pak-san-kui mengelak
lantas membalas serangan itu dengan gerakan yang sama anehnya, bahkan dari dua
tangannya keluar hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan saking
kerasnya. Namun, Thian Sin dapat menangkis dan balas menyerang.
Mereka
saling serang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang itu, dan keduanya ternyata
sama tangguhnya. Akan tetapi, Thian Sin segera dapat melihat lowongan-lowongan
pada setiap kali kakek itu menyerang. Ia melihat betapa kedudukan kaki atau
tangan kakek itu terbalik, maka saat ia melihat kakek itu menggunakan jurus ke
sebelas untuk menyerang kepalanya, dengan pukulan tangan kiri dari samping
dibarengi pukulan tangan kanan dari atas, padahal seharusnya dari bawah, dia
segera melihat lowongan dan sambil mengelak, kakinya menyambar ke arah lambung
yang ‘terbuka’.
“Plakk!
Plakk!”
“Aihhhhh…!”
Pak-san-kui
terhuyung ke belakang, dan biar pun dia tadi dalam gugupnya masih mampu
menangkis, tetapi kedudukannya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang.
Wajah kakek itu menjadi merah karena jelas nampak oleh siapa pun juga bahwa
dalam hal ilmu baru itu dia kalah oleh pemuda ini!
“Hyaaaaattt…!”
Tiba-tiba dia sudah berjungkir balik dan mainkan ilmu kedua, yaitu Hok-te
Sin-kun.
Tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun Thian Sin juga menggerakkan tubuhnya berjungkir
balik dan mainkan Hok-te Sin-kun. Kini terjadilah pertandingan yang membuat
Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong menjadi bengong dan
terheran-heran bercampur kagum.
Dua orang
itu telah saling serang mempergunakan sepasang kaki yang dibantu sepasang
tangan. Sambaran kaki mereka itu mendatangkan angin yang sangat dahsyat! Itu
adalah ilmu yang amat hebat.
Mereka semua
tidak tahu betapa wajah kakek itu menjadi pucat, sedangkan wajah Thian Sin
merah dan nampak berseri-seri, sepasang matanya nampak mencorong. Ini tandanya
bahwa tenaga yang digunakan oleh Pak-san-kui adalah tenaga yang terbalik dan salah!
Setelah saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba kedua kaki mereka beradu.
“Desss…!”
Dan
akibatnya tubuh Pak-san-kui terdorong dan tentu dia sudah jatuh terbanting
kalau dia tidak cepat meloncat bangun. Mukanya pucat sekali dan dia menyeringai
karena merasa betapa kepalanya berdenyut pening. Itulah akibatnya karena dia
terlalu banyak memakai tenaga terbalik yang akhirnya memukul dirinya sendiri
itu!
Sebagai
seorang ahil silat kelas tinggi, seketika maklumlah kakek ini bahwa selama ini
dia tertipu! Bila tidak tertipu, tidak mungkin dalam kedua ilmu itu dia kalah
oleh Thian Sin! Pula, pertemuan kaki tadi memberi tahu padanya bahwa dia sudah
salah menggunakan tenaga, padahal semua itu menurut petunjuk kitab. Tahulah dia
bahwa dia sudah tertipu, maka dengan marah dia lantas berkata,
“Thian Sin,
sekarang ini mari kita lihat kemajuanmu mempelajari ilmu huncwe!” Sesudah
berkata demikian, dia sudah maju menyerang dengan huncwenya!...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment