Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Kumbang Merah Pengisap Kembang
Jilid 05
Kui Hong
lantas melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu.
Kecerdikan harus dihadapi dengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan
kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini.
Tidak lama
kemudian kedua orang muda itu sudah berada di tengah panggung dan saling
berhadapan. Apa bila Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru
yang bersih, berwarna serba hijau yang menjadi warna kesukaan pemuda ini,
dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang bulu-bulunya telah dibasahi
dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya
tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya
kosong tidak memegang apa pun, bahkan bertolak pinggang.
Para tamu
serta para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan
hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang yang hendak
menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor hingga diketahui kebanyakan
murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian.
Harus mereka
akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu,
keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam
pakaian barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang
berkulit putih itu tampan sekali. Sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik
jelita dan gagah perkasa, apa lagi dia tersenyum-senyum manis.
Melihat
betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit saja pada tangan kanannya,
terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkau juga harus
memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!"
Akan tetapi
Kui Hong menengok ke arah ibunya dan berkata lantang sehingga terdengar oleh
semua orang, "Tidak perlu, Ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!"
Melihat dan
mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh
gadis itu. Dia pun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh
dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia telah
melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suheng-nya,
tetapi gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang
rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya.
Dia harus
dapat menundukkan gadis ini, harus mampu mengalahkannya, karena dengan
demikian, bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia
memperoleh kekuasaan dan nama besar, namun juga besar harapannya untuk dapat
mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan
tak enak itu, dia pun berkata dengan sikap sopan.
"Suci,
harap Suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit sungguh pun dengan sebuah
mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan Suci (kakak
seperguruan),"
Kui Hong
tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Meski pun pemuda ini jauh
lebih tua darinya, akan tetapi menyebutnya ‘suci’ sebagai tanda bahwa pemuda
itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong
lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan
hati.
Akan tetapi
Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih
memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali
tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan
kelicikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain
sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya
sekali, maka dia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong.
"Sudahlah,
saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang
mempergunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau
lebih kalau kau kehendaki!"
Wajah Cun
Sek menjadi merah. Bagaimana pun juga gadis ini terlampau sombong dan memandang
rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, lebih dahulu harus
menundukkan kesombongannya dengan cara mengalahkannya, barulah akan ada harapan
untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam
mengenal watak wanita ini.
"Baiklah,
Suci, jika engkau memang menghendaki demikian. Marilah, silakan Suci mulai,
saya sudah siap melayanimu, Suci!"
Kui Hong
tersenyum lagi. Tentu saja dia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar dia
menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya akan lebih lemah.
"Lihat
seranganku!" bentaknya, kemudian dia pun segera menyerang dengan kecepatan
kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda
itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah
dada.
Meski pun
serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun
Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa
serta mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil
meloncat ke belakang, lalu kembali maju dari samping untuk membalas serangan
gadis itu dengan totokan dua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus
mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan
balasan. Namun dia pun mengelak dan menyerang lagi.
Terjadilah
serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi
karena sekarang keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka hingga
tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah
dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang
mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan.
Mau tak mau
Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya.
Meski pun mouw-pitnya hanya sebuah saja, tapi tangan kanan gadis itu
menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang dapat
membuatnya lumpuh!
Dia harus
mengakui bahwa dia masih kalah oleh Kui Hong di dalam hal kecepatan, juga dalam
ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu
silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sinkang saja dia masih mampu
mengimbangi kekuatan Kui Hong.
Karena
memang kalah cepat, maka walau pun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis
itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan
hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali,
itu pun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan
kalah! Padahal dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak
dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun
ini.
Mulailah Cun
Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan
mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan dua ujung mouw-pitnya
sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya memercik dan mengenai
pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit,
walau pun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari
percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat!
Memang
inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Dia sama sekali tak menjadi marah
ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Dia pun
segera menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan
sebotol tinta bak! Dan sekarang dia pun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya
yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang
sudah dia buka tutupnya.
Tentu saja
bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan bisa sampai jauh
sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, kini banyak sekali noda-noda hitam
menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis
itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang
telah siap siaga dan pantas saja hanya menggunakan sebatang mouw-pit, kiranya
tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu!
Dia berusaha
untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong
terkena percikan tinta. Akan tetapi betapa pun juga perang percikan tinta ini
tentu saja dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan
sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering!
Pakaian Cun
Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada
noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendongkol bukan main.
Pada waktu
Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah
terbakar habis, Kui Hong lantas menyiramkan seluruh sisa tinta bak itu kepada
lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, namun tetap saja sebagian muka, leher
dan dadanya berlepotan tinta hitam!
Kemarahan
Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat
tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui
Hong, lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil
membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau...
engkau... gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis
kurang ajar!"
Kui Hong
tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, tampak sinar hitam
berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kirinya sudah nampak sepasang
pedang Hok-mo Siang-kiam!
"Benarkah
itu?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau
bersih dan jujur, ya? Apa yang kau lakukan ketika engkau melawan susiok Gouw
Kian Sun tadi? Apa pula yang kau lakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai
kalah? Engkau yang curang dan licik semenjak melawan susiok, aku hanya
mengimbangimu saja! Sekarang kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita
mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Setelah
berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat
kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.
Melihat ini
Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan
dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?"
Kembali Kui
Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya amat girang sebab pancingannya mengena.
"Ahai...! Manusia tidak tahu diri! Engkau bilang aku mempergunakan ilmu
silat bukan dari Cin-ling-pai? Kau kira ilmu silat yang kau mainkan itu ilmu
Cin-ling-pai murni? Hemmm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua
Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh
lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat
tahun belajar di sini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan
kepadamu bahwa bukan hanya engkau seorang yang mahir ilmu-ilmu silat lain.
Sekarang engkau mengajak bertanding dengan apa pun, akan kulayani! Dengan ilmu
silat Cin-ling-pai yang asli tanpa kau campur-campur seperti cap-jai? Atau
dengan ilmu silat lain? Aku siap! Hayo lekas keluarkan senjatamu!"
Metihat
keributan itu, para tamu dan semua murid Cin-ling-pai memandang dengan hati
tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song
dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja.
Meski pun
tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati,
tapi suami isteri ini juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang
mereka anggap penuh rahasia itu. Mereka pun telah melihat kecurangan yang
dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan
puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, ketika melihat
betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tak enak hati dan dia pun ikut
berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.
"Kalian
hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.
"Kui
Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.
Mendengar
seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya kemudian memandang
kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ahh, sungguh sayang
kongkong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan
sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Dia pun lantas menyarungkan kembali
sepasang pedangnya.
Wajah Cun
Sek akan terlihat merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam.
Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan
oleh Kui Hong di hadapan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan
menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang akan
membela dara itu. Maka dia pun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang
dan memberi hormat lalu berkata pendek,
"Teecu
hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Dan tanpa menunggu
jawaban, dia pun melompat turun dari atas panggung lalu berkelebat cepat
menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Kini banyak
di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya mereka yang
memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang merasa tertarik
dan suka kepada murid baru ltu yang menjanjikan akan mengajarkan ilmu-ilmu
silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia
menjadi ketua.
Para murid
Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali
mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, namun mereka paling membenci perbuatan
yang licik dan curang. Kini mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong
membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun,
maka mereka pun mulai tak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka sekarang
ditujukan kepada Cia Kui Hong.
"Hidup
nona Cia Kui Hong!"
"Dia
ketua baru yang paling tepat!"
Mereka
bersorak-sorak sehingga kakek Cia Kong Liang tak dapat membantah lagi karena
dalam pertandingan tadi Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak.
Dia tidak menyangka bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan
tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya.
Diam-diam
dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan?
Dia lalu menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota
juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang
keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.
"Sudahlah,
memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang
ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"
Para murid
Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua
mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung sambil mengumumkan bahwa ketua
baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang
keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song juga minta kepada para undangan untuk
menjadi saksi bahwa sekarang Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru,
yaitu nona Cia Kui Hong!
Untuk
diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas
panggung. Dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam Kui Hong
menghampiri ayahnya di atas panggung, disambut tepuk tangan meriah oleh para
anggota Cin-ling-pai.
Pada saat
itu pula, seorang murid yang tadi diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil
Tang Cun Sek supaya hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini
masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu
ketua supaya dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor
dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan
semua pakaiannya juga tidak ada!
"Dia...
dia berani minggat...?!” Kakek itu berseru marah, lantas menjatuhkan diri
terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat dan dia pun mengeluh, "...
ahhh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"
Kui Hong
cepat-cepat berlutut di dekat kakeknya. "Kongkong, sebenarnya kongkong
tidak bersalah. Kongkong berniat baik sekali, demi untuk kemajuan Cin-ling-pai
atau pun untuk mencarikan jodoh bagiku. Namun Kongkong tertipu oleh topeng
domba yang digunakan seekor serigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, Kongkong,
sehingga di dalam pertemuan pertama itu pun aku sudah merasa tidak suka
kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan Kongkong saja
yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang
menyangka bahwa dia adalah seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tak perlu
disesalkan lagi, Kongkong, yang penting kita masih untung bisa menyelamatkan
Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai itikad baik!”
Wajah kakek
itu nampak berduka sekali. "Ahh, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam
telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi... "
"Biarlah,
kelak akulah yang akan mencarinya untuk merampas kembali Hong-cu-kiam dari
tangannya, kemudian membunuh dia karena sudah berani menipumu, Kongkong. Harap
Kongkong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan
sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya
masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi
ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka
Gin-hwa-kiam dari sana."
Dengan
singkat gadis itu lalu bercerita tentang Sim Ki Liong, keturunan musuh besar
yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid
oleh Pendekar Sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek
Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri
yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabui
oleh muka manis.
Setelah
pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita
menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong
menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai secara resmi. Kakeknya sendiri
yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan
ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susiok-nya, Gouw Kian Sun menjadi
wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau dia sedang tidak berada di
Cin-ling-pai.
"Sebenarnya
jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua
orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku senang merantau dan tidak
betah untuk tinggal di sini, dipusingkan dengan urusan perkumpulan. Aku melihat
bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, malah susiok pula yang selama ini
mengurus Cin-ling-pai pada saat ayah tidak aktip. Tetapi karena dalam pemilihan
itu terpaksa aku harus turun tangan demi menyelamatkan Cin-ling-pai kemudian
terpilih menjadi ketua, maka biarlah aku akan bertanggung jawab. Namun, untuk
dapat mengurusnya dengan baik dan untuk kemajuan Cin-ling-pai, maka aku
wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"
Tidak ada
yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan
nama yang cukup berwibawa dan juga disukai oleh para anggota Cin-ling-pai.
Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun Sek adalah karena terpikat oleh janji
muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik
menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata di samping curang dan licik, juga
pengecut tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya malah melarikan diri
tanpa pamit!
Tentu saja
Gouw Kian Sun girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang
sangat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh hidupnya tergantung
kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, di mana dia tinggal dan
mengalami suka duka dalam hidupnya.
Sampai
berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun masih saja hidup membujang belum
menikah. Dan sekarang, sebagai seorang wakil ketua tentu saja dia dapat
mencurahkan segenap kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya,
dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.
Sesudah Kui
Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, dia merundingkan dengan susiok-nya yang
menjadi wakil ketua, minta nasehat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya,
lalu mulai mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu.
Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi
mereka semua supaya lebih berhati-hati.
Sebulan
setelah itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan
Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di wilayah
selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis
Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali
kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.
Tidak lama
kemudian, sesudah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur
dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong
sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang
tak dapat menahan cucunya, apa lagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya
untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid
murtad itu.
Sejak
peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, yaitu beberapa peristiwa
susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong
Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan
menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasehat bagi muridnya, Gouw Kian Sun
yang sekarang menjadi ketua.
Dan banyak
perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia
menjadi seorang yang penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam
karena dia mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dahulu sangat besar dan
kuat itu. Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan
kewaspadaan yang mengagumkan.
Kekerasan
watak manusia memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran akan
menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya
sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini
akan membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri.
***************
Dua bayangan
yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu
sendiri memang berdiri di tempat yang sunyi, kurang lebih sepuluh kilometer di
luar kota Yu-shu, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di
Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar,
dengan pekarangan depan yang amat luas dan bagian belakang kuil juga merupakan
kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.
Kepala kuil
Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya telah
lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang
tinggi besar dan mukanya agak kehitaman. Dia terkenal sebagai seorang hwesio
yang berilmu tinggi, berwatak jujur dan berdisiplin, karena itu Ceng Hok Hwesio
nampak keras.
Karena
kedisiplinan ketuanya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itu pun merupakan
pendeta-pendeta yang berdisiplin pula. Hal ini terbukti dari adanya penjagaan
yang ketat di sekeliling kuil itu dan pada setiap sudut terdapat hwesio yang
berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.
Siapakah dua
bayangan yang berkelebat laksana dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis.
Pemuda itu
berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan
tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih membuat alisnya yang tebal nampak
hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang
tampan disertai sikap yang lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya
sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut
dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga
para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah
Kong-goan Propinsi Secuan.
Perkumpulan
ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek
ini secara turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan ketua
pertama dari perkumpulan ini yang bernama Pek Khun merupakan pendiri
Pek-sim-pang. Mendiang Pek Khun adalah seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai,
oleh karena itu mudahlah diduga bahwa Pek-sim-pang merupakan sebuah perguruan
silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Mendiang Pek
Khun lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian putera Pek
Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang.
Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak
bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis di luar tembok pagar kuil
Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.
Ketika Pek
Han Siong masih berada di dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak
di dalam kandungan ini telah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para
pendeta Lama di Tibet bahwa anak di dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong
(Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di
Tibet yang besar.
Para pendeta
Lama mula-mula meminta dengan hormat dan sopan agar kelak anak yang terlahir
itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar
dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang
kehendak para pendeta Lama.
Hal ini
kemudian menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di
Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para
murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet
dan akhirnya menetap di kota Kong-goan, di Propinsi Secuan.
Akan tetapi
para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan
pengejaran inilah maka Pek Kong lalu mengajak isterinya melarikan diri dan
bersembunyi. Akhirnya anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para
pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan pada punggungnya terdapat sebuah
tanda berwarna merah.
Untuk
menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang
ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari
asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan
seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu
berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan
bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya, untuk menjadi pengganti Han
Siong!
Pek Han
Siong dilarikan kakek buyutnya dan sesudah merawatnya selama tujuh tahun,
akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu
itu, lantas menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang sebenarnya
masih terhitung murid keponakannya sendiri.
Pek Han
Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia berjumpa dengan
sepasang suami isteri sakti yang sedang melakukan pertapaan atau menerima
hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak
sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi,
karena mereka itu sakti, setiap saat bila mereka kehendaki, mereka dapat saling
bertemu tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka.
Dua orang
sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu,
keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan
dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Pasangan suami isteri ini kemudian
mengangkat Pek Han Siong sebagai murid mereka.
Di bawah
bimbingan suhu dan subo-nya yang sangat sakti. Pek Han Siong memperoleh
kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikuasainya, dan
dia pun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan
hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka
itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil!
Hubungan dua
orang sakti ini sudah menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama
Siangkoan Bi Lian! Karena itu, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda
yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan
mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka.
Puteri
mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian itu semenjak masih bayi mereka titipkan
kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tidak jauh dari
kuil itu. Kadang-kadang dua orang suami isteri itu datang mengunjungi puteri
mereka, akan tetapi mereka tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi
Lian, melainkan sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan
dasar-dasar ilmu silat.
Pada suatu
hari, ketika Bi Lian masih berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan.
Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger dan
banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan
tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil
menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.
Demikianlah,
setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu
bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka,
dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari sampai dapat puteri mereka
yang hilang itu dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si.
Pada waktu
itu Han Siong berusia dua puluh tahun, sementara sudah belasan tahun Bi Lian
lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang
ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikit
pun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.
Dua tahun
lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan
menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu
dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han
Siong sejak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah
Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.
Kini,
tiba-tiba saja dia muncul kembali bersama seorang gadis. Gadis itu berusia
kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu
ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas
dan dihiasi dengan tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar,
hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang
selalu merah membasah, mukanya bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di
dagunya.
Siapakah
gadis manis ini? Dia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she
Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu,
berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu
dia masih kecil, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya
itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!
Apa yang
sudah terjadi dengan diri gadis ini ketika dia berusia enam tahun di dusun itu?
Ternyata dia sudah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada
waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong
(Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua orang di antara
Empat Setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit akibat kelihaian
mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal
peri kemanusiaan sama sekali.
Dua orang
datuk sesat inilah yang dulu mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh
kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap
sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian kedua orang
datuk sesat itu sehingga dia pun akhirnya diambil sebagai murid.
Dua orang
datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi
Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga
berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya.
Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan dia dijuluki
Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.
Dalam kisah
Pendekar Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis
yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh
dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang
tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh
pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya
keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.
Bi Lian
merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu, lantas dalam usaha menentang
para pemberontak inilah dia bertemu dengan Pek Han Siong, saling bekerja sama
untuk menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, kemudian mereka
berkenalan.
Pek Han
Siong kemudian dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya,
gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai
murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian juga dianggap
sebagai dua orang gurunya ketika dia masih kecil sehingga mereka pun
seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan sesudah pemberontak itu dapat
ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil
Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subo-nya itu.
Demikianlah,
pada malam hari itu dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini
mereka sudah berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Suheng,
hari sudah demikian malam, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?"
tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Kita
lihat saja nanti. Kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga,
maka kita langsung menghadap, kalau andai kata mereka tidur, kita akan menanti
di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."
"Akan
tetapi, kenapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk
melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"
"Ah,
aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang... hukuman
yang berada dalam kurungan di kuil ini."
"Ahhh...!"
Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Mengapa...? Apa kesalahan mereka?
Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu
silat?"
"Sumoi,
sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku...
aku tak berhak untuk menceritakannya. Marilah, sudah dua tahun aku pergi
meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan
mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya,
tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya
lebih lincah lagi.
Memang ia
seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang.
Padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh)
tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subo-nya yang merupakan
seorang ahli ginkang hebat, jauh lebih pandai dari pada Bi Lian. Gerakan mereka
sedemikian cepatnya sehingga walau pun pagar tembok itu terjaga oleh para
hwesio, tidak ada seorang pun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya
dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.
Han Siong
yang pernah tinggal di kuil itu selama bertahun-tahun tentu saja sudah hafal
sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia yang menjadi penunjuk jalan berada di
depan dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong
mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorang
pun hwesio dan kini mereka tiba di luar sebuah kamar yang jendela dan daun
pintunya tertutup. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subo-nya berada,
tempat hukuman bagi subo-nya!
Dengan
hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, akan
tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Pada saat dia mengintai ke dalam, kamar
itu nampak gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan
daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar
itu kosong!
"Bagaimana,
Suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.
“Ini kamar
subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang ke luar.
Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”
Mereka lalu
pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han
Siong sudah berada di luar sebuah kamar lainnya yang daun jendela serta
pintunya juga tertutup. Akan tetapi nampak sedikit cahaya yang menerobos keluar
dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin
bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhu-nya
berada di dalam kamar itu.
Daun pintu
itu diketuknya perlahan-lahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi
dan dia pun berseru lirih, "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon
menghadap suhu!"
Kini
terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran
dari dalam yang sangat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud…! Siapa
berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"
Tentu saja
Han Siong amat terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok
Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang dulu memberi
hukuman kepada suhu dan subo-nya! Biar pun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik
kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari
kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu
merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan
ini.
Dia merasa
serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara sehingga hwesio tua itu
sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah
hwesio tua itu tengah mengadakan kunjungan kepada suhu-nya? Di malam buta
begini? Sungguh aneh. Namun dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu
sedang menunggu dengan hati tidak sabar.
“Losuhu,
maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...," jawabnya.
Hening
sejenak di dalam kamar itu. Kemudian baru terdengar suara yang berat itu,
"Pek Han Siong...? Ahh, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari
suhu-mu, Siangkoan Ci Kang?”
Girang rasa
hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tak mengandung kemarahan.
"Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"
Kembali
hening sejenak, lalu kembali terdengar suara. "Baiklah, tapi pinceng
mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu itu?"
Han Siong
saling pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada dalam kamar itu ternyata
memiliki pendengaran yang amat tajam. "Saya datang bersama seorang murid
suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap
suhu dan subo."
“Seorang
wanita?” Suara itu seperti terkejut, lalu disambungnya cepat-cepat, “Siancay...
biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.”
Han Siong
memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu kemudian masuk
ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian, sedangkan Han Siong
menutupkan kembali daun pintu dari dalam.
Seorang
hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong
dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang
bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas
meja.
Han Siong
mengajak Bi Lian untuk menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk
bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa
teharu. Baru dua tahun berlalu, akan tetapi ketua kuil itu sekarang nampak
sudah sangat tua, tua keriputan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya
tampak segar, kini terlihat layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi
kedukaan.
"Losuhu,
saya dan sumoi mohon maaf bila mengganggu losuhu. Akan tetapi di manakah adanya
suhu? Tadi subo juga tak ada di dalam kamar tahanannya. Di manakah
mereka?"
Sepasang
mata yang dulu menyinarkan kegalakan dan kekerasan itu nampak sayu, yang ada
hanya tinggal sinar kejujurannya, dan kini sepasang mata itu mengamati Han
Siong dan Bi Lian.
"Han
Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi supaya agak terang. Mata pinceng
sudah tidak begitu awas lagi..." katanya lirih.
Hati pemuda
itu terharu dan dia pun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini
kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali ketika melihat
wajah gadis yang datang bersama Han Siong. Alangkah miripnya wajah itu dengan
wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya bagaikan diremas dan dia
pun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan
berkata lirih,
"Omituhud...
semoga semua dosa pinceng diampuni oleh Thian..."
“Losuhu,
sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo
sekarang," kata pula Han Siong yang merasa tak enak melihat kedukaan
membayang di wajah kakek itu.
Kakek itu
membuka matanya dan menghela napas panjang. "Kalian duduklah yang enak.
Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang
kiranya patut untuk menerima curahan penyesalan hati pinceng yang selama ini
pinceng sembunyikan. Kalian berdua adalah orang yang paling tepat menerima dan
mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik
pengakuan pjnceng, pengakuan orang yang berdosa besar!"
"Losuhu...!"
Han Siong membantah dengan perasaan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu
mengangkat tangan kirinya ke atas.
"Diamlah,
Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini."
Han Siong
lalu duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian
mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu dia akan mendengarkan cerita
yang sangat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat
mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu akan tetapi mengandung
sinar kejujuran dan juga kekerasan itu membuat dia merasa suka kepada kakek tua
renta itu.
"Kurang
lebih dua puluh satu tahun yang lalu ada sepasang orang muda datang ke kuil ini
menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria
tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui
Cu. Mereka membuat pengakuan yang amat mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci
Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk
Iblis Buta, seorang datuk sesat. Sedangkan Toan Hui Cu bahkan mengaku sebagai
puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang
menggemparkan dunia kang-ouw. Mereka sengaja menghadap pinceng dan minta agar
diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat
dosa dan untuk mencuci darah keturunan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima
karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas…" Sampai
di sini kakek itu berdiam sejenak.
Han Siong
merasa kagum sekali kepada suhu dan subo-nya. Biar pun keduanya adalah
keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, akan tetapi keduanya agaknya
menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa orang tua
dengan masuk menjadi pendeta!
Bi Lian yang
hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, diam-diam juga
merasa kagum dan bersimpati. Dia sendiri pun sejak kecil menjadi murid dua
orang datuk sesat, tetapi dia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka
sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Dia benci terhadap perbuatan jahat dan
menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.
"Ketika
itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita,
tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng.
Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"
Mendengar
ini, hati Han Siong terkejut bukan main. Kalau saja kakek itu tidak membuat
pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek
itu, kedua matanya memandang tajam penuh selidik.
Ceng Hok
Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, terlalu mudah
dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng
menyatakan perasaan ini. Dia menolak pinceng! Kemudian... di luar
pengetahuannya, ternyata ketika masuk menjadi nikouw, Toan Hui Cu telah
mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar
nikah! Kesempatan ini lalu pinceng gunakan untuk membalas dendam kepada Toan
Hui Cu yang telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang
sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Juga membalas dendam
terhadap Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan
nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka pinceng lalu
menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam
kamar kurungan yang terpisah!"
"Aihhh,
betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Lian berseru. marah, matanya berapi-api
memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua
sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan yang begitu kejam terhadap
mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, dan karena tidak
mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum mereka sampai dua puluh
tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"
"Sumoi...!"
Han Siong berseru kaget sekali ketika mendengar ucapan yang nadanya amat
mencela dan merendahkan ketua kuil itu!
Akan tetapi
kakek itu bahkan tersenyum, lantas merangkap kedua tangan di depan dada,
memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud..., terima kasih, nona.
Makian dan celaan tadi sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena
penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan pantas dipukul atau
dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati
sekali..."
Mendengar
ini, Bi Lian segera menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia
menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya
agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya
suhu dan subo-nya, maka dia pun kembali mendesak dengan hati-hati kepada kakek
yang masih memejamkan kedua matanya itu.
"Lalu
bagaimana kelanjutannya, losuhu?"
Kakek itu
membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang
matanya juga terlihat lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biar pun
tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.
"Ketika
engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi,
Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsyafi dosa
yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul sesudah pinceng begini tua.
Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu dan di
hadapan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng serta menyatakan bahwa
pinceng telah menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman
kurungan di kamar ini sampai mati"
"Ahhh...!"
Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.
"Hemm,
masih terlalu ringan! Mereka yang tak berdosa harus menjalani hukuman selama
hampir dua puluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua
sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..."
"Sumoi...!"
kembali Hong Siong menegur gadis itu.
Kakek itu
tersenyum lagi dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng
malah girang sebab gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh
selama ini pinceng merasa menyesal sekali, apa lagi ketika dikeluarkan dari
sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Sebab itu biarlah
nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak
berdosa. Sesudah pinceng mendengar akan pengalaman mereka, ternyata mereka
memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama.
Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang
didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita,
anak mereka yang tidak bersalah apa pun akhirnya ikut pula menderita akibat
perbuatan pinceng yang kotor..."
"Anak
mereka...? Ahh, suhu dan subo mempunyai anak, lantas bagaimana dengan anak
mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok
Hwesio yang masih tersenyum.
Mendengar
ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang
dirinya sendiri! Dan hwesio tua itu pun sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa
yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu!
Han Siong
merasa serba salah. Tentu saja tak mungkin dia mencegah kakek itu bercerita
atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung
berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan,
menunggu jawaban dari Ceng Hok Hwesio.
"Anak
mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng
lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak
ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan
anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa
pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan oleh penjahat sesudah
keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..."
Bi Lian
meloncat bangun berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak ketika
dia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua
itu.
"Katakan!
Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan, atau... demi Tuhan, kubunuh
kau!"
"Sumoi...!"
Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu
benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.
Akan tetapi
Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia
memang mengharapkan ada orang yang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang
membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.
"Sungguh
pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng,
silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!"
"Sumoi...!"
Han Siong kembali menegur.
Bi Lian yang
masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng
engkau... engkau tentu tahu... anak... anak itu... dia... dia…?"
Sinar
matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan
suara. Tanpa suara pun Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu.
Dia pun mengangguk.
"Benar,
sumoi. Engkaulah anak itu... engkau adalah puteri suhu dan subo yang dititipkan
kepada keluarga Cu itu..."
Bi Lian
terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak,
didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam ke arah ubun-ubun
kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa
berkedip. Tetapi pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang
sudah menangkis pukulan itu dan mendorong mundur tubuh Bi Lian.
"Sumoi,
tenanglah. Apabila engkau membunuhnya, berarti engkau mengambil alih semua
dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!"
Bi Lian
mencoba untuk meronta, namun Han Siong terus memegangi kedua lengannya.
"Lepaskan, Suheng! Ia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah
dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"
"Omitohud...
jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar dia
membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan, biar
dia membunuh pinceng. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah
pinceng..." Dan hwesio itu pun kini menangis terisak-isak sambil berbisik-bisik
minta dibunuh.
Han Siong
tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, Sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan
ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali jika mereka mendengar engkau
membunuh losuhu ini. Mereka yang menerima hukuman itu saja tak pernah mencela,
tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dahulu kepada mereka.
Mari, sumoi, mari kita temui ayah ibumu...”
"Ayah?
Ibu? Di mana... di mana... mereka... ?" Gadis itu tergagap-gagap, kedua
matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.
"Losuhu,
tolong beri tahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"
Dengan
kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka...
mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung
timur... tapi… tapi... biarkan dia membunuhku dulu, Han Siong... aku mohon
padamu, biarkan dia membunuh pinceng..."
Akan tetapi
Han Siong tidak mempedulikan kakek itu, melainkan menarik tangan Bi Lian dan
membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu
yang di antara tangisnya terus minta dibunuh, akan tetapi Han Siong tetap
mengajak sumoi-nya keluar.
Di luar
kamar mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi
Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok
Hwesio sehingga para hwesio ini tentu saja menjadi terkejut dan terheran akan
tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan
oleh ketua mereka itu.
Ketika para
hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu,
tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han
Siong cepat memperkenalkan diri. "Para Suhu dan Suheng, apakah lupa
kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..."
"Ahh,
Han Siong...”
"Sute..."
Para hwesio
itu kini mengenalnya, akan tetapi Han Siong tak ingin banyak bicara dengan
mereka. Dia menggandeng tangan sumoi-nya dan berbisik, "Mari kita pergi,
sumoi...!"
Dia pun
mengajak sumoi-nya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka
telah menghilang dalam kegelapan malam. Para hwesio hanya bisa memandang dengan
mata terbelalak penuh kagum.
Mereka
melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di
langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan
yang sulit dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba
Bi Lian berhenti.
"Marilah,
Sumoi..."
Akan tetapi
Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui
kegelapan.
"Suheng..."
Dari suaranya dapat diketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya.
Semenjak
keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak sampai
tersedu-sedu atau terisak-isak walau pun kedua matanya telah basah dan
kadang-kadang ada air mata menetes ke atas pipinya. Pikirannya menjadi kacau
tidak karuan.
Ia
membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya,
yakni suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya
yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu dia membayangkan dan mencoba untuk
mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang sering datang di
waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya.
Seorang pria
yang gagah perkasa akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku, serta
seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi wajahnya selalu pucat. Mereka
begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subo-nya itu setiap kali
datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung
sebelah yang menjadi suhu-nya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih
sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!
"Ya?
Ada apa, Sumoi?" Han Siong bertanya, hatinya tidak enak karena tadi dia
berkeras melarang sumoi-nya membunuh Ceng Hok Hwesio.
"Suheng,
katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita,
engkau sudah tahu siapa diriku?"
Han Siong
mengangguk, akan tetapi cepat-cepat menjawab setelah teringat bahwa cuaca gelap
dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, Sumoi.
Suhu dan subo telah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan
menggunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh suhu
dan subo untuk mencari engkau. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu
harus mencari ke mana sampai pada hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan
begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali
dengan wajah subo. Sesudah mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."
"Tapi,
kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberi tahu kepadaku bahwa
sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"
"Aku
khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku hendak membawamu menghadap
mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka kita
bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...”
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan. Karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di
puncak paling ujung dan perjalanan dilakukan secara lambat, dan setelah terang
tanah mereka baru dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan
harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu.
Tidak sukar
mencari suami isteri itu sesudah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja
mereka memasuki lembah yang nampak subur itu, mereka melihat dua titik hitam
dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua
sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka.
Tanpa
disadari, tangan Bi Lian mencari kemudian memegang lengan kanan Han Siong.
Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan gadis itu dingin dan gemetar .
Seperti yang
diduganya, setelah tiba di depannya, dua sosok tubuh itu bukan lain adalah
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira
dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,
"Heiiii...,
bukankah itu engkau, Han Siong...?"
Ketika
mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bahwa
yang datang tentu engkau..." Mendadak dia berhenti dan matanya terbelalak
mengamati wajah Bi Lian.
Juga
Siangkoan Ci Kang tiba-tiba saja memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya
berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini... dia
ini..."
Seperti besi
terbetot besi sembrani Toan Hui Cu melangkah maju menghampiri, "...kau...
kau..." Dia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau dia salah
kira.
Akan tetapi
suaminya berteriak, "Pasti dia! Wajahnya itu... ahh, serupa benar
denganmu, Hui Cu. Dia Bi Lian...!"
"Kau...
kau benar Bi Lian...?” Dengan suara bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua
lengannya dikembangkan.
Sejak tadi
Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini dia
tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia lari menubruk Toan Hui Cu dan
dirangkulnya wanita itu.
"Ibuuuuu...,
engkau ibuku...!"
"Bi
Lian anakku... ahh, Bi Lian...!"
Kedua ibu
dan anak itu saling berangkulan, kemudian Hui Cu mendekap puterinya sambil
tersedu-sedu.
"Bi
Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan
kami, anakku..."
Bi Lian
melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.
"Ayaahhh...!”
"Anakku...!"
Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu. Pria yang
sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu
merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana
yang penuh keharuan dan kebahagiaan.
Kemudian
Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang semenjak tadi juga sudah
menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subo-nya dan hanya memandang
pertemuan itu dengan mulut tersenyum sambil menahan keharuan hatinya yang
merasa ikut bahagia. Siangkoan Ci Kang yang lengan kirinya buntung itu
menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.
“Syukur
bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."
Toan Hui Cu
sekarang bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping.
"Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami
mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa
pulang Bi Lian."
"Pertemuan
antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua
sama-sama menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai
Giam-lo."
"Ahh…!
Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu
bertanya.
Tentu saja
mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai
Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang sangat lihai, menyamar
sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok
Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar
sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini
pula iblis itu dapat diusir dari kuil.
"Ibu
dan ayah... mengapa ibu dan ayah begitu... nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu
dulu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui aku
sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul
ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar.
"Hai,
Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa dia
adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis
itu malah balik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum dapat
menjawab pertanyaan puterinya.
Siangkoan Ci
Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Mari kita
pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing
diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar supaya tidak ada lagi
rasa penasaran yang menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, sebentar lagi
engkau pasti akan mendengar semua jawaban atas pertanyaanmu."
Dara itu
berjalan di tengah digandeng oleh ayah ibunya, dan Han Siong mengikuti mereka
dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada satu hal yang
belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang
pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.
Pedang
pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru
kepada muridnya, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia sudah
dijodohkan dengan Bi Lian. Dahulu hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan
jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi
besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia
berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya
sudah seratus persen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian!
Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati.
Yang membuat
hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat
menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu apa bila mendengar
bahwa dia dijodohkan dengan suheng-nya! Selama bergaul dengan Bi Lian, dia
sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga bagaimana
perasaan gadis itu terhadap dirinya....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment