Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 19
Kim Mo
Siankouw menghampiri Mayang, kemudian mengurut beberapa bagian punggung serta
tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subo-nya, lalu
dia pun merintih dan menangis setelah teringat segalanya.
"Sudahlah,
Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di
sini," kata ibunya.
Mendengar
ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya
bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan dia pun kembali menangis. Akan tetapi
tangis ini segera ditahannya sehingga dia menangis tanpa suara, menutupi
mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya laksana ditusuk-tusuk.
Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya
tadi.
"Mayang,
maafkan aku. Kita sudah menjadi permainan nasib...” katanya lirih, akan tetapi
ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.
"Hay
Hay, sekarang kuminta engkau suka berbicara terus terang. Dari manakah engkau
mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda
perhiasan kumbang merah yang telah diletakkan di atas meja oleh Kim Mo
Siankouw.
"Benda
itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang
ibu saya."
"Hay
Hay, sekarang kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu,
dan sesudah itu akan kuceritakan mengenai diriku dan ayah Mayang. Dengan
demikian dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan
Mayang," kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus.
Kini Mayang
juga merasa amat tertarik dan dia sudah mampu menenangkan dirinya. Dia duduk
dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah.
Hay Hay
menghela napas panjang. Apa bila tidak ada urusan yang begini ruwet dengan
Mayang, tentu dia tak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada
siapa pun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara
dia dan Mayang.
"Terus
terang saja, Bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya
ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk
membunuh diri! Pada waktu itu Locianpwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek
Han Siong ini melihatnya, lalu cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu
tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh Locianpwe Pek
Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu saudara Pek Han Siong yang juga
sebaya dengan saya perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap
sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang
hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Saudara Han
Siong ini lalu disembunyikan dan saya dijadikan penggantinya. Ketika Locianpwe
Pek Khun menyelamatkan saya, ibu saya sempat menitipkan benda ini agar
diberikan kepada saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada
Locianpwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hwa-cat yang berjuluk
Ang-hong-cu, yang pernah memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu.
Demikianlah riwayat ibu saya, Bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya.
Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan
saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu
saya, melainkan juga saya melihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa
orang gadis pendekar. Dia amat jahat dan keji!"
"Hemm,
jadi kalau demikian, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan
mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu itu adalah
Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang.
"Benar
Bibi. Tadinya semua itu hendak saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja
yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."
Han Siong
mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang sangat jahat dan keji, akan
tetapi dia lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"
"Hay
Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang.
Hay Hay
menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, dia hanya mengatakan
bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."
"Dan
dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin," sambung Han Siong.
Ibu Mayang
mengangguk-angguk. "Aih, aku sendiri juga bersalah dalam hal ini. Pada
saat engkau datang bersama Mayang dan mendengar engkau she Tang, lantas melihat
wajah serta bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang,
sama dengan she-nya ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi aku tidak
manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay.
Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang kukenal sebagai Tang-kongcu (Tuan Muda
Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang
masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."
Hay Hay
saling pandang dengan Mayang. "Engkau... adikku..." kata Hay Hay
perlahan, namun Mayang tidak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan
linangan air mata.
"Kini
dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul
peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk
menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya
aku sama sekali tak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpelajar itu, yang
sikapnya lemah lembut dan halus, yang oleh penduduk dusun kami dikenal sebagai
Tang-kongcu yang pandai silat dan juga pandai mengobati orang sakit, sebenarnya
adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang
saat itu masih seorang gadis bernama Souli, segera terpikat oleh ketampanan dan
rayuan Tang Kongcu sehingga secara tidak tahu malu aku menyerahkan diri dengan
harapan akan dikawininya. Namun, sesudah aku mengandung, dia pergi begitu saja
dan hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku,
lalu dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun dan tidak diakui lagi. Aku
hidup terlunta-lunta, lantas melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali.
Seperti ibumu, agaknya aku pun akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo
Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang
merangkul ibunya.
Hay Hay
mengepal tinju. "Saya akan mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dan dia harus
menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap Bibi, akan tetapi
juga terhadap entah berapa ratus orang wanita lainnya yang kehidupannya sudah
dirusak oleh kejahatan Ang-hong-cu ini!"
"Hay
koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan
penuh kemarahan. Agaknya gadis ini telah berhasil memulihkan kekuatan batinnya
sehingga kini nampak garang.
Semua orang
terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia gembira
melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan
seperti tadi.
"Adikku
Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya.
"Mayang,
engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah
saja," kata ibunya.
"Ibumu
benar, Mayang. Menurut kakakmu, Ang-hong-cu itu sangat lihai sehingga agaknya
engkau perlu berlatih keras untuk dapat menandinginya. Biarlah kuajarkan engkau
jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu,” kata Kim Mo Siankouw.
"Tidak,
Hay-koko, Ibu dan Subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk
Ang-hong-cu itu, biar pun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang
telah merusak hidup Ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada
aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya!
Selain itu, Ibu dan Subo, sesudah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku
tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini sudah datang menjadi
tamu dan menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi
selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini bila mereka mendengar bahwa
pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakakku
sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang
menangis.
Hay Hay
merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Memang dia bisa merasakan hal itu.
Sebagai seorang pria tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi keadaan hidup
seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan
dengan kesusilaan memang sungguh gawat. Begitu mudahnya orang melemparkan aib
kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.
"Kalau
subo-mu dan ibumu mengijinkan, sekarang aku tidak merasa berkeberatan untuk
mengajakmu, Mayang."
"Terima
kasih, Hay-koko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan maka
aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu.
Kim Mo
Siankouw dan ibu Mayang bertukar pandang. Mereka sadar bahwa sekarang ini
mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa
kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang menganggukkan kepalanya, Kim Mo
Siankouw lalu berkata,
"Baiklah,
Mayang. Aku dan ibumu setuju jika engkau pergi bersama Hay Hay, akan tetapi
mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang sangat lihai maka lebih dulu
aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau bisa
melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa
bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."
Mayang
memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika dia
bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita
berangkat?”
Hay Hay
tersenyum. Kini dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya
setelah urusannya dengan Mayang itu bisa diselesaikan tanpa akibat yang
menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini mendadak dia mendapatkan seorang
adik perempuan yang sangat manja! Karena itu dia mengangguk menyetujui.
Han Siong
ikut merasa gembira dan dia menyatakan hal ini dengan ucapan yang disertai
senyum dan wajah yang cerah. ”Saya merasa gembira sekali bahwa urusan yang
tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan
baik. Saya pun sangat berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay
Hay dan nona Mayang sehingga walau pun mereka telah melaksanakan upacara
pernikahan, akan tetapi mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat
menjadi kakak dan adik secara wajar. Bagaimana pun juga, saya akan ikut memikul
dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay
Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Sesudah sekarang semuanya beres, saya
pun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo
Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini."
"Han
Siong, mengapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?" tanya
Hay Hay.
"Engkau
tahu bahwa aku pun mempunyai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku
akan pulang dahulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari
kita berlomba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-hong-cu, Hay
Hay!"
"Bagus!"
Hay Hay yang telah mendapatkan kembali kegembiraannya itu segera menerima
tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan
apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!"
"Baik,
Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong lalu memberi hormat
kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu.
Hatinya
merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seakan-akan semua ikatan pada
dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah
tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai
sekarang tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak
memaksanya turut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Ke dua, urusan Hay Hay dengan
Mayang sudah dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimana pun juga dia turut bertanggung
jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay
Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang!
Dia bergidik
membayangkan. Apa bila sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami
isteri antara dua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa
berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapat alasan yang
sangat kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela
diri.
Hay Hay
tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong
Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga
kedua muda-mudi ini memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung!
Kini semua
telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan
hati lapang. Ada sebuah hal lagi yang menggembirakan hatinya. Kegagalan
cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan
karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay, bahkan lebih parah dari pada
dia. Berarti dia memiliki teman sependeritaan! Hal ini membuat dia kini merasa
bertambah dekat dengan Hay Hay! Di dalam kegembiraannya pemuda gemblengan ini
lupa bahwa dia sudah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir
seluruh manusia di permukaan bumi ini.
Pada
umumnya, orang yang tengah tertimpa mala petaka, yang tengah merasa sengsara,
tengah berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya jika dia melihat
orang lain, terlebih lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih
besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Orang yang sudah
diperbudak ke-akuannya sendiri itu, yang merasa terhibur dan berkurang
kedukaannya apa bila melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar,
tentu akan merasa tidak senang dan iri hati apa bila melihat orang lain
memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya
sendiri.
Seperti
inilah kelemahan manusia yang tercengkeram oleh nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu
selalu mendorong kita supaya menjadi yang paling baik, paling besar, paling
penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat
melihat, merasakan, serta menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena
hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada
pada diri sendiri.
Mereka
bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi
itu cerah sekali dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi telah
tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara
kesejukan semilir angin gunung.
Aroma rumput
dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang
lembut sehingga membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang
telah sibuk sejak matahari timbul tadi bagaikani ribuan karyawan yang sudah
siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari pada pagi itu, memulai pekerjaan
dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang amat
merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang sangat sehat bagi telinga. Betapa
nikmatnya hidup kalau pada suatu saat tiga di antara alat panca indriya kita,
yaitu mata hidung dan telinga, dapat menikmati keindahan bersama-sama.
Sepasang
mata menikmati pemandangan alam yang sangat menakjubkan, penuh pesona dan penuh
kegaiban. Hidung menghirup udara yang sejuk segar, jernih dan bersih dengan
aroma yang khas alami, membuat udara yang dihisap itu penuh tenaga mukjijat
dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus hingga ke bawah pusar. Sungguh
menyehatkan dan membahagiakan! Pada saat yang sama telinga mendengar suara yang
penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa
nikmatnya hidup!
Dalam
keadaan seperti itu hati dan akal pikiran berhenti berceloteh, dan segala
sesuatu akan nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara
air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu
merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga!
Aroma tanah
bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke dalam rongga
dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu
warna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung
berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat sebutir embun bergantung pada
ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan
yang indahnya sulit dilukiskan!
Sayang
sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali dengan
kesenangan-kesenangan pemuas nafsu hingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani
yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat
kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat
mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan
yang segar.
Kita terbuai
oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh
dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalau pun kadang-kadang
kita mampu merasakan keagungan serta keindahan itu, hati dan akal pikiran
segera datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin
ini telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari
pelampiasan nafsu keinginan!
Demikian
pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan pada pagi hari itu. Tadinya mereka
tidak berkata-kata, seperti tenggelam dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa
sudah bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman
tenteram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti
itu mereka tak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan,
dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan semedhi yang sejati, bukan
pengosongan diri karena dikehedaki oleh hati dan akal pikiran!
Kekosongan
batin yang dikosongkan oleh hati dan akal pikiran adalah kekosongan palsu
karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih.
Tiga orang
itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah
ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan bisa
disejajarkan dengan orang-orang sakti!
Pria itu
berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun. Lengan kirinya buntung sebatas
siku sehingga ujung lengan baju yang kiri terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya
tinggi dan tegap, dibalut pakaian longgar yang mengingatkan orang akan pakaian
hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning.
Namun
kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang,
yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta agama To). Wajahnya
tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya
pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!
Seperti
telah kita ketahui, pria ini adalah putera dari mendiang Siangkoan Lojin atau
yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Meski pun kedua
matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang karena lihainya dan
juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor.
Akan tetapi
sungguh aneh! Puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walau pun juga berhati
sekeras baja namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahkan
sejak muda dia selalu menentang kejahatan hingga membuat dia menjadi penentang
ayahnya sendiri!
Wanita
berusia empat puluh dua tahun di sampingnya itu adalah isterinya, Toan Hui Cu
yang masih kelihatan cantik sekali. Walau pun mukanya sedikit pucat, akan
tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari
pada riwayat suaminya.
Seperti
suaminya, Toan Hui Cu juga adalah keturunan datuk sesat. Bahkan bukan datuk
biasa, melainkan rajanya datuk kaum sesat! Meski pun ayah kandungnya masih
keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, tetapi ketika masih hidup ayahnya
terkenal dengan julukan Raja Iblis, sedangkan ibunya adalah Ratu Iblis!
Ayah dan
ibunya mempunyai kepandaian yang membuat mereka itu sakti, dan mengenai
kekejaman dan kejahatan, tak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada
mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya
Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan dia condong
berwatak pendekar!
Dua orang
dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta, hingga akhirnya nasib membuat
mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi
dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si mereka dianggap melakukan
dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri
tanpa nikah!
Selama dua
puluh tahun mereka harus menjalani hukuman bertapa di kuil itu, akan tetapi
justru dalam menjalani hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab
pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan
Dewa! Walau pun mereka dihukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang
tinggi keduanya bisa mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya
menjadi semakin sakti!
Dari
hubungan mereka lantas terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam
keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu harus mereka
titipkan di dusun. Nasib lalu membuat anak itu lenyap terculik, dan setelah
dewasa barulah anak itu kembali kepada mereka,.
Orang ke
tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka
yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh
ramping dengan pinggang yang amat kecil dan dengan kulit yang putih mulus.
Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pada pagi
hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua
ujungnya diikat pita sutera biru.
Bi Lian
memiliki mata ayahnya yang mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti
hidung ibunya, bentuk mulutnya seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir
ibunya selalu terlihat agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu terlihat
merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya
menjadi pemanis yang amat menarik.
Walau pun
ayah dan ibunya amat lihai, tapi karena sejak kecil terpisah dari mereka, gadis
ini menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang datuk iblis yang
amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara
Empat Setan.
Di bagian
depan cerita ini sudah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah
ibunya, yaitu Pek Han Siong yang oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi
tunangannya. Han Siong inilah yang membuka rahasianya bahwa dia adalah puteri
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil
Siauw-lim-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok
(Lembah Ayam Emas) yang terletak di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur.
Sesudah
bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu
memberi tahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu
menolak! Dia menolak bukan karena dia membenci Han Siong, malah sebaliknya dia
amat mengagumi Han Siong dan juga amat menyukainya.
Akan tetapi
Bi Lian sudah menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga
perubahan yang mendadak itu membuat gadis ini merasa canggung dan salah
tingkah. Maka dia menyatakan tidak setuju.
Mendengar
ini Han Siong tersinggung, dan dia pun mohon kepada kedua orang gurunya untuk
membatalkan ikatan jodoh itu. Dia pun lalu mengembalikan pedang pusaka
Kwan-im-kiam yang dulu diterimanya dari kedua orang gurunya sebagai tanda
perjodohan.
Demikianlah,
setelah Han Siong pergi Bi Lian tinggal bersama ayah dan ibunya. Dan dari kedua
orang tuanya itu dia pun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Dia memilih
jurus-jurus simpanan saja sehingga dia yang sudah lihai sebagai murid
Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dan Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini
menjadi semakin lihai. Pada pagi hari itu ayah ibu dan anak ini tengah
berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu.
Sejenak
mereka bertiga tenggelam dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang
berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa
dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak
sepi, melainkan keheningan yang tercipta ketika hati dan akal pikiran berhenti
berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran.
Melihat
burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan
melirik kepada puterinya. Semua keindahan itu lenyaplah sudah, terganti oleh
kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai
diri puterinya.
Sudah hampir
dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan
itu dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi
Lian. Akan tetapi, pada waktu malam apa bila dia berada berdua saja dengan
isterinya di dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri
mereka dengan hati yang kecewa dan berduka.
Puteri
mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara
puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya
pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Hal inilah yang pada
waktu itu menyelinap di dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat
burung-burung beterbangan secara berpasangan.
“Lian-ji
(anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?'
Bi Lian dan
ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian
menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Sungguh dia tak pernah menduga bahwa
ayahnya akan mengajukan pertanyaan semacam itu di pagi hari ini. Sejak mendaki
puncak itu mereka bertiga tidak pernah berbicara, mereka hanya menikmati
suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!
"Kalau
tidak salah sudah hampir dua puluh satu tahun. Kenapa, Ayah?" jawabnya
sambil menatap wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga menatap
kepadanya sehingga dua pasang mata yang sama mencorongnya itu saling pandang
seperti hendak menembus hati masing-masing.
"Tidak
mengapa, hanya... kukira bagi seorang wanita usia sedemikian itu sudah lebih
dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik. Bahkan sudah cukup pula
untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aihh, betapa inginku menimang seorang
bayi, seorang cucuku...!" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas
panjang karena dia sudah membayangkan kesenangan itu.
Bi Lian
mengerutkan alisnya, namun dia tidak marah. Dia cukup mengerti akan perasaan
hati ayah ibunya yang ingin melihat dia menikah kemudian mempunyai anak!
"Aihhh,
Ayah dan Ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan
untukku!" Dia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah.
Ayah dan
ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di
sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan
pendek.
"Terus
terang saja, anakku, Ayah dan Ibumu hanya memiliki satu keinginan, yaitu
melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah
kalau Ayah dan Ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu
Bi Lian.
Bi Lian
mendekati ibunya, lantas merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali,
bahkan patut kalau menjadi kakaknya.
"Ibu,
aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja urusan perjodohan
bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin jika aku secara begitu
saja memungut seorang calon suami dari pinggir jalan!"
"Ha-ha-ha!"
Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja hal itu tidak mungkin! Engkau harus
memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami,
kiranya tidak ada pemuda yang lebih baik dari pada suheng-mu sendiri, Pek Han
Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."
"Ayah,
aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka kepadanya!"
Bi Lian membantah cepat.
"Hemm,
kalau benar demikian, kenapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya
dengan memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana lagi kita akan bisa
mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya mau pun
wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!"
Bi Lian
menahan senyumnya dan entah mengapa, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay
yang tersenyum-senyum nakal itu! Dia pun menghela napas.
"Ayah
dan Ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku
dengan suheng. Maafkan aku. Terus terang saja aku pun kagum dan suka pada
suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya sebatas perasaan
terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah di dalam hatiku ada cinta
terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku
tidak yakin akan cintanya kepadaku."
"Ehh?
Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan
aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula
Siangkoan Ci Kang.
"Ayahmu
benar, Bi Lian. Han Siong cinta kepadamu dan dia akan menjadi seorang suami
yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu," kata ibunya.
"Bagaimana
Ayah dan Ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia
telah terikat perjodohan denganku maka tentu saja dia mengaku cinta, karena
kalau tidak, berarti dia akan menghina Ayah dan Ibu dan juga aku! Dia sudah
terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, Ayah dan Ibu. Hal ini harap
dipertimbangkan. Andai kata ketika dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum
terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan merasa
yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, Ayah dan Ibu.
Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku
yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."
Suami isteri
itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kini pun
mereka dapat merasakannya. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar
mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andai kata tidak demikian halnya, apakah Han
Siong berani mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang sudah
ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani!
"Hemmm,
kalau begitu, Lian-ji. Andai kata kelak engkau menjadi yakin bahwa Han Siong
benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk... ehh, menyambung
kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang.
Bi Lian
termenung. Bagaimana pun juga, selama ini hanya ada dua orang laki-laki yang
menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, ada pun yang ke
dua adalah Pek Han Siong!
Tentu saja
Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena
pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di
samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan
sehingga dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya Han Siong adalah seorang
pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang
tenang.
Keduanya
memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya
juga menguasai ilmu sihir yang ampuh. Tapi dia merasa kecewa terhadap Han Siong
karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya
belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya,
seakan-akan dia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena
dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat dia
merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!
"Tentu
saja hal itu mungkin sekali, Ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Apa
bila dia memang benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat
kenyataan bahwa aku pun mencintanya, maka tak ada halangannya bagi kami untuk
dapat berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"
Mendengar
ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan
baru terpancar di dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu
terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci Kang
dan isterinya.
Mereka
cepat-cepat menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi
isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran,
lalu segera dia menyelinap ke dekat mereka.
"Ada
apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih.
"Sstttt...
inilah yang kami tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi
lawan. Kita harus mendekat dengan sangat hati-hati agar jangan mengejutkan
mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari ikuti aku dan hati-hati,
jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang.
Isterinya
mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di
belakang ibunya. Siapakah yang sedang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu
orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat
perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi sambil mengeluarkan kokok ayam
hutan jantan itu? Sungguh aneh!
Dengan cepat
tapi dengan pengerahan ginkang agar gerakan mereka ringan sehingga tak
bersuara, mereka bertiga menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara
di sebelah kiri. Akhirnya Siangkoan Ci Kang berhenti kemudian bersembunyi di
balik semak-semak, memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk
bersembunyi di situ pula.
Kemudian
suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri-seri.
Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan dia terbelalak karena yang
diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat yang sedang bertanding,
melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang
bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.
Pantas saja
mereka harus berindap-indap karena dua ekor ayam hutan itu tentu langsung
terbang pergi jika mereka mengeluarkan suara berisik. Ayam hutan merupakan
binatang yang liar sekali, tak dapat didekati manusia. Akan tetapi mengapa ayah
ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu?
Dengan penuh
perhatian Bi Lian ikut memandang. Akan tetapi baginya dua ekor binatang yang
sedang bertanding itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar,
tidak sebesar ayam jago biasa,. Akan tetapi sesudah memperhatikan, dia melihat
bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu
kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja.
Semua
serangan dari si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan
kakinya juga tidak pernah mengenai sasaran. Si bulu emas jarang menyerang, akan
tetapi setiap kali menyerang pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga
sudah beberapa kali si kelabu kena tertendang hingga terjengkang!
Biar pun
demikian, semua itu tidak ada artinya bagi Bi Lian. Akan tetapi bila dia
menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tanpa pernah berkedip seolah-olah
setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu hendak ditelan dengan pandang mata
mereka, dan beberapa kali dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah
gembira sekali.
Perkelahian
mati-matian itu tidak berlangsung lama. Pada saat si kelabu yang telah mulai
lemah dan mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah itu untuk ke sekian
kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan
ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya
mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.
"Bressss...!
Keokkk...!"
Si kelabu
hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran
darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala
dengan tepat, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah
keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam keadaan sekarat! Dan si bulu emas,
dengan lagak yang gagah sekali, lantas mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke
atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi
kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!
Biar pun
pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada isteri
dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari
semak-semak di seberang berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak
terlampau besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat
dengan cekatan sekali.
Yang seekor
telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi
dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas
yang tadi menang bertanding. Lompatannya sangat cepat dan gesit, dan agaknya
sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri.
Akan tetapi
pada detik terakhir ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu
membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau,
dengan mudah saja dia dapat terbang meloloskan diri dari musang itu. Akan
tetapi ternyata tidak! Ayam itu sekarang berdiri dengan kepala menunduk,
sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!
"Tolol!"
pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana mungkin kamu akan dapat menandingi
seekor musang?"
Ayam berbulu
emas itu amat sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan siapa lawannya. Mungkin
dia sudah menjadi kepala besar dan tidak takut melawan siapa pun juga karena
kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi!
Agaknya
musang itu juga menjadi tercengang. Tadi tubrukannya sudah luput dan menurut
pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu telah terbang pergi.
Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak segera terbang melarikan diri
malah menantang untuk berkelahi!
Kalau saja
wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa untuk mengejek ayam kecil
itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di
sana, dia telah menerkam lagi dengan ganasnya. Musang pun termasuk binatang
liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil,
maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar yang
hidup di hutan.
"Wuuuttt...!
Bresss...!"
Bi Lian
hampir bersorak. Pada saat musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping
atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu sudah
menerjang dari atas, secara serentak paruhnya mematuk dan kakinya menendang
kepala musang.
Musang itu
terkejut. Patukan serta tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri
walau pun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia segera
membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan
kembali sudah menerjang dari atas dan hal ini terjadi berkali-kali.
Bi Lian
menonton dengan hati tegang. Walau pun sambarannya dapat mengenai kepala musang
dengan tepat, akan tetapi tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala
musang yang terlindung bulu apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya,
sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam
itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu.
Ketika dia
menengok ke arah ayah ibunya, dia melihat kedua orang itu masih saja seperti
tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka.
Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.
Musang itu
agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke
atas, musang itu tiba-tiba saja berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki
depannya mencoba untuk menangkap ke atas.
Akan tetapi
dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput
sebab tubuhnya naik ke atas kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas
dengan patukan dan cakaran, tak lagi menendang melainkan mencakar. Dengan
kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, juga runcing melengkung karena setiap
hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, kedua
kaki itu lantas mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga
runcing melengkung dan sangat keras itu mematuk ke arah mata kiri.
"Bresss...!"
Musang itu
mengeluarkan suara seperti tikus terjepit batu, lantas dari hidung dan matanya
mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Dia
pun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ.
Ayam hutan itu pun terbang ke atas, hinggap pada sebuah dahan pohon cemara dan
dia pun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher
memanjang!
Bi Lian
menjadi demikian gembiranya sehingga tanpa sadar dia pun melompat keluar dari
tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Begitu mendengar suara tepuk
tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu langsung terbang dan melarikan diri
ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!
Akan tetapi
mendadak Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat
betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Dia melihat ibunya
menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang dia
pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat.
Dari kedua
tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun dia tahu
bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu
silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih
yang terkenal lembut dan murah hati, akan tetapi di balik kelembutan itu
terkandung kesaktian yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan
iblis!
Dia tidak
merasa heran melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu. Tentu saja
serangan-serangan ibunya amat hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat
itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat dia
bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan
gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya.
Gerakan
ayahnya itu mirip sekali dengan gerakan ayam jantan hutan berbulu emas tadi!
Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepalanya ke depan dan belakang, betapa
kepala itu kadang kala mengelak ke bawah dan ke belakang dengan gerakan
melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu berloncatan
seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi.
Ketika
ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke
atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah. Lengan baju kiri yang tidak berisi
lengan itu meluncur ke arah mata, sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah
hidung dan mulut, sementara kedua kaki juga menendang ke arah dada.
Teringatlah
Bi Lian akan ‘jurus’ yang digunakan oleh ayam jago bulu emas tadi terhadap
lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si
musang berdarah pada mata dan hidungnya, kemudian membuat musang itu lari
ketakutan.
"Ihhhh...
bagus sekali...!" Ibunya melempar tubuh ke belakang sambil terhuyung.
Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah.
Bi Lian
adalah seorang gadis yang cerdik. Biar pun tadi dia terheran-heran dan juga
geli, sekarang dia pun memandang kagum kepada mereka setelah dia mengerti.
"Aihh,
kiranya Ayah dan Ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu
kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru! Pantas tadi kita harus
berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"
Ayah dan
ibunya serentak mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang
hebat bukan kepalang," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia
mengalahkan seekor ular, bahkan juga menghajar sampai mati seekor tikus hutan
yang sangat besar. Dan sekali ini engkau melihat sendiri, bukan saja dia
menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia sudah berhasil mengalahkan seekor
musang! "
"Gerakannya
memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang
memang hebat sekali," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami
mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku berhasil menyempurnakan
beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."
"Hebat
sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang Ayah Ibu
ciptakan itu?"
"Kami
beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan
banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini
yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu
merupakan dasarnya, tapi dicampur dengan ilmu silat kami. Kau telah mempelajari
gerakan ilmu silat kami, tentu akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."
Bi Lian
girang sekali mendengar ucapan ayahnya itu, dan mulai hari itu juga dia pun
mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan oleh ayah ibunya itu. Seperti
juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat
Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah
dan kecerdikan yang disertai keliaran. Di samping itu, karena ilmu ini
dipadukan dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung kehalusan dan kelembutan
pula, didorong oleh sinkang (tenaga sakti) yang amat dahsyat.
Selama tiga
bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekunnya, juga memperdalam ilmu
Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut. Seperti biasanya, pada pagi itu dia
sedang berlatih di puncak yang sunyi di mana dia bersama ayah dan ibunya pernah
melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi.
Pagi hari
itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan
menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiam-sut. Sebelumnya
dia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru
ciptaan orang tuanya itu.
Tiba-tiba Bi
Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang, kemudian
pandang matanya ditujukan ke bawah. Dia melihat seorang penunggang kuda sedang
membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya
penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi Bi Lian mengerutkan alisnya.
Jalan menuju
ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya jika dicapai dengan menunggang kuda
yang dilarikan demikian cepatnya. Pada jalan mendaki itu ada bagian yang
berbatu-batu kecil yang licin sekali. Seekor kuda yang berlari cepat dapat
jatuh apa bila menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.
Bi Lian
khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang
akan terjadi dengan penunggang kuda itu ketika melewati jalan yang berbahaya
itu. Sebaiknya kalau dia dapat datang lebih dulu untuk memperingatkan
penunggang kuda itu. Maka Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari
menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu.
Akan tetapi
kuda itu berlari cepat sekali dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas saat
kuda itu telah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau dia
berteriak memperingatkan, sebab selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya
tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya
itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan serta isyaratnya. Maka dia pun
hanya memandang saja dengan hati khawatir.
Jika hanya
kuda itu tergelincir dan jatuh saja, hal ini masih tidak mengkhawatirkan. Paling
hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan
tetapi di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar
dan sangat dalam. Kalau penunggang kuda itu sampai terlempar ke dalam jurang,
akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.
Penunggang
kuda itu kini kelihatan jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh
tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia
duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda
yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya telah menjadi satu
dengan kuda karena gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.
Sekarang
kuda mulai memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan
penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, kuda itu segera saja
tergelincir begitu keempat kakinya menginjak batu-batu kecil!
Agaknya kuda
itu sudah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula.
Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia
mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan keempat kakinya. Akan tetapi setiap
kali menginjak tanah dengan kuat, kakinya terpaksa menginjak batu kerikil pula
sehingga tergelincir dan akhirnya kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat
kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan.
Bi Lian
melihat kuda itu terjatuh, akan tetapi pada saat itu pula ia terbelalak kagum
ketika melihat tubuh penunggang kuda itu tiba-tiba saja melayang ke atas, lantas
berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah
dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh
seorang pria yang jantan dan gagah sekali.
Dengan sikap
amat tenang pemuda itu lalu menghampiri kudanya yang tak dapat bangkit kembali.
Tadi kuda itu terjatuh, lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan
itu mendaki dan tubuhnya baru berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang
berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, jika tidak tentu tubuhnya akan
terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.
Ketika
pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya dapat
menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tak mampu bangkit.
Agaknya tulang dua kaki depannya sudah patah, juga kepalanya terluka dan
berdarah.
Pemuda itu
memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas
punggung kuda. Diikatnya buntalan itu pada punggungnya, lalu pemuda itu
memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke
dalam jurang di balik batu.
"Kuda
yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri
penderitaanmu. Selamat berpisah!" Mendadak tangan kanannya bergerak ke
arah kepala kuda itu.
"Prakkk…!”
Kuda itu
terkulai, terlihat kakinya tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian pemuda itu
menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda
itu ke dalam jurang!
Bi Lian
terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan dia pun melompat keluar
dari tempat pengintaiannya.
"Engkau
manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.
Pemuda itu
sangat terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di
hadapannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk
kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika
itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir
balik dan dia jatuh hati!
"Apa...?
Mengapa...? Aihh, Nona, kenapa Nona marah dan memaki aku? Siapakah Nona dan apa
kesalahanku sehingga Nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup
karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir
dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari
langit!
"Manusia
busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa
yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri
bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi engkau justru
membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Di samping kejam engkau
juga telah merusak tempat ini sehingga aku tidak dapat membiarkan saja!"
"Ahh,
itukah gerangan yang membuat engkau menjadi sangat marah, Nona?" Pemuda
itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum.
Harus diakui
oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan
kokoh, juga wajah itu memiliki daya tarik yang sangat kuat ketika tersenyum.
Akan tetapi bila mana mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa
penasaran dan marah sekali.
"Akan
tetapi, Nona, perbuatanku tadi tidak merugikan siapa pun, juga tidak
merugikanmu. Kuda itu adalah milikku sendiri, dan bangkainya pun kubuang ke
dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa
engkau marah-marah, Nona?"
"Masih
bertanya mengapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu tadi, engkau patut
dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori
jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk.
Dan engkau masih bertanya mengapa aku marah?"
Pemuda itu
tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu.
"Ahh, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, Nona? Kalau begitu
maafkanlah aku, Nona, sebab aku tidak mengerti dan..."
"Sudahlah!
Engkau adalah orang yang kejam dan melihat engkau tadi telah mengeluarkan
kepandaianmu, maka aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang
membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"
Ditantang
begitu, pemuda ini kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri,
dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu
cantik jelita dan lemah, walau pun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!
"Nona,
aku tak ingin berkelahi denganmu, bahkan aku ingin berkenalan denganmu kalau
engkau suka. Namaku Tan Hok Seng dan aku...”
"Aku
tak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu
tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.
Pemuda yang
mengaku bernama Tan Hok Seng itu sekarang tersenyum. "Nona, sudah
kukatakan bahwa aku tak ingin berkelahi denganmu. Tetapi mengapa engkau
mendesak dan menantangku? Ketahuilah, Nona, aku sama sekali tidak berbuat kejam
terhadap kuda itu. Aku adalah seorang penyayang kuda dan selama ini kuda itu
menjadi sahabat baikku. Tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa,
ternyata tulang kedua kaki depannya sudah patah dan kepalanya juga retak. Tiada
harapan hidup lagi baginya. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita
terlampau lama? Lebih baik dia dibunuh saja untuk mengakhiri
penderitaannya."
Bi Lian
bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya dia
adalah seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang
pendekar wanita yang tentu saja selalu berpikir panjang dan berpemandangan
luas.
Dia dapat
menerima alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, dan
dia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun
apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan
satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang disayangnya itu.
Namun
diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai di mana kehebatan pemuda
gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan
diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian
indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh
kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda
itu.
"Sudahlah,
cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita lagi. Engkau sudah mengotori tempat
tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang itu. Kini hanya ada dua
pilihan bagimu. Engkau ambil bangkai kuda itu lantas kau kuburkan baik-baik
agar tidak menimbulkan bau busuk, atau engkau harus menghadapi
seranganku!"
Pemuda yang
bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok,
akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, kemudian
menarik napas panjang.
"Nona,
bagaimana mungkin aku menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda
itu?" katanya.
Tentu saja
Bi Lian maklum akan ketidak mungkinan ini, karena itu dia justru mengajukan
pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali
menandinginya!
"Hemm,
kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, maka engkau harus
menandingiku!" Lalu dia segera menambahkan. "Tentu saja kalau engkau
bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!"
Biar pun
pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun dia pernah menerima
gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka
sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan dia dapat bersikap keras
mau menang sendiri!
Tan Hok Seng
menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan
wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya dalam hati bahwa
dara yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya.
Tubuhnya
padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa dara itu telah
matang dan dewasa. Kulitnya putih mulus dan kulit muka serta lehernya demikian
halus, tangannya begitu kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan
selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang.
Rambut yang
panjangnya sampai pinggang itu dikuncir. Sepasang matanya demikian jeli dan
tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir
yang basah kemerahan. Manisnya masih ditambah oleh tahi lalat kecil di dagu.
Bukan main!
"Nona,
sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi sampai berkelahi. Akan
tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...”
"Sudahlah,
kau sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan
karena marah, melainkan karena ingin tahu hingga di mana kepandaian pemuda yang
gagah dan tampan ini.
Hok Seng
langsung mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin
pukulan yang sangat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, dia pun membalas
dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan karena melihat kecantikan
gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.
Bi Lian
melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik,
kalau dia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai. Maka dia pun
cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.
"Dukkk!"
Lengan Hok
Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tidak disangkanya bahwa lengan kecil
gadis itu mengandung tenaga yang begitu kuatnya sehingga dia merasa lengannya
bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.
"Huhh,
jangan memandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua
kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, karena tahu bahwa pemuda itu tadi
tidak mengerahkan semua tenaganya.
Hok Seng
terkejut ketika Bi Lian kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh
gadis itu bergerak seperti bayangan saja, karena memang Bi Lian mengerahkan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si
ahli ginkang. Dia juga menggunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek
Kwi, mengandalkan sinkang dan dengan ilmu silat ini dia dapat membuat lengannya
mulur hingga bertambah panjang hampir setengah lengan!
Hok Seng
berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Akan tetapi
sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuhnya mengikuti
gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Biar pun cukup
gesit dan bertenaga besar, namun di dalam hal ilmu silat ternyata pemuda itu
masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Bi Lian. Padahal Bi Lian belum
memainkan ilmu silat yang baru saja dia pelajari dari ayah ibunya!
Bi Lian pun
maklum akan hal ini, maka dia pun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok
Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau
dia menghendaki, tentu pemuda itu tak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh
jurus!
Tiba-tiba
saja nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar
seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!"
Mendengar
suara ayahnya, Bi Lian cepat meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang
segera memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka
menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan
tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak
bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka.
"Ayah
dan Ibu, orang ini sudah membunuh kudanya yang jatuh terluka lantas membuang
bangkainya ke dalam jurang." Bi Lian langsung melapor karena tidak ingin
dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan
udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang lalu
baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"
"Aihh,
engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya.
Melihat
gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri
itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Mohon
maaf kepada Paman dan Bibi yang terhormat karena secara lancang saya telah
melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sebenarnya Nona ini tak
bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan sehingga terpeleset
dan jatuh di sini, kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk
mengakhiri penderitaannya maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang
bangkainya ke dalam jurang dengan tujuan agar tidak mengganggu orang yang lewat
di sini. Tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa disadari saya telah
membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini...”
Suami isteri
itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada
pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.
"Orang
muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Walau pun kami tinggal di
daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan
lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu
ke dalam jurang. Anak kami sudah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka
menyudahi saja urusan ini."
"Dengan
segala senang hati, Paman. Lagi pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan
lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadi pun saya sudah
merasa segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa
saya..."
"Sudahlah!"
kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi
saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus
dipersalahkan, gadis itu membentak.
"Bi
Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.
"Orang
muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka
kami persilakan berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya
Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.
Tan Hok Seng
memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah
menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding,
dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan
kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya!
Maka, ketika
ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini
mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu sangat sakti
itu. Tentu saja Hok Seng menjadi gembira bukan main ketika mendengar undangan
itu, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.
"Ahhh,
saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada Paman dan Bibi yang
terhormat...”
"Ahh,
jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami jika engkau memang mau
memaafkan anak kami," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk
ramah.
Diam-diam
Hok Seng girang bukan main. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh
melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan
Heng-tuan-san, dia telah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah
itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang oleh para penduduk
di sana dikenal sebagai pendekar sakti yang suka menolong para penduduk.
Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini
sepasang pendekar itu kedatangan seorang dara cantik jelita yang kabarnya
adalah puteri mereka.
Kini, begitu
melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi setelah ayah ibunya
muncul. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap,
lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa.
Dan
isterinya juga merupakan tokoh yang tak kalah menariknya. Seorang wanita
berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik
dan dengan raut wajah yang agung. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah
seperti seorang gadis saja.
Kiranya
mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para
penduduk dusun itu. Dan meski pun dia belum pernah melihat mereka mempergunakan
kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, tetapi dia sudah dapat
membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.
Dengan sikap
hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke
sebuah rumah yang berdiri di lembah, pada bagian yang datar dan subur. Rumah
itu nampak mungil, namun terpelihara rapi dengan taman bunga yang penuh dengan bunga
beraneka warna.
Meski pun di
dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap
lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat
pemuda itu masih amat rendah dibandingkan dia sendiri. Maka begitu pemuda itu
diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, dia lalu mengundurkan diri dengan
dalih membantu pelayan di belakang.
"Orang
muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa maka engkau
berkunjung ke lembah ini?" tanya Siangkoan Ci Kang, akan tetapi suaranya
yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.
Pemuda itu
kelihatan berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan
buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya
sangat buruk.
"Paman,
saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan sudah tertimpa mala petaka dan
penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena sudah
mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar
ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya.
"Saya
adalah seorang yatim piatu. Dengan susah payah serta kerja keras akhirnya saya
berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi nasib saya sungguh malang, saya
difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman
buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan ke tempat pembuangan
saya ditolong oleh seorang pendekar yang tak mau memperkenalkan dirinya
sehingga saya bisa bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan
diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya
sampai ke tempat ini."
"Hemm,
begitukah?" Siangkoan Ci Kang menatap tajam untuk menyelidiki apakah
cerita itu dapat dipercayan. Akan tetapi pemuda itu membalas tatapan matanya
dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa
ceritanya memang benar.
"Siapakah
namamu, orang muda?"
"Nama
saya Tan Hok Seng, Paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri Paman dan
Bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apa bila kiranya Paman dan Bibi sudi
menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada Paman dan Bibi di sini. Biarlah
saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh, asal
Paman dan Bibi suka menerima saya sebagai murid." Setelah berkata
demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami
isteri itu.
Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu saling bertukar pandang. Suami isteri yang sudah bisa
mengetahui isi hati masing-masing hanya melalui pandang mata saja itu saling
kedip kemudian dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment