Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 20
SUAMI isteri
ini sebenarnya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengambil murid baru.
Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, terlebih lagi
masih ada puteri mereka yang sudah mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi apa
yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal
dan mereka merasa kecewa bukan main.
Baru saja
mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali
mempunyai mantu dan memiliki cucu. Maka kemunculan seorang pemuda seperti Tan
Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru.
Biar pun
baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang telah menarik
perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup
dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup
tampan dan gagah, juga sikapnya sangat sopan, baik dan agaknya terpelajar.
Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat,
kepandaiannya juga tidak terlampau rendah, dan dengan gemblengan yang keras,
dalam waktu tak terlalu lama tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan
Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan sesudah
engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa
engkau, maka kami tentu tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai
murid," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan
pertanyaan.
"Orang
muda, selain yatim piatu apakah engkau tidak mempunyai seorang pun anggota
keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan?"
Pertanyaan
ini hanya sambil lalu dan tidak kentara, akan tetapi Tan Hok Seng bukanlah
seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik
pertanyaan itu dan diam-diam dia pun merasa girang bukan main. Kalau saja
selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi menantu
mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya
hidup sebatang kara, Bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi
keluarga."
Mendengar
ini, kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sungguh mengharapkan
agar sekali ini puteri mereka akan bisa menemukan jodohnya. Atas pertanyaan
pasangan suami isteri itu, Tan Hok Seng kemudian menuturkan pengalamannya,
sampai dia difitnah sehingga selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya,
bahkan dia dihukum buang pula oleh pemerintah.
"Sejak
kecil saya sudah kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya
hidup terlunta-lunta, mengembara, dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara
kalau tidak mempunyai kepandaian, maka sejak kecil saya bekerja sambil belajar.
Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh.
Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari
ilmu-ilmu silat dari mana pun. Sesudah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya
pelajari, saya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit
pengawal istana. Karena ketekunan serta kerajinan saya, maka dalam waktu
beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi
seorang perwira pengawal."
Suami isteri
itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini sungguh mengagumkan. Sejak
kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang
hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini
saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng memang seorang pemuda yang penuh
semangat.
"Kemudian,
bagaimana tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati
tertarik.
Hok Seng
menghela napas panjang. "Itulah, Suhu..." Pemuda itu tergagap karena
keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)..."
Siangkoan Ci
Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, engkau boleh menyebut guru
kepadaku."
Mendengar
ini, Hok Seng menjadi gembira bukan kepalang dan dia segera menjatuhkan dirinya
lagi, berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut suhu
dan subo.
Suami isteri
itu saling pandang dan tersenyum. Sekarang mereka tidak ragu lagi sehingga
tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan
suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini
sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang sudah ditolak oleh puteri
mereka.
"Bangkit
dan duduklah, Hok Seng, lalu lanjutkan ceritamu kepada kami," kata
Siangkoan Ci Kang.
"Suhu,
agaknya kemajuan serta keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati
kepada teman-teman dan rekan-rekan karena di antara mereka ada yang telah
bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal namun tidak pernah mendapatkan
kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja sudah mendapatkan beberapa
kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari istana ribut-ribut akibat
kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali,
peti itu kemudian ditemukan di dalam kamar teecu!"
"Hemmm,
dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" Toan Hui Cu bertanya
sambil memandang tajam.
"Subo,
bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Lagi
pula bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam
istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan
memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah."
"Hemm,
kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam
kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah
yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu bisa berada di
dalam kamar teecu dan tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini
perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena
bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak mampu banyak membela diri. Teecu
hanya dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar masih mengingat akan
jasa-jasa teecu maka teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan
melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncullah seorang pendekar
berkedok yang membebaskan teecu bahkan juga memberi bekal uang emas kepada
teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau
namanya."
"Ahh,
kalau orang benar ada saja penolong datang," kata Toan Hui Cu dengan
girang.
Akan tetapi
Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya lantas bertanya kepada pemuda itu.
"Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"
"Teccu
dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati
teecu adalah karena dialah yang mendapat kedudukan menggantikan teecu setelah teecu
dihukum."
"Engkau
mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya
tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.
Tan Hok Seng
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia banyak membaca sehingga tahu
bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tak akan mudah dikuasai
nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak akan membiarkan
nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu
dengan tegas dan mantap dia pun menjawab,
"Sama
sekali tidak, Suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan
kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sesungguhnya
yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."
"Hemmm,
apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya,
lalu apa yang akan kau lakukan?"
Kalau saja
Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja,
kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu
akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan
tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.
"Teecu
akan melaporkan ke pengadilan supaya ditangkap sehingga dapat membersihkan nama
teecu yang telah difitnah."
Jawaban ini
melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati
calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Apa bila namamu sudah
bersih, apakah engkau masih menginginkan kembali jabatan dan kedudukan
itu?"
"Tidak
sama sekali, Suhu. Teecu telah bosan dengan kedudukan itu sebab di sana terjadi
banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan
mementingkan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana
untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan
itu."
Bukan main
girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini engkau
menjadi murid kami dan kami berharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk
mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang
pernah kau pelajari."
Mereka pergi
ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian
menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke
lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika dia bertanya,
dia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya.
"Bi
Lian, Tan Hok Seng telah kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang dia
adalah sute-mu, tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena
dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik
seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."
"Sumoi...!"
Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap
ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tak segan
memberi hormat lebih dahulu biar pun dia mendapat kehormatan untuk menjadi
saudara tua.
Diam-diam Bi
Lian tidak puas. Bagaimana pun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah
ibunya, dan dalam ilmu silat jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas
menjadi suheng-nya? Akan tetapi rasanya tidak enak juga kalau disebut suci
(kakak seperguruan) oleh pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya.
Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua di dalam hatinya. Maka dia pun
tidak membantah dan dia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.
"Selamat
menjadi murid ayah dan ibu, Suheng."
Demikianlah,
sejak hari itu Tan Hok Seng menerima gemblengan dari dua orang gurunya sesudah
memperlihatkan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Menurut penilaian
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, ternyata dasar ilmu silat pemuda ini sudah
cukup lumayan.
Dia telah
mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sinkang-nya yang
kurang, sebab itu Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun
tenaga sinkang. Sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan
sepasang suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka, yaitu Kim-ke
Sin-kun.
***************
Tentu saja
suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil
Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tak pernah bermimpi bahwa
mereka sudah menerima seorang murid yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan
Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!
Sesudah
mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, maka tidak sukar menduga siapa
dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran dari Tang Gun!
Sudah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan
seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang ingin
mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar!
Tentu saja
kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan ke
tempat pembuangan dia diselamatkan oleh seorang berkedok yang lihai sekali.
Bukan saja dia dibebaskan, malah juga diberi sekantung uang emas sebagai bekal.
Sama sekali dia tidak tahu dan tak dapat menduga siapa adanya orang berkedok
yang membebaskan dirinya itu.
Tang Gun,
atau sebaiknya kini kita menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu
saja tidak berani mempergunakan nama aslinya karena betapa pun juga dia adalah
seorang pelarian dan buronan. Selain itu, jika dia memperkenalkan nama aslinya
kepada suami isteri yang kini telah menjadi gurunya itu dan kemudian mereka
mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua
orang gurunya itu takkan sudi menerimanya sebagai murid. Karena itu dia pun
mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walau pun yang dia anggap
sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan fitnah adalah orang yang telah
menangkapnya itu.
Sejak remaja
Tan Hok Seng telah merantau dan mengalami banyak penderitaan. Dengan
pengalamannya yang amat banyak ini dia bisa membawa diri secara baik, dapat
bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Bahkan Bi
Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada suheng itu sesudah lewat
satu bulan dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar
itu,. Siapa pun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng.
Pemuda ini
amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah
dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik.
Hok Seng bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau
rendah. Biar pun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat
dia hidup mewah serta terhormat, tetapi kini dia tidak segan untuk menyapu
pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar
lainnya.
Ketekunannya
dalam mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan
main, maka dia pun cepat mendapatkan kemajuan. Semua sikap yang baik inilah
yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung
dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu akan dapat
menjadi mantu mereka!
Kurang lebih
setengah tahun sudah lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di
Kim-ke-kok menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya
makin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab,
dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada suatu
sore mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Mereka berlatih ilmu silat Kim-ke
Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi
tegap, berwajah tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga,
sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah.
Dari latihan
ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini dia sama sekali tidak
terdesak oleh sumoi-nya! Dalam hal tenaga sinkang dia juga sudah memperoleh
kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walau pun dibanding Bi Lian
tentu saja dia masih kalah.
Mereka baru
saja selesai latihan dan kini sedang beristirahat di luar lian-bu-thia,
berjalan-jalan di taman bunga sambil menyeka keringat dengan kain. Keduanya
lalu duduk saling berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu.
"Aih,
Sumoi. Sampai kapan pun aku takkan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu
demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat
burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoi-nya dengan sinar
mata kagum.
Bi Lian
sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena dia tidak melihat
adanya pandang mata yang kurang ajar, maka dia pun bahkan selalu merasa bangga
dan gembira bila mana suheng-nya memandang seperti itu. Andai kata Hok Seng
tidak pandai menahan diri dan pandangan matanya mengandung pencerminan keadaan
hatinya yang penuh birahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya, dan
tentu dia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.
"Suheng,
jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau
engkau terus tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sinkang seperti
diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."
Hok Seng
menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi
mendung. Melihat ini Bi Lian merasa heran. Selama ini belum pernah dia melihat
suheng-nya bermuram seperti itu.
"Suheng,
engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?"
Kembali Hok
Seng menarik napas panjang. "Ahh, Sumoi, betapa besar keinginanku dapat
mempunyai ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani
menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."
"Suheng,
aku pernah mendengar dari ibuku bahwa dulu engkau pernah menjadi seorang
perwira di istana akan tetapi difitnah orang sehingga kehilangan kedudukanmu.
Benarkah itu? Ceritakanlah kepadaku, Suheng. Aku ingin mendengarnya."
"Memang
betul demikian, Sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha secara
tekun sehingga dari seorang prajurit pengawal aku dapat menduduki jabatan
perwira dan dipercaya oleh istana. Namun kemudian terjadi pencurian perhiasan
milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di
bawah pembaringan di dalam kamarku. Jelas bahwa aku telah difitnah orang.
Karena itu aku tekun berlatih silat supaya memperoleh kepandaian yang cukup
untuk melakukan penyelidikan."
"Engkau
hendak membalas dendam?"
"Tidak,
aku hanya ingin membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang bersalah akan
dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."
"Kalau
engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, kenapa dulu engkau tidak mengambil
tindakan, Suheng?"
Hok Seng
menggelengkan kepala dengan sedih, lantas terbayanglah di dalam ingatannya
penghinaan yang terjadi atas dirinya pada saat dia ditangkap dan diseret ke
kota raja oleh penangkapnya itu.
"Aku
difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Sumoi. Ketika itu pun
aku sudah melawan, akan tetapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang
yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum tinggal di sini,
orang yang melakukan fitnah itu telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai
imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Aku akan membongkar
rahasianya itu kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Sebelum
kepandaianku cukup, baginya aku takkan ada artinya, bahkan mungkin aku akan
ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia sangat lihai, Sumoi."
Hati Bi Lian
sangat tertarik. Ada perasaan setia kawan terhadap suheng-nya yang difitnah
orang itu, juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah jelas
orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.
"Suheng,
siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"
"Menurut
penyelidikanku, namanya Tang Bun An."
Berkerut
alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat dia akan Hay Hay
yang juga marga Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung
Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Tetapi Bi Lian
hanya menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja.
Bi Lian
tidak ingin suheng-nya mendengar tentang Ang-hong-cu, juga tak ingin ada orang
lain mendengar bahwa adik kandung suheng-nya yang pernah ditunangkan dengannya
itu telah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong
itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Seorang
pendekar wanita lain, Cia Ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, juga menjadi
korban Ang-hong-cu itu, namun kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun
Hok.
Kalau dia
bercerita mengenai Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan
kedua orang pendekar wanita itu dan dia tidak ingin melakukan hal ini.
Peristiwa aib yang menimpa kedua pendekar itu harus dikubur dan dilupakan.
Karena itulah Bi Lian tak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh
Hok Seng adalah seorang she Tang yang mengingatkan dia kepada Si Kumbang Merah
Ang-hong-cu.
"Tang
Bun An? Hemm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".
"Usianya
sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu
silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dulu aku
seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja
aku sudah roboh."
"Apakah
orang ini memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan
mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya.
Dia teringat
akan Ang-hong-cu yang dahulu pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin
yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih,
gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi.
"Dia
memang memiliki mata yang tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus
bersih, tidak berkumis mau pun berjenggot. Kenapa engkau bertanya demikian,
Sumoi?"
"Ah,
tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya
dengan urusanmu itu. Suheng, mengapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota
raja kemudian membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu
dibersihkan, semakin baik, bukan?"
"Mana
mungkin, Sumoi? Aku merasa belum sanggup menandinginya dan kalau kembali aku
tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat,
juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum merasa yakin telah
menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum
berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."
"Suheng,
aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak
dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk
ditangkap."
Wajah Hok
Seng berseri. Kalau sumoi-nya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoi-nya
ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia
percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya
itu.
"Akan
tetapi aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani
berterang memasuki kota raja, Sumoi."
"Itu
mudah saja, Suheng. Engkau masuk dengan cara menyamar dan menyelundup. Lalu
secara diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa
sukarnya?"
"Akan
tetapi harus berhati-hati, Sumoi. Selain lihai dia juga tukang fitnah, tentu
dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan
melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"
"Jangan
khawatir, Suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan
membekuknya."
Ketika
mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu lalu menyatakan hendak pergi
bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah, juga hendak membersihkan
nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu
sebenarnya merasa tidak setuju. Akan tetapi karena mereka melihat kesempatan
bagi puteri mereka untuk bergaul secara lebih akrab dengan Hok Seng yang
diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka mereka pun memberi persetujuan
mereka.
"Akan
tetapi engkau tentu masih ingat dengan pengakuanmu dahulu bahwa engkau tidak
menaruh dendam pada orang yang melempar fitnah kepadamu, bukan?" kata
Siangkoan Ci Kang.
"Dan
kalian jangan menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi kalau sampai
menentang petugas pemerintah," pesan pula Toan Hui Cu.
"Harap
Suhu dan Subo tenangkan hati," jawab Tan Hok Seng tenang. 鈥淭eecu ke kota raja bukan karena
mendendam, melainkan atas dorongan sumoi teecu hendak mencuci nama baik teecu
yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama
sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di
kota raja, apa lagi karena teecu masih merupakan seorang pelarian sebelum nama
teecu dibersihkan kembali."
Di dalam
hatinya tentu saja pemuda ini sama sekali bukan berniat untuk 'membersihkan
nama' karena bagaimana pun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat
dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan
seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin
dibersihkan lagi?
Yang jelas,
dia menaruh dendam kepada Tang Bun An yang menurut penyelidikannya kini telah
menjadi seorang perwira tinggi, mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi
dari kedudukannya dahulu karena sudah berjasa menemukan kembali selir yang
minggat dan menangkap dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dia merasa yakin
akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah
memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani
Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu.
Sebetulnya
hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang
lain dia tidak peduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan
lebih tekun belajar silat, kemudian, apa bila keadaannya memungkinkan, dia akan
mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita
menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!
***************
Tidak sukar
bagi seorang menteri negara yang memiliki kekuasaan demikian besar seperti
Menteri Cang Ku Ceng untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thaikam
(kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana!
Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan
pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang menurut desas-desus
kabarnya menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka dia pun
hanya minta waktu satu minggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu
untuk mengintai baginya hanya malam hari.
Oleh karena
itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui
Hong selalu bersembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thaikam itu
di dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan
bisa dipercaya penuh oleh perwira thaikam itu. Setelah hari menjadi gelap,
barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu untuk melakukan perondaan secara
rahasia.
Memang tidak
mudah bagi perwira thaikam itu untuk mempercaya seorang pun di dalam istana,
kecuali wanita tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya di dusun.
Hampir semua wanita di dalam istana, terutama yang masih muda dan cantik,
agaknya memiliki hubungan dengan pria misterius yang tidak pernah dilihat orang
memasuki istana itu. Kalau pun ada yang melapor, mereka hanya melihat
berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya.
Agaknya
tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya.
Hanya setan saja yang demikian itu. Tapi anehnya Sang Permaisuri sendiri
agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau
diberi laporan bahwa ada pria memasuki istana bagian puteri.
Karena
itulah terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti
seorang dayang baru atau pelayan baru. Karena jika tidak dilakukan demikian,
Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan
membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu
berhati-hati dan tidak muncul lagi.
Kehadirannya
di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini dia
kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng, dan menteri yang bijaksana ini kemudian
menggunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.
Sudah tiga
hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri
Cang, perwira thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam
gadis ini melakukan pengintaian dan perondaan, tetapi dari pagi sampai sore dia
bersembunyi saja di dalam kamar.
Akan tetapi
selama ini belum pernah dia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah
bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang
kelihatan hanyalah para pengawal istana, yaitu orang-orang thaikam yang
melakukan perondaan.
Bosan juga
rasanya, dan Kui Hong hampir putus asa ketika pada malam yang ke empat dia
melakukan pengintaian lagi secara rahasia. Malam itu hawa udara dingin bukan
main. Suatu keadaan yang menambah sengsara perasaan Kui Hong yang memang sudah
kesal dan bosan karena semua jerih payahnya tidak ada hasilnya. Untuk melawan
hawa dingin yang menusuk tulang, terpaksa dia mengerahkan sinkang di dalam
tubuhnya.
Padahal,
pada waktu malam dingin yang membuat orang menggigil itu, enaknya tinggal di
dalam sebuah kamar yang hangat, di mana terdapat perapian yang akan membikin
badan terasa nyaman. Musim semi telah tiba, kembang-kembang di taman istana
telah kuncup, bahkan ada yang mulai mekar sehingga keharumannya semerbak di
seluruh istana. Akan tetapi hawa dingin musim lalu agaknya masih tergantung di
udara.
Bagaikan
bayangan setan, Kui Hong menyusup di antara pondok-pondok mungil di celah-celah
taman-taman bunga yang indah. Biar pun malam itu sunyi sekali karena sore-sore
para penghuni istana bagian puteri sudah memasuki kamar masing-masing karena
tidak kuat berada di luar yang amat dingin, akan tetapi Kui Hong tetap
berhati-hati.
Dia sedang
melakukan pengintaian terhadap orang yang sama sekali tidak diketahuinya siapa
dan kapan atau di bagian mana dari tempat itu dia akan muncul. Maka, tentu saja
dia sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang itu.
Kui Hong
terus menyusup-nyusup di antara tanaman-tanaman bunga, atau pepohonan, atau
pondok-pondok, kadang-kadang berhenti sejenak untuk memperhatikan keadaan di
sekelilingnya dengan pandang mata dan pendengaran telingannya.
Waktu itu
sudah menjelang tengah malam. Ketika dia memasuki taman bunga di sebelah
belakang bangunan induk istana yang menjadi tempat tinggal permaisuri,
tiba-tiba saja dia melihat berkelebatnya bayangan orang! Jantungnya berdebar
tegang ketika dia hampir menjatuhkan diri untuk menyelinap di balik bunga dan
mengintai.
Bayangan itu
memiliki gerakan yang sangat ringan dan gesit, dan tahu-tahu bayangan itu sudah
berdiri di bawah sebatang pohon sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Hemm,
orang itu memang berhati-hati sekali, pikir Kui Hong.
Malam begitu
dingin dan suasana begitu sunyi, bahkan para pengawal thaikam agaknya merasa
malas untuk meronda saking dinginnya hawa udara. Dan orang ini agaknya kenal
betul dengan keadaan ini, yaitu saat-saat dan tempat yang akan sunyi senyap
kalau hawa udara sedang dingin sekali seperti sekarang. Walau pun berhati-hati,
nampak jelas bahwa sikapnya amat tenang ketika melihat sekeliling, kemudian
pandang matanya berhenti dan menatap sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari
situ.
Pondok itu
tidak terlalu besar tetapi sangat indah, apa lagi dikelilingi dengan taman
bunga di mana kembang-kembangnya mulai mekar. Nampak dua lampu gantung yang
dipasang di depan dan di belakang pondok itu sehingga biar pun hanya
remang-remang akan tetapi Kui Hong dapat melihat bahwa dinding pondok itu
berwarna hijau. Dari jendela terbayang penerangan di dalam pondok hijau itu,
tanda bahwa ada orang di dalamnya
Lelaki ini
tidak lama berdiri di sana. Sesudah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada
orang lain, dia kembali berkelebat dan dengan beberapa lompatan saja tubuhnya
sudah tiba di depan pintu pondok yang masih tertutup. Tanpa ragu dia lalu
mengetuk pintu itu.
"Tok!
Tok! Tok!"
Dengan
pendengarannya yang terlatih Kui Hong dapat mendengar ketukan itu, dan entah
mengapa dia merasa tiga kali ketukan itu seolah-olah berirama seperti merupakan
sebuah isyarat. Maka tahulah dia bahwa agaknya pria ini sudah mengenal penghuni
atau orang yang berada di dalam pondok itu.
Kui Hong
melihat pintu itu dibuka dari dalam, namun pembuka pintu itu tidak nampak dari
tempatnya mengintai. Sesudah pria itu memasuki pondok dan pintunya sudah
ditutup lagi, dengan amat hati-hati dan dengan gerakan ringan sekali Kui Hong
berkelebat mendekati pondok itu.
Bukan main
girangnya hati gadis itu ketika melalui celah-celah di antara tirai jendela dia
dapat mengintai ke dalam. Kiranya, di dalam sebuah ruangan yang terang dan
indah, pria itu sudah duduk di atas lantai yang ditilami kasur yang lebar dan
dia sudah dikelilingi oleh lima orang wanita yang cantik-cantik! Wanita yang
berpakaian mewah, berusia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun, kelimanya
cantik manis dan jelas merupakan wanita-wanita bangsawan!
Dari perwira
thaikam yang menyembunyikan dirinya, dia sudah mempelajari tentang para wanita
yang tinggal di istana, maka dia pun tahu bahwa lima orang wanita itu tentu
selir-selir kaisar! Dan kini kelima orang selir kaisar itu secara tidak tahu
malu dan tanpa sopan santun sedang duduk mengelilingi seorang laki-laki dengan
sikap dan pandang mata yang demikian genitnya!
"Kalian
berdua berjaga di luar, seorang di depan dan seorang lainnya di belakang.
Cepat!" kata seorang di antara lima wanita cantik itu kepada dua orang
gadis lainnya yang berdiri di dekat pintu.
Dua gadis
itu memberi hormat, lalu keluar dengan wajah bersungut-sungut. Malam begini
dingin dan mereka disuruh berjaga di luar! Padahal mereka berdua juga termasuk
kekasih pria setengah tua yang ganteng itu! Akan tetapi karena kedudukan mereka
hanya dayang, sedangkan lima orang wanita di dalam pondok itu adalah
majikan-majikan mereka, maka tentu saja kedua orang itu tidak berani membantah.
Kui Hong
cepat menyelinap pergi ketika dua orang gadis dayang itu keluar pondok. Dua
gadis itu langsung berpisah saat keluar tadi, seorang melalui pintu belakang
dan seorang lagi melalui pintu depan. Setelah tiba di depan dan di belakang
pondok, mereka berjalan mengitari pondok. Akan tetapi karena keadaan sunyi,
aman dan sangat dingin, keduanya lalu berlindung di dekat pintu depan dan
belakang yang terlindung oleh tembok sehingga sedikit banyak dapat terhindar
dari semilirnya angin malam yang membuat hawa menjadi semakin dingin tak
tertahankan.
Melihat dua
orang dayang itu berdiri di dekat pintu, Kui Hong menyelinap lagi mendekati
jendela. Begitu mengintai, dia langsung membuang muka setelah melihat betapa
kini pria itu berpelukan dan bermesraan dengan lima orang wanita itu. Seorang
pria dikeroyok oleh lima orang wanita! Dia hanya butuh mendengarkan percakapan
di antara mereka, bukan melihat tontonan yang tidak senonoh itu!
"Engkau
sungguh kejam sekali, membiarkan kami kedinginan dan menanti dengan sia-sia
sampai tiga malam. Kemana saja engkau selama ini?"
"Memang
laki-laki berhati kejam. Membiarkan orang setengah mati dalam kerinduan!"
"Agaknya
dia mempunyai kekasih di luar istana, maka sudah melupakan kita!"
Demikian
lima orang wanita itu menegur sambil diselingi suara tawa cekikikan. Kui Hong
merasa muak sekali. Begitukah tingkah laku para selir itu? Mereka lebih pantas
menjadi pelacur dari pada menjadi selir kaisar, menjadi wanita-wanita
bangsawan!
"Aah,
ciangkun (perwira), apa yang hendak kau katakan sekarang?" seorang wanita
lain menuntut.
Kui Hong
mendengar suara laki-laki tertawa. Suara tawa yang tenang dan bebas, lantas
disambung dengan suaranya yang dalam. "Aih, kalian ini sungguh tidak
menaruh kasihan kepadaku! Aku harus beristirahat. Ingat, aku bukan seekor ayam
jantan yang masih enak saja berkokok walau pun harus melayani puluhan ekor ayam
betina!"
Terdengar
suara wanita cekikikan menyambut ucapan pria itu. "Huhh, kau samakan kami
dengan ayam-ayam betina, ya? Terlalu!" Kemudian terdengarlah suara
gedebag-gedebug pukulan manja yang disambut oleh pria itu sambil tertawa-tawa.
Kui Hong
tidak tahan untuk mendengar lebih lanjut. Dia cepat berkelebat menjauhi jendela
itu dan menyelinap ke bawah pohon yang rindang. Dari jauh dia termenung
memandang ke arah jendela pondok itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Pria itulah
yang dimaksud oleh Menteri Cang! Dan kecurigaan menteri itu memang tepat
sekali, karena dia pun kini hampir yakin bahwa pengacau istana itu, lelaki yang
menyeret hampir semua wanita di dalam istana ke lembah kenistaan, tentu juga
perwira bernama Tang Bun An itu.
Pertemuan di
pondok itu sekaligus membongkar dua rahasia itu. Rahasia pria misterius yang
mengotori kehormatan istana dan rahasia perwira Tang Bun An. Sungguh sayang,
pikirnya. Sayang bahwa perwira itu bukan Ang-hong-cu seperti yang diduganya
semula, walau pun nama keluarga mereka sama, yaitu Tang.
"Apa
yang harus kulakukan sekarang?" Kui Hong berpikir-pikir.
Kini pergi
meninggalkan pondok ini dan besok melaporkan hasil penyelidikannya kepada
Menteri Cang? Akan tetapi, apa artinya? Tentu saja Tang Bun An dapat menyangkal
dan semua selir pasti akan berpihak kepadanya. Para selir itu tentu berani
bersumpah bahwa perwira itu tidak pernah mengunjungi mereka di istana bagian
puteri itu! Maka apa artinya kesaksian dia seorang diri?
Walau pun
hatinya diliputi keraguan, namun Kui Hong terus memikirkan cara untuk dapat
menangkap pria ini dengan bukti-bukti kuat agar dia tidak mampu mengelak lagi.
Alisnya berkerut, sementara pandangan matanya tidak pernah lepas menatap pondok
itu, di mana pria setengah tua yang masih nampak gagah itu sedang
bersenang-senang dengan lima orang selir kaisar.
Agaknya
takkan ada gunanya untuk melaporkan pria itu. Dia tidak memiliki satu pun bukti
selain pemandangan yang disaksikannya. Juga tidak ada orang lain yang dapat
dijadikan saksi untuk mendukung keterangannya. Wanita-wanita di dalam pondok
itu bahkan dapat membalikkan kenyataan sehingga akan menyerang dirinya sendiri.
Tidak
mungkin pula untuk menangkapnya saat ini, ketika mereka masih berada di dalam
lingkungan istana. Melihat gerakannya tadi yang sangat cepat dan gesit,
laki-laki ini tentu mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Apabila dia nekat
menyerangnya, pasti akan terjadi pertarungan yang menimbulkan keributan, lantas
sekejap saja akan datang banyak pengawal istana mengepung tempat itu.
Aku harus
menunggunya di luar lingkungan istana, kemudian menangkapnya setelah dia keluar
dari istana, demikian Kui Hong mengambil keputusan setelah tidak melihat adanya
jalan lain. Mudah saja kalau dia sudah berhasil menangkapnya di luar istana.
Apabila dia menyangkal maka dia dapat memaksanya agar mengaku dan kalau perlu
menyiksanya!
Setelah
mengambil keputusan ini, Kui Hong lalu kembali ke kamarnya dan ia minta tolong
kepada pelayan wanita setengah tua itu supaya secepatnya memanggil perwira
thaikam, saat itu juga. Sesudah perwira itu datang, Kui Hong minta bantuan
perwira itu supaya dia dapat dikeluarkan dari istana.
"Sekarang
juga, Nona? Malam-malam begini?"
"Aku
mempunyai keperluan penting sekali yang harus kulakukan di luar istana, karena
itu aku harus keluar malam ini juga. Kau atur saja agar aku dapat keluar dari
istana dengan selamat, ciangkun!" kata Kui Hong dan perwira itu tidak
berani membantah.
Gadis ini
adalah orang kepercayaan Menteri Cang yang telah memerintahkan kepadanya agar
dia melayani dan membantu gadis ini. Maka dia sendiri lantas mengawal Kui Hong
keluar dari istana bagian puteri, bahkan terus meninggalkan lingkungan istana.
Karena yang
mengawalnya adalah seorang perwira thaikam yang mengatakan bahwa Kui Hong
adalah kerabat seorang selir kaisar, maka dengan mudah saja Kui Hong bisa
keluar dari lingkungan istana. Tanpa pengawalan perwira thaikam itu, maka
jangan harap dapat keluar masuk istana yang dijaga ketat.
***************
Walau pun
sudah keluar dari lingkungan istana, namun Kui Hong tetap berada tidak jauh
dari tempat itu, tepatnya dia menanti sambil mengintai dari sebuah tempat
tersembunyi di dekat pintu gerbang bagian depan istana. Dari tempat ini dia
dapat memperhatikan semua orang yang keluar dari pintu gerbang itu, akan tetapi
dia sendiri tidak akan terlihat karena tubuhnya terlindung oleh sebatang pohon
besar.
Ketika
menunggu, waktu terasa merambat amat perlahan seperti keong berjalan, apa lagi
bagi seorang gadis muda seperti Kui Hong yang harus menanti pada tengah malam
dan di tengah hawa udara yang demikian dingin. Karena itu tidak mengherankan
apa bila lama kelamaan gadis ini mulai merasa bosan dan mengeluh, bahkan
kadang-kadang kelihatan bibirnya berkomat-kamit mengomel, biar pun dilakukan
dengan bisik-bisik saja.
Tidak
terlihat seorang pun yang keluar dari pintu gerbang itu, biar pun dari pos
penjagaan di sampingnya dia dapat mendengar nada yang ribut-ribut, karena udara
dingin membuat orang malas keluar sebelum matahari terbit. Dan dia
memperhitungkan bahwa laki-laki itu tentu tidak akan mengeram diri di dalam
istana bagian puteri itu sampai matahari terbit.
Akan tetapi
omelan yang keluar dari mulut mungil itu makin larut malam semakin menjadi-jadi
penuh kedongkolan karena malam telah hampir lewat sedangkan orang yang
dinanti-nanti itu belum juga muncul. Akhirnya, sesudah kesabarannya hampir
habis, ketika ayam jantan mulai berkokok, nampak orang itu keluar dari pintu
gerbang istana yang terdepan.
SEORANG
perwira setengah tua yang pakaiannya mewah serta langkahnya gagah. Ketika orang
itu melewati pintu gerbang yang diterangi lampu besar, dia dapat melihat
wajahnya secara jelas dan dengan girang dia mengenal orang itu sebagai bayangan
yang semalam disambut di dalam pondok hijau oleh lima orang selir kaisar.
Dia
membiarkan orang itu lewat, kemudian diam-diam membayangi. Orang itu melangkah
terus bagaikan setengah melamun, agaknya masih mabok kesenangan yang
dinikmatinya semalam suntuk tadi. Melihat betapa orang itu melangkah biasa
saja, agaknya tak curiga dengan keadaan sekitarnya, tidak menoleh ke kanan
kiri, Kui Hong lalu membayangi dari jarak agak dekat.
Di sinilah
letak kesalahan Kui Hong. Dia terlalu memandang rendah terhadap orang yang
dibayanginya itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa orang yang dibayanginya itu
memang benar Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, tetapi dugaan itu
dibuangnya karena melihat bahwa wajah perwira Tang Bun An itu berbeda dengan
wajah Ang-hong-cu yang pernah dilihatnya sebagai Han Lojin.
Dia lupa
akan cerita Ling Ling atau Cia Ling bahwa pria yang memperkosanya itu selain
tubuhnya berbau harum cendana, juga wajahnya halus tanpa kumis dan jenggot! Hal
itu menunjukkan bahwa kemunculan Han Lojin yang berkumis dan berjenggot
hanyalah hasil penyamaran, dan apa bila benar Han Lojin adalah Ang-hong-cu dan
pemerkosa Cia Ling, maka kumis dan jenggot yang pada saat itu terpasang di
wajahnya tentu hanyalah kumis dan jenggot palsu belaka.
Biar pun Kui
Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan, namun diam-diam Tang Bun An sudah
mengetahui bahwa dirinya sedang dibayangi orang. Diam-diam perwira ini amat
terkejut. Dia tidak tahu siapa yang membayanginya dan mengapa ada orang
membayangi dirinya. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Jangan-jangan orang
ini telah membayangi sejak tadi malam sehingga tahu akan apa yang dilakukannya
bersama para selir di dalam istana.
Ahh, tidak
mungkin, dia membantah kekhawatirannya sendiri. Betapa mungkin ada orang yang
dapat membayanginya keluar dari istana tanpa diketahuinya? Kalau orang itu
sudah membayanginya sejak keluar dari istana, tentu para penjaga akan
mengetahui kemudian timbul ribut-ribut di gerbang itu. Akan tetapi hal itu
tidak terjadi, dan sejak tadi suasana di sana sunyi senyap saja.
Tang Bun An
adalah seorang yang amat percaya terhadap dirinya sendiri, selalu merasa yakin
akan kepandaiannya. Selama ini dia malang melintang di dunia kangouw dan belum
pernah sekali pun ada orang yang berhasil menangkapnya. Beberapa orang yang
secara kebetulan berhasil memergokinya dapat diatasi dengan kepandaiannya.
Karena itu sama sekali dia tidak merasa khawatir apa lagi ketakutan ketika
mengetahui bahwa dia sedang diikuti oleh sesosok bayangan.
Namun, kalau
di sekitar istana terjadi ribut-ribut kemudian dia menjadi bahan percakapan dan
sorotan, maka hal ini amat tidak baik, bahkan berbahaya. Dia ingin sekali
mengetahui siapa yang membayanginya itu dan apa pula sebabnya, juga dia ingin
menguji sampai di mana tingkat kepandaian orang ini. Maka kini Tang Bun An
mempercepat larinya menuju tembok kota!
Pada pagi
itu pintu gerbang kota masih tertutup, maka hal ini juga memberi kesempatan
kepada Tang Bun An untuk menguji orang yang membayanginya. Betapa pun
pandainya, tidak mungkin dia dapat melampaui tembok kota raja yang berupa
benteng yang kuat dan terjaga ketat itu. Orang itu tentu tak akan mampu keluar
dari kota raja tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat oleh sepasukan
prajurit-prajurit pilihan yang selalu siap siaga.
Benar saja.
Ketika dia mulai mendekati pintu gerbang kota raja, dari pos penjagaan
tiba-tiba muncul delapan orang prajurit yang segera menghadangnya, dipimpin
oleh seorang perwira bertubuh tegap dan berkumis tebal. Akan tetapi mereka
semua langsung memberi hormat setelah mengenali siapa orang yang sedang
mendekati pintu gerbang itu.
“Selamat
malam, Tang-ciangkun,” perwira berkumis tebal itu menegur ramah. “Apakah ada
keperluan penting sehingga malam-malam seperti ini ciangkun merepotkan diri
berkunjung ke sini?”
“Benar
sekali,” jawab Tang Bun An. “Ada urusan yang harus kuselidiki sehingga malam
ini juga aku harus keluar kota. Kalian jaga baik-baik di sini, sampai matahari
terbit tidak ada orang yang boleh melewati pintu ini. Tangkap setiap orang
asing yang coba-coba keluar dari kota raja. Sekarang bukalah pintu gerbang itu
dan segera tutup kembali sesudah aku keluar. Ingat, tangkap setiap orang asing
yang hendak melewati pintu gerbang!”
Setelah
memberi perintah dan pintu gerbang dibuka, Tang Bun An segera berjalan keluar
kemudian berdiri di luar dan menunggu hingga pintu itu ditutup kembali oleh
para prajurit.
“Hemm,
hendak kulihat bagaimana caranya engkau dapat keluar dari kota raja dan terus
mengikutiku,” pikirnya sambil berjalan menjauh dari pintu gerbang.
Tang Bun An
tidak pergi terlalu jauh. Sesudah berjarak setengah li dari pintu gerbang, dia
pun berhenti dan menanti sambil memandang ke arah tembok benteng yang
mengelilingi kota raja dan terutama ke arah pintu gerbang yang tadi
dilewatinya.
Dia tidak
perlu menunggu terlalu lama. Tiba-tiba saja matanya terbelalak melihat sesosok
bayangan ramping melompat turun dari atas tembok kota, tidak jauh di samping
kiri pintu gerbang. Tang Bun An terkejut sekali.
Dalam
keremangan cahaya matahari yang baru terbit dia masih dapat melihat bayangan
ramping itu, dan sebagai seorang yang telah berpengalaman sekali dalam urusan
wanita, dia tahu pasti bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang wanita muda.
Yang membuat dia merasa sangat terkejut adalah kenyataan bahwa wanita muda ini
melompat turun dari atas tembok kota. Ini berarti bahwa ginkang wanita ini
benar-benar hebat sehingga tadi di sebelah dalam dia mampu pula melompat naik
ke atas tembok itu. Bukan main!
Akan tetapi
tentu saja dia tidak takut, hanya merasa heran kenapa pendekar wanita muda ini
tahu-tahu membayangi dan mengejarnya! Dia bersikap tidak mengenalnya dan
setelah gadis itu berdiri di depannya, dia pun berkata dengan nada suara
keheranan.
“Aihh,
agaknya engkau mengejar aku, Nona. Benarkah dugaanku bahwa engkau sedang
mengejarku?” dia bertanya sambil memandang dengan penuh perhatian.
Kui Hong
mengamati wajah perwira itu. Kini matahari pagi mulai mengusir kegelapan yang
masih tersisa sedikit sehingga dia dapat melihat wajah itu lebih jelas dari
pada ketika dia mengintai dari luar jendela.
Wajah yang
masih tampan dan gagah. Usia yang sudah setengah abad lebih itu bahkan
membuatnya nampak matang dan dewasa benar. Akan tetapi sinar mata yang
mencorong tajam itu mengandung kecabulan. Hal ini kelihatan jelas ketika sinar
mata itu seolah-olah meraba-raba dan menggerayangi seluruh tubuhnya sehingga
Kui Hong merasa geli dan jijik sendiri.
“Hemm,
penjahat cabul! Menyerahlah engkau untuk ketangkap dan kuhadapkan kepada yang
berwajib untuk diadili!”
Tang Bun An
terkejut sekali, bukan dibuat-buat melainkan betul-betul terkejut. Jelas gadis
ini menjadi petugas pemerintah, namun entah siapa yang mengutusnya untuk
menyelidiki hal ihwal dirinya. Akan tetapi dia mengusir keterkejutan itu dan
bersikap tenang.
“Nona,
apakah kesalahanku maka Nona hendak menangkapku? Dan siapa yang meminta agar
Nona menangkapku?”
“Tidak perlu
berpura-pura lagi. Menteri Cang Ku Ceng menyuruhku untuk manangkapmu dan
mengenai kesalahanmu, engkau dapat menanyakan kepada beliau. Aku terlalu muak
dan jijik untuk menjelaskannya. Sekarang menyerahlah engkau!”
Tang Bun An
segera maklum. Agaknya perbuatannya sudah diketahui orang dan selama ini semua
gerak-geriknya telah diawasi oleh Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai
seorang menteri yang bijaksana dan setia terhadap istana. Maka tidak
mengherankan apa bila Menteri Cang hendak menangkapnya, akan tetapi dia masih
berlagak heran.
“Menteri
Cang Ku Ceng? Apa maksudnya semua ini? Mengapa beliau mengutus Nona untuk
menangkap aku? Aku adalah seorang perwira pengawal, dan Nona adalah seorang
gadis biasa. Bagaimana aku bisa percaya bahwa Nona diutus Cang Taijin?”
Kui Hong
mengeluarkan surat jimat itu, surat tugas dan kekuasaan yang didapatnya dari
Cang Taijin. Dia membuka surat itu lalu memperlihatkannya kepada Tang Bun An.
“Inilah
surat perintah itu! Tang Bun An, lebih baik engkau segera menyerah untuk
kutawan dan kuhadapkan kepada beliau!”
Tang Bun An
semakin kaget. Dia mengenal cap kebesaran menteri itu dan sekarang dara muda ini
bisa menunjukkan surat kuasa di mana terdapat cap kebesaran itu. Jelas bahwa
wanita ini tidak berbohong dan memang memegang kekuasaan untuk menangkapnya.
Mata Tang
Bun An memandang tajam. Ketika pertama melihat Kui Hong tadi, dia merasa girang
bukan main setelah mendapat kenyataan bahwa yang mengejarnya adalah seorang
wanita muda yang cantik jelita dengan tubuh amat menggairahkan. Biasanya dialah
yang mengejar para wanita, tetapi sekali ini justru ada seorang gadis muda yang
mengejarnya. Harus diakuinya bahwa gadis ini adalah wanita tercantik yang
pernah dilihatnya, bahkan wanita-wanita di dalam istana tidak ada yang dapat
menyamainya.
Namun,
sesudah melihat gadis itu membawa surat kekuasaan dari Menteri Cang Ku Ceng
untuk menangkapnya, hilang sudah seluruh nafsu birahinya terhadap kecantikan
Kui Hong dan ancaman bahaya membuat dia sekarang menjadi buas. Dengan teriakan
melengking panjang, dia mencabut pedangnya dan langsung menyerang Kui Hong
tanpa peringatan lagi! Hal ini saja sudah menunjukkan kelicikannya.
Akan tetapi
Kui Hong sudah waspada. Melihat cahaya pedang berkelebat, gadis ini sudah cepat
meloncat jauh ke samping sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, yaitu
Hok-mo Siang-kiam pemberian neneknya. Begitu pedang itu digerakkan maka
nampaklah dua gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar dan melibat sinar
putih pedang Tang Bun An yang bergulung-gulung. Terjadilah pertarungan yang
seru dan mati-matian.
Memang Tang
Bun An memiliki kepandaian tinggi, namun kalau diadakan perbandingan maka
kepandaian Kui Hong masih jauh lebih unggul. Ang-hong-cu hanya menerima ilmu
dari seorang pengemis tua yang tidak dikenalnya, yang minta disebut Lo-kai saja.
Walau pun gurunya ini sangat sakti dan mempunyai banyak macam kepandaian,
termasuk ilmu menyamar dan pengobatan, tetapi ilmu silat yang dikuasainya bukan
merupakan ilmu silat murni sehingga dasar-dasar jurus silatnya kurang kokoh.
Sedangkan
Kui Hong lahir dan dibesarkan di Cin-ling-san, pegunungan di mana terdapat
salah satu perguruan silat yang terbesar dan terkuat di dunia kangouw, yaitu
Cin-ling-pai. Sejak kecil dia telah dididik dan digembleng oleh ayah bundanya,
yakni Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, sepasang suami isteri pendekar yang
berkepandaian tinggi. Cia Kong Liang kakek dalamnya (kakek dari pihak ayah)
yang waktu itu masih menjadi ketua Cin-ling-pai bahkan kadang-kadang turun
tangan dan mendidiknya pula dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang bersifat murni.
Kemudian,
ketika dia mulai beranjak remaja, selama hampir lima tahun gadis ini tinggal di
Pulau Teratai Merah sebagai akibat dari kekisruhan rumah tangga orang tuanya.
Selama itu pula kakek dan nenek luarnya telah menggembleng dara ini dengan ilmu-ilmu
lain yang tak kalah dahsyatnya, karena ilmu-ilmu silat ini dahulu telah
mengangkat nama kakek dan neneknya sehingga terkenal sekali dengan julukan
Pendekar Sadis dan Lam-sin.
Bukan latar
belakang mereka saja yang membuat Kui Hong lebih unggul, namun keadaan kedua
orang itu pada saat sekarang justru memperkuat perbedaan di antara mereka. Kui
Hong adalah seorang gadis muda, tenaga dan semangatnya masih penuh dan kini
sedang berada pada puncaknya. Ada pun Tang Bun An mulai dimakan usia, maka tenaga,
napas dan semangatnya juga sudah menurun, apa lagi selama ini dia sangat gemar
mengumbar nafsu, bahkan tadi malam pun dia mengejar kesenangan dunia tanpa
mengenal batas.
Sesudah
pertarungan berjalan tiga puluh jurus, Kui Hong dapat mendengar dengus napas
lawannya yang mulai memburu, juga dia melihat beberapa butir keringat sudah
menghiasi kening penjahat cabul ini. Maka dia mendesak makin gencar, pedangnya
digerakkan lebih cepat sambil mengerahkan sinkang sehingga pedang itu berubah
menjadi sinar bergulung-gulung, sementara tubuhnya berkelebat laksana burung
walet menyambar.
Tang Bun An
segera terdesak hebat. Kini dia lebih banyak menggerakkan tubuhnya untuk
mengelak, hanya kadang-kadang pedangnya terpaksa menangkis ketika dia sudah
tidak sempat mengelak lagi karena gerakannya kalah cepat dibandingkan serangan
lawan. Dia semakin khawatir, sebab pedangnya selalu terpental setiap kali
pedang itu beradu dengan pedang hitam lawannya. Pria ini pun maklum bahwa dia
kalah segala-galanya, dan kalau pertandingan itu dilanjutkan maka tidak lama
lagi dia tentu akan roboh di tangan gadis ini.
Melihat
lawannya telah terdesak hebat, kini Kui Hong menggerakkan pedangnya semakin
cepat lagi sehingga tampak lingkaran sinar hitam bergulung-gulung mengurung
sinar putih yang makin lama semakin mengecil, tanda bahwa pedang perak itu
sedang tertindih oleh sepasang Hok-mo Siang-kiam. Nampak jelas olehnya bahwa
walau pun pedang lawan itu juga hebat namun dia mulai kelihatan jeri. Maka
timbullah kenakalan yang menjadi watak Kui Hong yang biasanya berandalan dan
jenaka itu.
“Huhh,
perwira tua mata keranjang! Aku akan merobohkanmu tetapi tidak membunuhmu, agar
engkau dijatuhi hukuman gantung di pintu gerbang. Semua orang akan meludahimu
dan melihat engkau menderita sampai mampus! Akan kulihat apakah semua wanita
yang menjadi kekasihmu itu akan suka mendekatimu lagi. Hi-hik-hik!”
Wajah Tang
Bun An menjadi sebentar pucat sebentar merah. Walau pun gadis itu hanya
mengejek, tetapi dia merasa ngeri membayangkan hukuman semacam itu! Sukar
baginya untuk mencapai kemenangan dalam menghadapi seorang gadis selihai ini.
Paling bagus dia hanya dapat mengimbanginya saja, dan hal itu pun agaknya sukar
sekali. Sayang dia tidak membawa senjatanya yang ampuh, yang biasa
dipergunakannya untuk merobohkan wanita korbannya yang akan diculiknya, yaitu
sapu tangan yang mengandung bubuk obat pembius.
“Makan
senjata rahasiaku!” bentaknya, dan mendadak tangan kirinya bergerak. Beberapa
benda kecil segera menyambar tubuh Kui Hong.
Dengan
tenang namun cepat gadis ini memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara
nyaring dan benda-benda kecil itu terpental sehingga beterbangan. Sebuah di
antaranya terpukul runtuh dekat kaki Kui Hong dan gadis itu melihat bahwa benda
itu adalah seuntai kalung emas! Ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah
perhiasan-perhiasan berharga yang agaknya diterima penjahat cabul itu dari para
selir sebagai hadiah atau tanda cinta!
“Jahanam
busuk, hendak lari ke mana kau?!” bentaknya melihat bahwa serangan
senjata-senjata kecil yang sebetulnya adalah benda-benda perhiasan itu hanya
merupakan siasat untuk melarikan diri saja sebab begitu menyerang dengan
sambitan, Tang Bun An segera membalikkan tubuhnya dan melompat jauh ke depan,
melarikan diri ke dalam hutan dan mendaki bukit.
Kui Hong
juga melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya orang itu telah hafal benar
dengan keadaan di dalam hutan, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumpun
semak belukar. Akan tetapi Kui Hong tidak mau melepaskannya dan terus mengejar.
Ketika
mereka tiba di puncak bukit yang berhutan, Kui Hong melihat lawannya lari ke
arah sebuah rumah yang berdiri di puncak itu. Rumah yang terpencil, bahkan tak
nampak dari bawah karena tertutup oleh pohon-pohon besar. Rumah itu entah milik
siapa, akan tetapi melihat betapa orang setengah tua itu memasuki rumah melalui
pintu depan yang dengan mudah terbuka ketika didorong, maka dia pun mengejar
terus.
“Keparat
pengecut! Jangan lari kau!” bentaknya lagi dengan sepasang pedang masih di
tangan.
Kui Hong
sempat melihat betapa Tang Bun An lari menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar.
Dengan hati-hati dia mengejar dan melompat pula ke dalam kamar itu. Dia sangat
berhati-hati menghadapi jebakan, khawatir kalau-kalau lantai kamar itu terbuka
kalau dia memasukinya.
Dilihatnya
Tang Bun An sudah sampai di seberang kamar, di mana terdapat pula sebuah pintu.
Orang itu berlari keluar kamar melewati pintu belakang, sementara Kui Hong
terus saja mengejar.
Tiba-tiba
saja terdengar suara keras di belakangnya! Kui Hong membalikkan tubuh sambil
memutar kedua pedang untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi
sesuatu apa pun. Mendadak pintu depan kamar itu tertutup oleh pintu besi yang
turun dari atas dengan cepatnya.
Ketika Kui
Hong membalik hendak meloncat keluar dari pintu belakang, ternyata pintu itu
pun sudah tertutup oleh pintu besi yang sama. Kui Hong meloncat ke pintu
belakang itu dan mendorongnya, namun pintu itu ternyata terbuat dari besi dan
amat kuat. Tahulah dia bahwa dia telah masuk perangkap!
“Tang Bun
An, jahanam pengecut yang curang! Buka pintu kemudian mari kita lanjutkan
pertarungan sampai salah seorang di antara kita roboh di ujung senjata!”
berulang kali Kui Hong berteriak sambil menendangi daun pintu besi sehingga
terdengar suara berdentam-dentam. Akan tetapi yang menjadi jawaban hanya suara
ketawa dari luar pintu.
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis. Kui Hong cepat meloncat sambil membalikkan tubuh, dan
melihat betapa dari sebuah lubang di bawah kini mengepul asap kehitaman ke
dalam kamar! Celaka, pikirnya.
Dia cepat
duduk bersila di lantai kemudian menahan napas sambil mengerahkan sinkang. Akan
tetapi tidak mungkin dia menahan napas selamanya! Kekuatan menahan napas ini
amat terbatas, maka akhirnya terpaksa dia harus bernapas sebelum mati sia-sia.
Akhirnya
ruangan itu penuh dengan asap menghitam. Terdengar beberapa kali Kui Hong
terbatuk-batuk, kemudian dia pun roboh terkulai sesudah terpaksa mengambil
napas dan asap itu ikut terhisap.
***************
Kui Hong
membuka sepasang matanya. Yang pertama nampak adalah langit-langit bercat
putih, lalu dinding berwarna merah muda. Ia menggerakkan kaki tangannya.
Terbelenggu! Dia terbelenggu pada kaki tangannya dan rebah terlentang di atas
sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar! Bukan kamar di mana dia terjebak
tadi.
Dia terjatuh
ke tangan Tang Bun An, si penjahat cabul! Akan tetapi hatinya langsung lega
ketika merasa bahwa pakaiannya masih menutupi tubuhnya dan tidak dirasakan
sesuatu pada dirinya. Jahanam itu belum mengganggunya. Belum!
Kemungkinan
besar dia akan diganggu, dan hatinya dicekam kengerian membayangkan betapa
dalam keadaan terbelenggu dan tidak berdaya itu dia dipermainkan dan diperkosa
oleh perwira cabul itu! Jantungnya berdebar tegang, sementara hatinya dilanda
kengerian dan ketakutan.
Akan tetapi
dia cepat mengatur pernapasannya sehingga rasa cemas itu pun menghilang.
Sekarang dia bersikap tenang, tak mau membayangkan hal-hal mengerikan yang
mungkin mengancamnya. Dia menyibukkan pikirannya sambil mencari akal bagaimana
agar dapat lolos dari bahaya.
Dengan
menyibukkan pikiran mencari ikhtiar, maka tidak ada kesempatan lagi bagi
pikiran untuk membayangkan hal-hal yang mengerikan. Pada saat itu jelas bahwa
tidak mungkin dia bisa membebaskan diri dengan kekerasan. Belenggu pada kaki
tangannya amat kuat, dan ketika dia mencoba untuk mengerahkan tenaga
sinkang-nya, belenggu itu tidak putus namun melar seperti karet. Jika
mengharapkan bantuan, siapa yang dapat menolongnya sekarang?
Tidak ada
orang yang mengetahui ketika dia membayangi penjahat itu, dan kini dia berada
di tangan perwira cabul itu, di dalam hutan pada puncak sebuah bukit yang
sangat sunyi. Andai kata dia menjerit sekali pun, tidak mungkin dapat terdengar
oleh orang yang tinggal jauh di bawah bukit.
Dan menjerit
minta tolong bukan cara yang pantas dia lakukan, bahkan merupakan suatu
pantangan bagi seorang pendekar seperti dirinya. Tidak! Dia tidak akan minta
tolong atau menjerit, bahkan dia pun tidak sudi minta ampun. Dia harus mencari
akal yang baik, dan sampai mati sekali pun dia tidak boleh memperlihatkan rasa
takut.
Tiba-tiba
jantungnya berdebar. Ia mendengar langkah kaki yang amat berat menghampiri
kamarnya dari luar, lantas daun pintu kamar itu didorong orang dari luar
sehingga terbuka dan muncullah perwira Tang memasuki kamar sambil menggotong
sebuah tong kayu yang besar dan tebal.
Dia lalu
meletakkan tong itu di tengah kamar, tak jauh dari tempat tidur di mana Kui
Hong rebah telentang dalam keadaan terbelenggu. Setelah menurunkan bak atau
tong kayu itu, Tang Bun An menoleh ke arah pembaringan. Melihat gadis itu telah
siuman dan sekarang hanya menengadah, sama sekali tidak melirik kepadanya, dia
pun tertawa.
"He-heh-heh,
nona manis. Engkau sungguh lihai bukan main, akan tetapi akhirnya engkau roboh
juga menghadapi aku. Baru engkau mengakui kehebatanku, ya?"
Kui Hong
menoleh dan memandang pria itu dengan mata mencorong penuh kemarahan.
"Cih, laki-laki pengecut curang tidak tahu malu! Engkau menggunakan
perangkap, engkau curang dan licik, menandakan bahwa engkau hanyalah seorang yang
pengecut dan keji. Kalau engkau memang merasa jantan, segera lepaskan belenggu
ini kemudian mari kita bertanding seperti orang gagah sampai titik darah
terakhir!"
"Ha-ha-ha-heh-heh,
engkau memang gagah, nona. Gagah dan cantik sekali. Betapa ingin hatiku untuk
bertanding denganmu! Bukan bertanding untuk saling membunuh, melainkan saling
menyenangkan. Ha-ha-ha! Namun sayang, semalam aku telah bertanding melawan lima
orang harimau betina kelaparan. Aku lelah sekali dan perlu mandi untuk
memulihkan tenaga. Engkau tunggulah. Setelah mandi aku akan melayanimu
bertanding, ha-ha-ha-ha!" Dan perwira itu keluar meninggalkan kamar.
Celaka,
pikir Kui Hong. Dia tadi memang sengaja mengeluarkan ucapan untuk menghina
serta memanaskan hati orang itu. Akan tetapi selain pengecut dan curang,
ternyata orang itu pun tebal muka, sama sekali tak malu oleh ucapannya bahkan
mengeluarkan jawaban dengan ucapan yang mengandung makna cabul yang menusuk
perasaan kewanitaannya. Dia harus mencari akal lain. Melukai kejantannya dengan
kata-kata tak ada gunanya bagi orang yang bermuka tebal itu.
Biar pun
tadinya dia tak ingin menoleh dan memandang, tetapi hatinya tertarik juga
ketika mendengar perwira itu kembali masuk ke dalam kamar lantas menuangkan air
ke dalam tong yang digotongnya masuk tadi. Dia segera melirik dan melihat
betapa Tang Ciangkun tadi menggotong dua ember besar penuh air lalu
menuangkannya ke dalam tong. Orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun, hanya
tersenyum-senyum.
Dia lalu
keluar lagi dan tak lama kemudian terdengar suaranya bernyanyi! Nyanyian lagu
rakyat dari daerah selatan dan dinyanyikan dengan lidah selatan pula. Terdengar
lucu tapi Kui Hong harus mengakui bahwa suara orang itu cukup merdu. Dia masuk
membawa dua ember air lagi dan menuangkan air ke dalam tong sambil tetap
bersenandung. Sesudah tiga kali menuangkan dua ember besar air, barulah dia
merasa cukup.
"Heh-heh,
nona manis. Aku hendak mandi dulu, ya? Sesudah itu baru kita bicara tentang
pertandingan antara kita, ha-ha-ha!"
Tanpa
sungkan lagi, tanpa sopan santun sedikit pun, dia mulai menanggalkan pakaiannya
satu demi satu di hadapan Kui Hong! Tentu saja Kui Hong cepat membuang muka,
tidak sudi memandang dan melihat sikap ini, Tang Bun An tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha,
Nona manis, kenapa engkau membuang muka? Pandanglah aku, amatilah baik-baik.
Lihat, setiap wanita mengagumi tubuhku ini. Lihatlah dan engkau akan merasa
suka dan kagum, Nona!”
Tanpa
menoleh Kui Hong berkata ketus, “Engkau manusia yang jahat, kejam, curang dan
tidak sopan. Manusia berwatak iblis! Biar kau mampus dibakar api neraka!”
Tang Bu An
yang kini telah telanjang bulat itu memasuki tong berisi air sambil membawa
sebuah bungkusan dan tertawa-tawa. Perwira ini membuka bungkusan yang berisi
bubuk berwarna kuning, lalu menaburkan bubuk itu ke dalam tong air. Segera
tercium bau yang amat harum.
“Ha-ha-ha,
dan engkau seorang gadis yang sombong, kepala besar, tinggi hati! Kau kira aku
tidak mengenal wanita? Hanya pada lahirnya saja tinggi hati dan jual mahal,
padahal pada dasarnya amat rendah dan murah! Perempuan selalu beracun, palsu.
Kecantikannya hanya ditujukan untuk menjatuhkan hati kaum laki-laki dan sesudah
itu memperdayainya dan menipunya! Di balik senyummu yang manis menarik itu
terkandung kepahitan yang beracun! Terkutuklah perempuan! Dan engkau masih
berani mengatakan aku kejam dan jahat? Ha-ha-ha-ha-ha, tidak ada yang lebih
jahat dari pada perempuan, akan tetapi tidak ada yang lebih mengasyikkan dan
lebih menggairahkan selain perempuan."
Kui Hong
tidak menjawab karena dia sudah terbelalak memandang kepada laki-laki yang
sudah berendam di dalam tong penuh air itu. Dia berani memandang karena kini
laki-laki itu berada didalam tong yang menyembunyikan ketelanjangannya.
Dia terpaksa
memandang ketika tadi hidungnya mencium bau yang sangat harum. Harum cendana!
Bau ini membuat dia terkejut bukan main sehingga memaksanya menoleh dan
memandang. Bahkan dia hanya dapat mendengar sebagian saja ucapan laki-laki itu
yang mengandung kebencian besar terhadap wanita.
"Kau...
kau... Ang-hong-cu !" Akhirnya dia berkata.
Tang Bun An
yang masih tertawa tiba-tiba saja menghentikan suara ketawanya ketika dia
mendengar seruan Kui Hong itu. Kedua matanya terbelalak memandang gadis itu,
alisnya berkerut. Gadis ini tahu bahwa dia Ang-hong-cu!
"Bagaimana
engkau bisa tahu?!" tanyanya dengan suara membentak sebab menganggap hal
ini amat berbahaya baginya.
"Sekarang
aku mengerti mengapa mereka mengatakan bahwa engkau berbau cendana. Kiranya
engkau selalu merendam diri dalam air bercampur bubuk cendana! Ang-hong-cu,
engkau iblis busuk! Engkau jahanam kotor dan hina! Kelak engkau pasti akan
mampus di tanganku!" teriak Kui Hong marah bukan main karena dia teringat
akan aib yang menimpa diri Pek Eng dan terutama sekali Cia Ling yang masih
terhitung keponakannya sesudah diperkosa oleh pria ini.
Akan tetapi
Ang-hong-cu Tang Bun An malah menyambut ancaman itu dengan suara tawa mengejek.
"Ha-ha-ha-ha, engkauini gadis remaja berani mengancam aku? Bagus, engkau
sudah mengetahui bahwa aku Ang-hong-cu. Memang, aku adalah Ang-hong-cu, akulah
Si Kumbang Merah penghisap kembang! Dan engkau bagaikan setangkai bunga yang
baru mekar penuh madu. Karena engkau sudah mengetahui rahasiaku, tunggulah
sampai aku selesai mandi, nona manis. Aku akan menghisap madumu sampai habis
dan sesudah itu, engkau harus mati agar rahasia diriku tak sampai terdengar
orang lain. Tenanglah, Nona, engkau akan mati dalam keadaan bahagia, mati dalam
kemesraan dan mabok cintaku, ha-ha-ha!"
Kini
diam-diam Kui Hong merasa ngeri. Dia adalah seorang gadis perkasa, seorang
gadis gemblengan yang tidak takut akan ancaman maut. Ia adalah ketua
Cin-ling-pai yang akan menghadapi maut dengan senyum dan dengan mata terbuka.
Akan tetapi, ancaman yang dilontarkan Ang-hong-cu itu sungguh amat mengerikan
baginya.
Dia masih
akan tenang-tenang saja kalau hanya diancam mati. Akan tetapi ancaman tadi
justru lebih mengerikan dari pada maut! Sungguh merupakan bayangan yang
mengerikan hatinya kalau membayangkan dirinya diperkosa, dipermainkan oleh
penjahat cabul yang tersohor itu.
Ingin
rasanya Kui Hong menjerit dan menangis, minta supaya dia dibunuh saja dan
jangan diperhina dengan perkosaan keji. Akan tetapi dia pantang menjerit apa
lagi menangis, dan otaknya lantas bekerja cepat.
Sungguh pun
hatinya merasa ngeri dan takut menghadapi ancaman bahaya yang baginya lebih
hebat dari pada maut, Kui Hong menguatkan perasaannya lantas dia pun tersenyum
mengejek.
"Ang-hong-cu,
engkau boleh saja mengancamku sesuka hatimu setelah engkau bertindak secara
pengecut, menangkapku dengan menggunakan asap pembius dan kamar jebakan. Engkau
juga boleh menyiksaku, bahkan membunuhku. Aku tidak takut karena aku yakin
bahwa kalau aku terhina dan tewas di tanganmu, maka pembalasan yang kelak
menimpa dirimu akan seribu kali lebih hebat lagi! Mereka pasti akan mengetahui
bahwa engkaulah yang sudah membunuhku, dan mereka semua akan mencarimu sampai
dapat, membalas kekejamanmu berlipat ganda sehingga engkau akan menyesal sudah
dijelmakan sebagai manusia!" Ancaman Kui Hong itu hebat sekali, namun
Ang-hong-cu menerimanya sebagai gertak kosong belaka.
"Ha-ha-ha,
gadis sombong! Kau kira aku gentar mendengar gertakanmu? Ha-ha-ha, tak seorang
pun tahu bahwa engkau berada di sini, dan takkan pernah ada yang mengetahui
bahwa engkau pernah berada di sini. Ha-ha-ha-ha! Apakah nyawamu kelak akan
mampu memberi tahu mereka?"
"Huhh,
engkau kejam akan tetapi juga tolol! Aku datang sebagai utusan Menteri Cang Ku
Ceng untuk menyelidikimu! Apa bila aku hilang di dalam tugas ini, sudah pasti
beliau akan menyangkamu! Kalau mereka mendengar akan hal ini, dan kelak sudah
pasti mendengar dari Menteri Cang, bersiaplah engkau untuk menghadapi siksaan
yang melebihi siksaan di neraka!"
Ucapan ini
membuat Tang Bun An mulai berpikir. Gadis ini bukan hanya membual atau
menggertak saja. Ucapannya ada isinya! Jika benar gadis ini utusan Menteri
Cang, tentu menteri keparat itu akan mencurigainya. Akan tetapi dia masih
tertawa mengejek.
"Kau
kira aku takut? Siapa pun mereka, aku tidak takut. Huh, siapa yang kau
maksudkan dengan mereka itu?"
Ang-hong-cu
Tang Bun An menggosok-gosok tubuhnya dengan sebuah handuk kecil yang sudah
dibenamkan ke dalam air. Handuk itu pun diberi bubuk cendana, seolah dia hendak
memasukkan sari keharuman cendana ke dalam tubuhnya dan memang dia telah
berhasil karena tubuh dan keringatnya berbau cendana! Kebiasaan ini sudah dia
lakukan puluhan tahun lamanya.
"Siapa
lagi kalau bukan para anak buahku? Mereka adalah seluruh anggota dan pimpinan
Cin-ling-pai."
"Ha-ha-ha-ha,
engkau hanya menggertak! Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai? Jangan menggunakan
nama besar perkumpulan silat itu untuk menakut-nakuti aku, Nona."
"Siapa
menggertak? Memang matamu buta dan telingamu tuli? Aku adalah Cia Kui Hong
ketua Cin-ling-pai!"
Terpaksa Kui
Hong membuang muka lagi karena pria itu bangkit berdiri saking kagetnya
mendengar pengakuannya itu sehingga tubuhnya yang telanjang nampak mulai dari
pusar ke atas. Ang-hong-cu Tang Bun An memang terkejut bukan main mendengar
pengakuan itu. Akan tetapi dia lalu tertawa bergelak, mentertawakan gadis itu.
"Ha-ha-ha,
nona manis. Seorang dara remaja seperti engkau ini mengaku ketua Cin-ling-pai?
Jangan coba-coba untuk membohongiku, Nona. Aku mendengar bahwa Cin-ling-pai
adalah sebuah perkumpulan besar yang berisi orang-orang gagah, bagaimana
mungkin ketuanya seorang gadis remaja yang cantik jelita?"
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun hatinya mulai menaruh perhatian dan dia pun
mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar, kemudian dalam keadaan telanjang
bulat dia keluar dari tong itu. Setelah mengeringkan tubuhnya, dia lantas
mengenakan kembali pakaiannya. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia mulai
memperhatikan gadis itu dan tidak segera melakukan hal yang tadi diancamkannya.
"Engkau
ini seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) mana mungkin tahu mengenai
perkumpulan kami? Ayahku pendekar Cia Hui Song, baru saja mengundurkan diri
sebagai ketua Cin-ling-pai, dan di dalam pemilihan ketua baru akulah yang
dipilih. Kini aku ketua Cin-ling-pai, oleh karena itu, dapat kau bayangkan
sendiri, bagaimana sikap mereka kalau mendengar ketuanya sudah dihina dan
dibunuh oleh Ang-hong-cu! Kau kira akan mampu meloloskan diri dari jangkauan
tangan-tangan para tokoh Cin-ling-pai? Biar bersembunyi di dalam neraka pun,
mereka akhirnya akan dapat mencengkerammu!"
"Ha-ha-ha,
engkau hanya menggertakku! Aku tidak takut, aku akan mengusahakan agar
selamanya mereka tidak dapat menemukan mayatmu! Ya, kecantikanmu akan kunikmati
sepuasku, sesudah itu kau akan kubunuh lalu mayatmu akan kukubur di tempat
rahasia. Tak seorang pun melihatmu masuk rumah ini, dan tak seorang pun akan
tahu apa yang telah kulakukan terhadap dirimu!"
Supaya
pengaruh gertakan itu tidak membuatnya lemas, Kui Hong menjawab secepatnya.
"Huh, engkaulah yang tolol! Aku boleh saja kau bunuh, tetapi Menteri Cang
Ku Ceng akan mengerahkan seluruh pasukan untuk mencariku. Ke mana pun engkau
menyembunyikan tubuhku, mereka pasti akan menemukan. Dan Menteri Cang pasti
akan melakukan segala daya upaya untuk memaksamu mengaku! Engkau akan
menghadapi kemarahan Menteri Cang, juga menghadapi dendam Cin-ling-pai!"
"Aku
tidak takut! Huhh, aku tidak takut sama sekali! Tidak akan ada bukti bahwa
engkau tewas dan lenyap di tanganku!" Ang-hong-cu Tang Bun An berteriak,
akan tetapi nyalinya semakin mengecil.
Siapa
orangnya yang tidak tahu akan kekuasaan Menteri Cang Ku Ceng? Menteri itu pasti
akan mampu menjungkir-balikkan seluruh kota raja untuk mencari gadis ini! Dan
seluruh pasukan tentu akan mentaati perintahnya dengan rasa bangga! Dinilai
dari kedudukannya, kalau dia melawan Menteri Cang, sama dengan sebutir telur
melawan batu. Dan Cin-ling-pai juga merupakan ancaman yang membuat jantungnya
berdebar.
Mulailah
timbul keraguan di dalam hatinya. Kalau tadi dia timbul gairah terhadap gadis
itu adalah karena gadis itu cantik manis dan mempunyai bentuk tubuh yang
menggairahkan. Gairah yang sama dirasakannya setiap kali dia melihat wanita
cantik. Namun bukan cinta, bahkan nafsunya itu hanya merupakan luapan
kebenciannya terhadap kaum wanita! Kini semua gairahnya telah lenyap, malah
diam-diam dia merasa takut membayangkan segala akibatnya kalau dia memperkosa
lalu membunuh gadis ini.
Kui Hong
adalah seorang gadis yang selain tabah juga sangat cerdik. Dia dapat melihat
sikap Ang-hong-cu yang kini sudah berpakaian lengkap. Melihat penjahat itu
mengenakan pakaiannya kembali saja sudah merupakan suatu pertanda bahwa
gertakan-gertakannya tadi mengenai sasaran. Kalau gertakannya tidak berhasil
menyudutkan dan menimbulkan rasa takut di hati penjahat itu, tentu Ang-hong-cu
tidak perlu mengenakan pakaian secara lengkap seperti itu, melainkan segera
saja melaksanakan ancamannya yang dikeluarkan ketika mandi tadi.
Seperti
orang yang sedang bertanding silat, saat lawan terdesak merupakan kesempatan
paling baik untuk merobohkannya dengan jurus-jurus serangan yang lebih ampuh.
Maka dia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Itu
baru dua pihak yang akan kau hadapi, Ang-hong-cu. Belum lagi kalau Pendekar
Sadis dan isterinya turut keluar dari Pulau Teratai Merah untuk mencarimu!
Engkau tentu sudah mendengar bagaimana nasib seorang musuh apa bila terjatuh ke
tangan Pendekar Sadis! Hemmm...!"
Ang-hong-cu
yang wajahnya biasanya berseri dan mulutnya selalu tersenyum mengejek itu
tiba-tiba berubah menjadi pucat ketika mendengar disebutnya julukan Pendekar
Sadis. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, tentu saja dia sudah
mendengar tentang nama besar Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, majikan Pulau
Teratai Merah di laut selatan. Bahkan isteri pendekar itu pun seorang yang
sangat terkenal sekali, yang dahulu pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk
Lam Sin (Malaikat Selatan).
Selain
terkenal sebagai seorang sakti, Pendekar Sadis sendiri juga lebih terkenal
karena kekejamannya yang melewati ukuran terhadap musuhnya, yaitu para
penjahat. Pendekar itu dapat menyiksa lawan dengan berbagai macam siksaan yang
melebihi segala siksaan yang digambarkan di neraka! Karena itulah maka pendekar
itu dijuluki Pendekar Sadis.
Setiap orang
penjahat di dunia kang-ouw selalu berjaga-jaga agar langkah mereka jangan
berpapasan dengan langkah Pendekar Sadis, bahkan mereka pantang berjumpa dengan
bayangan pendekar itu! Dan kini, gadis bernama Cia Kui Hong ini mengancamnya
dengan nama Pendekar Sadis!
"Bocah
sombong! Apa pula urusannya Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah dengan
kita?"
"Apa
urusannya? Nah, itulah buktinya kalau engkau ini hanya seorang penjahat cilik
yang tidak tahu apa-apa di dunia kang-ouw, Ang-hong-cu. Ayahku turun-temurun
adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibuku bernama Ceng Sui Cin adalah puteri
Pendekar Sadis! Aku adalah cucu Pendekar Sadis, dan engkau masih menanyakan
urusannya? Lihat pedangku yang kau gantung di dinding itu. Itu adalah sepasang
Hok-mo Siang-kiam yang sangat terkenal, dahulu milik nenekku Lam-sin Toan Kim
Hong yang telah memberikannya kepadaku."
Kini wajah
Ang-hong-cu Tang Bun An bertambah pucat. Celaka, pikirnya gelisah. Kali ini dia
benar-benar telah salah tangkap! Agaknya gadis ini bukan menggertak kosong
belaka. Dara ini bukan hanya utusan Menteri Cang, akan tetapi juga ketua
Cin-ling-pai merangkap cucu Pendekar Sadis! Dia harus menimbang seribu kali
sebelum mengganggu selembar rambut gadis ini.
Akan tetapi
keadaan menjadi serba repot baginya. Apa bila gadis ini dibiarkan hidup dan
dibebaskannya, berarti dia akan celaka, akan kehilangan kedudukan dan menjadi
buruan pemerintah. Sebaliknya kalau gadis ini sampai tewas di tangannya, dia
akan menghadapi ancaman dari tiga pihak, yaitu dari Menteri Cang, dari
Cin-ling-pai dan terutama sekali dari Pendekar Sadis! Dan itu berarti bahwa
hidupnya akan selalu dicekam ketakutan.
Tang Bun An
juga bukan orang bodoh. Dia tahu apakah gertakan gadis itu kosong belaka
ataukah memang merupakan kenyataan. Dan dia pun cepat memutar otak untuk
mencari jalan keluar yang terbaik baginya. Dan kecerdikannya membuat dia segera
menemukan jawabannya.
"Cia
Kui Hong, semua keteranganmu itu dapat kuterima dan aku percaya padamu. Akan
tetapi aku tahu bahwa engkau bukan seorang gadis bodoh. Karena itu tentu engkau
dapat melihat kenyataan bahwa bukan aku saja yang terancam bahaya, melainkan
engkau pula. Bahkan bahaya yang mengancammu sudah di depan mata. Bila aku
menghendaki, maka sekarang juga engkau dapat kuperkosa dan kusiksa sampai mati.
Sebaliknya, walau pun semua ancamanmu tadi dapat terjadi, namun masih jauh dan
aku masih dapat berusaha untuk meloloskan diri."
"Hemm,
boleh kau coba!" kata Kui Hong sambil tersenyum mengejek. Dia sudah
melihat kemenangan karena gertakannya yang diperhitungkan tadi. "Kalau
engkau membunuhku sekarang, maka habis sudah penderitaanku. Akan tetapi engkau
masih hidup dan setiap detik engkau dibayangi ketakutan! Aku tidak takut mati,
dan terserah kepadamu!"
"Cia
Kui Hong, orang yang tidak ingin hidup lebih lama lagi hanyalah orang yang
otaknya sudah miring. Aku tidak gila dan aku masih ingin hidup dengan tenang
pada hari tuaku ini. Oleh karena itu aku ingin mengajukan bertukar nyawa.
Bagaimana pendapatmu, Pangcu (ketua)?"
Kui Hong
yakin bahwa dia telah menang, akan tetapi dia tetap berhati-hati karena dia
tahu bahwa dia sedang menghadapi seorang yang selain amat keji dan jahat, juga
pandai dan licik bukan main. Mendengar dia disebut pangcu (ketua) saja sudah
menunjukkan bahwa bekas lawannya ini hendak membicarakan sesuatu dengan dia
sebagai Cin-ling Pangcu (ketua Cin-ling-pai), bukan dengan dia sebagai seorang
gadis biasa!
“Ang-hong-cu,
apa yang kau maksudkan dengan bertukar nyawa? Coba engkau jelaskan dan akan
kupertimbangkan!” katanya berwibawa.
“Pangcu,
bagiku hanya ada dua pilihan, dan aku akan memilih yang paling aman bagiku. Aku
akan membebaskanmu sekarang juga tanpa mengganggumu sedikit pun, akan tetapi
hanya dengan syarat bahwa setelah bebas engkau tak akan membuka rahasiaku
kepada siapa pun juga! Engkau tidak akan bercerita kepada orang lain bahwa
perwira pengawal Tang Bun An ialah Ang-hong-cu, dan tidak akan bercerita bahwa
akulah yang menggauli para wanita di dalam istana bagian puteri. Pendek kata,
engkau tidak akan memusuhiku, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan.
Bagaimana pendapatmu?”
Biar pun di
dalam hatinya Kui Hong merasa lega bahwa dia kini memperoleh kesempatan dan
harapan untuk terhindar dari aib dan maut, namun hatinya tidak senang mendengar
syarat itu. Tak diduganya bahwa orang ini amat cerdik dan juga liciknya
sehingga hendak mengikatnya dengan janji semacam itu! Namun dia pun tahu dengan
pasti bahwa seorang seperti Ang-hong-cu pasti akan melakukan gertakannya, karena
tidak ada kejahatan yang dipantang orang seperti ini.
"Bagaimana
kalau aku menolak syarat semacam itu?” pancingnya untuk mengetahui lebih jelas
isi perut Ang-hongcu.
Ang-hong-cu
Tang Bun An tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak seperti tadi lagi. Kini
senyumnya masam dan paksaan.
“Maka
terpaksa aku akan melakukan keinginanku semula, yaitu memperkosamu dengan cara
yang belum pernah kulakukan terhadap perempuan lain yang mana pun. Sampai aku
menjadi bosan padamu, kemudian engkau akan kusiksa sampai mati dan mayatmu akan
kubiarkan di dalam hutan agar dimakan binatang buas sampai tidak ada sisanya
lagi. Dan semua akibat yang kelak akan timbul dari perbuatanku itu akan
kuhadapi dengan segala kekuatanku.”
“Ang-hong-cu,
bagaimana kalau sesudah engkau membebaskan aku, kemudian aku tetap memusuhimu
dan menyerangmu?”
“Hemm, aku
tidak percaya! Kalau engkau memang melakukan itu, maka seluruh kalangan
kang-ouw akan mengetahui belaka bahwa ketua Cin-ling-pai, juga cucu Pendekar
Sadis, gadis yang bernama Cia Kui hong itu hanya seorang pendekar gadungan, dan
bukan lain hanyalah manusia rendah yang suka melanggar janjinya sendiri, suka
menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut!”
“Ang-hong-cu,
bukan karena aku takut mati kalau aku menerima usulmu bertukar nyawa. Ini
usulmu, bukan aku yang minta dibiarkan hidup. Nah, lepaskan belenggu-belenggu
ini.”
“Nanti dulu,
Pangcu. Engkau belum mengucapkan janjimu. Bersumpahlah dahulu seperti yang
kukehendaki tadi.”
“Janji
seorang pendekar lebih berharga dari pada segala macam sumpah. Janji seorang
pendekar lebih berharga dari pada nyawa," kata Kui Hong dengan nada suara
gemas, tapi kemudian melanjutkan. "Aku Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai,
berjanji bahwa kalau Ang-hong-cu membebaskan aku, maka untuk selanjutnya aku
takkan memusuhinya lagi, juga tidak akan membuka rahasianya kepada siapa pun
juga."
Wajah
Ang-hong-cu kembali berseri. Kini legalah hatinya. Yang terpenting bagi dia
adalah keselamatan dirinya dan keuntungannya. Tidak begitu penting baginya
untuk memperkosa dan membunuh gadis ini, namun sungguh amat menguntungkan kalau
gadis ini menutup mulut dan tidak membocorkan rahasia dirinya. Dengan
menggunakan pedang dia lantas membikin putus tali-tali belenggu kaki tangan
gadis itu.
Kui Hong
bangkit lalu menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya. Kemudian dia
meloncat turun dan menyambar sepasang pedangnya yang tergantung di dinding.
Betapa inginnya untuk mencabut sepasang pedang itu dan membunuh Ang-hong-cu,
akan tetapi dia hanya memasang pedang itu di punggung, memandang kepada
Ang-hong-cu dengan penuh kebencian.
Mukanya
terasa panas dan ingin dia menangis karena dia merasa begitu tak berdaya dan
marah. Apa lagi ketika laki-laki itu memandang kepadanya sambil
tersenyum-senyum, dia merasa seperti ditertawakan!
Dia menekan
perasaannya sendiri, lalu melangkah ke pintu kamar itu. Akan tetapi setelah
tiba di ambang pintu, dia membalik dan sejenak mereka berdua saling pandang
bagaikan dua ekor ayam jantan hendak bertarung.
"Ang-hong-cu,
aku akan memegang teguh janjiku, akan tetapi aku bersumpah tidak akan menikah
sebelum mendengar engkau mampus!"
Sesudah
berkata demikian, Kui Hong lalu meloncat keluar dan berlari cepat meninggalkan
rumah itu agar Ang-hong-cu tidak mendengar isaknya. Dia berlari cepat menuruni
bukit itu sambil menangis! Biar pun dia sudah bebas dari perkosaan dan
kematian, akan tetapi dia merasa amat tidak berdaya dan rendah.
Dia merasa
seolah-olah dia menjadi seorang penakut yang begitu menyayang diri sendiri
sehingga membiarkan seorang laki-laki sedemikian jahatnya hidup bebas hanya
karena dia ingin dirinya selamat. Sungguh bukan seorang yang pantas disebut
pendekar! Hal ini membuatnya sedemikian sedih dan bencinya sehingga tadi
terlontar sumpahnya bahwa dia tidak akan mau menikah sebelum Ang-hong-cu mati!
Ang-hong-cu
Tang Bun An berdiri terpukau seperti patung. Hatinya yang tadinya merasa
mendapatkan keuntungan besar, sekarang terguncang dan dia merasa gelisah. Dia
tahu alangkah hebatnya kemarahan serta kebencian gadis tadi terhadap dirinya.
Sumpah yang dilakukan tadi sungguh merupakan sumpah yang berat bagi seorang
gadis seperti ketua Cin-ling-pai itu!
Dia tidak
akan cepat mati! Kalau rahasianya yang diketahui oleh gadis itu tersimpan
rapat, tidak akan ada seorang pun yang mengetahui bahwa dialah yang menjadi
penggoda para wanita istana itu, juga tidak ada yang tahu bahwa dia adalah
Anghong-cu. Semua orang mengenal dia seorang perwira pasukan pengawal yang setia
dan berjasa besar terhadap kaisar. Dan mulai sekarang dia harus berhati-hati
menjaga segala tindakannya, terutama sekali terhadap Menteri Cang.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment