Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Sadis
Jilid 11
TERNYATA
sepagi itu Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan rumahnya sambil
memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah
seperti biasanya. Dan hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik
yang-kimnya itu.
Agaknya
yang-kimnya ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya
demikianlah. Yang-kim ini menjadi senjata yang sangat diandalkan di samping
merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat
munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan
wajah gembira.
“Ah, selamat
pagi, selamat pagi! Girang sekali hatiku mendapat kunjungan kalian berdua!
Silakan duduk… ehh, tidak, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil
menikmati bunga-bunga indah.”
Dengan
ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman
bunga di sebelah kiri gedungnya lantas mengajak mereka duduk di pondok kecil
terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam
taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda
berdatangan membawa minuman.
Siangkoan Wi
Hong memesan supaya dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar
dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong
tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata,
“Katakan
kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang bersama dua orang
kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!”
Dua orang
pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah
sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat
yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan
karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak menyangka
sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk
melayani mereka!
Han Tiong
dan Thian Sin menjadi sungkan serta malu-malu ketika para pelayan datang dan
membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam. Sungguh luar biasa
royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali
bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah dari pada makan siang atau makan
malam!
Dan kedua
orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tidak lama kemudian datang
tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi
yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walau pun harus
mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar,
melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati!
Diam-diam
Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran kenapa ada tiga orang dara muda
seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa
sekali. Akan tetapi alisnya lalu berkerut ketika Siangkoan Wi Hong
memperkenalkan mereka sebagai ‘bunga’ pilihan dari Rumah Bunga Seruni!
Biar pun dia
sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang
pernah dibacanya, maka Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga
orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi, seperti juga halnya
pelacur yang dulu pernah menemani kongcu ini di rumah makan.
Maka, Han
Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan
Thlan Sin juga nampak ‘alim’, padahal di dalam hatinya dia merasa gembira
sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!
Melihat
betapa kikuk sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi
Hong bersikap bijaksana. Dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya
membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tak lagi
membolehkan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.
“Siangkoan-loheng,
bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi saat engkau
dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?” Thian Sin tidak mampu menahan
hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini.
Kakaknya
menganggap pemuda ini curang, kejam dan juga jahat, akan tetapi dia sendiri merasa
tertarik dan menganggap pemuda ini sangat gagah perkasa, selain juga ramah
menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong
sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan
itu mau mengakui semua perbuatannya.
Mendengar
pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak
lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa
lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya
membayangkan kembali peristiwa yang lucu.
“Ha-ha-ha,
aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha-ha, puas
benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi
hajaran keras. Kalian tahu apa yang sudah kulakukan? Aku telah memeras lima
puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!”
Thian Sin
saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak sinar
kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, “Lihat, bukankah dia ini gagah
dan jujur?”
“Aku memang
sengaja memukul anaknya serta tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang
mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar
dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh
tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!”
“Mengapa
loheng menganggap mereka busuk?” Thian Sin mendesak sambil memandang kagum.
“Tidakkah
busuk mereka itu? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang amat
sombong dan kasar, dan dia telah biasa bersikap sewenang-wenang kepada rakyat,
memaksa wanita dan sebagainya. Ada pun ayahnya… hemm, coba bayangkan, petugas
berpangkat kapten seperti dia sanggup membayarku lima puluh tail emas secara
tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahun pun
dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar,
pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai pemuda yang sewenang-wenang,
maka tidakkah pantas apa bila mereka itu dihajar?” Kembali Siangkoan Wi Hong tertawa
dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya
yang tampan.
“Akan
tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris saja
tiga orang itu terbunuh…,” Han Tiong berkata mencela halus.
Siangkoan Wi
Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar
kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. “Agaknya saudara Cia Han
Tiong tidak mengerti tentang jiwa pendekar! Lagi pula, andai kata tiga orang
itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni
kota raja?”
Han Tiong
menunduk dan tak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang
memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar
berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu lalu
memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata,
“Maaf jika
saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan
Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu.”
“Hemm…
Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan
suruh dia menanti di sana. Aku akan segera datang!” kata Siangkoan Wi Hong.
Akan tetapi
pada saat itu Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar
itu, oleh karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang
mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar!
Thian Sin
sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang
lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang
kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.
Han Tiong
kini memandang kepada tuan rumah, dengan suara tenang namun tegas dia lalu
berkata, “Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu
tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu.
Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?”
Tentu saja
mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli,
kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, “Memang benar, dia adalah pembantuku dan
gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku.”
“Apa? Apa
maksudmu dengan itu?” Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.
“Tidak ada
maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu
adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku amat kecewa
karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang
bijaksana dan sabar sekali, bukan…”
Melihat tuan
rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong segera menyambung, “Bukan dua orang
pendekar seperti yang kau sangka?”
Siangkoan Wi
Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia bangkit berdiri dan menjura,
“Maaf, sesudah melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku
menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu
maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Tetapi ternyata mereka gagal
dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka aku mohon maaf.
Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak
tahu apakah ji-wi ingin turut menonton adu pibu ataukah tidak?”
Han Tiong
tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu
betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiri pun diam-diam
amat tertarik dan ingin menyaksikan sebenarnya sampai di mana kehebatan tuan
rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu.
Maka dia pun mengangguk dan menjawab,
“Kalau kami
tidak mengganggu, kami ingin melihat.”
“Bagus! Mari
silakan ikut bersamaku!” pemuda itu berkata dengan sikap gembira karena betapa
pun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini.
Han Tiong dan
Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, lalu memasuki
gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas,
sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruang tempat berlatih silat yang mewah
sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan binatang-binatang yang gagah
seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap
mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu
silat.
Di sudut
ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan
belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti karung-karung pasir, batu-batu
besar untuk diangkat, dan sebagainya. Di sebelah kiri, di dekat dinding,
terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya
ketika melihat ketiga orang pemuda itu memasuki ruangan.
Han Tiong
dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam
puluh tahun, sebagian rambutnya telah putih, sinar matanya mengandung kecemasan
dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada
Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han
Tiong dan Thian Sin.
Dengan sikap
tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan kedua orang tamunya duduk di atas
bangku. Han Tiong dan Thian Sin lantas duduk dan hati mereka tertarik sekali
untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah
berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya
kakek itu berkata, “Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?”
Yang ditanya
hanya mengangguk, tetapi tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk.
“Silakan duduk, Lo-enghiong.”
Kakek itu
nampak tak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, dia
pun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiri pun lalu
duduk menghadapi kakek itu.
“Apakah
Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang
mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?”
Tiba-tiba
sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranya pun penuh dengan nada marah
ketika dia menjawab, “Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!”
Memang
Siangkoan Wi Hong agaknya telah maklum, maka jawaban itu sama sekali tidak
mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia lalu berkata. “Tentang Lee Si? Ada
apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak bertemu dengan dia.
Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghiong?”
“Siangkoan-kongcu,
harap kongcu tak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan
jawab kongcu atas diri cucu saya itu.”
“Pertanggungan
jawab yang bagaimanakah yang kau maksudkan, Lo-enghiong?”
Nampaknya
kakek itu semakin tidak sabar. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya
terdengar lantang. “Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun, namun
kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apa lagi kalau bukan minta
agar kongcu bersedia mengawininya?”
Han Tiong
dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tidak mereka sangka bahwa
kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong
dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat
sejahat itu, mencemarkan gadis orang!
Akan tetapi
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. “Hemm, aku
tidak pernah mencemarkan siapa pun…”
“Kongcu
masih hendak menyangkal? Cucuku sudah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai
sebagai laki-laki jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!”
Kakek itu membentak marah.
“Siapa yang
menyangkal?” Dia lantas menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya.
“Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee
Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama
suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak mana pun, telah memadu kasih.
Ehh, sekarang tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab!
Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah!
Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia…”
“Siangkoan-kongcu!
Aku adalah seorang tua, tak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tidak
berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang
untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah
hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?” Kakek itu bangkit berdiri.
Melihat
sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan kedua alisnya dan
senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah
muka kakek itu. “Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she
Siangkoan adalah seorang lelaki yang berani mempertanggung jawabkan
perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak
ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan mana pun yang akan dapat
memaksaku kawin dengan dia!”
“Siangkoan-kongcu!
Berani engkau menghina orang tua seperti aku dan hendak menodai nama
keluargaku?” Kakek itu membentak.
“Hemm,
apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk
kepadamu?”
“Siangkoan
Wi Hong! Jangan menyangka bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah
putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tak tahu
diri jika aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai
putera seorang locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan
kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh
dan dapat kau cemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab!
Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa memang aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan
Tiang locianpwe, namun untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk
mempertaruhkannya dengan nyawaku sekali pun! Apa bila engkau mau bertanggung
jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan
besar, akan tetap bila engkau tetap menolak, maka biarlah kutebus dengan
nyawaku!”
Siangkoan Wi
Hong tersenyum mengejek kemudian berkata, “Maksudmu, engkau hendak menantangku
mengadakan pibu?”
“Hanya ada
dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau seorang di antara kita akan
mencuci noda itu dengan darah.”
“Bagus
sekali, memang aku pun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu
sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!” Sesudah berkata demikian, sekali
bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang ke tengah ruangan itu, lantas dia
menggapai dengan sikap menantang sekali, “Mari, Kang-thouw-kwi!”
Kakek itu
memandang dengan muka merah dan mata mendelik, lalu dengan langkah lebar dia
pun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih
marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata,
“Kang-thouw-kwi,
kita akan bertanding sebagai dua orang sahabat atau sebagai musuh? Mengingat
akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan
biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat.”
“Tidak! Aku
tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai seorang lelaki
pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan sudah menodai
cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!”
Siangkoan Wi
Hong mejebikan bibirnya. “Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di
dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin
mati, majulah!”
Kakek itu
mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya,
gerakannya mantap dan kuat sekali pada waktu tubuhnya menerjang maju, tangan
kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke
arah kepala lawan.
Gerakannya
itu laksana gerakan seekor harimau buas yang mempergunakan kedua kaki depan
untuk mencengkeram. Dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan
tulang-tulang yang sangat kuat! Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong sudah dapat
mengelak dengan gerakan lincah.
Sementara
itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu
terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati
Thian Sin mulai berubah menjadi rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya,
sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya
pernah menjadi tawanan Pak-san-kui, sungguh pun menjadi tawanan yang kemudian
diperlakukan manis bagaikan tamu-tamu agung.
Pak-san-kui
adalah datuk kaum sesat dari wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah
putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar
jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, juga mendengar betapa
pemuda itu sudah mencemarkan gadis cucu kakek itu, maka Han Tiong mengerutkan
alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walau pun dia sendiri
tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.
Ada pun
Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang
dalam pandangannya kini nampak sebagai seorang pemuda yang sombong, angkuh dan
memandang rendah kepada orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan
hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa
pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu
angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap
Siangkoan Wi Hong.
“Heiiiiittttt…!”
Untuk ke
sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya pada
waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada
Siangkoan Wi Hong, karena itu semua serangannya itu adalah serangan maut yang
sangat dahsyat dan berbahaya.
Namun pemuda
itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan ginkang yang
lebih sempurna, dia selalu berhasil mengelak serta menghindarkan diri dari
setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah
hebatnya.
Akan tetapi,
kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat
mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan
pada kekebalan tubuhnya sehingga sungguh pun sudah tiga kali dia terkena
tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.
“Hemmm,
ternyata engkau masih dapat bertahan juga?” kata Siangkoan Wi Hong setelah
pertandingan itu berlangsung selama lima puluh jurus dan melihat betapa kakek
itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya.
Kini dia
mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk
seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk
dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan.
Menghadapi
serangan ini yang agaknya merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda
itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia harus terhuyung
setelah terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut,
akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung
saja.
Marahlah
Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi.
Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke
belakang, kemudian, bagai seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan
kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang
fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk!
Melihat ini,
Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini segera berdiri tegak, sengaja
memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap yang
angkuh sekali.
Dua orang
pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka
pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang
terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang
terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya,
tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan
terluka parah!
Akan tetapi
pemuda itu bukannya siap menyingkir atau pun menangkis, sebaliknya malah
memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Maka mereka
dapat menduga bahwa pemuda itu pun memiliki sinkang yang sangat kuat dan dengan
tenaga sinkang yang memenuhi perutnya, memang dapat juga dia menerima serudukan
itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan
paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau
tenaga sinkang-nya itu tidak jauh lebih kuat dari pada tenaga dorongan kepala
lawan, maka banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam
perutnya.
Kang-thouw-kwi
yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan dia pun melihat
posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia
mengerahkan sepenuh tenaganya karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam
serangan terakhir ini. Larinya semakin kencang dan sesudah jarak antara dia dan
lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lantas meloncat dan meluncur ke depan,
kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.
Akan tetapi
begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu
tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya
sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut
sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong telah bergerak
dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan yang tiba-tiba
menjadi lumpuh tergantung lemas!
Bukan main
kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seakan-akan memasuki
sebuah perapian yang panas sekali. Dia pun maklum akan kelihaian pemuda ini,
maka dia segera mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak
dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apa lagi sesudah sepasang lengannya
lumpuh tertotok itu.
Akan tetapi,
bagaimana pun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya bagaikan direbus
dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil. Dia maklum bahwa sekali
dia kehilangan kesadaran, maka dia akan tewas!
Han Tiong
dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan
mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini
nyawa kakek itu berada dalam bahaya, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu
dengan berdiri dan bertolak pinggang masih terus mengerahkan sinkang untuk
membunuh kakek itu, ada pun tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya
lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki
saja yang meronta sedikit.
Thian Sin
tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan sikap tenang dia lalu bangkit
dari bangkunya dan menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong
memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang
hendak dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.
“Kakek
bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di
depan putera Pak-san-kui?” Thian Sin berkata lirih sambil menggunakan tangan
kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.
“Plakk-plakk-plakk!”
Tiga kali
dia menepuk dan akibatnya hebat bukan main. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong
berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang
sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya. Kini dia berdiri
sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang barusan tergetar
hebat, matanya menatap wajah Thian Sin.
Ia tadi
merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke dalam perutnya melalui
kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa amat dingin sampai
menusuk jantung. Maka dia kaget sekali sehingga terpaksa melepaskan korbannya.
Begitu terlepas kakek itu lalu terguling, namun sekali Thian Sin menyambar
pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan!
Melihat
keadaan yang gawat ini, Han Tiong segera menghampiri adiknya dan dia sudah
menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong.
“Ah, Saudara
Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka
menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja.”
Siangkoan Wi
Hong masih terkejut sekali dan dia telah melupakan kakek itu, kini seluruh
perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan
hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, “Bukan aku yang mencari
perkara, melainkan dia.”
Han Tiong
lalu menghadapi kakek itu dan berkata, “Lo-enghiong, berlaku nekat bukanlah
sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa secara sia-sia bukan merupakan
obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu.”
Sekarang
kakek itu sudah terbuka matanya, sudah tahu bahwa dua orang muda itu telah
menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan kepalang.
Tepukan-tepukan di pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang
meluncur melalui tubuhnya kemudian sampai di kepalanya hingga membuat perut
yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan
orang-orang pandai, maka dia pun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian
Sin dan Han Tiong.
“Aku tua
bangka yang tidak ada gunanya memang seharusnya lebih keras mendidik cucu,
salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap.” Maka dia
pun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang
memandang tidak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda
itu. Sesudah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua
orang muda itu berganti-ganti.
“Hemm,
kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai
yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh.” Dia pun
menatap tajam kepada Han Tiong, kemudian berkata. “Dan bukankah Saudara Cia Han
Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah
beberapa tahun yang lalu?”
Han Tiong
tahu bahwa kini sudah tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri.
Maka dengan tenang dia pun berkata, “Dugaanmu memang benar, sobat. Aku
sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu.”
“Dan aku
adalah Ceng Thian Sin!” Thian Sin menyambung cepat.
“She Ceng…?”
Siangkoan Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak
dan bernyanyi itu.
“Benar!”
“Kalau
begitu… mendiang Ceng Han Houw…”
“Dia adalah
ayahku!”
“Ah, jadi
engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil
menghilang itu? Sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang
seperti kalian!” Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri
dan matanya bersinar-sinar.
Diam-diam
Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu benar-benar
lancang sekali mengenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan
memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi oleh pemerintah
itu sungguh sangat berbahaya. Maka dia cepat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.
“Saudara
Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah,
perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan.”
Akan tetapi,
pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan
cepat, “Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui
siapa kalian, dua orang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tidak
mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan
dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja!
Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian
pergi!”
“Akan
tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!” Han Tiong membantah dan menolak.
Siangkoan Wi
Hong tertawa gembira. “Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asalkan
orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya
teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang putera
Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, dua-duanya merupakan
pendekar-pendekar sakti yang dahulu namanya pernah menggemparkan dunia, telah
berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimana pun juga kalian harus
menandingi aku dalam adu ilmu silat!” Setelah berkata demikian dan sebelum dua
orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali.
Dari pintu
belakang lalu bermunculan enam orang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda
tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda
itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga
dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.
“Kia Tong,
sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka
berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira,” kata Siangkoan Wi
Hong dengan senyum gembira.
“Tetapi,
kongcu, perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua
cacing buku ini!” kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.
Sepasang
mata Siangkoan Wi Hong yang biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba saja
mendelik dan suaranya terdengar ketus, “Tolol! Kalian maju berenam pun jangan
harap akan menang!” Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula,
lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.
Sementara
itu, Thian Sin sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tiong-ko, sekali ini
kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar
mereka!”
Han Tiong
juga maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan
menghindarkan perkelahian, maka dia pun mengangguk, akan tetapi lalu berkata
dengan suara penuh peringatan, “Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!”
Giranglah
hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke
tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong
lantas memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian
Sin.
Si Tinggi Besar
masih bersikap sombong, karena betapa pun juga, dia masih memandang rendah
kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri
tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.
Melihat
betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, “Tikus-tikus
busuk, majulah kalau kalian memang berani!”
Si Tinggi
Besar menjadi marah. “Serbu…!” dia memberi aba-aba.
Lima orang
pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima
ini merupakan pembantu-pembantu utama Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja
kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para
tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan mereka pun merupakan serangan gaya
silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar
belaka.
Thian Sin
teringat akan pesan kakaknya, maka dia pun menahan kemarahannya dan tak ingin
menurunkan tangan maut. Akan tetapi, teringat betapa dia dan kakaknya dihina di
pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa
dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan
menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang!
“Krekk!”
Terdengar
bunyi nyaring setiap kali dia menangkis, dan lima kali dia menangkis pukulan
lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh dan ketika mereka
merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi
tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja
mereka tak dapat menyerang lagi.
Rasa nyeri
membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang pada pemuda itu
dengan kedua mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia
memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran
Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu
ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, dan sekali tangkis
telah mematahkan lengan lima orang penyerangnya!
Tahulah dia
bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan
tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar telah
menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia telah
menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin.
Apa bila dia
mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah
pembantunya ini. Akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan
menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.
Thian Sin
tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menunggu sampai bacokan golok itu
menyambar dekat dengan kepalanya, lantas tiba-tiba tangan kirinya bergerak
menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga
Thian-te Sin-ciang.
“Krokkk!”
Golok itu
patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali
disusul gerakan kaki dua kali dan… tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar,
terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat
merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena jika teman-temannya itu
hanya menderita patah tulang pada sebelah lengan saja, dia sendiri menderita
patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Dengan sebelah tangan saja,
terpaksa teman-temannya membantu dan menggotongnya keluar dari tempat itu!
Siangkoan Wi
Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang
Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Dia
lantas teringat akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di
dunia kang-ouw itu maka diam-diam dia pun bersikap waspada karena maklum bahwa
pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan.
Akan tetapi
dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil
menjura, “Ahh, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi!
Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san
menjulang tinggi di depan mata!”
Akan tetapi
Han Tiong telah menjura kepadanya, “Saudara Siangkoan, harap engkau suka
memaafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak
suasana persahabatan antara kita.”
Siangkoan Wi
Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang sangat cerdik.
Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong
dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat
dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu
dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu
dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia pun melakukan pilihan.
Menurut
riwayat sang pangeran, maka keturunannya ini lebih condong untuk menjadi satu
golongan dengan dirinya, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli
waris Cin-ling-pai sehingga akan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sebisa
mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat,
sedangkan Cia Han Tiong harus dimusuhinya!
“Ah, Saudara
Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian
menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai,
semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah
jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tapi tidak tahu
sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat
dibandingkan kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah. Oleh karena
itu aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!” Terang bahwa pemuda
hartawan itu sekarang menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.
Akan tetapi
pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong langsung
menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku datang ini bukan untuk berkelahi,
melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan.”
“Hemm,
apakah engkau takut, Saudara Cia?”
“Terserah
penilaianmu,” jawab Han Tiong tenang.
Akan tetapi,
Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. “Siapa bilang
kami takut padamu?” bentaknya. “Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!”
Thian Sin
tak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju
menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, “Tak perlu kakakku yang turun
tangan, aku pun sudah cukup untuk menandingimu!”
