Friday, September 28, 2018

Cerita Silat Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 20





























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
       Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang

                  Jilid 20



SUAMI isteri ini sebenarnya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, terlebih lagi masih ada puteri mereka yang sudah mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main.

Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan memiliki cucu. Maka kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru.

Biar pun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang telah menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya sangat sopan, baik dan agaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlampau rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tak terlalu lama tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat.

"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan sesudah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka kami tentu tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.

"Orang muda, selain yatim piatu apakah engkau tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan?"

Pertanyaan ini hanya sambil lalu dan tidak kentara, akan tetapi Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam dia pun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi menantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!

"Saya hidup sebatang kara, Bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."

Mendengar ini, kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sungguh mengharapkan agar sekali ini puteri mereka akan bisa menemukan jodohnya. Atas pertanyaan pasangan suami isteri itu, Tan Hok Seng kemudian menuturkan pengalamannya, sampai dia difitnah sehingga selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, bahkan dia dihukum buang pula oleh pemerintah.

"Sejak kecil saya sudah kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara, dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak mempunyai kepandaian, maka sejak kecil saya bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari mana pun. Sesudah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan serta kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."

Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini sungguh mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng memang seorang pemuda yang penuh semangat.

"Kemudian, bagaimana tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik.

Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, Suhu..." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)..."

Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, engkau boleh menyebut guru kepadaku."

Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan kepalang dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi, berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut suhu dan subo.

Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Sekarang mereka tidak ragu lagi sehingga tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang sudah ditolak oleh puteri mereka.

"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, lalu lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kang.

"Suhu, agaknya kemajuan serta keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena di antara mereka ada yang telah bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal namun tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja sudah mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari istana ribut-ribut akibat kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan di dalam kamar teecu!"

"Hemmm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" Toan Hui Cu bertanya sambil memandang tajam.

"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Lagi pula bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah."

"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.

"Itulah yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu bisa berada di dalam kamar teecu dan tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak mampu banyak membela diri. Teecu hanya dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar masih mengingat akan jasa-jasa teecu maka teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncullah seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan juga memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."

"Ahh, kalau orang benar ada saja penolong datang," kata Toan Hui Cu dengan girang.

Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya lantas bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"

"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena dialah yang mendapat kedudukan menggantikan teecu setelah teecu dihukum."

"Engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.

Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia banyak membaca sehingga tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tak akan mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak akan membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu dengan tegas dan mantap dia pun menjawab,

"Sama sekali tidak, Suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sesungguhnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."

"Hemmm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kau lakukan?"

Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.

"Teecu akan melaporkan ke pengadilan supaya ditangkap sehingga dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."

Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Apa bila namamu sudah bersih, apakah engkau masih menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"

"Tidak sama sekali, Suhu. Teecu telah bosan dengan kedudukan itu sebab di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan mementingkan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."

Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini engkau menjadi murid kami dan kami berharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kau pelajari."

Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika dia bertanya, dia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya.

"Bi Lian, Tan Hok Seng telah kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang dia adalah sute-mu, tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."

"Sumoi...!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tak segan memberi hormat lebih dahulu biar pun dia mendapat kehormatan untuk menjadi saudara tua.

Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimana pun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suheng-nya? Akan tetapi rasanya tidak enak juga kalau disebut suci (kakak seperguruan) oleh pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua di dalam hatinya. Maka dia pun tidak membantah dan dia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.

"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, Suheng."

Demikianlah, sejak hari itu Tan Hok Seng menerima gemblengan dari dua orang gurunya sesudah memperlihatkan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, ternyata dasar ilmu silat pemuda ini sudah cukup lumayan.

Dia telah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sinkang-nya yang kurang, sebab itu Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sinkang. Sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan sepasang suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka, yaitu Kim-ke Sin-kun.


                    ***************

Tentu saja suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tak pernah bermimpi bahwa mereka sudah menerima seorang murid yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!

Sesudah mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, maka tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran dari Tang Gun! Sudah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang ingin mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar!

Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan ke tempat pembuangan dia diselamatkan oleh seorang berkedok yang lihai sekali. Bukan saja dia dibebaskan, malah juga diberi sekantung uang emas sebagai bekal. Sama sekali dia tidak tahu dan tak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskan dirinya itu.

Tang Gun, atau sebaiknya kini kita menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani mempergunakan nama aslinya karena betapa pun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Selain itu, jika dia memperkenalkan nama aslinya kepada suami isteri yang kini telah menjadi gurunya itu dan kemudian mereka mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu takkan sudi menerimanya sebagai murid. Karena itu dia pun mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walau pun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan fitnah adalah orang yang telah menangkapnya itu.

Sejak remaja Tan Hok Seng telah merantau dan mengalami banyak penderitaan. Dengan pengalamannya yang amat banyak ini dia bisa membawa diri secara baik, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Bahkan Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada suheng itu sesudah lewat satu bulan dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu,. Siapa pun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng.

Pemuda ini amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik. Hok Seng bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biar pun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah serta terhormat, tetapi kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya.

Ketekunannya dalam mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main, maka dia pun cepat mendapatkan kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu akan dapat menjadi mantu mereka!

Kurang lebih setengah tahun sudah lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya makin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada suatu sore mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Mereka berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah.

Dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoi-nya! Dalam hal tenaga sinkang dia juga sudah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walau pun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.

Mereka baru saja selesai latihan dan kini sedang beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menyeka keringat dengan kain. Keduanya lalu duduk saling berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu.

"Aih, Sumoi. Sampai kapan pun aku takkan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoi-nya dengan sinar mata kagum.

Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena dia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka dia pun bahkan selalu merasa bangga dan gembira bila mana suheng-nya memandang seperti itu. Andai kata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandangan matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh birahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya, dan tentu dia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.

"Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau terus tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sinkang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."

Hok Seng menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini Bi Lian merasa heran. Selama ini belum pernah dia melihat suheng-nya bermuram seperti itu.

"Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?"

Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ahh, Sumoi, betapa besar keinginanku dapat mempunyai ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."

"Suheng, aku pernah mendengar dari ibuku bahwa dulu engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang sehingga kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu? Ceritakanlah kepadaku, Suheng. Aku ingin mendengarnya."

"Memang betul demikian, Sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha secara tekun sehingga dari seorang prajurit pengawal aku dapat menduduki jabatan perwira dan dipercaya oleh istana. Namun kemudian terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan di dalam kamarku. Jelas bahwa aku telah difitnah orang. Karena itu aku tekun berlatih silat supaya memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."

"Engkau hendak membalas dendam?"

"Tidak, aku hanya ingin membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang bersalah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."

"Kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, kenapa dulu engkau tidak mengambil tindakan, Suheng?"

Hok Seng menggelengkan kepala dengan sedih, lantas terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya pada saat dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.

"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Sumoi. Ketika itu pun aku sudah melawan, akan tetapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Aku akan membongkar rahasianya itu kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Sebelum kepandaianku cukup, baginya aku takkan ada artinya, bahkan mungkin aku akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia sangat lihai, Sumoi."

Hati Bi Lian sangat tertarik. Ada perasaan setia kawan terhadap suheng-nya yang difitnah orang itu, juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.

"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"

"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."

Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat dia akan Hay Hay yang juga marga Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Tetapi Bi Lian hanya menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja.

Bi Lian tidak ingin suheng-nya mendengar tentang Ang-hong-cu, juga tak ingin ada orang lain mendengar bahwa adik kandung suheng-nya yang pernah ditunangkan dengannya itu telah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Seorang pendekar wanita lain, Cia Ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, juga menjadi korban Ang-hong-cu itu, namun kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok.

Kalau dia bercerita mengenai Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita itu dan dia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa kedua pendekar itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah Bi Lian tak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng adalah seorang she Tang yang mengingatkan dia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.

"Tang Bun An? Hemm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".

"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."

"Apakah orang ini memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya.

Dia teringat akan Ang-hong-cu yang dahulu pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi.

"Dia memang memiliki mata yang tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis mau pun berjenggot. Kenapa engkau bertanya demikian, Sumoi?"

"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, mengapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja kemudian membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, semakin baik, bukan?"

"Mana mungkin, Sumoi? Aku merasa belum sanggup menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum merasa yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."

"Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."

Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoi-nya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoi-nya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.

"Akan tetapi aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, Sumoi."

"Itu mudah saja, Suheng. Engkau masuk dengan cara menyamar dan menyelundup. Lalu secara diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"

"Akan tetapi harus berhati-hati, Sumoi. Selain lihai dia juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"

"Jangan khawatir, Suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."

Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu lalu menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah, juga hendak membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu sebenarnya merasa tidak setuju. Akan tetapi karena mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul secara lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka mereka pun memberi persetujuan mereka.

"Akan tetapi engkau tentu masih ingat dengan pengakuanmu dahulu bahwa engkau tidak menaruh dendam pada orang yang melempar fitnah kepadamu, bukan?" kata Siangkoan Ci Kang.

"Dan kalian jangan menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi kalau sampai menentang petugas pemerintah," pesan pula Toan Hui Cu.

"Harap Suhu dan Subo tenangkan hati," jawab Tan Hok Seng tenang. eecu ke kota raja bukan karena mendendam, melainkan atas dorongan sumoi teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih merupakan seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."

Di dalam hatinya tentu saja pemuda ini sama sekali bukan berniat untuk 'membersihkan nama' karena bagaimana pun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi?

Yang jelas, dia menaruh dendam kepada Tang Bun An yang menurut penyelidikannya kini telah menjadi seorang perwira tinggi, mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya dahulu karena sudah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menangkap dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu.

Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak peduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian, apa bila keadaannya memungkinkan, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!


                ***************


Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang memiliki kekuasaan demikian besar seperti Menteri Cang Ku Ceng untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thaikam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang menurut desas-desus kabarnya menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka dia pun hanya minta waktu satu minggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu untuk mengintai baginya hanya malam hari.

Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu bersembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thaikam itu di dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan bisa dipercaya penuh oleh perwira thaikam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu untuk melakukan perondaan secara rahasia.

Memang tidak mudah bagi perwira thaikam itu untuk mempercaya seorang pun di dalam istana, kecuali wanita tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya di dusun. Hampir semua wanita di dalam istana, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya memiliki hubungan dengan pria misterius yang tidak pernah dilihat orang memasuki istana itu. Kalau pun ada yang melapor, mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya.

Agaknya tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Tapi anehnya Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memasuki istana bagian puteri.

Karena itulah terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau pelayan baru. Karena jika tidak dilakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi.

Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini dia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng, dan menteri yang bijaksana ini kemudian menggunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.

Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam gadis ini melakukan pengintaian dan perondaan, tetapi dari pagi sampai sore dia bersembunyi saja di dalam kamar.

Akan tetapi selama ini belum pernah dia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, yaitu orang-orang thaikam yang melakukan perondaan.

Bosan juga rasanya, dan Kui Hong hampir putus asa ketika pada malam yang ke empat dia melakukan pengintaian lagi secara rahasia. Malam itu hawa udara dingin bukan main. Suatu keadaan yang menambah sengsara perasaan Kui Hong yang memang sudah kesal dan bosan karena semua jerih payahnya tidak ada hasilnya. Untuk melawan hawa dingin yang menusuk tulang, terpaksa dia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya.

Padahal, pada waktu malam dingin yang membuat orang menggigil itu, enaknya tinggal di dalam sebuah kamar yang hangat, di mana terdapat perapian yang akan membikin badan terasa nyaman. Musim semi telah tiba, kembang-kembang di taman istana telah kuncup, bahkan ada yang mulai mekar sehingga keharumannya semerbak di seluruh istana. Akan tetapi hawa dingin musim lalu agaknya masih tergantung di udara.

Bagaikan bayangan setan, Kui Hong menyusup di antara pondok-pondok mungil di celah-celah taman-taman bunga yang indah. Biar pun malam itu sunyi sekali karena sore-sore para penghuni istana bagian puteri sudah memasuki kamar masing-masing karena tidak kuat berada di luar yang amat dingin, akan tetapi Kui Hong tetap berhati-hati.

Dia sedang melakukan pengintaian terhadap orang yang sama sekali tidak diketahuinya siapa dan kapan atau di bagian mana dari tempat itu dia akan muncul. Maka, tentu saja dia sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang itu.

Kui Hong terus menyusup-nyusup di antara tanaman-tanaman bunga, atau pepohonan, atau pondok-pondok, kadang-kadang berhenti sejenak untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan pandang mata dan pendengaran telingannya.

Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Ketika dia memasuki taman bunga di sebelah belakang bangunan induk istana yang menjadi tempat tinggal permaisuri, tiba-tiba saja dia melihat berkelebatnya bayangan orang! Jantungnya berdebar tegang ketika dia hampir menjatuhkan diri untuk menyelinap di balik bunga dan mengintai.

Bayangan itu memiliki gerakan yang sangat ringan dan gesit, dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di bawah sebatang pohon sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Hemm, orang itu memang berhati-hati sekali, pikir Kui Hong.

Malam begitu dingin dan suasana begitu sunyi, bahkan para pengawal thaikam agaknya merasa malas untuk meronda saking dinginnya hawa udara. Dan orang ini agaknya kenal betul dengan keadaan ini, yaitu saat-saat dan tempat yang akan sunyi senyap kalau hawa udara sedang dingin sekali seperti sekarang. Walau pun berhati-hati, nampak jelas bahwa sikapnya amat tenang ketika melihat sekeliling, kemudian pandang matanya berhenti dan menatap sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari situ.

Pondok itu tidak terlalu besar tetapi sangat indah, apa lagi dikelilingi dengan taman bunga di mana kembang-kembangnya mulai mekar. Nampak dua lampu gantung yang dipasang di depan dan di belakang pondok itu sehingga biar pun hanya remang-remang akan tetapi Kui Hong dapat melihat bahwa dinding pondok itu berwarna hijau. Dari jendela terbayang penerangan di dalam pondok hijau itu, tanda bahwa ada orang di dalamnya

Lelaki ini tidak lama berdiri di sana. Sesudah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, dia kembali berkelebat dan dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah tiba di depan pintu pondok yang masih tertutup. Tanpa ragu dia lalu mengetuk pintu itu.

"Tok! Tok! Tok!"

Dengan pendengarannya yang terlatih Kui Hong dapat mendengar ketukan itu, dan entah mengapa dia merasa tiga kali ketukan itu seolah-olah berirama seperti merupakan sebuah isyarat. Maka tahulah dia bahwa agaknya pria ini sudah mengenal penghuni atau orang yang berada di dalam pondok itu.

Kui Hong melihat pintu itu dibuka dari dalam, namun pembuka pintu itu tidak nampak dari tempatnya mengintai. Sesudah pria itu memasuki pondok dan pintunya sudah ditutup lagi, dengan amat hati-hati dan dengan gerakan ringan sekali Kui Hong berkelebat mendekati pondok itu.

Bukan main girangnya hati gadis itu ketika melalui celah-celah di antara tirai jendela dia dapat mengintai ke dalam. Kiranya, di dalam sebuah ruangan yang terang dan indah, pria itu sudah duduk di atas lantai yang ditilami kasur yang lebar dan dia sudah dikelilingi oleh lima orang wanita yang cantik-cantik! Wanita yang berpakaian mewah, berusia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun, kelimanya cantik manis dan jelas merupakan wanita-wanita bangsawan!

Dari perwira thaikam yang menyembunyikan dirinya, dia sudah mempelajari tentang para wanita yang tinggal di istana, maka dia pun tahu bahwa lima orang wanita itu tentu selir-selir kaisar! Dan kini kelima orang selir kaisar itu secara tidak tahu malu dan tanpa sopan santun sedang duduk mengelilingi seorang laki-laki dengan sikap dan pandang mata yang demikian genitnya!

"Kalian berdua berjaga di luar, seorang di depan dan seorang lainnya di belakang. Cepat!" kata seorang di antara lima wanita cantik itu kepada dua orang gadis lainnya yang berdiri di dekat pintu.

Dua gadis itu memberi hormat, lalu keluar dengan wajah bersungut-sungut. Malam begini dingin dan mereka disuruh berjaga di luar! Padahal mereka berdua juga termasuk kekasih pria setengah tua yang ganteng itu! Akan tetapi karena kedudukan mereka hanya dayang, sedangkan lima orang wanita di dalam pondok itu adalah majikan-majikan mereka, maka tentu saja kedua orang itu tidak berani membantah.

Kui Hong cepat menyelinap pergi ketika dua orang gadis dayang itu keluar pondok. Dua gadis itu langsung berpisah saat keluar tadi, seorang melalui pintu belakang dan seorang lagi melalui pintu depan. Setelah tiba di depan dan di belakang pondok, mereka berjalan mengitari pondok. Akan tetapi karena keadaan sunyi, aman dan sangat dingin, keduanya lalu berlindung di dekat pintu depan dan belakang yang terlindung oleh tembok sehingga sedikit banyak dapat terhindar dari semilirnya angin malam yang membuat hawa menjadi semakin dingin tak tertahankan.

Melihat dua orang dayang itu berdiri di dekat pintu, Kui Hong menyelinap lagi mendekati jendela. Begitu mengintai, dia langsung membuang muka setelah melihat betapa kini pria itu berpelukan dan bermesraan dengan lima orang wanita itu. Seorang pria dikeroyok oleh lima orang wanita! Dia hanya butuh mendengarkan percakapan di antara mereka, bukan melihat tontonan yang tidak senonoh itu!

"Engkau sungguh kejam sekali, membiarkan kami kedinginan dan menanti dengan sia-sia sampai tiga malam. Kemana saja engkau selama ini?"

"Memang laki-laki berhati kejam. Membiarkan orang setengah mati dalam kerinduan!"

"Agaknya dia mempunyai kekasih di luar istana, maka sudah melupakan kita!"

Demikian lima orang wanita itu menegur sambil diselingi suara tawa cekikikan. Kui Hong merasa muak sekali. Begitukah tingkah laku para selir itu? Mereka lebih pantas menjadi pelacur dari pada menjadi selir kaisar, menjadi wanita-wanita bangsawan!

"Aah, ciangkun (perwira), apa yang hendak kau katakan sekarang?" seorang wanita lain menuntut.

Kui Hong mendengar suara laki-laki tertawa. Suara tawa yang tenang dan bebas, lantas disambung dengan suaranya yang dalam. "Aih, kalian ini sungguh tidak menaruh kasihan kepadaku! Aku harus beristirahat. Ingat, aku bukan seekor ayam jantan yang masih enak saja berkokok walau pun harus melayani puluhan ekor ayam betina!"

Terdengar suara wanita cekikikan menyambut ucapan pria itu. "Huhh, kau samakan kami dengan ayam-ayam betina, ya? Terlalu!" Kemudian terdengarlah suara gedebag-gedebug pukulan manja yang disambut oleh pria itu sambil tertawa-tawa.

Kui Hong tidak tahan untuk mendengar lebih lanjut. Dia cepat berkelebat menjauhi jendela itu dan menyelinap ke bawah pohon yang rindang. Dari jauh dia termenung memandang ke arah jendela pondok itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Pria itulah yang dimaksud oleh Menteri Cang! Dan kecurigaan menteri itu memang tepat sekali, karena dia pun kini hampir yakin bahwa pengacau istana itu, lelaki yang menyeret hampir semua wanita di dalam istana ke lembah kenistaan, tentu juga perwira bernama Tang Bun An itu.

Pertemuan di pondok itu sekaligus membongkar dua rahasia itu. Rahasia pria misterius yang mengotori kehormatan istana dan rahasia perwira Tang Bun An. Sungguh sayang, pikirnya. Sayang bahwa perwira itu bukan Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, walau pun nama keluarga mereka sama, yaitu Tang.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Kui Hong berpikir-pikir.

Kini pergi meninggalkan pondok ini dan besok melaporkan hasil penyelidikannya kepada Menteri Cang? Akan tetapi, apa artinya? Tentu saja Tang Bun An dapat menyangkal dan semua selir pasti akan berpihak kepadanya. Para selir itu tentu berani bersumpah bahwa perwira itu tidak pernah mengunjungi mereka di istana bagian puteri itu! Maka apa artinya kesaksian dia seorang diri?

Walau pun hatinya diliputi keraguan, namun Kui Hong terus memikirkan cara untuk dapat menangkap pria ini dengan bukti-bukti kuat agar dia tidak mampu mengelak lagi. Alisnya berkerut, sementara pandangan matanya tidak pernah lepas menatap pondok itu, di mana pria setengah tua yang masih nampak gagah itu sedang bersenang-senang dengan lima orang selir kaisar.

Agaknya takkan ada gunanya untuk melaporkan pria itu. Dia tidak memiliki satu pun bukti selain pemandangan yang disaksikannya. Juga tidak ada orang lain yang dapat dijadikan saksi untuk mendukung keterangannya. Wanita-wanita di dalam pondok itu bahkan dapat membalikkan kenyataan sehingga akan menyerang dirinya sendiri.

Tidak mungkin pula untuk menangkapnya saat ini, ketika mereka masih berada di dalam lingkungan istana. Melihat gerakannya tadi yang sangat cepat dan gesit, laki-laki ini tentu mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Apabila dia nekat menyerangnya, pasti akan terjadi pertarungan yang menimbulkan keributan, lantas sekejap saja akan datang banyak pengawal istana mengepung tempat itu.

Aku harus menunggunya di luar lingkungan istana, kemudian menangkapnya setelah dia keluar dari istana, demikian Kui Hong mengambil keputusan setelah tidak melihat adanya jalan lain. Mudah saja kalau dia sudah berhasil menangkapnya di luar istana. Apabila dia menyangkal maka dia dapat memaksanya agar mengaku dan kalau perlu menyiksanya!

Setelah mengambil keputusan ini, Kui Hong lalu kembali ke kamarnya dan ia minta tolong kepada pelayan wanita setengah tua itu supaya secepatnya memanggil perwira thaikam, saat itu juga. Sesudah perwira itu datang, Kui Hong minta bantuan perwira itu supaya dia dapat dikeluarkan dari istana.

"Sekarang juga, Nona? Malam-malam begini?"

"Aku mempunyai keperluan penting sekali yang harus kulakukan di luar istana, karena itu aku harus keluar malam ini juga. Kau atur saja agar aku dapat keluar dari istana dengan selamat, ciangkun!" kata Kui Hong dan perwira itu tidak berani membantah.

Gadis ini adalah orang kepercayaan Menteri Cang yang telah memerintahkan kepadanya agar dia melayani dan membantu gadis ini. Maka dia sendiri lantas mengawal Kui Hong keluar dari istana bagian puteri, bahkan terus meninggalkan lingkungan istana.

Karena yang mengawalnya adalah seorang perwira thaikam yang mengatakan bahwa Kui Hong adalah kerabat seorang selir kaisar, maka dengan mudah saja Kui Hong bisa keluar dari lingkungan istana. Tanpa pengawalan perwira thaikam itu, maka jangan harap dapat keluar masuk istana yang dijaga ketat.


                     ***************

Walau pun sudah keluar dari lingkungan istana, namun Kui Hong tetap berada tidak jauh dari tempat itu, tepatnya dia menanti sambil mengintai dari sebuah tempat tersembunyi di dekat pintu gerbang bagian depan istana. Dari tempat ini dia dapat memperhatikan semua orang yang keluar dari pintu gerbang itu, akan tetapi dia sendiri tidak akan terlihat karena tubuhnya terlindung oleh sebatang pohon besar.

Ketika menunggu, waktu terasa merambat amat perlahan seperti keong berjalan, apa lagi bagi seorang gadis muda seperti Kui Hong yang harus menanti pada tengah malam dan di tengah hawa udara yang demikian dingin. Karena itu tidak mengherankan apa bila lama kelamaan gadis ini mulai merasa bosan dan mengeluh, bahkan kadang-kadang kelihatan bibirnya berkomat-kamit mengomel, biar pun dilakukan dengan bisik-bisik saja.

Tidak terlihat seorang pun yang keluar dari pintu gerbang itu, biar pun dari pos penjagaan di sampingnya dia dapat mendengar nada yang ribut-ribut, karena udara dingin membuat orang malas keluar sebelum matahari terbit. Dan dia memperhitungkan bahwa laki-laki itu tentu tidak akan mengeram diri di dalam istana bagian puteri itu sampai matahari terbit.

Akan tetapi omelan yang keluar dari mulut mungil itu makin larut malam semakin menjadi-jadi penuh kedongkolan karena malam telah hampir lewat sedangkan orang yang dinanti-nanti itu belum juga muncul. Akhirnya, sesudah kesabarannya hampir habis, ketika ayam jantan mulai berkokok, nampak orang itu keluar dari pintu gerbang istana yang terdepan.

SEORANG perwira setengah tua yang pakaiannya mewah serta langkahnya gagah. Ketika orang itu melewati pintu gerbang yang diterangi lampu besar, dia dapat melihat wajahnya secara jelas dan dengan girang dia mengenal orang itu sebagai bayangan yang semalam disambut di dalam pondok hijau oleh lima orang selir kaisar.

Dia membiarkan orang itu lewat, kemudian diam-diam membayangi. Orang itu melangkah terus bagaikan setengah melamun, agaknya masih mabok kesenangan yang dinikmatinya semalam suntuk tadi. Melihat betapa orang itu melangkah biasa saja, agaknya tak curiga dengan keadaan sekitarnya, tidak menoleh ke kanan kiri, Kui Hong lalu membayangi dari jarak agak dekat.

Di sinilah letak kesalahan Kui Hong. Dia terlalu memandang rendah terhadap orang yang dibayanginya itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa orang yang dibayanginya itu memang benar Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, tetapi dugaan itu dibuangnya karena melihat bahwa wajah perwira Tang Bun An itu berbeda dengan wajah Ang-hong-cu yang pernah dilihatnya sebagai Han Lojin.

Dia lupa akan cerita Ling Ling atau Cia Ling bahwa pria yang memperkosanya itu selain tubuhnya berbau harum cendana, juga wajahnya halus tanpa kumis dan jenggot! Hal itu menunjukkan bahwa kemunculan Han Lojin yang berkumis dan berjenggot hanyalah hasil penyamaran, dan apa bila benar Han Lojin adalah Ang-hong-cu dan pemerkosa Cia Ling, maka kumis dan jenggot yang pada saat itu terpasang di wajahnya tentu hanyalah kumis dan jenggot palsu belaka.

Biar pun Kui Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan, namun diam-diam Tang Bun An sudah mengetahui bahwa dirinya sedang dibayangi orang. Diam-diam perwira ini amat terkejut. Dia tidak tahu siapa yang membayanginya dan mengapa ada orang membayangi dirinya. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Jangan-jangan orang ini telah membayangi sejak tadi malam sehingga tahu akan apa yang dilakukannya bersama para selir di dalam istana.

Ahh, tidak mungkin, dia membantah kekhawatirannya sendiri. Betapa mungkin ada orang yang dapat membayanginya keluar dari istana tanpa diketahuinya? Kalau orang itu sudah membayanginya sejak keluar dari istana, tentu para penjaga akan mengetahui kemudian timbul ribut-ribut di gerbang itu. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, dan sejak tadi suasana di sana sunyi senyap saja.

Tang Bun An adalah seorang yang amat percaya terhadap dirinya sendiri, selalu merasa yakin akan kepandaiannya. Selama ini dia malang melintang di dunia kangouw dan belum pernah sekali pun ada orang yang berhasil menangkapnya. Beberapa orang yang secara kebetulan berhasil memergokinya dapat diatasi dengan kepandaiannya. Karena itu sama sekali dia tidak merasa khawatir apa lagi ketakutan ketika mengetahui bahwa dia sedang diikuti oleh sesosok bayangan.

Namun, kalau di sekitar istana terjadi ribut-ribut kemudian dia menjadi bahan percakapan dan sorotan, maka hal ini amat tidak baik, bahkan berbahaya. Dia ingin sekali mengetahui siapa yang membayanginya itu dan apa pula sebabnya, juga dia ingin menguji sampai di mana tingkat kepandaian orang ini. Maka kini Tang Bun An mempercepat larinya menuju tembok kota!

Pada pagi itu pintu gerbang kota masih tertutup, maka hal ini juga memberi kesempatan kepada Tang Bun An untuk menguji orang yang membayanginya. Betapa pun pandainya, tidak mungkin dia dapat melampaui tembok kota raja yang berupa benteng yang kuat dan terjaga ketat itu. Orang itu tentu tak akan mampu keluar dari kota raja tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat oleh sepasukan prajurit-prajurit pilihan yang selalu siap siaga.

Benar saja. Ketika dia mulai mendekati pintu gerbang kota raja, dari pos penjagaan tiba-tiba muncul delapan orang prajurit yang segera menghadangnya, dipimpin oleh seorang perwira bertubuh tegap dan berkumis tebal. Akan tetapi mereka semua langsung memberi hormat setelah mengenali siapa orang yang sedang mendekati pintu gerbang itu.

“Selamat malam, Tang-ciangkun,” perwira berkumis tebal itu menegur ramah. “Apakah ada keperluan penting sehingga malam-malam seperti ini ciangkun merepotkan diri berkunjung ke sini?”

“Benar sekali,” jawab Tang Bun An. “Ada urusan yang harus kuselidiki sehingga malam ini juga aku harus keluar kota. Kalian jaga baik-baik di sini, sampai matahari terbit tidak ada orang yang boleh melewati pintu ini. Tangkap setiap orang asing yang coba-coba keluar dari kota raja. Sekarang bukalah pintu gerbang itu dan segera tutup kembali sesudah aku keluar. Ingat, tangkap setiap orang asing yang hendak melewati pintu gerbang!”

Setelah memberi perintah dan pintu gerbang dibuka, Tang Bun An segera berjalan keluar kemudian berdiri di luar dan menunggu hingga pintu itu ditutup kembali oleh para prajurit.

“Hemm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau dapat keluar dari kota raja dan terus mengikutiku,” pikirnya sambil berjalan menjauh dari pintu gerbang.

Tang Bun An tidak pergi terlalu jauh. Sesudah berjarak setengah li dari pintu gerbang, dia pun berhenti dan menanti sambil memandang ke arah tembok benteng yang mengelilingi kota raja dan terutama ke arah pintu gerbang yang tadi dilewatinya.

Dia tidak perlu menunggu terlalu lama. Tiba-tiba saja matanya terbelalak melihat sesosok bayangan ramping melompat turun dari atas tembok kota, tidak jauh di samping kiri pintu gerbang. Tang Bun An terkejut sekali.


cerita silat online karya kho ping hoo


Dalam keremangan cahaya matahari yang baru terbit dia masih dapat melihat bayangan ramping itu, dan sebagai seorang yang telah berpengalaman sekali dalam urusan wanita, dia tahu pasti bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang wanita muda. Yang membuat dia merasa sangat terkejut adalah kenyataan bahwa wanita muda ini melompat turun dari atas tembok kota. Ini berarti bahwa ginkang wanita ini benar-benar hebat sehingga tadi di sebelah dalam dia mampu pula melompat naik ke atas tembok itu. Bukan main!


Akan tetapi tentu saja dia tidak takut, hanya merasa heran kenapa pendekar wanita muda ini tahu-tahu membayangi dan mengejarnya! Dia bersikap tidak mengenalnya dan setelah gadis itu berdiri di depannya, dia pun berkata dengan nada suara keheranan.

“Aihh, agaknya engkau mengejar aku, Nona. Benarkah dugaanku bahwa engkau sedang mengejarku?” dia bertanya sambil memandang dengan penuh perhatian.

Kui Hong mengamati wajah perwira itu. Kini matahari pagi mulai mengusir kegelapan yang masih tersisa sedikit sehingga dia dapat melihat wajah itu lebih jelas dari pada ketika dia mengintai dari luar jendela.

Wajah yang masih tampan dan gagah. Usia yang sudah setengah abad lebih itu bahkan membuatnya nampak matang dan dewasa benar. Akan tetapi sinar mata yang mencorong tajam itu mengandung kecabulan. Hal ini kelihatan jelas ketika sinar mata itu seolah-olah meraba-raba dan menggerayangi seluruh tubuhnya sehingga Kui Hong merasa geli dan jijik sendiri.

“Hemm, penjahat cabul! Menyerahlah engkau untuk ketangkap dan kuhadapkan kepada yang berwajib untuk diadili!”

Tang Bun An terkejut sekali, bukan dibuat-buat melainkan betul-betul terkejut. Jelas gadis ini menjadi petugas pemerintah, namun entah siapa yang mengutusnya untuk menyelidiki hal ihwal dirinya. Akan tetapi dia mengusir keterkejutan itu dan bersikap tenang.

“Nona, apakah kesalahanku maka Nona hendak menangkapku? Dan siapa yang meminta agar Nona menangkapku?”

“Tidak perlu berpura-pura lagi. Menteri Cang Ku Ceng menyuruhku untuk manangkapmu dan mengenai kesalahanmu, engkau dapat menanyakan kepada beliau. Aku terlalu muak dan jijik untuk menjelaskannya. Sekarang menyerahlah engkau!”

Tang Bun An segera maklum. Agaknya perbuatannya sudah diketahui orang dan selama ini semua gerak-geriknya telah diawasi oleh Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai seorang menteri yang bijaksana dan setia terhadap istana. Maka tidak mengherankan apa bila Menteri Cang hendak menangkapnya, akan tetapi dia masih berlagak heran.

“Menteri Cang Ku Ceng? Apa maksudnya semua ini? Mengapa beliau mengutus Nona untuk menangkap aku? Aku adalah seorang perwira pengawal, dan Nona adalah seorang gadis biasa. Bagaimana aku bisa percaya bahwa Nona diutus Cang Taijin?”

Kui Hong mengeluarkan surat jimat itu, surat tugas dan kekuasaan yang didapatnya dari Cang Taijin. Dia membuka surat itu lalu memperlihatkannya kepada Tang Bun An.

“Inilah surat perintah itu! Tang Bun An, lebih baik engkau segera menyerah untuk kutawan dan kuhadapkan kepada beliau!”

Tang Bun An semakin kaget. Dia mengenal cap kebesaran menteri itu dan sekarang dara muda ini bisa menunjukkan surat kuasa di mana terdapat cap kebesaran itu. Jelas bahwa wanita ini tidak berbohong dan memang memegang kekuasaan untuk menangkapnya.

Mata Tang Bun An memandang tajam. Ketika pertama melihat Kui Hong tadi, dia merasa girang bukan main setelah mendapat kenyataan bahwa yang mengejarnya adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dengan tubuh amat menggairahkan. Biasanya dialah yang mengejar para wanita, tetapi sekali ini justru ada seorang gadis muda yang mengejarnya. Harus diakuinya bahwa gadis ini adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya, bahkan wanita-wanita di dalam istana tidak ada yang dapat menyamainya.

Namun, sesudah melihat gadis itu membawa surat kekuasaan dari Menteri Cang Ku Ceng untuk menangkapnya, hilang sudah seluruh nafsu birahinya terhadap kecantikan Kui Hong dan ancaman bahaya membuat dia sekarang menjadi buas. Dengan teriakan melengking panjang, dia mencabut pedangnya dan langsung menyerang Kui Hong tanpa peringatan lagi! Hal ini saja sudah menunjukkan kelicikannya.

Akan tetapi Kui Hong sudah waspada. Melihat cahaya pedang berkelebat, gadis ini sudah cepat meloncat jauh ke samping sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, yaitu Hok-mo Siang-kiam pemberian neneknya. Begitu pedang itu digerakkan maka nampaklah dua gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar dan melibat sinar putih pedang Tang Bun An yang bergulung-gulung. Terjadilah pertarungan yang seru dan mati-matian.

Memang Tang Bun An memiliki kepandaian tinggi, namun kalau diadakan perbandingan maka kepandaian Kui Hong masih jauh lebih unggul. Ang-hong-cu hanya menerima ilmu dari seorang pengemis tua yang tidak dikenalnya, yang minta disebut Lo-kai saja. Walau pun gurunya ini sangat sakti dan mempunyai banyak macam kepandaian, termasuk ilmu menyamar dan pengobatan, tetapi ilmu silat yang dikuasainya bukan merupakan ilmu silat murni sehingga dasar-dasar jurus silatnya kurang kokoh.

Sedangkan Kui Hong lahir dan dibesarkan di Cin-ling-san, pegunungan di mana terdapat salah satu perguruan silat yang terbesar dan terkuat di dunia kangouw, yaitu Cin-ling-pai. Sejak kecil dia telah dididik dan digembleng oleh ayah bundanya, yakni Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, sepasang suami isteri pendekar yang berkepandaian tinggi. Cia Kong Liang kakek dalamnya (kakek dari pihak ayah) yang waktu itu masih menjadi ketua Cin-ling-pai bahkan kadang-kadang turun tangan dan mendidiknya pula dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang bersifat murni.

Kemudian, ketika dia mulai beranjak remaja, selama hampir lima tahun gadis ini tinggal di Pulau Teratai Merah sebagai akibat dari kekisruhan rumah tangga orang tuanya. Selama itu pula kakek dan nenek luarnya telah menggembleng dara ini dengan ilmu-ilmu lain yang tak kalah dahsyatnya, karena ilmu-ilmu silat ini dahulu telah mengangkat nama kakek dan neneknya sehingga terkenal sekali dengan julukan Pendekar Sadis dan Lam-sin.

Bukan latar belakang mereka saja yang membuat Kui Hong lebih unggul, namun keadaan kedua orang itu pada saat sekarang justru memperkuat perbedaan di antara mereka. Kui Hong adalah seorang gadis muda, tenaga dan semangatnya masih penuh dan kini sedang berada pada puncaknya. Ada pun Tang Bun An mulai dimakan usia, maka tenaga, napas dan semangatnya juga sudah menurun, apa lagi selama ini dia sangat gemar mengumbar nafsu, bahkan tadi malam pun dia mengejar kesenangan dunia tanpa mengenal batas.

Sesudah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, Kui Hong dapat mendengar dengus napas lawannya yang mulai memburu, juga dia melihat beberapa butir keringat sudah menghiasi kening penjahat cabul ini. Maka dia mendesak makin gencar, pedangnya digerakkan lebih cepat sambil mengerahkan sinkang sehingga pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, sementara tubuhnya berkelebat laksana burung walet menyambar.

Tang Bun An segera terdesak hebat. Kini dia lebih banyak menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, hanya kadang-kadang pedangnya terpaksa menangkis ketika dia sudah tidak sempat mengelak lagi karena gerakannya kalah cepat dibandingkan serangan lawan. Dia semakin khawatir, sebab pedangnya selalu terpental setiap kali pedang itu beradu dengan pedang hitam lawannya. Pria ini pun maklum bahwa dia kalah segala-galanya, dan kalau pertandingan itu dilanjutkan maka tidak lama lagi dia tentu akan roboh di tangan gadis ini.

Melihat lawannya telah terdesak hebat, kini Kui Hong menggerakkan pedangnya semakin cepat lagi sehingga tampak lingkaran sinar hitam bergulung-gulung mengurung sinar putih yang makin lama semakin mengecil, tanda bahwa pedang perak itu sedang tertindih oleh sepasang Hok-mo Siang-kiam. Nampak jelas olehnya bahwa walau pun pedang lawan itu juga hebat namun dia mulai kelihatan jeri. Maka timbullah kenakalan yang menjadi watak Kui Hong yang biasanya berandalan dan jenaka itu.

“Huhh, perwira tua mata keranjang! Aku akan merobohkanmu tetapi tidak membunuhmu, agar engkau dijatuhi hukuman gantung di pintu gerbang. Semua orang akan meludahimu dan melihat engkau menderita sampai mampus! Akan kulihat apakah semua wanita yang menjadi kekasihmu itu akan suka mendekatimu lagi. Hi-hik-hik!”

Wajah Tang Bun An menjadi sebentar pucat sebentar merah. Walau pun gadis itu hanya mengejek, tetapi dia merasa ngeri membayangkan hukuman semacam itu! Sukar baginya untuk mencapai kemenangan dalam menghadapi seorang gadis selihai ini. Paling bagus dia hanya dapat mengimbanginya saja, dan hal itu pun agaknya sukar sekali. Sayang dia tidak membawa senjatanya yang ampuh, yang biasa dipergunakannya untuk merobohkan wanita korbannya yang akan diculiknya, yaitu sapu tangan yang mengandung bubuk obat pembius.

“Makan senjata rahasiaku!” bentaknya, dan mendadak tangan kirinya bergerak. Beberapa benda kecil segera menyambar tubuh Kui Hong.

Dengan tenang namun cepat gadis ini memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara nyaring dan benda-benda kecil itu terpental sehingga beterbangan. Sebuah di antaranya terpukul runtuh dekat kaki Kui Hong dan gadis itu melihat bahwa benda itu adalah seuntai kalung emas! Ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah perhiasan-perhiasan berharga yang agaknya diterima penjahat cabul itu dari para selir sebagai hadiah atau tanda cinta!

“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau?!” bentaknya melihat bahwa serangan senjata-senjata kecil yang sebetulnya adalah benda-benda perhiasan itu hanya merupakan siasat untuk melarikan diri saja sebab begitu menyerang dengan sambitan, Tang Bun An segera membalikkan tubuhnya dan melompat jauh ke depan, melarikan diri ke dalam hutan dan mendaki bukit.

Kui Hong juga melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya orang itu telah hafal benar dengan keadaan di dalam hutan, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumpun semak belukar. Akan tetapi Kui Hong tidak mau melepaskannya dan terus mengejar.

Ketika mereka tiba di puncak bukit yang berhutan, Kui Hong melihat lawannya lari ke arah sebuah rumah yang berdiri di puncak itu. Rumah yang terpencil, bahkan tak nampak dari bawah karena tertutup oleh pohon-pohon besar. Rumah itu entah milik siapa, akan tetapi melihat betapa orang setengah tua itu memasuki rumah melalui pintu depan yang dengan mudah terbuka ketika didorong, maka dia pun mengejar terus.

“Keparat pengecut! Jangan lari kau!” bentaknya lagi dengan sepasang pedang masih di tangan.

Kui Hong sempat melihat betapa Tang Bun An lari menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar. Dengan hati-hati dia mengejar dan melompat pula ke dalam kamar itu. Dia sangat berhati-hati menghadapi jebakan, khawatir kalau-kalau lantai kamar itu terbuka kalau dia memasukinya.

Dilihatnya Tang Bun An sudah sampai di seberang kamar, di mana terdapat pula sebuah pintu. Orang itu berlari keluar kamar melewati pintu belakang, sementara Kui Hong terus saja mengejar.

Tiba-tiba saja terdengar suara keras di belakangnya! Kui Hong membalikkan tubuh sambil memutar kedua pedang untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu apa pun. Mendadak pintu depan kamar itu tertutup oleh pintu besi yang turun dari atas dengan cepatnya.

Ketika Kui Hong membalik hendak meloncat keluar dari pintu belakang, ternyata pintu itu pun sudah tertutup oleh pintu besi yang sama. Kui Hong meloncat ke pintu belakang itu dan mendorongnya, namun pintu itu ternyata terbuat dari besi dan amat kuat. Tahulah dia bahwa dia telah masuk perangkap!

“Tang Bun An, jahanam pengecut yang curang! Buka pintu kemudian mari kita lanjutkan pertarungan sampai salah seorang di antara kita roboh di ujung senjata!” berulang kali Kui Hong berteriak sambil menendangi daun pintu besi sehingga terdengar suara berdentam-dentam. Akan tetapi yang menjadi jawaban hanya suara ketawa dari luar pintu.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kui Hong cepat meloncat sambil membalikkan tubuh, dan melihat betapa dari sebuah lubang di bawah kini mengepul asap kehitaman ke dalam kamar! Celaka, pikirnya.

Dia cepat duduk bersila di lantai kemudian menahan napas sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi tidak mungkin dia menahan napas selamanya! Kekuatan menahan napas ini amat terbatas, maka akhirnya terpaksa dia harus bernapas sebelum mati sia-sia.

Akhirnya ruangan itu penuh dengan asap menghitam. Terdengar beberapa kali Kui Hong terbatuk-batuk, kemudian dia pun roboh terkulai sesudah terpaksa mengambil napas dan asap itu ikut terhisap.


                      ***************


Kui Hong membuka sepasang matanya. Yang pertama nampak adalah langit-langit bercat putih, lalu dinding berwarna merah muda. Ia menggerakkan kaki tangannya. Terbelenggu! Dia terbelenggu pada kaki tangannya dan rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar! Bukan kamar di mana dia terjebak tadi.

Dia terjatuh ke tangan Tang Bun An, si penjahat cabul! Akan tetapi hatinya langsung lega ketika merasa bahwa pakaiannya masih menutupi tubuhnya dan tidak dirasakan sesuatu pada dirinya. Jahanam itu belum mengganggunya. Belum!

Kemungkinan besar dia akan diganggu, dan hatinya dicekam kengerian membayangkan betapa dalam keadaan terbelenggu dan tidak berdaya itu dia dipermainkan dan diperkosa oleh perwira cabul itu! Jantungnya berdebar tegang, sementara hatinya dilanda kengerian dan ketakutan.

Akan tetapi dia cepat mengatur pernapasannya sehingga rasa cemas itu pun menghilang. Sekarang dia bersikap tenang, tak mau membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin mengancamnya. Dia menyibukkan pikirannya sambil mencari akal bagaimana agar dapat lolos dari bahaya.

Dengan menyibukkan pikiran mencari ikhtiar, maka tidak ada kesempatan lagi bagi pikiran untuk membayangkan hal-hal yang mengerikan. Pada saat itu jelas bahwa tidak mungkin dia bisa membebaskan diri dengan kekerasan. Belenggu pada kaki tangannya amat kuat, dan ketika dia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya, belenggu itu tidak putus namun melar seperti karet. Jika mengharapkan bantuan, siapa yang dapat menolongnya sekarang?

Tidak ada orang yang mengetahui ketika dia membayangi penjahat itu, dan kini dia berada di tangan perwira cabul itu, di dalam hutan pada puncak sebuah bukit yang sangat sunyi. Andai kata dia menjerit sekali pun, tidak mungkin dapat terdengar oleh orang yang tinggal jauh di bawah bukit.

Dan menjerit minta tolong bukan cara yang pantas dia lakukan, bahkan merupakan suatu pantangan bagi seorang pendekar seperti dirinya. Tidak! Dia tidak akan minta tolong atau menjerit, bahkan dia pun tidak sudi minta ampun. Dia harus mencari akal yang baik, dan sampai mati sekali pun dia tidak boleh memperlihatkan rasa takut.

Tiba-tiba jantungnya berdebar. Ia mendengar langkah kaki yang amat berat menghampiri kamarnya dari luar, lantas daun pintu kamar itu didorong orang dari luar sehingga terbuka dan muncullah perwira Tang memasuki kamar sambil menggotong sebuah tong kayu yang besar dan tebal.

Dia lalu meletakkan tong itu di tengah kamar, tak jauh dari tempat tidur di mana Kui Hong rebah telentang dalam keadaan terbelenggu. Setelah menurunkan bak atau tong kayu itu, Tang Bun An menoleh ke arah pembaringan. Melihat gadis itu telah siuman dan sekarang hanya menengadah, sama sekali tidak melirik kepadanya, dia pun tertawa.

"He-heh-heh, nona manis. Engkau sungguh lihai bukan main, akan tetapi akhirnya engkau roboh juga menghadapi aku. Baru engkau mengakui kehebatanku, ya?"

Kui Hong menoleh dan memandang pria itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. "Cih, laki-laki pengecut curang tidak tahu malu! Engkau menggunakan perangkap, engkau curang dan licik, menandakan bahwa engkau hanyalah seorang yang pengecut dan keji. Kalau engkau memang merasa jantan, segera lepaskan belenggu ini kemudian mari kita bertanding seperti orang gagah sampai titik darah terakhir!"

"Ha-ha-ha-heh-heh, engkau memang gagah, nona. Gagah dan cantik sekali. Betapa ingin hatiku untuk bertanding denganmu! Bukan bertanding untuk saling membunuh, melainkan saling menyenangkan. Ha-ha-ha! Namun sayang, semalam aku telah bertanding melawan lima orang harimau betina kelaparan. Aku lelah sekali dan perlu mandi untuk memulihkan tenaga. Engkau tunggulah. Setelah mandi aku akan melayanimu bertanding, ha-ha-ha-ha!" Dan perwira itu keluar meninggalkan kamar.

Celaka, pikir Kui Hong. Dia tadi memang sengaja mengeluarkan ucapan untuk menghina serta memanaskan hati orang itu. Akan tetapi selain pengecut dan curang, ternyata orang itu pun tebal muka, sama sekali tak malu oleh ucapannya bahkan mengeluarkan jawaban dengan ucapan yang mengandung makna cabul yang menusuk perasaan kewanitaannya. Dia harus mencari akal lain. Melukai kejantannya dengan kata-kata tak ada gunanya bagi orang yang bermuka tebal itu.

Biar pun tadinya dia tak ingin menoleh dan memandang, tetapi hatinya tertarik juga ketika mendengar perwira itu kembali masuk ke dalam kamar lantas menuangkan air ke dalam tong yang digotongnya masuk tadi. Dia segera melirik dan melihat betapa Tang Ciangkun tadi menggotong dua ember besar penuh air lalu menuangkannya ke dalam tong. Orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun, hanya tersenyum-senyum.

Dia lalu keluar lagi dan tak lama kemudian terdengar suaranya bernyanyi! Nyanyian lagu rakyat dari daerah selatan dan dinyanyikan dengan lidah selatan pula. Terdengar lucu tapi Kui Hong harus mengakui bahwa suara orang itu cukup merdu. Dia masuk membawa dua ember air lagi dan menuangkan air ke dalam tong sambil tetap bersenandung. Sesudah tiga kali menuangkan dua ember besar air, barulah dia merasa cukup.

"Heh-heh, nona manis. Aku hendak mandi dulu, ya? Sesudah itu baru kita bicara tentang pertandingan antara kita, ha-ha-ha!"

Tanpa sungkan lagi, tanpa sopan santun sedikit pun, dia mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu di hadapan Kui Hong! Tentu saja Kui Hong cepat membuang muka, tidak sudi memandang dan melihat sikap ini, Tang Bun An tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, Nona manis, kenapa engkau membuang muka? Pandanglah aku, amatilah baik-baik. Lihat, setiap wanita mengagumi tubuhku ini. Lihatlah dan engkau akan merasa suka dan kagum, Nona!”

Tanpa menoleh Kui Hong berkata ketus, “Engkau manusia yang jahat, kejam, curang dan tidak sopan. Manusia berwatak iblis! Biar kau mampus dibakar api neraka!”

Tang Bu An yang kini telah telanjang bulat itu memasuki tong berisi air sambil membawa sebuah bungkusan dan tertawa-tawa. Perwira ini membuka bungkusan yang berisi bubuk berwarna kuning, lalu menaburkan bubuk itu ke dalam tong air. Segera tercium bau yang amat harum.

“Ha-ha-ha, dan engkau seorang gadis yang sombong, kepala besar, tinggi hati! Kau kira aku tidak mengenal wanita? Hanya pada lahirnya saja tinggi hati dan jual mahal, padahal pada dasarnya amat rendah dan murah! Perempuan selalu beracun, palsu. Kecantikannya hanya ditujukan untuk menjatuhkan hati kaum laki-laki dan sesudah itu memperdayainya dan menipunya! Di balik senyummu yang manis menarik itu terkandung kepahitan yang beracun! Terkutuklah perempuan! Dan engkau masih berani mengatakan aku kejam dan jahat? Ha-ha-ha-ha-ha, tidak ada yang lebih jahat dari pada perempuan, akan tetapi tidak ada yang lebih mengasyikkan dan lebih menggairahkan selain perempuan."

Kui Hong tidak menjawab karena dia sudah terbelalak memandang kepada laki-laki yang sudah berendam di dalam tong penuh air itu. Dia berani memandang karena kini laki-laki itu berada didalam tong yang menyembunyikan ketelanjangannya.

Dia terpaksa memandang ketika tadi hidungnya mencium bau yang sangat harum. Harum cendana! Bau ini membuat dia terkejut bukan main sehingga memaksanya menoleh dan memandang. Bahkan dia hanya dapat mendengar sebagian saja ucapan laki-laki itu yang mengandung kebencian besar terhadap wanita.

"Kau... kau... Ang-hong-cu !" Akhirnya dia berkata.

Tang Bun An yang masih tertawa tiba-tiba saja menghentikan suara ketawanya ketika dia mendengar seruan Kui Hong itu. Kedua matanya terbelalak memandang gadis itu, alisnya berkerut. Gadis ini tahu bahwa dia Ang-hong-cu!

"Bagaimana engkau bisa tahu?!" tanyanya dengan suara membentak sebab menganggap hal ini amat berbahaya baginya.

"Sekarang aku mengerti mengapa mereka mengatakan bahwa engkau berbau cendana. Kiranya engkau selalu merendam diri dalam air bercampur bubuk cendana! Ang-hong-cu, engkau iblis busuk! Engkau jahanam kotor dan hina! Kelak engkau pasti akan mampus di tanganku!" teriak Kui Hong marah bukan main karena dia teringat akan aib yang menimpa diri Pek Eng dan terutama sekali Cia Ling yang masih terhitung keponakannya sesudah diperkosa oleh pria ini.

Akan tetapi Ang-hong-cu Tang Bun An malah menyambut ancaman itu dengan suara tawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, engkauini gadis remaja berani mengancam aku? Bagus, engkau sudah mengetahui bahwa aku Ang-hong-cu. Memang, aku adalah Ang-hong-cu, akulah Si Kumbang Merah penghisap kembang! Dan engkau bagaikan setangkai bunga yang baru mekar penuh madu. Karena engkau sudah mengetahui rahasiaku, tunggulah sampai aku selesai mandi, nona manis. Aku akan menghisap madumu sampai habis dan sesudah itu, engkau harus mati agar rahasia diriku tak sampai terdengar orang lain. Tenanglah, Nona, engkau akan mati dalam keadaan bahagia, mati dalam kemesraan dan mabok cintaku, ha-ha-ha!"

Kini diam-diam Kui Hong merasa ngeri. Dia adalah seorang gadis perkasa, seorang gadis gemblengan yang tidak takut akan ancaman maut. Ia adalah ketua Cin-ling-pai yang akan menghadapi maut dengan senyum dan dengan mata terbuka. Akan tetapi, ancaman yang dilontarkan Ang-hong-cu itu sungguh amat mengerikan baginya.

Dia masih akan tenang-tenang saja kalau hanya diancam mati. Akan tetapi ancaman tadi justru lebih mengerikan dari pada maut! Sungguh merupakan bayangan yang mengerikan hatinya kalau membayangkan dirinya diperkosa, dipermainkan oleh penjahat cabul yang tersohor itu.

Ingin rasanya Kui Hong menjerit dan menangis, minta supaya dia dibunuh saja dan jangan diperhina dengan perkosaan keji. Akan tetapi dia pantang menjerit apa lagi menangis, dan otaknya lantas bekerja cepat.

Sungguh pun hatinya merasa ngeri dan takut menghadapi ancaman bahaya yang baginya lebih hebat dari pada maut, Kui Hong menguatkan perasaannya lantas dia pun tersenyum mengejek.

"Ang-hong-cu, engkau boleh saja mengancamku sesuka hatimu setelah engkau bertindak secara pengecut, menangkapku dengan menggunakan asap pembius dan kamar jebakan. Engkau juga boleh menyiksaku, bahkan membunuhku. Aku tidak takut karena aku yakin bahwa kalau aku terhina dan tewas di tanganmu, maka pembalasan yang kelak menimpa dirimu akan seribu kali lebih hebat lagi! Mereka pasti akan mengetahui bahwa engkaulah yang sudah membunuhku, dan mereka semua akan mencarimu sampai dapat, membalas kekejamanmu berlipat ganda sehingga engkau akan menyesal sudah dijelmakan sebagai manusia!" Ancaman Kui Hong itu hebat sekali, namun Ang-hong-cu menerimanya sebagai gertak kosong belaka.

"Ha-ha-ha, gadis sombong! Kau kira aku gentar mendengar gertakanmu? Ha-ha-ha, tak seorang pun tahu bahwa engkau berada di sini, dan takkan pernah ada yang mengetahui bahwa engkau pernah berada di sini. Ha-ha-ha-ha! Apakah nyawamu kelak akan mampu memberi tahu mereka?"

"Huhh, engkau kejam akan tetapi juga tolol! Aku datang sebagai utusan Menteri Cang Ku Ceng untuk menyelidikimu! Apa bila aku hilang di dalam tugas ini, sudah pasti beliau akan menyangkamu! Kalau mereka mendengar akan hal ini, dan kelak sudah pasti mendengar dari Menteri Cang, bersiaplah engkau untuk menghadapi siksaan yang melebihi siksaan di neraka!"

Ucapan ini membuat Tang Bun An mulai berpikir. Gadis ini bukan hanya membual atau menggertak saja. Ucapannya ada isinya! Jika benar gadis ini utusan Menteri Cang, tentu menteri keparat itu akan mencurigainya. Akan tetapi dia masih tertawa mengejek.

"Kau kira aku takut? Siapa pun mereka, aku tidak takut. Huh, siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu?"

Ang-hong-cu Tang Bun An menggosok-gosok tubuhnya dengan sebuah handuk kecil yang sudah dibenamkan ke dalam air. Handuk itu pun diberi bubuk cendana, seolah dia hendak memasukkan sari keharuman cendana ke dalam tubuhnya dan memang dia telah berhasil karena tubuh dan keringatnya berbau cendana! Kebiasaan ini sudah dia lakukan puluhan tahun lamanya.

"Siapa lagi kalau bukan para anak buahku? Mereka adalah seluruh anggota dan pimpinan Cin-ling-pai."

"Ha-ha-ha-ha, engkau hanya menggertak! Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai? Jangan menggunakan nama besar perkumpulan silat itu untuk menakut-nakuti aku, Nona."

"Siapa menggertak? Memang matamu buta dan telingamu tuli? Aku adalah Cia Kui Hong ketua Cin-ling-pai!"

Terpaksa Kui Hong membuang muka lagi karena pria itu bangkit berdiri saking kagetnya mendengar pengakuannya itu sehingga tubuhnya yang telanjang nampak mulai dari pusar ke atas. Ang-hong-cu Tang Bun An memang terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Akan tetapi dia lalu tertawa bergelak, mentertawakan gadis itu.

"Ha-ha-ha, nona manis. Seorang dara remaja seperti engkau ini mengaku ketua Cin-ling-pai? Jangan coba-coba untuk membohongiku, Nona. Aku mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang berisi orang-orang gagah, bagaimana mungkin ketuanya seorang gadis remaja yang cantik jelita?"

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun hatinya mulai menaruh perhatian dan dia pun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar, kemudian dalam keadaan telanjang bulat dia keluar dari tong itu. Setelah mengeringkan tubuhnya, dia lantas mengenakan kembali pakaiannya. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia mulai memperhatikan gadis itu dan tidak segera melakukan hal yang tadi diancamkannya.

"Engkau ini seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) mana mungkin tahu mengenai perkumpulan kami? Ayahku pendekar Cia Hui Song, baru saja mengundurkan diri sebagai ketua Cin-ling-pai, dan di dalam pemilihan ketua baru akulah yang dipilih. Kini aku ketua Cin-ling-pai, oleh karena itu, dapat kau bayangkan sendiri, bagaimana sikap mereka kalau mendengar ketuanya sudah dihina dan dibunuh oleh Ang-hong-cu! Kau kira akan mampu meloloskan diri dari jangkauan tangan-tangan para tokoh Cin-ling-pai? Biar bersembunyi di dalam neraka pun, mereka akhirnya akan dapat mencengkerammu!"

"Ha-ha-ha, engkau hanya menggertakku! Aku tidak takut, aku akan mengusahakan agar selamanya mereka tidak dapat menemukan mayatmu! Ya, kecantikanmu akan kunikmati sepuasku, sesudah itu kau akan kubunuh lalu mayatmu akan kukubur di tempat rahasia. Tak seorang pun melihatmu masuk rumah ini, dan tak seorang pun akan tahu apa yang telah kulakukan terhadap dirimu!"

Supaya pengaruh gertakan itu tidak membuatnya lemas, Kui Hong menjawab secepatnya. "Huh, engkaulah yang tolol! Aku boleh saja kau bunuh, tetapi Menteri Cang Ku Ceng akan mengerahkan seluruh pasukan untuk mencariku. Ke mana pun engkau menyembunyikan tubuhku, mereka pasti akan menemukan. Dan Menteri Cang pasti akan melakukan segala daya upaya untuk memaksamu mengaku! Engkau akan menghadapi kemarahan Menteri Cang, juga menghadapi dendam Cin-ling-pai!"

"Aku tidak takut! Huhh, aku tidak takut sama sekali! Tidak akan ada bukti bahwa engkau tewas dan lenyap di tanganku!" Ang-hong-cu Tang Bun An berteriak, akan tetapi nyalinya semakin mengecil.

Siapa orangnya yang tidak tahu akan kekuasaan Menteri Cang Ku Ceng? Menteri itu pasti akan mampu menjungkir-balikkan seluruh kota raja untuk mencari gadis ini! Dan seluruh pasukan tentu akan mentaati perintahnya dengan rasa bangga! Dinilai dari kedudukannya, kalau dia melawan Menteri Cang, sama dengan sebutir telur melawan batu. Dan Cin-ling-pai juga merupakan ancaman yang membuat jantungnya berdebar.

Mulailah timbul keraguan di dalam hatinya. Kalau tadi dia timbul gairah terhadap gadis itu adalah karena gadis itu cantik manis dan mempunyai bentuk tubuh yang menggairahkan. Gairah yang sama dirasakannya setiap kali dia melihat wanita cantik. Namun bukan cinta, bahkan nafsunya itu hanya merupakan luapan kebenciannya terhadap kaum wanita! Kini semua gairahnya telah lenyap, malah diam-diam dia merasa takut membayangkan segala akibatnya kalau dia memperkosa lalu membunuh gadis ini.

Kui Hong adalah seorang gadis yang selain tabah juga sangat cerdik. Dia dapat melihat sikap Ang-hong-cu yang kini sudah berpakaian lengkap. Melihat penjahat itu mengenakan pakaiannya kembali saja sudah merupakan suatu pertanda bahwa gertakan-gertakannya tadi mengenai sasaran. Kalau gertakannya tidak berhasil menyudutkan dan menimbulkan rasa takut di hati penjahat itu, tentu Ang-hong-cu tidak perlu mengenakan pakaian secara lengkap seperti itu, melainkan segera saja melaksanakan ancamannya yang dikeluarkan ketika mandi tadi.

Seperti orang yang sedang bertanding silat, saat lawan terdesak merupakan kesempatan paling baik untuk merobohkannya dengan jurus-jurus serangan yang lebih ampuh. Maka dia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh.

"Itu baru dua pihak yang akan kau hadapi, Ang-hong-cu. Belum lagi kalau Pendekar Sadis dan isterinya turut keluar dari Pulau Teratai Merah untuk mencarimu! Engkau tentu sudah mendengar bagaimana nasib seorang musuh apa bila terjatuh ke tangan Pendekar Sadis! Hemmm...!"

Ang-hong-cu yang wajahnya biasanya berseri dan mulutnya selalu tersenyum mengejek itu tiba-tiba berubah menjadi pucat ketika mendengar disebutnya julukan Pendekar Sadis. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, tentu saja dia sudah mendengar tentang nama besar Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, majikan Pulau Teratai Merah di laut selatan. Bahkan isteri pendekar itu pun seorang yang sangat terkenal sekali, yang dahulu pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan).

Selain terkenal sebagai seorang sakti, Pendekar Sadis sendiri juga lebih terkenal karena kekejamannya yang melewati ukuran terhadap musuhnya, yaitu para penjahat. Pendekar itu dapat menyiksa lawan dengan berbagai macam siksaan yang melebihi segala siksaan yang digambarkan di neraka! Karena itulah maka pendekar itu dijuluki Pendekar Sadis.

Setiap orang penjahat di dunia kang-ouw selalu berjaga-jaga agar langkah mereka jangan berpapasan dengan langkah Pendekar Sadis, bahkan mereka pantang berjumpa dengan bayangan pendekar itu! Dan kini, gadis bernama Cia Kui Hong ini mengancamnya dengan nama Pendekar Sadis!

"Bocah sombong! Apa pula urusannya Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah dengan kita?"

"Apa urusannya? Nah, itulah buktinya kalau engkau ini hanya seorang penjahat cilik yang tidak tahu apa-apa di dunia kang-ouw, Ang-hong-cu. Ayahku turun-temurun adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibuku bernama Ceng Sui Cin adalah puteri Pendekar Sadis! Aku adalah cucu Pendekar Sadis, dan engkau masih menanyakan urusannya? Lihat pedangku yang kau gantung di dinding itu. Itu adalah sepasang Hok-mo Siang-kiam yang sangat terkenal, dahulu milik nenekku Lam-sin Toan Kim Hong yang telah memberikannya kepadaku."

Kini wajah Ang-hong-cu Tang Bun An bertambah pucat. Celaka, pikirnya gelisah. Kali ini dia benar-benar telah salah tangkap! Agaknya gadis ini bukan menggertak kosong belaka. Dara ini bukan hanya utusan Menteri Cang, akan tetapi juga ketua Cin-ling-pai merangkap cucu Pendekar Sadis! Dia harus menimbang seribu kali sebelum mengganggu selembar rambut gadis ini.

Akan tetapi keadaan menjadi serba repot baginya. Apa bila gadis ini dibiarkan hidup dan dibebaskannya, berarti dia akan celaka, akan kehilangan kedudukan dan menjadi buruan pemerintah. Sebaliknya kalau gadis ini sampai tewas di tangannya, dia akan menghadapi ancaman dari tiga pihak, yaitu dari Menteri Cang, dari Cin-ling-pai dan terutama sekali dari Pendekar Sadis! Dan itu berarti bahwa hidupnya akan selalu dicekam ketakutan.

Tang Bun An juga bukan orang bodoh. Dia tahu apakah gertakan gadis itu kosong belaka ataukah memang merupakan kenyataan. Dan dia pun cepat memutar otak untuk mencari jalan keluar yang terbaik baginya. Dan kecerdikannya membuat dia segera menemukan jawabannya.

"Cia Kui Hong, semua keteranganmu itu dapat kuterima dan aku percaya padamu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau bukan seorang gadis bodoh. Karena itu tentu engkau dapat melihat kenyataan bahwa bukan aku saja yang terancam bahaya, melainkan engkau pula. Bahkan bahaya yang mengancammu sudah di depan mata. Bila aku menghendaki, maka sekarang juga engkau dapat kuperkosa dan kusiksa sampai mati. Sebaliknya, walau pun semua ancamanmu tadi dapat terjadi, namun masih jauh dan aku masih dapat berusaha untuk meloloskan diri."

"Hemm, boleh kau coba!" kata Kui Hong sambil tersenyum mengejek. Dia sudah melihat kemenangan karena gertakannya yang diperhitungkan tadi. "Kalau engkau membunuhku sekarang, maka habis sudah penderitaanku. Akan tetapi engkau masih hidup dan setiap detik engkau dibayangi ketakutan! Aku tidak takut mati, dan terserah kepadamu!"

"Cia Kui Hong, orang yang tidak ingin hidup lebih lama lagi hanyalah orang yang otaknya sudah miring. Aku tidak gila dan aku masih ingin hidup dengan tenang pada hari tuaku ini. Oleh karena itu aku ingin mengajukan bertukar nyawa. Bagaimana pendapatmu, Pangcu (ketua)?"

Kui Hong yakin bahwa dia telah menang, akan tetapi dia tetap berhati-hati karena dia tahu bahwa dia sedang menghadapi seorang yang selain amat keji dan jahat, juga pandai dan licik bukan main. Mendengar dia disebut pangcu (ketua) saja sudah menunjukkan bahwa bekas lawannya ini hendak membicarakan sesuatu dengan dia sebagai Cin-ling Pangcu (ketua Cin-ling-pai), bukan dengan dia sebagai seorang gadis biasa!

“Ang-hong-cu, apa yang kau maksudkan dengan bertukar nyawa? Coba engkau jelaskan dan akan kupertimbangkan!” katanya berwibawa.

“Pangcu, bagiku hanya ada dua pilihan, dan aku akan memilih yang paling aman bagiku. Aku akan membebaskanmu sekarang juga tanpa mengganggumu sedikit pun, akan tetapi hanya dengan syarat bahwa setelah bebas engkau tak akan membuka rahasiaku kepada siapa pun juga! Engkau tidak akan bercerita kepada orang lain bahwa perwira pengawal Tang Bun An ialah Ang-hong-cu, dan tidak akan bercerita bahwa akulah yang menggauli para wanita di dalam istana bagian puteri. Pendek kata, engkau tidak akan memusuhiku, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan. Bagaimana pendapatmu?”

Biar pun di dalam hatinya Kui Hong merasa lega bahwa dia kini memperoleh kesempatan dan harapan untuk terhindar dari aib dan maut, namun hatinya tidak senang mendengar syarat itu. Tak diduganya bahwa orang ini amat cerdik dan juga liciknya sehingga hendak mengikatnya dengan janji semacam itu! Namun dia pun tahu dengan pasti bahwa seorang seperti Ang-hong-cu pasti akan melakukan gertakannya, karena tidak ada kejahatan yang dipantang orang seperti ini.

"Bagaimana kalau aku menolak syarat semacam itu?” pancingnya untuk mengetahui lebih jelas isi perut Ang-hongcu.

Ang-hong-cu Tang Bun An tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak seperti tadi lagi. Kini senyumnya masam dan paksaan.

“Maka terpaksa aku akan melakukan keinginanku semula, yaitu memperkosamu dengan cara yang belum pernah kulakukan terhadap perempuan lain yang mana pun. Sampai aku menjadi bosan padamu, kemudian engkau akan kusiksa sampai mati dan mayatmu akan kubiarkan di dalam hutan agar dimakan binatang buas sampai tidak ada sisanya lagi. Dan semua akibat yang kelak akan timbul dari perbuatanku itu akan kuhadapi dengan segala kekuatanku.”

“Ang-hong-cu, bagaimana kalau sesudah engkau membebaskan aku, kemudian aku tetap memusuhimu dan menyerangmu?”

“Hemm, aku tidak percaya! Kalau engkau memang melakukan itu, maka seluruh kalangan kang-ouw akan mengetahui belaka bahwa ketua Cin-ling-pai, juga cucu Pendekar Sadis, gadis yang bernama Cia Kui hong itu hanya seorang pendekar gadungan, dan bukan lain hanyalah manusia rendah yang suka melanggar janjinya sendiri, suka menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut!”

“Ang-hong-cu, bukan karena aku takut mati kalau aku menerima usulmu bertukar nyawa. Ini usulmu, bukan aku yang minta dibiarkan hidup. Nah, lepaskan belenggu-belenggu ini.”

“Nanti dulu, Pangcu. Engkau belum mengucapkan janjimu. Bersumpahlah dahulu seperti yang kukehendaki tadi.”

“Janji seorang pendekar lebih berharga dari pada segala macam sumpah. Janji seorang pendekar lebih berharga dari pada nyawa," kata Kui Hong dengan nada suara gemas, tapi kemudian melanjutkan. "Aku Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai, berjanji bahwa kalau Ang-hong-cu membebaskan aku, maka untuk selanjutnya aku takkan memusuhinya lagi, juga tidak akan membuka rahasianya kepada siapa pun juga."

Wajah Ang-hong-cu kembali berseri. Kini legalah hatinya. Yang terpenting bagi dia adalah keselamatan dirinya dan keuntungannya. Tidak begitu penting baginya untuk memperkosa dan membunuh gadis ini, namun sungguh amat menguntungkan kalau gadis ini menutup mulut dan tidak membocorkan rahasia dirinya. Dengan menggunakan pedang dia lantas membikin putus tali-tali belenggu kaki tangan gadis itu.

Kui Hong bangkit lalu menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya. Kemudian dia meloncat turun dan menyambar sepasang pedangnya yang tergantung di dinding. Betapa inginnya untuk mencabut sepasang pedang itu dan membunuh Ang-hong-cu, akan tetapi dia hanya memasang pedang itu di punggung, memandang kepada Ang-hong-cu dengan penuh kebencian.

Mukanya terasa panas dan ingin dia menangis karena dia merasa begitu tak berdaya dan marah. Apa lagi ketika laki-laki itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum, dia merasa seperti ditertawakan!

Dia menekan perasaannya sendiri, lalu melangkah ke pintu kamar itu. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, dia membalik dan sejenak mereka berdua saling pandang bagaikan dua ekor ayam jantan hendak bertarung.

"Ang-hong-cu, aku akan memegang teguh janjiku, akan tetapi aku bersumpah tidak akan menikah sebelum mendengar engkau mampus!"

Sesudah berkata demikian, Kui Hong lalu meloncat keluar dan berlari cepat meninggalkan rumah itu agar Ang-hong-cu tidak mendengar isaknya. Dia berlari cepat menuruni bukit itu sambil menangis! Biar pun dia sudah bebas dari perkosaan dan kematian, akan tetapi dia merasa amat tidak berdaya dan rendah.

Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang penakut yang begitu menyayang diri sendiri sehingga membiarkan seorang laki-laki sedemikian jahatnya hidup bebas hanya karena dia ingin dirinya selamat. Sungguh bukan seorang yang pantas disebut pendekar! Hal ini membuatnya sedemikian sedih dan bencinya sehingga tadi terlontar sumpahnya bahwa dia tidak akan mau menikah sebelum Ang-hong-cu mati!

Ang-hong-cu Tang Bun An berdiri terpukau seperti patung. Hatinya yang tadinya merasa mendapatkan keuntungan besar, sekarang terguncang dan dia merasa gelisah. Dia tahu alangkah hebatnya kemarahan serta kebencian gadis tadi terhadap dirinya. Sumpah yang dilakukan tadi sungguh merupakan sumpah yang berat bagi seorang gadis seperti ketua Cin-ling-pai itu!

Dia tidak akan cepat mati! Kalau rahasianya yang diketahui oleh gadis itu tersimpan rapat, tidak akan ada seorang pun yang mengetahui bahwa dialah yang menjadi penggoda para wanita istana itu, juga tidak ada yang tahu bahwa dia adalah Anghong-cu. Semua orang mengenal dia seorang perwira pasukan pengawal yang setia dan berjasa besar terhadap kaisar. Dan mulai sekarang dia harus berhati-hati menjaga segala tindakannya, terutama sekali terhadap Menteri Cang.


                  ***************
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12