Biar pun
hatinya sangat menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak
melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi
Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapa pun juga dia harus menunjukkan
kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapa pun juga,
timbul semacam kesombongan di dalam hatinya serta kepercayaan diri yang
berlebihan sehingga dia memandang ringan terhadap semua orang.
“Baik
sekali, biariah kita bermain-main sebentar, Saudara Ceng!” Baru saja
kata-katanya terhenti, tangannya telah melakukan serangan. Dengan tangan
terkepal, tangan itu cepat menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan
terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin!
Pemuda ini
tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu lajunya seperti
peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut,
maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan
tenaga, ada pun tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada
lawan.
“Dukkk!”
Tangkisan
Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua
tergetar. Pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis
hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang sangat kuat, dan yang akan
mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.
“Dukkk!”
Kembali
kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan
Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia
bahwa Thian Sin memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa
pemuda ini tadi telah merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan
kuatnya tenaga sinkang-nya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah
lagi.
Senyumnya
menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan
pengerahan seluruh tenaga serta kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan
hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.
Namun Thian
Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga ini pun sudah tahu bahwa putera
Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, karena itu dia pun segera
menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan
pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Maka
terjadilah serang menyerang, saling pukul, elak dan tangkis bertubi-tubi.
Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama semakin kuat
sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang
jika pertemuan antara kedua lengan itu sangat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya
tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan
agaknya mereka itu seimbang, baik dalam hal kecepatan mau pun tenaga.
Setelah
lewat lima puluh jurus dan belum juga mampu mendesak lawannya sama sekali,
Siangkoan Wi Hong baru betul-betul terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian
Thian Sin ternyata tak kalah olehnya! Dia kemudian mengeluarkan suara
melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan
bergerak-gerak, kedua telapak tangan membentuk cakar seperti seekor burung
garuda yang menyambar-nyambar dari atas.
“Brettt-brettt…!”
Thian Sin
meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang sangat cepat dan aneh
itu biar pun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai
pundaknya hingga membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia
terkejut sekali sungguh pun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te
Sin-ciang dan tidak terluka.
Memang
gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang
menyerang dari atas semacam itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan
seorang manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukannya menghadapi
manusia burung yang datang dari atas.
Setelah
berhasil merobek baju pada kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan
Siangkoan Wi Hong dan dia pun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah
Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.
“Wuuutt…
wuuuttt…!”
Angin
menyambar-nyambar hebat saat dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang
yang sangat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan kepalang karena hawa
pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.
“Sin-te,
jangan…!” Han Tiong memperingatkan.
Thian Sin
lalu sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu,
memang kalau sampai lawannya terkena mungkin saja dia akan melakukan
pembunuhan. Maka dia pun cepat mengubah gerakannya dan sekarang dia mainkan
Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.
Dengan ilmu
silat yang amat tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung semua
serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan
itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapa pun juga,
tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam
perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin
merasa penasaran sekali.
Memang hebat
sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong
itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan
kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw
(Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh
Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan juga ditambah
sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah
Korea hingga kemudian terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu.
Selain
gerakan-gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda
yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk
cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang sangat kuat, dapat
dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu
Thian-te Sin-ciang!
Sudah
seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan
telah beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka,
hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh
sinkang-nya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian
Sin makin penasaran.
Pada waktu
dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah
mukanya, dia cepat-cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke
arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakkannya.
“Plakk!”
Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.
“Ahhhhhh…!”
Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa
tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sinkang-nya membanjir
keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan.
Dalam
kagetnya itu, pemuda ini mengerahkan sinkang untuk menarik kembali tangannya.
Akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga
sinkang-nya tersedot keluar.
“Thi-khi
I-beng…!” teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat.
Dia telah
mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia
sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin telah menyambar kemudian
menampar punggungnya.
“Bukkk!”
Tubuh
Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia pun roboh, lalu muntahkan darah segar.
Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang di punggungnya itu walau pun tidak
melukai punggung yang terlindung kekebalan, akan tetapi telah mengguncangkan
isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlampau parah
namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan
pertandingan.
Melihat ini,
Han Tiong cepat-cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu
totokan dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di
sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu,
sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.
“Harap
Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua,” katanya.
Dia memberi
isyarat kepada adiknya kemudian mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus
keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong
dianggap sebagai tempat berbahaya itu.
Siangkoan Wi
Hong masih terlampau kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia sudah
dikalahkan, karena itu dia pun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia
tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan
lebih lihai dari pada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya.
Timbul rasa
penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan dia pun merasa
kecewa, mengapa tadi dia tidak menggunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah
Naga itu. Dia telah menderita kerugian sebagai akibat memandang rendah lawan.
Akan tetapi menyesal pun tak ada gunanya. Dua orang pemuda itu telah pergi dan
dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi.
Dengan hati
penuh rasa penasaran dan penyesalan, maka pada hari itu juga Siangkoan Wi Hong
meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, ke tempat tinggal Pak-san-kui
Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.
***************
Han Tiong
dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, sekarang merasa amat
gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang begitu indahnya di
Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari mereka tinggal di kota raja yang
demikian sesak dengan manusia, yang demikian bising dan di mana mereka
menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, sekarang tempat yang berhawa
sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!
Memang
sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia,
yaitu diri sendiri, sudah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang
kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih
seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, langsung berubah
menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia.
Banyak
memang terdapat makhluk hidup di dunia ini, namun, betapa pun nyaring suara
makhluk-makhluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling
bicara. Suara manusia pada umumnya sudah dipenuhi dengan nafsu, penuh dengan
keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan,
kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan
suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara
burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang
teramat besar.
Kita tidak
pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang
tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa
keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di
gunung, dia pun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali
ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam,
dan kalau pun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya!
Kita baru
dapat menikmati keindahan alam apa bila kita tidak membanding-bandingkan, apa
bila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apa bila di dalam pikiran
kita tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan
tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita,
keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat di dalam jiwa yang bebas, bebas dari
ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si
aku.
***************
Senja itu
memang indah bukan kepalang! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari
arah timur bisa sepenuhnya menikmati keindahan senja itu. Kata-kata tidaklah
cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tak dapat
digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seolah-olah terbuka pintu sorga dalam
dongeng-dongeng nun jauh di langit barat.
Langit yang
pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang
bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah
merah setengah kuning, dengan dilatar belakangi warna kebiruan, biru yang
mengandung sedikit kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah,
kuning dan biru, tiga warna pokok yang dapat membentuk segala macam warna yang
sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Di antara
langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang
menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui
segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari
matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung
Cin-ling-san.
Makin jauh
matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti
mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti
seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri
dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam
kegelapan yang segera akan tiba.
Sebatang
pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil sehingga merupakan
sesuatu yang hitam menentang keindahan berwarna-warni itu, dengan
cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seakan-akan menunduk serta
menghormati suasana yang hening, sedikit pun tidak bergerak, tidak seperti pada
saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes
menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.
Beberapa
burung yang merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah
merupakan seekor makhluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi
bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang
dan bunyi bercicit itu sama sekali tidak mengganggu keheningan, bahkan
merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat
perpaduan yang aneh di antara yang hening dan yang bising, yang diam dan
bergerak.
Keadaan yang
tadinya diam dan hening seperti keadaan mati kini mengandung gairah dan bunyi
yang menjadi pertanda hidup sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan
dan di dalam kehidupan itu pun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan
lagi.
Dua orang
kakak beradik itu juga merupakan bagian dari pada keheningan maha luas itu dan
mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka
tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan
itu sendiri di mana mereka tergulung. Hingga beberapa lamanya mereka berdua
terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua
itu, dan kebahagiaan yang mukjijat memenuhi rongga dada.
“Ahh, tanpa
terasa kini hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak
Cin-ling-san sudah kelihatan dari sini, Sin-te,” kata Han Tiong dan kata-kata
ini bagaikan menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.
“Mari,
Tiong-ko,” jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.
Baru saja
sampai di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan
Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang sedang
melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa
dan ketika dia dulu mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu
itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi dengan beberapa buah teng
yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang
mengenalnya.
“Berhenti!”
bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid langsung mengepung dua orang
pemuda itu, “Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke
sini?”
Melihat
sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. “Agaknya saudara-saudara tak
lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang
lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua
Cin-ling-pai.”
“Ehhh,
siapakah engkau…?” pemimpin para penjaga itu bertanya sambil mencoba untuk
mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.
“Kami datang
dari Lembah Naga!” kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi.
Kini semua
murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka.
Mereka masih belum dapat mengenali Han Tiong, bahkan sama sekali tidak mengenal
wajah Thian Sin yang tampan itu.
“Lembah
Naga…?” tanya mereka gagap.
“Ketua
Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami,” kata Han Tiong.
“Ohhh…! Jadi
kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong…?”
Han Tiong
mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han
Tiong dan Thian Sin masuk, ada pun beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah
lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua
mereka.
Tidak lama
kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw bersama Nenek Yap In Hong keluar menyambut.
Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun,
sedangkan Nenek Yap In Hong telah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi
ketua Cin-ling-pai itu masih tampak sehat dan segar, sedangkan isterinya pun
mempunyai tubuh yang langsing dan biar pun rambutnya sudah banyak yang putih,
tapi garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan
kegagahan.
Biar pun
sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan
biar pun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan
cepat dia pun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua orang
tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapa pun juga,
kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya.
Ketika tadi
mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari
Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, segera Cia
Bun Houw dan Yap In Hong bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga
bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa
ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik.
Yap In Hong
tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini sudah menjadi seorang pemuda
yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran serta ketenangan,
sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa.
“Aihh,
engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang! Bagai
mana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?”
“Terima
kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik saja dan mereka menitipkan salam
hormat kepada kakek dan nenek berdua,” jawab Han Tiong dengan sikap hormat.
“Han Tiong,
siapakah pemuda ini?” tanya Cia Bun Houw.
Dia bersama
isterinya memandang kepada wajah yang tampan, cahaya mata yang tajam penuh
membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang juga
berlutut di dekat Han Tiong itu.
“Dia ini adalah
adik angkat saya, akan tetapi sebenarnya dia pun masih keluarga sendiri, karena
dia ini adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng
Thian Sin.”
“Ahhh…!” Yap
In Hong menahan seruannya.
Cia Bun Houw
juga terkejut lantas terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh
keponakannya, Lie Ciauw Si itu. “Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari
Ceng Han Houw?” Kemudian disambungnya dengan suara lirih, “Dan Lie Ciauw Si
telah meninggal dunia?”
Thian Sin
cepat memberi hormat. “Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah
mendiang ayah-bunda saya.”
Cia Bun Houw
merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong
juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. “Mari, mari kita bicara di
dalam…,” kakek dan nenek itu berkata dengan ramah dan mereka pun lalu memasuki
rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.
Setelah
mandi dan makan malam, dua orang pemuda Lembah Naga itu baru dipersilakan
memasuki ruang duduk di mana telah menunggu kakek dan nenek mereka. Tadinya Han
Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang
sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak
melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang
bersama Thian Sin sudah disuruh duduk, segera bertanya,
“Kongkong,
di manakah adanya Paman Cia Kong Liang? Mengapa sejak tadi saya tidak
melihatnya?”
“Ahhh,
pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok
bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit,” jawab Cia Bun Houw.
Mendengar
disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya kemudian
sambil memandang pada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung
getaran haru.
“Bukankah…
beliau itu… nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku
untuk berjumpa dengan nenekku itu… sudah begitu sering aku mendengar tentang
beliau dari ibu…”
Dia berhenti
berbicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan
isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi.
Akan tetapi
Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan
riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. “Sungguh baik sekali bila engkau
mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah jika
engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai
wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya.”
Kedatangan
dua orang pemuda itu sungguh merupakan hal yang sangat membahagiakan hati Cia
Bun Houw beserta isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat
bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada
Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga
Ceng Han Houw yang menyedihkan itu.
Cia Bun Houw
dan isterinya hanya dapat saling pandang sambil kadang-kadang menarik napas
panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam sebuah
pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa sudah
membela suaminya sampai tetes darah terakhir.
“Ibumu
adalah seorang isteri yang hebat!” demikian komentar kakek dan nenek itu kepada
Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak
memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw.
Dan Thian
Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan dia pun sudah tahu apa yang
terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu
bahwa di dalam pandangan mereka, di dalam pandangan semua keluarga
Cin-ling-pai, ayahnya hanya seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak
segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya merupakan kematian
seorang pemberontak yang telah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian
ibunya adalah kematian seorang wanita gagah perkasa yang setia dan mencinta
suaminya!
Mendengar
betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup berdua dengan suaminya, yaitu
pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini sudah berusia kurang lebih
tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak
akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian
diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan
berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke
pegunungan itu pada hari kemarin.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment